Hambatan Non Tarif Sektor Kehutanan Dalam Menghadapi Ekolabeling
KARYA TULIS
HAMBATAN NON TARIF SEKTOR KEHUTANAN
DALAM MENGHADAPI EKOLABELING
Oleh :
Nurdin Sulistiyono, S.Hut, MSi
NIP. 132 259 567
Departemen Kehutanan
Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara
2008
(2)
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ... i
DAFTAR GAMBAR ... ii
Pendahuluan ... 1
Perumusan Masalah ... 2
Pembahasan ... 2
A. Kebijakan Pemerintah ... 2
B. Instrumen Ekonomi ... 4
C. Kaitannya dengan Kebijakan Lain ... 8
(3)
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Pengaruh Instrumen Pajak ... 4 Gambar 2. Pengaruh Instrumen R and D ... 7
(4)
HAMBATAN NON TARIF SEKTOR KEHUTANAN
DALAM MENGHADAPI EKOLABELING
1Nurdin Sulistiyono, S.Hut, MSi 2
Latar Belakang
Sertifikasi pengeloaan hutan dan label ramah lingkugan untuk produk hutan muncul sebagai bagian dari respon masyarakat atas tantangan konservasi hutan dan pengelolaan hutan secara lestari. Inisiatif sertifikasi hutan sangat tergantung kepada pilihan para konsumen dalam memilih produk hutan, apakah memilih produk yang berasal dari hutan yang dikelola secara berkelanjutan atau lestari ataukah tidak. Karena harus dilaksanakan secara sukarela, maka sertifikasi atau ekolabel produk hutan dianggap sebagai instrumen yang lunak.
Saat ini ada 12 jenis skema sertifikasi (Kanowski et al, 1999) sedangkan menurut Bass dan Simula, 1999 sudah ada 25 skema sertifikasi nasional baik yang telah disusun maupun sedang dalam pross penyusunan sebagai inisiatif nasional, dan 2 skema inisiatif internasional atau regional. Masing-masing inisiatif memiliki kekhasan tersendiri, dan mempunyai tahapan yang berbeda satu sama lain. Ada skema yang didasarkan atas standar kinerja (schemes focusing on performance standards), yang menilai tingkat kinerja dari berbagai aspek pengelolaan hutan berkelanjutan, dan juga ada skema yang berlandaskan standar proses atau system manajemen (schemes focusing on process standards / management systems).
Pada awal tahun 1990-an, banyak LSM yang merasa frustasi dengan melihat kurangnya upaya pemerintah di berbagai negara dalam menekan laju deforestasi baik yang terjadi di kawasan hutan tropic maupun sub tropic. Upaya boikot terhadap hasil hutan seperti boikot atas kayu tropis tidak terlalu membawa hasil karena selain tersandung ketentuan WTO yang tidak membolehkan ada penghalang perdagangan, juga karena perdagangan kayu dan hasil turunannya, baik dari hutan tropis maupun hutan sub tropis, tidak dapat dihindarkan untuk memenuhi kebutuhan pasar.
1
Karya Tulis Ilmiah untuk Perpustakaan USU
2
(5)
Rasa frustasi, kebutuhan akan terpenuhinya kebutuhan kayu dan keinginan untuk menghentikan laju deforestasi ini mendorong timbulnya inisiatif untuk menggunakan sertifikasi hutan yang berorientasi pasar dan bersifat sukarela dalam menilai kinerja pengelolaan hutan. Dalam sudut pandang konsumen sertifikasi atau ekolabel menunjukan kepedulian mereka dalam menggunakan produk hijau. Dalam konteks ini, konsumen menghendaki dilakukannya internalisasi faktor kelestarian lingkungan hidup dalam aktivitas ekonomi, mulai dari ekstraksi atau eksploitasi bahan baku, proses produksi, hingga pengemasan. Konsumen memerlukan simbol atau label yang menjukan bahwa produk yang dipilihnya telah melalui proses produksi yang akrab lingkungan. Indikasi atau simbol tersebut dikenal dengan istilah ekolabel, yang memberikan informasi bahwa suatu standar yang akrab lingkungan telah dilaksanakan dalam proses produksi barang dan jasa tertentu. Sebuah aliansi antara Bank Dunia dan WWF Internasional mengakui potensi sertifikasi hutan dalam pencapaian praktek pengelolaan hutan yang baik, bahkan telah menargetkan bahea pada tahun 2005 hutan seluas 200 juta ha yang terbagi dalam hutan tropis dan subtropics telah disertifikasi.
Pengertian Sertifikasi Hutan
Sertifikasi menurut Stephen Bass (1995) didifinisikan sebagai instrumen ekonomi yang berbasiskan pasar yang bertujuan untuk meningkatkan kepedulian dan menyediakan insentif baik bagi produser maupun konsumen menuju penggunaan hasil hutan yang lebih bertanggung jawab. Sedangkan sertifikasi Manajemen hutan menurut Bass (1999) yang dikutip dari Indufor (1997) dan ISO/IEC guide, didifinisikan sebagai prosedur verifikasi yang diterapkan dan dikenal yang menghasilkan sertifikat mengenai kualitas pengelolaan hutan dalam hubungannya dengan satu set kriteria dan indikator, selain itu pelaksanaan penilaianya adalah pihak ke tiga yang independen. Verifikasi dilakukan melalui audit yang dapat dilakukan oleh tim dari luar unit manajemen hutan (eksternal) maupun oleh tim dari manajemen hutan itu sendiri. Internal audit dimaksudkan untuk mendapatkan keyakinan bahwa unit manejemen hutan dapat meemnuhi minimum persyaratan yang telah ditetapkan,
(6)
yang akan dinilai pada saat eksternal audit yang dilakukan oleh pihak ketiga yang independent.
Kondisi dimana para konsumen berusaha untuk menerapkan pola konsumsi yang bertanggung jawab terhadap lingkungan, industri perkayuan memiliki kepedulian terhadap pasokan bahan baku untuk jangka panjang, sementara pemerintah negara-negara konsumen berupaya meningkatkan pola konsumsi yang bertanggung jawab. Situasi ini belakangan berkembang menjadi tekanan bagi kayu bersertifikat (Bennet et al, 197).
Ghazali and Simula (1994) menyebutkan bahwa sertifikasi hutan sebenarnya adalah single issue ecolabel atau sertifikasi yang menjelaskan kualitas lingkungan tertentu bagi produk pada tahapan tetentu dari daur produksinya atau komponen khusus dari produk tersebut. Secara umum proses sertifiksi dan atau pelabelan terdiri atas tiga tahap yaitu :
1. Sertifikasi Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari / PHPL (Forest Resource Certification) : memberikan informasi bahwa dalam pengelolaan hutan produksi telah dilakukan upaya-upaya yang menjamin kelestarian produksi/ekonomi, kelestarian fungsi ekologi/lingkungan dan kelestarian fungsi social hutan. Dalam hal ini sertifikasi PHPL yang dimaksud adalah pada tingkat unit manajemen.
2. Lacak Balak (Timber Tracking) : memberikan informasi bahwa balak yang digunakan sebagai bahan baku industri tertentu berasal dari hutan yang telah memenuhi syarat sertifikasi PHPL.
3. Ekolabel hasil hutan (Forest Product Labeling) : memberikan informasi bahwa selain telah memenuhi syarat sertifikasi PHPL dan lacak balak, proses pengolahan produk tersebut tidak menimbulkan dampak penting negatif terhadap lingkungan.
(7)
Tujuan Sertifikasi Hutan
Proses sertifikasi hutan pada prinsipnya mempunyai dua tujuan utama yang penting :
1. Untuk menyediakan isentif baik insentif pasar atau non pasar untuk mendorong peningkatan kualitas pengelolaan hutan menuju pengelolaan hutan secara lestari atau berkelanjutan. Tujuan ini disebut sebagai tujuan Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) atau sering disebut sebagai SFM objective.
2. Untuk meningkatkan akses pasar dan share for products dari sistim pengelolaan yang lestari. Tujuan ini disebut sebagai tujuan perdagangan atau trade objective.
Upton dan Bass (1995) menempatkan sertifikasi hutan sebagai instrument ekonomi yang berbasiskan pasar dan mempunyai tujuan untuk meningkatkan kepedulian dan menyediakan insentif baik kepada produsen maupun konsumen untuk mendorong penggunaan hutan yang lebih bertanggung jawab. Sedangkan menurut Salim et al (1997) tujuan sertifikasi hutan adalah untuk menyediakan informasi mengenai keberlanjutan dari pengelolaan hutan tempat kayu dihasilkan kepada konsumen, sehingga konsumen dapat mempertimbangkan keputusan untuk membeli kayu atas dasar informasi tersebut.
Kinerja pengelolaan hutan yang baik dicapai melalui pemenuhan atas standar penilaian yang baik (high standart), suau tingkat pemenuhan sebuah standar yang diverifikasi oleh pihak ketiga. Selain alat untuk menuju pengelolaan hutan yang berkelanjutan, beberapa tujuan lain dapat ditambahkan dalam program sertifikasi tergantung situasi yang berkembang, seperti meminimumkan kebutuhan atas pelaksanaan peraturan perundangan (law enforcement), meningkatkan efisiensi, mengurangi resiko investasi dan sebagainnya (Simula 1999 dalam Bass dan Simula, 1999).
(8)
Sertifikasi hutan dapat menjadi jembatan antara konsumen yang bersedia membayar lebih bagi produk hutan yang ramah lingkungan atau menolak produk yang tidak ramah lingkungan, dan para manejer hutan yang mempunyai komitmen untuk meningkatkan kinerja pengelolaan hutannya. Kedua tujuan sertifikasi, tujuan perdagangan dan tujuan pengelolaan hutan secara lestari saling terkait satu sama lain, bahkan tidak dapat dipisahkan. Namun tujuan untuk mencapai pengelolaan hutan secara berkelanjutan atau lestari lebih tergantung kepada tujuan perdagangan disbanding sebaliknya bahkan memisahkan salah satu tujuan tersebut akan mengurangi peran sertifikasi dalam pencapaian pengelolaan hutan secara lestari (Salim et al, 1997).
Lebih lanjut Salim et al (1997) menekankan bahwa pengalihan tujuan sertifikasi dapat dilakukan dengan hanya menekankan pada tujuan perdagannya saja. Satu hal yang mungkin dilakukan apabila sertifikasi dilaksanakan oleh pemerintah maupun pengusaha. Namun jika hal ini dilakukan berarti hanya perdangan saja yang menjadi perhatian dan hal ini akan menyebabkan kriteria dan indikator yang digunakan dalm penilaian kinerja pengelolaan hutan akan dikompromikan dengan tujuan-tujuan perdagangan semata, dan tujuan meningkatkan kinerja pengelolaan hutan menjadi terpinggirkan.
Lembaga Sertifikasi
1. Lembaga Internasional
Pada sekarang ini terdapat 2 badan sertifikasi internasional yakni ; Forest Stewarship Council (FSC) dan Pan-European Forest Certification Framework (PEFC). FSC didirikan oleh perwakilan organisasi yang sangat beragam seperti organisasi lingkungan, kalangan pengusaha yang berkecimpung dalam perdagangan kayu, ahli professional kehutanan, perhimpunan masyarakat tempatan dan lembaga-lembaga sertifikasi dari 25 negara pada tahun 1993. FSC berperan sebagai lembaga akreditasi yang juga mempunyai symbol yang digunakan sebagai label yang menunjukan bahwa suatu produk hasil hutan berasal dari areal yag telah dikelola dengan baik (well manged forest). Dalam
(9)
skema FSC, satu-satunya lembaga yang akan melakukan akreditasi hanyalah FSC. Peranan FSC lain yang penting adalah melakukan evaluasi dan pemantauan terhadap lembaga-lembaga sertifikasi, menyediakan pedoman dan mekanisme untuk pengembangan standar sertifikasi secara nasional dan regional, menyediakan pelatihan dan kegiatan pendidikan lainnya.
Sementara itu PEFC menggunakan kriteria Pan Eropa untuk pengelolaan hutan berkelanjutan (Pan-European Kriteria for Sustainable Forest Management) yang disusun oleh suatu proses yang melibatkan seluruh Negara-negara eropa yang dimulai pada tahun 1993. PEFC sebagai skema rujukan akan mengakui lembaga nasional sejauh memenuhi ketentuan tertentu yang berkaitan dengan standar yag telah ditetapkan, audit oleh pihak ketiga, prosedur sertifikasi dan ketentuan akreditasi. Proses ini bertujuan untuk :
a. Untuk memberikan bantuan yang saling menguntungkan dan koordinasi khususnya pada sector kehutanan di Negara-negara miskin Eropa.
b. Untuk mencapai kesepakatan dalam pengumpulan data dan format laoran.
c. Meneliti cara penanggulangan dan adaptasi etrhadap perubahan iklim. d. Memungkinkan partisipasi oleh masyarakat local dan LSM.
e. Menstimulasi implementasi prinsip-prinsip kehutanan, konvensi perubahan iklim, konvensi keanekargaman hayati dan agenda 21 di Eropa.
Berbeda dengan FSC yang bersifat sentralistik dalam pelaksanaan proses akreditasi, PEFC mendorong Lembaga Akreditasi Nasional di setiap Negara untuk melakukan proses akreditasi. Hal lain yang membedakan antara FSC dengan PEFC adalah dukungan dari kalangan asosiasi pemilik hutan di Eropa kepada PEFC sangat tinggi dibanding terhadap FSC, namun kurang mendapat dukungan dari LSM yang menjadi pilar utama dari FSC.
(10)
Sementara itu dilain pihak, saat ini Internasional Organization Standardization (ISO) telah mengeluarkan standar ISO seri 14.000 mengenai Sistim Manajemen Lingkungan. Dalam sistim ISO, pendekatan assesmen hutan (atau non hutan) melalui system manajemen lingkungan yang lebih menekankan kepada penilaian organisasi dan proses manajemen.
2. Lembaga Nasional
Setiap lembaga nasional di setiap Negara mempunyai acuan sendiri-sendiri dalam mengembangkan standar sertifikasi mereka. Namun secara umum, kriteria dan indikator yang dikembangkan mengacu kepada kesepakatan yang dibuat dalamlevel internasional dan regional, seperti kriteria dan indikator Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) ITTO, Prinsip dan Kriteria PHL FSC dll.
Secara umum standar yang disusun oleh masing-masing lembaga sertifikasi nasional meliputi persyaratan minimum dalam pengelolaan hutan dan mempunyai kecenderungan untuk menyentuh berbagai aspek kehutanan yang luas. Pemenuhan peraturan perundangan di setiap Negara menjadi perhatian dari masing-masing skema nasional. Di Indonesia lembaga sertifikasi ini dilakukan oleh Lembaga Ekolabeling Indonesia (LEI) yang merumuskan kriteria dan indikator sistim sertifikasi PHPL.
Perbaikan Kinerja Pengusahaan Hutan Alam di Indonesia
Perbaikan kinerja pengusahaan hutan alam dalam rangka menghadapi ekolabeling harus ditujukan pada fungsi kelestarian, dimana ada 3 fungsi kelestarian yang harus dipenuhi yakni :
a. Kelestarian fungsi Produksi, yaitu terjaminnya keberlanjutan pemanfaatan hasil hutan dan usahanya.
b. Kelestarian fungsi ekologi / lingkungan, yaitu terjaminnya fungsi hutan sebagai system pemyangga kehidupan berbagai spesies asli dan ekosistem di dalam unit manjemen.
(11)
c. Kelestarian fungsi social, yaitu terjaminnya keberlanjutan fungsi pengusahaan hutan bagi kehidupan masyarakat setempat yang tergantung kepada hutan, baik langsung maupun tidak langsung secara lintas generasi.
Berdasarkan sifat keteraturan, keterkaitan dan ketergantungannya, dimensi manajemen hutan alam produksi lestari dapat dikelompokan menjadi :
a. manajemen kawasan, yaitu serangkaian kegiatan pengelolaan kawasan hutan yang bertujuan agar kawasan aman jangka panjang, melalui kegiatan pemantapan,penataan dan pengamanan kawasan.
b. Mnajemen hutan, yaitu serangkaian kegiatan pengelolaan hutan produksi yang bertujuan untuk mengatur pemanfaatan hasil hutan secara berkelanjutan dan mencegah atau mengendalikan dampak negative pengusahaan hutan, termasuk kehadiran unit manjemen, melalui kelola produksi, lingkungan dan social.
c. Penataan kelembagaan, yaitu serangkain kegiatan manajemen yang memungkinkan peningkatan kemampuan organisasi pengusahaan hutan melalui penataan organisasi, sumberdaya manusia, dan keuangan.
Manajemen hutan merupakan inti kegiatan dalam pengelolaan hutan produksi alam lestari (PHAPL), sedangkan manajemen kawasan merupakan prasyarat keharusan agar manajemen hutan dapat berlangsung secara mantap dan aman dalam jangka panjang, serta penataan kelembagaan merupakan prasyarat kecukupan agar manajemen hutan dapat berlangsung dan berkembang sesuai dengan target yang telah di tetapkan. Dari hal tersebut tercermin adanya keteraturan hubungan keterkaitan dan ketergantungan antara prasyarat keharusan, inti kegiatan dan prasyarat kecukupan dalam PHAPL.
(12)
Restrukturisasi Industri Kehutanan di Indonesia
Struktur industri pengolahan kayu Indonesia di masa mendatang dapat dipastikan berubah sebagai akibat dari keterbatasan sumberdaya hutan sebagai penghasil kayu, semakin mahalnya harga kayu, tingkat persaingan yang semakin keras serta adanya tuntutan konsumen akan produk yang ramah lingkungan (green products), hal ini sejalan dengan diberlakukanya ekolabeling di bidang hasil hutan.
Industri kayu lapis dan kayu gergajian merupakan industri di bidang kehutanan yang sudah lama berkembang dan menyumbangkan devisa maupun nilai tambah yang besar bagi Pemerintah Indonesia. Akan tetapi pengalaman beberapa tahun kebelakang menunjukan adanya diskriminasi yang dilakukan oleh pemerintah dalam mengembangkan ke dua industri ini. Industri Kayu lapis mendapatkan prioritas dalam perkembangannya, sedangkan industri kayu gergajian sebaliknya.
Analisis Kebijakan dan Instrumen Ekonomi A. Kebijakan Pemerintah
Pemerintah melalui SK Menteri no 210/KMK.013/1989 dan no 1134/KMK/.013/1989 mengeluarkan kebijakan mengenai pajak ekspor kayu gergajian, yang kemudian disempurnakan dengan SK Menkeu no 534/KMK. 013/1992 tentang besarnya tarif dan tata cara pembayaran serta penyetoran pajak ekspor dan atau pajak tambahan. Kebijakan pemerintah tentang pajak ekspor dan harga minimum ekspor kayu gergajian tahun 1989 ini bertujuan untuk mendorong industri kayu lanjutan. Akan tetapi Industri kayu lanjutan yang diharapkan bisa berkembang dengan adanya kebijakan ini belum siap. Sebaliknya yang terjadi adalah kondisi industri kayu gergajian khususnya industri kayu gergajian rakyat banyak yang terancam, banyak industri kayu gergajian tidak bisa lagi mengekspor produk mereka dikarenakan tingginya biaya pajak ekspor yang telah ditetapkan pemerintah. Kondisi industri kayu gergajian menjadi semakin parah karena supply kayu gergajian didalam negeri yang sebelumnya bisa diekspor tidak dapat diserap sepenuhnya oleh konsumen dalam negeri. Industri kayu gergajian rakyat banyak yang beroperasi dengan produksi yang rendah. Persaingan yang semakin
(13)
besar pada pasar dalam negeri pada gilirannya menyebabkan industri kayu gergajian bertambah parah dan menghentikan produksinya.
Dengan adanya krisis ekonomi pada tahun 1997, Indonesia harus menandatangani kerjasama dengan IMF dalam hal bantuan keuangan. Salah satu memorandum RI-IMF di bidang kehutanan telah disepakati guna memperbaiki kinerja pengelolaan hutan di Indonesia yang lebih diarahkan ke arah mekanisme pasar bersaing dan meminimumkan hambatan ekspor. Hal ini tercermin dengan dikelurakannya Kepmenperindag no 30/HPP/Kep/1/1998 tentang pencabutan tata niaga ekspor kayu gergajian dan kayu olahan dan SK Menkeu no 241/KMK.01/1998 tentang besarnya tarif dan tata cara pembayaran serta penyetoran pajak ekspor atas beberapa komoditas tertentu, dimana mengandung kebijakan pengurangan pajak ekspor untuk kayu gergajian.
Keadaan sebaliknya terjadi pada industri kayu lapis. Adanya kebijakan larangan ekspor log pada tahun 1985 dan adanya subsidi awal bagi pendirian pabrik kayu lapis telah membantu perkembangan industri ini. Pajak ekspor yang diberlakukan untuk produk kayu lapispun relatif lebih ringan bila dibandingkan produk kayu gergajian. Adanya kebijakan pajak ekspor kayu gergajian menyebabkan bahan baku log hampir sebagian besar dialokasikan untuk memenuhi industri kayu lapis. Pengalokasian ini menyebabkan industri kayu lapis semakin meningkat.
Namun mulai tahun 1998 sampai sekarang produksi kayu gergajian dan kayu lapis cenderung terus mengalami penurunan, hal ini disebabkan semakin sedikitnya bahan baku untuk kedua industri tersebut dan makin banyak munculnya negara-negara produsen industri kayu yang menggunakan teknologi lebih maju sehingga bisa menekan harga jual produk industri kayunya. Hal ini diperparah dengan maraknya kayu illegal loging yang diselundupkan ke berbagai negara pesaing industri kehutanan indonesia.
(14)
B. Instrumen Ekonomi 1. pajak
Instrumen ekonomi pajak dimaksudkan untuk mendapatkan pemasukan bagi devisa Negara.
MC1
d P tax
P
f
g P *
b c
Q D = WTP
MC0
Q tax Q*
Gambar 1. Pengaruh instrumen pajak
Dari gambar di atas dapat dilihat bahwasannya dengan adanya tax menyebabkan kurva MC menjadi naik dari MC0 ke MC1, hal ini akan menyebabkan peningkatan
harga sebesar (P* – P tax ) dan penurunan jumlah unit barang yang diproduksi atau dikonsumsi sebesar (Q* – Q tax). Adanya pajak telah menyebabkan biaya total menjadi naik, dengan naiknya biaya total dalam memproduksi barang ini menyebabkan harga jual dari barang menjadi naik. Adanya pajak juga menyebabkan pemerintah mendapat pemasukan sebesar fbdg.
Penerapan instrumen ekonomi pajak seharusnya dilakukan secara adil dan tidak diskriminatif pada salah satu industri tertentu saja. Dengan demikian akan tercipta iklim persaingan industri yang sehat. Penerapan instrument ini harus dilakukan secara hati-hati, pajak yang ditetapkan jangan sampai justru
(15)
menghambat perkembangan industri kayu nasional yang lagi lesu. Kedepan kebijakan yang sebaiknya diambil adalah meminimumkan hambatan ekspor.
Penerapan instrument kebijakan pajak di masa mendatang sebaiknya dilakukan pada industri perkayuan primer sedangkan untuk industri perkayuan lanjutan (sekunder) pengenaan pajak dilakukan seminimal mungkin bahkan bila perlu diberikan insentif berupa pembebasan beban pajak. Hal ini dilakukan untuk mendorong perkembangan industri kayu lanjutan dan menekan jumlah industri kayu primer yang jumlahnya sekarang tidak sebanding dengan daya dukung bahan baku kayu.
2. Rasionalisasi Industri
Pengenaan instrumen pajak juga diharapkan dapat untuk menyeleksi industri perkayuan yang jumlahnya tidak seimbang dengan ketersediaan bahan baku log yang semakin menurun. Penerapan pajak yang adil pada masing-masing industri seharusnya dilakukan bertahap pengenaanya agar terjadi seleksi dinamis, ada “improvement of efficiency” yakni yang lemah akan berbenah untuk beralih usaha atau mati, yang kuat berbenah usaha terus hidup (Darusman, 1989).
Rasionalisasi industri pengolahan kayu. Industri pengolahan kayu Indonesia yang menjadikan industri kayu lapis sebagai primadona dimasa-masa mendatang sangat sulit dilakukan mengingat kondisi bahan baku yang kita miliki semakin menurun. Seharusnya pengembangan industri pengolahan kayu diarahkan kepada industri yang memiliki spektrum bahan baku luas dengan kualitas yang rendah, memiliki nilai tambah yang tinggi, ramah lingkungan serta tingkat teknologinya telah dikuasai dengan baik.
Dari penelitian yang telah dikembangkan oleh IPB pada tahun 1995 menunjukan bahwa industri kayu lapis mempunyai DRC (Domestic Resources Cost ) lebih tinggi ketimbang industri kayu gergajian. DRC adalah tingkat keefisienan dalam memanfaatkan sumberdaya domestic, semakin kecil DRC suatu produk maka produk tersebut dikatakan makin efisien. Dari penelitian tersebut menunjukan besarnya DRC kayu lapis sebesar Rp. 1.685,- sedangkan
(16)
untuk kayu gergajian sebesar Rp. 1.468,- yang berarti industri kayu gergajian lebih efisien dalam memanfaatkan mata uang asing. Sehingga jika DRC ini dijjadikan salah satu kriteria dalam pengembangan industri kehutanan maka industri kayu gergajian seharusnya menjadi prioritas.
Restrukturisasi industri perkayuan di Indonesia diarahkan kepada tercipatanya jumlah industri yang sebanding dengan kemamapuan bahan baku kayu, efisien dalam pemanfaatan bahan baku, ramah lingkungan serta mendorong pengembangan industri kayu lanjutan.
3. Peningkatan R and D
Peranan R & D lebih luas jika dibandingkan dengan instrument ekonomi lainnya, yakni tidak ada meningkatkan atau mengurangi aktivitas kehutanan (Q, dan akibatnya P) tetapi yang lebih penting adalah meningkatkan efisiensi dan aktivitas kehutanan itu sendiri. Peningkatan efisiensi dicapai R & D melalui :
a. Meningkatkan kegunaan (utility, value) atau benfit
b. Menurunukan cost, termasuk penggunaan input sumberdaya, atau menurunkan MC (dari gambar MC0 ke MC1)
c. Mengurangi disturbance
d. New product and services, baik mengadakan maupun hanya sekedar mengenali (Darusman, 2002).
(17)
P
MC1
MC0
P0
P1
Q0 Q1 Q
Gambar 2. Pengaruh instrumen R and D
Dengan adanya kegiatan R and D diharapkan akan ditemukan teknologi-teknologi baru dalam pengolahan kayu sebagai bahan baku industri. Industri pengolahan kayu dapat memanfaatkan jenis-jenis kayu yang tergolong lesser used species/lesser known species, jenis-jenis kayu berdiameter kecil (kurang dari 50 cm). Sehingga diharapkan industri kehutanan di masa mendatang lebih mengefisiensikan bahan baku kayu. Untuk itu pemerintah diharapkan dapat membantu dari segi kebijakan dan perundang-undangan yang mendukung.
Guna mengurangi tingginya demand kayu, khususnya terhadap kayu-kayu berdiameter besar dan berkualitas tinggi, maka perlu diupayakan pengembangan industri pengolahan kayu yang efisien dalam pemanfaatan bahan baku, memiliki spektrum bahan baku yang luas, serta memiliki nilai tambah yang tinggi. Bagi industri-industri kayu yang tidak mampu mengembangkan teknologinya lewat kegiatan R and D sudah barang tentu akan kalah bersaing karena tidak bisa mengefisiensikan pemakaian bahan baku log yang semakin langka.
(18)
4. Pemantauan Bahan Baku industri Kehutanan
Bahan baku kayu untuk industri kehutanan harus berasal dari pengusahaan hutan yang telah mendapat sertifikasi ekolabelling. Hal ini dimaksudkan untuk memenuhi permintaan konsumen dunia akan produk yang ramah lingkungan dan berasal dari pengelolaan hutan yang lestari. Untuk itu upaya pemberantasan illegal logging dan perbaikan sistim pengusahaan hutan produksi lestari harus terus dilakukan.
C. Kaitannya dengan kebijakan lain
Instrumen-instrumen ekonomi yang digunakan untuk mengatasi permasalahan industri kehutanan melalui Kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah tidak bisa lepas dari faktor politik. Adanya penghambatan perkembangan salah satu industri perkayuan nasional dalam hal ini industri kayu gergajian sementara dilain pihak industri kayu lapis didukung perkembangannya, menunjukan adanya faktor politik dibelakang dikeluarkannya berbagai kebijakan pemerintah. Faktor politik ini jelas hanya menguntungkan pihak tertentu saja, yakni pihak-pihak yang dekat dengan sumbu kekuasaan. Industri kayu gergajian yang notabene banyak dikembangkan oleh rakyat kurang mendapatkan perhatian, sementara industri kayu lapis yang hanya dikuasai oleh beberapa konglomerat besar lebih diutamakan oleh pihak pemerintah.
Kebijakan ekonomi di bidang industri kehutanan harus diikuti dengan kemauan law enforcement dari pemerintah dalam hal pengelolaan hutan. Pemerintah diharapkan dapat menekan terjadinya KKN yang terbukti telah mengakibatkan high cost economic dan penguatan institusi kelembagaan yang mengatur pengelolaan hutan Disamping itu, industri-industri yang memang secara ekonomi sudah benar-benar tidak bisa lagi bersaing harus dibiarkan tutup. Dengan demikian pemerintah tidak perlu lagi mengeluarkan biaya dan kerja keras untuk mengurangi jumlah industri kehutanan, karena industri-industri tersebut akan terseleksi secara mekanisme pasar.
(19)
Penutup
Dengan diberlakukannya era ekolabelling di sektor kehutanan, maka sistim pengelolaan hutan alam produksi lestari dan industri kehutanan harus berbenah diri untuk memperbaiki kinerjanya agar produk yang dihasilkannya dapat dietrima oleh konsumen dunia yang meminta persyaratan green product. Peran pemerintah sebagai pemegang kebijakan dalam menentukan instrument ekonomi sangatlah besar, penerapan instrument ekonomi akan bisa berlaku efektif jika diiringi dengan penegakan hokum (law enforcement) kepada semua pihak yang terkait dengan sisitim pengusahaan kehutanan.
(20)
Daftar Pustaka
Baharuddin, H.G. & M. Simula. 1994. Certification Schemes for All Timber Products. Working party on Certification of All Timber and Timber Products. Columbia.
Bass, S & M. Simula. 1999. Independent Certification/verification of Forest Management. Background Paper for The World Bnak / WWF Allaince Workshop. Washinton D.C.
Bennett, C, A. Septiani, and J. Elliot. 1997. Forest Certification and Ecolabelling of Indonesian Forest Products. Prospects and Policy Challenges. Natural Resources manajemen Project. Bappenas-Ministry of Forestry. Assisted by USAID.
Darusman, D. 2002. Pembenahan Kehutanan Indonesia. Dokumentasi Kronologis Tulisan 1986 – 2002. Lab Politik Ekonomi dan Sosial Kehutanan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
FWI/GFW. 2001. Potret Keadaan Hutan Indonesia. Bogor, Indonesia : Forest Watch Indonesia dan Washinton D.C. Global Forest Watch.
Hasan, M. 1994. Profil Industri Kayu Nasional Dewasa Ini. Bahan Ceramah Pembekalan Mahasiswa Fakultas Kehutanan Universitas Winaya Mukti Bandung. Asosiasi Panel Kayu Indonesia
LEI. 1998. Naskah Akademis Sistem Sertifikasi Pengelolaan Hutan Produksi Lestari.
Massijaya, M.Y. 2000. Upaya Industri Pengolahan Kayu Indonesia Ditinjau dari Sudut Ketersediaan Bahan Baku. Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan IPB.
Napitupulu, Jon M.P. 1995. Analisa Nilai Tambah dan Biaya Sumberdaya Domestik Pada Industri Kayu Gergajian dan Industri Kayu Lapis di Indonesia. Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Skripsi Mahasiswa tidak diterbitkan.
Salim, E. U. Djalins and A. Suntana. 1997. Trade and Timber Certification International Setting and Indonesian Experience (Forest Product Trade and Certification : an Indonesian Scheme).
(21)
(1)
untuk kayu gergajian sebesar Rp. 1.468,- yang berarti industri kayu gergajian lebih efisien dalam memanfaatkan mata uang asing. Sehingga jika DRC ini dijjadikan salah satu kriteria dalam pengembangan industri kehutanan maka industri kayu gergajian seharusnya menjadi prioritas.
Restrukturisasi industri perkayuan di Indonesia diarahkan kepada tercipatanya jumlah industri yang sebanding dengan kemamapuan bahan baku kayu, efisien dalam pemanfaatan bahan baku, ramah lingkungan serta mendorong pengembangan industri kayu lanjutan.
3. Peningkatan R and D
Peranan R & D lebih luas jika dibandingkan dengan instrument ekonomi lainnya, yakni tidak ada meningkatkan atau mengurangi aktivitas kehutanan (Q, dan akibatnya P) tetapi yang lebih penting adalah meningkatkan efisiensi dan aktivitas kehutanan itu sendiri. Peningkatan efisiensi dicapai R & D melalui :
a. Meningkatkan kegunaan (utility, value) atau benfit
b. Menurunukan cost, termasuk penggunaan input sumberdaya, atau menurunkan MC (dari gambar MC0 ke MC1)
c. Mengurangi disturbance
d. New product and services, baik mengadakan maupun hanya sekedar mengenali (Darusman, 2002).
(2)
P
MC1
MC0
P0
P1
Q0 Q1 Q
Gambar 2. Pengaruh instrumen R and D
Dengan adanya kegiatan R and D diharapkan akan ditemukan teknologi-teknologi baru dalam pengolahan kayu sebagai bahan baku industri. Industri pengolahan kayu dapat memanfaatkan jenis-jenis kayu yang tergolong lesser used species/lesser known species, jenis-jenis kayu berdiameter kecil (kurang dari 50 cm). Sehingga diharapkan industri kehutanan di masa mendatang lebih mengefisiensikan bahan baku kayu. Untuk itu pemerintah diharapkan dapat membantu dari segi kebijakan dan perundang-undangan yang mendukung.
Guna mengurangi tingginya demand kayu, khususnya terhadap kayu-kayu berdiameter besar dan berkualitas tinggi, maka perlu diupayakan pengembangan industri pengolahan kayu yang efisien dalam pemanfaatan bahan baku, memiliki spektrum bahan baku yang luas, serta memiliki nilai tambah yang tinggi. Bagi industri-industri kayu yang tidak mampu mengembangkan teknologinya lewat kegiatan R and D sudah barang tentu akan kalah bersaing karena tidak bisa mengefisiensikan pemakaian bahan baku log yang semakin langka.
(3)
4. Pemantauan Bahan Baku industri Kehutanan
Bahan baku kayu untuk industri kehutanan harus berasal dari pengusahaan hutan yang telah mendapat sertifikasi ekolabelling. Hal ini dimaksudkan untuk memenuhi permintaan konsumen dunia akan produk yang ramah lingkungan dan berasal dari pengelolaan hutan yang lestari. Untuk itu upaya pemberantasan
illegal logging dan perbaikan sistim pengusahaan hutan produksi lestari harus terus dilakukan.
C. Kaitannya dengan kebijakan lain
Instrumen-instrumen ekonomi yang digunakan untuk mengatasi permasalahan industri kehutanan melalui Kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah tidak bisa lepas dari faktor politik. Adanya penghambatan perkembangan salah satu industri perkayuan nasional dalam hal ini industri kayu gergajian sementara dilain pihak industri kayu lapis didukung perkembangannya, menunjukan adanya faktor politik dibelakang dikeluarkannya berbagai kebijakan pemerintah. Faktor politik ini jelas hanya menguntungkan pihak tertentu saja, yakni pihak-pihak yang dekat dengan sumbu kekuasaan. Industri kayu gergajian yang notabene banyak dikembangkan oleh rakyat kurang mendapatkan perhatian, sementara industri kayu lapis yang hanya dikuasai oleh beberapa konglomerat besar lebih diutamakan oleh pihak pemerintah.
Kebijakan ekonomi di bidang industri kehutanan harus diikuti dengan kemauan law enforcement dari pemerintah dalam hal pengelolaan hutan. Pemerintah diharapkan dapat menekan terjadinya KKN yang terbukti telah mengakibatkan high cost economic dan penguatan institusi kelembagaan yang mengatur pengelolaan hutan Disamping itu, industri-industri yang memang secara ekonomi sudah benar-benar tidak bisa lagi bersaing harus dibiarkan tutup. Dengan demikian pemerintah tidak perlu lagi mengeluarkan biaya dan kerja keras
(4)
Penutup
Dengan diberlakukannya era ekolabelling di sektor kehutanan, maka sistim pengelolaan hutan alam produksi lestari dan industri kehutanan harus berbenah diri untuk memperbaiki kinerjanya agar produk yang dihasilkannya dapat dietrima oleh konsumen dunia yang meminta persyaratan green product. Peran pemerintah sebagai pemegang kebijakan dalam menentukan instrument ekonomi sangatlah besar, penerapan instrument ekonomi akan bisa berlaku efektif jika diiringi dengan penegakan hokum (law enforcement) kepada semua pihak yang terkait dengan sisitim pengusahaan kehutanan.
(5)
Daftar Pustaka
Baharuddin, H.G. & M. Simula. 1994. Certification Schemes for All Timber Products. Working party on Certification of All Timber and Timber Products. Columbia.
Bass, S & M. Simula. 1999. Independent Certification/verification of Forest Management. Background Paper for The World Bnak / WWF Allaince Workshop. Washinton D.C.
Bennett, C, A. Septiani, and J. Elliot. 1997. Forest Certification and Ecolabelling of Indonesian Forest Products. Prospects and Policy Challenges. Natural Resources manajemen Project. Bappenas-Ministry of Forestry. Assisted by USAID.
Darusman, D. 2002. Pembenahan Kehutanan Indonesia. Dokumentasi Kronologis Tulisan 1986 – 2002. Lab Politik Ekonomi dan Sosial Kehutanan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
FWI/GFW. 2001. Potret Keadaan Hutan Indonesia. Bogor, Indonesia : Forest Watch Indonesia dan Washinton D.C. Global Forest Watch.
Hasan, M. 1994. Profil Industri Kayu Nasional Dewasa Ini. Bahan Ceramah Pembekalan Mahasiswa Fakultas Kehutanan Universitas Winaya Mukti Bandung. Asosiasi Panel Kayu Indonesia
LEI. 1998. Naskah Akademis Sistem Sertifikasi Pengelolaan Hutan Produksi Lestari.
Massijaya, M.Y. 2000. Upaya Industri Pengolahan Kayu Indonesia Ditinjau dari Sudut Ketersediaan Bahan Baku. Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan IPB.
Napitupulu, Jon M.P. 1995. Analisa Nilai Tambah dan Biaya Sumberdaya Domestik Pada Industri Kayu Gergajian dan Industri Kayu Lapis di Indonesia. Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Skripsi Mahasiswa tidak diterbitkan.
Salim, E. U. Djalins and A. Suntana. 1997. Trade and Timber Certification International Setting and Indonesian Experience (Forest Product Trade and Certification : an Indonesian Scheme).
(6)