HAMBATAN NON TARIF DALAM PERDAGANGAN INT

ATURAN SANITARY AND PHYTOSANITARY MEASURES (SPS) SEBAGAI
HAMBATAN NON-TARIF DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL
Oleh :
Wahono Diphayana

Pendahuluan
Hambatan dalam perdagangan internasional secara umum dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu

hambatan dalam bentuk tarif dan non-tarif. Tarif adalah

pembebanan pajak atau custom duties terhadap barang-barang yang melewati
batas suatu negara. Hambatan dalam bentuk tarif secara umum dibagi menjadi
tiga, yaitu bea impor (import duties), bea ekspor (export duties) dan bea transito
(transit duties).

Bea Impor adalah pajak atau bea yang dikenakan terhadap

barang yang masuk dalam wilayah pabean (custom area) suatu negara yang
merupakan tujuan akhir Bea ekspor adalah pajak atau bea yang dikenakan
terhadap barang yang diangkut menuju negara lain. Bea transito adalah pajak

atau bea yang dikenakan terhadap barang yang melalui wilayah suatu negara
dengan tujuan negara lain.
Hambatan non-tarif dalam perdagangan internasional dewasa ini cukup banyak,
di antaranya termasuk masalah anti dumping, lingkungan (ekolabel), ketentuan
sanitary and phytosanitary, standar (technical barriers to trade), mutu, dan
selera.
Di dunia internasional, sebagai anggota World Trade Organization (WTO),
Indonesia menjadi salah satu penandatangan General Agreement on Tariffs and
Trade (GATT) pada tanggal 15 April 1994 di Marrakesh, Maroko. Salah satu
kesepakatan di dalam GATT yang terkait masalah kesehatan adalah Agreement
on the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS). Dewasa ini

1

aturan menyangkut SPS telah menjadi hambatan non-tarif yang penting dalam
perdagangan internasional, terutama untuk produk pertanian.
Dalam tulisan ini akan dibahas apakah aturan SPS itu, hak dan kewajiban utama
anggota WTO menyangkut SPS, prinsip utama SPS, dan implikasinya dalam
perdagangan internasional.
Aturan Sanitary and Phytosanitary (SPS)

Sanitary adalah kesehatan manusia dan hewan, sedangkan phytosanitary
adalah kesehatan tumbuhan atau tanaman. Aturan SPS merupakan salah satu
kesepakatan, yaitu Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary
Measures, yang ditandatangani Indonesia dalam kerangka General Agreement
on Tariffs and Trade (GATT) pada tanggal 15 April 1994 di Marrakesh, Maroko,
yang ditindaklanjuti dengan pembentukan World Trade Organization (WTO) pada
tanggal 1 Januari 1995b (GATT Secretariat, 1994).
Kesepakatan SPS berlaku dan mengikat secara global, karena kesepakatan ini
merupakan salah satu kesepakatan (agreement) yang disepakati oleh seluruh
negara anggota WTO. Indonesia telah meratifikasi perjanjian tersebut dan
mengundangkannya dalam hukum positif Indonesia. Regulasi ini tertuang dalam
UU No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World
Trade Organization (Badan Karantina Pertanian, 2006).

Kesepakatan SPS pada intinya merupakan kesepakatan yang menyangkut
masalah kesehatan dan perdagangan internasional. Dari aspek kesehatan, SPS
merupakan tindakan yang dilakukan untuk melindungi kehidupan

atau


kesehatan manusia, hewan dan tumbuhan :


dari resiko yang ditimbulkan oleh masuknya, pembentukan atau
penyebaran dari hama, penyakit, organisme pembawa penyakit atau
organisme penyebab penyakit;

2



dari resiko yang ditimbulkan oleh bahan tambahan makanan (additives),
kontaminan, racun atau organisme penyebab penyakit yang terkandung
dalam makanan, minuman atau bahan makanan;



dari penyakit-penyakit yang dibawa oleh hewan, tumbuhan atau produk
yang dibuat daripadanya; dan




mencegah atau membatasi bahaya atau kerugian lainnya di dalam
wilayah negara anggota dari masuknya, pembentukan atau penyebaran
hama.

Aspek kesehatan dari kesepakatan SPS pada dasarnya mempunyai arti bahwa
anggota WTO dapat melakukan tindakan untuk melindungi kehidupan manusia,
hewan

dan

tumbuhan

dengan

menerapkan

ketentuan-ketentuan


untuk

mengelola risiko yang berhubungan dengan impor-ekspor, yang biasanya dalam
bentuk persyaratan karantina dan keamanan pangan. Ketentuan ini dapat
diklasifikasikan sebagai sanitari (terkait dengan kehidupan dan kesehatan
manusia dan hewan) dan fitosanitari (terkait dengan kehidupan atau kesehatan
tumbuhan), yang biasa disebut sebagai ketentuan SPS.
Aspek perdagangan internasional dalam kesepakatan SPS menyatakan bahwa
dalam usaha melindungi kesehatan manusia, hewan dan tumbuhan, anggota
WTO tidak seharusnya menggunakan ketentuan SPS yang tidak diperlukan,
tidak didasarkan pada pertimbangan ilmiah, tidak mengada-ada, atau secara
tersamar membatasi perdagangan internasional.
Kesepakatan SPS dijalankan oleh the SPS Committee (Komite SPS), dimana
semua anggota WTO dapat berpartisipasi. Komite SPS merupakan forum
konsultasi anggota WTO yang secara regular bertemu membahas permasalahan
terkait SPS.

3

Hak dan Kewajiban Utama Anggota WTO Menyangkut SPS

Hak dan kewajiban utama anggota WTO menyangkut SPS adalah sebagai
berikut.
a. Anggota mempunyai hak untuk menjalankan ketentuan sanitary dan
phytosanitay yang diperlukan untuk melindungi kehidupan atau kesehatan
manusia, hewan, atau tumbuhan selama ketentuan tersebut tidak
bertentangan dengan persyaratan yang ada dalam kesepakatan SPS.
b. Anggota akan menjamin bahwa ketentuan sanitary dan phytosanitary
diterapkan hanya untuk kepentingan menjaga kehidupan atau kesehatan
manusia, hewan, atau tumbuhan didasarkan pada kaidah-kaidah ilmiah,
dan tidak diberlakukan tanpa adanya bukti ilmiah yang cukup.
c. Anggota akan menjamin tidak akan menerapkan ketentuan sanitary dan
phytosanitary secara sewenang-wenang atau melakukan diskriminasi
antar anggota apabila kondisi yang sama terpenuhi, termasuk antara
wilayah sendiri dengan wilayah anggota lain. Ketentuan sanitari dan
fitosanitari tidak akan diterapkan dengan tujuan tersembunyi untuk
membatasi perdagangan internasional.
d. Ketentuan sanitary dan phytosanitary yang sesuai dengan persyaratan
yang relevan dalam kesepakan ini akan dijalankan sesuai dengan
kewajiban anggota.
Prinsip Utama SPS

Prinsip utama dalam kesepakatan SPS adalah harmonisasi, kesetaraan, tingkat
perlindungan yang sesuai (appropriate level of protection, ALOP), penilaian
risiko, kondisi regional dan transparansi.
a. Harmonisasi
Anggota WTO berhak menetapkan ketentuan SPS untuk negara masingmasing dengan mengacu pada persyaratan yang ada dalam kesepakatan

4

SPS. Namun demikian, dalam menetapkan ketentuan SPS anggota WTO
diharapkan berpedoman pada standar internasional, pedoman dan
rekomendasi yang ada agar prinsip harmonisasi dapat dicapai. Terdapat
tiga lembaga internasional yang menyusun standar internasional,
pedoman dan rekomendasi. Lembaga tersebut adalah :




International Plant Protection Convention (IPPC) yang menangani
masalah kesehatan tumbuhan;
World


Organization

for

Animal

Health

atau

Organization

Internationale de Ephyzootic (OIE) yang menangani masalah


kesehatan hewan; dan
Codex

Alimentarius


Commission

(Codex),

yang

menangani

masalah keamanan pangan.
b. Kesetaraan
Kesepakatan SPS mensyaratkan bahwa negara pengimpor menerima
ketentuan SPS negara pengekspor untuk menjaga prinsip kesetaraan
selama negara pengekspor secara obyektif menunjukkan pada negara
pengimpor bahwa semua ketentuan SPS yang dijalankan mencapai ALOP
negara pengimpor. Kesepahaman tentang kesetaraan dapat dicapai
melalui konsultasi bilateral dan berbagi informasi teknis.
c. Tingkat Perlindungan Yang Sesuai (Appropriate Level of Protection,
ALOP)
Tingkat perlindungan yang sesuai (ALOP) adalah tingkat perlindungan

yang dianggap sesuai oleh anggota WTO untuk melindungi kehidupan
atau kesehatan manusia, hewan, atau tumbuhan dalam wilayahnya.
Masing-masing anggota WTO mempunyai hak untuk menetapkan ALOP
bagi

negaranya.

mempertimbangkan

Namun
untuk

demikian,

setiap

meminimalkan

efek


anggota
negatif

perlu

terhadap

perdagangan.

5

d. Penilaian Risiko
Kesepakatan SPS mensyaratkan anggota WTO untuk mendasarkan
ketentuan SPS mereka pada hasil penilaian risiko, sesuai dengan kondisi
yang ada.
disyaratkan

Dalam melaksanakan penilaian
untuk

menggunakan

teknik

risiko,
penilaian

anggota

WTO

risiko

yang

dikembangkan oleh organisasi internasional yang relevan.
e. Kondisi Regional
Kesepakatan SPS mensyaratkan anggota WTO untuk menyesuaikan
ketentuan SPS mereka dengan kondisi regional dari mana produk berasal
dan kemana produk ditujukan. Kondisi regional diartikan sebagai
karakteristik SPS suatu wilayah geografis yang dapat merupakan seluruh
wilayah dari suatu negara, sebagian wilayah dari suatu negara, dan
seluruh atau sebagian wilayah

dari beberapa negara. Hal ini dapat

mempengaruhi besar kecilnya risiko terhadap kehidupan atau manusia ,
hewan, atau tumbuhan. Secara khusus, anggota WTO disyaratkan untuk
menyampaikan informasi tentang konsep area bebas OPT (pest/disease
free areas) atau area dengan kejadian OPT rendah (areas of low
pest/disease prevalence).

f. Transparansi
Prinsip transparansi mensyaratkan anggota WTO untuk menyediakan
informasi tentang ketentuan SPS mereka dan menyampaikannya apabila
ada perubahan dalam ketentuan tersebut. Anggota WTO juga disyaratkan
untuk mempublikasikan peraturan SPS mereka.

Anggota WTO berhak menetapkan ketentuan SPS untuk negara masing-masing
dengan mengacu pada persyaratan yang ada dalam kesepakatan SPS. Namun
demikian, dalam menetapkan ketentuan SPS anggota WTO diharapkan
berpedoman pada standar internasional, pedoman dan rekomendasi yang ada.

6

Implikasi Dalam Perdagangan Internasional
Walaupun

selalu

dikatakan

bahwa

tujuan

pembentukan

WTO

dan

dilaksanakannya perdagangan bebas adalah untuk mengurangi berbagai
hambatan perdagangan dalam bentuk tarif dan non tarif, tetapi dalam
kenyataannya walaupun hambatan tarif dalam bentuk bea masuk sudah turun
atau bahkan nol persen, akan tetapi hambatan non tarif, termasuk aturan
sanitary dan phytosanitary telah menjadi hambatan perdagangan yang penting
dewasa ini. Aturan SPS yang diterapkan oleh berbagai negara, saat ini telah
menjadi hambatan non-tarif yang utama di dalam perdagangan internasional,
terutama untuk produk-produk pertanian.
Dalam upaya meningkatkan daya saing produk ekspor Indonesia di pasar
internasional,

mau tidak mau Indonesia harus mengikuti dan memenuhi

berbagai standar internasional terkait masalah sanitary dan phytosanitary, yang
artinya harus bebas dari berbagai bahan aditif, kontaminan, hama dan penyakit
yang dapat merugikan bukan hanya kesehatan manusia tapi juga kesehatan
hewan dan tumbuhan.
Bahan makanan dan produk pertanian yang dibawa dari luar negeri dapat
menjadi awal bencana Bahan makanan dan produk pertanian tersebut dapat
menjadi media pembawa spesies asing. Masuknya spesies asing ke Indonesia
dapat menjadi hama bagi pertanian Indonesia atau menjadi perusak lingkungan.
Bencana akan muncul karena serangan hama tersebut dapat menurunkan
produksi, menurunkan kualitas, meningkatkan biaya pengendalian, merusak
lingkungan, dan merusak kelestarian sumber daya pertanian, yang seringkali
menimbulkan dampak yang sangat luas terhadap stabilitas ekonomi dan
ketahanan pangan nasional.

7

Produk ekspor Indonesia banyak mengalami kendala di luar negeri karena
penerapan aturan SPS oleh negara pengimpor. Sebagai contoh, menurut Badan
Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN), hambatan umum perdagangan
Indonesia dengan Australia di antaranya disebabkan oleh

permasalahan

kontaminasi mikrobiologi, low-acid canned foods, residu pestisida, additives,
kontaminan, toksin, hormon dan antibiotik (Depkominfo, 2007).
Menurut

Ketua

(Askesmavet),

Asosiasi

Kesehatan

Masyarakat

Veteriner

Indonesia

produk ternak Indonesia ditolak oleh Singapura, Jepang dan

Mesir karena sarana Rumah Pemotongan Hewan (RPH) yang tidak memenuhi
persyaratan hygiene-sanitasi karena kurangnya perawatan alat dan bangunan.
Produk daging unggas dan olahannya ditolak masuk Singapura dan Jepang
karena terganjal wabah flu burung di Indonesia dan tidak efektifnya sistem
pengawasan keamanan pangan asal hewan (KOMPAS.com, 14 April 2008).
Menurut Dirjen Hortikulktura, Deptan, ekspor buah dan sayuran Indonesia
terhambat dikarenakan harus memenuhi persyaratan mutu, keamanan pangan
dan SPS, disamping harus memenuhi sistem budidaya pertanian yang baik
(good agricultural practices atau GAP) (KOMPAS.com, 10 Oktober 2009). Akibat
adanya berbagai jenis hama lalat buah, berbagai jenis buah-buahan dan sayuran
Indonesia ditolak memasuki pasar Australia, New Zealand, Jepang, Korea
Selatan, Uni Eropa, China dan lain-lain. Terdapat beberapa jenis lalat buah
Indonesia yang belum ada di negara-negara tersebut yang sangat ditakuti
karena dampak kerusakan yang dapat ditimbulkannya pada perkebunan buahbuahan dan sayuran,

seperti hama lalat buah

Bactrocera dorsalis dan

Bactrocera cucurbitae (Diphayana, 2009).

Indonesia juga menolak berbagai produk impor dari luar negeri karena alasan
SPS. Sebagai contoh, kita menolak produk susu dari China dikarenakan
mengandung melamin. Kita juga menolak produk susu dari Uni Eropa karena
adanya penyakit sapi gila di sana.

8

Larangan pemasukan daging sapi oleh Indonesia, bukan hanya dari negara yang
tertular penyakit sapi gila tapi juga dari negara yang tertular penyakit mulut dan
kuku (foot and mouth disease). Padahal sebagian besar negara di dunia
penghasil ternak telah tertular penyakit ini. Akibatnya, sampai saat ini, untuk
memenuhi kebutuhan daging dan ternak, khususnya sapi, di dalam negeri,
Indonesia hanya mengimpor dari negara-negara yang masih bebas penyakit
mulut dan kuku dan sapi gila, yaitu Australia, New Zealand dan Amerika Serikat,
dan secara terbatas dari Brazil. Hal ini menyebabkan ketergantungan Indonesia
yang sangat besar terutama kepada negara Australia dan New Zealand dalam
impor ternak dan daging sapi.
Dalam rangka pengawasan pangan segar asal tumbuhan agar aman dari
cemaran kimia, residu pestisida, cemaran mikotoksin dan logam berat, agar tidak
melebihi batas maksimum sehingga aman dan layak dikonsumsi, terhitung sejak
tanggal 19 Nopember 2009 diberlakukan Peraturan Menteri Pertanian (PMP) No.
27/2009 tentang Pengawasan Keamanan Pangan Terhadap Pemasukan dan
Pengeluaran Pangan Segar Asal Tumbuhan.
Dalam upaya meningkatkan daya saing produk ekspor Indonesia di pasar
internasional,

mau tidak mau Indonesia harus mengikuti dan memenuhi

berbagai standar internasional terkait masalah SPS dan memenuhi aturan SPS
yang diterapkan negara pengimpor, yang artinya harus bebas dari berbagai
bahan aditif, kontaminan, hama dan penyakit yang dapat merugikan bukan
hanya kesehatan manusia tapi juga kesehatan hewan dan tumbuhan.
Kita juga tidak mungkin membiarkan berbagai jenis produk impor bebas masuk
ke Indonesia tanpa memenuhi standar SPS dan aturan SPS yang telah kita
tetapkan, sementara di lain pihak ekspor kita

ke luar mengalami berbagai

hambatan atau penolakan karena dianggap tidak memenuhi standar dan aturan
SPS.

9

Daftar Bacaan
Badan Karantina Pertanian. 2006. Perjanjian Sanitary & Phytosanitary Measures.
Badan Karantina Pertanian, Jakarta.
Depkominfo. 6 Agustus 2007. “Penyebab Hambatan Pangan IndonesiaAustralia”. http://web.dev.depkominfo.go.id/blog/2007
Diphayana, W. 2009. Karantina Tumbuhan di Indonesia. Lantana Camara,
Jakarta.
GATT Secretariat. 1994. The Results of the Uruguay Round of Multilateral Trade
Negotiations. GATT Secretariat, Geneva.
KOMPAS.com. 14 April 2008.”Ternak Indonesia masih susah bersaing”,
http://www.kompas.com/read/xml
KOMPAS.com.
10
Oktober
2009.
ekspor”.http://cetak.kompas.com/read/xml

“Nontarif

jadi

kendala

Peraturan Menteri Pertanian (PMP) No. 27/2009 tentang Pengawasan
Keamanan Pangan Terhadap Pemasukan dan Pengeluaran Pangan Segar Asal
Tumbuhan.

10