15
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Sensor Resistance wire
Sifat fisik sensor Resistance wire yaitu memiliki resistansi tinggi dan sukar
teroksidasi. Sensor resistance wire tersebut dimaksudkan dapat memberikan informasi
tinggi muka air dalam bentuk perubahan resistan. Nilai resistansi yang dihasilkan
tergantung dari jenis bahan, ukuran dan panjang resistance wire.
Dilihat dari bahan, bentuk dan fungsinya terdapat banyak jenis resistance
wire, namun
untuk mendapatkannya
mengalami kesulitan,
hal tersebut
merupakan alasan
pemilihan sensor
menggunakan resistance wire Fuji Japan jenis FCHW2 karena resistance wire jenis
ini lebih mudah didapatkan.
Gambar 27. Fuji Resistance Wire FCHW2
Resistance wire Fuji Japan jenis FCHW2, terbuat dari bahan Cr AL BAL. Fe
dengan unsur utama Besi Fe dan unsur pemadu Chrome Cr 21 dan Almunium
Al 3 . Resistance wire jenis FCHW2 berbentuk kawat round wire silinder
dengan ukuran 0.1 mm +- 0.02 mm dengan nilai resistansi 157 ohm per meter
+- 7 – 9
4.2 Prinsip kerja Sensor
Dua elektroda
dengan nilai
resistansi hampir sama yang merupakan kawat sensor resistance wire dililit sejajar
pada media tegak pipa PVC dengan jarak yang sama, jika terendam air maka resistensi
kawat sensor tersebut akan terhubungkan short dengan resistansi air. Resistansi air
dapat diabaikan jika nilai resistansi sensor tinggi dan jarak antar kawat sensor sangat
dekat sehingga nilai pada resistansi yang dihasilkan sensor adalah jumlah resistansi
dari kedua sensor tersebut rangkaian seri.
Perubahan ketinggian
air memberikan
perubahan resistansi
pengukuran sensor, pada muka air yang tinggi mengakibatkan semakin kecil nilai
resistansi yang dihasilkan dan sebaliknya pada muka air yang rendah memberikan
nilai resistansi yang tinggi.
Gambar 28. Proses Resistansi Sensor
Nilai Resistansi yang dihasilkan dari
sensor, dibangkitkan
sehingga memperoleh nilai ketukan dan informasi
yang digunakan adalah pada saat transient saja, yaitu pada saat lompatan tegangan
rendah ke tinggi. Pada rangkaian IC 555 pengendalian pulsa dioptimumkan pada
perubahan R circuit yang dihubungkan dengan R sensor secara seri. Pembangkit
pulsa
secara terus-menerus
disebut multivibrator astable yang menggunakan
tipe 555 triple five Rangkaian multivibrator astable
berfungsi menentukan ketukan secara tundaan waktu. Fungsi yang diharapkan
adalah perubahan
resistansi hasil
pengukuran sensor yang diikuti dengan perubahan frekuensi. Fungsi frekuensi dari
IC 555 memberikan perubahan nilai tinggi muka air berbanding terbalik dengan nilai
resistansi hasil pengukuran, sehingga pada penelitian ini nilai perubahan pada Tinggi
Muka Air TMA berbanding terbalik dengan
nilai resistansi
sensor yang
dihasilkan.
4.3 Ketahanan Korosi
Pengujian Resistance wire FCHW2 dalam keadaan terhubung dengan oscillator
terhadap air PDAM yang dilakukan selama 7 bulan yaitu sejak tanggal 12 Agustus 2007
hingga Januari 2008, dan pada air garam terdapat 2 perlakuan yaitu tereksitensi dan
tidak tereksitensi yang dilakukan selama 5 bulan yaitu sejak tanggal 8 September 2007
hingga Januari 2008.
Gambar 29. Uji KetahananKorosi
R Sensor 1 R Sensor 2
R Air
16
Hasil uji terhadap ketahanan korosi pada resistance wire jenis FCHW2 yaitu
pada batas antar udara dan permukaan air terlihat perubahan warna gelap pada kawat
tersebut. Ini dikarenakan pada bagian tersebut terjadi perubahan antara kering dan
basah, daerah basah yang berdekatan dengan udara menerima oksigen lebih banyak
dibandingkan pada daerah ditengah butiran air yang kurang kadar oksigennya.
Gambar 30. Hasil Uji Ketahanan Korosi
4.4 Simulasi Sensor
Semakin kecil ukuran resistace wire maka nilai resistansinya semakin tinggi.
Semakin tinggi nilai yang dihasilkan sensor maka semakin terabaikan nilai resistansi air.
Diasumsikan nilai resistansi sensor yang dibutukan adalah 60k Ohm, resistansi air
fresh 200 ohm
Gambar 31. Simulasi Pembuatan Sensor
Diasumsikan ketinggian
sungai pada umumnya 3 meter sehingga panjang
pipa sensor yang dibutuhkan 3 meter. Metode yang digunakan adalah metode
lilitan 2 kawat sensor dalam 1 pipa maka kawat sensor diameter 0.1 mm dengan R 157
per meter membutuhkan panjang 382.2 ≈ 383 meter, jadi panjang masing-masing
sensor 191.5 meter. Untuk jarak lilitan antar sensor 0.5 mm maka diameter pipa yang
dibutuhkan adalah 2.4 cm atau 0.9 ≈ 1 inchi. Metode lilitan digunakan dalam
penelitian ini karena kawat resistance wire yang digunakan sangat panjang dan tidak
sebanding dengan kebutuhan panjang sensor yang disesuaikan dengan rata-rata ketinggian
sungai 3 meter.
4.5 Pembuatan Sensor
Pipa PVC sebagai media yang dililit dan proses penggulungan secara
manual. Permukaan
pipa yang
licin menyebabkan mudahnya perubahan posisi
kawat dalam
penggulungan, hal
ini mengakibatkan jarak antara lilitan sensor
tidak sama, agar letak lilitan kawat sensor tidak beruba-ubah maka digunakan perekat
lem pada lapisan luar pipa. Kelemahan yang lain adalah ukuran sensor resistance
wire yang kecil menyebabkan terjadinya putus pada sensor tersebut dalam proses
penggulungan.
Dalam penelitian ini, panjang pembuatan sensor hanya 1 meter. Hal ini
dilakukan untuk
memudahkan dalam
pengukuran terhadap TMA air. Sensor yang telah dibuat dengan panjang 1 meter
merupakan panjang 1 meter pertama dari keseluruhan sensor yang disimulasikan.
Untuk mendapatkan nilai yang sesuai dengan ketinggian sungai 3 meter maka nilai
resistansi yang didapat dihubungkan secara seri dengan resitor 40k Ohm. Nilai tersebut
adalah nilai resistansi sensor dengan panjang sensor sama dengan 2 meter.
Pada tahap ini telah dilakukan 3 kali pembuatan sensor, metode pembuatan
dengan menggulung kawat resistansi pada pipa yang telah ditentukan diameternya dan
jarak antar lilitannya.
Nilai resistansi pada sensor diukur dengan menggunakan konduktor dengan
cara menghubungkan kedua kawat sensor pada ketinggian yang sama sehingga terjadi
short. Nilai resistansi sensor yang terukur adalah nilai resistansi pada ketinggian
tersebut,
selang ketinggian
untuk pengukuran resistansi ini adalah 10 cm.
4.5.1 Sensor Prototipe I
Pada sensor prototipe 1 dengan menggunakan metode lilitan 2 kawat sensor
dalam 1 pipa, dengan menggunakan perekat lem pada permukaan luar. Kedua kawat
dililitkan pada pipa diameter 1 inchi jarak antar lilitan 1 mm dengan panjang pipa 138
cm menghasilkan resistansi 11.21 k ohm dengan masing-masing nilai resistansi pada
kawat yaitu 5.67 k ohm dan 5.54 k ohm. Kesulitan dalam pembuatan sensor prototipe
17
I yaitu seringnya terjadi short antar kawat sensor dan perekat tersebut menghambat
turunnya air sehingga untuk pengujian selanjutnya harus menunggu sensor kering
terlebih dahulu.
Gambar 32. Sensor Prototipe I
Dengan mengukur nilai resistansi sensor per 10 cm maka dapat diketahui nilai
masing-masing dalam skala 10 cm, nilai resistansi sensor per 10 cm tersebut tidak
sama sehingga jarak lilitan kawat sensor juga tidak sama dan nilai resistansi sensor
memiliki hubungan yang tidak linear dengan tinggi muka air.
Gambar 33. Model Resistansi Sensor Prototipe I
Dalam uji coba sensor prototipe I dengan memasukkan sensor pada air yang
memiliki volume tetap, dan nilai resistansi pengukuran dihubungkan pada rangkaian
oscilator dengan Ra 1k ohm dan Rb 1.36k ohm serta C 1µF yang menghasilkan
perubahan frekuensi sbb.
Gambar 34. Hasil Uji Coba Sensor Prototipe I
Gambar 34 diatas menunjukkan perubahan nilai frekuensi hasil pengamatan
dengan frekuensi yang dihitung secara teoritis. Frekuensi hasil pengamatan baik
pada uji I, II maupun uji III menunjukkan ketidak sesuaian dengan nilai frekuensi yang
dihasilkan pada nilai teoritis, hal ini disebabkan sensor menggunakan selongsong
luar sebagai pengaman namun selongsong tersebut mengganggu proses naiknya air
sehingga nilai resistan selalu lebih besar dari resistan sebenarnya yang mengakibatkan
nilai frekuensi lebih kecil. Hal ini terbukti pada saat pengukuran nilai frekuensi selalu
bertambah pada ketinggian yang tetap namun tidak melebihi nilai frekuensi teoritis.
4.5.2 Sensor Prototipe II
Sensor prototipe
II, dengan
menggunakan metode dan diameter pipa yang sama dengan sansor 1, selain itu
menggunakan perekat lem dengan luasan
Perbandingan Frekuensi Pengamatan dengan frekuensi Teoritis pada Sensor I
20 40
60 80
100 120
50 70
90 110
130 150
170 190
Frekuensi Hz T
M A
c m
Uji I Uji II
Uji III Frekuensi Teoritis
18
lebih kecil jika dibandingkan dengan sensor prototipe I serta menggunakan lapisan cat
pada sisi luar pipa. Panjang pipa sensor prototipe II 170 cm didapatkan resistansi
23.6 k Ohm dengan masing-masing nilai resistansi pada kawat yaitu 11.92 k Ohm dan
11.68 k Ohm.
Gambar 35. Sensor Prototipe II
Dari hasil pengukuran resistansi per 10 cm maka diketahui keteraturan jarak
antar kawat
sensor dalam
proses penggulungan sensor. Pada ketinggian 0-120
cm terdapat nilai resistansi sensor antara 1.3k ohm hingga 1.5k ohm ini menunjukkan
dalam proses penggulangan sensor prototipe II jarak antar sensor lebih rapi jika
dibandingkan dengan sensor prototipe I.
Gambar 36. Model Resistansi Sensor Prototipe II
Pada sensor prototipe II selain menggunakan
perekat lem
juga menggunakan
cat namun
dalam pengelupasan cat dengan menggunakan
kertas gosok pada permukaan sensor
menyebabkan lapisan Chrome lapisan pemadu terkelupas dan terjadi korosi pada
kawat tersebut. Akibat dari korosi tersebut nilai
resistasi pada sensor menjadi 14.29 k Ohm dengan masing-masing sensor 7.25 k Ohm
dan 7.04 k Ohm dan panjang pipa 102 cm.
Gambar 37. Hasil Uji Coba Sensor Prototipe II setelah Korosi
Dari hasil uji coba nilai resistansi yang dihasilkan tidak sesuai dengan nilai
resistansi sensor, namun terdapat perubahan nilai
resistansi pengukuran
disetiap perubahan ketinggian muka air. Semakin
tinggi permukaan air, nilai resistansinya semakin rendah. Terdapat kesulitan dalam
pembuatan sensor
prototipe II,
yaitu seringnya terjadi short pada sensor sehingga
nilai resistansi hasil pengukuran tidak sesuai dengan perubahan TMA.
Uji Coba Sensor II
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
2000 4000
6000 8000
10000 12000
14000 16000
R Ohm T
MA
Uji Coba R sensor
19
4.5.3 Sensor Prototipe III
Gambar 38. Sensor Prototipe III
Kesulitan penggulungan
pada metode 2 kawat sensor dalam 1 pipa dan
seringnya terjadi short pada sensor, maka pada sensor prototipe III menggunakan
metode 1 kawat sensor dililit pada 1 pipa. Diameter pipa yang dibutuhkan adalah
setengah nilai dari metode 2 kawat sensor dililit pada 1 pipa yaitu 0.5 inchi dan
panjang pipa 1 meter.
Metode ini memudahkan dalam sistem pembuatan sensor dan menghindari
terjadinya short antar sensor. Batas jarak antar sensor menggunakan benang nilon
dengan ukuran 0.5 mm. Pembuatan sensor prototipe III ini menggunakan perekat lem
dengan luasan yang lebih kecil dari sensor prototipe I dan II dan penggunaan cat setelah
penggulungan.
Pengukuran nilai resistensi sensor per 10 cm dilakukan setelah uji coba
resistansi selesai namun pada ketinggian 90 dan 100 salah satu kawat sensor tersebut
putus sehingga yang tercantum pada data hanya pada ketinggian 0-80 cm. Hasil yang
didapatkan adalah sebagai berikut.
Gambar 39. Model Resistansi Sensor PrototipeIII
Nilai resistansi yang dihasilkan pada ketinggian 20 - 90 cm pada sensor
prototipe III memiliki nilai yang hampir sama, hal ini membuktikan pada jarak kawat
antar sensor sedikit lebih rapi dibanding sensor prototipe I dan II.
4.5.3.1 Pengujian
perubahan nilai
resistansi sensor Pengujian perubahan nilai resistansi
berdasarkan ketinggian muka air dilakukan dalam
2 tahapan.
Tahapan pertama
pengujian secara kasar dengan mencelupkan sensor kedalam tabung air dengan volume
yang tetap, dilakukan sebanyak 5 kali ulangan. Tahapan kedua dilakukan dengan
menambahkan air pada tabung air sehingga sensor akan terendam air. Nilai resistansi
yang dihasilkan sensor merupakan nilai ketinggian dari air tersebut. Pengujian
dilakukan di Workshop Instrumentasi dan kolam depan Departemen Geofisika dan
Meteorologi, berawal pada 7 Desember 2007
Gambar 40. Uji Coba Sensor Prototipe III Tahap I
a. Pengujian Tahap I
Pengujian tahap 1 dilakukan untuk mengetahui
besarnya perubahan
nilai resistansi dari air PDAM, air kandungan
asam, air kandungan basa, air sungai, dan air garam dengan menggunakan pipa 2 inchi
setinggi 105 cm sehingga volume air 2,1 liter, pengukuran dalam keadaan volume
tetap. Untuk air kolam dengan volume kolam yang berada di depan Departemen
Geofisika dan Meteorologi IPB.
Gambar 41. Nilai Resistansi Pengukuran
20
Gambar 42. Proses Uji Coba Tahap I
Nilai resistansi air merupakan nilai selisih dari resistansi hasil pengukuran
dengan resistansi sensor saat tidak terendam air kering yang dihubungkan dengan logam.
o Air PDAM
Pada percobaan terhadap air PDAM yang diharapkan sebagai air bersih, pH
netral dan tidak banyak mengandung unsur- unsur elektrolit. Pada pengujian terhadap
perubahan resistansi air PDAM selisih nilai resistansi rata-rata pada air PDAM 609.75 ≈
600 ohm.
Pada uji coba 1 dan 3 terdapat nilai resistansi yang tidak sesuai, ini dikarenakan
pada proses pengulangan keadaan sensor masih terdapat air sehingga terjadi short
antar kawat sensor.
Gambar 43. Hasil Uji Coba Sensor prototipe III Uji Tahap I terhadap Air PDAM
o Air Asam
Pada air
asam dengan
memanfaatkan asam cuka dapur yang tergolong asam asetat CH
3
COOH. Nilai resistansi rata-rata yang dihasilkan adalah,
311 ≈ 300 ohm. Pada air asam pengukuran hanya
dilakukan hingga ketinggian 80 cm, karena pada waktu pengukuran terjadi kebocoran
pada pipa penampung sehingga ketinggian maksimum yang dihasilkan hanya 80 cm
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
5000 10000
15000 20000
25000
Resistansi ohm T
M A
c m
uji coba 1 uji coba 2
uji coba 3 uji coba 4
uji coba 5 R sensor
Linear R sensor
21
Gambar 44. Hasil Uji Coba Sensor prototipe III Uji Tahap I terhadap Air Asam
o Air Kolam
Air kolam yang dimaksudkan
adalah air kolam yang berada di depan jurusan Geofisika dan Meteorologi IPB,
Dramaga. Air dengan luasan dan volume yang
tinggi dengan
harapan dapat
memberikan gambaran pengukuran pada area yang luas dan volume air yang tinggi.
Nilai resistansi rata-rata dihasilkan pada air kolam berkisar 655.5 ≈ 700 ohm
Gambar 45. Hasil Uji Coba Sensor prototipe III Uji Tahap I terhadap Air Kolam
o Air Garam
Pada uji coba dengan air garam, dengan memanfaatkan garam dapur KJO
3
250g yang dicampur pada air dengan volume 2.1 liter. Untuk air garam yang
memiliki sifat penghantar yang baik selisih nilai resistansi yang dihasilkan lebih kecil.
Selisih nilai resistansi sensor dengan nilai resistansi pengukuran adalah 258 ≈ 300 ohm.
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
5000 10000
15000 20000
25000
Resistansi ohm T
M A
c m
Uji Coba 1 Uji Coba 2
Uji Coba 3 Uji Coba 4
Uji Coba 5 R sensor
Linear R sensor
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
5000 10000
15000 20000
25000
Resistansi ohm T
M A
cm
uji coba 1 uji coba 2
uji coba 3 uji coba 4
uji coba 5 R sensor
Linear R sensor
22
Gambar 46. Hasil Uji Coba Sensor prototipe III Uji Tahap I terhadap Air Garam
o Air Basa
Pada uji coba dengan air basa, air yang ditambahkan kapur gamping CaOH
2
, sebagai contoh pengukuran TMA pada kadar
keasaman diatas pH 7. Untuk air basa nilai resistansi rata-rata yang didapat adalah 114 ≈
100 ohm.
Gambar 47. Hasil Uji Coba Sensor prototipe III Uji Tahap I terhadap Air Basa
o Air Sungai
Pada air
sungai yang
menggambarkan kandungan
air yang
sesungguhnya didapatkan nilai resistansi rata-rata 624.5 ≈ 600 ohm.
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
5000 10000
15000 20000
25000
Resistansi ohm T
M A
c m
Uji Coba 1 Uji Coba 2
Uji Coba 3 Uji Coba 4
Uji Coba 5 R sensor
Linear R sensor
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
5000 10000
15000 20000
25000
Resistansi ohm T
M A
c m
Uji Coba 1 Uji Coba 2
Uji Coba 3 Uji Coba 4
Uji Coba 5 R sensor
Linear R sensor
23
Gambar 48. Hasil Uji Coba Sensor prototipe III Uji Tahap I terhadap Air Sungai
Perubahan nilai resistansi dari 1meter ketinggian air untuk sensor prototipe
III, dengan volume dan jenis kandungan air berbeda menunjukkan bahwa nilai resistansi
pengujian mengikuti slope resistansi sensor pada keadaan kering tidak terendam air.
Selisih nilai resistansi air dari hasil pengujian secara kasar yaitu antara 600 - 700
ohm dan untuk kandungan air elektrolit garam, basa dan asam semakin tinggi
kandungannya maka nilai resistansinya semakin kecil.
b. Pengujian Tahap II