15
II. TINJAUAN PUSTAKA A. SARI BUAH
Menurut Satuhu 1994, buah merupakan komoditas hortikultura yang mudah rusak. Di Indonesia, terdapat banyak sekali hasil panen buah-buahan
yang belum ditangani dan dimanfaatkan dengan baik. Sebagian besar hasil panen masih ditangani secara sederhana sehingga banyak buah yang rusak dan
menimbulkan kerugian besar bagi para petani. Pemanfaatan buah menjadi
berbagai macam hasil olahan akan dapat menyelamatkan hasil panen yang berlimpah dan dapat memberikan nilai tambah yang tidak sedikit.
Salah satu bentuk pengolahan buah adalah sari buah, yaitu larutan inti dari daging buah yang diencerkan sehingga mempunyai cita rasa yang sama
dengan buah aslinya Satuhu, 1994. Menurut Muchtadi et al. 1977 sari buah merupakan cairan jernih atau agak jernih, tidak difermentasi, diperoleh dari
pengepresan buah-buahan yang telah matang dan masih segar. Sari buah umumnya dibuat dengan cara penghancuran daging buah dan selanjutnya
diekstraksi dengan cara pengepresan manual atau dengan menggunakan alat. Ekstraksi yang baik dapat menghindarkan tercampurnya kotoran dan jaringan
buah, sehingga flavornya tetap terjaga. Sari buah merupakan cairan, baik yang dijernihkan ataupun tidak, yang
dihasilkan dari pemerasan bagian buah yang dapat dimakan, tanpa dilanjutkan dengan peragian atau fermentasi Pollard dan Timberlake, 1971. Menurut
SNI, minuman sari buah merupakan cairan buah yang diekstrak dari bagian buah yang dapat dimakan, baik dengan penambahan air atau tidak, yang siap
untuk diminum. Pemurnian sari buah bertujuan untuk menghilangkan sisa serat yang
berasal dari sari buah dengan cara penyaringan, pengendapan, atau sentrifugasi
dengan kecepatan tinggi. Proses ini dapat memisahkan sari buah dari serat-serat berdasarkan perbedaan kerapatan. Proses ini dilakukan untuk
menghindari terjadinya pengendapan jika sari buah telah dibotolkan, yang dapat mengurangi penerimaan konsumen Potter dan Hotchkiss, 1995. Untuk
mengurangi terjadinya kerusakan vitamin C dan kerusakan lain yang
16 disebabkan oleh adanya oksigen, dilakukan proses deaerasi dengan
menggunakan vacuum deaerator yang dapat mengurangi udara pada sari buah. Proses pasteurisasi biasanya dilakukan untuk membunuh mikroba yang dapat
menyebabkan fermentasi dan untuk menginaktivasi enzim. Sari buah kemudian diisikan ke dalam botol yang telah disterilkan dengan
memperhatikan headspace. Botol kemudian ditutup dan dipasteurisasi kembali. Penambahan zat kimia sering dilakukan untuk meningkatkan daya
awet sari buah Potter dan Hotchkiss, 1995. Satuhu 1994 menjelaskan bahwa perdagangan internasional
membedakan produk sari buah berdasarkan kandungan total padaan terlarut TPT dan kandungan sari buah murninya. Dari penggolongan ini dikenal fruit
syrup , crush, squash, cordial, unsweetened juice, ready served fruit beverage,
nectar , dan fruit juice concentrate. Pembagian tersebut dapat dilihat pada tabel
di bawah ini.
Tabel 2. Pembagian produk sari buah berdasarkan total padatan terlarut dan
kandungan sari buah murninya.
Produk sari buah TPT
Sari buah murni
Fruit syrup 65
25 Crush
55 25
Squash 40
25 Cordial
30 25
Unsweetened juice Alami
100 Ready served fruit beverage
10 5
Nectar 15
20 Fruit juice concentrate
32 100
Sumber : Satuhu 1994 Dewasa ini minuman berupa sari buah mulai digemari pada kalangan
tertentu. Selain warnanya yang menggiurkan dan menggugah selera, rasanya menyegarkan dan dapat menghilangkan dahaga. Dari segi gizi, konsistensi sari
buah juga lebih menguntungkan. Asupan intake buah dapat lebih tinggi karena sifatnya yang cair, sehingga dengan sendirinya asupan zat-zat gizi dan
substansi penting lainnya akan meningkat. Dengan fakta tersebut, diperkirakan sari buah dapat menggeser kepopuleran soft drink Wirakusumah, 1996.
17 Sari buah dapat diolah lebih lanjut menjadi pekatan sari buah atau
konsentrat sari buah. Codex Allimentarius Commission 1983 menyatakan bahwa penambahan sukrosa, dekstrosa, sirup glukosa kering dan fruktosa
dapat dilakukan tetapi dengan syarat tidak lebih dari 50 gram per kg produk hasil rekonstitusi konsentrat sampai 11°Brix.
Faktor-faktor yang mempengaruhi komposisi sari buah erat hubungannya dengan faktor-faktor yang mempengaruhi komposisi buah itu
sendiri, yaitu faktor genetik, tingkat kematangan, cara penanaman dan faktor lingkungan pertumbuhan tanaman tersebut. Buah-buahan yang akan diproses
menjadi sari buah hendaknya merupakan buah varietas tertentu dan berasal dari daerah penanaman yang sama. Sedangkan faktor yang mempengaruhi cita
rasa sari buah adalah perbandingan antara gula dan asam, jenis dan jumlah komponen volatil, serta jenis vitamin Pollard dan Timberlake, 1971.
Pengolahan sari buah pada umumnya meliputi tahap-tahap persiapan, pengupasan, pencucian, blansir, pemotongan, ekstraksi, penyaringan,
pembotolan, dan pasteurisasi. Buah yang dipilih sebaiknya yang sudah matang karena mempunyai kandungan gizi, flavor dan rasa yang optimal Muchtadi,
1977.
B. Bahan Baku 1. Pala
Pala merupakan tanaman tropis dan tanaman asli Indonesia yang menjadi sub bagian rempah-rempah saat ini. Pala sebagai salah satu
rempah yang belum banyak digunakan dapat diolah menjadi berbagai macam produk antara lain minuman, obat, flavor, dan sebagainya. Bagian
terbesar dari buah ini adalah daging buahnya, tetapi masih sedikit sekali diteliti dan dijadikan sebagai bahan baku yang memiliki nilai ekonomis
yang tinggi, namun kenyataannya bagian ini banyak tidak terpakai dan menjadi limbah.
Berdasarkan pemelitian Hustiang 1994, daging buah pala mengandung 20 komponen volatil dengan 23 komponen yang
teridentifikasi. Komponen-komponen yang paling banyak terkandung
18 dalam minyak atsiri daging buah adalah –pinen 8.7, –pinen 6.92,
–3–karen 3.54, D–limonen 8, –terpinen 3.69, 1,3,8–
mentatrien 5.43, –terpinen 4.9,
–terpineol 11.23, safrol 2.95, dan myristisin 23.37.
Tanaman pala Myristica fragrans HOUTT termasuk famili Myristiceaeae dioceus berumah tunggal, dan tingginya mencapai 10–18 m.
Tanaman ini berasal dari Maluku dan telah dikenal di Eropa sejak abad 12. Bunga pala berwarna kuning pucat, kecil dan berbau harum Hill, 1952.
Tanaman pala berumah dua terbagi atas dua bunga yaitu bunga jantan dan tanaman bunga betina. Adapun bagian-bagian tumbuhan yang dapat
dijadikan obat antara lain daun, akar, bunga, biji, daging buah, dan kulit batang. Tanaman pala memiliki beberapa jenis, antara lain Myristica
fragrans Houtt , Myristica argentea Ware, Myristica fattua Houtt,
Myristica specioga Ware , Myristica Sucedona BL, dan Myristica
malabarica Lam .
Tanaman ini tumbuh baik pada iklim tropis yang lembab, memerlukan tanaman pelindung waktu muda dan memerlukan hujan yang
turun sepanjang tahun tanpa periode kekeringan yang nyata Ochse dkk, 1961. Pohon pala mulai berbuah setelah berumur 8–9 tahun, dan hasil
maksimal dicapai pada umur 25 tahun. Tanaman pala dapat menghasilkan buah sampai umur 60 tahun. Buah pala berwarna kuning hijau dan
teksturnya keras. Diameter buah pala bervariasi dari 3–9 cm dan bila buah telah masak di pohon, daging buah terbuka sehingga biji pala yang
berwarna coklat dan bunga pala yang berwarna merah terang akan terlihat Ochse dkk, 1961. Tanah dengan ketinggian + 400 m dari permukaan laut
baik untuk pertumbuhan tanaman pala, atau ketinggian relatif 330–350 m. Pada tanah dengan ketinggian lebih dari 700 m produksinya rendah Hill,
1952. Pala merupakan rempah yang memiliki khasiat sebagai obat.
Bagian tumbuhan yang bisa dimanfaatkan sebagai obat adalah buah dan bijinya. Menurut pakar tanaman obat, Prof Hembing Wijayakusuma dalam
bukunya Khasiat Tanaman Obat, beberapa keluhan yang bisa diatasi
19 dengan memanfaatkan pala adalah muntaber, kepala pusing, sakit telinga,
kencing manis, perut kembung, sakit perut, muntah pada anak-anak, menambah nafsu makan, dan lain-lain Republika, 2002. Komposisi pala
yang terbesar adalah daging buahnya. Daging buah pala memiliki khasiat dalam memudahkan konsumen untuk tidur, selain itu juga dapat
bermanfaat sebagai antibakteri, antiinflamasi, dan antidiare Fidrianny dkk, 2004.
2. Bahan Penstabil
Bahan penstabil stabilizer adalah bahan yang berfungsi untuk mempertahankan stabilitas emulsi. Cara kerja bahan penstabil adalah
dengan menurunkan tegangan permukaan, dengan cara membentuk lapisan pelindung yang menyelimuti globula fase terdispersi, sehingga senyawa
yang tidak larut akan lebih mudah terdispersi dalam sistem dan bersifat stabil Fennema, 1985.
Zat-zat yang termasuk dalam bahan penstabil adalah gum arab, gelatin, agar-agar, natrium alginat, karagenan, dan karboksi metil selulosa
atau CMC Moyer, 1980. Ganz 1977 menyatakan bahwa karboksi metil selulosa CMC merupakan polielektrolit anionik turunan dari selulosa
yang digunakan secara luas dalam industri makanan. CMC yang biasa digunakan dalam pengolahan pangan adalah natrium karboksi metil
selulosa. Bentuk garam yang lain seperti kalium, kalsium, dan amonium digunakan untuk bahan non pangan.
CMC digunakan dalam industri pangan untuk memberikan bentuk, konsistensi, dan tekstur. CMC juga berperan sebagai pengikat air,
pengental, dan stabilisator emulsi. CMC menjalankan fungsinya melalui interaksi antara gugusan polar dengan air dan gugusan non polar dengan
lemak Ganz, 1977. CMC stabil pada kisaran pH 5-11, dengan viskositas yang terbaik pada pH 7-9, sedangkan pH yang lebih rendah akan
menurunkan viskositas larutannya Ganz, 1977.
3. Natrium bisulfit
20 Menurut Chichester dan Tanner 1986, natrium bisulfit merupakan
serbuk putih yang berbentuk kristal, mempunyai bau SO
2
dengan batas maksimum penggunaan 500 ppm . Setiap 1 g natrium bisulfit dapat larut
dalam 3.5 ml air dingin, 2 ml air mendidih atau alkohol 70 ml. Penambahan natrium bisulfit bermanfaat untuk menghambat reaksi
enzimatis dan non-enzimatis produk akhir. Seperti yang dikemukakan oleh Barnett 1985 bahwa ada empat faktor yang melatarbelakangi
penggunaan sulfit dalam pangan, yaitu : 1 sulfit merupakan penghambat yang efektif dari reaksi pencoklatan non-enzimatis selama penyimpanan;
2 reaksi pencoklatan yang disebabkan oleh enzim dicegah dengan perlakuan sulfit selama pengolahan; 3 pertumbuhan beberapa mikroba
dapat dihambat dengan kehadiran SO
2
, dan 4 sulfit bersifat antioksidan yang biasanya dipakai untuk melindungi karotenoid dalam beberapa
makanan kering. Ion bisulfit HSO
3 -
adalah bentuk senyawa yang penting untuk menghambat reaksi pencoklatan non enzimatis Barnett, 1985. Menurut
Hodge dan Osman 1976, mekanisme reaksi kimia dalam penggunaan sulfur dioksida untuk menghambat reaksi pencoklatan non enzimatis
belum sepenuhnya diketahui, tetapi mungkin karena interaksinya dengan kelompok-kelompok karbonil aktif pada gula. Bisulfit bergabung secara
tetap dengan gula-gula pereduksi dan senyawa-senyawa antara aldehid
Gambar 1. Mekanisme pencegahan reaksi pencoklatan oleh NaHSO
3
C. PROSES TERMAL
Proses termal merupakan cara lain untuk memusnahkan mikroba selain cara irradiasi, tekanan osmotik tinggi, listrik bertegangan tinggi, dan
kombinasi ultrasonik, panas, dan tekanan Sala et al., 1995. Proses termal ialah cara yang paling umum digunakan dari berbagai cara pemusnahan
HC=O HCOH
C + NaHSO
3
HO HC – SO
3
Na HCOH
C + RNH
2
RNH HC – SO
3
Na HCOH
C
21 mikroba seperti disebutkan di atas. Karena sifatnya memusnahkan mikorba,
maka dengan menggunakan proses ini ada jaminan bahwa mikroba yang telah mati tidak akan pernah kembali. Walaupun ada yang ditemukan pada produk
pangan yang diproses dengan cara ini, kemungkinan besar hal ini terjadi karena kontaminasi.
Proses termal sangat erat kaitannya dengan ketahanan bakteri termasuk sporanya. Ketahanan bakteri terhadap proses pemanasan umumnya dinyatakan
dengan istilah nilai D dan nilai Z. Nilai D adalah waktu dalam menit yang dibutuhkan untuk memusnahkan 90 dari populasi bakteri dalam suatu
medium termasuk bahan pangan pada suhu tetap yang tertentu, sedangkan nilai Z suatu organisme atau spora adalah selang suhu terjadinya penambahan
atau pengurangan sepuluh kali lipat dalam waktu yang dibutuhkan baik untuk menurunkan 90 atau pembinasaan seluruhnya Heldman dan Singh, 2001.
Sel vegetatif bakteri termasuk bakteri pembentuk spora, kapang, dan khamir pada umumnya memiliki nilai D berkisar antara 0.5 sampai 3 menit
pada suhu 65 C. Sedangkan nilai z untuk sel vegetatif bakteri, kapang, dan
khamir berkisar antara 5 sampai 8 C, biasanya 5
C, tetapi nilai z untuk bakteri pembentuk spora adalah berkisar antara 6 sampai 16°C dan biasanya adalah
10 C Garbutt, 1997. Menurut Supardi dan Sukamto 1999, ketahanan panas
mikroba dipengaruhi oleh sejumlah faktor antara lain adalah : a umur dan keadaan organisme sebelum dipanaskan, b komposisi medium bagi suatu
organisme atau spora itu tumbuh terutama adanya garam, zat pengawet, lemak dan minyak, dan bahan penghambat lainnya serta adanya spora yang masih
terdapat setelah pemanasan, c pH dan Aw medium waktu pemanasan, dan d suhu pemanasan.
Sejumlah kapang dan khamir terdapat pada sari buah yang dibuat dari konsentrat Aw rendah. Kapang lebih dominan pada jenis konsentrat, tetapi
pada buah dan sayur dengan a
w
tinggi, bakteri umumnya mengambil peran pertama merusak dalam fermentasi, kemudian diikuti kapang dan khamir
Gilliland, 1986. Khamir bersama sporanya dapat dieliminasi dengan mudah pada proses pasteurisasi tetapi kapang yang berspora perlu pemanasan lebih
lama jika produk berupa konsentrat Frazier dan Westhoff, 1978.
22 Keberhasilan penuh dari proses pengolahan yang melibatkan panas
pada produk pangan adalah terpenuhinya kecukupan panas untuk inaktivasi mikroba yang menyebabkan kebusukan dan keracunan. Untuk itu perlu
diketahui sejauh mana ketahanan mikroba terhadap panas untuk dapat tercapai pada kombinasi suhu dan waktu yang tepat Holdsworth, 1997. Nilai pH
makanan merupakan faktor yang penting dalam menentukan besarnya pengolahan dengan panas yang dibutuhkan untuk menjamin tercapainya
sterilisasi komersial. Di atas pH 4.5, bakteri pembusuk anaerobik dan pembentuk spora yang patogen seperti C. botulinum dapat tumbuh. Beberapa
spora bakteri dapat tumbuh sampai kira-kira pH 3.7 seperti B. thermoacidurans
atau B. coagulans. bahan pangan dengan nilai pH di bawah 3.7 tidak rusak oleh bakteri berspora Fardiaz, 1992.
Dua cara umum untuk melawan mikroba penyebab kebusukan atau mikroba patogen penyebab penyakit karena makanan foodborn diseases
adalah 1 menghambat atau mencegah pertumbuhannya, dan 2 memusnahkannya Fardiaz, 1996. Menghambat atau mencegah pertumbuhan
mikroba dapat dilkakukan dengan proses pemanasan. Pasteurisasi merupakan proses pemanasan pada produk pangan dengan
menggunakan suhu relatif rendah kurang dari 100 C dengan tujuan
membunuh sel vegetatif khususnya patogen dan menginaktifkan enzim Jongen, 2002. Prinsip dari pasteurisasi adalah pemanasan produk secara
singkat sampai mencapai kombinasi suhu dan waktu tertentu, yang cukup untuk membunuh semua mikroorganisme patogen, tetapi hanya menyebabkan
kerusakan khususnya kerusakan gizi seminimal mungkin terhadap produk akibat panas Woodroof, 1976. Contoh produk pasteurisasi diantaranya
adalah susu dan sari buah. Pasteurisasi biasanya digunakan untuk produk yang mudah rusak bila
dipanaskan atau tidak dapat disterilisasi secara komersil Desrosier, 1983. Pasteurisasi membunuh seluruh mikroorganisme psikrofilik, mesofilik dan
sebagian yang bersifat termofilik. Penggunaan panas yang relatif rendah menyebabkan sedikit perubahan
pada karakteristik sensori dan nilai gizinya Jongen, 2002. Produk
23 pasteurisasi memiliki umur simpan yang tidak lama, kualitas produk akan
berubah selama proses penyimpanan. Umur simpan produk tergantung pada pengemasan dan kondisi penyimpanan.
Kecukupan proses panas tergantung pada kondisi alami produk, pH, mikroorganisme atau enzim yang resisten, sensitivitas produk dan tipe aplikasi
panas Fellows, 2000. Pasteurisasi sari buah, dimana pH produk kurang dari 4.5, bahaya Clostridium botulinum dapat dihindari sebab C. botulinum dan
kebanyakan bakteri pembentuk spora tidak dapat tumbuh. Kecukupan panas dapat diperoleh dengan memberikan perlakuan
panas pada suhu yang lebih tinggi dalam waktu yang lebih singkat, atau sebaliknya. Sejak saat itu dan selanjutnya percobaan dan perhitungan
kecukupan panas dijadikan dasar dalam penetapan proses pengalengan pangan schedule process. Pasteurisasi dapat dilakukan pada suhu yang relatif rendah
dalam waktu yang relatif lama yaitu 65 C selama 30 menit atau pada suhu
yang tinggi dalam waktu singkat yaitu 72 C selama 15 menit Fardiaz, 1992.
Semakin tinggi suhu pasteurisasi semakin singkat proses pemanasan, beberapa bakteri vegetatif yang tahan panas thermofilik dan spora tahan terhadap
proses pasteurisasi. Oleh sebab itu, setelah proses pasteurisasi produk harus didinginkan dengan cepat untuk mencegah pertumbuhan bakteri yang masih
hidup Fardiaz, 1992. Dalam pasteurisasi konsep yang umum digunakan adalah konsep 5D. Menurut Fellows 2000 konsep ini cukup memadai dari
segi kualitas dan keamanan pangan.
D. PERHITUNGAN KECUKUPAN PANAS
Kemampuan pasteurisasi dari proses pemanasan bergantung pada karakteristik nilai z mikroorganisme dan suhu pasteurisasi. Simbol F biasanya
digunakan untuk menunjukkan nilai pasteurisasi. Nilai F dengan z = 18 F
biasa disebut Fo, karena nilai z = 18 F sangat umum digunakan untuk spora
khususnya dari jenis C. botulinum. Nilai pasteurisasi adalah dasar penentuan matematika untuk kecukupan proses panas. Nilai ini dapat dihitung dengan
persamaan : F = Lr dt ........................................................................................... 1
24
t
N
initial
N
final
Lr = 10
Tr-Tz
.................................................................................... 2 T
r
: suhu retort C
T
t
: suhu produk C
z : faktor kinetik
Suhu makanan To dapat ditentukan melalui eksperimen, empiris, dan teori Heldman dan Singh, 2001.
Perhitungan penetrasi panas di dapat dengan menggunakan metode trapesium. Nilai F parsial merupakan bentuk dari luas bidang trapesium pada
grafik suhu dan waktu. Berikut adalah metode perhitungan penetrasi panas : F = Lr
n
+ Lr
n-1
x t ................................................................... 3 2
Dimana : Lr
n
: Lethal rate pada menit ke-n Lr
n-1
: Lethal rate pada n menit sebelumnya t
: rentang perubahan waktu yang digunakan Sama halnya dengan pasteurisas, Tucker et al. 2003 menyatakan
bahwa nilai pasteurisasi dinyatakan dengan simbol t. Nilai t dapat dihitung dengan integral kekuatan membunuh melalui percobaan antara waktu dan
suhu sebagai berikut : t = 10
Tt-Tref z
. dt ............................................................................ 4 Dimana :
T
ref
: suhu referensi pada nilai D
T
menit T
t
: suhu produk C
z : faktor kinetik
Selain itu ditambahkan bahwa untuk menghitung pasteurisasi yang disebut nilai t adalah dengan persamaan sebagai berikut :
t = D
T
. log ........................................................................ 5 Dimana :
t : nilai pasteurisasi menit
N
initial
: jumlah mikroba awal pada suhu tertentu cfuml N
final
: jumlah mikroba akhir setelah dipasteurisasi cfuml D
T
: decimal reduction time pada suhu tertentu
25
III. BAHAN DAN METODE A. BAHAN DAN ALAT