B.3. Magnesium dalam Tanaman
Magnesium merupakan hara makro esensial. Tanaman mengambil unsur ini dalam bentuk ion Mg
2+
, terutama melalui intersepsi akar. Walaupun mekanisme serapan hara Mg melalui intersepsi akar adalah yang terpenting, tetapi
serapannya melalui aliran massa dan difusi merupakan hal yang penting untuk tanah-tanah tertentu. Bahkan kedua mekanisme tersebut menunjukkan korelasi
yang nyata terhadap serapan Mg terutama untuk tanah-tanah dengan kandungan Mg sangat tinggi atau rendah Indrarjo, 1986 dalam Arios, 2005.
Magnesium mempunyai peran yang penting dalam berbagai proses yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Unsur ini merupakan salah satu hara yang
dibutuhkan tanaman untuk kegiatan metaboliknya. Magnesium berperan penting dalam tanaman karena merupakan satu-satunya unsur logam yang menyusun
molekul klorofil Tisdale dan Nelson, 1975. Kira-kira 10 unsur magnesium di dalam tanaman dijumpai di dalam kloroplas dan berperan sebagai aktivator
spesifik dari beberapa enzim. Menurut Indrarjo, 1986 dalam Arios, 2005 enzim yang ikut serta dalam metabolisme karbohidrat yang membutuhkan magnesium
sebagai aktivator seperti enzim transfosforilase, dehidrogenase, dan karboksilase.
C. Biomassa
Biomassa merupakan istilah untuk bobot bahan hidup, biasanya dinyatakan sebagai bobot kering, untuk seluruh atau sebagian tubuh organisme,
populasi, atau komunitas. Biasanya dinyatakan sebagai kerapatan biomassa per unit luas. Biomassa tumbuhan adalah jumlah total bobot kering semua bagian
tumbuhan hidup dan untuk memudahkannya kadang-kadang biomassa dibagi menjadi biomassa tumbuhan diatas tanah daun, cabang, dahan dan bahan pokok
dan biomassa di dalam tanah akar-akaran Kusmana dan Istomo, 2003. Pengetahuan tentang biomassa sangat penting untuk aspek-aspek
fungsional hutan seperti produktivitas primer, siklus hara dan aliran energi Harse et al., 1992. Oleh karena itu data biomassa penting untuk mengetahui
karakteristik ekosistim hutan dalam rangka menentukan sistim pengelolaan hutan
berdasarkan prinsip-prinsip kelestarian hasil Kusmana et al., 1992.
Menurut Satoo Madgwick 1982 selain curah hujan dan temperatur yang mempengaruhi besarnya biomassa yang dihasilkan adalah umur dan
kerapatan tegakan, komposisi dan struktur tegakan, kualitas tempat tumbuh yang mempengaruhi besarnya biomassa.
Unsur hara yang diserap tanaman digunakan antara lain untuk menyusun bagian-bagian tubuh tanaman tersebut berbeda untuk setiap jenis tanaman maupun
untuk jenis tanaman yang sama tetapi dengan tingkat produksi yang berbeda
Hardjowigeno, 1985. D. Tanah Podsolik Merah Kuning
Podsolik merah kuning adalah jenis tanah yang terbentuk oleh proses
pedogenesis yang menyerupai pembentukan tanah podsol. Dalam hal ini proses tersebut terkenal sebagai podsolisasi Wiryodiharjo, 1963 dalam Indrihastuti
2004. Ciri utama proses tersebut adalah terkonsentrasinya silika pada bagian atas tanah horizon A sedangkan kadar Al dan Fe oksida lebih tinggi pada horizon B
daripada horizon A. Tanah tua yang telah mengalami proses pembentukan tanah dan terjadi
perubahan-perubahan yang lebih nyata pada horizon A dan B kemudian terbentuklah horizon-horizon A1,2,3 dan B1,2,3 dan lain-lain. Disamping itu
pelapukan mineral dan pencucian basa-basa makin meningkat sehingga tinggal mineral-mineral yang sukar lapuk di dalam tanah dan tanah menjadi keras dan
masam. Jenis tanah tua tersebut adalah tanah Ultisol atau yang sering disebut sebagai tanah podsolik merah kuning dan oxisol atau laterit Hardjowigeno,
1985. Pada Umumnya tanah podsolik merah kuning adalah tanah yang mempunyai perkembangan profil, konsistensi teguh, bereaksi masam, dengan
tingkat kejenuhan basa rendah. Podsolik merupakan segolongan tanah yang mengalami perkembangn
profil dengan batas horizon yang jelas, berwarna merah hingga kuning dengan kedalaman satu hingga dua meter. Tanah ini memiliki konsistensi yang teguh
sampai gembur makin ke bawah makin teguh, permeabilitas lambat sampai sedang, struktur gumpal pada horizon B makin kebawah makin pejal, tekstur
beragam dan agregat berselaput liat. Di samping itu sering dijumpai konkresi besi dan kerikil kuarsa Saptodihardjo, 1976 dalam Indrihastuti 2004.
III. METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian