Hubungan Hilangnya Gejala Klinis Tuberkulosis Paru Dengan Kepatuhan Pengobatan di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan Tahun 2012

(1)

Hubungan Hilangnya Gejala Klinis Tuberkulosis Paru Dengan Kepatuhan Pengobatan di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan Tahun 2012

Karya Tulis Ilmiah

Oleh:

Tharani Vedikaran

090100367

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

Hubungan Hilangnya Gejala Klinis Tuberkulosis Paru Dengan

Kepatuhan Pengobatan di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan

Tahun 2012

Oleh:

Tharani Vedikaran

090100367

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Hubungan Hilangnya Gejala Klinis Tuberkulosis Paru Dengan Kepatuhan Pengobatan di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan Tahun 2012

Nama : Tharani Vedikaran

NIM : 090100367

Pembimbing Penguji I

(dr. Parluhutan Siagian,Sp.P)

NIP: 196304051989121001 NIP:130349092 (dr.Datten Bangun,Msc,Sp.Fk)

Penguji II

(dr. Djohan,Sp.KK

NIP: 196910141998031001 )

Medan, 2 Januari 2013 Universitas Sumatera Utara

Fakultas Kedokteran

(Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH) NIP: 19540220 198011 1 001


(4)

ABSTRAK

Latar belakang: Keberhasilan pengobatan tuberkulosis (TB) melibatkan pengambilan pengobatan anti-tuberkulosis selama enam bulan.Pasien dengan tuberkulosis memerlukan pengobatan ulang jika mereka putus berobat yang mengakibatkan peningkatan risiko morbiditas, resistensi obat, dan transmisi.

Objektif : Tujuanpenelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan hilangnya gejala klinis TB paru dengan kepatuhan pengobatan di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan tahun 2012

Metode penelitian: Penelitian ini bersifat analitik dengan menggunakan desain penelitian potong lintang (cross sectional). Lokasi penelitian di RSUP. Adam Malik, Medan dengan jumlah pasien 98 orang yang putus berobat yang datang ke Poliklinik Bahagian Paru RSUP H. Adam Malik . sumber data primer diperoleh dengan wawancara.

Hasil: Berdasarkan hasil penelitian, kebanyakan pasien putus berobat karena merasa sembuh (59,2%), rata-rata 50% pasien menghentikan pengobatan dalam masa kurang dari 2 bulan karena gejala klinis hilang dengan minum obat secara teratur Kesimpulan : Secara umumnya, kebanyakan pasien hilang gejala klinis dalam waktu kurang dari 2 bulan dengan minum obat secara teratur.


(5)

ABSTRACT

Background: Successful treatment of tuberculosis (TB) involves taking anti-tuberculosis drugs for at least six months.Patients with anti-tuberculosis require retreatment if they default from initial treatment,resulting in increased risk of morbidity, drug resistance, and transmission.

Objective: The study aim to determine the relationship between the clinical manifestation and the medication intake in Haji Adam Malik General Hospital Medan in 2012.

Method: This is a cross sectional analytic study. The samples are 98 TB patient that came to policlinic of pulmonary in Haji Adam Malik General Hospital. The primary data was obtained by interviewing the patient.

Result: Results shows most of the people drop out because they feel they cured (59,2%) with an average of 50% of patients with clinical symptoms disappeared in less than 2 months by taking medicine regularly

Conclusion: In conclusion,most of the patients stopped medication halfway because the clinical symptom disappeared in less than 2 months with taking medication regularly and they feel cured


(6)

KATA PENGANTAR

Penulis bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan kasih karunia-Nya yang telah memelihara dan memampukan penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisankarya tulis ilmiah dengan judul “ HUBUNGAN HILANGNYA GEJALA KLINIS TUBERKULOSIS PARU DENGAN KEPATUHAN PENGOBATAN DI RUMAH SAKIT HAJI ADAM MALIK DI MEDAN TAHUN 2012”

Banyak sekali hambatan dan tantangan yang dialami penulis selama menyelesaikan penulisan karya tulis ilmiah ini. Dengan dorongan,bimbingan dan arahan dari beberapa pihak, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan karya tulis ilmiah ini tepat pada waktunya. Penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada:

1. Dekan Fakultas Universitas Sumatera Utara Prof. dr. Gontar A. Siregar, Sp.PD. KGEH atas izin penelitian yang telah diberikan.

2. Dr Parluhutan Siagian,Sp.P, selaku dosen pembimbing, yang telah memberikan bantuan, bimbingan dan pengarahan kepada penulis selama menyelesaikan karya tulis ilmiah

3. Seluruh staf pengajar dan civitas akademika Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

4. Kedua orang tua dan keluarga penulis yang telah membesarkan dengan penuh kasih sayang, dan tiada bosan-bosanya mendoakan serta memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan pendidikan

5. Seluruh teman-teman penulis yang ikut membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan karya tulis ilmiah.

Untuk seluruh bantuan baik moral atau materi yang diberikan kepada penulis selama ini, penulis ucapkan terima kasih.


(7)

Penulis menyadari bahawa karya tulis ilmiah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu penulis mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan karya tulis ilmiah ini. Semoga penulisan karya tulis ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak. Demikian dan terima kasih.

Desember 2012 Penulis,

Tharani Vedikaran (090100367)


(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN

HALAMAN PERSETUJUAN…………... i

ABSTRAK………... ii

ABSTRACT……….………. iii

KATA PENGHANTAR……… iv

DAFTAR ISI..……… vi

DAFTAR TABEL……… ix

DAFTAR LAMPIRAN………. x

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang………. 1

1.2. Rumusan Masalah………... 4

1.3. Tujuan Penelitian………... 4

1.4. Manfaat Penelitian………... 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tuberkulosis Paru………..……… 6

2.1.1. Definisi………...……… 6


(9)

2.1.3. Epidemiologi ………...…. 8

2.1.4.Morfologi ……… 8

2.1.5. Cara Penularan………. 9

2.1.6. Patogenesis………... 10

2.1.7. Manifestasi Klinis ………..…… 11

2.1.8. Pemeriksaan Fisis……….… 12

2.1.9. Pemeriksaan Penunjang……….. 13

2.1.10. Diagnosis………..……… 17

2.1.11. Penatalaksanaan……….………. 17

2.1.12. Pencegahan………...………… 25

2.2 DOTS………. 26

2.2.1. Pengertian DOTS ………... 26

2.2.2. Komponen Strategi DOTS……… 26

2.2.3. Pelaksanaan DOTS……… …… 27

2.2.4. Pengawasan Minum Obat………. …… 28

2.2.5. Kendala Pelaksanaan DOTS……….. 29

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1. Kerangka Konsep Penelitian………... 31


(10)

BAB 4 METODE PENELITIAN

4.1. Rancangan Penelitian……….. 33

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian………….……….. 33

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian……….. 33

4.4. Metode Pengumpulan Data……….… 35

4.5. Metode Analisis Masalah……….…. 36

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……….. 37

5.1. Deskripsi Lokasi………. 37

5.1.2. Karakteristik Responden……… 38

5.3. Hasil Analisis Data………. 40

5.4. Hasil Penelitian………. 41

5.2. Pembahasan………. 46

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan... 50

6.2 Saran………..… 50

DAFTAR PUSTAKA……… 51-57


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Dosis Obat Anti Tuberkulosis Paru ……… 19

Tabel 2.2 Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis ……… 20


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Judul

Lampiran 1 (Riwayat hidup) Lampiran 2 (Panduan Wawancara) Lampiran 3 (Data Induk)


(13)

ABSTRAK

Latar belakang: Keberhasilan pengobatan tuberkulosis (TB) melibatkan pengambilan pengobatan anti-tuberkulosis selama enam bulan.Pasien dengan tuberkulosis memerlukan pengobatan ulang jika mereka putus berobat yang mengakibatkan peningkatan risiko morbiditas, resistensi obat, dan transmisi.

Objektif : Tujuanpenelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan hilangnya gejala klinis TB paru dengan kepatuhan pengobatan di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan tahun 2012

Metode penelitian: Penelitian ini bersifat analitik dengan menggunakan desain penelitian potong lintang (cross sectional). Lokasi penelitian di RSUP. Adam Malik, Medan dengan jumlah pasien 98 orang yang putus berobat yang datang ke Poliklinik Bahagian Paru RSUP H. Adam Malik . sumber data primer diperoleh dengan wawancara.

Hasil: Berdasarkan hasil penelitian, kebanyakan pasien putus berobat karena merasa sembuh (59,2%), rata-rata 50% pasien menghentikan pengobatan dalam masa kurang dari 2 bulan karena gejala klinis hilang dengan minum obat secara teratur Kesimpulan : Secara umumnya, kebanyakan pasien hilang gejala klinis dalam waktu kurang dari 2 bulan dengan minum obat secara teratur.


(14)

ABSTRACT

Background: Successful treatment of tuberculosis (TB) involves taking anti-tuberculosis drugs for at least six months.Patients with anti-tuberculosis require retreatment if they default from initial treatment,resulting in increased risk of morbidity, drug resistance, and transmission.

Objective: The study aim to determine the relationship between the clinical manifestation and the medication intake in Haji Adam Malik General Hospital Medan in 2012.

Method: This is a cross sectional analytic study. The samples are 98 TB patient that came to policlinic of pulmonary in Haji Adam Malik General Hospital. The primary data was obtained by interviewing the patient.

Result: Results shows most of the people drop out because they feel they cured (59,2%) with an average of 50% of patients with clinical symptoms disappeared in less than 2 months by taking medicine regularly

Conclusion: In conclusion,most of the patients stopped medication halfway because the clinical symptom disappeared in less than 2 months with taking medication regularly and they feel cured


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Dalam mewujudkan visi Indonesia sehat 2010 telah diterapkan misi pembangunan yaitu menggerakan pembangunan nasional berwawasan kesehatan, mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat, memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan bermutu, merata dan terjangkau serta memelihara dan meningkatkan kesehatan individu, keluarga dan masyarakat. Seiring dengan cepatnya dalam perkembangan era globalisasi serta adanya transisi demografi dan epidemiologi penyakit akibat perilaku dan sosial budaya cendrung semakin kompleks, perbaikannya tidak hanya dilakukan pada aspek pelayanan kesehatan, perbaikan pada lingkungan dan kependudukan yang selalu teoritis memiliki sebanyak 30%-50% terhadap derajat kesehatan (Notoadmodjo,2007:99).

Tuberkulosis (TB) telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia, menurut WHO sekitar 8 juta penduduk dunia diserang TB dengan kematian 3 juta orang per tahun (WHO, 1993). Di negara berkembang kematian ini merupakan 25% dari kematian penyakit yang sebenarnya dapat diadakan pencegahan. Diperkirakan 95% penderita TB berada di negara-negara berkembang Dengan munculnya epidemi HIV/AIDS di dunia jumlah penderita TB akan meningkat. Kematian wanita karena TB lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan, persalinan serta nifas (WHO). WHO mencanangkan keadaan darurat global untuk penyakit TB pada tahun 1993 karena diperkirakan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman TB. (dr.Sulianti Suroso:2007)

Tuberculosis (TB) adalah penyakit pembunuh yang kedua terbesar setelah HIV / AIDS di seluruh dunia yang disebabkan oleh agen infeksi tunggal.Pada tahun


(16)

2010, 8,8 juta orang jatuh sakit dengan TB dan 1,4 juta meninggal karena TB. Pada tahun 2009, ada sekitar 10 juta anak-anak menjadi yatim sebagai akibat dari kematian TB pada orang tua.Lebih dari 95% kematian akibat TB terjadi di negara sosioekonomi yang rendah, dan TB juga adalah antara tiga penyebab utama kematian pada wanita usia 15 sampai 44. (WHO, 2012)

Survei prevalensi TB yang dilakukan di enam propinsi pada tahun 1983-1993 menunjukkan bahwa prevalensi TB di Indonesia berkisar antara 0,2 – 0,65%. Sedangkan menurut laporan Penanggulangan TB Global yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2004, angka insidensi TB pada tahun 2002 mencapai 555.000 kasus (256 kasus/100.000 penduduk), dan 46% diantaranya diperkirakan merupakan kasus baru.

Di Indonesia TB kembali muncul sebagai penyebab kematian utama setelah penyakit jantung dan saluran pernafasan. Penyakit TB paru, masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Hasil survey kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1995 menunjukkan bahwa tuberkulosis merupakan penyebab kematian nomor 3 setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernapasan pada semua golongan usia dan nomor I dari golongan infeksi. Antara tahun 1979 - 1982 telah dilakukan survey prevalensi di 15 propinsi dengan hasil 200-400 penderita tiap 100.000 penduduk.

Penyakit TB sebagian besar kelompok usia kerja produktif, penderita TB kebanyakan dari kelompok sosio ekonomi rendah. Dari 1995-1998, cakupan penderita TB Paru dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse Chemotherapy) -atau pengawasan langsung menelan obat jangka pendek/setiap hari- baru mencapai 36% dengan angka kesembuhan 87%. Sebelum strategi DOTS (1969-1994) cakupannya sebesar 56% dengan angka kesembuhan yang dapat dicapai hanya 40-60%. Karena pengobatan yang tidak teratur dan kombinasi obat yang tidak cukup dimasa lalu kemungkinan telah timbul kekebalan kuman TB terhadap OAT (obat anti


(17)

tuberkulosis) secara meluas atau multi drug resistance (MDR).(dr.Sulianti Suroso:2007).

Kesungguhan pemerintah dalam pemberantasan TB telah ditunjukkan dengan dicanangkannya Gerakan Terpadu Nasional untuk Pemberantasan Tuberkulosis (Gerdunas-TB) oleh Menteri Kesehatan Indonesia tanggal 24 Maret 1999 yang masih berlanjut hingga sekarang. Pada program ini, semua pihak dilibatkan dalam penanggulangan penyakit TB secara tuntas (Gerdunas-TB, 2007).

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Sumatera Utara (2008), TB paru di Sumatera Utara pada tahun 2007, tercatat sebanyak 90.207 kasus, dan 11.102 kasus TB (+). Pasien TB yang telah diobati sebanyak 12.179 orang, dengan angka kesembuhan 9.140 (75,05%). Di sisi lain, data dari Dinas Kesehatan Kota Medan (2009) menunjukkan bahwa kasus TB paru di kota Medan tahun 2008 mengalami peningkatan dari tahun 2007. TB paru klinis pada tahun 2008 sebesar 10.508 kasus sedangkan pada tahun 2007 sebesar 9.411. Selain itu, pasien TB paru tahun 2008 yang diobati hanya 2.505 dengan angka kesembuhan hanya 770 (47,95%). Dari data tersebut dapat tampak tingkat keberhasilan pengobatan TB yang masih sangat rendah meskipun telah dilakukan pengobatan dengan strategi DOTS sehingga harus menjadi perhatian yang baik dalam pelaksanaannya.

Kegagalan penderita TB dalam pengobatan TB dapat diakibatkan oleh banyak faktor, seperti obat,penyakit, dan penderitanya sendiri. Faktor obat terdiri dari panduan obat yang tidak adekuat, dosis obat yang tidak cukup, tidak teratur minum obat, jangka waktu pengobatan yang kurang dari semestinya, dan terjadinya resistensi obat. Faktor penyakit biasanya disebabkan oleh lesi yang terlalu luas, adanya penyakit lain yang mengikuti, adanya gangguan imunologis.Faktor terakhir adalah masalah penderita sendiri, seperti kurangnya pengetahuan mengenai TB, kekurangan biaya, malas berobat, dan merasa sudah sembuh.Sebagian besar kasus mangkir yang didapatkan oleh pada tahun 2007 disebabkan oleh factor kekurangan biaya atau


(18)

karena pasien sudah merasa sembuh, sehingga mengakibatkan pasien menjadi tidak

patuh untuk melanjutkan pengobatan.

yang mempengaruhi tingkat ketidakpatuhan penderita tbc.pdf)

Oleh karena permasalahan tuberkulosis yang tidak habis-habisnya di masyarakat, meskipun telah diobati dengan strategi DOTS, maka penulis menganggap perlu dilakukan penelitian tentang hubungan hilangnya gejala klinis tuberkulosis paru dengan kepatuhan pengobatan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas,secara garis besar dapat dirumuskan satu masalah yaitu:

“Apakah ada hubungan antara hilangnya gejala klinis TB paru dengan kepatuhan pengobatan di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan tahun 2012“?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Untuk mengetahui hubungan hilangnya gejala klinis TB paru dengan kepatuhan pengobatan di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan tahun 2012

1.3.2 Tujuan Khusus

a) Mengidentifikasi hilangnya gejala klinis TB dengan kepatuhan pengobatan b) Mengidentifikasi penyebab jumlah orang yang putus berobat


(19)

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat kepada penulis

1.Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai hubungan hilangnya gejala klinis TB paru dengan kepatuhan pengobatan

2.Peneliti dapat meningkatkan kemampuan di bidang penelitian serta melatih kemampuan analisis dan kemampuan membuat karya tulis ilmiah.

1.4.2 Manfaat pada masyarakat

Diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang pengobatan TB secara tuntas.

1.4.3 Manfaat kepada Dinas Kesehatan.

Diharapkan dapat memberikan masukkan kepada Tenaga Kesehatan dan Dinas Kesehatan dalam membuat kebijakan tentang pentingnya penyuluhan kepada penderita TB tentang pengobatan secara tuntas.


(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Tuberkulosis Paru

2.1.1 Definisi

TB paru adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis. TB paru merupakan salah satu penyakit saluran pernapasan bagian bawah (Alsagaff et al., 2002).Tuberkulosis paru mencakup 80% dari keseluruhan kejadian penyakit tuberkulosis, sedangkan 20% selebihnya merupakan tuberkulosis ektrapulmonar (Djojodibroto, 2009)

2.1.2

Pembagian Tuberkulosis menurut riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe penderita, yaitu :

Klasifikasi

Kategori 1: Kasus baru

Kasus baru adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari 1 bulan (30 dosis harian).

Kategori 2: Kasus Pengobatan ulang a) Kambuh (relaps)

Adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA Positif.


(21)

b) Kasus setelah gagal (Failure)

Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

c) Setelah lalai (pengobatan setelah default / drop out)

Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak positif.

Kategori 3: Pindahan (transfer in)

Adalah penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Penderita pindahan tersebut harus membawa surat rujukan / pindah.

Kategori 4: Lain-lain a) Gagal

Adalah penderita BTA Positif yang masih tetap atau kembali menjadi positif pada akhir bulan kelima (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau lebih.Penderita dengan hasil BTA negatif, rontgen positif menjadi BTA Positif pada akhir bulan kedua pengobatan.

b) Kasus kronis

Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2.


(22)

2.1.3

WHO menyatakan bahwa dari sekitar 1,9 milyar manusia, sepertiga penduduk dunia ini telah terinfeksi oleh kuman tuberkulosis. Pada tahun 1993 WHO juga menyatakan bahwa TB sebagai reemerging disease.

Epidemiologi

Angka penderita TB paru di negara berkembang cukup tinggi, di Asia jumlah penderita TB paru berkisar 110 orang penderita baru per 100.000 penduduk. Hasil survey prevalensi TB di Indonesia tahun 2004 menunjukkan bahwa angka prevalensi TB BTA positif secara nasional 110 per 100.000 penduduk. Secara regional prevalensi TB BTA positif di Indonesia dikelompokkan dalam 3 wilayah, yaitu: 1. wilayah Sumatera angka prevalensi TB adalah 160 per 100.000 penduduk 2. wilayah Jawa dan Bali angka prevalensi TB adalah 110 per 100.000 penduduk 3. wilayah Indonesia Timur angka prevalensi TB adalah 210 per 100.000 penduduk. Khusus untuk propinsi DIY dan Bali angka prevalensi TB adalah 68 per 100.000 penduduk.

Berdasar pada hasil survey prevalensi tahun 2004, diperkirakan penurunan insiden TB BTA positif secara Nasional 3-4 % setiap tahunnya

2.1.4

Mycobacterium tuberculosis ditemukan oleh Robert Koch (1882) yaitu kuman yang berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 – 0,6 mm dan panjang 1 – 4 mm. Kuman akan tumbuh optimal pada suhu sekitar 37° C dengan tingkat pH optimal pada 6,4 sampai 7,0. Untuk membelah diri dari satu sampai dua kuman membutuhkan waktu 14-20 jam (Aditama, 2006).


(23)

Dinding Mycobacterium tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding selnya ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord factor, dan mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi.Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri Mycobacterium tuberculosis bersifat tahan asam. Dinding sel mengandung lipid sehingga memerlukan pewarnaan khusus agar dapat terjadi penetrasi zat warna . Yang lazim digunakan adalah pengecatan Ziehl-Nielsen.

Kandungan lipid pada dinding sel menyebabkan kuman TB sangat tahan terhadap asam basa dan tahan terhadap kerja bakterisidal antibiotika. M.Tuberculosis mengandung beberapa antigen dan determinan antigenik yang dimiliki mikobakterium lain sehingga dapat menimbulkan reaksi silang.

Kuman TB tumbuh secara obligat aerob. Energi diperoleh dari oksidasi senyawa karbon yang sederhana. CO₂ dapat merangsang pertumbuhan. Dapat tumbuh dengan suhu 30-40 ⁰C dan suhu optimum 37-38 ⁰C. Kuman akan mati pada suhu 60 ⁰C selama 15-20 menit. Pengurangan oksigen dapat menurunkan metabolisme kuman.

2.1.5

Penularan Penyakit ini sebagian besar melalui inhalasi droplet nuclei yang mengandung basil, khususnya yang didapat dari pasien TB paru dengan batuk berdarah atau berdahak yang mengandung BTA (Sudoyo et al., 2006). Faktor lingkungan terutama sirkulasi yang buruk, memperbesar penularan (Berhman et al., 1999). Lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukiman di wilayah perkotaan kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan berperan sekali atas peningkatan jumlah kasus TB (Sudoyo et al., 2006).


(24)

2.1.6

2.1.6.1 Tuberkulosis Primer Patogenesis

Sebagian besar basil Mycobacterium tuberculosis masuk ke dalam jaringan paru melalui airbone infection (Alsagaff et al., 2002). Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet,ventilasi buruk dan kelembapan.Karena ukurannya yang sangat kecil (<5 mm), kuman TB dalam droplet nuclei yang terhirup dapat mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis non spesifik, sehingga tidak terjadi proses imunologis spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak di dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya, kuman TB membentuk lesi di tempat tersebut, yang dinamakan fokus primer Gohn (Djitowiyono et al., 2008). Sarang primer ini dapat terjadi di setiap bagian jaringan paru. Bila menjalar sampai ke pleura,maka terjadi efusi pleura.Selama perkembangan kompleks primer, basili tuberkel di bawa ke kebanyakan jaringan tubuh melalui pembuluh darah dan limfe (Behrman et al., 1999).

Dari fokus primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju kelenjar limfe regional sehingga terbentuk suatu primer kompleks yang disebut primer kompleks dari Ranke. Infeksi primer dari Gohn dan primer kompleks dari Ranke dinamakan TB primer. TB paru primer adalah suatu keradangan yang terjadi sebelum tubuh mempunyai kekebalan spesifik terhadapa basil Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar penderita TB primer (90%) akan sembuh sendiri dan 10% akan mengalami penyebaran endogen (Alsagaff et al., 2002).


(25)

2.1.6.2 Tuberkulosis Pasca Primer (Tuberkulosis Sekunder)

Kuman yang dorman pada TB primer akan muncul bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi TB dewasa (Sudoyo et al., 2006). TB sekunder juga dapat berasal dari eksogen berupa infeksi ulang pada tubuh yang pernah menderita TB (Alsagaff et al.,2002). TB sekunder terjadi karena imunitas menurun seperti malnutrisi, alkohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS, gagal ginjal. TB sekunder ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di regio atas paru (bagian apikal posterior lobus superior atau inferior).

Invasinya adalah ke daerah parenkim paru-paru dan tidak ke nodus hiler paru (Sudoyo et al., 2006).Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-10 minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel Histiosit dan sel Datia-Langhans yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan berbagai jaringan ikat.

2.1.7

Keluhan yang dirasakan pasien TB dapat bermacam-macam atau malah banyak pasien ditemukan TB paru tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan kesehatan. Gejala respiratorik berupa batuk kering ataupun batuk produktif merupakan gejala yang paling sering terjadi dan merupakan indikator yang sensitif untuk penyakit ini. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar. Keadaan lanjut adalah batuk berdarah karena terdapat pembuluh darah pecah. Gejala sesak napas timbul jika terjadi pembesaran nodus limfa pada hilus yang menekan bronkus, atau terjadi efusi pleura, ekstensi radang parenkim atau miliar. Nyeri dada biasanya


(26)

bersifat nyeri pleuritik karena terlibatnya gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik atau melepaskan napasnya.

Secara sistemik pada umumnya penderita akan mengalami demam.Demam dapat terjadi menetap dan naik turun sehingga pasien merasa tidak pernah terbebas dari serangan demam ini. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman TB yang masuk. Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia tidak nafsu makan, badan makin kurus (berat badan turun), sakit kepala, ,meriang, nyeri otot, keringat malam dan lain-lain. Gejala malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur (Sudoyo, 2007).

2.1.8

Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia,suhu demam,badan kurus atau berat badan menurun.

Pemeriksaan Fisis

Pada pemeriksaan fisis pasien sering tidak menunjukkan suatu kelainan pun terutama pada kasus-kasus dini atau sudah terinfiltrasi secara asimtomatik. Bila dicurigai adanya infiltrate yang agak luas, maka di dapatkan perkusi yang redup dan auskultasi suara napas bronchial. Akan didapatkan juga suara napas tambahan berupa ronki basah,kasar dan nyaring. Tetapi bila infiltrate diliputi oleh penebalan pleura, suara napasnya menjadi vesikuler melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi memberi suara hipersonar atau timpani dan akultasi bersuara amforik.


(27)

2.1.9 Pemeriksaan Penunjang

2.1.9.1 Pemeriksaan Sputum

Pemeriksaan sputum berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan sputum untuk menegakkan diagnosis dengan mengumpulkan 3 bahan dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan yang dikenal dengan konsep Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS):

Sewaktu : dahak dikumpulkan pada saat pasien yang diduga TB datang berkunjung pertama kali. Saat pulang suspek membawa pot penampung dahak.

Pagi : dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot penampung dibawa sendiri kembali.

Sewaktu : dahak dikumpulkan pada hari kedua, saat pasien menyerahkan dahak pagi hari.

Pemeriksaan dahak BTA lazimnya dilakukan 3 X berturut-turut untuk menghundari faktor kebetulan. Bila hasil pemeriksaan dahak minimal 2 X positif, maka pasien sudah dapat dipastikan sakit TB paru (Hudoyo, 2008). Untuk interpretasi pemeriksaan mikroskopis dahak pasien dapat dibaca dengan skala IUATLD (rekomendasi WHO). Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease) yaitu :

- Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negative

- Ditemuka n 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang ditemuka n


(28)

- Ditemuka n 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+) - Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)

Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks karena pemeriksaan mikroskopis sangat spesifik (98%) untuk TB paru (WHO, 2002) . Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks sangat perlu dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai berikut:

• Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Harus dilakukan pemeriksaan foto toraks dada untuk mendukung diagnosis TB paru BTA (+)

• Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah diberi pengobatan dengan antibiotik non-OAT.

•Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis eksudativa, efusi perikarditis atau efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptisis berat.

2.1.9.2 Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan rutin adalah foto toraks PA. Pemeriksaan atas indikasi seperti foto apikolordotik, oblik, CT Scan. Tuberkulosis memberikan gambaran bermacam-macam pada foto toraks. Gambaran radiologis yang ditemukan dapat berupa:

• bayangan lesi di daerah apeks paru tetapi dapat juga di lobus bawah dan daerah hilus


(29)

• Adanya kavitas tunggal atau ganda • Bayangan bercak milier

• Bayangan efusi pleura, umumnya unilateral • Destroyed lobe sampai destroyed lung • Kalsifikasi

• Schwarte

2.1.9.3 Pemeriksaan Khusus

Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik baru yang dapat mendeteksi kuman TB seperti :

a. BACTEC: dengan metode radiometrik , dimana CO2 yang dihasilkan dari metabolisme asam lemak M.tuberculosis dideteksi growth indexnya.

b. Polymerase chain reaction (PCR) dengan cara mendeteksi DNA dari M.tuberculosis, hanya saja masalah teknik dalam pemeriksaan ini adalah kemungkinan kontaminasi.

c. Pemeriksaan serologi : seperti ELISA, ICT dan Mycodot

2.1.9.4 Pemeriksaan Penunjang Lain

Seperti analisa cairan pleura dan histopatologi jaringan, pemeriksaan darah dimana LED biasanya meningkat, tetapi tidak dapat digunakan sebagai indikator yang spesifik pada TB. Di Indonesia dengan prevalensi yang tinggi, uji tuberkulin sebagai


(30)

alat bantu diagnosis penyakit kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini mempunyai makna bila didapatkan konversi, bula atau kepositifan yang didapat besar sekali.

2.1.9.4.1 Bronkoskopi

Jika hasil pemeriksaan bakteriologis tidak dijumpai kuman BTA, sedang dugaan yang mengarah ke diagnosis adanya TB paru sangat kuat maka selanjutnya tindakan bronkoskopi dapat menjadi langkah untuk menegakkan diagnostik. Bronkoskopi (bronkos = saluran napas, skopi = melihat) adalah tindakan pemeriksaan untuk menilai saluran napas penderita dengan alat .Kegunaan bonkoskopi dalam mendiagnosis TB adalah :

1. Bisa dilakukan pada penderita yang tidak dapat mengeluarkan dahak secara spontan

2. Merupakan cara mendapatkan diagnosis dengan cepat (melalui hapusan langsung ataupun histopatologi).

Tetapi bronkoskopi juga mempunyai beberapa kelemahan yaitu memerlukan biaya yang lebih besar dibandingkan dahak spontan dan induksi, serta kemungkinan adanya penularan pada pekerja kesehatan (operator bronkoskopi).

2.9.4.2 Bronchoaveolar Lavage (BAL)

Tindakan BAL adalah salah satu teknik pengambilan sampel pada saat tindakan bronkoskopi berlangsung. Tindakan BAL ditujukan untuk mengambil spesimen yang berada pada ujung saluran nafas (alveolus) yang terkadang sudah mengendap. Cairan yang didapat dari tindakan BAL ini sangat berguna karena dapat digunakan untuk pemeriksaan mikrobiologi (hapusan BTA dan kultur mycobacterium


(31)

tuberculosis), jumlah sel dan diferensiasi, penyakit infeksi oportunistik pada penderita immuno-compromised, tumor paru dan interstitial lung diseases, gambaran alveolar proteinosis, gambaran terpapar debu seperti badan asbestos, silika, dan sel ganas. Dari beberapa penelitian dapat disimpulkan bahwa hapusan dan kultur dari BAL lebih unggul dibandingkan hapusan dan kultur dari bilasan bronkial ataupun dari dahak setelah bronkoskopi.

2.1.10

Tuberkulosis paru cukup mudah dikenali mulai dari keluhan-keluhan klinis, gejala-gejala, kelainan fisis, kelainan radiologis sampai dengan kelainan bakteriologis.

Diagnosis

Diagnosis TB pada orang dewasa dapat ditegakkan, dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan sputum secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga spesimen sputum SPS BTA hasilnya positif. Bila hanya satu spesimen sputum yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto roentgen dada atau pemeriksaan sputum SPS diulang. Kalau hasil roentgen mendukung TBC, maka penderita didiagnosis sebagai penderita TBC BTA Positif. Tetapi kalau hasil roentgen tidak mendukung TBC, maka pemeriksaan sputum SPS diulang kembali. (Departemen Kesehatan RI, 2002 dan Simanungkalit, 2006).

2.1.11

Pengobatan TB menggunakan obat anti tuberkulosis (OAT) harus adekuat dan minimal 6 bulan. Setiap Negara harus mempunyai pedoman dalam pengobatan TB yang disebut National Tuberculosis Programme (Program Pemberantasan TB).


(32)

Prinsip pengobatan TB adalah menggunakan multidrugs regimen. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya resistensi basil TB terhadap obat. OAT dibagi dalam dua golongan besar, yaitu obat lini pertama dan obat lini kedua (PDPI, 2006).

Obat lini pertama (utama) adalah isonoazid (H), etambutol (E), pirazinamid (Z), rifampisin (R), sedangkan yang termasuk obat lini kedua adalah etionamide, sikloserin, amikasin, kanamisin kapreomisin, klofazimin dan lain-lain yang hanya dipakai pada pasien HIV yang terinfeksi dan mengalami multidrug resistant (MDR).

Dosis yang dianjurkan oleh International Union Against Tuberculosis (IUAT) adalah dosis pemberian setiap hari dan dosis pemberian intermitten. Perlu diingat bahwa dosis pemberian setiap hari berbeda dengan dosis intermitten yang lebih lama berkisar 3 hari 1 X [Tabel 2.1]. Dasar pemberian obat secara berkala adalah karena adanya ”lag periode”, yaitu jangka waktu tertentu dimana kuman-kuman TB tidak dapat tumbuh setelah kontak dengan obat habis, efek obat masih tetap berlangsung selama 24-72 jam (Simanungkalit, 2006).Setiap obat memiliki efek samping tertentu begitu juga dengan OAT, maka harus diperhatiakn cara penanganannya [Tabel 2.2].


(33)

Tabel 2.1. Dosis Obat Anti Tuberkulosis Paru

Nama Obat

Dosis yang direkomendasikan

Dosis Pemberian Setiap Hari Dosis Pemberian Intermittern

mg/kgBB Maksimum (mg)

mg/kgBB Maksimum (mg) Isoniazid (H)

Rifampisin (R)

Pirazinamid (Z)

Streptomisin(S)

Etambutol (E)

5 mg

10 mg 35 mg

15-20 mg

15-25 mg

300 mg

600 mg 2500 mg

750-1000 mg

1800 mg

15 mg

15 mg 50 mg

15-20 mg

750 mg (1 minggu 2X) 600 mg (1 minggu 2X)

750-1000 mg


(34)

Tabel 2.2. Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis

Efek samping Penyebab Tatalaksana

MINOR OAT DITERUSKAN

Tidak nafsu makan, mual, sakit perut

Rifampisin Obat diminum malam

sebelum tidur

Nyeri sendi Pirazinamid Beri aspirin/ allopurinol Kesemuran s/d rasa

terbakar di kaki

INH Beri vitamin B6

(piridoksin) 1 x 100 mg perhari

Warna kemerahan pada air seni

Rifampisin Beri penjelasan, tidak perlu diberi apa-apa

MAYOR HENTIKAN OBAT

Gatal dan kemerahan pada kulit

Semua jenis OAT Beri antihistamin dan dievaluasi ketat

Gangguan keseimbangan (vertigo & nistagmus)

Streptomisin Streptomisin dihentikan

Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan

Ikterik / hepatitis imbas obat (penyebab lain disingkirkan)

Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT sampai ikterik menghilang dan boleh diberikan hepatoprotektor

Muntah dan confusion Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT dan lakukan uji fungsi hati Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan etambutol Kelainan sistemik,

termasuk syok dan purpura

Rifampisin Hentikan rifampisin

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia ( http://www.klikpdpi.com/konsensus/tb.tb.html).


(35)

Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting untuk menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB. International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan WHO menyarankan untuk mengganti paduan obat tunggal dengan kombinasi dosis tetap yang terdiri dari fase intensif dengan fase lanjutan [Tabel 2.3] dalam pengobatan TB primer pada tahun 1998. Keuntungan kombinasi dosis tetap antara lain:

1. Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal

2. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan pengobatan yang tidak disengaja.

3. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar dan standar.

4. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit.

5. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat penurunan penggunaan monoterapi.


(36)

Tabel 2.3. Pemberian Obat Dosis Tetap

BB

Fase intensif Fase lanjutan

2 bulan 4 bulan

Harian Harian 3x/minggu Harian 3X/minggu

RHZE 150/75/400/275 RHZ 150/75/400 RHZ 150/150/500

RH 150/75 RH 150/150

30-37 38-54 55-70 >71 2 3 4 5 2 3 4 5 2 3 4 5 2 3 4 5 2 3 4 5

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. Available from:

Tahap Pengobatan TB Paru Menurut Simanungkalit (2006) tahap pengobatan sesuai WHO (1991) dibagi pada 2 tahap yaitu:

1. Tahap intensif

Melalui kegiatan bakterisid memusnahkan kuman terutama pada populasi kuman yang membelah dengan cepat, dengan menggunakan sedikitnya 2 obat bakterisid. Diberikan setiap hari selama 2 bulan, optimal pada 2 bulan dimana konversi sputum terjadi pada akhir bulan kedua.


(37)

2. Tahap lanjutan

Melalui kegiatan sterilisasi kuman pada pengobatan jangka pendek, atau kegiatan bakteriostatik pada pengobatan konvensional selama sisa masa pengobatan, dengan menggunakan 2 obat setiap hari atau berkala 2-3 kali seminggu. Paduan OAT Yang Digunakan di Indonesia paduan pengobatan yang digunakan oleh program nasional Penanggulangan TB oleh pemerintah Indonesia:

1. Kategori 1: 2 (HRZE) / 4 (HR)3

Tahap intensif diberikan untuk penderita baru TB paru BTA Positif, penderita TB paru BTA negatif rontgen positif dan penderita TB ekstra paru terdiri dari Isonazid (H),Rifampisin (R),Pirazinamid (Z) dan Etambutol (E). Obat-obatan ini diberikan setiap hari selama 2 bulan. Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari HR diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan.

2. Kategori 2: 2 (HRZE)S / (HRZE) / 5 (HR)3E3

Tahap intensif diberikan untuk penderita kambuh (relaps), penderita gagal (failure), dan penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default) diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan HRZE dan suntikan streptomisin (S), diberikan setelah penderita selesai menelan obat. setiap hari. Dilanjutkan 1 bulan dengan HRZE setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu.

3. Kategori 3 : 2(HRZ) / 4(HR)3

Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ), diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu. Obat ini diberikan untuk penderita baru BTA negatif dan rontgen positif sakit ringan dan Penderita TB ekstra paru ringan.


(38)

2.11.2 Evaluasi Pengobatan Tuberkulosis Paru

Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinis, bakteriologi, radiologi, dan efek samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat (PDPI, 2006).

- Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya setiap 1 bulan. - Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit.

Evaluasi klinik

- Evaluasi klinis meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisis. Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9 bulan pengobatan

· Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak )

· Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik harus selalu dilakukan yaitu : - Sebelum pengobatan dimulai - Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif) - Pada akhir pengobatan · Bila ada fasiliti biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi

Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada: Evaluasi radiologik (0 - 2 – 6/9 bulan pengobatan)

· Sebelum pengobatan · Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan kemungkinan keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan)


(39)

· Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan minum obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan atau pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan berobat. Penyuluhan atau pendidikan dapat diberikan kepada pasien, keluarga dan lingkungannya. Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi.

Evalusi keteraturan berobat

- BTA mikroskopis negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat.

Kriteria Sembuh

- Pada foto toraks, gambaran radiologi serial tetap sama/ perbaikan.

- Adanya perbaikan klinis berupa hilangnya batuk, penambahn berat badan dan lain-lain

- Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif.

2.1.11

1.Vaksinasi BCG, dari beberapa peneliti diketahui bahwa vaksinasi BCG hanya memberikan daya proteksi sebagian saja, yakni 0-80%. (Sudoyo et al., 2006).

Pencegahan

2.Kemoprofilaksis. isoniazid banyak dipakai selama ini karena harganya murah dan efek sampingnya sedikit. Obat alternatif lain adalah Rifampisin. (Sudoyo et al., 2006). Kemoprofilaksis hanya dapat digunakan di daerah endemic sahaja.


(40)

2.2.

2.2.1.

Strategi DOTS

Pengertian DOTS

Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) adalah suatu stategi pengobatan TB paru dengan OAT yang mengutamakan pengawasan minum obat selama masa pengobatan, mencegah pasien drop out (putus berobat) serta pencarian dan penemuan kasus baru di masyarakat. Dalam program ini terdapat pengawas minum obat (PMO) yang mempunyai tugas untuk PMO mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan, memberi dorongan dan semangat kepada pasien, mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan serta memberi penyuluhan kepada pasien. Organisasi kesehatan dunia, WHO (2010) menyatakan bahwa kunci keberhasilan program penanggulangan TB adalah dengan menerapkan strategi DOTS, yang juga telah dianut oleh negara kita dan mempunyai keberhasilan sebanyak 95%. Oleh karena itu pemahaman tentang DOTS merupakan hal yang sangat penting agar TB dapat ditanggulangi dengan baik.

2.2.2.

Menurut WHO (2010), DOTS mengandung lima komponen penting, yaitu : Komponen Strategi DOTS

1. Komitmen pemerintah untuk menjalankan program TB nasional.

2. Penemuan kasus TB dengan pemeriksaan BTA mikroskopis, utamanya dilakukan pada mereka yang datang ke fasilitas kesehatan karena keluhan paru dan pernapasan. 3. Pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung, dikenal dengan istilah DOT (Directly Observed Therapy). Pasien diawasi secara langsung ketika menelan obatnya, obat yang diberikan harus sesuai dengan standar.


(41)

4. Pengadaan OAT secara berkesinambungan (tersedia). Masalah uatama dalam hal ini adalah perencanaan dan pemeliharaan stok obat pada berbagai tingkat daerah. 5. Monitoring serta pencatatan dan pelaporan yang baku /stándar. Setiap pasien TB yang diobati harus mempunyai satu kartu identitas pasien yang kemudian tercatat di catatan TB yang ada di fasilitas kesehatan tersebut.

2.2.3

Untuk meningkatkan pelaksanaan DOTS, saat ini telah terdapat 6 elemen kunci dalam strategi stop TB yang direkomendasi oleh WHO dan IUALTD (WHO, 2006) yaitu:

Pelaksanaan DOTS

1. Peningkatan dan ekspansi DOTS yang bermutu, meningkatkan penemuan kasus dan penyembuhan melalui pendekatan yang efektif terhadap seluruh pasien terutama pasien tidak mampu.

2. Memberikan perhatian pada kasus TB-HIV, MDR-TB, dengan aktiviti gabungan TB-HIV, DOTS-PLUS dan pendekatan-pendekatan lain yang relevan

3. Kontribusi pada sistem kesehatan, dengan kolaborasi bersama program kesehatan yang lain dan pelayanan umum.

4. Melibatkan seluruh praktisi kesehatan, masyarakat, swasta dan non-pemerintah dengan pendekatan berdasarkan Public-Private Mix (PPM) untuk mematuhi International Standards of TB Care.

5. Mengikutsertakan pasien dan masyarakat yang berpengaruh untuk berkontribusi pada pemeliharaan kesehatan yang efektif.


(42)

6. Memungkinkan dan meningkatkan penelitian untuk pengembangan obat baru, alat diagnostik dan vaksin. Penelitian juga dibutuhkan untuk meningkatkan keberhasilan program.

2.2.4. Pengawas Minum Obat ( PMO)

Salah satu komponen DOTS yang paling penting adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung minum obat. Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang Pengawas Minum Obat (PMO). Syarat-syarat PMO antara lain :

• Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.

• Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien. PMO merupakan kunci dari keberhasilan DOTS tersebut. PMO memiliki beberapa tugas penting yaitu:

• Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan (6-9 bulan)

• Memberi dorongan dan semangat kepada pasien berupa nasehat – nasehat

• mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan ataupun bila terdapat indikasi lain

• Memberi penyuluhan kepada pasien & keluarga pasien mengenai penyakit TB dan mengawasi keluarga pasien yang mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB agar melakukan pemeriksaan.


(43)

Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien mengambil obat dari unit pelayanan kesehatan (Depkes, 2006) Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada pasien dan keluarganya:

• TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur. • TB bukan penyakit keturunan atau kutukan.

• Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya. • Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan).

• Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur.

Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta pertolongan ke pelayanan kesehatan

2.2.5. Kendala Pelaksanaan DOTS

Masih banyak kendala dalam pelaksanaan DOTS merupakan faktor yang mempersulit dalam pemberantasan TB. Salah satu kendala yang paling sering terjadi adalah rendahnya compliance dan pengetahuan penderita yaitu pasien TB paru tidak mengerti dan tidak sadar akan pentingnya pengobatan yang berkelanjutan dan teratur yang diberikan kepadanya sehingga pasien biasanya tidak begitu peduli mengikuti prosedur pengobatan (Gitawati, 2002).

Kendala lain yang ditemukan dalam pengobatan dengan DOTS antara lain : 1, Pengawasan yang kurang dari PMO, dokter ataupun petugas kesehatan.

2. Pasien merasa bosan dengan pengobatan yang sangat lama sehingga menolak untuk minum obat lagi. Hal ini seharusnya bisa diatasi dengan pemberian penjelasan dari awal pengobatan.


(44)

3. Ketersedian obat juga salah satu kendala pengobatan khususnya pada daerah yang sulit terjangkau.


(45)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka konsep

Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian

3.2 Definisi Operasional

Tabel 3.1. Definisi Operasional Penelitian

Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur Gejala klinis

TB paru

Penyakit TB paru yang diderita oleh responden pada sebelum

penelitian

Wawancara langsung dengan panduan kuesioner

Tempoh waktu hilang gejala

Nominal Penyebab putus berobat

Wawancara

Kepatuhan Pengobatan dan Penyembuhan

Tempoh hilangnya gejala klinis TB paru sebelumnya

Jika rasa sudah sembuh Penderita TB paru


(46)

berlaku atau yang

diagnosisnya telah

ditegakkan oleh dokter

Kepatuhan pengobatan

Riwayat pengambilan pengobatan sebelum penelitian dilakukan oleh pasien

Wawancara langsung dengan panduan kuesioner

Tempoh waktu pengambilan pengobatan

Nominal

3.3. Hipotesis

Berdasarkan teori yang telah dikemukakan sebelumnya, maka hipotesis penelitian ini adalah ada hubungan antara hilangnya gejala klinis TB paru dengan kepatuhan pengobatan.


(47)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian analitik dengan desain potong lintang (cross sectional) yang akan menggambarkan hubungan hilangnya gejala klinis TB dengan kepatuhan pengobatan di RSUP H. Adam Malik, Medan 2012. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan cross sectional dimana pengambilan data dilakukan hanya sekali bagi tiap subyek pada saat wawancara.

4.2 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Poliklinik Bahagian Paru RSUP H. Adam Malik , Medan. Waktu pengambilan data direncanakan pada September-Oktober 2012. 4.3 Populasi dan Sampel Penelitian

4.3.1. Populasi

Populasi dari penelitian ini adalah penderita Tuberkulosis yang datang ke RSUP. Adam Malik, Medan.

4.3.2. Sampel

Yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah penderita Tuberkulosis paru kategori 2 yaitu putus berobat yang datang ke RSUP. Adam Malik, Medan dan memenuhi criteria inklusi serta tidak termasuk dalam criteria eksklusi.


(48)

a) Kriteria Inklusi

1) Pasien yang menderita tuberkulosis paru yang telah menjalani pengobatan selama 1 bulan atau lebih dan telah menghentikan pengobatan selama 2 bulan atau lebih dan kembali berobat (kategori 2: putus berobat)

2) Bersedia menjadi sampel penelitian dengan menandatangani lembar persetujuan setelah penjelasan ( informed consent ).

b) Kriteria Eksklusi

1) Pasien yang baru menderita tuberkulosis paru atau yang mengambil OAT hanya selama 1 bulan (kategori 1)

2) Pasien yang kambuh dan gagal pengobatan (kategori 2)

3) Pasien tuberkulosis paru yang dipindah dari satu kapubaten ke kepubaten lain (kategori3)

4) Pasien tuberkulosis paru dengan kasus kronis(kategori 4)

5) Pasien atau keluarga yang mendampingi pasien tidak menyetujui pasien dijadikan subjek penelitian.

Teknik pengambilan sampel dilakukan secara consecutive sampling dimana semua sampel yang didapat dan memenuhi criteria pemilihan dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah sampel yang diperlukan terpenuhi. Menurut Notoatmodjo (2005), untuk mencapai jumlah sampel dari populasi yang jumlahnya lebih kecil dari 10.000, dapat dihitung berdasarkan rumus :


(49)

n = N 1 + N (d²) Keterangan :

N = Besar populasi n = Besar sampel

d = tingkat kepercayaan/ ketepatan yang diinginkan (0,1)

Hasil dari asumsi, jumlah populasi penderita tuberkulosis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik adalah 4365, maka sekurang-kurangnya 98 orang diperlukan untuk mengikuti penelitian ini.

n = 4365 1 + 4365(0.1²) n= 97.9@98

4.4 Metode Pengumpulan Data

4.4.1. Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer, yaitu data yang didapat langsung dari responden. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara langsung dengan kuesionar kepada sampel penelitian.


(50)

4.4.2. Instrumen Penelitian

Instrumen adalah alat-alat yang akan digunakan untuk pengumpulan data ( Notoatmodjo, 2005 ).

Instrumen penelitian ini berupa kuesionar sebagai alat bantu dalam pengumpulan data yang terdiri dari pertanyaan-pertanyaan terbuka untuk mengumpulkan data hubungan hilangnya gejala klinis tuberculosis dengan kepatuhan pengobatan.

4.5 Metode Analisis Data

Pengolahan data yang terkumpul dianalisis secara analitik (cross sectional), dengan menggunakan Program Statistic Package for Social Science ( SPSS ). Data yang telah dianalisis disajikan dalam bentuk table dan diagram batang.


(51)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

RSUP H. Adam Malik Medan merupakan rumah sakit kelas A dengan SK Menkes No.335/Menkes/SK/VII/1990 dan juga sebagai Rumah Sakit Pendidikan sesuai dengan SK Menkes No.502/Menkes/SK/IX/1991 yang memiliki visi sebagai pusat unggulan pelayanan kesehatan dan pendidikan juga merupakan pusat rujukan kesehatan untuk wilayah pembangunan A yang meliputi Provinsi Sumatera Utara,Aceh,Sumatera Barat dan Riau. Lokasinya dibangun di atas tanah seluas kurang lebih 10 Ha dan terletak di Jalan Bunga Lau No.17 Km 12,Kecamatan Medan Tuntungan Kotamadya Medan Provinsi Sumatera Utara.

RSUP H.Adam Malik Medan memiliki fasilitas pelayanan yang terdiri dari pelayanan medis (instalasi rawat jalan, rawat inap,perawatan intensif, gawat darurat, bedah pusat, hemodialisa), pelayanan penunjang medis (instalasi diagnostik terpadu, patologi klinik, patologi anatomi, radiologi, rehabilitasi medik, kardiovaskular, mikrobiologi), pelayanan penunjang non medis (instalasi gizi, farmasi, Central Sterilization Supply Depart(CSSD), bioelektrik medik, Penyuluhan Kesehatan Masyarakat Rumah Sakit (PKMRS), dan pelayanan non medis (instalasi tata usaha pasien,teknik sipil pemulasaraan jenazah).

5.2. Karakteristik Responden

Pada penelitian ini, karakteristik responden yang ada dapat dibedakan berdasarkan jenis kelamin, umur, pekerjaan, dan pendidikan terakhir. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel di bawah ini.


(52)

Tabel 5.2.1 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Responden

No. Jenis Kelamin Jumlah (Orang) Persentase (%)

1 Laki-Laki 64 65,3

2 Perempuan 34 34,7

Total 98 100

Dari Tabel 5.2.1. dapat diketahui bahwa mayoritas reponden berjenis kelamin laki-laki yaitu sejumlah 61 orang (62,2%), sedangkan responden yang berjenis kelamin perempuan berjumlah 37 orang (37,8%).

Tabel 5.2.2. Distribusi Frekuensi Umur Responden

No. Umur Jumlah (orang) Persentase (%)

1 Remaja akhir 1 1.0

2 Dewasa awal 37 37.8

3 Dewasa akhir 36 36.7

4 Lansia awal 16 16.3

5 Lansia akhir 7 7.1

6 Manula 1 1.0

Total 98 100.0

Tabel 5.2.2. menunjukkan pembahagian umur berdasarkan Depkes RI, 2009. Terdapat 1 (1,0%) orang yang menderita pada kategori remaja akhir yaitu umur diantara 17-25 tahun. Bagi dewasa awal yaitu umur diantara 26-35 tahun terdapat 37 (37,8%) orang yang menderita TB dan putus berobat. Terdapat 36 (36,7%) orang yang putus berobat pada fase dewasa akhir yaitu umur diantara 36-45 tahun. Terdapat 16 (16,3%) orang yang putus berobat semasa lansia awal yaitu umur diantara 46-55 tahun. Terdapat 7 (7,1%) orang yang putus berobat pada lansia akhir manakala 1 (1,0%) orang yang putus berobat pada manula


(53)

Tabel 5.2.3. Distribusi Fekuensi Pekerjaan Responden

No Pekerjaan Jumlah (Orang) Persentase (%)

1 Ibu rumah tangga 13 13,3

2 Karyawan 14 14,3

3 Nelayan 1 1,0

4 Tukang becak 7 7,1

5 Pensiunan 5 5,1

6 Petani 27 27,6

7 PNS 5 5,1

8 Supir 4 4,1

9 Wiraswasta 22 22,4

Total 98 100

Dari Tabel 5.2.3. dapat dilihat bahwa sejumlah 27 orang (27,6%) responden berprofesi sebagai petani. Sementara jenis pekerjaan responden yang paling sedikit adalah sebagai nelayan yaitu 1 orang (1,0%).

Tabel 5.2.4. Distribusi Frekuensi Pendidikan Terakhir Responden No Pendidikan Terakhir Jumlah (Orang) Persentase (%)

1 Tidak sekolah 20 20,4

2 SD 13 13,3

3 SMP 27 27,6

4 SMA 24 24,5

5 diploma 5 5,1

6 sarjana 9 9,2


(54)

Tabel 5.2.4. menunjukkan distribusi frekuensi pendidikan terakhir responden penelitian, dimana didapati sebanyak 27 orang (27,6%) responden pendidikan terakhirnya tamat SMP sedangkan 5 orang (5,1%) dari keseluruhan responden memiliki diploma.

5.3. Hasil Analisis Data

a. Persentase Penderita TB Paru Putus Berobat

Pada penelitian ini responden terbahagi 4 kelompok yaitu pasien TB putus berobat karena merasa sembuh,sibuk,rumah sakit jauh dan atas masalah lain. . Jumlah responden dalam masing-masing kelompok dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.3.1 Distribusi Penyebab Putus Berobat

No Penyebab Jumlah (orang) Persentase (%)

1 merasa sembuh 58 59,2

2 sibuk 14 14,3

3 rumah sakit jauh 15 15,3

4 lain-lain 11 11,2

Total 98 100,0

Tabel 5.3.1 menunjukkan distribusi frekuensi penyebab responden penelitian putus berobat, dimana didapati sebanyak 58 (59,2%) orang yang putus berobat karena merasa sembuh, terdapat 14 (14,3%) orang yang putus berobat karena sibuk, 15 (15,3) orang pula yang putus berobat karena rumah sakit jauh dan 11 orang (11,2%) putus berobat atas sebab lain-lain seperti masalah transportasi,ketakutan efek samping obat dan pindah


(55)

Tabel 5.3.2 Distribusi hilangnya gejala klinis

Bulan

Gejala

<2 2-3 >3 Gejala tidak hilang Total

Batuk 30 9 8 11 58

Batuk berdarah 29 14 6 0 49

Nyeri dada 19 20 7 2 48

Sesak nafas 23 15 6 2 46

Demam 27 10 6 10 53

Tabel 5.3.2 menunjukkan kebanyakan gejala hilang dalam 2 bulan dan tidak ada orang yang menghentikan pengobatan sebelum gejala batuk berdarah hilang. Selain itu,hanya sedikit 2 orang yang menghentikan pengobatan sebelum gejala nyeri dada dan sesak nafas hilang. Terdapat 11 orang yang gejala batuknya tidak hilang dan menghentikan pengobatan sebelum gejalanya hilang. Terdapat 10 orang yang gejala demamnya tidak walaupun sudah lebih dari 4 bulan pasien mengambil pengobatan karena gejalanya hilang timbul sehingga pasien merasakan gejalanya tidak hilang.

5.4. Hasil Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan gejala klinis dengan kepatuhan pengobatan. Data hasil penelitian dapat di lihat pada table berikut ini.


(56)

Tabel 5.4.1. Hubungan antara hilangnya gejala klinis dengan waktu makan obat Gejala

klinis

Makan obat

Total Persentase (%)

OR

Setiap hari % Hanya

ambil jika ingat

%

Batuk < 2 bulan 25 80,6 5 18,5 30 51,7

18,333 ≥ 2 bulan 6 19,4 22 81,5 28 48,3

Total 31 100,0 27 100,0 58 100.0

Batuk berdarah

< 2 bulan 20 80,0 9 37,5 29 59,2

6,667 ≥ 2 bulan 5 20,0 15 62,5 20 40,8

Total 25 100,0 24 100,0 49 100,0

Nyeri dada

< 2 bulan 15 60,0 4 17,4 19 39,6

7,125 ≥ 2 bulan 10 40,0 19 82,6 29 60,4

Total 25 100,0 23 100,0 48 100,0

Sesak nafas

< 2 bulan 18 75,0 5 22,7 23 50,0

10,200 ≥ 2 bulan 6 25,0 17 77,3 23 50,0

Total 24 100,0 22 100,0 46 100,0

Demam < 2 bulan 23 79,3 4 16,7 27 50,9

19,167 ≥ 2 bulan 6 20,7 20 83,3 26 49,1

Total 29 100,0 24 100,0 53 100,0

Tabel 5.4.1. menunjukkan hilangnya gejala klinis dengan makan obat, daripada 58 orang yang putus berobat karena “sembuh” terdapat 30 orang gejala klinis batuknya hilang kurang dari 2 bulan dan 28 orang gejalanya hilang lebih dari 2 bulan.Batuk berdarah pula terdapat 29 orang yang gejalanya hilang kurang dari 2 bulan dan 20 orang lebih dari 2 bulan. Terdapat 9 orang yang tidak mengalami gejala ini. Gejala klinis nyeri dada yang hilang kurang dari 2 bulan adalah 19 orang dan


(57)

lebih dari 2 bulan adalah 29 orang. Terdapat 10 orang yang tidak mengalami gejala ini.Terdapat 23 orang yang gejalanya hilang kurang dari 2 bulan dan 23 orang yang gejalanya hilang lebih dari 2 bulan untuk sesak nafas. Terdapat 12 orang yang tidak mengalami gejala ini. Bagi demam pula, 27 orang yang gejalanya hilang dalam 2 bulan manakala seramai 26 orang gejalanya hilang lebih dari 2 bulan. Terdapat 5 orang yang tidak mengalami gejala ini.

Setelah dilakukan uji hipotesis dengan metode Chi Square diperoleh nilai p (p value) adalah 0,000 (p < 0,005) bagi batuk,sesak nafas dan demam nilai p (p value) adalah 0,000 (p <0,005) manakala untuk batuk berdarah adalah 0,002 (<0,005) dan nyeri dada adalah 0,003 (p< 0,005) yang berarti bahwa ada hubungan antara hilangnya gejala klinis tb paru dengan pengambilan pengobatan.

Hasil perhitungan Odds Ratio (OR) dan hasilnya seperti berikut odds ratio batuk adalah 18,333.Odds Ratio yang lebih besar dari 1 menunjukkan adanya hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Pada penelitian ini besarnya odds ratio di atas angka 1, karena itu dapat dikatakan bahwa pada penelitian ini ada hubungan hilang gejala klinis dengan kepatuhan minum obat. Dari hasil perhitungan, diketahui bahwa orang yang yang minum obat tidak teratur memiliki resiko 18,333 kali lebih besar untuk gejala batuk tidak hilang dalam pasien yang putus berobat karena merasa sembuh. Odds rasio batuk berdarah adalah 6,667 yang bermakna orang yang minum obat setiap hari mempunyai tingkat kesembuhan 6,667 kali lebih tinggi dari yang minum obat apabila hanya ingat dalam pasien yang putus berobat karena merasa sembuh. Nyeri dada,sesak nafas dan demam mempunyai odds rasio 7,125, 10,200 dan 19,167 masing yang tingkat kesembuhan masing-masing tinggi dari yang minum obat apabila ingat saja dalam pasien yang putus berobat karena merasa sembuh .


(58)

Table 5.4.2. Hubungan antara hilang gejala klinis dengan cara makan pengobatan

Gejala klinis

Cara Total Persentase

(%)

OR

Sebelum makan

% Selepas

makan

%

Batuk < 2 bulan 27 73,0 3 14,3 30 51,7

16,200

≥ 2 bulan 10 27,0 18 85,7 28 48,3

Total 37 100,0 21 100,0 58 100,0

Batuk berdarah

< 2 bulan 26 74,3 3 21,4 29 59,2

10,539

≥ 2 bulan 9 25,7 11 78,6 20 40,8

Total 35 100,0 14 100,0 49 100,0

Nyeri dada

< 2 bulan 18 52,9 1 7,1 19 39,6

14,625

≥ 2 bulan 16 47,1 13 92,9 29 60,4

Total 34 100,0 14 100,0 48 100,0

Sesak nafas

< 2 bulan 20 71,4 3 16,7 23 50,0

12,500

≥ 2 bulan 8 28,6 15 83,3 23 50,0

Total 28 100,0 18 100,0 46 100,0

Demam < 2 bulan 24 72,7 3 15,0 27 50,9

15,111

≥ 2 bulan 9 27,3 17 85,0 26 49,1

Total 33 100,0 20 100,0 53 100,0

Tabel 5.4.3. menunjukkan hilangnya gejala klinis dengan cara makan obat, daripada 58 orang yang putus berobat karena “sembuh” terdapat 30 orang gejala klinis batuknya hilang kurang dari 2 bulan dan 28 orang gejalanya hilang lebih dari 2 bulan.Batuk berdarah pula terdapat 29 orang yang gejalanya hilang kurang dari 2 bulan dan 20 orang lebih dari 2 bulan. Terdapat 9 orang yang tidak mengalami gejala ini. Gejala klinis nyeri dada yang hilang kurang dari 2 bulan adalah seramai 19 orang dan lebih dari 2 bulan adalah 29 orang. Terdapat 10 orang yang tidak mengalami


(59)

gejala ini.Terdapat 23 orang yang gejalanya hilang kurang dari 2 bulan dan 23 orang yang gejalanya hilang lebih dari 2 bulan untuk sesak nafas. Terdapat 12 orang yang tidak mengalami gejala ini. Bagi demam pula, 27 orang yang gejalanya hilang dalam 2 bulan manakala seramai 26 orang gejalanya hilang lebih dari 2 bulan. Terdapat 5 orang yang tidak mengalami gejala ini.

Setelah dilakukan uji hipotesis dengan metode Chi Square diperoleh nilai p (p value) adalah 0,000 (p < 0,005) bagi batuk,sesak nafas dan demam manakala nilai p (p value) untuk batuk berdarah adalah 0,001 (p <0,005) dan nyeri dada 0,003 (<0,005) yang berarti bahwa ada hubungan antara hilangnya gejala klinis tb paru dengan minum obat yaitu sebelum makan lebih baik dari selepas makan.

Manakala melalui perhitungan Odds Ratio (OR) dan hasilnya seperti berikut besarnya odds ratio batuk adalah 16,200.Odds Ratio yang lebih besar dari 1 menunjukkan adanya hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Pada penelitian ini besarnya odds ratio di atas angka 1, karena itu dapat dikatakan bahwa pada penelitian ini ada hubungan hilang gejala klinis batuk berdarah dengan cara pengambilan obat. Dari hasil perhitungan, diketahui bahwa orang yang yang mengambil selepas makan 16,200 kali lebih besar untuk gejala batuk tidak hilang dalam pasien yang putus berobat karena merasa sembuh. Sementara batuk berdarah mempunyai odds rasio 10,539 yang bermakna orang yang mengambil pengobatan sebelum makan mempunyai tingkat kesembuhan 10,539 kali lebih tinggi dari yang mengambil pengobatan apabila hanya ingat dalam pasien yang putus berobat karena merasa sembuh . Nyeri dada,sesak nafas dan demam mempunyai odds rasio 14,625, 12,500 dan 15,111 masing yang tingkat kesembuhan masing-masing tinggi dari yang mengambil pengobatan selepas makan dalam pasien yang putus berobat karena merasa sembuh .


(60)

5.5. Pembahasan

Sekitar sepertiga dari populasi dunia yang terinfeksi Mycobacterium tuberculosis dengan lebih dari 95% yang terinfeksi adalah negara membangun. Pelbagai penelitian dilakukan untuk mengetahui penyebab putus berobat. Dengan mengetahui penyebab-penyebab putus berobat maka dapat mencegah pasien kembali dengan resistensi, relapse atau menderita TB lebih lama.

Penelitian ini mencoba mencari hubungan antara hilangnya gejala klinis TB paru dengan kepatuhan pengobatan. Gejala klinis TB biasanya hilang dalam fase intensif dengan pengambilan obat yang teratur..Segala gejala klinis TB biasanya berkurang pada fase intensif dan pasien putus berobat karena mereka merasa merasa bebas dari gejala klinisnya (Chandrasekaran.V et.al,2005)

Putus berobat dikaitkan dengan panjang dan kompleksitas pengobatan keadaan dimana sebagian besar pasien merasa sembuh atau lebih baik setelah bulan pertama atau kedua pengobatan(Shargie & Lindtjorn 2007).Di dalam penelitian yang dilakukan oleh peneliti terdapat 59,2% pasien yang putus berobat karena merasa sembuh diikuti dengan rumah sakit yang jauh (15,3%) ,sibuk (14,3%) dan masalah lain-lain (11,2%) seperti masalah transportasi,ketakutan efek samping dan pindah.Hal ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Sinha dan Tiwari di distrik Raipur India, mendapatkan 33,38% dari 695 pasien TB mangkir berobat. Pada penelitian ini juga dicari beberapa alasan yang melatarbelakangi ketidakpatuhan penderita ini. Alasan yang paling banyak dilontarkan oleh pasien-pasien ini adalah membaiknya kondisi dan berkurangnya keluhan penyakitnya atau yang dalam penelitian kami disebut over-estimated (34,48%). Selain itu ketakutan akan efek samping obat (20,26%) dan jauhnya jarak fasilitas kesehatan dengan tempat tinggal pasien (15,52%) juga dilaporkan sebagai alasan ketidakpatuhan ini.

Pada analisa data yang telah dilakukan menunjukkan kebanyakkan pasien putus berobat karena merasa sembuh dalam masa kurang dari 2 bulan dan adanya


(61)

hubungan di antara hilangnya gejala klinis dengan pengambilan pengobatan, hal ini sama dengan penelitian yang dilakukan di Narobi yang kebanyakkan pasien yang putus berobat seringnya pada awal pengobatan karena merasa sembuh selepas mengambil obat untuk masa yang terdekat dan dalam penelitian ini dapat ditunjukkan oleh adanya nilai OR =18,333 untuk batuk, yang berarti seseorang yang mengambil pengobatan setiap hari berpeluang unuk hilang gejala klinis 18,333 kali dari yang mengambil pengobatan apabila hanya ingat dalam pasien putus berobat karena sembuh. Manakala OR= 6,667 untuk batuk berdarah yang berarti peluang seseorang yang hanya mengambil pengobatan apabila ingat berpeluang untuk tidak hilang gejala klinis kurang dari 2 bulan adalah 6,667 kali dari yang mengambil pengobatan setiap hari,Bagi nyeri dada pula OR= 7,125 yang berarti seseorang yang mengambil pengobatan setiap hari berpeluang untuk hilang gejala klinis pada fase intensif adalah sebanyak 7,125 kali dari yang mengambil pengobatan apabila hanya ingat dalam pasien putus berobat karena merasa sembuh, Bagi sesak nafas pula, OR=10,200 p=0,000 yang berarti seseorang yang mengambil pengobatan setiap hari berpeluang unuk sembuh 10,200 kali dari yang mengambil pengobatan apabila hanya ingat dan OR=19,167 untuk demam yang berarti seseorang yang mengambil pengobatan setiap hari berpeluang untuk sembuh 19,167 kali dari yang mengambil pengobatan apabila hanya ingat dalam pasien putus berobat karena sembuh. OR batuk dan demam tinggi karena pasien memandang gejala ini sebagai gejala yang remeh dan tidak mengambil pengobatan secara teratur.Manakala untuk sesak nafas,dan demam berdarah pasien lebih rajin mengambil pengobatan setiap hari. Walaupun gejala nyeri dada tidak hilang dalam 2 bulan pasien masih rajin mengambil pengobatan sehingga mereka sembuh.di dalam penelitian yang dilakukan oleh Chandrasekran di India mengatakan pada akhir bulan ke-2 pemeriksaan sputum menjadi BTA negatif dan kebanyakkan kurang simptomatik dan daya menularkan penyakitnya berkurang jika pasien mengambil pengobatan yang teratur. Menurut Rosanna pula kebanyakkan gejala klinis hilang disebabkan inhibisi separuh mycobacterium tuberculosis semasa pengambilan pengobatan yang teratur menyebabkan hilangnya gejala klinis dan


(62)

terjadinya perbaikan respon inflamasi dan kerusakkan jaringan.selain itu, pasien yang mengambil pengobatan anti-TB yang irregular berpotensi terjadinya extensively drug resistant tuberculosis.

Pada analisa data yang telah dilakukan menunjukkan adanya diantara hilangnya gejala klinis dengan cara pengambilan obat, hal ini dapat ditunjukkan oleh adanya nilai OR= 16,200 untuk batuk, OR=10,539 untuk batuk berdarah,OR=14,625 untuk nyeri dada, OR=12,500 untuk sesak nafas dan OR= 15,111. OR demam dan batuk masih tinggi berbanding gejala klinis batuk berdarah dan sesak nafas karena pandangan masyarakat masalah terhadap demam dan batuk sebagai gejala ringan dan mengambil pengobatan dari luar. Menurut WHO, waktu pengambilan obat TB yang benar adalah dengan perut kosong yaitu 1 jam sebelum makan atau 2 jam selepas makan.Macleods mengatakan dengan lebih spesifik bahawa absorpsi dan bioavailabilitas isoniazid dan ethambutanol yang > 80% akan berkurang jika seseorang mengambil pengobataan ini dengan makanan. Menurut Varaine. F, juga mengatakan absorpsi Rifampisin turut berkurang dengan pengambilan makanan. Walaubagaimanapun, terdapat sesetengah pasien dinasihatkan mengambil obat sebelum tidur jika pasien mengalami efek samping pengobatan rimfapisin (PDPI,2002).

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh oleh peneliti, proporsi jenis kelamin pasien TB putus berobat lebih banyak laki-laki di banding perempuan yaitu 65,3% berbanding 34,7%. Hal ini serupa dengan penelitian yang di lakukan oleh Putri bahawa 65,52%: 34,48%. Kecenderungan laki-laki lebih tinggi untuk mangkir berobat kemungkinan karena laki-laki aktivitasnya lebih tinggi dalam sehari-harinya,serta laki-laki merupakan tulang punggung keluarga yang harus bekerja.

Rata- rata usia pasien mayoritas dalam penelitian ini adalah pada fase dewasa awal. Menurut WHO, resiko umur yang paling rentan pada TB adalah 15-55 tahun yaitu dari fase remaja awal hingga lansia awal yang hampir sama dengan penelitian


(63)

yang telah dilakukan oleh peneliti.Tingginya angka pasien laki-laki pada usia produktif memungkinkan penularan yang lebih luas.Hal ini dikarenakan kelompok laki-laki kebanyakan keluar rumah mencari nafkah pada usia produktif, dengan frekuensi keluar rumah yang sering dapat dimungkinkan terjadinya penularan. Mayoritas pasien yang diwawancara adalah petani yaitu sebanyak 28,6% yang berarti perbedaan pekerjaan yang dimiliki seseorang menyebabkan terdapat pula perbedaan status sosial ekonomi yang dimiliki ( Notoatmodjo 2007) Pekerjaan dalam penelitan ini adalah pekerjaan sehari – hari sampel untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.sosioekonomi yang rendah yang lebih rentan terhadap infeksi TB karena persekitaran yang berdebu dan ventilasi yang jelek seperti yang dinyatakan dalam penelitian.

Kebanyakkan pasien yang diwawancarai hanya tamat SMP sama seperti yang dinyakan oleh Nurhayati di Banggai yaitu 33,5%. Pendidikan tentang TBC paru dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan yang memberi pengaruh positif dalam penyembuhan, hal ini sesuai dengan yang dikemukan oleh (Depkes RI, 2002) bahwa tingkat pendidikan yang relatif rendah pada penderita TB paru menyebabkan keterbatasan informasi tentang gejala dan pengobatan TB paru.


(64)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Dari penelitian ini, peneliti menyimpulkan:

• Dari 98 orang responden penelitian diketahui 58 orang (59,2%) yang putus berobat karena merasa sembuh.

• Daripada 58 orang, rata-rata 50% orang menghentikan pengobatan dalam masa kurang dari 2 bulan karena gejala klinisnya hilang dengan minum obat secara teratur.

• Ditemuka n adanya pengaruh antara hilangnya gejala klinis dengan kepatuhan pengobatan di Rumah Sakit Haji Adam Malik.

6.2. Saran

Dari penelitian ini, terlihat bahwa secara keseluruhan :

• Dari hasil penelitian, gejala klinis TB akan hilang dalam masa 2 bulan jika pasien minum obat secara teratur dan ini mendorong pasien menghentikan pengobatan karena merasa sembuh. Oleh itu, petugas kesehatan haruslah giat dalam memberikan penyuluhan kepada penderita TB tentang pentingnya pengobatan secara tuntas atau lamanya pengobatan penyakit TB terutama pada akhir fase intensif . • Jika pasien tidak minum obat secara tuntas maka pasien beresiko

untuk mendapat infeksi TB kembali jadi pasien haruslah mengambil pengobatan seperti yang dianjurkan oleh tenaga kesehatan agar pasien dapat sembuh sepenuhnya dan dapat mencegah infeksi kembali.


(65)

DAFTAR PUSTAKA

Aditama TY, Subuh M. 2011, Strategi Nasional Pengendalian TB, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan

Aditama, T.Y. 2006, Tuberkulosis, Rokok & Perempuan. Jakarta: FKUI.

Bagiada IM, Primasari NLP, Kegagalan Pengobatan Penderita TB diambil dari http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat ketidakpatuhan penderita tbc.pdf

Bayona J.,dkk, 2008, Implementing The Stop TB Strategy, WHO,Geneva

Behrman, Kliegman, Arvin, Nelson 1999, Ilmu Kesehatan Anak Nelson Volume II Edisi 15. EGC, Jakarta.

Bertin TT, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Pengobatan pada Pasien Tuberkulosis dengan Resistensi Tuberkulosis di Wilayah Jawa Tengah


(66)

Chandrasekran.V dkk 2005, Default During the Intensive phase of treatment under DOTS Programme

Crofton, J., Horne, N., dan Miller, F 2002, Clinical Tuberculosis. 2nd ed. Mac Millan, London.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2002, Pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis, cetakan VI, Jakarta.

Dinas Kesehatan Sumatera Utara 2008, Profil Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota Tahun 2007. Medan: Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara.

Djojodibroto, D. 2009, Tuberkulosis Paru. In: Perdan, T.I.M., Susanto, D., eds. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta: EGC, 151-168.

Dr.Manaf A,dkk 2006, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Departmen Kesehatan Republik Indonesia,Edisi 2, Cetakan pertama


(67)

DRA Umar F,dkk 2005, Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Tuberkulosis,Departmen Kesehatan Republik Indonesia

Extensively Drug Resistant Tuberculosis, diambil dari

Gerdunas-TB 2007, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Gitawati, R., dan Sukasediati, N. 2002, Studi Kasus Hasil Pengobatan

Tuberkulosis Paru di 10 Puskesmas di DKI Jakarta 1996-1999. In : Sriwidodo W.S. ed. Cermin Dunia Kedokteran No. 137. Jakarta: Grup PT Kalbe Farma, 18-21.

International Union Against Tuberculosis And Lung Disease, Tuberkulosis

diambil dar

Khomsah 2007, Survei Prevelensi TB diambil dari


(68)

Macleods Pharmaceuticals 2011, Summary of Product Characteristic, Mumbai

Mukty, A., Widjaja A., Margono, B.P., Sampoerno, D., Santoso, I., Alsagaff, H., et al. 2005, Infeksi Tuberkulosis Paru. In: Alsagaff, H., dan Mukty A., eds. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga University Press, 73-109.

Muture NB dkk, Factors associated with default from treatment among

tuberculosis patients in nairobi province, Kenya diambil dari

Notoatmodjo, S., 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta

Notoatmodjo, S. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta : Rineka Cipta

Nurhayati W 2012, Gambaran Karakteristik penderita TBC paru di Wilayah Kerja Puskesmas Pagimana,Kecamatan Pagimana, Kebupaten Banggai


(69)

Parry EHO 1986. Principles Of Medicine in Africa. 3rd Ed. Dalam: Itah, A.Y., and Udofia, S.M., 2005. Epidemiology And Endemicity Of Pulmonary Tuberculosis (PTB) In Southeastern Nigeria. University of Uyo, Nigeria: 317-323.

PDPI(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia) 2011, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis Di Indonesia

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia 2006, Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. Available from:

Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI

2012, Bersatu Menuju Indonesia Bebas Tuberkulosis di ambil dari

Putri NL, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Ketidakpatuhan Penderita Tuberkulosis dalam Berobat di Poliklinik DOTS RSUP Sanglah Denpasar


(70)

Raviglione M.dkk 2006, The Stop TB Strategy.World Health Organisation (WHO) ,Geneva

Sastroasmoro, S 2008, Dasar-Dasar Metodologi Penelitian. Jakarta : Sagung Seto.

Simanungkalit, B. 2006, Pola Konversi Dan Resistensi Kuman Serta Faktor Yang Berhubungan Pada Penderita TB Paru.

Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., dan Setiati, S. 2009, Tuberkulosis Paru & Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III 5ed. Available from . Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2230 - 2253.

Rossana A. dkk, Infectious Disease Section, College of Medicine, University of the Philippines and the Philippine General Hospital

Shargie EB & Lindtjorn B 2007, Determinants of treatment adherence among smear-positive pulmonary tuberculosis patients in Southern Ethiopia, PLoS Medicine 4


(71)

Sinha T, Tiwari S. DOTS compliance by tuberculosis patients in District Raipur (Chhattisgarh). Online J Health Allied Scs 2010;9(3):12-9.

Varaine.F, Henkes.M, Grouzard.V 2010, Tuberculosis, Edisi 5

WHO 2O12, Komponen Strategi dan Pelaksanaan DOTS diambil dari


(1)

Crosstab

pengambilan obat

Total setiap hari

hanya ambil jika ingat

sesak nafas <2 Count 18 5 23

% within pengambilan obat 75.0% 22.7% 50.0%

>2 Count 6 17 23

% within pengambilan obat 25.0% 77.3% 50.0%

Total Count 24 22 46

% within pengambilan obat 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 12.545a 1 .000

Continuity Correctionb 10.542 1 .001

Likelihood Ratio 13.195 1 .000

Fisher's Exact Test .001 .000

N of Valid Cases 46

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 11.00. b. Computed only for a 2x2 table


(2)

Value Lower Upper Odds Ratio for sesak nafas

(<2 / >2)

10.200 2.620 39.717

For cohort pengambilan obat = setiap hari

3.000 1.459 6.169

For cohort pengambilan obat = hanya ambil jika ingat

.294 .131 .663

N of Valid Cases 46

Crosstab

cara pengambilan obat

Total sebelum makan sesudah makan

sesak nafas <2 Count 20 3 23

% within cara pengambilan obat

71.4% 16.7% 50.0%

>2 Count 8 15 23

% within cara pengambilan obat

28.6% 83.3% 50.0%

Total Count 28 18 46

% within cara pengambilan obat


(3)

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 13.143a 1 .000

Continuity Correctionb 11.044 1 .001

Likelihood Ratio 14.046 1 .000

Fisher's Exact Test .001 .000

N of Valid Cases 46

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9.00. b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for sesak nafas (<2 / >2)

12.500 2.828 55.254

For cohort cara pengambilan obat = sebelum makan

2.500 1.398 4.472

For cohort cara pengambilan obat = sesudah makan

.200 .067 .599


(4)

Crosstab

pengambilan obat

Total setiap hari

hanya ambil jika ingat

demam <2 Count 23 4 27

% within pengambilan obat 79.3% 16.7% 50.9%

>2 Count 6 20 26

% within pengambilan obat 20.7% 83.3% 49.1%

Total Count 29 24 53

% within pengambilan obat 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 20.621a 1 .000

Continuity Correctionb 18.190 1 .000

Likelihood Ratio 22.258 1 .000

Fisher's Exact Test .000 .000

N of Valid Cases 53

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 11.77. b. Computed only for a 2x2 table


(5)

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for demam (<2 / >2)

19.167 4.727 77.716

For cohort pengambilan obat = setiap hari

3.691 1.798 7.578

For cohort pengambilan obat = hanya ambil jika ingat

.193 .076 .487

N of Valid Cases 53

Crosstab

cara pengambilan obat

Total sebelum makan sesudah makan

demam <2 Count 24 3 27

% within cara pengambilan obat

72.7% 15.0% 50.9%

>2 Count 9 17 26

% within cara pengambilan obat

27.3% 85.0% 49.1%

Total Count 33 20 53

% within cara pengambilan obat


(6)

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for demam (<2 / >2)

15.111 3.556 64.217

For cohort cara pengambilan obat = sebelum makan

2.568 1.489 4.428

For cohort cara pengambilan obat = sesudah makan

.170 .056 .512

N of Valid Cases 53

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 16.605a 1 .000

Continuity Correctionb 14.376 1 .000

Likelihood Ratio 17.873 1 .000

Fisher's Exact Test .000 .000

N of Valid Cases 53

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9.81. b. Computed only for a 2x2 table