Komorbiditas pada Pasien Tuberkulosis Paru yang Dirawat Inap di Ruang Rawat Penyakit Dalam RSUP Haji Adam Malik Medan Periode Juli 2010- Juni 2012

(1)

Komorbiditas pada Pasien Tuberkulosis Paru yang Dirawat Inap di Ruang Rawat Penyakit Dalam RSUP Haji Adam Malik Medan

Periode Juli 2010- Juni 2012

Oleh:

GRACE DIO MARGARETHA 100100081

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(2)

Komorbiditas pada Pasien Tuberkulosis Paru yang Dirawat Inap di Ruang Rawat Penyakit Dalam RSUP Haji Adam Malik Medan

Periode Juli 2010- Juni 2012

KARYA TULIS ILMIAH

Oleh:

GRACE DIO MARGARETHA NIM: 100100081

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul

Komorbiditas pada Pasien Tuberkulosis Paru yang Dirawat Inap di Ruang Rawat Penyakit Dalam RSUP Haji Adam Malik Medan Periode Juli 2010- Juni 2012

Nama : Grace Dio Margaretha NIM : 100100081

Pembimbing Penguji I

(dr. Zuhrial Zubir, Sp.PD, KAI) (dr. Jhony Marpaung, Sp. OG) NIP. 195802081985031003 NIP.

Penguji II

(dr. Ariyati Yossi, Sp. KK) NIP.

Medan, Januari 2014

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp. PD-KGEH NIP.


(4)

ABSTRAK

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis yang biasanya menginfeksi paru. Prevalensi TB di Indonesia tahun 2011 mencapai 680.000 kasus dengan kematian hingga 65.000. Selain masalah psikososial dan sosioekonomi, hal ini disebabkan oleh adanya komorbiditas yang dapat mempengaruhi respon dan outcome pengobatan TB. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui komorbiditas yang umum dijumpai serta outcome pasien TB Paru akibat adanya komorbiditas.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan desain cross-sectional yang dilakukan di RSUP Haji Adam Malik, Medan. Pengumpulan data dilakukan melalui analisis 206 data rekam medik pasien TB Paru yang dirawat inap di Ruang Rawat Penyakit Dalam selama Juli 2010 – Juni 2012. Sampel dipilih dengan metode total sampling.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat 130 pasien (63,1%) laki-laki dan 76 pasien (36,9%) perempuan. Pasien paling banyak berada pada kelompok usia 21-30 tahun (29,6%). Dijumpai bahwa 189 pasien TB Paru (91,7%) memiliki komorbiditas. Komorbiditas yang paling banyak dijumpai adalah infeksi HIV sebanyak 96 kasus (46,6%), infeksi oportunistik lain akibat HIV sebanyak 59 kasus (28,6%), dan anemia penyakit kronik serta Diabetes Melitus Tipe 2 masing-masing sebanyak 29 kasus (14,1%). Angka kematian pasien dengan komorbiditas mencapai 6,3%, sedangkan pada pasien tanpa komorbiditas hanya 1%. Lama rawat inap rata-rata pasien dengan komorbiditas dan tanpa komorbiditas masing-masing adalah 10 dan 11 hari.

Dengan mengetahui komorbiditas yang umum dijumpai pada pasien TB Paru, para klinisi diharapkan menjadi lebih peka untuk menemukan dan menatalaksana komorbiditas yang dijumpai, selain mengobati TB Parunya, agar

outcome pasien menjadi lebih baik.


(5)

ABSTRACT

Tuberculosis (TB) is an infectious disease caused by Mycobacterium tuberculosis that usually infects the lungs. The prevalence of TB in Indonesia in 2011 reached up to 680.000 cases with 65.000 deaths. In addition to psychosocial and socioeconomic problems, this is due to the presence of comorbidities that may affect treatment response and outcome of treatment given. This study was conducted to determine the common comorbidity and outcome of TB patients due to the presence of comorbidities.

This research was a descriptive study with cross-sectional design which is conducted in Haji Adam Malik General Hospital Center, Medan. Data was collected by analysing 206 medical records of hospitalized pulmonary TB patients in Internal Medicine Nursing Room during July 2010 – June 2012. The samples were selected by total sampling method.

The results of this study indicate that the patients were 130 men (63,1%) and 76 women (36,9%). Most patients were in the age 21-30 years old (29,6%). There were 189 patients (91,7%) who had the comorbidities. The most common comorbidities found were HIV infection (46,6%), oportunistic infection caused by HIV (28,6%), anemia of chronic disease (14,1%) and Type 2 Diabetes Mellitus (also 14,1%). The mortality rate of patients with comorbidities reached 6,3%, while in patients without comorbidities only 1%. Average of hospitalization days in patients with and without comorbidities, respectively 10 and 11 days.

By knowing these common comorbidities, the clinician who treat pulmonary TB patients is expected to be more aware for finding and managing the comorbidities found, in addition to treating TB itself, so the patients will get better outcomes.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya yang begitu besar sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan hasil penelitian ini. Sebagai salah satu area kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh seorang dokter umum, laporan hasil penelitian ini disusun sebagai rangkaian tugas akhir dalam menyelesaikan program pendidikan di program studi Sarjana Kedokteran, Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Karya Tulis Ilmiah ini berjudul “Komorbiditas pada Pasien Tuberkulosis Paru yang Dirawat Inap di Ruang Rawat Penyakit Dalam RSUP Haji Adam Malik Medan Periode Juli 2010 – Juni 2012”. Dalam proses menyelesaikan penelitian ini, penulis banyak menerima bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp. PD, KGEH, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Univeristas Sumatera Utara.

2. dr. Zuhrial Zubir, Sp.PD, KAI, selaku dosen pembimbing penulis yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pemikirannya dalam membimbing dan mengarahkan penulis, mulai dari awal penyusunan penelitian, pelaksanaan di lapangan, hingga selesainya laporan hasil penelitian ini. 3. dr. Jhony Marpaung, Sp.OG dan dr. Ariyati Yossi, Sp.KK selaku dosen

penguji yang telah memberikan saran dan masukan yang membangun untuk penelitian ini.

4. dr. Ruly Hidayat, Sp.M selaku dosen penasihat akademik penulis selama menjalani pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 5. Tanti selaku staf administrasi Ruang Rawat Penyakit Dalam RSUP Haji

Adam Malik Medan yang telah membantu proses pengambilan data dalam penelitian ini.


(7)

6. Orang tua penulis, Ayahanda Tunggul Rajagukguk, S.H. dan Ibunda Baslia Damanik, serta kedua adik penulis Daniel Putra Aristo dan Agnes Advencia Sagita yang senantiasa mendukung dan memberikan bantuan dalam menyelesaikan laporan penelitian ini.

7. Sahabat-sahabat penulis yang luar biasa atas dukungan, motivasi, dan masukan yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan laporan penelitian ini.

Penulis berharap semoga penelitian ini dapat memberikan sumbangsih bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang ilmu kedokteran.

Penulis menyadari bahwa laporan hasil penelitian ini masih belum sempurna, baik dari segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh sebab itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan laporan hasil penelitian ini di kemudian hari.

Medan, 09 Desember 2013


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

Lembar Pengesahan ... i

Abstrak ... ii

Abstract ... iii

Kata Pengantar ... iv

Daftar Isi ... vi

Daftar Tabel ... viii

Daftar Gambar ... ix

Daftar Singkatan ... x

Daftar Lampiran ... xii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1. TB Paru ... 6

2.1.1. Definisi ... 6

2.1.2. Etiologi ... 6

2.1.3. Faktor Risiko... 7

2.1.4. Patogenesis ... 9

2.1.5. Diagnosis ... 12

2.1.6. Penatalaksanaan ... 18

2.1.7. Komplikasi ... 19

2.2. Komorbiditas ... 19

2.3. TB Paru dan Komorbiditas ... 20

2.3.1. TB-HIV ... 20

2.3.2. TB-DM ... 24

BAB 3 KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 27

3.1. Kerangka Konsep ... 27

3.2. Definisi Operasional ... 27

3.3. Kerangka Penelitian ... 28

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 29

4.1. Jenis Penelitian ... 29

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian ... 29

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 29

4.4. Metode Pengumpulan Data ... 29


(9)

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 31

5.1. Hasil Penelitian ... 31

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 31

5.1.2. Deskripsi Data Penelitian ... 31

5.2. Pembahasan ... 41

5.2.1. Analisis Distribusi Karakteristik Pasien TB Paru Berdasarkan Jenis kelamin ... 41

5.2.2. Analisis Distribusi Karakteristik Pasien TB Paru Berdasarkan Usia ... 42

5.2.3. Analisis Distribusi Karakteristik Pasien TB Paru Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 43

5.2.4. Analisis Distribusi Karakteristik Pasien TB Paru Berdasarkan Pekerjaan ... 44

5.2.5. Analisis Komorbiditas yang Dijumpai pada Pasien TB Paru ... 44

5.2.6. Analisis Outcome Pasien TB Paru ... 47

5.2.7. Analsis Lama Rawat Inap Pasien TB Paru ... 47

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 49

6.1. Kesimpulan ...49

6.2. Saran ... 50

DAFTAR PUSTAKA ... 52 LAMPIRAN


(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1. Defek Imunologis Pasien Diabetes 26 5.1. Distribusi Karakteristik Pasien TB Paru Berdasarkan

Jenis Kelamin 32

5.2. Distribusi Karakteristik Pasien TB Paru Berdasarkan Usia 32 5.3. Distribusi Karakteristik Pasien TB Paru Berdasarkan

Tingkat Pendidikan 33

5.4. Distribusi Karakteristik Pasien TB Paru Berdasarkan

Pekerjaan 34

5.5. Distribusi Pasien TB Paru Berdasarkan Ada/Tidaknya

Komorbiditas 35

5.6. Komorbiditas pada Pasien TB Paru 36 5.7. Infeksi Oportunistik akibat Infeksi HIV pada Pasien TB

Paru 37

5.8 Penyakit Hati dan Kandung Empedu pada Pasien TB Paru 37 5.9. Penyakit Ginjal dan Saluran Kemih pada Pasien TB Paru 37 5.10. Penyakit Kardiovaskular pada Pasien TB Paru 38 5.11. Penyakit Saluran Cerna Lainnya pada Pasien TB Paru 38 5.12. Penyakit Paru dan Saluran Napas lainnya pada Pasien TB

Paru 38

5.13. Penyakit Tulang dan Sendi pada Pasien TB Paru 38 5.14. Tumor/Keganasan pada Pasien TB Paru 39 5.15. Penyakit THT pada Pasien TB Paru 39 5.16. Komorbiditas Lain yang Dijumpai pada Pasien TB Paru 39


(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. Patogenesis TB Paru 12

2.2. Alur Diagnosa TB Paru 18

3.1. Kerangka Konsep 27

3.2. Kerangka Penelitian 28

5.1. Outcome Pasien TB Paru 40


(12)

DAFTAR SINGKATAN

AFRVR Atrial Fibrilation Rapid Ventricular Rate

AIDS Acquired Immunodefficiency Syndrome

AKI Acute Kidney Injury

ARDS Adult Respiratory Distress Syndrome

ARV Anti Retroviral BTA Basil Tahan Asam CD Cluster of Differentiation

CDC Center for Disease Control

CHF Congestive Heart Failure

CKD Chronic Kidney Disease

CMI Cell-Mediated Immunity

CPC Cor-Pulmonale Chronicum

DC Dendritic Cell

DHF Dengue Hemoragic Fever

DM Diabetes Mellitus gp glikoprotein Hb Hemoglobin

HIV Human Immunodeficiency Virus IDDM Insulin Dependent Diabetes Mellitus

IFN Interferon IL Interleukin

iNOS inducible Nitric Oxide Synthase

ISK Infeksi Saluran Kemih

ISTC International Standarts of Tuberculosis Care

LAM Lipoarabinomannan LTR Long Terminal Repeat

MDM Monocyte-Derived Macrophage

NIDDM Non-Insulin Dependent Diabetes Mellitus

NO Nitric Oxide

OA Osteoartritis

OAT Obat Anti Tuberkulosis ODHA Orang Dengan HIV/AIDS OMA Otitis Media Akut

OMSK Otitis Media Supuratif Kronik PAPS Pulang Atas Permintaan Sendiri PBJ Pulang Berobat Jalan

PCP Pneumocystis Carinii Pneumonia

PDPI Perhimpunan Dokter Paru Indonesia PJB Penyakit Jantung Bawaan


(13)

PJK Penyakit Jantung Koroner

PPK Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol PPOK Penyakit Paru Obstruksi Kronik

TB Tuberkulosis

TBTCA Tuberculosis Coalition for Technical Assistance

Th T-Helper

THT Telinga Hidung Tenggorokan TNF Tumor Necrosis Factor


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup

Lampiran 2 Surat Persetujuan Komisi Etik Lampiran 3 Surat Izin Penelitian

Lampiran 4 Surat Tanda Selesai Penelitian Lampiran 5 Data Induk Penelitian


(15)

ABSTRAK

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis yang biasanya menginfeksi paru. Prevalensi TB di Indonesia tahun 2011 mencapai 680.000 kasus dengan kematian hingga 65.000. Selain masalah psikososial dan sosioekonomi, hal ini disebabkan oleh adanya komorbiditas yang dapat mempengaruhi respon dan outcome pengobatan TB. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui komorbiditas yang umum dijumpai serta outcome pasien TB Paru akibat adanya komorbiditas.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan desain cross-sectional yang dilakukan di RSUP Haji Adam Malik, Medan. Pengumpulan data dilakukan melalui analisis 206 data rekam medik pasien TB Paru yang dirawat inap di Ruang Rawat Penyakit Dalam selama Juli 2010 – Juni 2012. Sampel dipilih dengan metode total sampling.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat 130 pasien (63,1%) laki-laki dan 76 pasien (36,9%) perempuan. Pasien paling banyak berada pada kelompok usia 21-30 tahun (29,6%). Dijumpai bahwa 189 pasien TB Paru (91,7%) memiliki komorbiditas. Komorbiditas yang paling banyak dijumpai adalah infeksi HIV sebanyak 96 kasus (46,6%), infeksi oportunistik lain akibat HIV sebanyak 59 kasus (28,6%), dan anemia penyakit kronik serta Diabetes Melitus Tipe 2 masing-masing sebanyak 29 kasus (14,1%). Angka kematian pasien dengan komorbiditas mencapai 6,3%, sedangkan pada pasien tanpa komorbiditas hanya 1%. Lama rawat inap rata-rata pasien dengan komorbiditas dan tanpa komorbiditas masing-masing adalah 10 dan 11 hari.

Dengan mengetahui komorbiditas yang umum dijumpai pada pasien TB Paru, para klinisi diharapkan menjadi lebih peka untuk menemukan dan menatalaksana komorbiditas yang dijumpai, selain mengobati TB Parunya, agar

outcome pasien menjadi lebih baik.


(16)

ABSTRACT

Tuberculosis (TB) is an infectious disease caused by Mycobacterium tuberculosis that usually infects the lungs. The prevalence of TB in Indonesia in 2011 reached up to 680.000 cases with 65.000 deaths. In addition to psychosocial and socioeconomic problems, this is due to the presence of comorbidities that may affect treatment response and outcome of treatment given. This study was conducted to determine the common comorbidity and outcome of TB patients due to the presence of comorbidities.

This research was a descriptive study with cross-sectional design which is conducted in Haji Adam Malik General Hospital Center, Medan. Data was collected by analysing 206 medical records of hospitalized pulmonary TB patients in Internal Medicine Nursing Room during July 2010 – June 2012. The samples were selected by total sampling method.

The results of this study indicate that the patients were 130 men (63,1%) and 76 women (36,9%). Most patients were in the age 21-30 years old (29,6%). There were 189 patients (91,7%) who had the comorbidities. The most common comorbidities found were HIV infection (46,6%), oportunistic infection caused by HIV (28,6%), anemia of chronic disease (14,1%) and Type 2 Diabetes Mellitus (also 14,1%). The mortality rate of patients with comorbidities reached 6,3%, while in patients without comorbidities only 1%. Average of hospitalization days in patients with and without comorbidities, respectively 10 and 11 days.

By knowing these common comorbidities, the clinician who treat pulmonary TB patients is expected to be more aware for finding and managing the comorbidities found, in addition to treating TB itself, so the patients will get better outcomes.


(17)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis. TB sampai saat ini masih tetap menjadi masalah kesehatan dunia yang utama walaupun pengobatan TB yang efektif sudah tersedia. Semenjak Maret 1993 World Health Organization (WHO) telah mendeklarasikan TB sebagai Global Health Emergencies (Amin, 2009). Hal ini diakibatkan oleh situasi TB dunia semakin memburuk dengan jumlah kasus yang terus meningkat serta banyak yang tidak berhasil disembuhkan, terutama di negara-negara yang dikelompokkan dalam 22 negara dengan masalah TB besar

(high burden countries). Indonesia termasuk ke dalam kelompok high burden countries, menempati urutan kelima berdasarkan laporan WHO tahun 2010.

Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman TB (Amin, 2009). Menurut WHO (2012), pada tahun 2011 dijumpai 8,7 juta kasus baru, yang setara dengan 125 kasus per 100.000 penduduk. Lebih dari 80% kasus baru dijumpai di negara berkembang, terutama negara yang terletak di benua Asia (59%) dan Afrika (26%), kasus yang lebih sedikit dijumpai di Mediterania Timur, Eropa, dan Amerika. Indonesia kini berada dalam urutan keempat negara dengan insidensi TB terbanyak (0,4-0,5 juta) setelah India (2-2,5 juta), Cina (0,9-1,1 juta), dan Afrika Selatan (0,4-0,6 juta).

Prevalensi TB di Indonesia pada tahun 2011 menurut data WHO adalah 680.000 kasus (281 kasus per 100.000 penduduk), dengan angka kematian mencapai 65.000 (27 per 100.000 penduduk). Di Provinsi Sumatera Utara, jumlah penemuan kasus TB Paru meningkat dari 17.113 kasus pada tahun 2008 menjadi 18.553 kasus pada tahun 2011, dengan jumlah penderita TB Paru Basil Tahan Asam (BTA) positif sebesar 15.167 kasus (Depkes RI, 2012).


(18)

Paru merupakan organ yang paling umum diserang oleh kuman TB (lebih dari 80% kasus) dan TB Parulah yang menjadi fokus kesehatan publik utama karena penularannya yang sangat mudah dan tingginya angka kematian yang diakibatkannya (Fishman, 2008). Dengan pengobatan TB yang modern dan berbagai strategi pengobatan yang digalakkan seperti sekarang ini, angka kematian TB Paru secara global berangsur-angsur menurun hingga mencapai 41% semenjak 1990. Meski demikian, TB Paru di Indonesia masih menjadi pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut di seluruh kalangan usia (PDPI, 2006). Hal ini mengisyaratkan bahwa outcome pengobatan TB di Indonesia belum optimal.

Selain masalah psikososial dan sosioekonomi, adanya penyakit penyerta (komorbiditas) pada pasien dapat mempengaruhi respon dan outcome pengobatan TB. Dengan mencari dan mengobati komorbiditas yang umumnya menyertai TB, kita dapat mencegah resistensi obat, menurunkan angka kegagalan terapi, bahkan menekan kematian. Atas pertimbangan inilah Tuberculosis Coalition for Technical Assistance (TBCTA) (2009) dalam International Standarts of Tuberculosis Care (ISTC) menetapkan penemuan dan pengobatan infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan komorbiditas lain sebagai salah satu standart dalam menangani pasien TB (standart 14-16). Beberapa kondisi dapat menjadi faktor risiko sekaligus kondisi yang umum dijumpai pada pasien TB. Kondisi tersebut diantaranya infeksi HIV, Diabetes Mellitus (DM), malnutrisi, alkoholisme dan penyalahgunaan zat lainnya, serta merokok.

Komorbiditas pada pasien TB Paru dijumpai beragam di berbagai negara. Namun TB Paru yang disertai infeksi HIV (TB-HIV)-lah yang paling mendapat sorotan dunia. WHO dalam Global Control Report 2012 melaporkan dari 8,7 juta orang yang terinfeksi TB di seluruh dunia, 1,1 juta diantaranya adalah postif HIV. Fenomena TB-HIV di Afrika masih yang tertinggi di dunia hingga saat ini semenjak laporan WHO pada tahun 2000 yang menyatakan bahwa koinfeksi TB-HIV tertinggi terdapat di Afrika (31%) dan Amerika (26%). Lain halnya dengan Leung, EC dan Tam, CM (2002) yang menemukan komorbiditas terbanyak pada


(19)

pasien TB di Hongkong adalah DM (12,1%) dan malignansi (4,8%), sedangkan HIV hanya satu kasus dari 155 kasus.

Pengetahuan tentang komorbiditas pada pasien TB Paru menjadi penting untuk dimiliki oleh setiap klinisi demi tercapainya outcome pengobatan yang optimal. Hal ini akan membuat klinisi menjadi lebih peka untuk segera menemukan komorbiditas yang mungkin dialami oleh pasien lalu memberikan pengobatan tambahan untuk mengatasi komorbiditas tersebut, selain mengobati TB Parunya. Sayangnya, penelitian tentang komorbiditas pada pasien TB Paru sangat sulit dijumpai. Di Indonesia sendiri yang termasuk dalam 5 besar negara dengan high burdens TB, datanya belum ditemukan oleh peneliti.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk meneliti komorbititas pada pasien TB Paru di Indonesia, khususnya di provinsi Sumatera Utara, sebagai salah satu bentuk upaya dalam memperbaiki outcome pengobatan TB agar lebih optimal sehingga dapat menekan angka kejadian dan kematian TB Paru yang masih tinggi.

1.2. Rumusan Masalah

Apa saja komorbiditas pada pasien TB Paru yang dirawat inap di Ruang Rawat Penyakit Dalam RSUP Haji Adam Malik Medan Periode Juli 2010 – Juni 2012?

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui komorbiditas pada pasien TB Paru yang dirawat inap di Ruang Rawat Penyakit Dalam RSUP Haji Adam Malik Medan Periode Juli 2010 –Juni 2012.

1.3.2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui jumlah pasien TB Paru yang dirawat inap di Ruang Rawat Penyakit Dalam RSUP Haji Adam Malik Medan Periode Juli 2010 –Juni 2012.


(20)

b. Mengetahui karakteristik pasien TB Paru yang dirawat inap di Ruang Rawat Penyakit Dalam RSUP Haji Adam Malik Medan Periode Juli 2010 –Juni 2012 berdasarkan usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan pekerjaan.

c. Mengetahui persentase masing-masing komorbiditas pada pasien TB Paru yang dirawat inap di Ruang Rawat Penyakit Dalam RSUP Haji Adam Malik Medan Periode Juli 2010 –Juni 2012 d. Mengetahui outcome pasien TB Paru dengan atau tanpa

komorbiditas yang dirawat inap di Ruang Rawat Penyakit Dalam RSUP Haji Adam Malik Medan Periode Juli 2010 –Juni 2012. e. Mengetahui lama rawat inap pasien TB Paru dengan atau tanpa

komorbiditas yang dirawat inap di Ruang Rawat Penyakit Dalam RSUP Haji Adam Malik Medan Periode Juli 2010 –Juni 2012.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, diantaranya: a. Bagi RSUP Haji Adam Malik Medan

Memberi informasi kepada pihak praktisi medis tentang komorbiditas dan persentasenya pada pasien TB paru sehingga praktisi medis akan lebih cermat dan waspada dalam menangani pasien TB paru untuk mendapatkan outcome yang optimal.

b. Bagi Pasien TB Paru

Memberi pengetahuan kepada pasien TB paru tentang penyakit yang mungkin menyertai TB Paru sehingga pasien lebih waspada untuk mencari pengobatan segera.

c. Bagi Masyarakat/Peneliti Lain

Menjadi sumber informasi data epidemiologi untuk penelitian di masa mendatang.


(21)

d. Bagi Peneliti

Menjadi sarana untuk mengembangkan ilmu yang telah diterima selama pembelajaran di bangku kuliah dan pengalaman dalam bidang menulis dan meneliti.


(22)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. TB Paru 2.1.1. Definisi

Tuberkulosis adalah penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis complex, yang biasanya menginfeksi paru (Raviglione & O'Brien, 2008). Penyakit ini mungkin menyerang organ lain seperti organ limfatik, pleura, tulang dan sendi, meningen, peritonium, dan genitourinari (LoBue, Iadermaco, & Castro, 2008). TB Paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura (PDPI, 2006).

2.1.2. Etiologi

Tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis complex, namun yang paling umum dan penting dalam menginfeksi manusia adalah M. tuberculosis (Raviglione & O'Brien, 2008). Kuman hidup sebagai parasit intraselular yakni dalam sitoplasma makrofag (Amin & Bahar, 2009). Di dalam jaringan, basil tuberkulosis adalah bakteri batang tipis lurus berukuran sekitar 0,4x 3 µm. Merupakan aerob obligat dan mendapatkan energi dari oksidasi banyak komponen sederhana. Sifat ini membuat kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya seperti bagian apikal paru (Jawetz, Melnick, & Adelberg, 2004).

Dinding M. tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak yang cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel bakteri ini ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord factor, dan

mycobacterial sulfolipids yang berperan sebagai virulensi (PDPI, 2006).

Mycobacterium tidak dapat diklasifikasikan menjadi positif atau gram-negatif. Basil TB sejati ditandai dengan “tahan asam” – yaitu, 95% etil alkohol


(23)

mengandung 3% asam hidroklorat (asam alkohol) yang dengan cepat menghilangkan warna semua bakteri kecuali Mycobacterium (Jawetz, Melnick, & Adelberg, 2004).

2.1.3. Faktor Risiko

Beberapa faktor risiko menderita penyakit TB setelah terinfeksi kuman TB secara umum bergantung pada faktor endogen, seperti status imun alamiah pasien, fungsi cell-mediated imunity (CMI), dan usia pasien (Raviglione & O'Brien, 2008).

a) Usia

Insidensi tuberkulosis paling tinggi terjadi pada bayi dan remaja akhir serta dewasa muda (Hopewell & Kato-Maeda, 2010). Pada wanita puncak insidensi TB paru terjadi pada usia 25-34 tahun. Pada usia ini wanita lebih berisiko daripada pria, dan pada usia yang lebih tua terjadi kebalikannya (Raviglione & O'Brien, 2008).

b) Penyakit lain

Infeksi Human Immunodeficiency Virus merupakan faktor resiko yang paling berpengaruh terhadap perkembangan cepat infeksi tuberkulosis latent menjadi infeksi tuberkulosis. Sebuah penelitian yang meneliti insidensi TB pada pasien HIV secara prospektif di Amerika – sebelum disebarluaskannya pemakaian antiretroviral – menemukan angka kejadiannya 0,71 per 100 responden (Hopewell & Kato-Maeda, 2010).

Malnutrisi atau penurunan berat badan telah menjadi faktor utama peningkatan resiko TB menjadi aktif. Umumnya penderita TB dalam keadaan malnutrisi dengan berat badan sekitar 30-50 kg atau indeks massa tubuh kurang dari 18,5 untuk orang dewasa. Dengan berat badan yang lebih kecil 85% dari berat badan ideal, kemungkinan sesorang mendapat TB adalah 14 kali lebih besar dibandingkan seseorang dengan berat badan normal (Rusnoto, Rahmatullah, & Udiono, 2008).


(24)

Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu faktor risiko paling penting dalam terjadinya perburukan TB. Sejak permulaan abad ke 20, para klinisi telah mengamati adanya hubungan antara DM dengan TB, meskipun masih sulit untuk ditentukan apakah DM yang mendahului TB atau TB yang menimbulkan manifestasi klinis DM. Kemungkinan penyebab meningkatnya insidensi TB Paru pada pengidap diabetes dapat berupa defek pada fungsi sel-sel imun dan mekanisme pertahanan pejamu (Jeon & Murray, 2008).

Penyakit lain yang memudahkan infeksi TB Paru menurut Alsagaff (2010) adalah pneumonikosis, keganasan, parsial gastrektomi, dan morbili karena dapat menyebabkan penurunan daya tahan tubuh.

c) Faktor-faktor toksis

Merokok dan minum banyak alkohol merupakan faktor penting yang dapat menurunkan daya tahan tubuh. Sama halnya dengan obat kortikosteroid dan imunosupresif lain yang digunakan pada pengobatan penyakit-penyakit tertentu (Crofton, Horne, & Miller, 2002).

d) Kemiskinan

Keadaan ini mengarah pada perumahan yang terlampau padat atau kondisi kerja yang buruk. Keadaan ini mungkin menurunkan daya tahan tubuh, sehingga memudahkan terjadinya infeksi. Orang-orang yang hidup dengan kondisi ini juga sering bergizi buruk. Kompleks kemiskinan seluruhnya ini lebih memudahkan TB berkembang menjadi penyakit (Crofton, Horne, & Miller, 2002).


(25)

2.1.4. Patogenesis

Transmisi paling umum M. tuberculosis dari seseorang dengan infeksi TB aktif via inhalasi droplet yang melayang di udara saat pasien batuk, bersin, atau bicara. Droplet kering dan kecil (berdiameter < 5-10 µm) ini dapat terlarut di udara dalam beberapa jam dan mencapai saluran napas terminal bila terinhalasi. Setiap kali batuk terdapat kurang lebih 3000 droplet infeksius dikeluarkan (Raviglione & O'Brien, 2008). Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam bahkan berbuan-bulan tergantung sinar matahari, kelembapan, dan ventilasi (Amin & Bahar, 2009).

Penularan lebih mudah terjadi bila ada hubungan yang erat dan lama dengan penderita TB Paru aktif, yakni golongan penderita yang lebih dikenal sebagai

open case. Bentuk penularan yang lain adalah melalui debu yang beterbangan di udara yang mengandung basil TB (Alsagaff & Mukty, 2010).

Beberapa faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang terinfeksi TB diantaranya:

(1) Derajat infeksius pasien sumber infeksi (Raviglione & O'Brien, 2008) (2) Durasi dan kekerapan kontak dengan pasien infeksius (Raviglione &

O'Brien, 2008)

(3) Daya tahan tubuh pejamu (Alsagaff & Mukty, 2010)

(4) Lingkungan dimana proses kontak dengan sumber infeksi berlangsung (Depkes RI, 2006)

a) Tuberkulosis Primer

Tuberkulosis primer adalah bentuk penyakit yang terjadi pada orang yang belum pernah terpajan, sehingga tidak pernah tersensitasi (Maitra & Kumar, 2007). Pada daerah yang transmisi TB nya tinggi, bentuk ini umum dijumpai pada anak-anak (Raviglione & O'Brien, 2008). Pada pasien berusia lanjut dan pengidap imunosupresi berat mungkin kehilangan sensitivitas mereka terhadap basil tuberkel sehingga dapat menderita TB primer lebih dari sekali. Sumber organisme


(26)

dalam bentuk ini adalah eksogen. Hanya sekitar 5% dari mereka yang baru terinfeksi kemudian memperlihatkan gejala penyakit (Maitra & Kumar, 2007).

Kuman dibatukkan menjadi droplet nuklei dalam udara sekitar kita oleh pasien terinfeksi. Bila partikel infeksi ini terhirup oleh orang sehat, ia akan menempel pada saluran napas atau jaringan paru (Amin & Bahar, 2009). Karena udara yang diinspirasi paling banyak terdistribusi pada paru bagian tengah dan bawah, maka bagian ini jugalah yang paling umum terlibat dalam tuberkulosis primer (Raviglione & O'Brien, 2008).

Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran partikel < 5µm. Kuman ini dihadapi pertama kali oleh neutrofil, kemudian oleh makrofag. Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag keluar dari percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dan sekretnya. Bila kuman menetap di jaringan paru, kuman akan berkembang biak dalam makrofag. Di sini ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya. Kuman yang bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang TB pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau afek primer atau sarang (fokus) Gohn. Sarang primer ini dapat terjadi di setiap bagian jaringan paru. Bila menjalar ke pleura maka terjadilah efusi pelura. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran ke seluruh bagian paru menjadi TB milier (Amin & Bahar, 2009).

Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal) dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus (limfadenitis regional). Sarang primer, limfangitis lokal, dan limfadenitis regional kini disebut kompleks primer (Ranke). Semua proses ini memakan waktu 3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya akan menjadi:

(1) Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat (ini yang banyak terjadi)

(2) Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik, kalsifikasi di hilus, keadaan ini terdapat pada lesi penumonia yang luasnya >5mm dan ± 10% diantaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang dormant


(27)

(3) Berkomplikasi dan menyebar secara: perkontuinatum (menyebar ke sekitarnya); secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun baru di sebelahnya, kuman dapat juga tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke usus; secara limfogen ke organ tubuh lainnya; dan secara hematogen ke organ tubuh lainnya (Amin & Bahar, 2009). Bentuk ini sering disebut sebagai TB primer progresif yang sering terjadi pada orang dengan gangguan sistem imun, misalnya HIV/AIDS dimana pasien tidak mampu membentuk reaksi imunologik yang diperantarai CD4 untuk menahan infeksi (Maitra & Kumar, 2007).

b) Tuberkulosis Pascaprimer

TB pascaprimer yang sering disebut TB dewasa atau TB sekunder merupakan pola penyakit yang terjadi pada pejamu yang telah tersensitasi. Bentuk ini umumnya berasal dari reaktivasi endogen infeksi laten (berasal dari fokus lama/dormant di dalam paru yang mengalami kekambuhan) (Alsagaff & Mukty, 2010). Bentuk ini juga dapat terjadi akibat reinfeksi eksogen karena berkurangnya proteksi yang dihasilkan penyakit primer atau karena besarnya inokulum basil hidup (Maitra & Kumar, 2007). TB sekunder sering terjadi karena imunitas menurun seperti pada pasien dengan malnutrisi, alkohol, penyakit maligna, DM, HIV/AIDS, dan gagal ginjal (Amin & Bahar, 2009). TB dewasa biasanya terlokalisir pada segmen apikal-posterior lobus superior dimana tekanan rata-rata oksigennya lebih tinggi daripada bagian bawah (Raviglione & O'Brien, 2008).

Karena sudah terdapat hipersensitivitas, basil memicu respon jaringan yang segera dan nyata yang cenderung membatasi fokus (Maitra & Kumar, 2007). Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-10 minggu sarang ini menjadi granuloma yang terdiri dari sel-sel Histiosit dan sel Datia Langhans yang dikelilingi oleh sel limfosit dan berbagai jaringan ikat (Amin & Bahar, 2009).

Tergantung dari jumlah kuman, virulensi-nya, dan imunitas pasien sarang ini dapat diiresopsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat, meluas dan


(28)

menyembuh dengan fibrotik dan perkapuran, atau meluas dan mengalami nekrosis kaseosa membentuk kavitas. Kavitas tersebut dapat meluas dan membentuk sarang pneumonia baru, membentuk tuberkuloma, atau menyembuh membentuk kavita terbuka yang sembuh (Amin & Bahar, 2009).

2.1.5. Diagnosis

a) Pemeriksaan Klinis (1) Gejala Klinis

(a) Gejala Respirasi

Keluhan yang dirasakan pasien TB dapat bermacam-macam atau malah banyak pasien ditemukan TB paru tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan kesehatan. Keluhan yang terbanyak adalah:

i) Batuk

Gambar 2.1. Patogenesis TB Paru Sumber: Maitra & Kumar, 2007


(29)

Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang paling sering dikeluhkan. Batuk berlangsung selama 2-3 minggu (Amin & Bahar, 2009).

ii) Dahak

Dahak awalnya bersifat mukoid dan keluar dalam jumlah sedikit, kemudian berubah menjadi mukopurulen/kuning atau kuning hijau sampai purulen dan kemudian berubah menjadi kental bila sudah terjadi pengejuan dan perlunakan. Jarang berbau busuk, kecuali bila ada infeksi anaerob (Alsagaff & Mukty, 2010).

iii) Batuk darah

Darah yang dikeluarkan penderita mungkin berupa garis atau bercak-bercak darah, gumpalan-gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah sangat banyak (profus). Batuk darah jarang merupakan initial symptomp dari penyakit TB karena batuk darah merupakan tanda telah terjadinya ekskavasi dan ulserasi dari pembuluh darah pada dinding kavitas (Alsagaff & Mukty, 2010). iv) Nyeri Dada

Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah mencapai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis (Amin & Bahar, 2009).

v) Sesak napas

Merupakan late symptomp dari proses lanjut tuberkulosis paru akibat adanya retriksi dan obstruksi saluran napas serta loss of vascular bed/vascular thrombosis yang dapat mengakibatkan gangguan difusi, hipertensi pulmonal, kor-pulmonal (Amin & Bahar, 2009).

(b) Gejala-gejala umum i) Panas badan

Biasanya subfebris menyerupai demam influenza. Tetapi kadang-kadang panas badan dapat mencapai 40-41º C bila proses


(30)

berkembang menjadi progresif. Seringkali panas badan sedikit meningkat pada siang maupun sore hari (Amin & Bahar, 2009). ii) Menggigil

Dapat terjadi bila panas badan naik dengan cepat, tetapi tidak diikuti pengeluaran panas dengan kecepatan yang sama atau dapat terjadi sebagai suatu reaksi umum yang lebih hebat (Amin & Bahar, 2009).

iii) Keringat malam

Keringat malam umumnya baru timbul bila proses telah lanjut, kecuali pada orang dengan vasomotor labil, keringat malam dapat timbul lebih dini (Amin & Bahar, 2009).

iv) Malaise

Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia (tidak ada nafsu makan), badan makin kurus (penurunan berat badan), sakit kepala, meriang, nyeri otot, dan lainnya. Gejala malaise ini makin lama makin berat dan tejadi hilang timbul secara tidak teratur (Amin & Bahar, 2009).

(2) Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (subfebris), badan kurus, atau berat badan menurun (Amin & Bahar, 2009).

Kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru umumnya terletak di daerah lobus superior, terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 dan S2), serta daerah apeks lobus inferior (S6) (PDPI, 2006).

Bila dicurigai adanya infiltrat yang agak luas, maka didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi suara napas bronkial. Akan didapatkan juga suara napas tambahan berupa ronki basah, kasar, dan nyaring. Tetapi bila infiltrat ini diliputi oleh penebalan pleura,


(31)

suara napasnya menjadi vesikular melemah. Bila terdapat kavitas cukup besar, perkusi memberikan suara hipersonor atau timpani dan auskultasi memberikan suara amforik (Amin & Bahar, 2009).

Pada TB Paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi dan retraksi otot-otot interkostal. Bagian paru yang sakit jadi menciut dan menarik isi mediastinum atau paru lainnya. Paru yang sehat menjadi lebih hiperinflasi. Bila jaringan fibrotik amat luas yakni lebih dari setengah jumlah jaringan paru-paru, akan terjadi pengecilan daerah aliran darah paru dan selanjutnya meningkatkan tekanan arteri pulmonalis (hipertensi pulmonal) (Amin & Bahar, 2009).

b) Pemeriksaan Penunjang (1) Pemeriksaan darah rutin

Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian karena hasilnya kadang-kadang meragukan, hasilnya tidak sensitif dan juga tidak spesifik. Pada saat TB Paru mulai aktif akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit meninggi dengan hitung jenis pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit masih di bawah normal. Laju endap darah mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali normal dan jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap darah mulai turun ke arah normal lagi (Amin & Bahar, 2009).

(2) Pemeriksaan mikrobiologi

Bahan untuk pemeriksaan mikrobiologi ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, cairan serebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar, urin, feses, dan jaringan biopsi (PDPI, 2006).

Pemeriksaan dahak (sputum) adalah penting karena dengan ditemukannya BTA, diagnosis TB sudah dapat dipastikan. Selain


(32)

itu pemeriksaan dahak juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan (Amin & Bahar, 2009).

Pemeriksaan dahak untuk penegakkan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa SPS:

- S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali.

- P (pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas kesehatan.

- S (Sewaktu): dahak dikumpulkan pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi.

Pemeriksaan mikrobiologi dari spesimen dahak dan bahan lain dapat dilakukan dengan cara:

- Mikroskopik - Biakan

Pemeriksaan mikroskopik dapat dilakukan dengan: - Mikroskopik biasa: pewarnaan Ziehl-Nielsen

- Mikroskopik fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin

Teknik pewarnaan BTA ini digunakan secara rutin di laboratorium termasuk di rumah sakit dan puskesmas. Teknik ini lebih cepat namun sensitivitas dan spesifitasnya lebih rendah (34%-80%) dibandingkan kultur (Lyanda, 2012). Hal ini disebabkan oleh dalam pemeriksaan BTA diperlukan kurang lebih 5000-10.000 kuman/ml dahak sedangkan untuk mendapatkan kuman positif pada biakan yang merupakan diagnosis pasti memerlukan sekitar 10-100 kuman/ml dahak (Brodie & Schluger, 2005).

Pemeriksaan biakan M. tuberculosis dengan metode konvensional ialah dengan cara: Egg-based media (Lowenstein Jensen, Ogawa, Kudoh) dan agar-based media (Middle Brook). Pada kasus-kasus tertentu dilakukan kultur untuk konfirmasi


(33)

diagnosis, karena teknik ini memiliki sensitivitas dan spesifitas yang lebih tinggi (80-93% dan 98%). Kendalanya memerlukan waktu yang lama (lebih dari 1 minggu) untuk memperoleh hasil juga diperlukan fasilitas laboratorium khusus untuk kultur

Mycobacterium yang terjamin keamanannya (Lyanda, 2012). (3) Pemeriksaan Radiologik

Pemeriksaan standar adalah foto toraks posterior-anterior (PA). Pada pemeriksaan foto toraks, TB Paru dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). Pembagian berdasarkan luas lesi:

- Minimal tuberculosis: terdapat sebagian kecil infiltrat non-kavitas pada satu paru maupun kedua paru, tetapi jumlahnya tidak melebihi satu lobus paru.

- Moderately advanced tuberculosis: ada kavitas dengan diameter tidak lebih dari 4 cm. Jumlah infiltrat bayangan halus tidak lebih dari satu bagian paru. Bila bayangannya kasar tidak lebih dari sepertiga bagian satu paru.

- Far advanced tuberculosis: terdapat infiltrat dan kavitas yang melebihi keadaan pada moderately advanced tuberculosis (Amin & Bahar, 2009).


(34)

Gambar 2.2. Alur Diagnosa TB Paru Sumber: Depkes RI, 2006 2.1.6. Penatalaksanaan

Pengobatan TB terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Obat anti-TB (OAT) yang digunakan terdiri paduan obat utama dan tambahan. Jenis obat yang dipakai sebagai obat utama (lini 1) adalah INH, Rifampisin, Pirazinamid, Streptomicin, dan Etambutol. Sedangkan yang termasuk jenis obat tambahan (lini 2) adalah Kanamisin, Amikasin, dan Kuinolon. Kapreomisin, Sikloserino, dan Thioamide belum tersedia di Indonesia. (PDPI, 2006).


(35)

2.1.7. Komplikasi

Penyakit TB Paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan komplikasi. Komplikasi dibagi atas komplikasi dini dan komplikasi lanjut.

a) Komplikasi dini: pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis, TB usus,

Poncet’s arthropaty, hemoptisis masif

b) Komplikasi lanjut: obstruksi jalan napas (Sindrom Pasca Tuberkulosis {SOPT}) dan kerusakan parenkim berat {fibrosis paru, kor pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru, sindrom gagal napas dewasa}) (Amin & Bahar, 2009).

2.2. Komorbiditas

Terdapat banyak definisi mengenai komorbiditas. Menurut Dorland (2010) komorbiditas adalah suatu penyakit/proses patologik yang terjadi bersamaan dengan penyakit/proses patologik lainnya. Sedangkan Fried, et al. (2004) mendefinisikan komorbiditas sebagai kondisi dimana terdapat dua atau lebih penyakit yang didiagnosis pada seorang individu yang ditegakkan berdasarkan kriteria diagnostik yang telah banyak dikenal.

Komorbiditas dapat dipahami melalui klasifikasi definisi berdasarkan sifat dan kronologisnya. Ditinjau berdasarkan sifatnya, komorbiditas dapat berupa penyakit, gangguan, kondisi medis tertentu, ataupun masalah kesehatan lainnya. Berdasarkan kronologisnya, dua atau lebih komorbiditas dapat muncul pada suatu titik waktu yang sama ataupun terjadi pada periode waktu tertentu tanpa berlangsung terus menerus. Komorbiditas juga dapat muncul pada sekuens tertentu dari suatu periode penyakit (Valderas, Starfield, Sibbald, Salisbury, & Roland, 2009).

Adanya komorbiditas pada seorang pasien dapat menyebabkan outcome

kesehatan yang memburuk, manajemen tatalaksana yang semakin kompleks, serta meningkatkan biaya pengobatan. Salah satu penyebabnya adalah karena komorbiditas mampu menurunkan kemampuan pasien untuk mentoleransi


(36)

pengobatan terhadap penyakit utamanya sehingga hasil terapi menjadi tidak sesuai dengan harapan (Fried, et al., 2004). Tidak jarang komorbiditas dapat bersifat subklinis atau atipikal sehingga seringkali tidak terdiagnosis.

Tanpa mengetahui adanya komorbiditas seorang klinisi akan hanya memperdulikan penyakit utama yang diketahui dan mengabaikan komorbiditas yang ada. Hal ini akan memungkinkan munculnya interaksi klinis antara penyakit-penyakit tersebut lalu memunculkan komplikasi baru karena tidak ditatalaksana dengan tepat (Fried, et al., 2004).

2.3. TB Paru dan Komorbiditasnya

TBTCA dalam ISTC 2009 menyatakan bahwa semua penyelenggara kesehatan harus melakukan penilaian yang menyeluruh terhadap kondisi komorbiditas yang dapat mempengaruhi respon atau hasil pengobatan TB (standart17). Banyak komorbid yang mungkin menjadi faktor resiko atau dapat mempengaruhi outcome pengobatan, diantaranya HIV dan keadaan imunosupresif lainnya seperti: DM, malnutrisi, alkoholisme dan penyalahgunaan zat lainnya, serta rokok.

Anna Uyainah ZN (2013) melaporkan kelainan metabolik dan gangguan fungsi organ yang tersering mempengaruhi respon pengobatan TB adalah DM,

Chronic Kidney Disease (CKD), hepatitis, dan HIV. Harry K. Tweel (2011) dan E. Jane Carter (2012) menambahkan penggunaan TNF-α antagonist pada pasien Rheumatoid Artritis, penyakit Chron’s, dan penyakit autoimun lainya sebagai komorbiditas pada pasien TB Paru.

2.3.1. TB-HIV

TB dan HIV apabila dijumpai dalam satu tubuh pasien merupakan dua patogen yang dapat saling berpotensiasi dalam menurunkan fungsi imun dan menyebabkan kematian dini bila tidak diobati dengan baik. Infeksi HIV adalah faktor resiko yang sangat kuat menyebabkan infeksi TB baru dan infeksi TB laten menjadi TB aktif (Pawlowski, Jansson, Skold, Rottenberg, & Kallenius, 2012).


(37)

Dijumpai HIV meningkatkan resiko reaktivasi TB laten sebesar 20 kali (Getahun, Gunneberg, Granich, & Nunn, 2010).

HIV adalah virus sitoplastik dari famili Retroviridae dengan 2 protein utama pada envelope-nya yaitu glikoprotein (gp) 120 di sebelah luar dan gp 41 yang terletak di transmembran. Gp 120 berperan dalam awal interaksi dengan sel target, sedangkan gp 41 bertanggung jawab dalam proses internalisasi atau absorpsi. Gp 120 memiliki afinitas tinggi terhadap reseptor CD4, sehingga sel target utama infeksinya adalah sel yang mampu mengekspresikan reseptor CD4 seperti: astrosit, mikroglia, monosit-makrofag, limfosit, Langerhan’s dan sel dendritik. Namun sel yang terutama diserang adalah sel limfosit T karena memiliki reseptor CD4 paling banyak dibandingkan sel tubuh lainnya (Riadi, 2012).

Penurunan jumlah sel limfosit T CD4 inilah yang menjadi kontributor terkuat peningkatan reaktivasi TB laten karena sel limfosit T CD4 memainkan peran paling penting dalam respon imun adaptif terhadap infeksi TB. Limfosit T CD4 ini akan berdiferensiasi menjadi sel Th1 dan Th2, yang memproduksi sitokin. Perubahan ini diinduksi oleh sitokin IL-12, IL-23, dan IL-27. Th1 akan memproduksi IFN-γ (interferon-gamma) dan IL-2, sedangkan Th2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-10, IL-13, dan berperan pada timbulnya imunitas humoral. Namun, hingga saat ini peran Th2 pada TB masih kontroversial (Bhatt & Salgame, 2007).

Sel Th1 matur, baik di paru maupun di nodus limfatik, akan menghasilkan IFN-γ yang merupakan molekul efektor penting yang menyebabkan makrofag mampu menahan infeksi TB. Sitokin ini dapat meningkatkan presentasi antigen, sehingga merekrut lebih banyak limfosit T CD4 atau sitotoksik yang akan berpartisipasi dalam pembunuhan TB. IFN-γ juga menstimulasi pembentukan fagolisosom pada makrofag yang terinfeksi dan memaparkan kuman pada suatu lingkungan yang sangat asam. Selain itu, IFN-γ menstimulasi ekspresi inducible nitirc oxide synthase (iNOS) yang menghasilkan nitric oxide (NO). NO menyebabkan timbulnya reactive nitrogen intermediates dan radikal bebas


(38)

lainnya yang mampu menyebabkan destruksi oksidatif, mulai dari dinding sel hingga DNA (Cahyadi & Venty, 2011).

Pada pasien TB-HIV dijumpai kegagalan pembentukan granuloma. Granuloma adalah suatu struktur teroganisir yang diatur oleh sel limfosit T CD4 dan TNF, perekrut monosit dari sirkulasi untuk berdiferensiasi menjadi sel epiteloid (pembentuk granuloma), yang juga menjadi penanda patologi TB. Dengan terbentuknya granuloma, bakteri TB yang terdapat didalamnya dapat dicegah untuk menyebar ke sel pejamu lainnya (infeksi terlokalisasi) (Pawlowski, Jansson, Skold, Rottenberg, & Kallenius, 2012). Pada sebagian orang pembentukan granuloma ini dapat bersifat progresif sehingga menimbulkan kerusakan jaringan melalui nekrosis kaseosa dan kavitasi. Pada pasien dengan jumlah CD4 <200/mm3 lesi kavitasi ini jarang mampu menahan perluasan TB sehingga pasien HIV lebih sering mengalami TB milier dibandingkan pasien tanpa HIV yang infeksinya terlokalisir pada paru saja (Sharma, Alladi, & Kadhiravan, 2005).

HIV juga dapat mengganggu tumor necrosis factor (TNF) dalam respon apoptosis makrofag yang terinfeksi TB sehingga mempermudah perkembangbiakan bakteri (Patel, et al., 2007). Bersama dengan IFN-γ, TNF yang dihasilkan oleh makrofag teraktivasi sebenarnya bertanggung jawab dalam respon makrofag agar mampu memproduksi iNOS dan radikal bebas lainnya untuk membunuh sel terinfeksi (Kusuma & Setiawati, 2010).

M. tuberculosis terbukti dapat meningkatkan replikasi virus HIV dalam tubuh pejamu dengan koinfeksi TB-HIV. Penelitian in vitro yang dilakukan oleh Mancino, et al. (1997) membuktikan bahwa infeksi TB dapat meningkatkan infeksi serta replikasi HIV pada monocyte-derived macrophage (MDM), dan meningkatkan efisiensi transmisi virus dari sel MDM terinfeksi menuju sel T. TNF yang sangat diperlukan untuk mengontrol pertumbuhan mikobakterium belakangan diketahui dapat mengaktivasi replikasi HIV dalam makrofag (Kedzierska, M.Crowe, Turville, & Cunningham, 2003). Menurut Collins (2002)


(39)

M. tuberculosis dan komponen dinding selnya, lipoarabinomannan (LAM), mengaktivasi replikasi HIV pada sel pembawa pro-virus dengan menginduksi produksi TNF dan IL-6 melalui jalur NF-κB yang memicu transkripsi promoter

long terminal repeat (LTR).

M. tuberculosis yang bertahan dalam sel dendritik mampu menurunkan aktivitas pro-inflamasi dan kemampuan presentasi antigen sel dendritik dengan menginduksi pelepasan sitokin anti-inflamasi. HIV sendiri dapat menginfeksi dan memanipulasi DC (dendritic cell) dan fungsi sel T. Tidak hanya aktivasi sel T yang diperantarai DC yang dipengaruhinya, tetapi juga migrasi sel DC yang terinfeksi dapat menyebabkan penyebaran virus lebih lanjut (Donaghy, Stebbing, & Patterson, 2004).

Keterkaitan yang sangat erat antara TB dengan infeksi HIV tersebut yang menjadi dasar TBTCA (2012) dalam ISTC (standart 14) merekomendasikan pemeriksaan dan konseling HIV bagi semua pasien TB dengan atau yang masih dicurigai terinfeksi HIV. Pada daerah yang angka prevalens HIV-nya tinggi di populasi dengan kemungkinan koinefeksi TB-HIV maka hal ini diindikasikan sebagai bagian dari penatalaksanaan rutin. Pada daerah dengan prevalens HIV rendah, pemeriksaan dan konseling ini hanya dilakukan pada pasien TB dengan keluhan dan tanda-tanda yang berhubungan dengan HIV serta pasien TB dengan riwayat risiko tinggi tertular HIV.

Apabila ditemukan positif HIV, terapi antiretroviral (ARV) perlu diberikan (standart 15) dengan mempertimbangkan jumlah CD4 pasien karena mampu mengurangi morbiditas dan mortalitas pasien TB-HIV secara bermakna, bahkan mampu memperbaiki outcome pengobatan TB (Harries, Zachariah, & Lawn, 2009). Namun perlu diperhatikan interaksi yang mungkin timbul antara OAT dengan ARV, terutama golongan nonnukelotida (Efavirenz dan Nevirapine) dan inhibitor protease (Indinavir, Lopinavir, Nelfinafir, Saquinavir, dan Ritonavir). Rifampisin tidak diberikan bersama dengan Nelvinafir dan Nevirapine karena


(40)

Rifampisin dapat menurunkan kadar Nelvinafir hingga 28 % dan Nevirapine sampai 37% (PDPI, 2006).

2.3.2. TB-DM

DM merupakan salah satu faktor resiko paling penting dalam terjadinya perburukan TB. Sejak permulaan abad ke-20, para klinisi telah mengamati adanya hubungan antara DM dengan TB (Cahyadi & Venty, 2011). Dari beberapa penelitian kohort yang dilakukan di negara-negara Asia, seseorang dengan DM beresiko 3 kali lebih besar untuk menderita TB dibandingkan dengan tanpa DM (Jeon & Murray, 2008). Prevalensi dan insidensi DM kini mengalami peningkatan di banyak negara berkembang dimana TB menjadi endemis, salah satunya Indonesia (Alisjahbana, et al., 2006).

Dooley dan Chaisson (2009) melaporkan kembali dua buah penelitian yang membandingkan insidensi TB aktif di antara pasien dengan DM tergantung insulin (Insulin Dependent Diabetes Mellitus/ IDDM) dan tidak tergantung insulin (Non-Insulin Dependent Diabetes Mellitus/ NIDDM). Diperoleh bahwa pasien dengan IDDM lebih mungkin menderita TB aktif dibandingkan dengan pasien NIDDM.

DM dapat meningkatkan frekuensi maupun tingkat keparahan suatu infeksi. Hal tersebut disebabkan oleh adanya abnormalitas imun yang diperantarai oleh sel dan fungsi fagosit berkaitan dengan hiperglikemia, termasuk berkurangnya vaskularisasi. Kemungkinan penyebab meningkatnya insiden TB Paru pada pengidap diabetes dapat berupa defek pada fungsi sel-sel imun dan mekanisme pertahanan pejamu. Mekanisme yang mendasari hal tersebut masih belum dapat dipahami hingga saat ini, meskipun telah terdapat sejumlah hipotesis mengenai peran sitokin sebagai suatu molekul penting dalam mekanisme pertahanan manusia terhadap TB (Cahyadi & Venty, 2011).

Sebuah penelitian dengan hewan coba menunjukkan bahwa mencit hiperglikemi kronik memiliki produksi IFN-γ dan IL-12 yang jauh lebih sedikit serta mengalami penurunan sel T responsif yang ringan terhadap antigen M.


(41)

tuberculosis (ESAT-6) pada awal infeksi TB. Hal ini menunjukkan penurunan imunitas adaptif oleh sel Th1 secara bermakna dibandingkan dengan mencit euglikemi (Martens, et al., 2007). Temuan ini bertolak belakang dengan percobaan eksperimental yang dilakukan Stalenhoef, et al. (2008) dimana tidak ditemukan perbedaan produksi sitokin pada plasma darah antara pasien TB dengan atau tanpa DM.

Jika pasien TB dibandingkan dengan kontrol yang sehat, produksi IFN-γ spesifik M. tuberculosis sama saja, tetapi produksi IFN-γ yang non-spesifik berkurang secara signifikan pada kelompok DM. Diduga bahwa berkurangnya IFN-γ yang non spesifik tersebut menunjukkan adanya defek pada respon imun alamiah yang berperan pada meningkatnya resiko pasien DM untuk mengalami TB aktif. Meskipun demikian, mekanisme yang mendasari terjadinya hal tersebut masih perlu ditelusuri lebih lanjut (Stalenhoef, et al., 2008).

Meningkatnya resiko TB pada pasien DM diperkirakan disebabkan oleh defek pada makrofag alveolar atau limfosit T. Wang et al. menemukan adanya peningkatan jumlah makrofag alveolar matur (makrofag alveolar hipodens) pada pasien TB paru aktif. Namun, tidak ditemukan perbedaan jumlah limfosit T yang signifikan antara pasien TB dengan DM dan pasien TB saja. Proporsi makrofag alveolar matur yang lebih rendah pada pasien TB yang disertai DM dianggap bertanggung jawab tehadap lebih hebatnya perluasan TB dan jumlah bakteri dalam sputum pasien TB dengan DM (Cahyadi & Venty, 2011).

Selain itu, ditemukan juga bahwa neutrofil pada pasien DM, terutama pada mereka yang memiliki kontrol gula darah yang buruk, mengalami penurunan efek kemotaksis dan kemampuan oxydative killing serta aktivitas bakterisidal leukosit yang berkurang dibandingkan dengan kontrol non-diabetik (Jeon & Murray, 2008). Keseimbangan limfosit T CD4 dan CD8 dianggap turut berperan penting dalam modulasi pertahanan pejamu terhadap TB dan sangat berpengaruh terhadap laju regresi TB Paru aktif (Guptan & Shah, 2000).


(42)

Tabel 2.1. Defek Imunologis Pasien DM

Abnormalitas Imunologi pada DM Disfungsi Fisiologi Paru pada DM Fungsi kemotaksis, adhesi, fagositosis,

dan mikrobisida polimorfonuklear yang abnormal

Berkurangnya reaktivitas bronkus

Berkurangnya jumlah monosit perifer dan fagositosis yang terganggu

Berkurangnya kemampuan recoil

elastis dan volume paru Transformasi limfosit yang buruk Berkurangnya kapasitas difusi

Adanya defek opsonisasi C3 Mucus plug yang menyumbat jalan napas

Berkurangnya respon ventilasi terhadap hipoksemia

Sumber: Gruptan, 2000

Paduan OAT pada pasien TB-DM pada prinsipnya sama dengan TB tanpa DM, dengan syarat kadar gula terkontrol. Apabila kadar gula darah tidak terkontrol, maka lama pengobatan OAT dapat dilanjutkan sampai 9 bulan (PDPI, 2006).

Beberapa keadaan perlu diperhatikan dalam memberikan OAT pada pasien dengan DM, diantaranya pemberian rifampisin dan ethambutol. Penggunaan ethambutol pada pasien DM harus hati-hati karena efek sampingnya terhadap mata mengingat pasien DM sering mengalami komplikasi penyakit berupa kelainan mata. Pemberian rifampisin pada pasien DM yang menggunakan obat oral antidiabetes, khususnya sulfonilurea, dapat mengurangi efektivitas obat tersebut dengan cara meningkatkan metabolisme sulfonilurea. Sehingga pada pasien DM, pemberian sulfonilurea harus dengan dosis ditingkatkan (Alisjahbana, et al., 2007).


(43)

BAB 3

KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep

Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah:

Gambar 3.1. Kerangka Konsep

3.2. Definisi Operasional 3.2.1. TB Paru

TB Paru adalah penyakit paru yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis yang diderita oleh responden penelitian.

Alat Ukur : Rekam Medik

Cara Ukur : Melihat diagnosis dokter yang disertai dengan data gejala klinis, foto dada, dan/atau pemeriksaan mikrobiologi yang tercantum dalam rekam medik.

Hasil Ukur : TB Paru

Bukan TB Paru Skala Ukur : Nominal

3.2.2. Komorbiditas

Komorbiditas adalah penyakit yang terjadi bersamaan dengan penyakit TB Paru yang diderita oleh responden penelitian, baik yang mempengaruhi maupun yang tidak mempengaruhi TB Paru. Alat Ukur : Rekam Medik


(44)

Cara Ukur : Melihat diagnosis dokter yang disertai dengan data pemeriksaan penunjang yang diakukan (laboratorium, radiologi) untuk menegakkan komorbiditas tersebut dalam rekam medik.

Hasil ukur : Ada Komorbiditas dan Penyakit yang merupakan komorbiditas

Tidak Ada Komorbiditas Skala Ukur : Nominal

3.3. Kerangka Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka peneltian dalam penelitian ini adalah:

Gambar 3.2. Kerangka Penelitian Pasien TB Paru yang

Dirawat Inap

Ada Komorbiditas Tidak Ada Komorbiditas


(45)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan desain penelitian cross sectional (potong lintang), untuk memperoleh data komorbiditas pada pasien TB Paru yang dirawat inap di Ruang Rawat Penyakit Dalam RSUP Haji Adam Malik Medan.

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni - Desember 2013 bertempat di Ruang Rawat Penyakit Dalam dan Instalasi Rekam Medik RSUP Haji Adam Malik Medan.

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1. Populasi Penelitian

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien TB Paru yang dirawat inap di Ruang Rawat Penyakit Dalam RSUP Haji Adam Malik Medan selama periode Juli 2010 – Juni 2012.

4.3.2. Sampel Penelitian

Pengambilan sampel dilakukan dengan metode total sampling di mana seluruh anggota populasi dijadikan sampel pada penelitian ini.

4.4. Metode Pengumpulan Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang didapat dari rekam medik pasien TB Paru yang dirawat inap di Ruang Rawat Penyakit Dalam RSUP Haji Adam Malik Medan selama periode Juli 2010 – Juni 2012 untuk dicari komorbiditasnya.


(46)

4.5. Pengolahan dan Analisis Data

Semua data yang telah dikumpulkan dicatat, diperiksa, dikelompokkan kemudian diolah dengan menggunakan program komputer untuk statistika yang sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui komorbiditas pada pasien TB Paru yang dirawat inap di Ruang Rawat Penyakit Dalam RSUP Haji Adam Malik Medan.


(47)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik terletak di Jalan Bunga Lau No. 17 Km. 12, Kecamatan Medan Tuntungan, Kotamadya Medan, Provinsi Sumatera Utara. Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik merupakan rumah sakit kelas A sesuai dengan SK Menkes No. 335/Menkes/SK/VII/1990 dan sesuai dengan SK Menkes No. 502/Menkes/SK/IX/1991, Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik juga sebagai Pusat Rujukan Wilayah Pembangunan A yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, dan Riau. Penelitian ini dilakukan di Ruang Rawat Penyakit Dalam dan Instalasi Rekam Medik Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik yang terletak di lantai satu gedung Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik. 5.1.2. Deskripsi Data Penelitian

Sampel yang diperoleh berdasarkan data induk pasien yang tersimpan di Ruang Rawat Penyakit Dalam RSUP Haji Adam Malik dengan diagnosis TB Paru selama Juli 2010- Juni 2012 adalah 206 orang pasien (110 orang pada periode Juli 2010-Juni 2011 dan 96 orang pada periode Juli-Juni 2012).

5.1.2.1. Distribusi Karakteristik Pasien TB Paru Berdasarkan Jenis Kelamin

Distribusi pasien TB Paru yang menjadi sampel penelitian berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel berikut.


(48)

Tabel 5.1. Distribusi Karakteristik Pasien TB Paru Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin N %

Laki-laki 130 63,1

Perempuan 76 36,9

Total 206 100

Berdasarkan tabel 5.1., didapati bahwa selama Juli 2010 - Juni 2012, jumlah pasien TB Paru yang berjenis kelamin laki-laki adalah 130 orang (63,1%) dan perempuan adalah 76 orang (36,9%).

5.1.2.2. Distribusi Karakteristik Pasien TB Paru Berdasarkan Usia Distribusi pasien TB Paru yang menjadi sampel penelitian berdasarkan usia dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 5.2. Distribusi Karakteristik Pasien TB Paru Berdasarkan Usia

Usia N %

15-20 8 3,9

21-30 61 29,6

31-40 43 20,9

41-50 34 16,5

51-60 35 17

61-70 15 7,3

71-80 8 3,9

81-90 2 1

Total 206 100

Berdasarkan tabel 5.2., didapati bahwa pasien TB Paru paling banyak berada pada kelompok usia 21-30 tahun yang berjumlah 61 orang (29,6%) dan paling sedikit pada kelompok usia 81-90 tahun tahun sebanyak 2 orang (1%).


(49)

5.1.2.3. Distribusi Karakteristik Pasien TB Paru Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Distribusi pasien TB Paru yang menjadi sampel penelitian menurut tingkat pendidikan dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 5.3. Distribusi Karakteristik Pasien TB Paru Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Tingkat Pendidikan N %

SD 44 21,4

SLTP 55 26,7

SLTA 99 48,1

S1 8 3,9

Total 206 100

Dari tabel 5.3. di atas, dapat dilihat bahwa mayoritas pasien mengenyam pendidikan hingga tingkat SLTA sebanyak 99 orang (48,1%). Sementara pasien yang menyelesaikan hingga jenjang S1 hanya berjumlah 8 orang (3,9%).

5.1.2.4. Distribusi Karakteristik Pasien TB Paru Berdasarkan Pekerjaan

Distribusi pasien TB Paru yang menjadi sampel penelitian berdasarkan pekerjaan dapat dilihat pada tabel berikut.


(50)

Tabel 5.4. Distribusi Karakteristik Pasien TB Paru Berdasarkan Pekerjaan

Pekerjaan N %

Wiraswasta 70 34

IRT 52 25,2

Petani 33 16

Pengangguran 14 6,8

Pekerja lepas 10 4,9

Pensiunan 8 3,9

PNS 7 3,4

Pelajar 5 2,4

Pegawai swasta 4 1,9

Nelayan 2 1

Buruh bangunan 1 0,5

Total 206 100

Dari tabel 5.4 di atas, dapat dilihat bahwa pasien TB Paru paling banyak bekerja sebagai wiraswasta sebanyak 70 orang (34%) dan paling sedikit bekerja sebagai buruh bangunan yakni 1 orang (0,5%).

5.1.2.5. Distribusi Pasien TB Paru Berdasarkan Ada/Tidaknya Komorbiditas

Distribusi pasien TB Paru berdasarkan ada tidaknya komorbiditas sekaligus jumlah komorbiditas yang dimilikinya dapat dilihat pada tabel berikut.


(51)

Tabel 5.5. Distribusi Pasien TB Paru Berdasarkan Ada/Tidaknya Komorbiditas

Ada/Tidaknya Komorbiditas

N %

Tidak ada Komorbid 17 8,3

Ada Komorbid 189 91,7

1 60 29,1

2 82 39,8

3 35 17

4 8 3,9

5 3 1,5

6 1 0,5

Total 206 100

Berdasarkan tabel 5.5. di atas, diperoleh bahwa 189 orang pasien TB Paru yang dirawat inap (91,7%) memiliki komorbiditas dan hanya 17 orang pasien (8,3%) yang tidak memiliki komorbiditas. Pasien dengan komorbiditas paling banyak memiliki 2 komorbiditas yakni sebanyak 82 orang (39,8%) dan paling sedikit memiliki 6 komorbiditas yaitu sebanyak 1 pasien (0,5%).

5.1.2.6. Komorbiditas pada Pasien TB Paru yang Dirawat Inap di Ruang Rawat Penyakit Dalam RSUP Haji Adam Malik Medan Juli 2010- Juni 2012

Komorbiditas yang dimiliki oleh pasien TB Paru responden dalam penelitian ini disajikan dalam tabel di bawah ini.


(52)

Tabel 5.6. Komorbiditas pada Pasien TB Paru

Komorbiditas N %

Infeksi HIV 96 46,6

Infeksi Oportunistik Akibat HIV 59 28,6

DM tipe 2 29 14,1

Anemia Penyakit Kronik 29 14,1

Dispepsia 22 10,7

Penyakit Hati dan Kandung Empedu 18 8,7 Penyakit Gnjal dan Saluran Kemih 18 8,7

Penyakit Kardiovaskular 15 7,3

Penyakit Saluran Cerna Lainnya 13 6,3 Penyakit Paru dan Saluran Napas Lainnya 9 4,4 Penyakit Tulang dan Sendi 6 2,9

Tumor dan Kegansan 6 2,9

Penyakit Telinga-Hidung-Tenggorokan (THT)

5 2,4

Lain-Lain 23 11,2

Berdasarkan tabel 5.6. di atas, disimpulkan bahwa komorbiditas yang paling sering dijumpai pada pasien TB Paru yang dirawat inap adalah infeksi HIV yakni pada 96 orang pasien (46,6 %). Namun hanya 59 pasien dari jumlah tersebut yang turut menderita infeksi oportunistik –selain TB-- yang disebabkan oleh adanya HIV (23,8%). Komorbiditas yang juga cukup sering dijumpai pada pasien adalah DM tipe 2 dan anemia penyakit kronik yang masing-masing terdapat pada 29 orang pasien (14,1%). Komorbiditas yang jarang dijumpai pada pasien TB Paru diklasifikasikan pada kelompok lain-lain (11,2%).

5.1.2.7. Detail Komorbiditas pada Pasien TB Paru

Detail komorbiditas pada responden penelitian, seperti: infeksi oportunistik akibat HIV, penyakit hati dan kandung empedu, penyakit ginjal dan saluran kemih, penyakit kardiovaskular, penyakit saluran cerna lainnya, penyakit paru dan saluran napas lainnya, penyakit tulang dan sendi, tumor dan keganasan, penyakit THT, serta lainnya akan dijabarkan lebih lanjut melalui tabel-tabel berikut.


(53)

Tabel 5.7. Infeksi Oportunistik akibat Infeksi HIV pada Pasien TB Paru

Infeksi Oportunistik akibat Infeksi HIV

N %

Kandidiasis Oral 48 23,3

Diare kronik 12 5,8

Pneumocystis Carinii Pneumonia

(PCP) 8 3,9

Toxoplasmosis 6 2,9

Kondiloma Akuminata 2 1

Kandidiasis Esofagus 1 0,5

Infeksi Virus Rubella 1 0,5

Tabel 5.8. Penyakit Hati dan Kandung Empedu pada Pasien TB Paru

Penyakit Hati – Kandung

Empedu N %

Sirosis Hepatis 5 2,4

Hepatitis Viral Akut 4 1,9

Hepatitis Viral Kronik 4 1,9

Batu Empedu 3 1,5

Drug-induced Hepatitis 1 0,5

Abses Hati 1 0,5

Tabel 5.9. Penyakit Ginjal dan Saluran Kemih pada Pasien TB Paru

Penyakit Ginjal dan Saluran Kemih N %

Chronic Kidney Disease (CKD) 6 2,9

Acute Kidney Injury (AKI) 4 1,9

Infeksi Saluran Kemih (ISK) 3 1,5

Nephrolithiasis 2 1

Glomerulopati 1 0,5

Kista Ginjal 1 0,5


(54)

Tabel 5.10. Penyakit Kardiovaskular pada Pasien TB Paru

Penyakit Kardiovaskular N %

Congestive Heart Failure (CHF) 8 3,9

Penyakit Jantung Koroner (PJK) 6 2,9

Hipertensi 3 1,5

Atrial Fibrilation Rapid

Ventricular Rate (AFRVR) 2 1

Penyakit Jantung Bawaan (PJB) 1 0,5

Tabel 5.11. Penyakit Saluran Cerna Lainnya pada Pasien TB Paru

Penyakit Saluran Cerna Lainnya N %

Gastritis 6 2,9

Varises Esofagus 3 1,5

Striktur Esofagus 1 0,5

Esofagitis 1 0,5

Gastroenteritis Akut 1 0,5

Ulcerative Colitis 1 0,5

Hemoroid 1 0,5

Tabel 5.12. Penyakit Paru dan Saluran Napas lainnya pada Pasien TB Paru

Penyakit Paru dan Saluran Napas

Lainnya N %

Cor-Pulmonale Chronicum (CPC) 5 2,4

Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) 4 1,9

Asma Bronkial 1 0,5

Tabel 5.13. Penyakit Tulang dan Sendi pada Pasien TB Paru

Penyakit Tulang dan Sendi N %

Osteoartritis (OA) 2 1


(55)

Tabel 5.14. Tumor/Keganasan pada Pasien TB Paru

Tumor/Keganasan N %

Hepatoma 2 1

Kanker Peritoneal 1 0,5

Myoma Uteri 1 0,5

Myelodisplasia 1 0,5

Limfoma Maligna 1 0,5

Tabel 5.15. Penyakit THT pada Pasien TB Paru

Penyakit THT N %

Otitis Media Akut (OMA) 2 1

Otits Media Supuratif Kronik (OMSK) 1 0,5

Tonsilopharingitis 1 0,5

Laringopharingitis 1 0,5

Abses Peritonsil 1 0,5

Tabel 5.16. Komorbiditas Lain yang Dijumpai pada Pasien TB Paru

Komorbiditas Lain N %

Hipoalbuminemia 7 3,4

Gangguan elektrolit 4 1,9

Dengue Hemoragic Fever (DHF) 3 1,5

Hipotiroid 2 1

Polisitemia sekunder 1 0,5

Decubitus ulcer 1 0,5

Drug abuse 1 0,5

Infeksi CMV 1 0,5

Grave Disease 1 0,5

Glaukoma 1 0,5

Infark Serebri 1 0,5

5.1.2.8. Outcome Pasien TB Paru

Outcome pasien TB Paru setelah dirawat inap, baik dengan ataupun tanpa komorbiditas dapat dilihat pada diagram berikut.


(56)

Gambar 5.1. Outcome Pasien TB Paru

Berdasarkan diagram di atas, dijumpai bahwa 144 pasien ( 69,9%) pulang berobat jalan (PBJ) setelah selesai dirawat inap. Pasien dengan komorbiditas jumlahya lebih banyak yakni 133 orang (64,6%) dibandingkan pasien tanpa komorbiditas yang hanya berjumlah 11 orang (5,3%). Pasien meninggal jumlahnya 15 orang (7,3%) dan lebih banyak dijumpai pada pasien dengan komorbiditas yaitu 13 orang (6,3%), sedangkan pada kelompok tanpa komorbiditas hanya 2 orang (1%). Pasien yang pulang atas permintaan sendiri (PAPS) sebelum menyelesaikan pengobatan jumlahnya lebih banyak pada kelompok pasien dengan komorbiditas yaitu 43 orang (20,9%), sedangkan pada kelompok pasien tanpa komorbiditas jumlahnya 4 orang (1,9%).

5.1.2.9. Lama Rawat Inap Pasien TB Paru

Lamanya rawat inap pasien TB Paru dalam penelitian ini dapat dilihat pada diagram berikut.

133

13

43

11

2 4

0 20 40 60 80 100 120 140

Pulang Berobat Jalan (PBJ)

Meninggal Atas Permintaan Sendiri (PAPS)


(57)

x total = 9,92 = 10; x komorbid = 9,86 = 10; x non-komorbid = 10,59 = 11 Gambar 5.2. Lama Rawat Pasien TB Paru

Berdasarkan diagram di atas, dijumpai bahwa secara keseluruhan pasien TB Paru paling banyak dirawat selama 1-10 hari yaitu sebanyak 136 orang (66%), dimana pada kelompok dengan komorbiditas berjumlah lebih banyak yakni 127 orang (61,7%). Pasien dengan komorbiditas sebanyak 13 orang (6,3%) menjalani rawat inap selama 21-30 hari dan sebanyak 7 orang (3,4%) bahkan dirawat inap hingga 31-40 hari.

5.2. Pembahasan

5.2.1. Analisis Distribusi Karakteristik Pasien TB Paru Berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan penelitian yang dilakukan dijumpai bahwa pasien TB Paru paling banyak berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 130 orang (63,1%), sedangkan yang berjenis kelamin prempuan hanya 76 orang (36,9%). Hal ini sesuai dengan Profil Data Kesehatan Indonesia tahun 2011 yang melaporkan bahwa penderita TB Paru di Provinsi Sumatera Utara lebih banyak berjenis kelamin laki-laki yaitu 12.009 orang (64,73%) dan perempuan hanya 6.544 orang (35,27%). Hal yang sama juga dapat dijumpai di beberapa kota lain di Indonesia seperti Manado dan Pontianak

127

42

13

7

9 8

0 0

0 20 40 60 80 100 120 140

1-10 hari 11-20 hari 21-30 hari 31-40 hari


(58)

dengan jumlah pasien TB laki-laki yang menjalani rawat inap mencapai >50%, masing-masing 65,9% dan 60% (Simamora, Tjitrosantoso, & Wiyatno, 2012 dan Panjaitan, 2012).

Kejadian TB Paru lebih sering dijumpai pada laki-laki mungkin disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut diantaranya: beban kerja yang lebih berat dan kurangnya istirahat akibat tuntutan nafkah pada laki-laki yang dapat menurunkan daya tahan tubuh (Alsagaff & Mukty, 2010) dan gaya hidup yang kurang sehat seperti merokok dan minum alkohol yang dapat meningkatkan progresifitas TB (Lönnroth, et al., 2008 dan Prasad, et al., 2009). Selain itu, laki-laki dianggap kurang peduli terhadap kesehatannya bila dibandingkan perempuan (Notoatmodjo, 2010).

5.2.2. Analisis Distribusi Karakteristik Pasien TB Paru Berdasarkan Usia

Dari penelitian yang telah dilakukan, diperoleh bahwa pasien TB Paru dengan komorbiditas paling banyak dijumpai pada kelompok usia produktif (18-60 tahun) yaitu sebanyak 181 orang (87,9%), dengan kelompok terbanyak berasal dari kelompok usia 21-30 tahun yakni 61orang pasien (29,6 %) diikuti kelompok usia 31-40 tahun sebanyak 43 orang (20,9%). Center for Disease Control (CDC) juga melaporkan kelompok usia dewasa diikuti dengan kelompok usia tua merupakan kelompok yang paling sering terkena TB di Amerika Serikat pada tahun 2008. Jumlah kasus TB tertinggi mengenai usia 25-44 tahun (33%), diikuti usia 45-64 tahun (30%). Namun hal tesebut bertentangan dengan temuan Leung dan Tam di Hongkong (2002) dimana pasien TB Paru paling banyak justru dijumpai pada kelompok usia non-produktif, kelompok usia 70-79 tahun, sebanyak 108 orang (17,4%), diikuti kelompok usia 60-69 tahun yang berjumlah 107 orang (17,2%).


(59)

Angka kejadian TB Paru yang lebih tinggi pada kelompok usia produktif diduga berhubungan dengan tingkat aktivitas dan pekerjaan yang memungkinkan mudahnya tertular kuman TB setiap saat dari penderita, khususnya penderita dengan BTA positif. Mobilitas dan interaksi sosial yang lebih tinggi pada orang usia 15-50 tahun menyebabkan kemungkinan infeksi kuman TB dari orang lain menjadi lebih tinggi (Godoy, et al., 2001). Meningkatnya kebiasaan merokok pada usia muda di negara-negara miskin juga menjadi salah satu faktor banyaknya kejadian TB Paru pada usia produktif (Gumus, et al., 2009).

5.2.3. Analisis Distribusi Karakteristik Pasien TB Paru Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, ditemukan bahwa jumlah pasien TB Paru dengan tingkat pendidikan tinggi tidak jauh berbeda dengan pasien yang berpendidikan rendah. Sebanyak 107 pasien TB Paru (52%) mampu menyelesaikan pendidikan hingga jenjang SLTA dan S1 masing-masing sebanyak 99 orang (48,1%) dan 8 orang (3,9%). Sisanya hanya mampu menyelesaikan pendidikan hingga tingkat SD (21,4%) dan SLTP (26,7%). Hasil tersebut sedikit berbeda dengan Panjaitan (2012) yang menemukan bahwa pasien TB Paru yang dirawat di Rumah Sakit Umum dr. Soedarso Pontinak selama September-Oktober 2010 sebagian besar, 80% dari keseluruhan, berpendidikan rendah (tidak sekolah-SLTP). Sedangkan pasien yang mampu meneruskan pendidikan pada jenjang SLTA dan S1 hanya 17,8% dan 2,2%. Tidak jauh berbeda, Wadjah (2012) juga melaporkan bahwa hanya 22,9% saja pasien TB Paru yang berpendidikan tinggi (SMA-S1), paling banyak (33,9%) hanya duduk hingga bangku SMP. Tingkat pendidikan adalah salah satu faktor risiko penularan TB karena akan mempengaruhi pemahaman seseorang tentang penyakit TB. Masyarakat yang tingkat pendidikannya tinggi akan tujuh kali lebih


(60)

waspada terhadap TB Paru (gejala, cara penularan, dan pengobatan) bila dibandingkan dengan masyarakat yang hanya menempuh pendidikan dasar atau lebih rendah (Waisbord, 2009). Tidak hanya itu, seorang dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi juga akan memiliki pengetahuan mengenai rumah dan lingkungan yang memenuhi syarat kesehatan. Sehingga dengan pengetahuan tersebut, seseorang akan mencoba untuk berprilaku hidup bersih dan sehat (Misnadiarly, 2009). Namun dalam penelitian ini, tinggi rendahnya pendidikan seseorang tidak menjamin seseorang akan terhindar dari penularan TB.

5.2.4. Analisis Distribusi Karakteristik Pasien TB Paru Berdasarkan Pekerjaan

Dari penelitian dijumpai bahwa pekerjaan terbanyak pasien TB Paru adalah wiraswasta (34%) dan paling sedikit adalah nelayan (1%) dan buruh bangunan (0,5%). Hal ini bertentangan dengan yang ditemukan oleh Nurhayati (2012) dimana pekerjaan pasien TB Paru terbanyak di Kecamatan Banggai, salah satu kecamatan yang memiliki banyak pantai di Sulawesi Tengah, adalah nelayan (35,6%). Peneliti menduga bahwa hal ini dipengaruhi oleh faktor geografis lokasi penelitian yang akan mempengaruhi pekerjaan terbanyak penduduk sekitar. Pekerjaan merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan kejadian TB paru (p= 0,028) (Nurhanah, 2009). Pekerjaan yang dimaksud ialah pekerjaan yang terutama mendorong migrasi dan memungkinkan sesorang untuk berkontak dengan banyak orang sehingga meningkatkan kemungkinan untuk terpapar dengan basil TB (Carvalho, et al., 2008).

5.2.5. Analisis Komorbiditas yang Dijumpai pada Pasien TB Paru Dalam penelitian ini ditemukan bahwa 189 pasien (91,7%) TB Paru memiliki komorbiditas dan 17 orang saja (8,3%) yang hanya menderita TB Paru. Plas dan Mendelson (2011) juga menemukan jumlah pasien TB dengan komorbiditas di Cape Town, Afrika cukup tinggi yakni sebanyak


(1)

Hansel, N. N., Merriman, B., Haponik, E. F., & Diette, G. B., 2004. Hospitalizations for Tuberculosis in the United States in 2000. Chest Journal, 126 (4): 1079-1086.

Harries, A. D., Zachariah, R., & Lawn, S. D., 2009. Providing HIV Care for Co-infected Tuberculosis Patients: A Perspective from Sub-Saharan Africa. The International Journal of Tuberculosis and Lung Disease, 13 (1): 6-16.

Hopewell, P. C., & Kato-Maeda, M., 2010. Tuberculosis. In R. J. Mason, V. C. Broaddus, T. R. Martin, J. Talmadge E.King, D. E. Schraufnagel, J. F. Murray, et al., Murray & Nadel's Textbook of Respiratory Medicine. Philadelphia: Saunders Elsevier.

Isanaka, S., et al., 2012. Iron Deficiency and Anemia Predict Mortality in Patients with Tuberculosis. The Journal of Nutrition, 142: 350-357.

Jawetz, Melnick, & Adelberg., 2004. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 325-328.

Jeon, C. Y., & Murray, M. B., 2008. Diabetes Mellitus Increases the Risk of active Tuberculosis: A Systematic Review of 13 Observational Studies. PLoS Medicine, 1091-1101.

Jeon, C. Y., Murray, M. B., & Baker, M. A., 2012. Managing Tuberculosis in Patients With Diabetes Mellitus. Expert Review of Anti-Infective Therapy, 10 (8): 836-868.

Kedzierska, K., M.Crowe, S., Turville, S., & Cunningham, A. L., 2003. The Influence of Cytokines, Chemokines and Their Receptors on HIV-1 Replication in Monocytes and Macrophages. Reviews in Medical Virology, 13 (1): 39-56.

Kim, D. K., Lee, S. W., Ko, D. S., Yoo, C. G., & Han, S. K., 2004. Prevalence and Evolution of Anemia in Patients with Tuberculosis. Chest Journal, 126 (4): 1-6.


(2)

Kusuma, H. C., & Setiawati, L., 2010. Imunologi Infeksi Mycobacterium tuberculosis. Dalam: Rahajoe, N., Supriyatmo, B., & Setyanto, D. B. Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 178-181.

Kwara, A., Carter, E., Rich, J.D., & Flamigan, 2004. Development of Opportunistic Infections After Diagnosis of Active Tuberculosis in HIV-Infected Patients. AIDS Patients Care STDS, 18 (6): 341-347.

Lee, S. W., et al., 2006. The Prevalence and Evolution of Anemia Associated with Tuberculosis. Journal Korean Medical Science, 21: 1028-1032.

Leung, E. C., & Tam, C. M., 2002. Comorbidities among Patients with Tuberculosis in Hong Kong. The Hong Kong Practitioner, 114-131.

Lin, Y., et al., 2012. Screening patients with Diabetes Mellitus for Tuberculosis in China. Tropical Medicine International Heal , 17 (10): 1302-1308.

LoBue, P. A., Iadermaco, M. F., & Castro, K. G., 2008. The Epidemiology, Prevention, and Control of Tuberculosis in the United States. In A. P. Fishman, J. A. Elias, J. A. Fishman, M. E. Grippy, R. M. Senior, & A. I. Pack, Fishman's Pulmonary Disease and Disorde. 4th ed. USA: Mac Graw Hill, 2447-2456.

Lyanda, A., 2012. Rapid TB Test. Jurnal Tuberkulosis Indonesia, 8: 12-16.

Maitra, A., & Kumar, V., 2007. Paru dan Saluran Napas Atas. Dalam Kumar, V., Cotran, R. S., & S. L. Robbins, Robbins Buku Ajar Patologi. 7th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 544-551.

Mancino, G., et al., 1997. Infection of Human Monocytes with Mycobacterium tuberculosis Enhances Human Immunodeficiency Virus Type 1 Replication and Transmission to T Cells. The Journal of Infectious Disease, 175: 1531-1535.


(3)

Martens, G. W., et al., 2007. Tuberculosis Susceptibility of Diabetic Mice. American Journal of Respiratory Cell and Molecular Biology, 37 (5): 518-524.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2012. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 451/ MENKES/ SK/ XII/ 2012. Available from: [Accessed 22 November 2013].

Misnadiarly, 2009. Prevalensi Tuberkulosis Paru di Indonesia 2007 dan Faktor yang Mempengaruhi. Medika, 34: 810-815.

Notoatmodjo, S., 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta, 20-33. Nurhanah, 2009. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian

Tuberkulosis Paru pada Masyarakat di Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2007. Available from: November 2013].

Panjaitan, F., 2012. Karakteristik penderita Tuberkulosis Paru Dewasa Rawat Inap di RSU dr. Soedarso Pontianak Periode September-November 2010. Available from: jurnal.untan.ac.id/index.php/jfk/article/view/1758. [Accessed 22 November 2013].

Patel, N. R., et al., 2007. HIV Impairs TNF-alpha Mediated Macrophage Apoptotic Response to Mycobacterium tuberculosis. The Journal of Immunology, 179: 6973-6980.

Pawlowski, A., Jansson, M., Skold, M., Rottenberg, M. E., & Kallenius, G., 2012. Tuberculosis and HIV Co-Infection. PLoS Pathogens, 8: 1-7.

Persatuan Dokter Paru Indonesia, 2006. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Available from: http://www.scribd.com/doc/78413238/Tuberkulosis-PDPI-2006. [Accessed 26 April 2013].


(4)

Plas, H. V., & Mendelson, M., 2011. High Prevalence of Comorbidity and Need for Up-Refferal Among Inpatients at A District-Level Hospital with Specialist Tuberculosis Services in South Africa. South African Medical Journal, 101 (8): 529-532.

Prasad, R., Suryakant, Garg, R., Singhal, S., Dawar, R., & Agarwal, G., 2009. A Case-control Study of Tobacco Smoking and Tuberculosis in India. Ann Thorac Med, 4 (4): 208-210.

Raviglione, M. C., & O'Brien, R. J., 2008. Tuberculosis. In Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, et al., Harrison's Principles of Internal Medicine, 17th Ed. USA: Mac Graw Hill, 1006-1020.

Restrepo, B. I., et al., 2011. Cross-sectional Assessment Reveals High Diabetes Prevalence Among Newly-Diagnosed Tuberculosis Cases. Bulletin of World Health Organization, 89 (5): 352-359.

Riadi, A., 2012. Tuberkulosis dan HIV-AIDS. Jurnal Tuberkulosis Indonesia, 8: 24-35.

Rusnoto, Rahmatullah, P., & Udiono, A., 2008. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Tb Paru Pada Usia Dewasa di Balai Pencegahan Dan

Pengobatan Penyakit Paru Pati. Available from:

eprints.undip.ac.id/5283/1/Rusnoto.pdf‎. [Accessed 22 May 2013].

Sharma, K.S., Alladi, M., & Kadhiravan, T., 2005. HIV-TB Co-infection: Epidemiology, Diagnosis, & Management. Indian Journal of Medical Research, 121 (4): 550-567.

Simamora, V., Tjitrosantoso, H. M., Wiyono, W. I., 2012. Evaluasi Penggunaan Obat Antituberkulosis pada Pasien Tuberkulosis Paru di Instalasi Rawat Inap BLU RSUP Prof. dr. R. D. Kandou Manado Periode Januari –

Desember 2010. Available from:

22 November 2013]


(5)

Stalenhoef, J. E., et al., 2008. European Journal of Clinical Microbiology and Infectious Diseases, 27 (2): 97-103.

Tuberculosis Coalition for Technical Assistance, 2009. International Standarts for Tuberulosis Care. The Hague: Tuberculosis Coalition for Technical Assistance, 2: 49-54.

Tweeel, H. K., 2011. Tuberculosis & co-morbidities. Available from:

Valderas, J. M., Starfield, B., Sibbald, B., Salisbury, C., & Roland, M., 2009. Defining Comorbidity: Implications for Understanding Health and Health Services. Annals of Family Medicine, 7: 357-363.

Viswanathan, V., et al., 2012. Prevalence of Diabetes and Pre-Diabetes and Associated Risk Factors among Tuberculosis Patients in India . PLos ONE, 7 (7): 1-9.

Wadjah, N., 2012. Gambaran karakteristik Penderita TBC Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Pagimana Kabupaten Banggai Tahun 2012. Public Health Journal, 1 (1): 1-8.

Waisbord, S., 2009. Behavioral Barriers in Tuberculosis Control: A Literature Review. Available from: pdf.usaid.gov/pdf_docs/Pnadf406.pdf. [Accesed 20 November 2013].

World Health Organization, 2012. Global Tuberculosis Report. Available from: http://www.who.int/tb/publications/global_report. [Accessed 24 April 2013]. ZN, A. U., 2013. Management TB among Metabolic and Organ Dysfunction.

Available from:


(6)