Kajian Kinerja Irigasi Tetes Pada Tanah Latosol Dengan Budidaya Tanaman Caisim (Brassica Juncea L.)

(1)

Mulai Lampiran 1. Flowchart penelitian

tidak

ya

Dirancang jaringan irigasi tetes sederhana

Dipasang jaringan pipa

Dipasang emitter pada pipa lateral

Pengujian debit keluaran emitter

Dianalisis data yang diperoleh Dilakukan pengamatan

untuk setiap parameter Dialirkan air Diletakkan polibag pada


(2)

Lampiran 4. Nilai Bulk Density, Particle Density, dan Porositas Tanah Latosol Ulangan BTKU

(g)

BTKO (g)

VTKU (cm3)

VTKO (cm3)

Kerapatan Massa (g/cm3)

Kerapatan Partikel (g/cm3)

Porositas (%)

1 150 105 94,2 81 1,11 2,625 57,71

2 125 95 94,2 78 1,01 2,375 57,47

3 120 95 94,2 76 1,01 2,375 57,47

4 130 105 94,2 85 1,06 2,625 59,62

Rata-Rata 1,05 2,5 58,0675

Dimana :

BTKU = Berat tanah kering udara BTKO = Berat tanah kering oven

VTKU = Volume tanah kering udara (volume total) Volume ring sample = 1

4�d 2t

=1

4(3.14)(5 cm)

2(4.8 cm)

=1

4(376.8 cm) 3

= 94.2 cm3 VTKO = Volume tanah kering oven Bulk Density (Bd) = Massa Tanah

Volume Total

Particle Density (ρρ) = Massa Tanah

Volume Tanah Kering


(3)

Lampiran 5. Evapotranspirasi Aktual

Hari Evaporasi (Ep)(mm/hari

Fase awal Fase tengah Fase akhir

1 6 3 3

2 4 3 4

3 5 1 1

4 5 2 4

5 4 2 3

6 6 1 3

7 6 3 3

8 6 3 2

9 5 2 3

10 6 4 2

11 5 2 0

12 5 1 0

13 6 4 0

14 5 2 0

15 5 1 0

Rata-Rata 5,28 2,27 3,18 Fase tanaman Evaporasi (Ep) (mm/hari) Koefisien panci evapopan (k) Evaporasi potensial

(Et0)

(mm/hari) Koefisien tanaman (kc) Evapotranspirasi (ETc) (mm/hari) Fase Awal

(0-15 hari) 5.28 0,7 3,70 0,3 1,11

Fase Tengah

(16- 30 hari) 2.27 0,7 1,59 1,2 1,91

Fase Akhir

(31- 45) 3.18 0,7 2,26 0,6 1,18

Dimana :

k = Koefisien panci evapopan

kc = Koefisien tanaman

Evaporasi Potensial = Et0 = k x Ep Evapotranspirasi = ET = kc x Et0


(4)

Lampiran 6. Kadar Air Kapasitas Lapang Ulangan Kedalaman

(cm)

BTKU (g)

BTKO (g)

Kadar air kapasitas lapang

(%)

1 10 130 90 44.44

20 120 85 41.18

2 10 120 80 50

20 115 80 43.75

3 10 130 90 44.44

20 115 80 43.75

4 10 115 90 27.78

20 125 100 25

5 10 105 85 23.53

20 110 85 29.41

6 10 125 90 39

20 115 90 27.78

Rata-Rata 36.67

Perhitungan

� =���� − ����

���� x 100%

�1=

130−90

90 x 100% = 44.44 %

�2 =

120−85

85 x 100% = 41.18 %

�3 =

120−80

80 x 100% = 50 %

�4 =

115−80

80 x 100% = 43.75 %

�5 =

130−90

90 x 100% = 44.44 %


(5)

�6 =

115−80

80 x 100% = 43.75 %

�7 =

115−90

90 x 100% = 27.78 %

�8 =

125−100

100 x 100% = 25 %

�9 =

105−85

85 x 100% = 23.53 %

�10 =

110−85

85 x 100% = 29.41 %

�11 =

125−90

90 x 100% = 39 %

�12 =

115−90

90 x 100% = 27.77 %

Rata-Rata Keseluruhan Kadar Air Kapasitas Lapang

=

����1+����2+����3+����4+����5+����6 +

����7+����8+����9+����10+����11+����12

=

44.44% + 44.18% + 50% + 43.75% + 44.44% + 43.75% 27.78% + 25% + 23.53% + 29.41% + 39% + 27.77%

12 =440.06%


(6)

= 36.67%

Rata-Rata Kadar Air Kapasitas Lapang Tanah Bervegetasi =����1+����2+����3+����4+����5+����6

=44.44% + 44.18% + 50% + 43.75% + 44.44% + 43.75% 6

=267.56% 6 = 44.593 %

Rata-Rata Kadar Air Kapasitas Lapang Tanah Tidak Bervegetasi =����7+����8+����9+����10+����11+����12

=27.78% + 25% + 23.53% + 29.41% + 39% + 27.77% 6

=172.5 % 6 = 28.75 %

Rata-Rata Kadar Air Kapasitas Lapang =267.56% + 172,5%

12 = 36,67%


(7)

Lampiran 7. Data Debit Air Keluaran Emmiter (l/jam)

Emmiter Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3

Lateral 1

1 6,3 7,32 6,8

2 5,83 7,51 8,99

3 5,83 5,97 5,69

4 7,03 7,97 7,44

5 6,73 6,89 6,89

6 6,31 6,54 6,30

7 7,03 7,18 7,24

8 7,27 7,31 7,49

9 4,69 4,91 6,13

10 8,77 8,67 8,68

11 8,47 8,57 9,58

12 4,93 6,06 6,70

Lateral 2

1 5,8 5,20 4,49

2 6,19 6,77 6,56

3 4,69 6,31 7,63

4 4,87 4,98 4,15

5 3,19 3,36 2,89

6 3,79 4,06 4,09

7 3,97 4,36 5,33

8 4,03 3,52 3,97

9 0,96 1,00 0,90

10 2,58 2,53 2,89

11 3,85 3,31 3,73

12 3,68 4,03 4,38

Emitter Debit rata-rata (l/jam) Lateral 1 Lateral 2

1 6,96 4,94

2 7,44 6,51

3 5,83 6,21

4 7,48 4,67

5 6,84 3,15

6 6,38 3,98

7 7,15 4,62

8 7,36 3,84

9 5,24 0,96

10 8,71 2,67

11 8,87 3,63

12 5,89 4,31


(8)

Maka, debit rata-rata keluaran Emmiter (Qa) �� =

�.�� �� =

133,64 1.24 �� = 5,57 l jam�


(9)

Lampiran 8. Data Keseragaman Pemakaian Air

Emitter Qave (l/jam)

Lateral 1 Lateral 2

1 6,96 4,94

2 7,44 6,51

3 5,83 6,21

4 7,48 4,67

5 6,84 3,15

6 6,38 3,98

7 7,15 4,62

8 7,36 3,84

9 5,24 0,96

10 8,71 2,67

11 8,87 3,63

12 5,89 4,31

Rata-rata 7,01 4,12

Qmin (l/jam)

Qave (l/jam)

Cv Emission uniformity

(%) Lateral 1 5,83 7,01 0,16 66,27 Lateral 2 0,96 4,12 0,36 12,64 Rata-Rata 2,44 5,57 0,26 39,46 Dimana :

q1, q2, …, qn = debit dari alat penetes (l/h, gph) Cv = koefisien variasi pembuatan

q = rata-rata jumlah debit dari alat penetes (l/h, gph) n = total alat penetes per lateral

EU = emission uniformity dalam persen Cv =

(�12+�22+⋯+�2− ���2)1/2 ��(� −1)

1 2

EU = 100�1,0−1,27 ������

����


(10)

Lampiran 9. Data Efisiensi Pemakaian Air Irigasi Pada Fase Akhir Pertumbuhan Lapisan Air yang Disalurkan

(mm/hari)

Efisiensi Pemakaian (%)

Tanaman

0 – 5 1,60 100

6 – 10 1,60 100

11 – 15 1,10 100

16 – 20 1,00 100

Rata-Rata 1,33 100

Tanpa Tanaman

0 – 5 2,90 100

6 – 10 1,80 100

11 – 15 5,00 100

16 – 20 4,10 100

Rata-Rata 3,45 100

Dimana :

�� = �� � 100%

Ws = Air yang ditampung dalam tanah daerah akar selama pemberian air (m3)


(11)

Lampiran 10. Data Efisiensi Penyimpanan Air Irigasi Pada Fase Akhir Pertumbuhan

*Lapisan 0 – 5 cm

Dengan Tanaman (Sebelum Penyiraman)

Ulangan Sebelum penyiraman

BTKU (g) BTKO (g) KA (%)

1 105 90 16,66

2 110 85 29,41

3 115 85 29,41

Rata - Rata 110 86,67 25,16

Tanpa Tanaman (Sebelum Penyiraman)

Ulangan Sebelum penyiraman

BTKU (g) BTKO (g) KA (%)

1 100 85 17,65

2 105 85 23,53

3 110 95 15,80

Rata - Rata 105 88,33 19

Dengan Tanaman (Sesudah Penyiraman)

Ulangan Sesudah penyiraman

BTKU (g) BTKO (g) KA (%)

1 70 50 40

2 65 53 22,64

3 60 50 20

Rata - Rata 65 51 27,54

Tanpa Tanaman (Sesudah Penyiraman)

Ulangan Sesudah penyiraman

BTKU (g) BTKO (g) KA (%)

1 60 47 27,66

2 60 53 13,21

3 65 55 18,18


(12)

*Lapisan 6 – 10 cm

Dengan Tanaman (Sebelum Penyiraman)

Ulangan Sebelum penyiraman

BTKU (g) BTKO (g) KA (%)

1 105 90 16,67

2 110 85 29,41

3 115 85 35,29

Rata - Rata 110 86,67 27,12

Tanpa Tanaman (Sebelum Penyiraman)

Ulangan Sebelum penyiraman

BTKU (g) BTKO (g) KA (%)

1 100 85 17,65

2 105 85 23,53

3 110 95 15,80

Rata - Rata 105 88,33 19

Dengan Tanaman (Sesudah Penyiraman)

Ulangan Sesudah penyiraman

BTKU (g) BTKO (g) KA (%)

1 73 48 52,08

2 68 51 33,33

3 58 48 20,83

Rata - Rata 56,33 49 35,41

Tanpa Tanaman (Sesudah Penyiraman)

Ulangan Sesudah penyiraman

BTKU (g) BTKO (g) KA (%)

1 63 47 34,04

2 65 55 18,18

3 58 50 16


(13)

*Lapisan 11 – 15 cm

Dengan Tanaman (Sebelum Penyiraman)

Ulangan Sebelum penyiraman

BTKU (g) BTKO (g) KA (%)

1 110 85 29,41

2 115 90 27,77

3 120 95 26,31

Rata - Rata 110 90 27,83

Tanpa Tanaman (Sebelum Penyiraman)

Ulangan Sebelum penyiraman

BTKU (g) BTKO (g) KA (%)

1 105 90 16,67

2 105 90 16,67

3 110 90 22,22

Rata - Rata 106,67 88,33 18,52

Dengan Tanaman (Sesudah Penyiraman)

Ulangan Sesudah penyiraman

BTKU (g) BTKO (g) KA (%)

1 70 51 37,25

2 78 56 39,28

3 60 47 27,66

Rata - Rata 69,33 51,33 34,73

Tanpa Tanaman (Sesudah Penyiraman)

Ulangan Sesudah penyiraman

BTKU (g) BTKO (g) KA (%)

1 58 51 13,76

2 64 53 20,75

3 68 53 28,30


(14)

*Lapisan 16 – 20 cm

Dengan Tanaman (Sebelum Penyiraman)

Ulangan Sebelum penyiraman

BTKU (g) BTKO (g) KA (%)

1 115 90 27,77

2 135 105 28,57

3 135 105 28,57

Rata - Rata 128,33 95 28,30

Tanpa Tanaman (Sebelum Penyiraman)

Ulangan Sebelum penyiraman

BTKU (g) BTKO (g) KA (%)

1 120 95 26,32

2 110 90 22,22

3 110 90 22,22

Rata - Rata 113,33 91,67 23,59

Dengan Tanaman (Sesudah Penyiraman)

Ulangan Sesudah penyiraman

BTKU (g) BTKO (g) KA (%)

1 88 63 23,81

2 75 55 36,36

3 60 47 27,66

Rata - Rata 74,33 55 29,28

Tanpa Tanaman (Sesudah Penyiraman)

Ulangan Sesudah penyiraman

BTKU (g) BTKO (g) KA (%)

1 63 54 16,66

2 68 57 19,30

3 62 43 44,19


(15)

Lapisan (cm) Sebelum penyiraman Sesudah penyiraman KL (%) Ketebalan (mm) Es (%) KA (%) Ketebalan (mm) KA (%) Ketebalan (mm) Tanaman

0 – 5 25,16 13,21 27,54 14,46 36,67 19,25 20,69 6 – 10 27,12 14,24 35,41 18,59 36,67 19,25 86,83 11 – 15 27,83 14,61 34,73 18,23 36,67 19,25 78,02 16 – 20 28,30 14,86 29,28 15,37 36,67 19,25 11,61 Rata-Rata 27,10 14,23 31,74 16,66 36,67 19,25 49,28

Tanpa Tanaman

0 – 5 19 10,00 19,68 10,33 36,67 19,25 3,57 6 – 10 19 10,00 22,74 11,94 36,67 19,25 20,97 11 – 15 18,52 9,72 20,94 10,99 36,67 19,25 13,33 16 – 20 23,59 12,40 26,72 14,03 36,67 19,25 23,80 Rata-Rata 20,03 10,53 30,03 11,82 36,67 19,25 15,42

Dimana : �� = ��

� � 100%

Ws = Air yang ditampung pada daerah perakaran selama pemberian irigasi (m3) Wn = Air yang dibutuhkan pada daerah perakaran sebelum pemberian air irigasi


(16)

Lampiran 11. Lampiran Foto

Tanah Latosol yang Sudah Dikeringanginkan


(17)

Bibit yang Baru Tumbuh


(18)

Jaringan Irigasi Tetes


(19)

Evapopan Kelas A


(20)

Ring Sample


(21)

Caisim yang Belum Dikeringkan


(22)

Tanah dalam Proses Pengayakan


(23)

Tanah yang Sudah Dimantapkan


(24)

Tanah untuk Pengukuran Bulk Density dan Particle Density


(25)

Proses Pengujian dan Pengukuran Debit


(26)

Tanah Bervegetasi yang sudah diberi Air


(27)

DAFTAR PUSTAKA

Dingus, D. D., 1999. Soil Science. Prentice Hall, California.

Finkel, H. J., 2000. Handbook of Irrigation Technology. CRC Press, Inc., Florida. Foth, H. D., 1994. Dasar-Dasar Ilmu Tanah Edisi Keenam. Erlangga, Jakarta. Hakim, N., M. Y. Nyakpa, A. M. Lubis, S. G. Nugroho, M. A. Diha, G. B. Hong,

dan H. H. Bailey, 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung, Lampung.

Hanafiah, K. A., 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Rajawali Press, Jakarta.

Hansen, V. E., O. W. Israelsen, dan G. E. Stringham, 1992. Dasar-Dasar dan Praktek Irigasi. Penerbit Erlangga, Jakarta.

Harto, S., 1993. Analisis Hidrologi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Hasibuan, B.E., 2011. Ilmu Tanah. USU Press, Medan.

Islami, T., dan W. H. Utomo, 1995. Hubungan Tanah, Air dan Tanaman. IKIP Semarang Press, Semarang.

James, L. G., 1988. Principles of Farm Irrigation System Design. John Wiley & Sons, Inc., Kanada.

Kumar, R., et all, 2011. Development of Crop Coefficients for Precise Estimation of Evapotranspiration for Mustard in Mid Hill Zone – India. Universal Journal of Enviromental Researchand Technology, Vol. 1 Issue 4 : 531 – 538.

Lenka, D. 1991. Irrigation and Drainage. Kalyani Publisher, New Delhi.

Lyon, L. dan H. O. Buckman, 1947. The Nature and Properties of Soil. The Macmillan Company, New York.

Michael, A. M., 1978. Irrigation. Vikas Publishing House PVT LTP, New Delhi. Notohadiprawiro, T., 1998. Tanah dan Lingkungan. Direktorat Jendral Pendidikan

Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.

Nugroho, Y., 2009. Jurnal Hujan Tropis Borneo Vol. 10 No. 27 Hal. 224. Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru, Banjarbaru.


(28)

Air di Lahan Kering : Aplikasi Irigasi Tetes dan Curah. http://mekanisasi.litbang.go.id/ Hal 7 [Diakses pada tanggal 9 Desember 2013].

Rubatzky, V. E., dan M. Yamaguchi, 1998. Sayuran Dunia Prinsip, Produksi, dan Gizi Jilid Kedua. ITB, Bandung.

Sapei, A., 2003. Komponen Irigasi Sprinkle dan Drip. Pusat Pengkajian dan Penerapan Ilmu Teknik untuk Pertanian (CREATA), Lembaga Penelitian - Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Saprianto dan H.T. Nora, 1999. Efisiensi Penggunaan Air pada Sistem Irigasi Tetes dan Curah. Jurnal Keteknikan Pertanian, Vol.13 No. 7

Seyhan, E., 1990. Dasar-Dasar Hidrologi. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Soewarno, 2000. Hidrologi Operasional Ed-1. PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Sosrodarsono, S. dan K. Takeda, 2003. Hidrologi untuk Pengairan. PT Pradya Paramita, Jakarta.

Sumarna, A., 1998. Monograf No. 9, Tahun 1998. Irigasi Tetes Pada Budidaya Cabai. Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Bandung.

Sumaryanto, M. Siregar, D. Hidayat, dan M. Suryadi, 2006. Operasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi dan Upaya Perbaikannya. Pusat Analisis Sosial Ekonomi Dan Kebijakan Pertanian Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian.

Susanto, E., 2006. Teknik Irigasi dan Drainase. USU Press, Medan

Winarso, S., 2005. Kesuburan tanah : Dasar Kesehatan dan Kualitas Tanah. Gava Media, Yogyakarta.

Yunus, Y., 2004. Tanah dan Pengolahan. CV Alfabeta, Bandung.


(29)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret hingga Mei 2014 di Rumah Kaca, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bibit tanaman Caisim (Brassica juncea L.), tanah Latosol, lem pipa, selang, polybag, pupuk, air, kayu, serta data primer.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian adalah drum penampung, infuse sebagai emitter, elbow, dob, kran air, pipa PVC berdiameter 0,5” dan 1”, wadah penampung (cup), ring sample, tensiometer, oven, timbangan digital, erlenmeyer, gelas ukur, meteran, gergaji, bor, kalkulator, komputer dan stopwatch.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dan observasi lapangan analisis data untuk mengetahui efisiensi irigasi tetes (drip irrigation) dengan memakai emitter dari selang infus pada tanaman caisim (Brassica juncea L.). Penelitian menggunakan data primer yaitu data yang akan didapatkan di lapangan. Selanjutnya dilakukan analisis data secara kuantitatif yaitu melakukan pengkajian berdasarkan data yang dapat diukur dengan angka-angka.


(30)

Prosedur Penelitian

Adapun prosedur penelitian adalah: A. Perancangan Jaringan Irigasi

1. Dibuat drum penampung dari tabung biasa yang dihubungkan dengan sumber air.

2. Disambung pipa PVC 1 inci sebagai pipa utama (mainline) secara vertikal dengan drum penampung.

3. Disambung pipa utama dengan pipa pembagi (manifold), dimana manifold memiliki ukuran yang sama dengan mainline.

4. Dihubungkan pipa pembagi dengan pipa lateral sebanyak 2 pipa, dengan jarak antar lateral sama. Pipa lateral merupakan pipa PVC berdiameter 0,5 inci.

5. Diberi 12 lubang pada masing-masing pipa lateral dengan jarak tiap lubang 40 cm.

6. Dipasang emitter (infus) pada setiap lubang pada pipa lateral sebagai emitter alternatif.

7. Dilakukan pengisian air pada drum penampung hingga penuh dan dijaga agar ketinggian air dalam drum/tangki konstan.

8. Dilakukan pengujian debit air yang keluar dari emitter dan dilakukan sebanyak 3 kali ulangan.

B. Persiapan Perlakuan Tanah

1. Tanah Latosol dikering anginkan.

2. Diayak dengan ayakan ukuran 20 mesh untuk mendapatkan keseragaman butir tanah.


(31)

3. Dimasukkan tanah yang telah diayak ke dalam polybag. C. Persiapan bibit tanaman Caisim (Brassica juncea L.)

1. Disiapkan bibit tanaman Caisim (Brassica juncea L.).

2. Ditanam bibit tanaman Caisim (Brassica juncea L.) ke polybag 10 kg. 3. Disiapkan polybag dengan ukuran diameter 25 cm sebanyak 12

polybag dan diisi tanah Latosol.

4. Diletakkan 12 polybag pada masing-masing emitter pada tiap lateral. 5. Dihitung keseragaman pemakaian dan kecukupan air tanaman Caisim

(Brassica juncea L.) untuk dapat mengetahui banyaknya air yang diberikan terhadap tanaman selama pertumbuhan.

6. Dihitung waktu penyiraman tanaman dan dijalankan irigasi tetes sesuai waktu yang ditentukan.

Perlakuan I, Tanpa Tanaman A. Pengujian kinerja irigasi tetes

Pengujian kinerja irigasi tetes ini dilakukan untuk mengetahui tingkat efisiensi irigasi yang meliputi pemakaian dan penggunaan air dengan irigasi tetes pada polybag tanpa tanaman.

1. Dikeringudarakan tanah selama 24 jam agar kondisi awal tanah sama. 2. Dibuat beberapa lubang di bagian bawah polybag.

3. Diletakkan wadah penampung pada bagian bawah polybag yang telah dilubangi agar perkolasi dapat tertampung.

4. Diambil sampel tanah dengan ring sample untuk mengetahui kadar air awal tanah.


(32)

6. Diambil sampel tanah yang telah terbasahi dengan ring sample. 7. Diukur perkolasi yang tertampung pada wadah (jika ada) dengan

menggunakan gelas ukur.

8. Dihitung efisiensi irigasi yaitu kinerja pemakaian dan penggunaan air. B. Keseragaman pemakaian air

1. Dihitung volume air yang disalurkan ke tanah setiap kali pemberian air irigasi.

2. Diambil debit rata-rata data pengamatan. 3. Diambil debit minimum dari data pengamatan. 4. Dihitung keseragaman pemakaian air.

C. Kecukupan air irigasi

1. Disusun ketinggian air infiltrasi dari yang tertinggi ke yang terendah. 2. Dihitung persentase tanah yang mendapatkan air infiltrasi untuk setiap

ketinggian air infiltrasi.

3. Dihitung persentase kumulatif dari lahan yang mendapat air infiltrasi. 4. Digambar hubungan antara ketinggian air infiltrasi dengan persentase

kumulatif lahan.

5. Ditentukan kecukupan air irigasi. D. Kehilangan air

1. Dilakukan analisis data primer dan data sekunder tentang persentase jam lintang siang dan suhu rata-rata harian.

2. Dihitung nilai evaporasi. Besarnya evaporasi juga diukur secara langsung dilapangan dengan menggunakan Evapopan klas A.


(33)

3. Diletakkan wadah penampung pada bagian bawah polybag yang telah dilubangi bagian bawah polybag agar perkolasi dapat tertampung. 4. Diukur volume perkolasi.

E. Analisis sifat-sifat fisik tanah

1. Diambil sampel tanah pada 3 polybag tanah tanpa tanaman. 2. Dioven tanah selama 24 jam dengan suhu 105ºC.

3. Diukur volume tanah kering oven dengan menjenuhkan tanah tersebut di dalam gelas Erlenmeyer.

4. Dihitung volume tanah kering oven dengan mengurangkan volume erlenmeyer dengan volume air yang dipakai untuk penjenuhan.

5. Dilakukan analisis kerapatan massa (bulk density), kerapatan partikel (particle density), dan porositas.

6. Ditentukan tekstur tanah (diuji di Laboratorium Riset dan Teknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara).

7. Ditentukan kadar air kapasitas lapang dengan cara mengambil sampel sebanyak 3 kali ulangan dan dijenuhkan.

8. Dikeringudarakan sampel selama 24 jam agar mencapai kondisi kapasitas lapang kemudian ditentukan kadar airnya dengan menggunakan metode gravimetric.

Perlakuan II, Dengan Tanaman Caisim (Brassica juncea L.) A. Pengujian kinerja irigasi tetes

Pengujian kinerja irigasi tetes ini dilakukan untuk mengetahui tingkat efisiensi irigasi yang meliputi pemakaian dan penggunaan air dengan irigasi tetes pada polybag tanaman Caisim (Brassica juncea L.).


(34)

1. Dikeringudarakan tanah selama 24 jam agar kondisi awal tanah sama. 2. Dibuat beberapa lubang di bagian bawah polybag.

3. Diletakkan wadah penampung pada bagian bawah polybag yang telah dilubangi agar perkolasi dapat tertampung.

4. Diambil sampel tanah dengan ring sample untuk mengetahui kadar air awal tanah.

5. Dijalankan irigasi sesuai waktu penyiraman.

6. Diambil sampel tanah yang telah terbasahi dengan ring sample. 7. Diukur perkolasi yang tertampung pada wadah (jika ada) dengan

menggunakan gelas ukur.

8. Dihitung efisiensi irigasi yaitu efisiensi pemakaian dan penggunaan air.

B. Keseragaman pemakaian air

1. Dihitung volume air yang disalurkan ke tanah setiap kali pemberian air irigasi.

2. Diambil debit rata-rata data pengamatan. 3. Diambil debit minimum dari data pengamatan. 4. Dihitung keseragaman pemakaian air.

C. Kecukupan air irigasi

1. Disusun ketinggian air infiltrasi dari yang tertinggi ke yang terendah. 2. Dihitung persentase tanah yang mendapatkan air infiltrasi untuk setiap

ketinggian air infiltrasi.


(35)

4. Digambar hubungan antara ketinggian air infiltrasi dengan persentase kumulatif lahan.

5. Ditentukan kecukupan air irigasi. D. Kehilangan air

1. Dilakukan analisis data primer dan data sekunder tentang koefisien tanaman Caisim (Brassica juncea L.), persentase jam lintang siang, dan suhu rata-rata harian.

2. Dihitung nilai evapotranspirasi. Besarnya evapotranspirasi juga diukur secara langsung dilapangan dengan menggunakan Evapopan klas A kemudian dikalikan dengan koefisien tanamannya.

3. Diletakkan wadah penampung pada bagian bawah polybag yang telah dilubangi bagian bawah polybag agar perkolasi dapat tertampung. 4. Diukur volume perkolasi.

E. Analisis sifat-sifat fisik tanah

1. Diambil sampel tanah pada 3 polybag tanah dengan tanaman Caisim (Brassica juncea L.).

2. Dioven tanah selama 24 jam dengan suhu 105ºC.

3. Diukur volume tanah kering oven dengan menjenuhkan tanah tersebut di dalam gelas Erlenmeyer.

4. Dihitung volume tanah kering oven dengan mengurangkan volume erlenmeyer dengan volume air yang dipakai untuk penjenuhan.

5. Dilakukan analisis kerapatan massa (bulk density), kerapatan partikel (particle density), dan porositas.


(36)

6. Ditentukan tekstur tanah (diuji di Laboratorium Riset dan Teknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara).

7. Ditentukan kadar air kapasitas lapang dengan cara mengambil sampel sebanyak 3 kali ulangan dan dijenuhkan.

8. Dikeringudarakan sampel selama 24 jam agar mencapai kondisi kapasitas lapang kemudian ditentukan kadar airnya dengan menggunakan metode gravimetric.

F. Berat kering tanaman Caisim (Brassica juncea L.)

1. Dipanen tanaman Caisim (Brassica juncea L.) setelah 40 hari dan ditimbang berat tanaman tersebut.

2. Diambil seluruh bagian tanaman dari polybag, dibersihkan, kemudian ditimbang berat tanaman.

3. Dioven tanaman selama 1,5 jam dengan suhu 70ºC. 4. Ditimbang kembali tanaman yang telah dioven. Parameter Penelitian

1. Sifat-sifat Fisik Tanah

Dilakukan analisis kerapatan massa (bulk density), kerapatan partikel (particle density), porositas, serta kadar air kapasitas lapang pada tanah Latosol dengan persamaan (1), (2), dan (3) dan dilakukan analisis tekstur tanah di Laboratorium Sentral Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

2. Evapotranspirasi

Evapotranspirasi dihitung dengan mengunakan persamaan (4), (5), (6) dan (7).


(37)

3. Kapasitas lapang

Kapasitas lapang dihitung dengan mengunakan rumus berat tanah jenuh yang sudah dibiarkan menetes satu malam dikurang berat tanah kering oven dibagi berat tanah kering oven dikali 100%.

4. Perkolasi

Perkolasi dapat dihitung melalui banyaknya air yang ditampung keluar dari polybag setelah penyiraman dengan persamaan (8).

5. Debit air rata-rata keluaran

Debit air dapat dihitung dengan menampung air yang mengalir (keluar) melalui emitter pada suatu wadah per satuan waktu (1 jam) pada tiap emiternya, kemudian dihitung debit air rata-ratanya dengan persamaan (13). 6. Keseragaman Pemakaian Air

Keseragaman pemakaian air dihitung dengan persamaan (11), dan (12). 7. Efisiensi Irigasi Tetes

Efisiensi irigasi tetes meliputi efisiensi pemakaian (Ea) yang ditentukan dengan membandingkan volume air irigasi yang ditampung (volume air yang disalurkan dikurangi volume air rembesan) dengan volume air irigasi yang disalurkan (volume air yang berkurang pada drum penampung), dihitung menggunakan persamaan (9) dan efisiensi penggunaan (Eu) yang ditentukan dengan cara membandingkan, dihitung dengan menggunakan persamaan (10). 8. Kecukupan Air Irigasi

Dilakukan analisis kecukupan air irigasi dengan menggambar hubungan antara ketinggian air infiltrasi dengan persentase kumulatif lahan.


(38)

9. Berat kering tanaman Caisim (Brassica juncea L.)

Dilakukan analisis berat kering tanaman Caisim (Brassica juncea L.) dengan membandingkan berat awal tanaman Caisim (Brassica juncea L.) setelah dipanen dikurang dengan berat kering tanaman Caisim (Brassica juncea L.) setelah diovenkan dengan berat kering tanaman Caisim (Brassica juncea L.) setelah diovenkan dikali 100 %.


(39)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sifat-sifat Fisik Tanah

Tanah merupakan sistem tiga fase yaitu padat, cair dan gas. Fase padat terdiri dari bahan organik atau mineral tanah meliputi pasir, debu, dan liat. Fase cair adalah kandungan air dalam tanah, dan fase gas adalah udara yang terdapat dalam tanah. Beberapa sifat fisik tanah antara lain kadar air tanah, tekstur dan struktur tanah yang merupakan sifat utama fisik tanah.

Tekstur Tanah

Tekstur tanah adalah banyaknya setiap bagian tanah menurut ukuran partikel-partikelnya ditentukan oleh besarnya butiran tanah atau dapat juga diartikan sebagai perbandingan antara banyaknya liat, lempung dan pasir yang terkandung dalam tanah.

Tabel 3. Hasil Analisis Tekstur Tanah

Tekstur Persentase (%)

Pasir 43,28

Debu 22,00

Liat 34,72

Bahan Organik 0,31

Keterangan : Berdasarkan segitiga USDA jenis tanah yang didapat adalah Lempung Berliat Tanah Latosol yang digunakan memiliki tekstur Lempung Berliat. Sesuai dengan pengukuran yang telah dilakukan di laboratorium yang dapat dilihat pada Lampiran 3, diperoleh bahwa kandungan yang terdapat pada tanah Latosol yang digunakan yaitu pasir 43,38%, debu 22,00%, dan liat 34,72% dengan kandungan C-Organik 031%. Hal ini sesuai dengan literatur Hanafiah (2009) yang menyatakan bahwa proporsi fraksi tanah untuk kelas tekstur tanah lempung berliat (clay loam) adalah pasir 20-45%, debu 15-53%, dan liat 27-40% dan Nugroho (2009) yang menyatakan bahwa jenis tanah Latosol berasal dari bahan induk


(40)

vulkanik, baik tufa maupun batuan beku. Ciri-ciri umumnya bertekstur lempung sampai liat, struktur remah sampai gumpal dan konsistensi gembur. Warna tanah kemerahan tergantung dari susunan mineralogi bahan induknya, drainase, umur dan keadaan iklimnya. Kandungan unsur hara rendah sampai sedang, sehingga sifat tanahnya secara fisik tergolong baik, namun secara kimia kurang baik.

Kerapatan Massa, Kerapatan Partikel, dan Porositas

Hasil analisis sifat fisik pada tanah Latosol dapat dilihat pada Tabel 4 berikut dan perhitungannya pada Lampiran 4

Tabel 4.Nilai Bulk Density, Particle Density, dan Porositas Tanah Latosol Ulangan Kerapatan massa

(g/cm3)

Kerapatan partikel (g/cm3)

Porositas (%)

1 1,11 2,63 57,71

2 1,01 2,38 57,47

3 1,01 2,38 57,47

4 1,06 2,63 59,62

Rata-Rata 1,05 2,50 58,07

Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa nilai bulk density (kerapatan massa) pada tanah Latosol adalah sebesar 1,05 gram/cm3 yang berarti bahwa dalam setiap 1 cm3 volume tanah Latosol total (termasuk pori-porinya) terdapat sekitar 1,05 g tanah Latosol kering. Hal ini sesuai dengan literatur Dingus (1999) yang menyatakan bahwa tanah yang bertekstur lempung berliat memiliki kerapatan massa tanah sebesar 1,0 – 1,5 gram/cm3.

Nilai particle density (kerapatan partikel) pada tanah Latosol dapat dilihat sebesar 2,5 gr/cm3, yang berarti bahwa dalam setiap 1 cm3 volume partikel padatan tanah Latosol kering terdapat sekitar 2,5 g tanah Latosol kering. Nilai ini tergolong rendah jika dibandingkan nilai kerapatan partikel pada umumnya. Hal ini disebabkan penelitian ini menggunakan tanah yang sudah terganggu. Hasibuan


(41)

(2011) menyatakan pada kebanyakan tanah-tanah mineral nilai dari particle density adalah 2,6 – 2,7 g/cc.

Nilai porositas pada tanah Latosol dapat dilihat sebesar 58,07 %. Hal ini sesuai dengan literatur Islami dan Utomo (1995) nilai porositas pada tanah pertanian bervariasi dari 40 sampai 60 %, sedangkan nilai rasio rongga dari 0,3 – 0,2. Porositas dipengaruhi oleh ukuran partikel dan struktur. Tanah berpasir mempunyai porositas rendah (40%) dan tanah lempung mempunyai porositas tinggi. Jika strukturnya baik dapat mempunyai porositas 60%. Ditinjau dari ruang pori susunan secara acak mempunyai ruang yang paling tinggi, dan susunan terarah mempunyai ruang pori paling rendah.

Evapotranspirasi

Evapotranspirasi adalah banyaknya air yang hilang dari tanaman akibat penguapan dan biasanya disebut kebutuhan air tanaman agar tanaman tetap bisa tumbuh. Hal ini sesuai dengan literatur Soewarno (2000) yang menyatakan bahwa evapotranspirasi tanaman (corp evapotranspiration, corp water requirement, consumptive use, consumptive water requirement, ETc) adalah tebal air yang

dibutuhkan untuk keperluan evapotranspirasi suatu jenis tanaman pertanian tanpa dibatasi kekurangan air (dengan kata lain adalah tebal air yang digunakan untuk tanaman supaya hidup). Evapotranspirasi yang dihitung berdasarkan nilai evaporasi yang diukur dengan evapopan dikalikan dengan koefisien panci sebesar 0,7 sesuai dengan literatur Sosrodarsono dan Takeda (2003) dan koefisien tanaman sehingga hasil yang didapat adalah evapotranspirasi aktual. Hal ini sesuai dengan literatur Sosrodarsono dan Takeda (2003) yang menyatakan bahwa evapotranspirasi tanaman dapat juga ditentukan berdasarkan nilai evaporasi yang


(42)

diukur dengan alat seperti evapopan kemudian dikalikan dengan koefisien tanamannya. Tabel 5 menunjukkan nilai evapotranspirasi aktual tanaman

Tabel 5. Evapotranspirasi Aktual Fase tanaman Evaporasi (Ep) (mm/hari) Koefisien panci evapopan (k) Evaporasi potensial

(Et0)

(mm/hari) Koefisien tanaman (kc)*) Evapotranspirasi (ETc) (mm/hari) Fase Awal

(0-15 hari) 5.28 0,7 3,70 0,3 1,11

Fase Tengah

(16- 30 hari) 2.27 0,7 1,59 1,2 1,91

Fase Akhir

(31- 45) 3.18 0,7 2,26 0,6 1,18

*)(Kumar dalam Allen, 2011).

Gambar 2 menunjukkan Evapotranspirasi (ETc) pada fase awal, tengah dan akhir pertumbuhan yang didapat dari Tabel 5

Dari Tabel 5 dan Gambar 2 dapat dilihat bahwa pada evapotranspirasi tertinggi terjadi pada fase tengah dengan evapotranspirasi aktual sebesar 1,91 mm/hari dan yang terendah fase awal dengan evapotranspirasi aktual sebesar 1.11 mm/hari (perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 5). Fase awal merupakan yang terendah dikarenakan nilai � pada fase awal merupakan nilai terkecil sebesar 0,3 karena pada fase ini merupakan fase yang membutuhkan air paling sedikit pada

0 0,5 1 1,5 2 2,5

Fase Awal fase Tengah Fase Akhir

E v a p o tr a n sp ir a si m m /h a ri


(43)

pertumbuhan awal dan penguapan yang dilakukan tanaman kecil, sedangkan fase tengah merupakan yang tertinggi dikarenakan nilai � pada fase tengah merupakan nilai tertinggi sebesar 1,2 karena pada fase ini membutuhkan air paling besar karena merupakan fase pertumbuhan maksimal untuk pertumbuhan tanaman dan penguapan yang dilakukan tanaman besar.

Hasil yang didapatkan sama dengan penenelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Simangunsong (2013) dengan hasil kebutuhan air tanaman yang terbesar terdapat pada periode tengah pertumbuhan yaitu 7,45 mm/hari atau 336,86 ml/hari dan kebutuhan air tanaman terkecil terdapat pada periode awal pertumbuhan yaitu 1,86 mm/hari atau 84,10 ml/hari. Namun perbedaan nilai yang didapat diakibatkan oleh perbedaan jenis tanah yang digunakan, bibit Caisim yang digunakan, keadaan lingkungan (seperti intensitas matahari, kecepatan angin dan suhu lingkungan), lokasi dilakukannya penelitian yaitu di rumah kassa, dan waktu dilakukannya penanaman.

Perkolasi

Perkolasi adalah proses mengalirnya air ke bawah secara gravitasi dari suatu lapisan tanah ke lapisan di bawahnya, sehingga mencapai permukaan air tanah pada lapisan jenuh air. Di setiap tempat memiliki jenis tanah yang berbeda maka daya resap tanahnya juga akan berbeda pula.

Pada penelitian ini, tanah Latosol yang diberi air tidak mengalami perkolasi atau perkolasi tidak ada (bernilai nol). Hal ini dikarenakan penyebaran pemberian air sesuai dengan evapotranspirasi harian sehingga tanah tidak sampai jenuh. Hal ini sesuai dengan literatur Soemarto (1995) yang menyatakan bahwa daya perkolasi adalah laju perkolasi maksimum yang dimungkinkan, yang


(44)

besarnya dipengaruhi oleh kondisi tanah dalam zona tidak jenuh, yang terletak di antara permukaan tanah dengan permukaan air tanah. Perkolasi tidak mungkin terjadi sebelum zona tidak jenuh mencapai kapasitas lapang (field capacity). Kadar Air Kapasitas Lapang

Kadar Air kapasitas lapang yang diambil dari 6 polybag dengan 3 polybag bervegetasi dan 3 polybag tidak bervegetasi sehingga didapatkan rata-rata dari setiap sampel sebesar 36,67%. Nilai ini digunakan sebagai acuan (batas atas) pemberian air irigasi dalam menghitung efisiensi penyimpanan air pada tanaman. Perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 5.

Namun ada perbedaan yang dapat dilihat pada tanah bervegetasi dan tanah tanpa vegetasi. Hal ini dikarenakan adanya vegetasi yang mempengaruhi bahan organik yang ada di dalam tanah sehingga tanah yang bahan organiknya semakin tinggi maka daya tanahnya untuk menyimpan air akan semakin tinggi Hal ini sesuai dengan literatur Notohadiprawiro (1998) yang menyatakan bahwa bahan organik tanah (BOT) memperbaiki struktur dan konsistensi tanah, dan dengan demikian memperbaiki kapasitas tukar kation (KTK), aerasi, permeabilitas, dan daya tahan menyimpan air. BOT dapat menahan air sampai 20 kali lipat bobotnya sendiri.

Debit Air Rata-Rata Keluaran

Debit air keluaran emitter rata-rata adalah volume dari keseluruhan air yang tertampung dari semua emitter per satuan waktu dari jumlah emitter yang ada kemudian dibagikan banyaknya emmiter yang digunakan pada keseluruhan lateral. Dari hasil pengukuran debit air yang keluar dari setiap infuse dari tiap lateral dapat dilihat pada Tabel 7 berikut


(45)

Tabel 7. Debit Air Rata-Rata Keluaran

Emitter Debit rata-rata (l/jam) Lateral 1 Lateral 2

1 6,96 4,94

2 7,44 6,51

3 5,83 6,21

4 7,48 4,67

5 6,84 3,15

6 6,38 3,98

7 7,15 4,62

8 7,36 3,84

9 5,24 0,96

10 8,71 2,67

11 8,87 3,63

12 5,89 4,31

Rata-rata 5,57

Dari Tabel 7 dapat dilihat bahwa debit air terbesar yaitu pada Emmiter ke 11 lateral 1 sebesar 8,87 l/jam dan yang terendah pada Emmiter ke 9 lateral 2 sebesar 0,96 l/jam dan debit rata-rata keluaran sebesar 5,57 l/jam (Perhitungan pada Lampiran 7). Menurut Sumarna (1998) yang menyatakan bahwa air dikeluarkan melalui penetes dalam debit air yang rendah secara konstan dan kontinu, kondisi ini tergantung pada tekanan dalam pipa untuk menghasilkan debit air yang diinginkan. Karakteristik dari penetes akan menunjukkan debit air yang dapat melewati penetes tersebut. Dapat dilihat dari Tabel 7 perbedaan yang cukup signifikan pada debit air yang terbesar dan terkecil. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan tekanan pada setiap lubang emitter pada saat perakitan irigasi tetes dikarenakan lubang emitter dibuat secara manual dengan mesin bor tangan sehingga adanya kemungkinan tidak seragamnya ukuran lubang emitter. Hal tersebut sesuai dengan literatur Michael (1978) yang menyatakan bahwa secara hidraulik, variasi tekanan sepanjang sebuah pipa lateral akan menyebabkan aliran emitter yang bervariasi sepanjang pipa lateral dan dan variasi tekanan pada pipa sub utama akan menyebabkan variasi aliran pada pipa lateral (pada setiap


(46)

pipa lateral) sepanjang pipa sub utama. Emitter yang biasanya paling banyak digunakan dan juga diasumsikan aliran turbulensi pada pipa lateral.

Keseragaman Pemakaian Air

Keseragaman Pemakaian Air adalah jumlah air yang diberikan dan dipakai oleh setiap tanaman adalah sama. Namun sejauh ini tidak ada keseragaman yang ideal atau mencapai 100% karena dipengaruhi oleh banyak faktor.

Keseragaman pemakaian air digambarkan dengan koefisien variasi, semakin besar nilai koefisien variasi maka semakin tidak seragam debit yang keluar. Hal ini sesuai dengan literatur James (1988) yang menyatakan bahwa koefisien variasi menggambarkan kualitas dari alat penetes. Koefisien variasi ditentukan dari pengukuran laju aliran untuk beberapa alat penetes yang identik.

Dari Tabel 8 dapat dilihat nilai keseragaman pemakaian air Tabel 8. Keseragaman Pemakaian Air

Qmin (l/jam)

Qave (l/jam)

Cv Emission uniformity

(%) Lateral 1 5,83 7,01 0,16 66,27 Lateral 2 0,96 4,12 0,36 12,64 Rata-Rata 2,44 5,57 0,26 39,46

Dari Tabel 8 dapat dilihat bahwa keseragaman paling besar terjadi pada Lateral 1 sebesar 66,27% dan yang terkecil pada Lateral 2 sebesar 12,64% dengan rata-rata sebesar 39,46% (Perhitungan dapat dilihat di Lampiran 8). Nilai ini sangat rendah karena seharusnya keseragaman irigasi tetes lebih dari 90%. Hal ini sesuai dengan literatur Sumaryanto, dkk (2006) kinerja jaringan irigasi tercermin dari kemampuannya untuk mendukung ketersediaan air irigasi pada areal layanan irigasi (command area) yang kondusif untuk penerapan pola tanam yang direncanakan. Secara umum, kinerja jaringan irigasi yang buruk mengakibatkan meningkatnya water stress yang dialami tanaman (baik akibat kekurangan


(47)

ataupun kelebihan air) sehingga pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman tidak optimal. Kerugian yang timbul akibat water stress tidak hanya berupa produktivitas tanaman sangat menurun, tetapi mencakup pula mubazirnya sebagian masukan usahatani yang telah diaplikasikan (pupuk, tenaga kerja, dan lain-lain).

Sangat rendahnya keseragaman irigasi tetes dalam penelitian ini disebabkan tidak seragamnya lubang emitter. Hal ini sesuai dengan literatur Prabowo dkk (2010) yang menyatakan bahwa desain yang tepat dari sistem irigasi harus mendapat keseragaman pemberian air pada tanah, sehingga mampu memberi air yang tepat selama selang waktu yang tepat dengan desain ideal mencapai 100%. Namun pada kenyataan di lapangan, keseragaman distribusi tetesan tidak mungkin bisa mencapai 100% karena banyak faktor yang mempengaruhi.

Efisiensi Irigasi Tanaman

Efisiensi irigasi tetes adalah indikator untuk melihat kinerja dari suatu sistem jaringan irigasi tetes. Hal ini sesuai dengan literatur Sumaryanto, dkk (2006) yang menyatakan bahwa kinerja jaringan irigasi tercermin dari kemampuannya untuk mendukung ketersediaan air irigasi pada areal layanan irigasi (command area) yang kondusif untuk penerapan pola tanam yang direncanakan. Secara umum, kinerja jaringan irigasi yang buruk mengakibatkan meningkatnya water stress yang dialami tanaman (baik akibat kekurangan ataupun kelebihan air) sehingga pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman tidak optimal.


(48)

Dapat dilihat pada Tabel 9 (perhitungan pada Lampiran 9 dan Lampiran 10) efisiensi pemakaian air dan efisiensi penyimpanan air irigasi tetes.

Tabel 9. Efisiensi Pemakaian (Ea) dan Penyimpanan Air (Es) Irigasi Tetes Akhir Pertumbuhan Tanaman Sebelum penyiraman Sesudah penyiraman Kapasitas lapang (%) Ketebalan (mm) Ea (%) Es (%) KA (%) Ketebalan (mm) KA (%) Ketebalan (mm)

Tanaman 27,10 14,23 31,74 16,66 36,67 19,25 100 49,28 Tanpa

tanaman 20,03 10,53 30,03 11,82 36,67 19,25 100 15,42 *Ea adalah efisiensi pemakaian

*Es adalah efisiensi penyimpanan

Tabel 9 menunjukkan bahwa nilai efisiensi pemakaian irigasi pada fase akhir pertumbuhan tanaman tergolong tinggi yaitu 100% pada tanah dengan tanaman maupun tanpa tanaman. Hal ini menunjukkan bahwa air yang tersimpan di daerah perakaran tanaman sama dengan volume air irigasi yang disalurkan sehingga tidak terjadi perkolasi. Hal ini sesuai dengan literatur Saprianto dan Nora (1999) yang menyatakan bahwa irigasi tetes merupakan salah satu cara pemberian air pada tanaman yang terdiri dari pipa-pipa lateral dan emitter. Penggunaan irigasi ini sangat efektif bagi pemberian air karena air yang disalurkan langsung diberikan pada daerah perakaran tanaman. Efisiensi irigasi ini juga cukup tinggi yakni dapat mencapai 90%.

Tabel 9 menunjukkan bahwa nilai efisiensi penyimpanan irigasi pada fase akhir pertumbuhan tanaman tergolong rendah pada tanah dengan tanaman yaitu 49,28% dan pada tanah tanpa tanaman yaitu 15,42%. Hal ini menunjukkan bahwa pada tanah dengan tanaman air dan pada tanah tanpa tanaman air yang diberikan belum memenuhi kapasitas lapang tanah. Hal ini sesuai dengan literatur Hansen dkk (1992) yang menyatakan bahwa konsep efisiensi penyimpanan menunjukkan


(49)

perhatian secara lengkap bagaimana kebutuhan air tersebut disimpan pada daerah perakaran selama pemberian air irigasi. Efisiensi penyimpanan air irigasi penting untuk mengetahui apabila air yang disimpan pada daerah perakaran selama pemberian air irigasi tidak memadai, menyebabkan tanaman tidak dapat tumbuh dengan baik.

Efisiensi penyimpanan dan pemakaian irigasi sangat mempengaruhi pertumbuhan tanaman yang dibudidayakan. Nilai efisiensi pemakaian yang tinggi tidak menjamin bahwa nilai efisiensi penyimpanan juga akan tinggi. Hal ini menunjukkan berarti sekalipun tanah dapat menerima 100% air yang diberikan oleh emitter namun jumlah air belum mencapai kapasitas lapang. Hal ini juga akan mempengaruhi nilai produksi tanaman yang dibudidayakan.

Kecukupan Air Irigasi

Kecukupan air irigasi adalah jumlah air yang dibutuhkan tanaman untuk mencapai keadaan kapasitas lapang dan memenuhi evapotranspirasi setiap harinya. Dari hasil efisiensi penyimpanan irigasi tetes pada fase akhir pertumbuhan (nilai kadar air sebelum dan sesudah penyiraman pada tanah dengan tanaman dan tanpa tanaman, dan nilai kapasitas lapang) didapat nilai kecukupan air irigasi yang ditunjukkan pada Gambar 3.

Gambar 3. Kecukupan Air Irigasi Fase Akhir Pertumbuhan

0 20 40 60 80 100 120

0-5 cm 6-10cm 11-15 cm 16-20 cm

P er se nt ase E fi si ens i P eny im pa na n Lapisan Tanah Tanaman Tanpa Tanaman % Kapasitas Lapang


(50)

Gambar 3 menunjukkan efisiensi penyimpanan irigasi pada tanah dengan tanaman dan pada tanah tanpa tanaman belum cukup atau belum mencapai kapasitas lapang. Hal ini dapat terjadi karena perhitungan kebutuhan air tanaman yang kurang tepat akibat perubahan cuaca yang selalu berubah. Perhitungan kebutuhan air (ETc) untuk hari berikutnya ditentukan berdasarkan data ETc pada hari sebelumnya yang kondisinya tidak sama. Hal ini sesuai dengan literatur Sosrodarsono dan Takeda (2003) faktor-faktor yang mempengaruhi evaporasi dan evapotranspirasi adalah suhu air, suhu udara (atmosfer), kelembaban, kecepatan angin, tekanan udara, sinar matahari dan lain-lain yang saling berhubungan satu sama lain. Pada waktu pengukuran evaporasi, maka kondisi/keadaaan ketika itu harus diperhatikan, mengingat faktor ini sangat dipengaruhi oleh perubahan lingkungan.

Berat Kering Tanaman Caisim (Brassica juncea L.)

Berat kering tanaman dihitung untuk mengetahui produktivitas tanaman. Berat kering tanaman sawi yang dibudidayakan dapat dilihat pada Tabel 10

Tabel 10. Berat Kering Tanaman Caisim (Brassica juncea L.) Tanaman Berat caisim

(g)

Berat kering (g)

Kadar air (%)

1 10 1,1 89

2 20 2,2 89

3 15 2,16 85,6

4 15 1,74 88,4

5 9 1,30 85,56

6 12 1,39 88,42

Rata-Rata 13,5 1.65 87,66

Berdasarkan Tabel 10 (Perhitungan dilihat di Lampiran 11) dapat dilihat rata-rata berat 13,5 gram dan kadar air 87,66%.. Menurut KEPMENTAN No. 253/kpt/TP.240/5/2000 pada kemasan benih jenis Tosakan bobot per tanaman dapat mencapai berat 150 – 200 gr. Berat tanaman Caisim yang dihasilkan masih


(51)

jauh dari kondisi ideal, karena efisiensi penyimpanan air irigasi masih sangat rendah di bawah kapasitas lapang. Kondisi kapasitas lapang tanah merupakan kondisi yang optimal bagi pertumbuhan tanaman semusim, yang dapat memenuhi kebutuhan evapotranpirasi tanaman. Hal ini sesuai dengan literatur Soewarno (2000) yang menyatakan bahwa evapotranspirasi tanaman (corp evapotranspiration, corp water requirement, consumptive use, consumptive water requirement, ETc) adalah tebal air yang dibutuhkan untuk keperluan

evapotranspirasi suatu jenis tanaman pertanian tanpa dibatasi kekurangan air. Dengan kata lain adalah tebal air yang digunakan untuk tanaman supaya hidup dan Hakim dkk (1986) yang menyatakan bahwa banyaknya pemberian air yang ideal adalah sejumlah air yang dapat membasahkan tanah di seluruh daerah perakaran sampai keadaan kapasitas lapang. Jika air diberikan berlebih mengakibatkan penggenangan di tempat-tempat tertentu yang memperburuk aerasi tanah.


(52)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Tanah Latosol bertekstur Lempung Berliat dengan nilai bulk density (kerapatan massa) 1,05 gram/cm3, nilai particle density (kerapatan partikel) 2,5 gr/cm3, nilai porositas sebesar 58,07% dan nilai kadar air kapasitas lapang sebesar 36,67%.

2. Evapotranspirasi tertinggi terjadi pada fase tengah sebesar 1,91 mm/hari dan yang terendah pada fase awal sebesar 1.11 mm/hari.

3. Keseragaman paling besar terjadi pada Lateral 1 sebesar 66,27% dan yang terkecil pada Lateral 2 sebesar 12,64% dengan rata-rata sebesar 29,46%

4. Nilai efisiensi pemakaian irigasi pada fase akhir pertumbuhan tanaman tergolong tinggi yaitu 100% pada tanah dengan tanaman maupun tanpa tanaman. Nilai efisiensi penyimpanan irigasi pada fase akhir pertumbuhan tanaman tergolong rendah pada tanah dengan tanaman yaitu 49,28% dan tanah tanpa tanaman yaitu 15,42%.

5. Pada tanaman Caisim rata-rata berat 13,5 gram dan kadar air 87,66%. Saran

1. Perlu penelitian lanjutan dengan memperhatikan perkiraan cuaca pada hari berikutnya, untuk dapat menetapkan kebutuhan air tanaman yang lebih akurat.

2. Pada perancangan dan pembuatan jaringan irigasi diharapkan lebih teliti dalam menentukan jarak dan besar lubang emmiter sehingga data yang didapat lebih akurat.


(53)

TINJAUAN PUSTAKA

Irigasi

Irigasi secara umum didefinisikan sebagai penggunaan air pada tanah untuk keperluan penyediaan cairan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanam-tanaman. Meskipun demikian, suatu definisi yang lebih umum termasuk sebagai irigasi adalah penggunaan air pada tanah untuk setiap jumlah delapan kegunaan sebagai berikut ini

1. Menambahkan air ke dalam tanah untuk menyediakan cairan yang diperlukan untuk pertumbuhan tanam-tanaman.

2. Menyediakan jaminan panen pada saat musim kemarau yang pendek.

3. Mendinginkan tanah dan atmosfer, sehingga menimbulkan lingkungan yang baik untuk pertumbuhan tanam-tanaman.

4. Mengurangi bahaya pembekuan.

5. Mencuci atau mengurangi garam dalam tanah. 6. Mengurangi bahaya erosi tanah.

7. Melunakkan bahaya pembajakan dan gumpalan tanah.

8. Memperlambat pembentukan tunas dengan pendinginan karena penguapan. Pemberian air irigasi dapat dilakukan dalam lima cara : (1) dengan penggenangan (flooding); (2) dengan menggunakan alur, besar atau kecil; (3) dengan menggunakan air di bawah permukaan tanah melalui sub irigasi, sehingga menyebabkan permukaan air tanah naik; (4) dengan penyiraman (sprinkling); (5) atau dengan sistem cucuran (trickle) (Hansen dkk, 1992).


(54)

Air untuk menyediakan kelembaban tanah yang diperlukan untuk pertumbuhan tanam-tanaman bisa didapatkan dari lima sumber, di mana salah satu pun tidak boleh diabaikan apabila memperkirakan kebutuhan air irigasi :

1. Presipitasi

2. Air atmosfer selain presipitasi 3. Air permukaan

4. Air tanah 5. Irigasi

Kegagalan dalam memperhitungkan kelima sumber tadi dan proporsi air yang diberikan oleh masing-masing untuk seluruh kebutuhan tanam-tanaman dapat menyebabkan kegagalan perencanaan suatu sistem irigasi. Pada beberapa daerah salah satu dari kelima sumber tadi bisa memberikan bagian yang terbesar untuk kebutuhan tanam-tanaman; di daerah lain dua atau lebih sumber air tersebut akan memberikan kontribusi air yang cukup besar untuk pertumbuhan tanaman (Hansen dkk, 1992).

Irigasi pertanian memiliki perbedaan yang besar pada pertanian lahan kering, dimana harus dilakukan secara intensif dan diperlukan suatu pengerjaan yang sistematik, tertata, dan terorganisir. Jadwal pemberian air harus dibuat secara konstan, dan masalah yang terjadi harus diatasi dengan cepat. Kesalahan yang terjadi dapat membawa pengaruh buruk terhadap keuangan karena biaya awal dianggap sebagai utang dan bila hal ini terus berlanjut akan menyebabkan kenaikan biaya dan pengeluaran pada irigasi pertanian. Karena itu, pembangunan pada daerah lahan kering harus dengan kemampuan untuk efisiensi pengelolaan Pada daerah lahan kering atau daerah yang mempunyai sumber air terbatas


(55)

penggunaan sistem irigasi tetes sangat sesuai karena sistem irigasi tersebut sangat efisien (≥ 75%) dan lebih sedikit memerlukan air (Zimmerman, 1966).

Irigasi Tetes

Irigasi cucuran juga disebut irigasi tetesan (drip). Terdiri dari jalur pipa yang ekstensif biasanya dengan diameter yang kecil yang memberikan air yang tersaring langsung ke tanah dekat tanaman. Alat pengeluaran air pada pipa disebut pemancar (emitter) yang mengeluarkan air hanya beberapa liter perjam. Dari pemancar, air menyebar secara menyamping dan tegak oleh gaya kapiler tanah yang diperbesar oleh gravitasi. Daerah yang dibatasi oleh gaya kapiler tanah diperbesar pada arah gerakan vertikal oleh gravitasi. Daerah yang dibatasi oleh pemancar tergantung kepada besarnya aliran, jenis tanah, tekstur tanah, struktur tanah, kelembaban tanah, dan permeabilitas tanah vertikal dan horisontal (Hansen dkk, 1992).

Irigasi tetes merupakan salah satu cara pemberian air pada tanaman yang terdiri dari pipa-pipa lateral dan emitter. Penggunaan irigasi ini sangat efektif bagi pemberian air karena air yang disalurkan langsung diberikan pada daerah perakaran tanaman. Efisiensi irigasi ini juga cukup tinggi yakni dapat mencapai 90% (Saprianto dan Nora, 1999).

Irigasi tetes merupakan cara pemberian air pada tanaman secara langsung, baik pada permukaan tanah maupun di dalam tanah melalui tetesan secara sinambung dan perlahan pada tanah di dekat tumbuhan. Setelah keluar dari penetes (emitter), air menyebar ke dalam profil tanah secara horizontal maupun vertikal akibat gaya kapilaritas dan gravitasi. Beberapa kelebihan irigasi tetes antara lain :


(56)

(1) Efisiensi dalam pemakaian air irigasi relatif paling tinggi dibandingkan sistem irigasi lain, karena pemberian air dengan kecepatan lambat dan hanya pada daerah perakaran, sehingga mengurangi penetrasi air yang berlebihan, evaporasi dari permukaan tanah dan aliran permukaan.

(2) Pada beberapa jenis tanaman tertentu, kondisi tanaman yang tidak terbasahi akan mencegah panyakit leaf burn (daun terbakar), selain itu kegiatan budidaya secara manual maupun mekanis dapat terus berjalan walaupun kegiatan irigasi sedang berlangsung.

(3) Dapat menekan aktivitas organisme pengganggu tanaman karena daerah yang terbasahi hanya di sekitar daerah perakaran saja.

(4) Dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi pemberian pupuk dan pestisida, karena pemberiannya dapat diberikan bersamaan dengan air irigasi dan hanya diberikan di daerah perakaran saja.

(5) Pada sistem irigasi tetes dapat menghemat kebutuhan tenaga kerja untuk kegiatan pemberian irigasi maupun kegiatan pemupukan, karena sistem dapat dioperasikan secara otomatis.

(6) Pemberian air yang sinambung dapat mengurangi resiko penumpukan garam dan unsur-unsur beracun lainnya di daerah perakaran tanaman.

(7) Mampu beradaptasi dengan baik pada kondisi topografi dan sifat media tumbuh tanaman.

(8) Dengan dukungan tenaga kerja berkemampuan tinggi, sistem ini mempunyai akurasi yang tinggi dalam menentukan waktu dan jumlah air irigasi yang harus diberikan pada tanaman.


(57)

Walaupun memiliki beberapa keuntungan operasional namun sistem irigasi tetes memiliki beberapa kelemahan, terutama jika akan diterapkan secara luas di Indonesia, antara lain :

(1) Inventasi yang dikeluarkan cukup tinggi dan dibutuhkan teknik yang relatif tinggi dalam desain, instalansi dan pengoperasian sistem.

(2) Penyumbatan emitter yang disebabkan oleh faktor fisik, kimia, dan biologi air yang dapat mengurangi efisiensi dan kinerja sistem.

(3) Pada daerah yang tidak terbasahi berpotensi terjadi penumpukan garam.

Beberapa pertimbangan atau alasan penggunaan irigasi curah dan tetes di Indonesia antara lain :

(1) Tidak tersedianya jaringan irigasi gravitasi atau permukaan.

(2) Terbatasnya debit sumber air pada musim kemarau, sehingga pemanfaatannya harus dilakukan seefisien mungkin.

(3) Kondisi topografi tidak datar (bergelombang atau bergunung) sehingga tidak memungkinkan diterapkannya irigasi gravitasi atau permukaan.

(4) Pemberian air irigasi hanya diberikan pada periode tertentu (musim kemarau) dan tidak diperlukan jaringan irigasi permanen, sehingga dengan penerapan irigasi curah atau tetes biaya irigasi relatif lebih murah.

(5) Kondisi tanah sangat porous (berpasir), sehingga apabila diterapkan irigasi permukaan akan menimbulkan kehilangan air yang relatif besar dalam bentuk perkolasi.

(6) Tuntutan budidaya tanaman (hidroponik, rumah kaca, lapangan golf) yang menghendaki ketepatan jumlah dan waktu pemberian air, kualitas air serta digunakannya sarana irigasi untuk pemberian pupuk dan pestisida.


(58)

(7) Keinginan untuk mengintroduksi atau mengadopsi teknologi irigasi baru. (Susanto, 2006).

Tekstur Tanah

Tekstur tanah menunjukkan komposisi partikel penyusun tanah (separate) yang dinyatakan sebagai perbandingan proporsi (%) relatif antara fraksi pasir (sand), debu (silt), dan liat (clay). Partikel berukuran di atas 2 mm seperti kerikil dan bebatuan kecil tidak tergolong sebagai fraksi tanah tetapi harus diperhitungkan dalam evaluasi tekstur tanah. Klasifikasi ukuran, jumlah dan luas permukaan fraksi-fraksi tanah menurut sistem USDA dan Sistem Internasional tertera pada Tabel 1 berikut :

Tabel 1. Klasifikasi ukuran, jumlah dan luas permukaan fraksi-fraksi tanah menurut Sistem USDA dan Sistem Internasional

Separat tanah Diameter (mm) Jumlah partikel (g-1)

Luas permukaan

USDA Internasional (cm2 g-1)

Pasir sangat halus 2,00 – 1,00 – 90 11

Pasir kasar 1,00 – 0,50 – 720 23

Pasir sedang 0,50 – 0,25 – 5.700 45

Pasir – 2,00 – 0,20 4.088 29

Pasir halus 0,25 – 0,10 – 46.000 91

Pasir sangat halus 0,10 – 0,05 – 722.000 227

Debu 0,05 – 0,002 – 5.776.000 454

Debu – 0,02 – 0,002 2.334.796 271

Liat <0,002 <0,002 90.250.853.000 8.000.000 (Hanafiah, 2009).

Klasifikasi kelas tekstur tanah dapat dilihat pada Tabel 2 Tabel 2. Klasifikasi kelas tekstur tanah

Nomor Nama tekstur Pasir (%) Debu (%) Liat (%)

1 Pasir 85-100 0-15 0-10

2 Lempung liat berpasir 45-80 0-28 20-35

3 Pasir berlempung 70-90 0-39 10-15

4 Lempung berpasir 43-80 0-50 0-20

5 Lempung 23-52 28-50 7-27

6 Lempung berdebu 0-50 50-88 0-27

7 Debu 0-20 88-100 0-12

8 Lempung liat berdebu 0-20 40-73 27-40

9 Lempung berliat 20-45 15-53 27-40

10 Liat berpasir 45-65 0-20 35-45

11 Liat berdebu 0-20 40-60 40-60

12 Liat 0-45 0-40 40-100


(59)

Secara skematis klasifikasi tanah tersebut dapat dilihat melalui klasifikasi segitiga USDA, seperti terlihat pada Gambar 1

Gambar 1. Diagram Segitiga Tekstur Tanah menurut Klasifikasi USDA (Hasibuan, 2011).

Bahan Organik Tanah

Bahan organik tanah dapat didefinisikan sebagai sisa-sisa tanaman dan hewan di dalam tanah pada berbagai pelapukan dan terdiri dari baik masih hidup maupun mati. Di dalam tanah dapat berfungsi memperbaiki sifat kimia, fisik, maupun biologi tanah; sehingga ada sebagian ahli mengatakan bahwa bahan organik di dalam tanah mempunyai fungsi yang tidak tergantikan. Usaha-usaha mempertahankan kadar bahan organik tanah hingga mencapai kondisi ideal (5% pada tanah lempung berdebu) adalah merupakan tindakan yang baik, berwawasan lingkungan, dan berpikir untuk kelestariannya. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan bahan organik ke dalam tanah lebih kuat pengaruhnya ke arah perbaikan sifat-sifat tanah dan bukan khususnya meningkatkan unsur hara di dalam tanah. Penggunaan bahan organik ke dalam tanah harus memperhatikan perbandingan kadar unsur C terhadap unsur hara (N,


(60)

P, K, dsb) karena apabila perbandingannya sangat besar akan menyebabkan terjadinya imobilisasi. Imobilisasi ini adalah proses pengurangan jumlah kadar unsur hara (N, P, K dsb) di dalam tanah oleh aktivitas mikroba, sehingga kadar unsur hara tersebut yang dapat digunakan tanaman berkurang (Winarso, 2005).

Bahan organik tanah adalah fraksi organik tanah yang berasal dari biomassa tanah dan biomassa luar-tanah. Biomassa tanah adalah massa total flora dan fauna tanah hidup serta bagian vegetasi yang hidup dalam tanah (akar). Biomassa luar-tanah adalah massa bagian vegetasi yang hidup di luar tanah (daun, batang, cabang, ranting, bunga, buah, dan biji). Bahan organik dibuat dalam organisme hidup dan tersusun atas banyak sekali senyawa karbon. Di dalam tanah, bahan organik bercampur dengan bahan mineral. Bahan organik tanah (BOT) memperbaiki struktur dan konsistensi tanah, dan dengan demikian memperbaiki kapasitas tukar kation (KTK), aerasi, permeabilitas, dan daya tahan menyimpan air. BOT dapat menahan air sampai 20 kali lipat bobotnya sendiri (Notohadiprawiro, 1998).

Kerapatan Massa Tanah (Bulk Density)

Kerapatan lindak (kerapatan isi atau bobot isi atau bobot volume atau bulk density) menunjukkan perbandingan antara berat tanah kering dengan volume tanah, termasuk volume pori-pori tanah. Kerapatan isi tanah merupakan petunjuk kepadatan tanah, makin tinggi kerapatan isi tanah makin sulit meneruskan air atau ditembus akar tanaman. Pada umumnya kerapatan isi tanah berkisar antara 1 – 1,6 g/cm3. Kerapatan isi ini, dipengaruhi oleh struktur tanah dan merupakan sifat fisik tanah yang dapat menunjukkan kegemburan atau tingkat kepadatan tanah.


(61)

Bobot isi tanah kering disebut sebagai kerapatan massa tanah. Beberapa nilai kerapatan massa tanah memiliki tekstur yang berbeda bersamaan dengan persentase porositas seperti pada Tabel 3 :

Tabel 3. Jenis nilai dan kerapatan massa dan porositas tanah Tekstur Tanah Jangkauan

kerapatan massa (g cm-3)

Rata-rata (g cm-3)

Jangkauan porostas (%)

Persen rata-rata (%) Pasir dan Liat

Berpasir

1,2 − 1,8 1,6 30 − 55 40 Liat dan Liat

Berlempung

1,1 − 1,6 1,3 40 − 60 50 Lempung

Berliat dan Lempung

1,0 − 1,5 1,2 45 − 65 55

(Foth, 1994).

Untuk partikel tanah, kerapatan massa tanah memiliki perbedaan kepadatan atau kehilangan pada saat pengolahan tanah. Ini berarti bahwa porositas juga akan berubah. Beberapa tanah, seperti lapisan atas tanah hutan, Histosol, dan tanah yang dihasilkan abu vulkanik, memiliki kerapatan massa yang sangat rendah (terkadang kurang dari 1 gram per cm kubik) (Dingus, 1999).

Kerapatan massa tanah adalah massa padatan tanah per satuan volume tanah total yang biasanya dinyatakan sebagai g/cm3. Menurut Islami dan Utomo (1995), kerapatan massa tanah (bulk density) yaitu nisbah antara massa total tanah dalam keadaan kering dengan volume total tanah.

B=Mp Vt

...(1) Dimana :

Bd = Kerapatan massa (bulk density) (g/cm3) Mp = Massa padatan tanah (g)


(62)

Tanah-tanah yang tersusun dari partikel yang halus dan tersusun secara tidak beraturan, mempunyai struktur yang baik, ruang porinya tinggi sehingga bobot volumenya rendah (sekitar 1,2 g/cm3) (Foth, 1994).

Kerapatan Partikel Tanah (Particle Density)

Particle Density atau Kerapatan Partikel tanah ialah berat tanah kering per satuan volume partikel-partikel bagian padat tanah, tidak termasuk volume pori-pori tanah. Untuk menentukan particle density, yang diperhatikan adalah partikel-partikel dari bagian padat tanah. Oleh karena itu particle density dari setiap jenis tanah adalah konstan, tidak bervariasi dengan jumlah antara partikel-partikel tanah. Pada kebanyakan tanah-tanah mineral nilai dari particle density adalah 2,65 g/cc (Hasibuan, 2011).

Kerapatan partikel tanah adalah massa kering dibagi volume partikel tanah Pd =Mp

Vp ... (2)

Dimana :

Pd = Kerapatan partikel (particle density) (g/cm3) Mp = Massa padatan tanah (g)

Vp = Volume partikel tanah (cm3)

Kerapatan Partikel Tanah adalah perhitungan dari massa dan volume partikel tanah saja. Volume air dan udara tidak dimasukkan dalam perhitungan. Walaupun pengolahan tanah mempengaruhi porositas dan kerapatan massa tanah namun tidak mempengaruhi kerapatan partikel tanah. Kerapatan partikel tetap konstan karena pengolahan tanah dan perubahan suhu tidak mempengaruhi jumlah total dan komposisi kimia dari partikel mineral tanah (Dingus, 1999).


(63)

Porositas Tanah

Nilai porositas pada tanah pertanian bervariasi dari 40 sampai 60 %, sedangkan nilai rasio rongga dari 0,3 – 0,2. Porositas dipengaruhi oleh ukuran partikel dan struktur. Tanah berpasir mempunyai porositas rendah (40%) dan tanah lempung mempunyai porositas tinggi. Jika strukturnya baik dapat mempunyai porositas 60%. Ditinjau dari ruang pori susunan secara acak mempunyai ruang yang paling tinggi, dan susunan terarah mempunyai ruang pori paling rendah (Islami dan Utomo, 1995).

Porositas total atau ruang pori total adalah volume seluruh pori dalam suatu volume tanah utuh yang dinyatakan dalam persen. Porositas total merupakan indikator awal yang paling mudah untuk mengetahui apakah suatu tanah mempunyai struktur baik atau buruk. Pengukuran porositas total dilakukan pada kedalaman 0 – 25 cm, dengan menggunakan persamaan

Porositas Total = �1−Bd

Pd� x 100% ... (3) (Yunus, 2004).

Porositas adalah proporsi ruang pori total (ruang kosong) yang terdapat dalam satuan volume tanah yang dapat ditempati oleh air dan udara, sehingga merupakan indikator kondisi drainase dan aerasi tanah. Tanah yang porous berarti tanah yang cukup mempunyai ruang pori untuk pergerakan air dan udara masuk-keluar tanah secara leluasa, sebaliknya jika tanah tidak porous maka air dan udara tidak leluasa pergerakannya sehingga air dan udara akan tertahan di dalam tanah (Hanafiah, 2005).


(64)

Infiltrasi

Proses masuknya air hujan ke dalam lapisan permukaan tanah disebut infiltrasi. Air yang menginfiltrasi itu pertama-tama diabsorbsi untuk meningkatkan kelembaban tanah, selebihnya akan turun ke permukaan air tanah dan mengalir ke samping. Dalam beberapa hal tertentu, infiltrasi itu berubah-ubah sesuai dengan intensitas curah hujan. Akan tetapi setelah mencapai limitnya, banyaknya infiltrasi akan berlangsung terus sesuai dengan kecepatan absorbsi maksimum setiap tanah bersangkutan. Kecepatan infiltrasi yang berubah-ubah sesuai dengan variasi intensitas curah hujan umumnya disebut laju infiltrasi. Laju infiltrasi maksimum yang terjadi pada suatu kondisi tertentu disebut kapasitas infiltrasi (f). Kapasitas infiltrasi berbeda-beda menurut kondisi tanah. Pada tanah yang sama kapasitas infiltrasi itu berbeda-beda, tergantung dari kondisi permukaan tanah, struktur tanah, tumbuh-tumbuhan, suhu dan lain-lain. Di samping intensitas curah hujan, infiltrasi berubah-ubah karena dipengaruhi oleh kelembaban tanah dan udara yang terdapat dalam tanah. Faktor-faktor yang mempengaruhi infiltrasi di bawah ini adalah :

1. Dalamnya genangan di atas permukaan tanah dan tebal lapisan yang jenuh. 2. Kelembaban tanah.

3. Pemampatan oleh curah hujan.

4. Penyumbatan oleh bahan-bahan yang halus. 5. Pemampatan oleh orang dan hewan.

6. Struktur tanah. 7. Tumbuh-tumbuhan.


(65)

Setiap tanah memiliki karakteristik laju infiltrasi yang berbeda, yang bervariasi dari yang sangat tinggi sampai yang sangat rendah. Jenis tanah berpasir memiliki laju infiltrasi tinggi, akan tetapi tanah liat sebaliknya, cenderung mempunyai laju infiltrasi rendah. Untuk satu jenis tanah yang sama dengan kepadatan berbeda mempunyai laju infiltrasi yang berbeda pula. Makin padat makin kecil laju infiltrasinya. Kelembaban tanah yang selalu berubah setiap saat juga berpengaruh terhadap laju infiltrasi. Makin tinggi kadar air di dalam tanah, laju infiltrasi tanah tersebut makin kecil. Pengaruh tanaman di atas permukaan tanah memiliki dua fungsi, yaitu menghambat aliran air di permukaan tanah sehingga kesempatan berinfiltrasi lebih besar, dan dengan sistem akarnya dapat lebih menggemburkan struktur tanahnya, sehingga makin baik penutup tanaman yang ada, laju infiltrasi cenderung lebih tinggi (Harto, 1993).

Kapasitas Lapang

Apabila air gravitasi telah habis, kadar kelembaban tanah disebut kapasitas lapang (field capacity). Kapasitas lapang tidak dapat ditentukan dengan cepat, sebab tidak terputus pada kadar kelembaban versus waktu. Kapasitas lapang dapat diukur dengan menghitung kadar kelembaban tanah sesudah suatu pemberian air yang cukup besar untuk menjamin pembasahan yang merata pada tanah yang akan diperiksa. Dengan mengamati pengurangan kelembaban tanah dengan menentukan kelembaban pada waktu yang berbeda-beda sesudah pemberian air sangat berguna dalam memahami dan menginterpretasikan secara tepat karakteristik kapasitas lapang tanah. Konsep kapasitas lapang sangat berguna dalam mendapatkan sejumlah air yang tersedia dalam tanah untuk penggunaan


(66)

oleh tanaman. Sebagai contoh, kapasitas lapang diukur 2 hari setelah kejadian hujan (Hansen dkk, 1992).

Menyatakan bahwa nilai-nilai pF yang penting bagi pertumbuhan tanaman adalah berkisar dari 2-4. Pada pF 2,0 keadaan air terlalu basah, keadaan udara mulai terbatas dan air mulai turun merembes. Pada pF 2,54 adalah keadaan air pada kapasitas lapang, sedang pada pF 4,2 atau 15 atm keadaan kritis, akar mulai tidak dapat mengisap air dan mulai layu secara permanen (titik layu permanen). Air yang tersedia bagi tanaman adalah pada keadaan diantara pF 2,54-pF 4,2 (Hasibuan, 2006)

Titik Layu Permanen

Kapasitas simpanan permanen suatu tanah diukur dengan kandungan air tanahnya pada titik layu permanen vegetasinya. Titik layu ini (kandungan air tanah terendah di mana tanaman dapat mengekstraksi air dari suatu ruang pori tanah terhadap gaya gravitasi) ditentukan untuk suatu tanah bila bagian atas tanaman berada pada atmosfer basah dan tidak terlalu panas. Ini adalah sama bagi semua tanaman pada tanah tertentu. Kandungan air tanah yang melebihi titik layu permanen disebut kadar air tanah tersedia (Seyhan, 1990).

Kehilangan Air 1. Evapotranspirasi

Transpirasi dan evaporasi dari permukaan tanah bersama-sama disebut evapotranspirasi atau kebutuhan air (consumptive use). Jika air yang tersedia dalam tanah cukup banyak maka evapotranspirasi itu disebut evapotranspirasi potensial. Pengukuran evapotranspirasi potensial melalui tanaman dari tanah dilakukan dengan evapotranspirometer. Permukaan tangki tanah yang ditutup


(67)

dengan tanaman disiram dengan air secukupnya kemudian volume air yang merembes keluar dari dasar tangki diukur lalu selisih antara air yang dituangkan dengan air yang keluar adalah evapotranspirasi potensial pada jangka waktu pengukuran. Dapat dimengerti bahwa jika air yang terdapat di dalam tanah tidak cukup, maka banyakmya evapotranspirasi adalah lebih kecil dari evapotranspirasi potensial (Sosrodarsono dan Takeda, 2003).

Evapotranspirasi tanaman (corp evapotranspiration, corp water requirement, consumptive use, consumptive water requirement, ETc) adalah tebal

air yang dibutuhkan untuk keperluan evapotranspirasi suatu jenis tanaman pertanian tanpa dibatasi kekurangan air. Dengan kata lain adalah tebal air yang digunakan untuk tanaman supaya hidup. Nilai ETc setiap jenis tanaman akan

berbeda-beda, dan dapat dihitung dengan persamaan :

ETc = Kc . ET0 ... (4)

Keterangan :

ETc = evapotranspirasi tanaman (mm/hari) ET0 = evapotranspirasi rujukan (mm/hari) Kc = koefisien tanaman

(Soewarno, 2000).

Cara perhitungan potensial evapotranspirasi metode empirik Blaney-Riddle rumus umumnya adalah :

U = kp(45,7 t+813)

100 ... (5)

K = Kt x Kc ... (6)

Kt = 0.0311t + 0.240 ... (7) Dimana :


(68)

U = Evapotranspirasi bulanan (mm)

p = Persentase jumlah jam penyinaran matahari perbulan dalam 1 (satu) tahun (%)

t = Suhu udara rata-rata bulanan (oC) kc = Koefisien tanaman.

Evapotranspirasi tanaman dapat juga ditentukan berdasarkan nilai evaporasi yang diukur dengan alat seperti evapopan kemudian dikalikan dengan koefisien tanamannya (Sosrodarsono dan Takeda, 2003).

Faktor-faktor yang mempengaruhi evaporasi dan evapotranspirasi adalah suhu air, suhu udara (atmosfer), kelembaban, kecepatan angin, tekanan udara, sinar matahari dan lain-lain yang saling berhubungan satu sama lain. Pada waktu pengukuran evaporasi, maka kondisi/keadaaan ketika itu harus diperhatikan, mengingat faktor ini sangat dipengaruhi oleh perubahan lingkungan. Kondisi-kondisi itu tidak merata di seluruh daerah (Sosrodarsono dan Takeda, 2003). Perkolasi

Daya perkolasi p adalah laju perkolasi maksimum yang dimungkinkan, yang besarnya dipengaruhi oleh kondisi tanah dalam zona tidak jenuh, yang terletak di antara permukaan tanah dengan permukaan air tanah. Perkolasi tidak mungkin terjadi sebelum zona tidak jenuh mencapai kapasitas lapang (field capacity). Persamaan untuk perkolasi adalah

�= ℎ1−ℎ2

�2−�1 ... (8)

dimana :

h1 = tinggi air awal (m) h2 = tinggi air akhir (m)


(69)

t1 = waktu awal (s) t2 = waktu akhir (s) (Soemarto, 1995). Tanah Latosol

Jenis tanah Latosol berasal dari bahan induk vulkanik, baik tufa maupun batuan beku. Ciri-ciri umumnya bertekstur lempung sampai liat, struktur remah sampai gumpal dan konsistensi gembur. Warna tanah kemerahan tergantung dari susunan mineralogi bahan induknya, drainase, umur dan keadaan iklimnya. Kandungan unsur hara rendah sampai sedang, sehingga sifat tanahnya secara fisik tergolong baik, namun secara kimia kurang baik (Nugroho, 2009).

Tanah golongan Latosolic terbentang luas diseputar garis khatulistiwa yaitu dari Tropical of Cancer sampai Tropical of Capricorn atau 22o 30’ LS yaitu batas daerah tropis. Banyak diantara tanah ini telah berkembang di bawah curah hujan yang tinggi, temperatur tinggi dan tumbuhan berdaun lebar berupa vegetasi yang menggugurkan daun di musim dingin. Pencucian larutan cenderung didasari pH lebih tinggi bila dibandingkan pencucian asam-asam yang terjadi pada tanah padzolic yang menyebabkan silica-nya hilang dan besinya tertinggal. Tanah ini mempunyai sifat fisik yang baik (struktur) tetapi berkemampuan rendah untuk menahan kation (sangat mirip dengan tanah berpasir) dan membutuhkan pemberian pupuk yang agak sering. Banyak tanah di Indonesia tergolong tanah Latosolic (Hakim dkk, 1986).


(70)

Kinerja Irigasi

Kinerja jaringan irigasi tercermin dari kemampuannya untuk mendukung ketersediaan air irigasi pada areal layanan irigasi (command area) yang kondusif untuk penerapan pola tanam yang direncanakan. Secara umum, kinerja jaringan irigasi yang buruk mengakibatkan meningkatnya water stress yang dialami tanaman (baik akibat kekurangan ataupun kelebihan air) sehingga pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman tidak optimal. Kerugian yang timbul akibat water stress tidak hanya berupa produktivitas tanaman sangat menurun, tetapi mencakup pula mubazirnya sebagian masukan usahatani yang telah diaplikasikan (pupuk, tenaga kerja, dan lain-lain). Perbaikan kinerja jaringan irigasi mencakup perangkat lunak maupun perangkat kerasnya. Secara normatif, monitoring dan evaluasi kinerja jaringan di level primer dan sekunder telah dilakukan oleh instansi terkait dan program rehabilitasinya telah pula dirumuskan (Sumaryanto, dkk., 2006).

Indikator untuk mengetahui kinerja irigasi diantaranya adalah melalui efisiensi irigasi yang meliputi Efisiensi Pemakaian Air, Efisiensi Penyimpanan Air, Keseragaman Pemakaian Air, dan Kecukupan Irigasi.

1. Efisiensi Pemakaian Air

Konsep efisiensi pemakaian air dikembangkan untuk mengukur dan memusatkan perhatian terhadap efisiensi dimana air yang disalurkan sedang ditampung pada daerah akar dari tanah yang dapat digunakan oleh tumbuh-tumbuhan.

Ea = Ws

Wf x 100% ... (9) Dimana:


(71)

Ea = Efisiensi pemakaian air (%)

Ws = Air yang ditampung dalam tanah daerah akar selama pemberian air (m3)

Wf = Air yang disalurkan (m3)

Pada pelaksanaan pemberian air irigasi yang normal, aplikasi efisiensi pemberian air irigasi permukaan adalah sekitar 6%, sedangkan sistem pemberian air irigasi penyiraman (sprinkler irrigation) yang direncanakan dengan baik pada umumnya dianggap mempunyai efisiensi kira-kira 75% (Hansen, dkk., 1992). 2. Efisiensi Penyimpanan Air

Konsep efisiensi penyimpanan menunjukkan perhatian secara lengkap bagaimana kebutuhan air tersebut disimpan pada daerah perakaran selama pemberian air irigasi. Keadaan ini biasa terjadi karena harga air yang mahal ataupun karena kelangkaan air.

Es = Ws

Wn x 100% ... (10)

dimana:

Ea = Efisiensi pemakaian air (%)

Ws = Air yang ditampung dalam tanah daerah akar selama pemberian air (m3)

Wf = Air yang disalurkan (m3)

Efisiensi penyimpanan air irigasi penting untuk mengetahui apabila air yang disimpan pada daerah perakaran selama pemberian air irigasi tidak memadai, menyebabkan tanaman tidak dapat tumbuh dengan baik (Hansen, dkk., 1992).


(72)

3. Keseragaman Pemakaian Air

Desain yang tepat dari sistem irigasi harus mendapat keseragaman pemberian air pada tanah, sehingga mampu memberi air yang tepat selama selang waktu yang tepat. Desain sistem irigasi tetes ideal akan mencapai 100% keseragaman distribusi tetesan emitter, sehingga setiap tanaman dapat menerima jumlah air yang sama untuk pertumbuhan. Namun pada kenyataan di lapang, keseragaman distribusi tetesan tidak mungkin bisa mencapai 100% karena banyak faktor yang mempengaruhi (Prabowo dkk, 2010).

Koefisien variasi menggambarkan kualitas dari alat penetes. Koefisien variasi ditentukan dari pengukuran laju aliran untuk beberapa alat penetes yang identik dan dihitung dengan persamaan :

Cv = (�12+�22+⋯+��2−���2)1/2

��(�−1)

1 2

... (11) Dimana :

Cv = koefisien variasi pembuatan q1, q2, …, qn = debit dari alat penetes (l/h, gph)

q = rata-rata jumlah debit dari alat penetes (l/h, gph) n = total alat penetes

Keseragaman penetes untuk point dan line source dari persamaan berikut :

EU = 100�1,0−1,27

������ ����

���� ... (12)

Dimana :

EU = emission uniformity dalam persen

Ne = banyaknya emitter point source per titik penetes; jarak antara tanaman dibagi atas panjang unit lateral digunakan untuk menghitung Cv atau 1,


(73)

untuk emitter line source.

Cv = koefisien variasi pembuatan untuk emitter point dan line source Qmin = debit minimum laju emitter pada sistem (l/h, gph)

Qave = debit rata-rata atau desain emitter (l/h, gph) (James, 1988).

4. Kecukupan Air Irigasi

Pemakaian air konsumtif adalah jumlah air yang diperlukan untuk evapotranspirasi selama pertumbuhan. Besarnya pemakaian air konsumtif ini bervariasi menurut jenis tumbuhan dan daerah/zona iklim. Perbedaan jenis tumbuhan disebabkan oleh perbedaan masa pertumbuhan dan pematangan, sedangkan perbedaan tipe iklim disebabkan oleh perbedaan unsur-unsur iklim yang berpengaruh terhadap evapotranspirasi.

Banyaknya pemberian air yang ideal adalah sejumlah air yang dapat membasahkan tanah di seluruh daerah perakaran sampai keadaan kapasitas lapang. Jika air diberikan berlebih mengakibatkan penggenangan di tempat-tempat tertentu yang memperburuk aerasi tanah (Hakim dkk, 1986).

5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Irigasi

Kedalaman air yang digunakan pada setiap pemberian air irigasi adalah faktor yang paling utama mempengaruhi efisiensi irigasi. Meskipun air disebarkan secara seragam ke seluruh permukaan tanah, kedalaman pemakaian air yang berlebihan akan berakibat pada efisiensi yang rendah. Banyak faktor yang mempengaruhi seperti keseragaman tanah, metoda pemberian air irigasi, besarnya aliran pemberian air irigasi, lamanya pengairan, tekstur tanah, permeabilitas, dan


(74)

kedalaman mempengaruhi waktu pemberian air irigasi menjaga aliran air dengan demikian juga pada kedalamannya (Susanto, 2006).

Rancangan Irigasi Tetes 1. Jaringan Irigasi Tetes

Nozzle tetes (emitter) digunakan pada interval tetap pada lateral. Emitter melewatkan air untuk menetes pada kecepatan yang sangat rendah, biasanya dalam bentuk tetesan. Penetes (emitter) dapat dibuat dalam tiga tipe : (i) air menetes terus menerus, (ii) air menetes dari emitter, (iii) air disemprotkan atau menetes dari lubang yang dibuat pada pipa lateral. Pipa PVC digunakan pada rancangan irigasi tetes dapat dianggap sebagai pipa halus. Kehilangan akibat gesekan dapat dihitung dengan persamaan :

�= 0,316

(Rn)1�4 ... (13)

dimana : f = koefisien gesekan Rn = bilangan Reynold (Lenka, 1991).

Jaringan bervariasi tergantung pada topografi, ukuran, dan bentuk area irigasi, jenis tanaman dan pola tanam, alat penetes, dan lain-lain. Bagaimanapun, jaringan irigasi tetes kebanyakan elemennya termasuk :

a. Pipa utama yaitu sebuah saluran, biasanya baja, semen asbes, atau material sejenis, hampir selalu dibuat di bawah tanah, membawa air dari sumber (seperti mata air, danau, saluran regional, atau kanal) ke titik pengendali di lapangan.


(1)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Kajian Kinerja Irigasi Tetes pada Tanah Latosol dengan Budidaya Tanaman Caisim (Brassica juncea L.) yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana di Program Studi Keteknikan Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak

Prof. Dr. Ir. Sumono, MS selaku ketua komisi pembimbing dan Ibu Sulastri Panggabean, STP, M.Si selaku anggota komisi pembimbing yang

telah membimbing dan memberikan berbagai masukan, saran dan kritikan berharga kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Terima kasih penulis ucapkan kepada orang tua serta adik atas dukungannya baik secara moril maupun materil.

Di samping itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua staff pengajar dan pegawai di Program Studi Keteknikan Pertanian serta teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini. Akhir kata, semoga skripsi dan penelitian ini dapat berguna bagi kita semua

Medan, Mei 2014


(2)

iii

DAFTAR ISI

Hal

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 4

Manfaat Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Irigasi... 5

Irigasi Tetes ... 7

Tekstur Tanah... 10

Bahan Organik Tanah ... 11

Kerapatan Massa Tanah (Bulk Density) ... 12

Kerapatan Partikel Tanah (Particel Density) ... 14

Porositas Tanah ... 15

Infiltrasi ... 16

Kapasitas Lapang ... 17

Titik Layu Permanen ... 18

Kehilangan Air ... 18

Evapotranspirasi ... 18

Perkolasi ... 20

Tanah Latosol ... 21

Kinerja Irigasi... 22

Efisiensi Pemakaian Air ... 22

Efisiensi Penyimpan Air ... 23

Keseragaman Pemakaian Air ... 24

Kecukupan Air Irigasi ... 25

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Irigasi ... 25

Rancangan Irigasi Tetes ... 26

Jaringan Irigasi Tetes ... 26

Debit ... 27

Kecepatan Aliran ... 28

Tanaman Caisim (Brassica juncea L.) ... 29

Berat Kering Tanaman ... 30

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ... 31

Alat dan Bahan Penelitian ... 31

Alat Penelitian ... 31

Bahan Penelitian... 31

Metode Penelitian... 31

Pelaksanaan Penelitian ... 32


(3)

Perlakuan I, Tanpa Tanaman ... 32

Perlakuan II, Dengan Tanaman Caisim (Brassica juncea L.) ... 35

Parameter... 38

Sifat-sifat Fisik Tanah ... 38

Evapotranspirasi ... 38

Perkolasi ... 39

Kadar Air Kapasitas Lapang ... 39

Debit Air Rata-Rata Keluaran ... 39

Keseragaman Pemakaian Air ... 39

Efisiensi Irigasi Tanaman ... 39

Kecukupan Air Irigasi ... 39

Berat Kering Tanaman Caisim ... 40

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 41

Sifat-sifat Fisik Tanah ... 41

Evapotranspirasi ... 43

Perkolasi ... 45

Kadar Air Kapasitas Lapang ... 46

Debit Air Rata-Rata Keluaran ... 46

Keseragaman Pemakaian Air ... 48

Efisiensi Irigasi Tanaman ... 49

Kecukupan Air Irigasi ... 51

Berat Kering Tanaman Caisim ... 52

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 54

Saran ... 54

DAFTAR PUSTAKA ... 56


(4)

v

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Klasifikasi ukuran, jumlah dan luas permukaan fraksi-fraksi

tanah menurut Sistem USDA dan Sistem Internasional ... 10

Tabel 2. Klasifikasi kelas tekstur tanah... 10

Tabel 3. Jenis nilai dan kerapatan massa dan porositas tanah... 13

Tabel 4. Nilai Bulk Density, Particle Density, dan Porositas Tanah Latosol ... 42

Tabel 5. Evapotranspirasi Aktual. ... 44

Tabel 6. Kadar Air Kapasitas Lapang ... 46

Tabel 7. Debit Air Rata-Rata Keluaran. ... 47

Tabel 8. Keseragaman Pemakaian Air ... 48

Tabel 9.Efisiensi Irigasi ... 50

Tabel 10. Berat Kering Tanaman Caisim (Brassica juncea L.) ... 52


(5)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Segitiga USDA ...11 Gambar 2. Grafik Evapotranspirasi... 44 Gambar 3. Kecukupan Air Irigasi Fase Akhir Pertumbuhan ... 51


(6)

vii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Flowchart Penelitian ... 58

Lampiran 2. Gambar Teknik Rancangan Irigasi Tetes ... 59

Lampiran 3. Hasil Analisis Laboratorium ... 60

Lampiran 4. Sifat Fisik Tanah ... 61

Lampiran 5. Evapotranspirasi Aktual. ... 62

Lampiran 6. Kadar Air Kapasitas Lapang... 63

Lampiran 7. Data Debit Air Keluaran Emmiter ... 66

Lampiran 8. Data Keseragaman Pemakaian Air ... 68

Lampiran 9. Data Pemakaian Air Irigasi Pada Fase Akhir Pertumbuhan ... 69

Lampiran 10. Data Efisiensi Penyimpanan Air Irigasi Pada Fase Akhir Pertumbuhan ... 70

Lampiran 11. Lampiran Foto ... 75