Preparasi dan Karakterisasi Membran Polisulfon dengan Pengisi Mikrobentonit Sebagai Penyaring Air Gambut

(1)

PREPARASI DAN KARAKTERISASI MEMBRAN POLISULFON

DENGAN PENGISI MIKROBENTONIT SEBAGAI

PENYARING AIR GAMBUT

TESIS

PEVI RIANI

127006004/KIM

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2014


(2)

PREPARASI DAN KARAKTERISASI MEMBRAN POLISULFON

DENGAN PENGISI MIKROBENTONIT SEBAGAI

PENYARING AIR GAMBUT

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains Dalam Program Studi Ilmu Kimia Pada Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Sumatera Utara

Oleh

PEVI RIANI

127006004/KIM

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2014


(3)

PERSETUJUAN

Judul Tesis : PREPARASI DAN KARAKTERISASI MEMBRAN

POLISULFON DENGAN PENGISI MIKROBENTONIT SEBAGAI PENYARING AIR GAMBUT

Nama Mahasiswa : PEVI RIANI Nomor Pokok : 127006004

Program Studi : MAGISTER (S2) ILMU KIMIA

Menyetujui Komisi Pembimbing

Prof. Basuki Wirjosentono, MS, Ph.D

Ketua Anggota

Prof. Dr. Thamrin, M.Sc

Ketua Program Studi Dekan

Prof. Basuki Wirjosentono, MS, Ph.D Dr. Sutarman, M.Sc


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 22 Juli 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

KETUA : Prof. Basuki Wirjosentono, MS, Ph.D

: 1. Prof. Dr. Thamrin, M.Sc

2. Dr. Hamonangan Nainggolan, M.Sc 3. Dr. Yugia Muis, MS


(5)

PERNYATAAN ORISINALITAS

PREPARASI DAN KARAKTERISASI MEMBRAN POLISULFON DENGAN PENGISI MIKROBENTONIT SEBAGAI

PENYARING AIR GAMBUT

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ini adalah hasil karya saya sendiri kecuali kutipan dan ringkasan yang tiap satunya telah dijelaskan sumbernya dengan jelas.

Medan, 22 Juli 2014 Penulis


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala berkah dan rahmat-Nya sehingga tesis dengan judul “Preparasi dan Karakterisasi Membran Polisulfon dengan Pengisi Mikrobentonit Sebagai Penyaring Air Gambut” dapat

diselesaikan.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Orang tua penulis ayahanda Alm. Ramli dan ibunda Masniar yang selalu mendo’akan, memberikan dukungan dan selalu membuat semangat penulis untuk terus belajar, adik-adik penulis Brigadir Gusva Riani dan suami (Briptu Joni Firmansyah Telaumbanua) dan Briptu Oswar Riani dan suami (Brigadir Gorrahman) serta nenek tercinta Nurbani yang selalu memberikan semangat untuk penulis sehingga terselesaikannya penulisan tesis ini.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Prof.Dr.dr. Syahril Pasaribu, DTMH,M.Sc (CTM), SP.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara dan Prof. Dr. Sutarman, M.Sc selaku Dekan FMIPA Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis dalam menyelesaikan pendidikan di Pascasarjana Ilmu Kimia. Bapak Prof. Basuki Wirjosentono, MS, Ph.D dan Dr. Hamonangan Nainggolan, M.Sc selaku Ketua Program Studi dan Sekretaris Pascasarjana Ilmu Kimia atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa di Pascasarjana Ilmu Kimia.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Prof. Basuki Wirjosentono, MS, Ph.D selaku dosen pembimbing I dan Bapak Prof. Dr. Thamrin, M.Sc selaku dosen pembimbing II atas waktu, saran, motivasi dan bimbingannya dalam penelitian dan penulisan tesis ini. Bapak Dr. Hamonangan Nainggolan, M.Sc, Ibu Dr. Yugia Muis, MS dan Bapak Eddyanto, Ph.D selaku dosen penguji atas saran dan bimbingannya dalam menyelesaikan tesis ini. Bapak/Ibu dosen Pascasarjana Ilmu Kimia yang telah memberikan disiplin ilmu selama penulis menjalani studi. Kak Lely, Bapak Amir Hamzah, Ibu Yugia Muis, Bang Edy serta asisten Laboratorium Kimia


(7)

Polimer dan Kimia Fisika yang telah banyak memberikan bantuan dan motivasi kepada penulis.

Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada sahabat-sahabat terbaik penulis selama perkuliahan dan penyelesaian tesis ini : Deni Reflianto Manik, Sri Handayani dan Diana Adnanda Nasution. Sahabat dan teman-teman angkatan 2012: Bapak Thomas, Bapak Lumban, Bapak Malemta, Bang Barita, Soni, Bang Nasir, Kak Najla, Kak Mayang, Kak Lia Saragih, Buk Maulidna dan Buk Ratna Kristina. Sahabat dan teman-teman mahasiswa S3 : Bapak Taufik, Bapak Ridwanto, Buk Bina, Kak Nunuk dan teman-teman lainnya. Rekan kerja di Pendidikan Teknologi Kimia Industri (PTKI) Medan: Bapak Ir.H. Mansyur, M.Si, Bapak Hamdan.S.Bintang, ST.MM, Bapak Halomoan Simalango, SE, Buk Farida Hanum, Pak Syarifuddin, Nana Isnaini, Srikumala Tarigan, Sopar Budi Simanjuntak dan Bang Andre Chairun. Bunda Reni selaku Staf Laboratorium Kimia Fisika Universitas Riau, asisten Laboratorium Kimia Fisisk Universitas Riau serta teman-teman yang selalu mendo’akan dan telah membantu penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari pihak pembaca sangat diharapkan demi kesempurnaan tesis ini. Akhir kata, semoga tesis ini bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan.

Medan, Juli 2014

Penulis,


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Padang, Sumatera Barat pada tanggal 16 Februari 1984. Merupakan anak pertama dari 3 bersaudara (Brigadir Gusva Riani dan Briptu Oswar Riani) dari Bapak Ramli Tain (Alm) dan Ibunda Masniar.

Pendidikan Formal:

 Lulus SD Negeri 05 Sawahan, Kec.Padang Timur, Padang pada tahun 1996.

 Lulus SLTP Negeri 1 Padang pada tahun 1999.

 Lulus SMU Negeri 1 Padang pada tahun 2002.

 Lulus Sarjana Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Andalas pada tahun 2006.

Riwayat Pekerjaan:

 Tahun 2009 diangkat sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil di Pendidikan Teknologi Kimia Industri Medan, Kementerian Perindustrian R.I

 Tahun 2010 diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil di Pendidikan Teknologi Kimia Industri Medan, Kementerian Perindustrian R.I

 Tahun 2012-sekarang sebagai fungsional dosen di Pendidikan Teknologi Kimia Industri Medan, Kementerian Perindustrian R.I


(9)

PREPARASI DAN KARAKTERISASI MEMBRAN POLISULFON DENGAN PENGISI MIKROBENTONIT SEBAGAI

PENYARING AIR GAMBUT

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh penambahan mikrobentonit pada membran polisulfon terhadap nilai fluks (permeabilitas) membran pada penyaringan air gambut secara inversi fasa. Pada penelitian ini terdiri dari lima tahap pengerjaan, yaitu persiapan mikrobentonit, pembuatan membran polisulfon dengan penambahan mikrobentonit, karakterisasi membran, uji permeabilitas membran polisulfon-mikrobentonit terhadap air gambut serta analisis parameter sampel air gambut yang meliputi kekeruhan, pH, TSS dan TDS. Komposisi membran yang digunakan yaitu PSf 15% (w/w), dimetil asetamida (DMAc) dan mikrobentonit 0% ;

5% ; 10% ; 15% ; 20% (w/w). Air gambut sebelum penyaringan dengan membran

polisulfon-mikrobentonit masih belum sesuai dengan standar persyaratan air bersih berdasarkan PERMENKES RI No.416/MENKES/PER/IX/1990. Hasil penelitian menunjukkan bahwa membran PSf 15% mempunyai nilai fluks paling baik yaitu 1,31 x 10-5 ml/cm2.s; kekeruhan 3,12 NTU; pH 6.8; TSS 52 mg/L; TDS 400 mg/L dan telah memenuhi standar air bersih berdasarkan PERMENKES RI No.416/MENKES/PER/IX/1990. Karakterisasi dengan SEM menunjukkan bahwa membran polisulfon setelah penambahan mikrobentonit 15% (PSf-B15%) terjadi perubahan morfologi di permukaan membran. Analisa gugus fungsi membran polisulfon (PSf) menunjukkan adanya gugus sulfon teridentifikasi pada bilangan gelombang 1294,41 cm-1, bilangan gelombang 1169,5 cm-1 menunjukkan ulur asimetrik O=S=O dari gugus tersulfonasi dan 1150,45 cm-1 merupakan ulur asimetrik O=S=O dari gugus sulfon. Analisa gugus fungsi PSf-15% dapat diidentifikasi bahwa O=S=O muncul pada bilangan gelombang 1294 cm-1. Pada bilangan gelombang 1013 cm-1 muncul puncak serapan O-Si-O dan 794 cm-1 puncak serapan Al-O-Al yang menunjukkan adanya gugus yang terkandung di dalam bentonit.


(10)

PREPARATION AND CHARACTERIZATION OF POLYSULFONE MEMBRANES WITH FILLER MICROBENTONITE

AS PEAT WATER FILTER

ABSTRACK

This research aimed at investigating the effect of microbentonite augmentation for membrane to membrane flux in peat water filtration with inversion phase method. This research was carried out in five processing stages, namely preparation of microbentonite, make of polysulfone-microbentonite membrane toward the peat water and analysis of the peat water samples parameters including water turbidity, pH, TSS, and TDS. The composition of the membranes used were PSf 15%, DMAc and microbentonite 0%, 5%, 10%, 15% and 20%. The result showed that peat water before filtration with polysulfone–microbentonite membrane had not been suitable yet with the clear water qualification based on the PERMENKES RI NO.416/MENKES/PER/IX/1990. The result showed that PSf –B15% membrane had the best flux, that was 1,31 x 10-5 ml/cm2.s; turbidity 3,12 NTU; pH 6,8; TSS 52 mg/L; TDS 400 mg/L and suitable with PERMENKES RI NO.416/MENKES/PER/IX/1990. The characterization by using SEM showed that the polysulfone membrane after microbentonit augmentation had morphology changes in the membrane surface. The analysis of polysulfone membrane functional groups showed a sulfon group identified at wave number 1294,41 cm-1, wave number 1169, 5 cm-1 showed symmetric O=S=O of sulfonated group and 1150,45 cm-1 was symmetric groove O=S=O of sulfone group. The analysis of PSf 15% functional groups can identified that O=S=O appeared at wave number 1294 cm-1. At wave number 1013 cm-1 O-Si-O an absorption peak appeared and Al-O-Al absoption peak appeared at wave number 794 cm-1 that showed group consisted in the bentonite.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

PERSETUJUAN i

PERNYATAAN iii

KATA PENGANTAR iv

RIWAYAT HIDUP vi

ABSTRAK vii

ABSTRACK viii

DAFTAR ISI ix

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR GAMBAR xiv

DAFTAR LAMPIRAN xvi

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Perumusan Masalah 4

1.3 Pembatasan Masalah 5

1.4 Tujuan Penelitian 5

1.5 Manfaat Penelitian 5

1.6 Metodologi Penelitian 5

1.7 Lokasi Penelitian 7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teknologi Membran 8

2.1.1 Klasifikasi Membran 9

2.1.2 Karakterisasi Membran Mikrofiltrasi 13

2.1.3 Teknik Pembuatan Membran 13


(12)

2.1.4.1 Permeabilitas 15

2.1.4.2 Selektivitas 15

2.2 Polisulfon Sebagai Material Membran 16

2.3 N,N-Dimetilasetamida (DMAc) 17

2.4 Bentonit 18

2.4.1 Sifat-Sifat Fisik Bentonit 21

2.4.2 Bentonit Aceh 22

2.5 Karakterisasi 22

2.5.1 X-Ray Diffraction (XRD) 22

2.5.2 Scanning Electron Microscopy (SEM) 24

2.5.3 Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR) 25

2.6 Air Gambut 25

2.6.1 Karakteristik Air Gambut 27

2.6.2 Pengolahan Air Gambut 28

2.7 Uji Kualitas Air 28

2.7.1 Kekeruhan 28

2.7.2 Derajat Keasaman 29

2.7.3 Zat Padat Tersuspensi 29

2.7.4 Zat Padat Terlarut 30

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Alat dan Bahan 31

3.1.1 Alat-alat yang Digunakan 31

3.1.2 Bahan-bahan yang Digunakan 31

3.2 Prosedur Kerja 31

3.2.1 Persiapan Mikrobentonit 31

3.2.2 Pembuatan Membran Polisulfon-Mikrobentonit 32

3.2.3 Uji Permeabilitas 32

3.2.4 Uji Selektivitas 32


(13)

3.2.5.1 Kekeruhan 33

3.2.5.2 pH 33

3.2.5.3 Zat Padat Tersuspensi 33

3.2.5.4 Zat Padat Terlarut 34

3.3 Skema Kerja 35

3.3.1 Persiapan Mikrobentonit 35

3.3.2 Pembuatan Membran Polisulfon-Mikrobentonit 36

3.3.3 Uji Permeabilitas 37

3.3.4 Uji Selektifitas 37

3.3.5 Analisis Air Gambut 38

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Preparasi dan Karakterisasi Bentonit sebagai Pengisi Membran 39 4.2 Membran Polisulfon dengan Bahan Pengisi Mikrobentonit 41

4.2.1 Sintesis Membran Polisulfon 41

4.3 Permeabilitas Membran 43

4.4 Karakterisasi dengan Fourier Transform Infrared46

Spectroscopy (FTIR) 46

4.5 Karakterisasi dengan Scanning Electron Microscopy (SEM) 49

4.6 Analisis Air Gambut 51

4.6.1 Analisis Air Gambut Sebelum Penyaringan dengan

Membran Polisulfon 51

4.6.2 Analisis Kekeruhan 52

4.6.3 Analisis pH 54

4.6.4 Analisis Jumlah Zat Padat Tersuspensi (TSS) 55 4.6.5 Analisis Jumlah Zat Padat Terlarut (TDS) 57

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan 60


(14)

DAFTAR PUST AKA 62


(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 4.1 Nilai sudut 2θ dari bentonit Bener Meriah 40 Tabel 4.2 Fluks membran polisulfon dengan berbagai variasi

penambahan mikrobentonit 43

Tabel 4.3 Pita serapan spektrum IR membran polisulfon 15% 47 Tabel 4.4 Pita serapan spektrum IR membran polisulfon +

mikrobentonit 15% 49

Tabel 4.5 Analisis parameter sampel air gambut sebelum

penyaringan dengan membran polisulfon 51 Tabel 4.6 Hasil analisis kadar total padatan tersuspensi (TSS) air

gambut 55

Tabel 4.7 Hasil analisis kadar total zat padat terlarut (TDS) air

gambut 58


(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 2.1 Skema pemisahan dengan menggunakan membran 8

Gambar 2.2 Membran berdasarkan strukturnya 11

Gambar 2.3 Perbandingan sistem desain operasi (a) dead-end,

(b) crossflow 16

Gambar 2.4 Struktur molekul polisulfon 17

Gambar 2.5 Struktur N,N-Dimetilasetamida 17

Gambar 2.6 Struktur molekul mineral monmorillonit 18

Gambar 2.7 Difraksi sinar-X pada kristal 23

Gambar 4.1 Difraktogram bentonit alam asal Bener Meriah sebelum

aktivasi 39

Gambar 4.2 Difraktogram bentonit alam asal Bener Meriah setelah

aktivasi 40

Gambar 4.3 Warna membran polisulfon dengan variasi penambahan

Mikrobentonit 42

Gambar 4.4 Grafik fluks membran polisulfon dan polisulfon

mikrobentonit 45

Gambar 4.5 Pola FTIR membran polisulfon (PSf15%) 46 Gambar 4.6 Pola FTIR polisulfon + mikrobentonit 15% (PSf-B15%) 48 Gambar 4.7 Scanning Electron Microscopy (SEM) permukaan

membran tanpa mikrobentonit (PSf) 50

Gambar 4.8 Scanning Electron Microscopy (SEM) permukaan

membran setelah penambahan mikrobentonit 15%

(PSf-B15%) 50

Gambar 4.9 Nilai kekeruhan air gambut sebelum dan sesudah penyaringan dengan membran polisulfon dan


(17)

Gambar 4.10 Nilai pH air gambut sebelum dan sesudah penyaringan

dengan membran polisulfon dan polisulfon-mikrobentonit 54 Gambar 4.11 Nilai total zat padat tersuspensi (TSS) air gambut sebelum

dan sesudah penyaringan dengan membran polisulfon dan

polisulfon-mikrobentonit 57

Gambar 4.12 Nilai total zat padat terlarut (TDS) air gambut sebelum dan sesudah penyaringan dengan membran polisulfon dan polisulfon-mikrobentonit


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

Lampiran A.1 Difraktogram bentonit sebelum aktivasi 67 Lampiran A.2 Difraktogram bentonit setelah aktivasi 67

Lampiran A.3 Spektrum FTIR membran PSf 68

Lampiran A.4 Spektrum FTIR membran PSf-B15% 68

Lampiran A.5 Permukaan membran polisulfon (PSf) 69 Lampiran A.6 Permukaan membran poisulfon+mikrobentonit 15%

(PSf-B15%) 69

Lampiran B.1 Ketebalan Membran Polisulfon Tanpa Bentonit (PSf) 70 Lampiran B.2 Ketebalan Polisulfon dengan Bentonit 5%(w/w)

(PSf-B5%) 70

Lampiran B.3 Ketebalan Membran Polisulfon dengan Bentonit

10%(w/w) (PSf-B10%) 70

Lampiran B.4 Ketebalan Membran Polisulfon dengan Bentonit

15%(w/w) (PSf-B15%) 70

Lampiran B.5 Ketebalan Membran Polisulfon dengan Bentonit

20%(w/w) (PSf-B20%) 70

Lampiran B.6 Waktu Permeat Membran Polisulfon 71

Lampiran B.7 Komposisi dope 71

Lampiran B.8 Waktu alir (fluks) membran 72

Lampiran C.1 Bentonit alam asal Kabupaten Bener Meriah, Aceh 73 Lampiran C.2 Proses pengayakan bentonit hingga ukuran 200 Mesh 73 Lampiran C.3 Bentonit 200 mesh sebelum aktivasi 74 Lampiran C.4 Bentonit 200 mesh setelah aktivasi 74 Lampiran C.5 Air gambut Daerah Panam Kota Pekanbaru 75

Lampiran C.6 Polisulfon (Psf) 75


(19)

Lampiran C.8 Plat kaca dan batang stainless steel 76

Lampiran C.9 Proses pengadukan larutan dope 77

Lampiran C.10 Pencetakan membran polisulfon 77

Lampiran C.11 Sel membran 78

Lampiran C.12 Membran setelah filtrasi 78

Lampiran C.13 Membran sebelum dan sesudah filtrasi 79 Lampiran C.14 Air gambut sebelum dan sesudah filtrasi 79

Lampiran C.15 Neraca analitik 80

Lampiran C.16 Alat Shimadzu X-ray Diffractometer Shimadzu 6000 80 Lampiran C.17 Fourier Transform Infrared Spectroscopy (Perkin

Elmer Spectrum Version10.03.07) 80

Lampiran D.1 PERMENKES RI No.416/PER/IX/1990 Tentang


(20)

(21)

PREPARASI DAN KARAKTERISASI MEMBRAN POLISULFON DENGAN PENGISI MIKROBENTONIT SEBAGAI

PENYARING AIR GAMBUT

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh penambahan mikrobentonit pada membran polisulfon terhadap nilai fluks (permeabilitas) membran pada penyaringan air gambut secara inversi fasa. Pada penelitian ini terdiri dari lima tahap pengerjaan, yaitu persiapan mikrobentonit, pembuatan membran polisulfon dengan penambahan mikrobentonit, karakterisasi membran, uji permeabilitas membran polisulfon-mikrobentonit terhadap air gambut serta analisis parameter sampel air gambut yang meliputi kekeruhan, pH, TSS dan TDS. Komposisi membran yang digunakan yaitu PSf 15% (w/w), dimetil asetamida (DMAc) dan mikrobentonit 0% ;

5% ; 10% ; 15% ; 20% (w/w). Air gambut sebelum penyaringan dengan membran

polisulfon-mikrobentonit masih belum sesuai dengan standar persyaratan air bersih berdasarkan PERMENKES RI No.416/MENKES/PER/IX/1990. Hasil penelitian menunjukkan bahwa membran PSf 15% mempunyai nilai fluks paling baik yaitu 1,31 x 10-5 ml/cm2.s; kekeruhan 3,12 NTU; pH 6.8; TSS 52 mg/L; TDS 400 mg/L dan telah memenuhi standar air bersih berdasarkan PERMENKES RI No.416/MENKES/PER/IX/1990. Karakterisasi dengan SEM menunjukkan bahwa membran polisulfon setelah penambahan mikrobentonit 15% (PSf-B15%) terjadi perubahan morfologi di permukaan membran. Analisa gugus fungsi membran polisulfon (PSf) menunjukkan adanya gugus sulfon teridentifikasi pada bilangan gelombang 1294,41 cm-1, bilangan gelombang 1169,5 cm-1 menunjukkan ulur asimetrik O=S=O dari gugus tersulfonasi dan 1150,45 cm-1 merupakan ulur asimetrik O=S=O dari gugus sulfon. Analisa gugus fungsi PSf-15% dapat diidentifikasi bahwa O=S=O muncul pada bilangan gelombang 1294 cm-1. Pada bilangan gelombang 1013 cm-1 muncul puncak serapan O-Si-O dan 794 cm-1 puncak serapan Al-O-Al yang menunjukkan adanya gugus yang terkandung di dalam bentonit.


(22)

PREPARATION AND CHARACTERIZATION OF POLYSULFONE MEMBRANES WITH FILLER MICROBENTONITE

AS PEAT WATER FILTER

ABSTRACK

This research aimed at investigating the effect of microbentonite augmentation for membrane to membrane flux in peat water filtration with inversion phase method. This research was carried out in five processing stages, namely preparation of microbentonite, make of polysulfone-microbentonite membrane toward the peat water and analysis of the peat water samples parameters including water turbidity, pH, TSS, and TDS. The composition of the membranes used were PSf 15%, DMAc and microbentonite 0%, 5%, 10%, 15% and 20%. The result showed that peat water before filtration with polysulfone–microbentonite membrane had not been suitable yet with the clear water qualification based on the PERMENKES RI NO.416/MENKES/PER/IX/1990. The result showed that PSf –B15% membrane had the best flux, that was 1,31 x 10-5 ml/cm2.s; turbidity 3,12 NTU; pH 6,8; TSS 52 mg/L; TDS 400 mg/L and suitable with PERMENKES RI NO.416/MENKES/PER/IX/1990. The characterization by using SEM showed that the polysulfone membrane after microbentonit augmentation had morphology changes in the membrane surface. The analysis of polysulfone membrane functional groups showed a sulfon group identified at wave number 1294,41 cm-1, wave number 1169, 5 cm-1 showed symmetric O=S=O of sulfonated group and 1150,45 cm-1 was symmetric groove O=S=O of sulfone group. The analysis of PSf 15% functional groups can identified that O=S=O appeared at wave number 1294 cm-1. At wave number 1013 cm-1 O-Si-O an absorption peak appeared and Al-O-Al absoption peak appeared at wave number 794 cm-1 that showed group consisted in the bentonite.


(23)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Teknologi membran telah banyak digunakan pada berbagai proses pemisahan dan sangat spesifik terhadap molekul-molekul dengan ukuran tertentu. Selektifitas membran ini didasarkan pada perbedaan ukuran, bentuk permukaan, elektrostatik, difusifitas, interaksi terhadap zat kimia, volatilitas, polaritas, maupun kelarutan (Hafidzah,2008).

Teknologi membran mempunyai beberapa keunggulan yaitu proses pemisahannya berlangsung pada suhu kamar, dapat dilakukan secara kontiniu, sifatnya bervariasi, dapat diatur sesuai kebutuhan, membran yang dihasilkan dapat digunakan kembali dan ramah lingkungan karena tidak menimbulkan dampak yang buruk bagi lingkungan. Membran juga dapat berfungsi sebagai filter yang sangat spesifik, dikarenakan hanya molekul-molekul tertentu saja yang bisa melewati membran sedangkan sisanya akan tertahan di permukaan membran.

Mikrofiltrasi merupakan salah satu proses dengan melewatkan umpan pada membran mikropori. Membran mikrofiltrasi dapat diaplikasikan dalam industri diantaranya pada sterilisasi dingin dari minuman dan bahan farmasi, penjernihan jus buah, wine, dan bir, air ultra murni pada industri semi konduktor, recovery logam,

pengolahan limbah, fermentasi kontiniu, pemisahan emulsi minyak dan air (General,2013)

Suatu bahan dapat dijadikan membran apabila tahan secara kimia baik terhadap umpan maupun pada cairan pencuci membran, stabil secara mekanik, termal dan memiliki permeabilitas dan selektifitas yang tinggi (Hafidzah,2008). Berbagai polimer telah banyak digunakan sebagai bahan dasar industri pembuatan membran. Salah satu polimer yang biasa digunakan sebagai bahan pembuatan membran yaitu polisulfon. Polisulfon memiliki ketahanan yang baik terhadap temperatur yang tinggi, rentang pH yang lebar yaitu 1-13 dan mempunyai kestabilan kimia yang cukup tinggi.


(24)

Produksi membran pada saat ini dibuat dengan dengan metode inversi fasa melalui teknik presipitasi terendam. Polimer yang digunakan harus dapat larut pada pelarut yang sesuai, dan dapat dibuat menjadi dua konfigurasi yaitu datar (lembaran) dan pipa (turbular). Teknik inversi fasa dapat menghasilkan struktur membran yang rapat dan berpori yang dipengaruhi oleh pelarut dan bahan perendaman yang digunakan.

Membran polisulfon secara umum telah banyak dipelajari dan diteliti dengan berbagai variasi kondisi. Berbagai macam kondisi pada preparasi membran akan mempengaruhi kinerja membran dari segi sifat permeabilitas dan selektifitas. Cynthia L.Radiman dkk (2002) telah melakukan pengujian pengaruh media perendam terhadap permeabilitas membran polisulfon. Hasil penelitian menunjukkan bahwa etanol merupakan media perendam yang sangat efektif untuk membran polisulfon dimana dapat meningkatkan permeabilitas melalui peningkatan hidrofilisitas tanpa menimbulkan penurunan berarti terhadap selektifitasnya. Pengaruh waktu sonifikasi terhadap kinerja membran polisulfon telah diteliti oleh Rendra Juniarzadinata (2011). Waktu sonifikasi mempengaruhi kinerja membran dengan menghasilkan nilai fluks yang berbeda di setiap variasi waktu.

Salah satu faktor penghambat dalam teknologi membran mikrofiltrasi adalah terjadinya fouling. Adanya fouling atau penyumbatan pada membran akan

mempengaruhi usia membran dan menurunkan kinerja membran yang disebabkan oleh interaksi fisik dan kimia antara membran dengan komponen yang terkandung dalam aliran proses filtrasi. Salah satu cara untuk meningkatkan kinerja membran adalah dengan menambahkan bahan tambahan atau pengisi pada saat proses pembuatan membran. Salah satu bahan yang dapat ditambahkan pada membran polisulfon yaitu dengan penambahan titanium dioksida (TiO2), nanosilver, Fe3O4

Asmara Satria Akbar dkk (2013) telah membuat membran hibrid polisulfon dengan menambahkan lempung alam Desa Palas Kecamatan Rumbai Pekanbaru sebagai porogen pengganti polietilen glikol. Hasil dari penelitian ini menunjukkan , lempung, zeolit, bentonit dan berbagai adsorben alami lainnya.


(25)

bahwa pori membran polisulfon dan karakteristik permeasi berubah dengan penambahan lempung dan PEG.

Aplikasi penggunaan membran paling banyak dimanfaatkan untuk degradasi warna pada limbah industri pakaian, dan penyaringan air gambut. Zahrol Athiyah (2012) telah melakukan studi kinerja membran polisulfon dengan pendoping TiO2

untuk filtrasi air tercemar. Dengan penambahan TiO2

Ni Nyoman Rupiasih dkk telah melakukan studi mengenai pengaruh ketebalan membran terhadap penyaringan air tercemar yang mengandung asam humat (polutan organik). Semakin tebal membran maka ukuran pori yang terbentuk semakin kecil dan semakin sedikit. Ketebalan membran juga akan mempengaruhi fluks dan koefisien rejeksi pada larutan asam humat. Semakin tebal membran, nilai fluks/permeabilitas menurun namun koefisien rejeksi semakin meningkat.

mampu meningkatkan kinerja membran dan menurunkan kadar logam berat yang terdapat di dalam air tercemar.

Bentonit alam merupakan mineral lempung yang mampu menyerap air dan mengembang sehingga menjadikan bentonit memiliki banyak kegunaan. Salah satu sifat bentonit yang sangat berguna di bidang industri dan dapat diterapkan dalam aplikasi teknologi membran yaitu pertukaran ion. Sifat ini menentukan jumlah air yang dapat diserap bentonit. Hal ini disebabkan karena struktur kisi-kisi kristal mineral bentonit serta adanya unsur kation yang mudah tertukar maupun menarik air (Hidayat,Taufik.2013).

Pada tahun terakhir ini, bentonit banyak dimanfaatkan untuk mengontrol pencemaran air yang diakibatkan oleh polutan organik maupun anorganik yang diakibatkan oleh limbah industri maupun air gambut yang terdapat di sebagian besar daerah Sumatera. Kandungan humic acid (asam humat) atau bahan-bahan organik

yang terdapat dalam air tanah, air gambut, dan air laut merupakan salah satu penyebab munculnya fouling pada membran mikrofiltrasi. Oleh karena itu diperlukan metode

untuk mengatasi fouling yang terjadi pada saat proses filtrasi membran dengan


(26)

mengadsorbsi, karena ukuran partikel koloidnya sangat kecil dan memiliki kapasitas permukaan yang tinggi (Suharto,1997).

Pengolahan air gambut dengan bentonit telah dilakukan oleh Yusnimar dkk (2010). Pada penelitian ini, Yusnimar melakukan pengolahan air Sungai Siak dengan gabungan metode adsorpsi, koagulasi-sedimentasi dan filtrasi. Pada proses adsorbsi menggunakan bentonit sebagai adsorben. Penggunaan bentonit diawal proses pengolahan air Sungai Siak mampu mengurangi warna dan bau air gambut.

Pada penelitian ini akan dilakukan preparasi dan karakterisasi membran polisulfon dengan menambahkan pengisi mikrobentonit untuk penyaringan air gambut untuk mengurangi kekeruhan, pH, jumlah zat padat tersuspensi (TSS) dan jumlah zat padat terlarut (TDS). Hasil yang diperoleh akan dibandingkan dengan standar yang ditetapkan PERMENKES RI No.416/MENKES/PER/IX/1990 lampiran II tentang persyaratan kualitas air bersih.

Oleh karena itu, penelitian ini akan dikerjakan untuk melihat pengaruh penambahan bentonit alam sebagai bahan pengisi membran polisulfon terhadap kinerja dan fluks membran polisulfon.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis merumuskan permasalahan yang akan diteliti, yaitu :

a. Apakah bentonit alam dapat digunakan sebagai bahan pengisi pada membran polisulfon?

b. Bagaimana sifat permeabilitas, analisa gugus fungsi dan morfologi permukaan membran polisulfon dengan pengisi mikrobentonit alam dalam pemurnian air gambut?

c. Apakah kadar pH, kekeruhan, TSS dan TDS air gambut sebelum dan setelah penyaringan dengan membran polisulfon dengan pengisi mikrobentonit sesuai dengan PERMENKES RI No.416/MENKES/PER/IX/1990 lampiran II tentang persyaratan kualitas air bersih.


(27)

1.3 Pembatasan Masalah

Agar penelitian menjadi lebih tepat sasaran, maka pada penelitian ini dibatasi pada: a. Mikrobentonit yang digunakan yaitu bentonit alam dari Kabupaten Bener

Meriah, Aceh yang telah diaktivasi.

b. Metode penyaringan membran polisulfon dengan pengisi mikrobentonit yaitu menggunakan teknik inversi fasa prestipitasi terendam.

c. Parameter air gambut yang dianalisis yaitu kekeruhan, pH, TSS dan TDS.

1.4Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini, yaitu :

a. Mengetahui pembuatan membran polisulfon dengan bahan pengisi mikrobentonit alam.

b. Mengetahui permeabilitas, analisa gugus fungsi dan morfologi permukaan membran polisulfon dengan pengisi mikrobentonit alam terhadap air gambut. c. Mengevaluasi hasil penyaringan air gambut dengan membran

polisulfon-bentonit berdasarkan PERMENKES RI No.416/MENKES/PER/IX/1990 lampiran II tentang persyaratan kualitas air bersih.

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dalam pembuatan membran polisulfon dengan pengisi mikrobentonit dan aplikasinya untuk pemurnian air gambut secara inversi fasa prestipitasi terendam, serta pengaruhnya terhadap permeabilitas membran polisulfon-mikrobentonit.

1.6 Metodologi Penelitian

Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorium, dimana pada penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan yaitu :


(28)

1. Persiapan mikrobentonit teraktivasi.

Bentonit alam diaktivasi menggunakan larutan asam H2SO4

2. Karakterisasi mikrobentonit.

dan diharapkan dapat meningkatkan sifat kristalin mikrobentonit.

Pada tahapan ini mikrobentonit dikarakterisasi dengan X-Ray Diffraction

(XRD) sebelum dan sesudah aktivasi.

3. Pembuatan membran polisulfon dengan bahan pengisi mikrobentonit.

Pada tahapan ini, membran polisulfon-mikrobentonit dibuat dengan metode inversi fasa prestipitasi terendam. Polisulfon 15% (w/w) dilarutkan ke dalam

dimetil asetamida (DMAc) dengan variasi penambahan mikrobentonit 0%, 5%, 10%, 15%, dan 20% terhadap berat polisulfon. Larutan dope diaduk dengan

menggunakan pengaduk magnet hingga homogen dan dicetak di atas plat kaca sekitar 7 menit dan direndam ke dalam bak koagulasi air selama 10 menit hingga membran lepas dengan sendirinya.

4. Uji permeabilitas membran polisulfon-mikrobentonit

Membran yang telah dicetak dengan berbagai variasi diuji permeabilitasnya dengan melewatkan air gambut pada sel membran pada tekanan 2 bar sehingga didapatkan waktu alir dan nilai fluks masing-masing membran.

5. Karakterisasi membran polisulfon-mikrobentonit

Karakterisasi meliputi analisis gugus fungsi membran dengan Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR), morfologi permukaan dan pori

membran dengan Scanning Electron Microscopy (SEM).

6. Analisis parameter sampel air gambut

Air gambut sebelum dan sesudah penyaringan dengan membran polisulfon-mikrobentonit dianalisa kadar kekeruhan, derajat keasaman (pH), jumlah zat padat tersuspensi (TSS) dan jumlah zat padat terlarut (TDS) dan dibandingkan dengan PERMENKES RI No.416/MENKES/PER/IX/1990 lampiran II tentang persyaratan kualitas air bersih.


(29)

1.7 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Fisika, Laboratorium Terpadu Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara Medan, Laboratorium Kimia Dasar Pendidikan Teknologi Kimia Industri Medan dan Laboratorium Kimia Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Riau, Pekanbaru.


(30)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teknologi Membran

Membran merupakan suatu lapisan tipis antara dua fasa fluida yaitu fasa umpan (feed)

dan fasa permeat yang bersifat sebagai penghalang (barrier) terhadap suatu spesi

tertentu, yang dapat memisahkan zat dengan ukuran yang berbeda serta membatasi transpor dari berbagai spesi berdasarkan sifat fisik dan kimianya. Membran bersifat semipermeabel, berarti membran dapat menahan spesi-spesi tertentu yang lebih besar dari ukuran pori membran dan melewatkan spesi-spesi lain dengan ukuran lebih kecil. Sifat selektif dari membran ini dapat digunakan dalam proses pemisahan.

Proses pemisahan dengan membran mempunyai kemampuan memindahkan salah satu komponen berdasarkan sifat fisik dan kimia dari membran serta komponen yang dipisahkan. Perpindahan yang terjadi karena adanya gaya dorong (driving force)

dalam umpan yang berupa beda tekanan (P), beda konsentrasi (C), beda potensial listrik (E) dan beda temperatur (T) serta selektifitas membran yang dinyatakan dengan rejeksi. Pada gambar 2.1 memperlihatkan skema proses pemisahan dengan membran (Mulder,1991).

Gambar 2.1 Skema pemisahan dengan menggunakan membran

fasa 1 membran fasa 2

umpan permeat

driving force


(31)

Membran dapat dibuat dari bahan alami dan bahan sintetis, dimana bahan alami adalah bahan yang berasal dari alam seperti dari pulp, kapas sedangkan bahan sintetis dibuat dari bahan kimia seperti polimer. Membran juga dapat dibuat dari polimer alam (organik) dan polimer anorganik.

Membran berfungsi memisahkan material berdasarkan ukuran dan bentuk molekul, menahan komponen dari umpan yang mempunyai ukuran lebih besar dari pori-pori membran dan melewatkan komponen yang mempunyai ukuran yang lebih kecil. Filtrasi dengan menggunakan membran berfungsi sebagai sarana pemisahan dan juga sebagai pemekatan dan pemurnian dari suatu larutan yang dilewatkan pada membran tersebut.

Teknologi membran mempunyai beberapa keunggulan yaitu proses pemisahannya berlangsung pada suhu kamar, dapat dilakukan secara kontiniu, sifat yg bervariasi, dapat diatur sesuai dengan kebutuhan. Proses pemisahan dengan membran menggunakan gaya dorong berupa beda kuat tekan, medan listrik dan beda konsentrasi dan dapat dikelompokkan menjadi mikromembran, ultramembran, nanomembran dan reverse osmosis. Selain memiliki sifat yang unggul, teknologi

membran juga mempunyai kelemahan yaitu pada fluks dan selektifitas. Pada proses membran terjadi perbedaan yang berbanding terbalik antara fluks dan selektifitas. Semakin tinggi fluks berakibat menurunnya selektifitas pada membran. Sedangkan yang paling diharapkan pada membran adalah mempertinggi fluks dan selektifitas dari kinerja membran tersebut(Agustina, Siti dkk, 2008).

2.1.1 Klasifikasi Membran

Membran dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kelompok berdasarkan bahan yang digunakan, yaitu :

a. Membran Polimer

Pada dasarnya semua polimer dapat digunakan sebagai penghalang (barrier)

atau material membran namun sifat fisika dan sifat kimianya sangat berbeda dikarenakan hanya polimer tertentu yang dapat digunakan dalam percobaan.


(32)

Membran polimer diklasifikasikan menjadi membran berpori dan membran tidak berpori. Membran berpori diaplikasikan pada mikrofiltrasi dan ultrafiltrasi, sedangkan membran nonpori diaplikasikan pada pemisahan gas dan pervaporation. Faktor utama untuk penentuan pemisahan material pada membran berpori adalah ukuran pori dan distribusi ukuran pori serta stabilitas kimia dan termal pada membran. Sedangkan pada membran nonpori yang digunakan untuk pemisahan gas/pervaporasi ditentukan oleh performansi membran yaitu pada selektifitas dan fluks. Pada umumnya menggunakan membran asimetrik.

b. Membran Anorganik

Pada membran anorganik stabilitas kimia dan termalnya berhubungan dengan material polimer. Pembagian tipe membran anorganik dibedakan menjadi 3, yaitu :

1. Membran keramik 2. Membran gelas 3. Membran metalik

Membran keramik dibentuk dengan perpaduan sebuah logam dengan non logam sehingga membentuk oksida, nitrida, atau karbida. Membran gelas (silika, SiO2

c. Membran Biologi

) menggunakan teknik demixed glasses. Sedangkan membran metalik ditentukan

dengan sintering bubuk logam, namun penjelasan mengenai membran ini masih terbatas.

Struktur dan fungsi dari membran biologi sangat berbeda dengan membran sintetik. Membran biologi atau membran sel mempunyai struktur yang sangat kompleks. Karakteristik beberapa membran sel mengandung struktur lipid bilayer.

Jenis-jenis membran dan strukturnya dapat dilihat pada Gambar 2.2. Berdasarkan strukturnya, membran dibagi menjadi dua jenis yaitu membran simetris


(33)

dan asimetris. Membran simetris tersusun atas satu macam lapisan (homogen) dengan ketebalan 10-200 μm. Membran jenis ini dapat menahan hampir semua partikel umpan dalam pori-porinya sehingga dapat tersumbat dan menurunkan permeabilitas dengan cepat. Membran asimetris terdiri dari lapisan tipis yang aktif dan beberapa lapisan pendukung yang berpori di bawahnya (heterogen). Ukuran dan kerapatan porinya tidak sama dari bagian atas ke bagian bawah. Ketebalan lapisan tipisnya adalah 0,1-0,5 μm dan lapisan pendukungnya 50-150 μm.

Gambar 2.2 Membran berdasarkan strukturnya

Berdasarkan prinsip pemisahannya, membran digolongkan kepada tiga kelompok, yaitu :

a. Membran berpori (porous membrane)

Membran ini digunakan untuk pemisahan partikel besar hingga makromolekul (mikrofiltrasi dan ultrafiltrasi). Ukuran pori akan menentukan sifat pemisahannya, dimana selektifitas yang tinggi dapat diperoleh jika ukuran pori lebih kecil daripada ukuran partikel yang akan dipisahkan

Membran simetris

(a) Berpori (b) Tak-berpori Membran asimetris

(c) Berpori (d) Lapisan atas tak-berpori ()()()()()()()()()()()()()()()()()()()()()() ()()()()()()()()()()()()()()()()()()()()()() ()()()()()()()()()()()()()()()()()()()()()() ()()()()()()()()()()()()()()()()() xxxxxxxxxxxxxxxxxxxx xxxxxxxxxxxxxxxxxxxx xxxxxxxxxxxxxxxxxxxx xxxxxxxxxxxxxxxxxxx xxxxxxxxxxxxxxxxxxx xxxxxxxxxxxxxxxxxxx


(34)

b. Membran tidak berpori (dense membrane)

Membran ini digunakan dalam pemisahan gas dan pervaporasi yang mampu memisahkan campuran senyawa yang memiliki berat molekul relatif sama, misalnya dalam proses pemisahan gas yang dapat memisahkan campuran H2/N2, O2/N2, CO2/N2.

c. Membran cair

Selektifitas pada membran ini terjadi akibat perbedaan kelarutan (solubility) atau difusifitas.

Pada membran ini proses transpor tidak dipengaruhi oleh membran atau material membran, melainkan oleh molekul pembawa (carrier) yang sangat

spesifik. Pembawa yang mengandung membran berada di dalam pori membran. Selektifitas membran bergantung kepada kekhususan molekul pembawa yang digunakan.

Berdasarkan gradien tekanan sebagai daya dorong dan permeabilitasnya, membran dibagi menjadi:

a. Mikrofiltrasi (MF)

Membran ini beroperasi dengan tekanan sekitar 0,1 – 2 bar dan permeabilitasnya lebih besar dari 50 L/m2

b. Ultrafiltrasi (UF)

.jam.bar

Membran ini beroperasi dengan tekanan berkisar 1-5 bar dan permeabilitasnya 10 – 50 L/m2

c. Nanofiltrasi

.jam.bar

Membran ini beroperasi dengan tekanan berkisar 5 – 20 bar dan permeabilitasnya mencapai 1,4 – 12 L/m2

d. Reserve Osmosis (RO)

.jam.bar

Membran ini beroperasi dengan tekanan berkisar 10 – 100 bar dan permeabilitasnya mencapai 0,005 – 1,4 L/m2.jam.bar


(35)

2.1.2 Karakterisasi Membran Mikrofiltrasi

Mikrofiltrasi merupakan pemisahan partikel berukuran mikron atau submikron yaitu berkisar diantara 0,1 – 10 μm. Ada beberapa metoda yang digunakan dalam karakterisasi membran mikrofiltrasi, yaitu :

a. Scanning Electron Microscopy (SEM)

SEM merupakan salah satu teknik yang digunakan pada karakterisasi membran yang berfungsi untuk mengamati struktur pori. SEM dapat mengamati semua bentuk struktur membran mikrofiltrasi, diantaranya struktur permukaan membran, dan penampang lintang membran.

b. Metoda permeabilitas

Membran yang bagus adalah membran yang mempunyai permeabilitas dan selektifitas yang tinggi. Permeabilitas membran diukur dengan menentukan koefisien rejeksinya, yaitu kemampuan membran untuk menahan partikel terlarut, sedangkan pelarutnya melewati membran. Karakterisasi ini diperlukan untuk mengetahui kekuatan membran terhadap gaya luar yang dapat merusak membran.

c. Metoda bubble-point

Metoda bubble point merupakan salah satu metoda karakterisasi membran

mikrofiltrasi untuk melihat ukuran pori maksimum pada suatu membran. Diperlukan suatu peralatan bubble point test dengan menggunakan tekanan

untuk meniup udara yang melewati membran cair. d. Metoda mercury intrusion

Metoda mercury intrusion merupakan variasi dari metoda bubble point. Pada

metoda ini, merkuri didorong ke dalam membran kering dengan volume yang disesuaikan dengan tekanan yang digunakan.

2.1.3 Teknik Pembuatan Membran

Teknik pembuatan membran yang penting diantaranya adalah sintering, stretching, track-etching, solution coating, inversi fasa, proses sol-gel, dan vapour deposition


(36)

(Mulder,1991). Sebagian besar membran yang diproduksi saat ini dibuat dengan metode inversi fasa melalui teknik presipitasi terendam. Membran inversi fasa dapat dibuat dari berbagai macam polimer dengan syarat polimer yang digunakan harus larut pada pelarut yang sesuai atau campuran pelarut. Secara umum membran dapat dibuat menjadi dua konfigurasi yaitu datar (lembaran) atau pipa (turbular). Tahapan dasar pembuatan membran dengan teknik inversi fasa (presipitasi terendam) (Roilbilad’s 2010) yaitu :

a. Pembuatan larutan polimer

b. Proses casting (penebaran diatas permukaan) membentuk lapisan

tipis(100-200 μm)

c. Perendaman di non pelarut di bak koagulasi d. Perlakuan akhir

Inversi fasa adalah suatu proses dimana polimer ditransformasi dari fasa cair ke fasa padat melalui mekanisme pengontrolan tertentu. Proses perubahan fasa ini sangat sering diawali dengan transisi fasa cairan pembentuk membran dari satu fasa cairan menjadi dua fasa cairan (liquid-liquid demixing). Pada tahap tertentu selama

proses demixing, salah satu fasa cairan mengalami pembekuan sehingga fasa padat

terbentuk. Dengan mengendalikan tahap awal perubahan fasa, maka morfologi membran dapat dikendalikan.

Kebanyakan membran yang diproduksi dengan presipitasi terendam. Larutan polimer (dope) disebar pada media pencetakan kemudian direndam di bak koagulasi

yang berisi non-pelarut. Presipitasi terjadi karena pertukaran pelarut dan non-pelarut. Struktur membran yang dihasilkan merupakan akibat dari kombinasi perpindahan masa dan pemisahan fasa.

2.1.4 Kinerja Membran

Kemampuan membran dalam menyaring suatu zat atau molekul diketahui dari permeabilitas dan selektifitas membran. Efisiensi membran diketahui melalui permeabilitas, sedangkan kemampuan pemisahan diketahui melalui selektifitas.


(37)

2.1.4.1 Permeabilitas

Permeabilitas merupakan kecepatan permeasi diartikan sebagai volume yang melewati membran persatuan luas dalam satuan waktu tertentu dengan gaya penggerak berupa tekanan. Permeabilitas membran dilihat dari fluks. Fluks adalah kecepatan aliran melewati membran dihitung dengan persamaan (1):

(1)

Dalam hal ini: J adalah fluks cairan, V adalah volume permeat, t adalah waktu

permeat dan A adalah luas permukaan membran.

Grafik fluks terhadap tekanan akan menghasilkan garis lurus dan kemiringan (slope) merupakan konstanta permeabilitas sesuai dengan persamaan (2).

J= Lp.

L

∆P (2)

p merupakan permeabilitas air dan ∆P merupakan perubahan tekanan.

2.1.4.2 Selektifitas

Selektifitas menggambarkan kemampuan membran memisahkan satu jenis spesi dari yang lain. Selektifitas dinyatakan oleh 2 parameter, yaitu tolakan (R) dan faktor

pemisahan (α). Parameter tolakan berlaku pada sistem pemisahan padat-cair, sedangkan faktor pemisahan ditentukan pada sistem pemisahan gas-gas dan cair-cair. Penentuan tolakan ditentukan oleh persamaan (3).

(3)

Dalam hal ini, Cp adalah konsentrasi zat terlarut di dalam permeat dan Cb adalah rata-rata konsentrasi zat terlarut di dalam umpan (feed) dan retentat.


(38)

Ukuran pori juga berperan dalam menentukan selektifitas membran. Membran yang memiliki ukuran pori kecil akan memberikan tolakan yang lebih besar daripada membran yang mempunyai ukuran pori lebih besar (Mulder, 1991).

Wenten (1999) menyatakan bahwa terdapat empat jenis desain membran yaitu

dead-end, cross-flow, hybrid dead-end crossflow dan cascade. Sistem dead-end arah

aliran tegak lurus terhadap membran, mempunyai kelemahan yaitu cenderung mengakibatkan fouling yang sangat tinggi karena terbentuknya cake di permukaan

membran pada sisi umpan. Sedangkan pada sistem crossflow, umpan dialirkan arah

sejajar dengan permukaan membran. Akibatnya pembentukan cake terjadi sangat

lambat karena tersapu oleh gaya geser yang disebabkan oleh aliran crossflow umpan.

Umpan

Umpan Rentetat Rentetat

Permeat Permeat

(a) (b)

Gambar 2.3 Perbandingan sistem desain operasi (a) dead-end, (b) crossflow

2.2 Polisulfon Sebagai Material Membran

Polisulfon adalah salah satu polimer dengan berat molekul besar yang mengandung gugus sulfonat dan inti aromatik dalam rantai polimer utama. Sifat polimer ini adalah keras, rigid dan memiliki sifat termoplastik dengan suhu transisi gelas 180-250o

Polisulfon merupakan polimer yang mengandung sulfur yang dihasilkan dari sintesa substitusi aromatik nukleofilik antara aromatik halida dengan garam bisfenol. Polimer ini bersifat hidrofobik karena mempunyai gugus aromatik pada struktur


(39)

kimianya dan memiliki kelarutan yang rendah dalam larutan alifatik rendah namun masih bisa larut dalam beberapa pelarut polar (Kesting,1993).

Gambar 2.4 Struktur molekul polisulfon

Salah satu sifat polisulfon sehingga dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan membran adalah sifatnya yang stabil, tahan terhadap perubahan pH karena mempunyai rentang pH yang lebar (1-13), tidak meregang meskipun pada suhu yang tinggi dan sifat fleksibilitas dan kekuatan yang tinggi.

Unit pengulangan polimer ini adalah difenil sulfon. Gugus –SO2 dalam

polimer polisulfon cukup stabil yang disebabkan oleh gaya tarik elektronik teresonansi antar gugus-gugus aromatik. Molekul-molekul oksigen dengan 2 pasang elektron tak berpasangan didonorkan untuk membentuk ikatan hidrogen yang kuat dengan pelarut (wenten,1999).

2.3 N,N-Dimetilasetamida (DMAc)

N,N-Dimetilasetamida (DMAc) merupakan pelarut organik dengan rumus kimia CH3C(O)N(CH3)2. DMAc adalah pelarut yang tidak mudah menguap dan mempunyai

titik didih 166oC, bersifat racun dan dapat menimbulkan iritasi pada kulit dan mata. Pelarut memiliki massa jenis 0,94 gr/cm3 dan merupakan pelarut yang baik untuk polimer polisulfon.


(40)

Gambar 2.5 Struktur N,N-Dimetilasetamida

2.4 Bentonit

Bentonit adalah salah satu lempung yang banyak terdapat di wilayah Indonesia dengan kemampuan daya koloid yang kuat dan bila bercampur dengan air maka dapat mengembang. Bentonit merupakan salah satu jenis lempung yang mempunyai kandungan utama mineral smektit (montmorillonit) dengan kadar 85 – 95%, bersifat plastis dan koloidal tinggi. Bentonit mengandung monmorilonit dengan rumus kimia Al2O3.4SiO2 + xH2

Secara geologi bentonit terjadi karena hasil dari pelapukan, hidrotermal, akibat transformasi dan sedimentasi. Bentonit memiliki komposisi kalsium oksida (CaO) sebanyak 0.23%, magnesium oksida (MgO) sebanyak 0.98%, aluminium oksida (Al

O. Berdasarkan sifat fisiknya bentonit dibedakan atas Na-Bentonit dan Ca-Bentonit.

2O3) sebanyak 13.45%, ferri oksida (Fe2O3) sebanyak 2.18%, silika (SiO2)

sebanyak 74.9%, kalium oksida (K2O) sebanyak 1.72% dan air sebanyak 4%.


(41)

Struktur monmorillonit memiliki konfigurasi 2:1 yang terdiri dari dua silikon oksida tetrahedral dan satu alumunium oksida tetrahedral. Pada tetrahedral, empat atom oksigen berikatan dengan atom silikon di ujung struktur. Sedangkan pada oktahedral atom alumunium berikatan dengan enam atom oksigen pada ujung struktur (Soedjoko, 1987).

Mineral-mineral bentonit umumnya berupa butiran sangat halus yang mempunyai struktur kristal berlapis dan berpori. Mineral tersebut mempunyai kemampuan mengembang (swellability) karena ruang antar lapis yang dimilikinya,

dan dapat mengakomodasi ion-ion atau molekul terhidrat dengan ukuran tertentu. Potensi mengembang-mengerut dan adanya muatan negatif yang tinggi merupakan penyebab mineral ini dapat menerima dan menyerap ion-ion logam dan kation-kation organik menghasilkan senyawa komplek berupa organo-mineral. Kation organik diyakini mampu menggantikan kation-kation anorganik pada posisi antar lapis (Tan, 1993).

Berdasarkan tipenya, bentonit dikelompokkan menjadi dua, yaitu : a. Na-Bentonit

Na bentonit memiliki daya mengembang hingga delapan kali apabila dicelupkan ke dalam air dan tetap terdispersi beberapa waktu di dalam air. Dalam keadaan kering berwarna putih dan dalam keadaan basah berwarna coklat dan akan mengkilap apabila terkena sinar matahari. Suspensi koloidal mempunyai pH 8,5 sampai dengan 9,8.

Na bentonit digunakan sebagai bahan perekat, pengisi, lampu bor sesuai dengan sifatnya yang mampu membentuk suspensi kental setelah bercampur dengan air.

b. Ca-Bentonit

Bentonit ini kurang mengembang apabila dicelupkan ke dalam air, namun secara alami setelah diaktifkan mempunyai sifat menghisap yang baik. Dalam keadaan kering berwarna abu-abu, biru, kuning, merah, coklat. Suspensi koloidal mempunyai pH 4 sampai 7.


(42)

Ca bentonit banyak digunakan untuk sebagai bahan lampu bor setelah melalui pertukaran ion sehingga terjadi perubahan menjadi Na-bentonit dan diharapkan menjadi peningkatan sifat reologi dari suspensi mineral tersebut.

Secara umum menurut Minto Supeno (2009) proses terjadinya bentonit di alam ada 4, yaitu :

a. Terjadi karena proses pelapukan batuan

Pembentukan bentonit sebagai hasil pelapukan batuan dapat disebabkan oleh adanya reaksi antara ion-ion hidogen yang terdapat di dalam air dan di dalam tanah dengan persenyawaan silikat dalam batuan. Mineral utama dalam pembentukan bentonit adalah plagioklas, kalium-feldspar, biotit, muskovit dan senyawa alumina dan ferromagnesian.

b. Terjadi karena proses hidrotermal alam

Dengan adanya unsur logam alkali dan alkali tanah, mineralmika, ferromagnesian, feldspar, dan plagioklas pada umumnya akan membentuk monmorilonit. Proses hidrotermal mempengaruhi alterasi yang sangat lemah sehingga mineral-mineral yang kaya magnesium cenderung membentuk mineral klorit.

c. Terjadi karena proses transformasi

Pada daerah danau, lautan, dan cekungan sedimentasi terjadi proses transformasi (pengubahan) abu vulkanis yang mempunyai komposisi gelas yang akan menjadi mineral lempung. Pada daerah gunung merapi akan terjadi transformasi apabila debu gunung merapi diendapkan dalam cekungan seperti danau dan air.

d. Terjadi karena proses pengendapan batuan

Secara kimiawi terjadi sebagai endapan sedimen dalam suasana basa (alkali) dan terbentuk pada cekungan sedimen yang bersifat basa. Unsur pembentuknya yaitu karbonat, silika, fosfat, dan unsur lainnya yang bersenyawa dengan unsur aluminium dan magnesium.


(43)

2.4.1 Sifat-sifat Fisis Bentonit

Bentonit memiliki beberapa sifat fisis, diantaranya :

a. Kapasitas pertukaran kation/cation exchange capacity

Sifat ini menentukan jumlah kadar air yang diserap oleh bentonit di dalam kesetimbangan reaksi kimia. Struktur kisi-kisi montmorilonit ion dan kation mudah tertukar dan menarik air menyebabkan bentonit segar mengembang bila dimasukkan ke dalam air, semakin tinggi harga serapan maka mutu semakin baik.

b. Daya serap

Adanya ruang pori antar ikatan mineral lempung serta ketidaksetimbangan muatan listrik dalam ion-ionnya maka bentonit dapat digunakan sebagai galian penyerap pada berbagai keperluan. Daya serap bentonit dapat ditingkatkan dengan menambahkan larutan asam atau disebut dengan aktivasi.

c. Luas permukaan

Makin luas bentonit makin besar zat yang melekat, maka bentonit dapat dipakai sebagai galian pembawa dalam insektisida, pengisi kertas, plastik. Luas permukaan biasanya dinyatakan sebagai galian jumlah luas permukaan kristal/butir bentonit yang berbentuk tepung setiap gram berat (m2

d. Reologi

/gr).

Bentonit apabila dicampurkan dengan air dan dikocok maka akan menjadi agar-agar, namun apabila didiamkan akan mengeras seperti semen. Apabila kekentalan dan daya suspensinya baik maka bentonit ini baik untuk lumpur pemboran, industri cat, kertas.

e. Sifat mengikat dan melapisi

Kemampuan bentonit mengikat bijih/logam dan melapisi, membuat bentonit dapat digunakan untuk pengikat pelet konsentrat/bijih dan perekat cetakan logam.

f. Sifat plastis


(44)

Dari sifat-sifat fisis dan kimia dari bentonit merupakan bagian yang penting pada setiap karakterisasi lempung baik sebagai katalis, pendukung katalis, maupun adsorben.

2.4.2 Bentonit Kabupaten Bener Meriah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Kabupaten Bener Meriah merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Aceh Tengah. Topografi alam Kabupaten Bener Meriah bercorak pergunungan dan perbukitan serta sedikit lembah. Secara geografis, Kabupaten Bener Meriah terletak pada 4o33’50’’ – 4o54’50’’ LU dan 96o40’75’’ – 97o

Berdasarkan hasil inventarisasi dan evaluasi Pusat Sumber Daya Geologi, Badan Geologi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (2010), geologi yang teramati di Kabupaten Bener Meriah teramati 8 formasi dari 28 formasi dan terdapat 23 lokasi bahan galian non logam berupa : andesit, bentonit, batu gamping, feldspar, granit, diorit, lempung, magnesit, batu mulia nephrit, serpentinit, sirtu dan tras. Bahan galian yang disarankan untuk dikembangkan di Kabupaten Bener Meriah adalah andesit, bentonit, feldspar, granit, lempung, pasir kuarsa, sirtu dan tras.

17’50’’ BT serta berada pada ketinggian 100-2.500 m dpl.

2.5 Karakterisasi

2.5.1X-Ray Diffraction (XRD)

Difraksi sinar-X adalah metode analisis yang didasarkan pada interaksi antara materi dengan radiasi sinar elektromagnetik sinar-X (Dann, 2000). Difraksi sinar-X merupakan metode analisis utama dalam identifikasi zat atau material padatan. Hampir setiap kristal memiliki jarak antar atom atau jarak bidang kristal yang berukuran hampir sama dengan panjang gelombang (λ) sinar-X.

XRD merupakan metode yang digunakan untuk mengetahui struktur kristal, perubahan fasa dan derajat kristalinitas. Difraksi sinar-X oleh atom-atom yang


(45)

tersusun di dalam kristal menghasilkan pola yang berbeda bergantung kepada konfigurasi yang dibentuk oleh atom-atom dalam kristal.

Teknik ini dilakukan dengan menempatkan sampel materi yang ingin dipelajari pada wadah sampel. Radiasi sinar-X pada panjang gelombang tertentu ditembakkan pada sampel. Intensitas radiasi hasil difraksi dicatat oleh goniometer. Hasil analisis ditunjukkan dalam bentuk 2θ yang dapat dikonversikan ke satuan jarak d. Analisis difraktogram dilakukan untuk menentukan interatom spacing (d) melalui

pencocokan dengan database. Perubahan pada lebar puncak atau posisi puncak

menentukan ukuran, kemurnian serta tekstur kristal.

Pada difraksi sinar-Xcahaya yang dihamburkan jatuh pada bidang paralel dari

suatu sampel terlihat pada Gambar 2.7. Agar terjadi interferensi konstruktif antara sinar yang terhambur dan beda jarak lintasannya harus memenuhi pola nλ .

Gambar 2.7 Difraksi sinar-Xpada kristal

Metode XRD berdasarkan sifat difraksi sinar-X yaitu hamburan dengan panjang gelombang λ saat melewati kisi kristal dengan sudut θ melewati kisi kristal dengan jarak antar bidang kristal d berdasarkan Hukum Bragg.

2d sin θ = nλ (4)

Keterangan: n = suatu bilangan bulat (orde difraksi)


(46)

λ = panjang gelombang sinar-X

d = jarak kisi pada kristal dalam bidang

Identifikasi senyawa dapat dilakukan secara cepat dengan membandingkan atom intensitas spektrum sampel dengan intensitas standar, karena intensitas spektrum suatu senyawa sangat spesifik dan berbeda untuk setiap senyawa. Setiap jenis mineral memiliki susunan atom yang spesifik sehingga menghasilkan bidang atom karakteristik yang dapat memantulkan sinar-X. Sinar-X dapat dipantulkan oleh atom-atom yang tersusun dalam bidang kristal dan menghasilkan pola-pola khas dari setiap jenis mineral pada saat analisa. Montmorilonit (kering udara) dicirikan oleh puncak difraksi sinar-X tingkat pertama sebesar 12,3 Å yang bergeser ke 17,7 Å setelah contoh mengalami solvasi (Tan, 1998).

2.5.2 Scanning Electron Microscopy (SEM)

Scanning Electron Microscope (SEM) merupakan sebuah tipe mikroskop elektron

yang menggambarkan permukaan sampel melalui proses scan dengan menggunakan pancaran energi yang tinggi dari elektron dalam suatu pola scan raster.

SEM digunakan untuk mengamati morfologi suatu bahan dengan prinsip kerja sifat gelombang dari elektron yaitu difraksi pada sudut yang sangat kecil. Penggunakan SEM sebagai salah satu mikroskop elektron didasarkan pada fakta bahwa alat ini dapat digunakan untuk mengamati dan mengkarakterisasi bahan dengan skala mikrometer (μm) hingga nanometer (nm).

Dalam SEM lensa yang digunakan adalah suatu lensa elektromagnetik, yakni medan magnet dan medan listrik, yang dibuat sedemikian rupa sehingga elektron yang melewatinya dibelokkan seperti cahaya oleh lensa eletromagnetik tersebut. Sebagai pengganti sumber cahaya dipergunakan suatu pemicu elektron (electron gun), yang

berfungsi sebagai sumber elektron yang dapat menembaki elektron yang berenergi tinggi, biasanya antara 20 KeV-200KeV, terkadang sampai 1 MeV.


(47)

Analisa SEM pada membran yaitu untuk melihat morfologi permukaan membran, ukuran pori. Permukaan membran dan ukuran pori mempengaruhi kinerja membran dalam filtrasi suatu bahan.

2.5.3Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR)

Spektrofotmeter inframerah merupakan suatu metode yang dapat mengidentifikasi kandungan gugus fungsi suatu senyawa organik dan membandingkan dengan daerah sidik jarinya tetapi tidak dapat menentukan molekular unsur penyusunnya.

Karakterisasi menggunakan FTIR dapat dilakukan dengan menganalisis spektra yang dihasilkan sesuai dengan puncak-puncak yang dibentuk oleh suatu gugus fungsi. Spektrum inframerah senyawa organik bersifat khas, artinya senyawa yang berbeda akan mempunyai spektrum yang berbeda pula. Daerah inframerah terletak pada daerah spektrum 4000-200 cm-1

Sistem analisa spektroskopi infra merah telah memberikan keunggulan dalam mengkarakterisasi senyawa organik dan formulasi material polimer. Analisa infra merah akan menentukan gugus fungsi dari molekul yang memberikan regangan pada daerah serapan infra merah. Tahap awal identifikasi bahan polimer, maka harus diketahui pita serapan yang karakteristik untuk masing-masing polimer dengan membandingkan spektrum yang telah dikenal. Pita serapan yang khas ditunjukan oleh monomer penyusun material dan struktur molekulnya.

.

Analisis gugus fungsi suatu bahan polimer menggunakan metode Spektroskopi Infra merah Transformasi Fourier (FT-IR) dilakukan untuk mengetahui gugus fungsi yang terdapat dalam membran polisulfon.

2.6 Air Gambut

Air gambut merupakan air permukaan yang banyak terdapat di daerah lahan gambut atau dataran rendah terutama di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Air gambut memiliki karakteristik meliputi: intensitas warna tinggi (berwarna kuning kecoklatan),


(48)

kandungan zat organik tinggi, pH rendah, keruh, kandungan kation rendah (Kusnaedi, 2006).

Air gambut berdasarkan parameter baku mutu air tidak memenuhi persyaratan kualitas air bersih. Air gambut mengandung senyawa organik terlarut yang menyebabkan air menjadi warna coklat dan bersifat asam, sehingga perlu pengolahan khusus sebelum siap untuk dikonsumsi. Senyawa organik tersebut adalah asam humus yang terdiri dari asam humat, asam fulvat dan humin(Nainggolan, 2011).

Air gambut di Indonesia secara kuantitatif sangat potensial untuk dikelola sebagai sumber daya air yang dapat diolah menjadi air bersih atau air minum, karena menurut kajian Pusat Sumber Daya Geologi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral melaporkan bahwa lahan gambut di Indonesia tersebar ±50% berada di pulau Kalimantan, 40% di pulau Sumatera dan sisanya tersebar di Papua dan pulau-pulau lainnya.

Air gambut tidak memenuhi persyaratan air bersih karena memiliki karakteristik :

a. Berwarna kuning/merah kecoklatan.

b. Tingkat keasaman tinggi, sehingga kurang enak diminum. c. Zat organik tinggi sehingga menimbulkan bau.

Berdasarkan sifat-sifat air gambut tersebut diperlukan proses pengolahan air untuk mendapatkan kualitas air gambut menjadi air minum dan memenuhi standar baku mutu air bersih.

Berdasarkan sumber airnya, lahan gambut dibedakan menjadi dua yaitu (Trckova,2005) :

a. Bog

Bog merupakan jenis lahan gambut yang sumber airnya berasal dari air hujan dan air permukaan. Karena air hujan memiliki pH yang agak asam maka setelah bercampur dengan gambut akan bersifat asam dan warnanya coklat karena terdapat kandungan organik.


(49)

b. Fen

Merupakan lahan gambut yang sumber airnya berasal dari air tanah yang biasanya dikontaminasi oleh mineral sehingga pH air gambut memiliki pH netral dan basa.

2.6.1 Karakteristik Air Gambut

Air gambut adalah air permukaan yang banyak terdapat di daerah berawa maupun dataran rendah di Sumatera dan Kalimantan yang mempunyai cirri-ciri sebagai berikut :

a. Intensitas warna yang tinggi (berwarna merah kecoklatan) b. pH yang rendah

c. Kandungan zat organik yang tinggi

d. Kekeruhan dan kandungan partikel tersuspensi yang rendah e. Kandungan kation yang rendah

Air gambut berwarna coklat dan bersifat asam karena mengandung senyawa organik yaitu asam humus yang terdiri dari tiga fraksi utama, yaitu :

a. Asam humat

Asam humat atau humus merupakan hasil akhir dekomposisi bahan organik oleh organisme secara aerobik.

b. Asam fulvat

Asam fulvat merupakan senyawa asam organik alami yang berasal dari humus, larut dalam air, sering dijumpai dalam air permukaan dengan berat molekul yang rendah yaitu 1000-10.000. Warnanya bervariasi mulai dari kuning sampai kuning kecoklatan.

c. Humin

Kompleks humin dianggap sebagai molekul yang paling besar dari senyawa humus karena rentang berat molekulnya mencapai 100.000 hingga 10.000.000. Karakteristik humin adalah berwarna coklat gelap, tidak larut dalam asam dan basa, dan sangat resisten terhadap serangan mikroba.


(50)

2.6.2 Pengolahan Air Gambut

Menurut Nainggolan (2011) beberapa penelitian mengenai pengolahan air gambut telah pernah dipelajari sebelumnya, antara lain : Pengolahan air gambut dengan menggunakan protein biji kelor sebagai koagulan untuk penjernihan warna air gambut (Chaidir,Z et al.,1999), Pemisahan berbasis membran yang sering digunakan untuk pengolahan air gambut adalah membran reserve osmosis (RO). Pemanfaatan ini

merupakan teknologi baru dalam mengolah air gambut menjadi air minum. Salah satu keunggulan teknologi ini adalah kemurnian produk yang dihasilkan lebih baik dari proses konvensional.

Berdasarkan kandungan warna pada air gambut dan sifat-sifatnya, maka proses dan metode pengolahan yang diterapkan untuk mengolah jenis air berwarna alami adalah dengan proses oksidasi, proses adsorpsi, proses koagulasi-flokulasi dan proses elektrokoagulasi.

2.7 Uji Kualitas Air

Air yang berkualitas baik untuk air bersih maupun untuk air minum memiliki parameter fisika seperti kondisi air yang jernih atau tidak keruh, tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbau, tidak mengandung zat padat tersuspensi (TSS) dan zat padat terlarut (TDS).

2.7.1 Kekeruhan

Air dikatakan berlumpur ketika air tersebut mengandung banyak partikel yang tersuspensi sehingga memberikan warna yang berlumpur dan kotor. Kekeruhan pada air akan menimbulkan dampak kurang memuaskan dalam penggunaan air. Untuk menentukan kekeruhan dapat digunakan turbidimeter.

Turbidimeter adalah suatu alat analisis untuk mengetahui atau mengukur tingkat kekeruhan air. Turbidimeter memiliki sifat optik akibat dispersi sinar dan dapat dinyatakan sebagai perbandingan cahaya yang dipantulkan terhadap cahaya yang datang. Intensitas cahaya yang dipantulkan oleh suatu suspensi adalah fungsi


(51)

konsentrasi jika kondisi-kondisi lainnya konstan. Turbidimeter meliputi pengukuran cahaya yang diteruskan. Pada turbidimeter cahaya masuk melalui sampel, kemudian sebagian diserap dan sebagian diteruskan. Cahaya yang diserap itulah yang merupakan tingkat kekeruhan. Maka jika semakin banyak cahaya yang diserap maka semakin keruh cairan tersebut (Khopkar,1990) .

2.7.2 Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman menunjukkan kadar asam atau basa dalam suatu larutan melalui konsentrasi ion hidrogen (H+). Air dapat bersifat asam atau basa tergantung besar kecilnya pH air atau besarnya konsentrasi ion hidrogen di dalam air. Air normal yang memenuhi syarat untuk suatu kehidupan mempunyai pH berkisar antara 6,5-7,5. Air yang mempunyai pH lebih kecil dari pH normal akan bersifat asam, sedangkan air yang memiliki pH lebih besar dari pH normal akan bersifat basa. Mengingat nilai pH ditentukan oleh interaksi berbagai zat dalam air, termasuk zat-zat yang secara kimia dan biokimia tidak stabil, maka penentuan pH harus seketika setelah contoh diambil dan tidak diawetkan.

2.7.3 Zat Padat Tersuspensi (Total Suspended Solid=TSS)

dengan ukuran partikel maksimal 2 μm atau lebih besar dari ukuran partikel koloid. Jumlah zat padat atau residu terdiri dari bahan terlarut dan tersuspensi yang ada di air.

TSS juga berhubungan kuat dengan kekeruhan yang disebabkan oleh bahan-bahan yang melayang dalam kolom air. TSS menyebabkan kekeruhan pada air akibat padatan tidak terlarut dan tidak dapat langsung mengendap. Bahan tersebut dapat berupa partikel suspensi dari tanah liat, lumpur, bahan organik terurai, bakteri, plankton, dan organisme lainnya. Adanya zat padat di air menyebabkan kualitas air tidak baik, dapat menimbulkan berbagai reaksi dan mengganggu estetika. TSS umumnya dapat dihilangkan dengan flokulasi dan penyaringan.


(52)

2.7.4 Zat Padat Terlarut (Total Dissolved Solid=TDS)

Zat padat terlarut menyatakan jumlah bahan yang terlarut dalam suatu larutan yang dinyatakan dalam mg/L. Interaksi antara pelarut air dengan zat padat, zat cair dan gas sehingga menghasilkan bahan terlarut dalam bentuk zat organik ataupun zat anorganik. Mineral logam dan gas merupakan zat anorganik yang mungkin terlarut dalam air. Zat tersebut dapat berhubungan dengan air di atmosfer, permukaan ataupun di dalam tanah. Zat organik bisa berasal dari pembusukan tumbuh-tumbuhan, bahan organik dan gas organik.

Penentuan jumlah zat padat terlarut dapat dilakukan dengan menguapkan sampel air yang telah disaring untuk menghilangkan padatan tersuspensi. Residu yang tersisa ditimbang dan merupakan jumlah zat padat terlarut dalam air. Kadar zat padat terlarut yang tinggi menunjukkan adanya kandungan ion-ion seperti K+, Na+dan Cl

-Beberapa gangguan dalam analisis TDS harus dihindari agar data lebih akurat dan tepat. Air yang mengandung kadar mineral tinggi seperti kalsium, magnesium, klorida dan sulfat dapat bersifat higroskopis sehingga memerlukan pemanasan yang lama, pendinginan dalam desikator yang baik. Garam-garam yang telah mengendap akibat penguapan dalam oven, maka penimbangan zat padat harus dilakukan dengan cepat.

. Ion-ion ini hanya menimbulkan bahaya dalam waktu singkat. Selain itu, jumlah zat padat terlarut yang tinggi juga dapat disebabkan adanya logam berat dalam air yang berbahaya bagi kesehatan.


(53)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Alat dan Bahan

3.1.1 Alat-alat yang Digunakan

Sel berpengaduk, kertas Whatman 42, botol plastik, pH meter, hotplate, tabung gas,

neraca analitis, oven, ayakan 200 mesh, pengaduk magnetik, batang stainless steel,

kaca ukuran 25 x 30 cm, selotip tebal, bak koagulasi, regulator, tabung gas nitrogen, stopwatch, dan peralatan gelas yang umum digunakan di laboratorium.

3.1.2 Bahan-bahan yang Digunakan

Polisulfon, bentonit alam asal Kabupaten Bener Meriah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Dimetil Asetamida (DMAc) (E.Merck), air gambut, aseton (E.Merck) dan akuades.

3.2 Prosedur Kerja

3.2.1 Persiapan Mikrobentonit (Dewi dan Hidajati, 2012)

Sampel yang digunakan diperoleh dari Kabupaten Bener Meriah Nanggroe Aceh Darussalam. Bentonit dihancurkan dengan menggunakan alat Hummer Mill dan

diayak dengan ayakan 200 mesh. Sebanyak 100 gr bentonit direndam dalam 600 mL H2SO4 1,5 M dan diaduk dengan pengaduk magnet selama 6 jam. Suspensi yang

terbentuk didiamkan selama 24 jam dan disaring dengan alat vakum dan dicuci dengan akuades panas sampai bebas ion sulfat. Bentonit dikeringkan ke dalam oven pada suhu 105oC selama 3-4 jam kemudian diayak dengan ayakan 200 mesh. Mikrobentonit aktif diidentifikasi dengan X-Ray Diffraction (XRD) dan selanjutnya


(54)

3.2.2 Pembuatan Membran Polisulfon dengan Pengisi Mikrobentonit

Membran polisulfon-mikrobentonit dibuat secara inversi fasa perendaman yaitu Polisulfon 15% (w/w) dilarutkan dalam dimetil asetamida (DMAc), kemudian

dicampur dengan mikrobentonit aktif dengan perbandingan 0%, 5%, 10%, 15% dan 20% terhadap polisulfon dan biarkan selama 24 jam. Larutan ini kemudian diaduk dengan pengaduk magnet hingga homogen. Larutan ini disebut dengan larutan dope.

Sebelum proses pencetakan, larutan dope didiamkan 30 menit yang bertujuan untuk

menghilangkan gelembung udara yang terkandung di dalamnya. Larutan dope dituang

di atas plat kaca yang telah diolesi aseton lalu diratakan dengan batang stainless steel

hingga terbentuk lapisan tipis dan dibiarkan selama 7 menit. Lapisan tipis direndam di dalam bak koagulasi air selama 10 menit hingga membran terlepas. Membran dikarakterisasi dengan Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR), permukaan

dan pori membran dengan Scanning Electron Microscopy (SEM).

3.2.3 Uji Permeabilitas

Uji permeabilitas dilakukan dengan menggunakan sampel air gambut asal daerah Panam, Kota Pekanbaru. Membran polisulfon-mikrobentonit dipotong berbentuk lingkaran sesuai dengan ukuran sel membran dan diletakkan di dalam sel. Membran dikompaksi pada tekanan 2 bar untuk mendapatkan kondisi stabil. Pengambilan data dimulai pada tetesan pertama air melewati membran. Air yang melewati membran ditampung dengan gelas ukur hingga volume mencapai 5 mL. Waktu yang dibutuhkan air untuk melewati membran dari tetes pertama hingga mencapai volume tersebut dicatat sebagai waktu alir. Kecepatan alir air melewati membran tersebut dinyatakan sebagai fluks yang dihitung menggunakan persamaan (1).

3.2.4 Uji Selektifitas

Uji selektifitas dilakukan untuk mengetahui kinerja membran untuk memisahkan satu spesi dari spesi yang lain. Membran polisulfon-mikrobentonit dipotong berbentuk lingkaran sesuai dengan ukuran sel membran dan diletakkan di dalam sel. Sebelum


(55)

pengukuran selektifitas, terlebih dahulu membran dikompaksi pada tekanan 2 bar untuk mendapatkan keadaan stabil. Sampel air gambut diedarkan pada membran dengan tekanan 2 bar, dengan laju pengadukan 400 rpm pada temperatur kamar. Permeat yang melewati membran tersebut diambil sebanyak 5 mL.

3.2.5 Analisis Parameter Sampel Air Gambut 3.2.5.1 Analisis Kekeruhan

Alat turbidimeter dikalibrasi sesuai dengan petunjuk penggunaan alat. Pemeriksaan kekeruhan sampel menggunakan standar 100 NTU kemudian dikalibrasi dengan standar 100 NTU. Sampel air gambut dikocok terlebih dahulu dan dibiarkan hingga gelembung udara pada sampel hilang. Sampel air gambut dimasukkan kedalam tabung pada turbidimeter. Skala kekeruhan dibaca langsung dari alat dan catat nilai kekeruhan yang didapat.

3.2.5.2 Analisis Derajat Keasaman (pH)

Alat pHmeter dikalibrasi terlebih dahulu menggunakan larutan buffer standar dengan

pH 4,7 dan 9. Elektroda dibilas dengan akuades kemudian dikeringkan. Elektroda dicelupkan ke dalam sampel air gambut sehingga menunjukkan nilai yang stabil dan catat nilai pH yang teramati pada alat.

3.2.5.3 Analisis Jumlah Zat Padat Tersuspensi (TSS) (SNI 06-6989.3-2004)

Kertas whatman 42 dicuci dengan air suling sebanyak 20 ml dengan menggunakan vakum Buchner. Kertas whatman 42 kemudian dipanaskan dalam oven pada suhu 105 °C selama 1 jam dan didinginkan dalam desikator selama 15 menit, selanjutnya ditimbang dengan cepat sampai berat konstan. Sampel air gambut disaring dengan kertas whatman 42 dan filtrat ditampung dalam erlenmeyer. Residu yang didapat diatas kertas saring whatman 42 dipanaskan dalam oven pada suhu 105 °C selama 1 jam, kemudian didinginkan dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang dengan


(56)

cepat sampai berat konstan. Kandungan TSS air gambut ditentukan dengan persamaan :

Keterangan: a = berat kertas saring dan residu sesudah pemanasan (mg) b = berat kertas saring sesudah dipanaskan (mg)

c = volume sampel (ml)

3.2.5.4 Analisis Jumlah Zat Padat Terlarut (TDS) (SNI 06-6989.27-2005)

Pengukuran padatan terlarut total secara gravimetri. Sampel air gambut dimasukkan ke dalam alat penyaring yang telah dilengkapi dengan alat pompa penghisap dan kertas saring. Operasikan alat penyaringnya. Setelah sampel tersaring semuanya bilas kertas saring dengan air suling sebanyak 10 mL dan dilakukan dengan 3 kali pembilasan. Lanjutan penghisapan selama kira-kira 3 menit setelah penyaringan sempurna. Pindahkan seluruh hasil saringan ke dalam cawan yang telah mempunyai berat tetap. Uapkan hasil saringan hingga kering pada penangas air. Masukkan cawan yang berisi padatan terlarut yang sudah kering ke dalam oven pada suhu 180oC kurang lebih 1 jam. Dinginkan cawan ke dalam desikator, setelah dingin timbang dengan neraca analitik. Kandungan TDS air gambut ditentukan dengan persamaan :

Keterangan : a = berat cawan kosong setelah pemanasan 180o

b = berat cawan berisi padatan terlarut setelah pemanasan 180 C (gr)

o

c = volume sampel (ml)


(57)

3.3 Skema Kerja

3.3.1 Persiapan Mikrobentonit

Direndam dalam 600 mL H2SO4 1,5 M

Diaduk dengan pengaduk magnet selama 6 jam

Suspensi

Dikeringkan dalam oven suhu 105oC (3-4 jam) Bentonit aktif

100 bentonit 200 mesh

Disaring dengan penyaring vakum Dicuci dengan akuades panas Didiamkan selama 24 jam

Digerus dan diayak ukuran 200 mesh


(58)

3.3.2 Pembuatan Membran Polisulfon-Mikrobentonit

Dilarutkan dalam DMAc

Ditambahkan mikrobentonit 0%,5%,10%,15%,20%

Larutan dope

Diamkan selama 24 jam

Didiamkan selama 30 menit

Membran polisulfon-mikrobentonit Polisulfon 15% ( w/w )

Dituangkan diatas plat kaca

Diratakan dengan batang stainless steel

Lapisan dibiarkan selama 7 menit

Lapisan tipis direndam dalam air selama 10 menit Aduk selama 1 jam atau sampai homogen


(59)

3.3.3 Uji Permeabilitas

3.3.4 Uji Selektivitas

Ditempatkan pada sel membran Dilewatkan air gambut

Dikompaksi pada tekanan 2 bar

Waktu alir

Membran polisulfon-mikrobentonit

Permeat ditampung hingga volume 5 mL Dicatat waktu alir air dari tetes pertama hingga volume 5 mL

Ditempatkan pada sel membran Dilewatkan air gambut dengan laju pengadukan 400 rpm Dikompaksi pada tekanan 2 bar 10 mL Permeat

Membran polisulfon-mikrobentonit

Ditempatkan pada sel membran Dilewatkan air gambut dengan laju pengadukan 400 rpm Dikompaksi pada tekanan 2 bar Permeat


(60)

3.3.5 Analisis Parameter Sampel Air Gambut

Permeat


(61)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Preparasi dan Karakteristik Bentonit sebagai Pengisi Membran

Pada penelitian ini membran polisulfon menggunakan bahan pengisi berupa bentonit teraktivasi asal Bener Meriah. Karakterisasi kandungan mineral yang ada dalam bentonit alam ini telah dilakukan menggunakan Difraksi Sinar-X. Hasil karakterisasi memberikan pola difraksi seperti yang ditampilkan pada Gambar 4.1 berikut:

10 20 30 40 50

2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000

Int

ens

itas

[-]

2 Q

Gambar 4.1 Difraktogram bentonit alam asal Bener Meriah sebelum aktivasi

Berdasarkan hasil karakterisasi menggunakan XRD seperti yang diperlihatkan dalam Gambar 4.1 menunjukkan bahwa bentonit Bener Meriah mengandung montmorillonit. Puncak-puncak khas dari bentonit tersebut 2θ: 19,94; 2θ: 26,75 dan 2θ: 35,01. Hasil ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Lumingkewas, (2006) dan Fisli, (2007); Firmansyah (2013) dan Julinawati (2013). Selain itu, bentonit ini mengandung mineral lain yaitu kuarsa (2θ: 26,75), Francevillite (2θ: 20,95) dan ilit (2θ: 18,90; 2θ: 20,95).

MMT MMT


(62)

0 10 20 30 40 50 60 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000 MMT MMT Quartz Int ens itas 2Θ

Gambar 4.2 Difraktogram bentonit alam asal Bener Meriah setelah aktivasi

Setelah dilakukan aktivasi pada bentonit ini dapat diketahui bahwa bentonit tidak banyak mengalami perubahan struktur. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4.1 bahwa sudut 2θ bentonit sebelum dan sesudah aktivasi hanya berbeda relatif kecil. Namun dari segi intensitas dapat terlihat bahwa bentonit setelah aktivasi mengalami peningkatan intensitas relatif pada semua jenis mineral yang terkandung di dalam bentonit. Intensitas puncak dalam suatu difraktogram memberikan penjelasan tentang derajat kristalinitas suatu mineral dalam bentonit. Pada Gambar 4.2 terlihat bahwa intensitas mineral montmorillonit lebih tinggi dibandingkan mineral penyusun lainnya. Hal ini berarti bahwa mineral yang paling banyak terkandung di dalam bentonit alam asal Bener Meriah adalah montmorillonit.

Tabel 4.1Nilai sudut 2θ dari bentonit Bener Meriah

Sudut 2 θ montmorillonit

Standar (JCPDF) Sebelum aktivasi Setelah aktivasi

20,00 19,94 19,79

26,75 26,75 26,59


(63)

Hal ini dikarenakan setelah diaktivasi menggunakan asam, pengotor-pengotor yang menempel pada permukaan dan kisi-kisi bentonit hilang sehingga bentonit menjadi lebih bersih dan lebih kristal.

Aktivasi bentonit dalam suasana asam akan memodifikasi struktur dan meningkatkan luas permukaan bentonit sehingga kemampuan menyerapnya semakin meningkat. Proses aktivasi ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan penyerapan bentonit terhadap bahan-bahan organik dan anorganik yang terkandung di dalam air gambut.

4.2 Membran Polisulfon dengan Bahan Pengisi Mikrobentonit 4.2.1 Sintesis Membran Polisulfon

Membran dibuat dari beberapa bahan utama diantaranya polimer, pelarut dan non pelarut. Membran polisulfon dibuat menggunakan polimer polisulfon, pelarut dimetil asetamida (DMAc) dari Merck dengan densitas 0,94 gr/cm3

Pada penelitian ini menggunakan teknik inversi fasa prestipitasi terendam. Teknik ini memungkinkan untuk mendapatkan membran yang rapat dan berpori (Mulder,1991). Konsentrasi polimer akan mempengaruhi struktur membran. Semakin tinggi konsentrasi polimer maka membran akan mempunyai struktur asimetris. Sifat-sifat kimia membran yang paling utama yaitu Sifat-sifat hidrofobik atau hidrofilik, ada atau tidaknya muatan ion, ketahanan terhadap suhu tinggi dan zat-zat kimia tertentu serta daya tarik terhadap partikel dalam umpan. Kandungan mineral yang terdapat dalam membran dan zat yang dapat larut dalam larutan yang dipisahkan juga harus diperhatikan. Oleh karena itu konsentrasi polimer polisulfon, ketebalan membran, tekanan trans membran dan temperatur dibuat tetap agar kinerja membran akan dipengaruhi oleh variasi penambahan bahan pengisi mikrobentonit.

dan non pelarut akuades.

Pembuatan membran polisulfon dengan mencampurkan polimer polisulfon 15% dengan bahan pengisi mikrobentonit berbagai variasi persentase dan dilarutkan ke dalam pelarut dimetil asetamida (DMAc). Larutan homogen yang terbentuk akan dicetak menjadi lembaran tipis dan dikoagulasikan ke dalam non pelarut (akuades).


(64)

Mekanisme pemisahan akan cepat terjadi apabila menggunakan pelarut dimetil asetamida (DMAc) dan non pelarut akuades. Pelarut DMAc akan berdifusi keluar membran sehingga terbentuk lapisan aktif dengan pori-pori kecil pada permukaan atas membran.

Gambar 4.3 Warna membran polisulfon dengan variasi penambahan mikrobentonit

Berdasarkan Gambar 4.3 terlihat bahwa secara fisik membran polisulfon sebelum dan sesudah penambahan mikrobentonit berwarna putih. Hal ini berarti dengan penambahan mikrobentonit sebagai pengisi tidak terlalu berpengaruh terhadap warna membran yang terbentuk.

Membran yang telah dicetak tetap disimpan di dalam air agar tetap terjaga kelembabannya. Membran yang kering dapat merusak struktur dalam membran sehingga tidak dapat digunakan dalam proses filtrasi. Kelembaban membran adalah faktor penting yang harus dijaga agar struktur membran tidak rusak. Oleh karena itu, membran sebaiknya disimpan pada suhu yang rendah.


(65)

4.3 Permeabilitas Membran

Karakteristik membran dipengaruhi oleh bahan pembuat dan proses pembuatan membran (Brocks, 1983). Salah satu parameter yang dapat mempengaruhi kinerja membran selama proses filtrasi yaitu nilai fluks. Fluks adalah kecepatan aliran komponen melewati membran. Fluks digunakan untuk mengetahui efektifitas permeabilitas membran terhadap aliran permeat dan pola aliran membran serta untuk mengetahui adanya indikasi fouling pada membran. Permeabilitas merupakan

kecepatan permeasi diartikan sebagai volume yang melewati membran persatuan luas dalam satuan waktu tertentu dengan gaya penggerak berupa tekanan. Permeabilitas membran diketahui dari nilai fluks.

Pada penelitian ini dilakukan uji fluks dengan menggunakan air gambut Panam, Kota Pekanbaru sebagai larutan umpan. Pengujian fluks dilakukan dengan tekanan tetap 2 bar, ketebalan membran rata-rata 0,04 mm dan menggunakan sistem aliran dead-end. Pada sistem dead-end arah aliran tegak lurus terhadap membran.

Kelemahan sistem ini cenderung mengakibatkan fouling yang tinggi karena

terbentuknya cake di permukaan membran pada sisi umpan (Wenten, 1999).

Hasil pengukuran fluks membran polisulfon-mikrobentonit yang dilakukan pada air gambut dapat dilihat pada Tabel 4.2. Pengukuran dilakukan pada suhu ruangan (± 27 oC) dengan tekanan operasi yang sama yaitu 2 bar.

Tabel 4.2 Fluks membran polisulfon dengan berbagai variasi penambahan

mikrobentonit

Jenis Membran Fluks (10-5) (ml/cm2.s)

Psf 1.18

PSf-B5% 1.19

PSf-B10% 0.63

PSf-B15% 1.31


(66)

Pada Tabel 4.2, dapat dilihat bahwa dengan penambahan mikrobentonit terjadi peningkatan fluks yang tidak signifikan. Namun pada PSf-B10% dan PSf-B20% terjadi penurunan fluks. Pada membran PSf-B10% diperkirakan bahwa terjadinya

fouling di permukaan membran. Fouling merupakan salah satu faktor yang

menyebabkan keterbatasan penggunaan membran berpori. Fouling adalah perubahan

yang disebabkan oleh interaksi secara fisik dan kimiawi antara membran dan partikel yang terdapat dalam proses pemisahan (Wenten, 1999).

Pada penelitian ini, fouling terjadinya karena banyak kandungan zat organik

dan anorganik yang terdapat di dalam air gambut. Hal inilah yang menyebabkan pori-pori membran tertutup dan terjadi penyumbatan pada permukaan membran.

Sifat bentonit yang mudah mengembang (sweallability) dan mempunyai

struktur kristal berlapis dan berpori dapat mengakomodasi ion-ion atau molekul terhidrat dengan ukuran tertentu sehingga mampu menyerap ion-ion logam dan kation-kation organik. Kation organik ini diyakini mampu menggantikan kation anorganik pada posisi antar lapis bentonit (Tan, 1993). Berdasarkan sifat ini diyakini bahwa kandungan organik yang terdapat pada air gambut mengisi posisi antar lapis pori-pori yang dibentuk mikrobentonit dengan membran polisulfon.

Selain terjadinya fouling di permukaan membran, diperkirakan penyebaran

pori yang dibentuk dengan penambahan mikrobentonit tidak merata sehingga air gambut yang dialirkan pada membran menjadi kurang lancar. Ardiansyah (2013) mengungkapkan bahwa bahan-bahan organik seperti asam humat yang merupakan konstituen organik utama dalam air gambut merupakan salah satu penyebab utama

fouling pada membran.

Pada membran polisulfon-mikrobentonit 20% (PSf-B20%) didapatkan fluks rendah, yakni 0,81 ml/cm2.s. Diperkirakan bahwa dengan penambahan mikrobentonit

sebanyak 20% terhadap polisulfon mengakibatkan jumlah mikrobentonit melebihi kondisi optimumnya sehingga membentuk pori yang semakin besar. Pori yang membesar ini diakibatkan oleh sifat mudah mengembang (sweallibility) yang dimiliki


(1)

C.9 Proses pengadukan larutan dope


(2)

(3)

C.13 Membran sebelum dan sesudah filtrasi


(4)

C.15 Neraca analitik


(5)

(6)