Kajian Efektifitas Membran Polisulfon Untuk Desinfeksi Air

(1)

KAJIAN EFEKTIFITAS MEMBRAN POLISULFON

UNTUK DESINFEKSI AIR

Oleh : M Putra Siburian

F 34102105

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

KAJIAN EFEKTIFITAS MEMBRAN POLISULFON

UNTUK DESINFEKSI AIR

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh : M Putra Siburian

F 34102105

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(3)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

KAJIAN EFEKTIFITAS MEMBRAN POLISULFON

UNTUK DESINFEKSI AIR

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh : M Putra Siburian

F 34102105

Dilahirkan pada tanggal 24 November 1984 di Tapanuli Utara

Tanggal lulus : 12 September 2006

Disetujui oleh : Bogor, Oktober 2006

Dr. Ir. Suprihatin, Dipl. Ing Dosen Pembimbing


(4)

M. Putra Siburian. F 34102105. Kajian Efektifitas Membran Polisulfon Untuk Desinfeksi Air. Di bawah bimbingan Suprihatin.

RINGKASAN

Saat ini teknologi pengolahan air sudah berkembang dengan pesat. Sudah cukup banyak instansi-instansi yang membutuhkan air bersih dalam jumlah banyak, mendirikan instalasi pengolahan air bersih mandiri untuk melepas ketergantungan dari PDAM. Pengolahan air secara mandiri ini dikembangkan dengan mengikuti perkembangan teknologi penyaringan air bersih yang sudah ada, tentunya juga dipengaruhi dengan kemampuan dari instansi tersebut baik dari segi ketersediaan teknologi dan segi finansial. Pengolahan yang perlu dilakukan adalah secara bertahap yaitu; (1) pengolahan pertama (benda-benda yang tercampur dan tidak larut), (2) pengolahan kedua (bahan-bahan organik), dan (3) pengolahan ketiga (padatan tersuspensi, persenyawaan organik dan anorganik). Penyaringan membran adalah suatu proses pemisahan bahan-bahan tersuspensi dalam air melalui bahan atau media berpori tertentu, sehingga dapat menghasilkan air yang berkualitas lebih baik.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji efektifitas penggunaan membran sebagai desinfektan. Polisulfon sebagai pemurni air dengan mengambil sampel pada Instalasi Pengolahan Air Sungai Ciapus Kampus IPB Darmaga. Sampel air yang diambil adalah air yang telah mengalami proses pengolahan sampai menjadi air yang sudah memenuhi standar baku pemerintah, namun belum mengalami proses desinfeksi. Formulasi membran yang digunakan adalah membran polisulfon 12% dengan variasi ketebalan membran 0.05 mm, 0.10 mm dan 0.15 mm dan sebagai perbandingan digunakan membran Mikrofiltrasi hollow fiber komersial dan referensi kinerja membran ultrafiltrasi komersial. Karakteristik air bahan baku dan hasil penyaringan membran meliputi pH, warna, kekeruhan, Total Suspended Solid (TSS), Total Dissolved Solid (TDS) dan total mikroba (total coliform dan total E.coli). Penelitian dilakukan dengan mensirkulasikan air sampel selama 360 menit dengan menggunakan 3 tingkat tekanan yaitu 0.7 bar (120 menit pertama). 1.4 bar (120 menit kedua) dan 2.1 bar (120 menit ketiga). Tahapan penelitian yang dilakukan adalah analisa terhadap air feed, lalu dilakukan sirkulasi air melalui membran dan air hasil sirkulasi (permeat) diuji dengan uji yang sama dengan feed. Ketiga nilai hasil pengukuran fluks air pada membran polisulfon menunjukkan penurunan hal ini diperkirakan disebabkan oleh karena air sampel hasil olahan yang masih mengandung pengotor, baik itu padatan organik maupun non-organik. Membran polisulfon dengan ketebalan 0.05 memiliki kisaran fluks tertinggi yaitu sekitar 165 L/m2.jam pada tingkat tekanan 0.7 bar dan 1.4 bar. Hasil analisis karakterisasi permeat membran yang dilakukan menunjukkan bahwa membran polisulfon memberikan efektifitas yang baik untuk desinfeksi air dimana analisis mikroba menunjukkan zero kontaminasi, dan rata-rata TSS mencapai 0.0 mg/l, warna 2 dan 1 Tcu, kekeruhan 1 NTU, pH 7.01-7.10.

Karakterisasi air setelah penyaringan menunjukkan nilai yang sangat memuaskan, nilai TSS, TDS, warna, kekeruhan, pH dan total mikroba (total coliform dan E.coli) jauh dibawah baku mutu yang dikeluarkan oleh pemerintah sebagai syarat air minum. Seluruh hasil analisa air menunjukkan bahwa setiap


(5)

ketebalan yang diuji memberikan kinerja yang serupa. Sehingga dapat disimpulkan bahwa membran polisulfon dapat bekerja efektif dalam pemurnian air hasil olahan dan membran terbaik untuk pemurnian air adalah membran polisulfon 12% dengan ketebalan 0.05 mm dengan tekanan 0.7 bar dan 1.4 bar dilihat secara kinerja membran (fluks air 165 L/m2.jam) dan secara ekonomik.


(6)

M. Putra Siburian. F 34102105. Study of polisulfone Membranes Efectivity for Water Desinfection. Supervised by Suprihatin.

SUMMARY

Nowadays water treatment technology has improved very fast. A lot of institutions, who needs clean water in a large quantity, build their own water treatment installation, so they don’t have to depend on government’s supply for clean water. Water treatments installation that builds by institution usually depends on the ability of the institutions; either it’s the technology resources or the financial ability. Water treatments are needed to be done in three steps, which is (1) first treatment (colloidal and not suspended), (2) second treatment (organic compound), (3) third treatment (suspended solid, organic and non-organic). Membrane filtration is to separate suspended particles in the water through pores media or material and produce good water quality.

The purpose of this research is to study the efectivity of Polysulfone membrane in water purification by taking sample from IPB Ciapus River Water Installation. Sample that used for the research has already being pre-treatment until it achieve government standard for drink water, but it hasn’t sterilized with disinfectant. The membrane formulation that used for this research is polisulfone membrane with thickness variation 0.05 mm, 0.10 mm and 0.15 mm, and as comparation used commercial microfiltration hollow fiber membrane and ultrafiltration membrane references. The feed and permeate characterization is using pH, color, turbidity, Total Suspended Solid (TSS), Total Dissolved Solid (TDS) and microbe total (coliform and E.coli total). This research is done by circulating water sample for 360 minutes in three step pressure which is 0.7 bar (first 120 minutes), 1.4 bar (second 120 minutes) and 2.1 bar (third 120 minutes). The research starts by characterizing the feed water, and then sample is circulated through membrane, after that permeate is characterized. Polisulfone membrane shows a decreasing pattern, this is because of the water sample is still containing colloidal, either its organic or non-organic. Polisulfone membrane with 0.05 mm thickness has the highest fluks which is approximate 165 L/m2.hour. The membrane permeate characterization shows that polisulfone membrane gives a good efectivity as water refining with zero contaminant for microbe, with zero TSS, 2 and 1 TCU for color, 1 NTU for turbidity, pH 7.01-7.10.

Water characterization after membrane filtration shows a very good efectivity, TSS, TDS, color, turbidity, pH and microbe total (coliform and E.coli) far under the government standard for drink water. The water analysis shows that every thickness variation gives the same efectivity to water purification. So polisulfone membrane can work effectively in water desinfecting and 0.15 mm polisulfone membrane with 0.7 bar or 1.4 bar of pressure shows the best function by having the highest fluks until 165 L/m2.hour.


(7)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul “Kajian Efektifitas Membran Polisulfon Untuk Desinfeksi Air” adalah karya asli saya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali dengan jelas rujukannya.

Bogor, September 2006 Yang Menyatakan Pernyataan

Nama : M Putra Siburian Nrp : F34102105


(8)

i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis kepada Tuhan Yesus Kristus, karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis mampu menyelesaikan penelitian dan menyusun laporan skripsi dengan judul Kajian Efektifitas Membran Polisulfon Untuk Desinfeksi Air dengan baik. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tulus atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan oleh berbagai pihak selama penulis melakukan penelitian hingga penyusunan skripsi. Rasa terima kasih penulis sampaikan kepada :

1. Mama, Kakak-kakak saya Marta dan Marlinang serta adik-adik saya Glory dan Marsudi atas dukungan, nasehat, doa dan kasih sayangnya, yang sangat berharga bagi penulis.

2. Dr. Ir. Suprihatin, Dipl. Ing sebagai dosen pembimbing akademik atas dorongan dan saran yang diberikan mulai dari persiapan penelitian hingga terselesaikannya skripsi ini.

3. Dr. Ir. Mohamad Yani, M.Eng sebagai dosen penguji atas saran dan kritik yang diberikan dalam penyusunan skripsi.

4. Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, MSi sebagai dosen penguji atas saran dan kritik yang diberikan dalam penyusunan skripsi.

5. Paulina Rosari Sinaga dan Eko Purwanto selaku teman – teman satu penelitian atas kerjasama dan kebersamaan selama penelitian.

6. Teman – teman baik penulis selama kuliah, Adriel, Samuel, Diena. 7. Teman-teman Agriaswara, Budi, Helmy, Ary, Hesty, Hilma. 8. Ibu Ega, Pak Gunawan dan para laboran di laboratorium TIN. 9. Rekan – rekan TIN angkatan 39


(9)

ii

Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna, oleh sebab itu penulis menerima dengan senang hati segala kritik dan saran yang membangun. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca yang membutuhkannya.

Bogor, September 2006


(10)

iii DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR LAMPIRAN ... I. PENDAHULUAN ...

A. Latar Belakang ... B. Tujuan ... C. Ruang Lingkup ... II. TINJAUAN PUSTAKA ...

A. Air Bersih ... 1. Instalasi Pengolahan Air Sungai Ciapus... 2. Karakteristik dan Kualitas Air ... 3. Pengolahan Air Konvensional ... B. Pencemaran Air ... 1. Definisi Pencemaran Air ... 2. Indikator Pencemaran Air ... 3. Komponen Pencemaran Air ... 4. Dampak Pencemaran Air ... 5. Penanggulangan Pencemaraan Air ...

C. Membran ... 1. Denifisi Membran ...

2. Klasifikasi Membran ... Karakterisasi Membran ... 3. Proses Pemisahan Membran ... 4. Material Pembuat membran ... 5. Peristiwa Fouling ... III. METODOLOGI PENELITIAN ... A. Bahan dan Alat ... B. Tahapan Penelitian ...

Halaman i v vi vii 1 1 4 4 5 5 5 9 15 17 17 18 19 20 20 21 21 21 24 25 30 31 33 33 33


(11)

KAJIAN EFEKTIFITAS MEMBRAN POLISULFON

UNTUK DESINFEKSI AIR

Oleh : M Putra Siburian

F 34102105

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(12)

KAJIAN EFEKTIFITAS MEMBRAN POLISULFON

UNTUK DESINFEKSI AIR

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh : M Putra Siburian

F 34102105

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(13)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

KAJIAN EFEKTIFITAS MEMBRAN POLISULFON

UNTUK DESINFEKSI AIR

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh : M Putra Siburian

F 34102105

Dilahirkan pada tanggal 24 November 1984 di Tapanuli Utara

Tanggal lulus : 12 September 2006

Disetujui oleh : Bogor, Oktober 2006

Dr. Ir. Suprihatin, Dipl. Ing Dosen Pembimbing


(14)

M. Putra Siburian. F 34102105. Kajian Efektifitas Membran Polisulfon Untuk Desinfeksi Air. Di bawah bimbingan Suprihatin.

RINGKASAN

Saat ini teknologi pengolahan air sudah berkembang dengan pesat. Sudah cukup banyak instansi-instansi yang membutuhkan air bersih dalam jumlah banyak, mendirikan instalasi pengolahan air bersih mandiri untuk melepas ketergantungan dari PDAM. Pengolahan air secara mandiri ini dikembangkan dengan mengikuti perkembangan teknologi penyaringan air bersih yang sudah ada, tentunya juga dipengaruhi dengan kemampuan dari instansi tersebut baik dari segi ketersediaan teknologi dan segi finansial. Pengolahan yang perlu dilakukan adalah secara bertahap yaitu; (1) pengolahan pertama (benda-benda yang tercampur dan tidak larut), (2) pengolahan kedua (bahan-bahan organik), dan (3) pengolahan ketiga (padatan tersuspensi, persenyawaan organik dan anorganik). Penyaringan membran adalah suatu proses pemisahan bahan-bahan tersuspensi dalam air melalui bahan atau media berpori tertentu, sehingga dapat menghasilkan air yang berkualitas lebih baik.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji efektifitas penggunaan membran sebagai desinfektan. Polisulfon sebagai pemurni air dengan mengambil sampel pada Instalasi Pengolahan Air Sungai Ciapus Kampus IPB Darmaga. Sampel air yang diambil adalah air yang telah mengalami proses pengolahan sampai menjadi air yang sudah memenuhi standar baku pemerintah, namun belum mengalami proses desinfeksi. Formulasi membran yang digunakan adalah membran polisulfon 12% dengan variasi ketebalan membran 0.05 mm, 0.10 mm dan 0.15 mm dan sebagai perbandingan digunakan membran Mikrofiltrasi hollow fiber komersial dan referensi kinerja membran ultrafiltrasi komersial. Karakteristik air bahan baku dan hasil penyaringan membran meliputi pH, warna, kekeruhan, Total Suspended Solid (TSS), Total Dissolved Solid (TDS) dan total mikroba (total coliform dan total E.coli). Penelitian dilakukan dengan mensirkulasikan air sampel selama 360 menit dengan menggunakan 3 tingkat tekanan yaitu 0.7 bar (120 menit pertama). 1.4 bar (120 menit kedua) dan 2.1 bar (120 menit ketiga). Tahapan penelitian yang dilakukan adalah analisa terhadap air feed, lalu dilakukan sirkulasi air melalui membran dan air hasil sirkulasi (permeat) diuji dengan uji yang sama dengan feed. Ketiga nilai hasil pengukuran fluks air pada membran polisulfon menunjukkan penurunan hal ini diperkirakan disebabkan oleh karena air sampel hasil olahan yang masih mengandung pengotor, baik itu padatan organik maupun non-organik. Membran polisulfon dengan ketebalan 0.05 memiliki kisaran fluks tertinggi yaitu sekitar 165 L/m2.jam pada tingkat tekanan 0.7 bar dan 1.4 bar. Hasil analisis karakterisasi permeat membran yang dilakukan menunjukkan bahwa membran polisulfon memberikan efektifitas yang baik untuk desinfeksi air dimana analisis mikroba menunjukkan zero kontaminasi, dan rata-rata TSS mencapai 0.0 mg/l, warna 2 dan 1 Tcu, kekeruhan 1 NTU, pH 7.01-7.10.

Karakterisasi air setelah penyaringan menunjukkan nilai yang sangat memuaskan, nilai TSS, TDS, warna, kekeruhan, pH dan total mikroba (total coliform dan E.coli) jauh dibawah baku mutu yang dikeluarkan oleh pemerintah sebagai syarat air minum. Seluruh hasil analisa air menunjukkan bahwa setiap


(15)

ketebalan yang diuji memberikan kinerja yang serupa. Sehingga dapat disimpulkan bahwa membran polisulfon dapat bekerja efektif dalam pemurnian air hasil olahan dan membran terbaik untuk pemurnian air adalah membran polisulfon 12% dengan ketebalan 0.05 mm dengan tekanan 0.7 bar dan 1.4 bar dilihat secara kinerja membran (fluks air 165 L/m2.jam) dan secara ekonomik.


(16)

M. Putra Siburian. F 34102105. Study of polisulfone Membranes Efectivity for Water Desinfection. Supervised by Suprihatin.

SUMMARY

Nowadays water treatment technology has improved very fast. A lot of institutions, who needs clean water in a large quantity, build their own water treatment installation, so they don’t have to depend on government’s supply for clean water. Water treatments installation that builds by institution usually depends on the ability of the institutions; either it’s the technology resources or the financial ability. Water treatments are needed to be done in three steps, which is (1) first treatment (colloidal and not suspended), (2) second treatment (organic compound), (3) third treatment (suspended solid, organic and non-organic). Membrane filtration is to separate suspended particles in the water through pores media or material and produce good water quality.

The purpose of this research is to study the efectivity of Polysulfone membrane in water purification by taking sample from IPB Ciapus River Water Installation. Sample that used for the research has already being pre-treatment until it achieve government standard for drink water, but it hasn’t sterilized with disinfectant. The membrane formulation that used for this research is polisulfone membrane with thickness variation 0.05 mm, 0.10 mm and 0.15 mm, and as comparation used commercial microfiltration hollow fiber membrane and ultrafiltration membrane references. The feed and permeate characterization is using pH, color, turbidity, Total Suspended Solid (TSS), Total Dissolved Solid (TDS) and microbe total (coliform and E.coli total). This research is done by circulating water sample for 360 minutes in three step pressure which is 0.7 bar (first 120 minutes), 1.4 bar (second 120 minutes) and 2.1 bar (third 120 minutes). The research starts by characterizing the feed water, and then sample is circulated through membrane, after that permeate is characterized. Polisulfone membrane shows a decreasing pattern, this is because of the water sample is still containing colloidal, either its organic or non-organic. Polisulfone membrane with 0.05 mm thickness has the highest fluks which is approximate 165 L/m2.hour. The membrane permeate characterization shows that polisulfone membrane gives a good efectivity as water refining with zero contaminant for microbe, with zero TSS, 2 and 1 TCU for color, 1 NTU for turbidity, pH 7.01-7.10.

Water characterization after membrane filtration shows a very good efectivity, TSS, TDS, color, turbidity, pH and microbe total (coliform and E.coli) far under the government standard for drink water. The water analysis shows that every thickness variation gives the same efectivity to water purification. So polisulfone membrane can work effectively in water desinfecting and 0.15 mm polisulfone membrane with 0.7 bar or 1.4 bar of pressure shows the best function by having the highest fluks until 165 L/m2.hour.


(17)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul “Kajian Efektifitas Membran Polisulfon Untuk Desinfeksi Air” adalah karya asli saya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali dengan jelas rujukannya.

Bogor, September 2006 Yang Menyatakan Pernyataan

Nama : M Putra Siburian Nrp : F34102105


(18)

i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis kepada Tuhan Yesus Kristus, karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis mampu menyelesaikan penelitian dan menyusun laporan skripsi dengan judul Kajian Efektifitas Membran Polisulfon Untuk Desinfeksi Air dengan baik. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tulus atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan oleh berbagai pihak selama penulis melakukan penelitian hingga penyusunan skripsi. Rasa terima kasih penulis sampaikan kepada :

1. Mama, Kakak-kakak saya Marta dan Marlinang serta adik-adik saya Glory dan Marsudi atas dukungan, nasehat, doa dan kasih sayangnya, yang sangat berharga bagi penulis.

2. Dr. Ir. Suprihatin, Dipl. Ing sebagai dosen pembimbing akademik atas dorongan dan saran yang diberikan mulai dari persiapan penelitian hingga terselesaikannya skripsi ini.

3. Dr. Ir. Mohamad Yani, M.Eng sebagai dosen penguji atas saran dan kritik yang diberikan dalam penyusunan skripsi.

4. Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, MSi sebagai dosen penguji atas saran dan kritik yang diberikan dalam penyusunan skripsi.

5. Paulina Rosari Sinaga dan Eko Purwanto selaku teman – teman satu penelitian atas kerjasama dan kebersamaan selama penelitian.

6. Teman – teman baik penulis selama kuliah, Adriel, Samuel, Diena. 7. Teman-teman Agriaswara, Budi, Helmy, Ary, Hesty, Hilma. 8. Ibu Ega, Pak Gunawan dan para laboran di laboratorium TIN. 9. Rekan – rekan TIN angkatan 39


(19)

ii

Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna, oleh sebab itu penulis menerima dengan senang hati segala kritik dan saran yang membangun. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca yang membutuhkannya.

Bogor, September 2006


(20)

iii DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR LAMPIRAN ... I. PENDAHULUAN ...

A. Latar Belakang ... B. Tujuan ... C. Ruang Lingkup ... II. TINJAUAN PUSTAKA ...

A. Air Bersih ... 1. Instalasi Pengolahan Air Sungai Ciapus... 2. Karakteristik dan Kualitas Air ... 3. Pengolahan Air Konvensional ... B. Pencemaran Air ... 1. Definisi Pencemaran Air ... 2. Indikator Pencemaran Air ... 3. Komponen Pencemaran Air ... 4. Dampak Pencemaran Air ... 5. Penanggulangan Pencemaraan Air ...

C. Membran ... 1. Denifisi Membran ...

2. Klasifikasi Membran ... Karakterisasi Membran ... 3. Proses Pemisahan Membran ... 4. Material Pembuat membran ... 5. Peristiwa Fouling ... III. METODOLOGI PENELITIAN ... A. Bahan dan Alat ... B. Tahapan Penelitian ...

Halaman i v vi vii 1 1 4 4 5 5 5 9 15 17 17 18 19 20 20 21 21 21 24 25 30 31 33 33 33


(21)

iv

C. Metode ... 1. Persiapan ... 2. Filtrasi Air ... 3. Karakterisasi Air ... D. Rancangan Percobaan ... IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...

A. Kinerja Membran ... 1. Fluks ... 2. Rejeksi Polutan. ... B. Karakteristik Air ...

1. Total Suspended Solid (TSS) dan Total Dissolved Solid (TDS)... 2. Warna dan Kekeruhan ... 3. pH ... 4. Mikrobiologi (total coliform dan total E.coli) ...

C. Membran Terbaik ………...

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... A. Kesimpulan ... B. Saran ... DAFTAR PUSTAKA ... LAMPIRAN ...

Halaman 34 34 35 35 35 37 37 38 41 41 42 45 47 48 49 51 51 51 52 56


(22)

v DAFTAR TABEL

Tabel 1. Beberapa penyakit bawaan air dan agennya ... Tabel 2. Pengaruh pH terhadap komunitas biologi perairan ... Tabel 3. Perbandingan kinerja membran berdasarkan bentuk... Tabel 4. Selang fluks dan tekanan ... Tabel 5. Hasil uji feed air ………...……... Tabel 6. Nilai rata-rata karakteristik air sebelum (feed) dan

sesudah (permeat) ... Tabel 7. Perubahan hasil uji mikrobiologi air………...……….

Halaman 2 14 24 28 37

42 49


(23)

vi DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. E.coli dalam pembesaran 10.000 kali ………...….……. Gambar 2. Membran waterfine berbentuk hollow fiber ...... Gambar 3. Klasifikasi membran ... Gambar 4. Simulasi kinerja proses membran filtrasi ... Gambar 5. Simulasi cara kerja membran hollow fiber ... Gambar 6. Prinsip operasi membran ... Gambar 7. Sistem crossflow ………...…... Gambar 8. Perbandingan sistem desain operasi ... Gambar 9. Struktur molekul polisulfon ... Gambar 10.Penurunan fluks pada filtrasi ... Gambar 11.Faktor – faktor yang mempengaruhi fluks ... Gambar 12.Diagram alir penelitian ... Gambar 13.Fluks membran polisufon selama filtrasi air …………...………... Gambar 14.TSS dan TDS air sebelum dan sesudah penyaringan

pada masing-masing membran ... Gambar 15.Membran polisulfon setelah penyaringan ………...…... Gambar 16.Penurunan kadar warna sebelum dan sesudah penyaringan

pada masing-masing membran...…... Gambar 17.Grafik perubahan pH air sebelum dan sesudah

penyaringan pada masing-masing membran ………...…...

Halaman 12 22 22 26 26 27 29 30 30 31 32 34 40

44 45

46


(24)

vii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Instalasi pengolahan air sungai ciapus kampus

IPB Darmaga Bogor ……….. Lampiran 2. Perangkat pompa... Lampiran 3. Spesifikasi teknik unit mikrofiltrasi ... Lampiran 4. Data fluks air hasil penyaringan dengan menggunakan

membran ... Lampiran 5. Analisa keragaman data fluks air ... Lampiran 6. Karakteristik air sebelum dan sesudah penyaringan

menggunakan membran ... Lampiran 7. Analisis keragaman karakteristik warna air pada

membran polisulfon ... Lampiran 8. Persentase perubahan parameter pada membran ... Lampiran 9. Penentuan laju alir ... Lampiran 10. Prosedur analisis karakteristik air ... Lampiran 11. Baku mutu air minum KepMenKes ...

Halaman

56 57 58

59 63

66

68 69 70 72 75


(25)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Air adalah sumber kehidupan. Air adalah senyawa sederhana (H2O) tetapi

manfaatnya tak terperi. Air bersih dan air murni merupakan bahan yang semakin penting dan juga langka dengan semakin majunya IPTEK, masyarakat dan peradaban industri. Sebaliknya berkat perkembangan IPTEK mutu air pun semakin dapat diperbaiki. Keberadaan air bagi manusia sangat penting di setiap harinya. Di Indonesia kebutuhan air untuk setiap orang mencapai 40 – 120 liter setiap harinya. Namun persediaan air dari berbagai sumber air bersifat terbatas dan tersebar secara tidak merata secara ruang dan waktu, diakibatkan adanya perbedaan iklim dan kemampuan tanah menyimpan air. Selain itu, semakin meluasnya wilayah pencemaran air, akan mengurangi daya dukung air bersih bagi kehidupan manusia, karena ketersediaan air seringkali tidak mencukupi kebutuhan manusia akan air bersih.

Saat ini perkembangan pengolahan air sudah berkembang dengan pesat. sudah cukup banyak instansi-instansi yang membutuhkan air bersih dalam jumlah banyak, mendirikan instalasi pengolahan air bersih mandiri untuk melepas ketergantungan dari PDAM. Pengolahan air secara mandiri ini dikembangkan dengan mengikuti perkembangan teknologi penyaringan air bersih yang sudah ada, tentunya juga dipengaruhi dengan kemampuan dari instansi tersebut baik dari segi ketersediaan teknologi dan segi finansial. IPB, sudah mengembangkan instalasi pengolahan air secara mandiri sejak tahun 1970an, diantaranya adalah Instalasi Penjernihan Air Bersih (IPA) Sungai Cihideung dan IPA Sungai Ciapus. Instalasi pengolahan air ini memiliki tanggung jawab yang penting karena menyediakan air untuk kebutuhan akademik kampus termasuk juga mahasiswa asrama TPB, asrama-asrama IPB lain dan komplek perumahan dosen, untuk itu perlu keseriusan dalam menjaga agar kualitas air yang dihasilkan dapat terus dalam kondisi yang baik dan memenuhi standard kualitas.


(26)

2 Menurut Darmono (2001), air yang telah tercemar, tidak memenuhi syarat untuk dipergunakan masyarakat. Apabila dipergunakan akan menimbulkan akibat yang segera tampak (akut) dan akibat yang tampak secara perlahan-lahan atau dalam waktu yang lama (kronis). Sedangkan Azwar (1983), dan Slamet (1996), menyatakan air berperan dalam terjadinya penyebaran penyakit yaitu; air sebagai penyebar bakteri patogen, air sebagai sarang insekta penyebar penyakit, jumlah air bersih yang tersedia tidak mencukupi, dan air sebagai sarang sementara penyakit. Jenis mikroba yang dapat menyebar melalui air yaitu; virus, bakteri, protozoa dan metazoa. Penyakit bawaan air yang banyak terdapat di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Beberapa Penyakit Bawaan Air dan Agennya

Agen Penyakit Virus :

Rotavirus

Virus hepatitis A Virus poliomyelitis

Diare pada anak Hepatitis A

Polio (myelitis anterior acuta) Bakteri :

Vibiro cholerae

Escherichia coli enteropatogenik Salmonella typhi

Salmonella paratyphi Shigella dysenteriae

Kolera

Diare atau disentri Tipus abdominalis Paratipus Disentri Protozoa : Entamoeba histolytica Balantidia coli Giardia lambia Disentri amoeba Balantidiasis Giardiasis Metazoa : Ascaris lumbricoides Clonorchis sinensis Dyphyllobothrium latum Taenia saginata dan T. solium Schistomasoma Ascariasis Clonorchiasis Dipilobothriasis Teaniasis Schistosomiasis Sumber : Slamet (1996)

Menurut Sugiharto (1987), proses pengolahan air bertujuan untuk mengurangi kadar bahan pencemar (BOD, partikel tercampur, serta membunuh organisme patogen) dan diperlukan tambahan pengolahan untuk menghilangkan bahan nutrisi,


(27)

3 komponen beracun, serta bahan yang tidak dapat didegradasi agar konsentrasinya menjadi rendah. Pengolahan yang perlu dilakukan adalah secara bertahap yaitu; (1) pengolahan pertama (primer), (2) pengolahan kedua (sekunder), dan (3) pengolahan ketiga (tersier). pengolahan pertama bertujuan untuk membersihkan air limbah dari benda yang tercampur dan tidak larut (benda padat, gemuk dan benda-benda yang terapung) dengan cara pengendapan ataupun pengapungan.

Pengolahan kedua merupakan proses biologis dengan tujuan untuk mengurangi bahan-bahan organik melalui mikroorganisme yang ada di dalamnya. Pengolahan ketiga merupakan pengolahan secara khusus sesuai dengan kandungan zat yang terbanyak dalam air limbah dan bertujuan untuk memisahkan padatan tersuspensi, persenyawaan organik dan anorganik (senyawa-senyawa fosfat, nitrat dan bahan-bahan lainnya). Pengolahan dilakukan dengan menggunakan saringan (membran) dan proses penyerapan (adsorption) serta proses osmosis balik, sehingga air yang dihasilkan sesuai dengan yang diinginkan.

Penyaringan membran adalah suatu proses pemisahan bahan-bahan tersuspensi dalam air melalui bahan atau media berpori tertentu, sehingga dapat menghasilkan air yang berkualitas lebih baik. Membran yang digunakan pada proses filtrasi umumnya dibuat dari (i) polimer alami dan modifikasinya, (ii) polimer sintetis, (iii) dan bahan inorganik. Pemilihan bahan baku pembentuk membran penting dilakukan karena jenis bahan baku dapat berpengaruh terhadap karakteristik membran yang dihasilkan.

Membran polisulfon adalah membran yang berbahan dasar polisulfon. Beberapa sifat yang dapat menempatkan polisulfon sebagai membran terkemuka adalah mempunyai temperatur gelas (Tg = 195oC), stabil terhadap panas dan oksidasi, tahan

terhadap perubahan pH, tidak meregang meski pada temperatur tinggi, memiliki fleksibilitas dan kekuatan sangat tinggi.

Penelitian ini merupakan lanjutan dari rangkaian penelitian sebelumnya mengenai produksi dan karakterisasi membran berbahan dasar polisulfon. Formulasi membran terbaik yang berhasil dilakukan pada penelitian sebelumnya digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini. Formulasi membran yang digunakan adalah membran polisulfon 12% dengan variasi ketebalan kering 0,05 mm, 0,10 mm dan 0,15 mm dan sebagai


(28)

4 perbandingan digunakan membran mikrofiltrasi komersial referensi membran ultrafiltrasi.

Pada penelitian ini dilakukan pengujian kinerja membran polisulfon 12 % dengan ketebalan kering 0,05 mm, polisulfon 12 % dengan ketebalan kering 0,10 mm, polisulfon 12 % dengan ketebalan kering 0,15 mm, dan membran mikrofiltrasi komersial dalam aplikasi pengolahan air bersih sehingga diperoleh hasil kinerja masing-masing membran dan ketebalan membran polisulfon terbaik dalam menghasilkan air yang murni dan bebas mikroba. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai alternatif teknologi untuk proses desinfeksi air.

B. TUJUAN

Tujuan penelitian ini adalah mengkaji efektifitas penerapan membran polisulfon dengan tiga taraf ketebalan dalam aplikasi untuk pemurnian air dan penyaring mikroba.

C. RUANG LINGKUP

Penelitian ini merupakan aplikasi dari hasil penelitian terdahulu yang dilakukan untuk mengetahui kemampuan membran polisulfon dalam menyaring air terutama dalam aplikasinya sebagai penyaring mikroorganisme yang terdapat di dalam air. Penelitian mengambil studi kasus Instalasi Penjernihan Air Sungai Ciapus Kampus IPB Darmaga Bogor.


(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. AIR BERSIH

Slamet (1996), menyatakan air diperlakukan untuk melarutkan berbagai jenis zat yang diperlukan tubuh. Segala reaksi yang terjadi di dalam tubuh manusia terlaksana dalam lingkungan air. Dalam segala fungsi kehidupan manusia, seperti bereaksi terhadap gangguan, tumbuh, bermetabolisme, dan bereproduksi, air selalu memegang peranan penting. Apabila terjadi pencemaran terhadap badan air oleh limbah domestik (rumah tangga), industri, pertanian, dan transportasi, maka badan air menjadi kotor dan berbau, yang dapat menimbulkan penyakit (pernapasan, kulit dan saluran pencernaan) pada masyarakat penggunanya. Penyakit yang disebarkan oleh air secara langsung dinyatakan sebagai penyakit bawaan air (water borne disease).

Penyebaran penyakit terjadi apabila mikroba penyebabnya berada dalam badan air yang digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Akibatnya adalah kesehatan masyarakat menjadi terganggu atau terjadi penurunan kesehatan sehingga akan dapat menurunkan kesejahteraan masyarakat.

1. Instalasi Pengolahan Air Sungai Ciapus

Menurut Chapman (1977), sungai merupakan sumber air bersih (air segar) paling penting bagi manusia. Perkembangan sosial, ekonomi dan politik sejak dulu telah banyak berkaitan dengan keberadaan serta pendistribusian air segar dari sistem aliran sungai. Beberapa penggunaan utama air adalah sebagai sumber persediaan air minum, irigasi lahan pertanian, persediaan air industri dan kota, tempat pembuangan limbah industri dan kota, pelayaran, tempat memancing, berkapal, rekreasi penduduk, serta memberikan nilai keindahan.

Pada daerah tropis, sungai mempunyai sedikit perbedaan serta relatif sedikit mengandung garam. Sumber air ini, umumnya dicemari oleh tinja dalam jumlah besar karena berdekatan dengan pemukiman. Kualitas air dapat berbeda sesuai dengan turunnya air hujan, tetapi kekeruhan selalu terjadi sepanjang waktu. Aliran sungai


(30)

6 yang lambat (tenang) mengandung sejumlah bahan organik (Mann dan Williamson, 1976).

Instalasi Penjernihan Air IPB cabang Asrama TPB dibangun dan dirancang oleh PT. Wijaya Kusuma Emindo pada tahun 2001. Bahan air baku yang diolah oleh IPA ini berasal dari Sungai Ciapus. Hasil pengolahan IPA Sungai Ciapus ini digunakan untuk penyediaan air bersih penghuni asrama TPB IPB baik putri maupun putra.

Instalasi didisain untuk menghasilkan air bersih yang memenuhi satandar air bersih, dengan pengoperasian yang sederhana. Instalasi ini mempunyai kapasitas output 10 liter/detik dan menghasilkan 864.000 liter sehari pada 24 jam kerja.

Bagan pengolahan air bersih (Package Water Treatment) dapat dilihat di Lampiran 1. Sumber air yang diambil dari sungai dipompakan ke tangki pengendap (clarifier), sebelumnya air diberikan Alum sulphate untuk coagulant dan Soda ash yang berguna untuk koreksi pH awal.

Air yang sudah bercampur dengan bahan kimia tersebut dialirkan dengan pipa

inlet tegak lurus vertikal ke bagian dasar clarifier yang berbentuk konus. Dengan adanya kecepatan yang dikombinasikan dengan perubahan arah aliran maka terjadilah proses flokulasi. Kemudian airnya akan naik ke atas melalui sludge blanket dan mengalir secara grafitasi ke dalam tangki filter. Sisa flok-flok halus yang masih terbawa oleh air akan disaring oleh filter, sehingga air yang keluar dari filter adalah air bersih yang dialirkan secara grafitasi ke dalam tangki reservoir. Pada tangki

reservoir, air dibubuhi dengan Calsium hypochorite (kaporit) yang berfungsi sebagai

desinfectant/ sterilisasi (Anonim, 2001).

Clarification

Disain dari tangki clarifier ini direncanakan sedemikian rupa sehingga merupakan

HOPPER BOTTOM tank (tangki dengan bagian dasar berbentuk konus atau kerucut terbalik) dan dibagian atasnya berbentuk silinder tegak (Vertical Square).

Standart Treatment Process ini diaplikasi dengan sistem sludge blanket, dimana pembubuhan koagulan Alum sulphate diinjeksikan pada aliran air baku dalam pipa sebelum Tangki clarifier; berikutnya dengan soda ash untuk pH correction; dimana


(31)

7 akibat hydraulic jump dan turbulensi serta dengan diarahkannya aliran air kebawah (down flow) terhadap dasar tangki hopper; dengan adanya kecepatan yang dikombinasikan dengan perubahan arah aliran air (downflow menjadi upflow) serta perlambatan kecepatan akibat dari bentuk tangki yang konus, maka akan terjadi kondisi agitasi yang ideal untuk flokulasi awal yang terbentuk pada bagian konus

tangki, yang secara upflow dilanjutkan sampai di sludge blanket.

Air mengalir ke atas dari bagian hopper ke bagian vertikal dengan kecepatan yang makin lama makin berkurang secara steady melalui partikel-partikel yang melayang dan partikel-partikel suspended solid mengalami penurunan kecepatan; sehingga memungkinkan terjadinya proses akumulasi.

Akibat dari proses akumulasi tersebut dan bersamaan dengan aliran yang naik ke atas, maka coagulated partikel-partikel yang lebih kecil akan menggumpal menjadi partikel-partikel yang lebih besar (secara kontinyu) dan disebut sludge blanket yang mampu mempertahankan posisinya dengan melayang dalam tangki. Partikel-partikel yang lebih kecil akan bergabung atau tersedimentasi pada partikel-partikel yang lebih besar (stationery) pada sludge blanket tersebut.

Partikel-partikel yang lebih berat akan terendapkan/ terkonsentrasi pada dasar tangki hopper yang kemudian secara periodik dibuang (desludging). Untuk menjaga balance dari sludge blanket maka dilengkapi dengan sludge cones yang merupakan

sludge concentrator yang kemudian secara kontinu atau intermittent melalui pipa pembuangannya; sludge yang berlebih dikeluarkan dari sludge cone tersebut (sludge bleeding) dengan mengatur pembukaan valve-nya.

Aliran air yang keluar menembus sludge blanket secara upflow akan mengalir melalui decanting trough/ talang (clarified water) dan secara grafitasi mengalir ke tangki filter. Rise rate dari hopper bottom clarifier ini didisain dari 2 s/d 3 m3/m2/jam dan retention time 80 menit, berdasarkan standar normal coagulant. Bila digunakan

coagulant aid, rise rate dapat ditingkatkan menjadi 6 m3/m2/jam. Kesemuanya tergantung dari variasi karakteristik air baku.

Air baku umumnya mengandung kotoran-kotoran halus dan coloidal berwarna. Untuk memisahkan kotoran-kotoran ini tidak dapat dicapai hanya dengan


(32)

8 pengendapan secara alamiah karena akan membutuhkan waktu yang lama dan bak yang besar, sehingga tidak ekonomis. Alum mempunyai kemampuan untuk saling mengikat dengan natural alkalinity dari air; pada umumnya digunakan galatinous precipitate dari isoluble alumunium hydroxide. Precipitate ini akan secara cepat mengendapkan dan mengikat kotoran-kotoran (partikel-partikel) yang ada dan unsur-unsur koloidal. Pencampuran antara kotoran-kotoran dan hydroxide disebut “floc”.

Efektivitas koagulasi dari alum terbatas pada range pH tertentu, sekitar 6,7 – 7,3 serta tergantung pada natural alkalinity yang ada. Jika natural alkalinity tidak cukup, maka diperlukan penambahan koagulation aid, yaitu jenis alkali supaya bereaksi dengan alum. Soda ash adalah alkali yang paling banyak digunakan untuk ini.

Nilai pH dari air dapat diketahui dengan pH test kits (comparator pH), gunanya untuk mengetahui kadar alkali dan keasaman dari air. Bila pH lebih besar dari 7, maka air akan bersifat basa (alkaline); bila pH lebih kecil dari 7, air bersifat asam (acidic) dan bila pH=7 berarti air bersifat netral. Air bersifat corrosive bila pH lebih kecil dari 7, sehingga diusahakan pH antara 7,2 sampai dengan 7,4 yaitu dengan menambahkan Soda ash atau lime, agar air tidak bersifat korosif (Anonim, 2001).

Filtration dan Backwashing

Maksud dari filter adalah untuk menyaring floc-floc halus yang masih terbawa dalam air yang keluar dari tangki clarifier. Filter ini adalah jenis filter cepat dengan grafitasi dan mempunyai kecepatan yang bervariasi untuk memenuhi kapasitas yang diinginkan. Sistem backwashing menggunakan wash water dari air yang tersedia pada bagian atas tangki filter dengan cara self washing.

Filter berisi pasir silika kasar setebal 115 mm dengan diameter 2,4-4,8 mm dan pasir silika halus setebal 685 mm dengan diameter butiran 0,6 mm – 1,2 mm. Pasir-pasir ini berada di atas plat beton yang telah dilengkapi dengan pipa lateral dan

polypropylene nozzle. Clarified water dari clarifier masuk ke tangki secara grafitasi dan disaring melalui media pasir melalui filter nozzles, lateral pipe ke dasar tangki. Kemudian secara grafitasi melalui pipa dialirkan menuju tangki reservoir.


(33)

9

Floc-floc halus disaring dan tertinggal di pasir, sehingga hanya air bersih saja yang keluar. Dianjurkan pasir filter harus dicuci (backwash) setiap 24 jam untuk membuang lumpur dan mencegah tumbuhnya lumut. Backwash dengan self washing

menggunakan air pencucian pada tangki filter bagian atas; dengan cara membuka dan menutup valve, sehingga floc-floc yang tertahan pada pasir media akan terhanyut bersamaan ke saluran pembuangan (Anonim, 2001).

Desinfection

Filter Water yang masuk ke dalam tangki reservoir diberikan pembubuhan

kaporit. Pembubuhan kaporit adalah sebagai desinfectant dari filter water melalui

reservoir untuk selanjutnya dialirkan dengan pompa ke distribusi yang dituju (Anonim, 2001).

2. Karakteristik dan kualitas air

Air mempunyai sifat unik dan khas, karena secara kimia hanya terdiri dari atom H dan O, karena disebabkan adanya ikatan hidrogen antara molekul air. Oleh karena sifatnya yang khas tersebut, maka banyak sekali senyawa ionis berdisosiasi dalam air. Air merupakan pelarut yang sangat baik bagi sebagian besar bahan sehingga air merupakan alat pencuci yang baik dan air merupakan media transport utama bagi zat-zat makanan dan sampah yang dihasilkan selama proses kehidupan (Saeni,1989).

Menurut Saeni (1989), air yang merupakan cairan biologis , yaitu air terdapat di dalam tubuh semua organisme. Di alam terdiri dari tiga bentuk, yaitu bentuk padat sebagai es, cair sebagai air, dan gas sebagai uap air. Bentuk air tergantung pada tempat dan tekanan barometris (P) dan keadaan cuaca atau suhu (t). Densitas atau kerapatan air akan meningkat dengan menurunnya suhu, sampai tercapai suhu maksimum 40C. Air mempunyai kapasitas kalor yang tinggi bila dibandingkan dengan cairan lainnya di alam yaitu sebesar 1 kkal, dengan titik didih 1000C pada tekanan 1 atmosfir. Titik didih ini mempunya suhu yang berbeda tergantung pada ketinggian tempat (tekanan udara). Selain itu, air bersih mempunyai kisaran pH netral (pH 7) dan oksigen terlarut (DO) jenuh pada 9 mg/l, serta diversitas (perbandingan


(34)

10 antara jumlah spesies dengan jumlah individu atau organisme) yang sangat dipengaruhi oleh suhu, pH, aliran, musim dan lain-lainnya. Diversitas ini merupakan ukuran penting untuk menilai kualitas air atau meneliti dampak berbagai kegiatan terhadap lingkungan air.

Air murni di alam tidak dapat ditemukan, karena kondensasi air di atmosfer jatuh ke bumi sebagai air hujan, dalam perjalanannya akan menyerap gas-gas seperti CO2, O2 dan lainnya. Setelah mencapai permukaan tanah, segera terkena pencemaran zat organik dan kemungkinan air tersebut akan menyerap CO2 dan N2 dari tumbuhan ataupun bahan lainnya hasil penguraian bahan organik di tanah dan kemudian menyatu dengan air sungai. Air sungai akan mengandung sejumlah suspensi bahan seperti lempung, pasir dan sebagainya.Air tanah yang diserap ke dalam tanah akan disaring oleh lapisan tanah ataupun batuan yang dilaluinya dan menyatu dengan air tanah pada lapisan bumi, dan selama perjalanan yang dilalui akan melarutkan zat-zat lainnya pada lapisan tanah yang mempengaruhi kualitas air tanah (Saeni,1989).

Kualitas perairan merupakan alat praktis untuk menduga dan mengevaluasi terjadinya perubahan lingkungan. Kualitas suatu perairan dinyatakan baik apabila memenuhi persyaratan yang ditentukan sesuai peruntukannya, seperti bahan baku air minum, keperluan industri, pertanian, perikanan dan rekreasi (Saeni, 1991).

Menurut Saeni (1989), indeks pencemaran air menunjukkan tingkat pencemaran air pada suatu badan air. Semakin tinggi nilainya, maka akan semakin tinggi tingkat pencemarannya. Istilah ini penggunaannya sering tertukar dengan indeks mutu air, semakin tinggi nilai indeks mutu air, maka kualitas air menjadi semakin baik.

Kualitas air pada suatu perairan sangat ditentukan oleh konsentrasi bahan pencemar pada perairan tersebut. Dalam Peraturan Pemerintahan RI nomor 82 tahun 2001, tentang pengelolaan kualitas pencemaran air, disebutkan bahwa pencemaran air selalu berarti turunnya kualitas air sampai batas tingkat tertentu, yang mengakibatkan air tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya. Pada peraturan pemerintah tersebut menggolongkan air menurut peruntukkannya serta diikuti dengan kriteria kualitas air dengan golongan atau kelas.


(35)

11 Penggolongan air dalam peraturan pemerintahan tersebut ditetapkan sebagai berikut :

Golongan 1 : Air yang dapat dipergunakan sebagai air minum secara langsung tanpa pengolahan terlebih dahulu.

Golongan 2 : Air yang dapat dipergunakan sebagai air baku air minum (harus dengan pengolahan terlebih dahulu).

Golongan 3 : Air yang dapat dipergunakan untuk berbagai keperluan perikanan dan peternakan.

Golongan 4 : Air yang dapat dipergunakan untuk berbagai keperluan pertanian, dan dapat dimanfaatkan untuk usaha perkotaan, industri dan pembangkit tenaga listrik.

Kekeruhan

Kekeruhan terutama disebabkan oleh bahan-bahan tersuspensi yang bervariasi dari ukuran koloid sampai disperse kasar. Kekeruhan di suatu sungai tidak selalu sama setiap tahun, air akan sangat keruh pada musim penghujan karena larian air maksimum dan adanya erosi dari daratan. Kekeruhan ini terutama disebabkan oleh adanya erosi dari daratan.

Pada daerah pemukiman kekeruhan dapat ditimbulkan oleh buangan penduduk dan buangan industri baik yang telah diolah maupun yang belum mengalami pengolahan. Selain disebabkan oleh bahan-bahan tersebut, kekeruhan juga disebabkan oleh liat dan lempung, buangan industri dan mikroorganisme (Saeni,1989). Pengaruh utama dari kekeruhan adalah terjadinya penurunan penetrasi cahaya matahari secara tajam. Penurunan ini akan mengakibatkan aktivitas fotosintesis dari fitoplankton menurun (Koessoebiono, 1979).

Padatan tersuspensi dan terlarut

Menurut Fardiaz (1992), padatan tersuspensi adalah padatan yang menyebabkan kekeruhan air, tidak terlarut dan tidak mengendap langsung. Besarnya kandungan padatan tersuspensi akan mengurangi penetrasi sinar matahari ke dalam air, sehingga dapat mempengaruhi regenerasi oksigen secara fotosintesis. Menurut Wardoyo


(36)

12 (1975), akibat yang ditimbulkan oleh padatan tersuspensi adalah pengurangan daya pemurnian air secara alami dengan berkurangnya proses fotosintesis dan menutupi organisme dasar.

Mikroorganisme dalam perairan

Jenis mikroorganisme yang sangat mempengaruhi kualitas air adalah bakteri

Escherichia coli (E.coli). Bakteri ini adalah salah satu yang tergolong koliform dan hidup secara normal di dalam kotoran manusia maupun hewan. Oleh karena itu bakteri ini disebut juga koliform fecal (Saeni, 1989).

Menurut Fardiaz (1992), keberadaan E.coli merupakan indikator yang menunjukkan bahwa suatu perairan sudah tercemar oleh kotoran manusia maupun hewan. Dalam Peraturan Pemerintah No 20 tahun 1990 (tentang pengendalian pencemaran air), dinyatakan bahwa air yang dapat digunakan sebagai bahan baku air minum (golongan B) adalah air yang memiliki kandungan maksimum E.coli yang diperbolehkan 2000 individu / 100 ml contoh air. Sedangkan menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 416/MenKes/Per/IX/1990, kandungan E.coli untuk air yang akan digunakan sebagai air minum harus sama dengan nol.

Gambar 1. E.coli dalam pembesaran 10.000 kali


(37)

13

pH (derajat kemasaman)

Nilai pH menyatakan intensitas kemasaman atau alkalinitas dari suatu cairan encer, dan mewakili konsentrasi ion hidrogennya, pH tidak mengukur seluruh kemasaman atau seluruh alkalinitas (Soemarwoto, 1987). Menurut Saeni (1989), nilai pH suatu perairan mencirikan keseimbangan antara asam dan basa dalam air dan merupakan pengukuran konsentrasi ion hidrogen dalam larutan. Adanya karbonat, hidroksida, dan bikarbonat menaikkan kebasaan air. Sedangkan adanya asam-asam mineral bebas dan asam karbonat menaikkan kemasaman. Perairan yang bersifat asam lebih banyak dibandingkan dengan perairan alkalis. Nilai pH air dapat mempengaruhi jenis dan susunan zat dalam lingkungan perairan dan mempengaruhi tersedianya unsur hara, serta toksitas dari unsur-unsur renik.

Secara langsung organisme perairan membutuhkan kondisi air dengan tingkat kemasaman tertentu. Air dengan pH yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat mematikan mikroorganisme, demikian pula dengan perubahannya. Umumnya organisme perairan dapat hidup pada kisaran pH 6,7 – 8,5. Penambahan suatu senyawa ke perairan hendaknya tidak menyebabkan perubahan pH menjadi lebih kecil dari 6,7 atau lebih besar dari 8,8 (Kusnoputranto,1997). Selanjutnya Saeni (1989), mengemukakan nilai pH ditentukan oleh interaksi berbagai zat dalam air, termasuk zat-zat yang secara kimia maupun biokimia tidak stabil, maka penentuan pH harus seketika setelah contoh diambil dan tidak diawetkan.

Pada pH < 4, sebagian besar tumbuhan air mati karena tidak dapat bertoleransi terhadap pH rendah. Namun ada sejenis algae yaitu Chlamydomonas acidophila

mampu bertahan pada pH =1 dan algae Euglena pada pH 1,6. Pengaruh nilai pH pada komunitas biologi perairan dapat dilihat pada Tabel 2.


(38)

14 Tabel 2. Pengaruh pH Terhadap Komunitas Biologi Perairan

Sumber : Modifikasi Baker et al., 1990 dalam Efendi, 2003

Warna

Menurut Fardiaz (1992), warna air terdiri dari dua macam yaitu; warna sejati (true color) yang disebabkan oleh adanya bahan-bahan terlarut, dan warna semu (apparent color), selain disebabkan oleh adanya bahan-bahan terlarut, juga disebabkan oleh adanya bahan-bahan tersuspensi, termasuk diantaranya yang bersifat koloid. Warna air di alam sangat bervariasi, misalnya air di rawa-rawa berwarna kuning, coklat atau kehijauan. Air sungai biasanya berwarna kuning kecoklatan karena mengandung lumpur. Sedangkan air buangan yang mengandung besi dan tanin dalam jumlah tinggi berwarna coklat kemerahan. Warna air yang tidak normal, biasanya menunjukkan adanya pencemaran terhadap air tersebut.

Baku mutu air adalah batas atau kadar mahluk hidup, zat, energi, atau komponen lain yang ada atau harus ada unsur pencemar yang ditenggang adanya dalam air pada sumber air tertentu sesuai dengan peruntukannya. Baku mutu air ini ditetapkan

Nilai pH Pengaruh Umum

6,0 – 6,5 1. Keanekaragaman plankton dan bentos sedikit menurun

2. Kelimpahan total, biomassa, dan produktivitas tidak mengalami perubahan

5,5 – 6,0 1. Penurunan nilai keanekaragaman plankton dan bentos semakin tampak

2. Kelimpahan total, biomassa, dan produktivitas masih belum mengalami perubahan yang berarti

3. Algae hijau berfilamen mulai tampak pada zona litoral

5,0 – 5,5 1. Penurunan keanekaragaman dan komposisi jenis plankton, perifilton danbentos semakin besar

2. Terjadi penurunan kelimpahan total dan biomassa zooplankton dan bentos

3. Algae hijau berfilamen semakin banyak 4. Proses nitrifikasi terhambat

4,5 – 5,0 1. Penurunan keanekaragaman dan komposisi jenis plankton, perifilton dan bentos semakin besar

2. Penurunan kelimpahan total dan biomassa zooplankton dan bentos

3. Algae hijau berfilamen semakin banyak 4. Proses nitrifikasi terhambat


(39)

15 pemerintah berdasarkan peraturan undang-undang dengan mencantumkan pembatasan konsentrasi dari berbagai parameter kualitas air. Baku mutu air berlaku untuk lingkungan perairan suatu badan air, sedangkan baku mutu limbah berlaku untuk limbah cair yang akan masuk ke perairan.

3. Pengolahan air konvensional

Penyaringan adalah suatu proses pemisahan bahan-bahan tersuspensi dalam air melalui bahan atau media berpori-pori, sehingga menghasilkan kualitas air yang lebih baik. Medium atau bahan penyaring yang digunakan dapat berupa pasir, tanah liat, kerikil, antrasit, arang aktif, granit, zeolit, ijuk, resin dan campurannya. Proses penyaringan ini dapat menyaring warna yang mengganggu, kekeruhan, bakteri dan mengurangi konsentrasi logam yang terdapat dalam air (Saeni, 1986).

Menurut Darmono (2001), penyaringan penting artinya dalam usaha penjernihan air, menjadi air yang sesuai dengan kebutuhan. Penyaringan merupakan proses pertukaran ion yang dalam air buangan dengan ion yang ada dalam saringan.

Menurut Sugiharto (1987), penyaringan merupakan proses penyaringan lumpur yang tercampur dan pertikel koloid dari air limbah dengan melewatkan air pada media yang porous. Kedalaman penyaringan menentukan derajat kebersihan air yang akan disaring pada pengolahan air yang sesuai dengan kebutuhan. Penyaringan memisahkan zat padat dan zat kimia terlarut serta bakteri yang terkandung dalam air limbah.

Bardasarkan hasil percobaan yang dilakukan di Singapura mempergunakan bahan penyaring sabut kelapa, alang-alang, serbuk gergaji, spon, pasir dan kerikil, diperoleh hasil yang baik terhadap padatan tersuspensi, dengan keefektifan berkisar 65 %, dan terhadap BOD berkisar 40 %. Bila bahan-bahan penyaringnya ditambah dengan pasir dibawahnya, terjadi keefektifan rata-rata terhadap nilai-nilai padatan tersuspensi, BOD dan organisme koliform sampai 80 %, dengan kecepatan penyaringan 6 m3/m2 -jam (Chin dan Chen, 1978).

Penyaringan dengan bahan penyaring pasir telah lama dilakukan, dan dikenal dua jenis saringan pasir, yaitu saringan pasir lambat yang diperkenalkan di London pada


(40)

16 tahun 1829, dan saringan pasir cepat yang diperkenalkan di Amerika Serikat pada tahun 1893. Pada saringan pasir lambat, aliran air berdasarkan gaya tarik bumi (gravitasi), sedangkan pada saringan pasir cepat perlu dipergunakan tekanan. Untuk saringan pasir cepat perlu dilakukan pengolahan air sebelumnya, misalnya dengan penambahan zat koagulan (Saeni, 1986).

Saringan Pasir Lambat (Slow Sand Fitration)

Saringan ini terdiri dari lapisan kerikil dengan ketebalan 0,3 m dan pasir dengan tebal 0,6-1,2 m dengan diameter pasir berkisar 0,2-0,354 mm. Dari penyaringan ini akan dihasilkan kecepatan pengaliran 0,034-0,10 liter/detik. Apabila air limbah sudah mulai menggenang sedalam 1,5-3 m maka air limbah tersebut perlu dikeringkan dan permukaan pasir perlu dilakukan pengerukan sedalam 2,5-5 cm dari atas permukaan pasir dan pasir dibongkar, dibersihkan dan dikeringkan. Waktu pembersihan ini dilakukan setiap 30-150 hari, tergantung pada waktu terjadinya pengotoran media pasir oleh kotoran, akibat dari proses penyaringan air limbah (Sugiharto, 1987).

Saringan pasir ini sangat efektif untuk menyaring padatan tersuspensi, tanah liat dan padatan koloid lainnya. Selain itu, saringan ini mampu memisahkan 85-99% bakteri, tergantung dari jumlah bakteri awal, dapat mengurangi kekeruhan dari 50 ppm SiO2, sampai dengan 5 ppm SiO2, disamping itu dapat pula mengurangi warna tertentu yang ada, tergantung pada ukuran butiran pasir dan kecepatan penyaringannya (Wagner and Lanoix, 1959).

Saringan Pasir Cepat (Rapid Sand Filtration)

Saringan ini terdiri dari pasir dengan ketebalan 0,4-0,7 m dengan diameter 0,4-0,8 mm dan kerikil setebal 0,3-0,6 m. Kecepatan aliran penyaringan yang dihasilkan sebesar 1,3-2,7 liter/detik. Pasir saringan cepat ini pencuciannya dilakukan dengan pengaliran kembali setelah penyaringan berlangsung selama 6-24 jam, dengan lama pencucian berkisar 5-10 menit (Sugiharto, 1987).

Saringan pasir cepat efektif untuk menghilangkan padatan tersuspensi dan biasanya didahului dengan proses koagulasi kimia, karena tanpa proses koagulasi


(41)

17 kimia penyaringan hanya efektif untuk beberapa macam air saja (Weber, 1972). Saringan pasir lambat maupun saringan pasir cepat, merupakan suatu bentuk penyaringan yang hanya memanfaatkan dua macam media saja, seperti pasir dan kerikil ataupun pasir dan antrasit. Secara berangsur-angsur teknologi saringan pasir lambat dan mengalami perubahan yang sangat cepat, dengan terciptanya teknologi saringan pasir campuran yang mampu menahan bakteri sampai dengan 98% (Culp, 1980).

Teknologi saringan ini dari tahun ke tahun mengalami perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan proses penyaringan air untuk memperoleh air bersih dengan cara tradisional dan konvensional, sampai dengan penggunaan teknologi sederhana, selanjutnya dengan saringan media campuran, precoalfilter, mikrostaining, vacum filter dan semakin berkembang lagi dengan adanya pemanfaatan deionisasi menggunakan membran atau resin.

B. PENCEMARAN AIR

1. Definisi Pencemaran Air

Istilah pencemaran air atau polusi air dapat dipersepsikan berbeda oleh satu orang dengan orang lainnya mengingat banyak pustaka acuan yang merumuskan definisi istilah tersebut, baik dalam kamus atau buku teks ilmiah. Pengertian pencemaran air juga didefinisikan dalam Peraturan Pemerintah, sebagai turunan dari pengertian pencemaran lingkungan hidup yang didefinisikan dalam undang-undang. Dalam praktek operasionalnya, pencemaran lingkungan hidup tidak pernah ditunjukkan secara utuh, melainkan sebagai pencemaran dari komponen-komponen lingkungan hidup, seperti pencemaran air, pencemaran air laut, pencemaran air tanah dan pencemaran udara. Dengan demikian, definisi pencemaran air mengacu pada definisi lingkungan hidup yang ditetapkan dalam UU tentang lingkungan hidup yaitu UU No. 23/1997.

Dalam PP No. 20/1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air, pencemaran air didefinisikan sebagai : “pencemaran air adalah masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan


(42)

18

manusia sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya” (Pasal 1, angka 2). Definisi pencemaran air tersebut dapat diuraikan sesuai makna pokoknya menjadi 3 (tiga) aspek, yaitu aspek kejadian, aspek penyebab atau pelaku dan aspek akibat (Setiawan, 2001).

Berdasarkan definisi pencemaran air, penyebab terjadinya pencemaran dapat berupa masuknya mahluk hidup, zat, energi atau komponen lain ke dalam air sehingga menyebabkan kualitas air tercemar. Masukan tersebut sering disebut dengan istilah unsur pencemar, yang pada prakteknya masukan tersebut berupa buangan yang bersifat rutin, misalnya buangan limbah cair. Aspek pelaku/penyebab dapat disebabkan oleh alam atau oleh manusia. Pencemaran yang disebabkan oleh alam tidak dapat berimplikasi hukum, tetapi pemerintah tetap harus menanggulangi pencemaran tersebut. Sedangkan aspek akibat dapat dilihat berdasarkan penurunan kualitas air sampai ke tingkat tertentu. Pengertian tingkat tertentu dalam definisi tersebut adalah tingkat kualitas air yang menjadi batas antara tingkat tak-cemar (tingkat kualitas air belum sampai batas) dan tingkat cemar (kualitas air yang telah sampai ke batas atau melewati batas). Ada standar baku mutu tertentu untuk peruntukan air. Sebagai contoh adalah pada UU Kesehatan No. 23 tahun 1992 ayat 3 terkandung makna bahwa air minum yang dikonsumsi masyarakat, harus memenuhi persyaratan kualitas maupun kuantitas, yang persyaratan kualitas tertuang dalam Peraturan Mentri Kesehatan No. 146 tahun 1990 tentang syarat-syarat dan pengawasan kualitas air. Sedangkan parameter kualitas air minum/air bersih yang terdiri dari parameter kimiawi, fisik, radioaktif dan mikrobiologi, ditetapkan dalam PERMENKES 416/1990 (Achmadi, 2001).

2. Indikator Pencemaran Air

Indikator atau tanda bahwa air lingkungan telah tercemar adalah adanya perubahan atau tanda yang dapat diamati yang dapat digolongkan menjadi :


(43)

19

ƒ Pengamatan secara fisis, yaitu pengamatan pencemaran air berdasarkan tingkat kejernihan air (kekeruhan), perubahan suhu, warna dan adanya perubahan warna, bau dan rasa

ƒ Pengamatan secara kimiawi, yaitu pengamatan pencemaran air berdasarkan zat kimia yang terlarut, perubahan pH

ƒ Pengamatan secara biologis, yaitu pengamatan pencemaran air berdasarkan mikroorganisme yang ada dalam air, terutama ada tidaknya bakteri pathogen seperti coliform.

Indikator yang umum diketahui pada pemeriksaan pencemaran air adalah pH atau konsentrasi ion hydrogen, oksigen terlarut (Dissolved Oxygen, DO), kebutuhan oksigen biokimia (Biochemical Oxygen Demand, BOD), kebutuhan oksigen kimiawi (Chemical Oxygen Demand, COD) dan kandungan total koliform tinja (E.coli) (Achmadi, 2001).

3. Komponen Pencemaran Air

Saat ini hampir 10 juta zat kimia telah dikenal manusia, dan hampir 100.000 zat kimia telah digunakan secara komersial. Kebanyakan sisa zat kimia tersebut dibuang ke badan air atau air tanah. Sebagai contoh adalah pestisida yang biasa digunakan di pertanian, industri atau rumah tangga, detergen yang biasa digunakan di rumah tangga yang biasa digunakan pada alat-alat elektronik (Wardhana, 1995).

Erat kaitannya dengan masalah indikator pencemaran air, ternyata komponen pencemaran air turut menentukan bagaimana indikator tersebut terjadi. Menurut Wardhana (1995), komponen pencemaran air dapat dikelompokkan sebagai bahan buangan:

1. Padat

2. Organik dan olahan bahan makanan 3. Anorganik

4. Cairan berminyak 5. Berupa panas 6. Zat kimia.


(44)

20 4. Dampak pencemaran air

Pencemaran air dapat berdampak sangat luas, misalnya dapat meracuni air minum, meracuni makanan hewan, menjadi penyebab ketidakseimbangan ekosistem sungai dan danau, pengrusakan hutan akibat hujan asam dsb.

Di badan air, sungai dan danau, nitrogen dan fosfat dari kegiatan pertanian telah menyebabkan pertumbuhan tanaman air yang di luar kendali yang disebut eutrofikasi (eutrofication). Ledakan pertumbuhan tersebut menyebabkan oksigen yang seharusnya digunakan bersama oleh seluruh hewan/tumbuhan air, menjadi berkurang. Ketika tanaman air tersebut mati, dekomposisinya menyedot lebih banyak oksigen. Akibatnya ikan akan mati dan aktivitas bakteri akan menurun.

Dampak pencemaran air pada umumnya dibagi dalam 4 kategori (KLH, 2004) - dampak terhadap kehidupan biota air

- dampak terhadap kualitas air tanah - dampak terhadap kesehatan

- dampak terhadap estetika lingkungan

5. Penanggulangan pencemaran air

Pada prinsipnya ada 2 (dua) usaha untuk menanggulangi pencemaran, yaitu penanggulangan secara teknis dan secara teknis. Penanggulangan secara non-teknis yaitu suatu usaha untuk mengurangi pencemaran lingkungan dengan cara menciptakan peraturan perundangan yang dapat merencanakan, mengatur dan mengawasi segala macam bentuk kegiatan industri dan teknologi sehingga tidak terjadi pencemaran. Peraturan perundangan ini hendaknya dapat memberikan Gambaran secara jelas tentang kegiatan industri yang akan dilaksanakan, misalnya meliputi AMDAL, pengaturan dan pengawasan kegiatan dan menanamkan perilaku disiplin. Sedangkan penanggulangan secara teknis bersumber pada perlakuan industri terhadap perlakuan buangannya, misalnya dengan mengubah proses, mengelola limbah atau menambah alat bantu yang dapat mengurangi pencemaran.

Sebenarnya penanggulangan pencemaran air dapat dimulai dari diri kita sendiri. Dalam keseharian, kita dapat mengurangi pencemaran air dengan cara mengurangi


(45)

21 produksi sampah (minimize) yang kita hasilkan setiap hari. Selain itu, kita dapat pula mendaur ulang (recycle) dan mendaur pakai (reuse) sampah tersebut.

Teknologi dapat kita gunakan untuk mengatasi pencemaran air. Instalasi pengolahan air bersih, instalasi pengolahan air limbah, yang dioperasikan dan dipelihara baik, mampu menghilangkan substansi beracun dari air yang tercemar. Dari segi kebijakan atau peraturan pun mengenai pencemaran air ini telah ada. Bila kita ingin benar-benar hal tersebut dapat dilaksanakan, maka penegakan hukumnya harus dilaksanakan pula. Pada akhirnya, banyak pilihan baik secara pribadi ataupun sosial (kolektif) yang harus ditetapkan, secara sadar maupun tidak, yang akan mempengaruhi tingkat pencemaran dimanapun kita berada. Walaupun demikian, langkah pencegahan lebih efektif dan bijaksana. Melalui penanggulangan pencemaran ini diharapkan bahwa pencemaran akan berkurang dan kualitas hidup manusia akan lebih ditingkatkan, sehingga akan didapat sumber air yang aman, bersih dan sehat.

C. MEMBRAN 1. Denifisi Membran

Membran adalah selaput semi permeabel yang melewatkan spesi tertentu dan menahan spesi yang lain berdasarkan ukuran spesi yang akan dipisahkan. Spesi yang berukuran besar akan tertahan dan yang ukurannya lebih kecil akan dilewatkan (Mulder, 1996).

2. Klasifikasi Membran

Mulder (1996) dan Wenten (1999) menyatakan bahwa membran dapat diklasifikasikan berdasarkan keberadaan (eksistensi), morfologi, fungsi, dan bentuk. Berdasarkan keberadaannya membran dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu : (1) membran alamiah yang terdapat di dalam jaringan tubuh organisme, berfungsi melindungi isi sel dari pengaruh lingkungan dan membantu proses metabolisme, (2) membran sintetik yang dibuat secara sengaja untuk kebutuhan dan disesuaikan dengan sifat membran alamiah. Membran sintetik dapat dibuat dari polimer seperti polikarbonat, polipropilen, polietilen, poliamida, nilon, selulosa asetat dan polisulpon.


(46)

22 Bahan-bahan lain yang dapat digunakan antara lain keramik, gelas, logam, dan lain-lain.

Gambar 2. Membran waterfine berbentuk Hollow Fiber.

Membran juga dapat dibagi berdasarkan morfologinya menjadi dua golongan yaitu : (1) membran asimetrik yang mempunyai struktur pori yang tidak seragam, dan (2) membran simetrik yang mempunyai struktur pori yang seragam. Berdasarkan fungsinya membran dapat dibagi menjadi : (1) membran mikrofiltrasi, (2) membran ultrafiltrasi, (3) membran osmosa balik, (4) membran dialisa, dan (5) membran elektrodialisis


(47)

23 Membran mikrofiltrasi (MF) adalah membran yang memisahkan partikel berukuran mikron atau submikron (makromolekul > 500.000 g/mol atau partikel dengan ukuran 0,1-10 μm). Lazimnya berbentuk cartridge, gunanya untuk menghilangkan partikel dari air bersih (telah diberi pralakuan) yang berukuran 0,04 sampai 100 mikron, asalkan kandungan TSS (total suspended solid) tidak melebihi 100 ppm (Mulder, 1996).

Membran ultrafiltrasi (UF), ialah proses pemisahan (menggunakan) membran untuk menghilangkan berbagai zat terlarut BM (berat molekul) tinggi , aneka koloid, mikroba sampai padatan tersuspensi dari air/cairan. Membran semipermeabel dipakai untuk memisahkan makromolekul (makromolekul > 5.000 g/mol atau partikel dengan ukuran 0,001-0,1 μm) dari larutan. Ukuran dan bentuk molekul terlarut merupakan faktor penting retensinya (Mulder, 1996).

Membran berdasarkan bentuknya dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu : (1) membran datar yang mempunyai penampang lintang dan bentuknya melebar dan (2) membran tubular yang berbentuk pipa memanjang. Membran datar dapat terbagi menjadi tiga macam : (1) membran datar yang terdiri dari satu lembar saja, (2) membran datar bersusun, dan (3) membran spiral bergulung. Membran tubular dibagi menjadi tiga macam : (1) membran berongga dengan diameter < 0,5 mm, (2) membran kapiler dengan diameter 0,5-5,0 mm, dan (3) membran tubular dengan diameter > 5 mm (Mulder, 1996).

Menurut Mulder (1996), membran juga dibedakan berdasarkan ukuran porinya, yaitu (1) makropori, yaitu membran dengan ukuran pori yang lebih besar dari 50 nm, (2) mesopori, yaitu ukuran pori berkisar 2-50 nm, dan (3) mikropori, yaitu ukuran pori yang lebih kecil dari 2 nm.

Membran berdasarkan gaya penggeraknya dapat dibedakan atas 4 kelompok, yaitu gaya penggerak berupa (1) perbedaan tekanan (∆P), (2) perbedaan konsentrasi (∆C), (3) perbedaan temperatur (∆T), dan (4) perbedaan potensial kimia. (Kaseno, 1999). Perbandingan kinerja membran berdasarkan bentuk dapat dilihat pada Tabel 3.


(48)

24 Tabel 3. Perbandingan kinerja membran berdasarkan bentuk

Karakteristik

DESAIN

Spiral-Wound Fibers Tubular Datar

Biaya Rendah Rendah Tinggi Tinggi

Packing Density Tinggi UF-Tinggi

RO-Sangat tinggi

Rendah Rata – rata

Pressure Capability Tinggi UF-Rendah

RO-Tinggi

UF-Rendah RO-Rata - rata

Tinggi

Pilihan bahan polimer Banyak Sedikit Sedikit Banyak

Resisten terhadap fouling Rata – rata UF-Baik RO-Tidak baik

Sangat baik Rata – rata

Kemampuan dibersihkan kembali

Baik UF-Sangat baik

RO-Tidak baik

Sangat baik Baik

Sumber : Paulson,1995

3. Karakterisasi Membran

Kinerja (performance) membran dalam pemisahan terutama dipengaruhi oleh karakteristik membran yang digunakan, selain itu juga dipengaruhi oleh disain proses, dan aspek teknik kimianya. Penilaian terhadap karakteristik membran meliputi struktur dan ukuran pori serta sifat fisik mekanik dan kimia membran (Brocks, 1983).

Sifat-sifat kimia membran yang penting antara lain (1) sifat hidrofilik atau hidrofobik, (2) ada atau tidaknya muatan ion, (3) ketahanan terhadap suhu tinggi dan zat-zat kimia tertentu, serta (4) daya tarik terhadap partikel dalam umpan. Selain itu menurut Brocks (1983), kandungan mineral yang terdapat dalam membran dan zat yang dapat larut dalam larutan yang dipisahkan perlu diperhatikan. Sifat-sifat kimia membran terutama dipengaruhi oleh bahan yang digunakan untuk pembuatan membran.

Beberapa sifat mekanik membran yang penting meliputi kekuatan tarik (tensile strength) dan elongasi. Selain itu dapat juga dilakukan pengujian terhadap kekuatan lentur, kekuatan patah, dan modulus elastisitas terutama untuk keperluan operasi secara fabrikasi. Sifat-sifat mekanik membran dapat diperbaiki dengan beberapa cara antara lain pemanasan (annealing) dan dengan cara meningkatkan derajat kristalinitas bahan yang digunakan (Brocks, 1983).


(49)

25 Karakteristik membran dipengaruhi oleh jenis bahan pembuat dan proses pembuatan memban tersebut. Membran yang dibuat dari selulosa dan turunannya pada umumnya mempunyai kekuatan tarik yang lebih tinggi dari membran polimer sintetis. Sebaliknya membran polimer sintetis umumnya lebih tahan terhadap pH umpan dibandingkan membran selulosa. Masing-masing membran mempunyai kelebihan dan kekurangan (Brocks, 1983).

Parameter utama yang digunakan dalam penilaian kinerja membran filtrasi adalah harga fluks dan rejeksi (Wenten, 1999). Secara umum nilai fluks dinyatakan sebagai permeabilitas hidraulik (hydraulic transmembrane flux) yang dihitung sebagai aliran cairan yang melalui unit luas permukaan membran pada tekanan tertentu.

4. Proses Pemisahan Membran

Proses pemisahan dengan menggunakan membran mempunyai beberapa kelebihan dan kelemahan. Menurut Wenten (1999) secara umum proses pemisahan dengan menggunakan membran mempunyai beberapa kelebihan dibanding dengan proses pemisahan yang lain, diantaranya adalah : (1) konsumsi energi relatif kecil, karena tidak terjadi perubahan fase dalam proses pemisahannya, (2) biaya operasi relatif rendah karena tidak menggunakan bahan kimia, (3) tidak menimbulkan pencemaran lingkungan karena dalam prosesnya tidak memerlukan aditif, (4) proses dapat berlangsung secara kontinu, dan (5) tidak memerlukan ruang instalasi yang besar. Kelemahan proses pemisahan dengan menggunakan membran hanyalah mudah timbulnya polarisasi konsentrasi di permukaan membran yang dapat menurunkan fluks zat yang dipisahkan.


(50)

26

Gambar 4. Simulasi kinerja proses membran filtrasi (http://www.geocities.com)

(a) (b)

Gambar 5. (a) dan (b) Simulasi cara kerja membran Hollow fiber (http://www.geocities.com)

Menurut Mulder (1996), umpan adalah larutan yang berisi satu atau lebih campuran molekul atau partikel yang akan dipisahkan, permeat adalah bagian-bagian yang dilewatkan oleh membran dan rentetat adalah bagian yang ditahan oleh membran. Prinsip pemisahan dapat dilihat pada Gambar 4.

Menurut Wenten (1999), proses perpindahan suatu molekul atau partikel di dalam membran disebabkan kerena adanya gaya yang bekerja pada molekul atau partikel di


(51)

27 dalam membran. Gaya dorong (driving force) didefinisikan sebagai besarnya beda potensial pada membran (∆X) dibagi dengan ketebalan membran (l ).

Driving force = ∆X/ l, [N/mol]

Menurut Mulder (1996), gaya-gaya pendorong ini dapat berasal dari gradien tekanan, gradien konsentrasi, gradien potensial listrik atau gradien temperatur antara dua sub sistem yang dipisahkan.

Umpan Rentetat ((feed)

Permeat ∆P,∆C,∆E,∆T

Keterangan :

∆P = perbedaan tekanan ∆E = perbedaan potensial listrik ∆C = perbedaan konsentrasi ∆T = perbedaan temperatur

Gambar 6. Prinsip operasi membran (Mulder, 1996)

Menurut Mulder (1996), kinerja dan efisiensi membran ditentukan oleh dua parameter yaitu permeat atau fluks dan selektivitas atau rejeksi. Fluks adalah jumlah permeat yang diperoleh pada operasi membran per satuan luas permukaan membran dan per satuan waktu. Fluks volume dapat dinyatakan sebagai berikut :


(52)

28

Dimana : Jv = fluks volume (l/m2.jam) T = waktu (jam)

A = luas permukaan membran (m2) V = volume permeat (l)

Kisaran fluks dan tekanan yang dibutuhkan oleh beberapa jenis membran filtrasi dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Selang fluks dan tekanan

Proses membran Selang tekanan (bar)

Selang fluks (l.m-2.h-1)

Mikrofiltrasi 0,1-2,0 >50

Ultrafiltrasi 1,0-5,0 10-50

Nanofiltrasi 5,0-20 1,4-12

Reverse osmosis 10-100 0,02-1,4

Sumber : Mulder (1996)

Parameter membran yang penting lainnya adalah selektivitas atau rejeksi. Selektivitas merupakan kemampuan untuk memilih zat yang harus tersaring. Selektivitas membran terhadap campuran ditentukan dengan parameter tahanan (Mulder, 1996). Rejeksi adalah kemampuan membran untuk menahan suatu komponen agar tidak melewati membran (Wenten, 1999). Menurut Wenten (1999) nilai rejeksi suatu solute dinyatakan sebagai berikut :

CM1 (permeat)

RM1 (%) =1 - x 100% CM1 (feed)s

Dimana : R M1 = persentasi tahanan

CM1 (permeat) = konsentrasi partikel dalam permeat CM1 (feed) = konsentrasi partikel dalam umpan

J = V A.t


(53)

29 Nilai R tidak tergantung pada satuan konsentrasi. Nilai R bervariasi antara 0 - 100%. Nilai R 100% artinya pemisahan partikel sempurna, dalam hal ini membran semipermeabel ideal dan nilai R sama dengan 0% artinya seluruh partikel larutan melewati membran secara bersama sama.

Beberapa industri manufaktur menggunakan konsep moleculer weight cut off

(MWCO) untuk mengkarakterisasi membran ultrafiltrasi. MWCO didefinisikan sebagai berat molekul yang 90 % direjeksi oleh membran. Nilai cut off 40000 berarti lebih dari 90 % zat terlarut dengan berat molekul 40000 akan direjeksi oleh membran. Wenten (1999) menyatakan bahwa terdapat empat jenis desain membran yaitu

dead- end, cross- flow, hibrid dead-end cross-flow, dan cascade. Perbedaan aliran pada sistem dead-end dan cross-flow diilustrasikan pada Gambar 8.

Pada sistem dead-end , arah aliran tegak lurus terhadap membran. Sistem ini mempunyai kelemahan yaitu cenderung mengakibatkan fouling yang sangat tinggi karena terbentuknya cake di permukaan membran pada sisi umpan. Sistem

crossflow, umpan dialirkan dengan arah aksial (sejajar) dengan permukaan membran. Karena aliran seperti itu, pembentukan cake terjadi sangat lambat karena tersapu oleh gaya geser yang disebabkan oleh aliran crossflow umpan. Pada aplikasi dalam industri, operasi secara crossflow lebih disukai.


(54)

30 Umpan

Umpan Retentate Retentate

Permeat Permeat

(a) (b)

Gambar 8. Perbandingan sistem desain operasi (a) dead-end, (b) cross-flow

5. Material Pembuat membran

Membran dapat diproduksi dari bahan organik maupun anorganik. Membran anorganik terdiri dari 4 macam tipe yaitu (i) membran keramik, (ii) membran gelas, (iii) membran metal (termasuk karbon), dan (iv) membran ziolit. Sedangkan membran yang dihasilkan dari bahan organik diantaranya adalah selulosa asetat (CA), selulosa triasetat (CTA), regenerated selulosa (RA), poliakrilonitril (PAL), polivinilidinedifluoride (PVDF), PTFE, poliamida (PA), polisulfon (PS), polietersulfon (PES), sulfonated polietersulfon (PSS) dan poliolefin (PO) (Wenten, 1999).

Polisulfon

Membran polisulfon banyak digunakan untuk ultrafiltrasi. Polisulfon merupakan polimer dari diphenil sulfon. Cincin phenilen membuat molekul stabil dan kuat, sedangkan gugus phenil eterdan phenil sulfon menyebabkan molekul tahan panas dan tidak mudah teroksidasi.

C O SO2 O

Gambar 9. Struktur molekul polisulfon (Mulder, 1996) CH3


(55)

31 Beberapa sifat yang dapat menempatkan polisulfon sebagai membran terkemuka adalah mempunyai temperatur gelas (Tg = 195oC), stabil terhadap panas dan oksidasi, tahan terhadap perubahan pH, tidak meregang meski pada temperatur tinggi, memiliki fleksibilitas dan kekuatan sangat tinggi, menunjukkan struktur amorf pada keadaan seperti gelas, sifat kimia yang menonjol yaitu tidak larut atau rusak oleh asam-asam encer maupun alkali. Sifat lain dari polisulfon adalah rusak dalam asam sulfat pekat karena rantai polimer terdegradasi dan terjadinya sulfonasi, mempunyai kelarutan rendah dalam medium alifatik dan hanya kadang-kadang larut oleh senyawa-senyawa polar, dan larut dalam hampir semua pelarut-pelarut aromatik polar dan senyawa-senyawa terklorinasi tinggi (Mulder, 1996).

6. Peristiwa Fouling

Salah satu faktor yang menyebabkan keterbatasan penggunaan membran berpori adalah fouling. Fouling adalah perubahan yang bersifat irreversible yang disebabkan oleh interaksi secara fisik dan kimiawi antara membran dan partikel yang terdapat dalam proses pemisahan. Membran fouling diidentikkan dengan penurunan fluks permeat dan perubahan selektivitas pada membran. Perubahan ini dapat berlangsung selama proses dan membutuhkan penanganan yang serius dan mahal termasuk penggantian membran (Wenten, 1999). Proses penurunan fluks selama filtrasi dapat dilihat pada Gambar 10.

Fluks Fluks δ (tebal cake)

δ(tebal cake)

J (Fluks) J (Fluks) (a) Waktu (b) Waktu


(56)

32 Menurut Wenten (1999), kata irreversible pada peristiwa fouling bersifat relatif. Perubahan sifat-sifat membran dapat dikembalikan dengan melakukan backflushing, penggunaan laju alir silang yang tinggi atau metode pembersihan secara kimiawi.

Gambar 11. Faktor – faktor yang mempengaruhi fluks (Mulder, 1996)

Laju alir Suhu


(1)

70 Lampiran 9. Penentuan laju alir

1. Luas bidang aktif

diketahui : diameter permukaan aktif membran (D) = 4.3 cm = 0.043 m ditanyakan : luas permukaan aktif ?

jawab : luas permukaan aktif membran = (3.14 * d2)/4 = (3.14 * 0.0432)/4 = 0.002462 m2

2. Penentuan luas bidang interaksi

diketahui : diameter dalam modul = 4.3 cm tinggi dalam modul = 2 cm

ditanyakan : luas bidang interaksi di titik tengah ?

jawab : luas bidang interaksi (A) di titik tengah = 4.3 cm * 2 cm = 8.6 cm2

= 0.000086 m2

3. Penetuan laju alir • Pada tekanan 0.7 bar

diketahui : debit (Q) air = 358 ml/ 10 detik ditanyakan : laju alir (v) ?

jawab : v = Q/A

= 0.42 m/s

360 ml 1 L 1000 m3

10 detik 0.000086 m2 1000 ml 1 L 4.3 cm

2 cm


(2)

71 • Pada tekanan 1.4 bar

diketahui : debit (Q) air = 355 ml/ 10 detik ditanyakan : laju alir (v) ?

jawab : v = Q/A

= 0.41 m/s

• Pada tekanan 2.1 bar

diketahui : debit (Q) air = 358 ml/ 10 detik ditanyakan : laju alir (v) ?

jawab : v = Q/A

= 0.42 m/s

355 ml 1 L 1000 m3

10 detik 0.000086 m2 1000 ml 1 L

358 ml 1 L 1000 m3

10 detik 0.000086 m2 1000 ml 1 L =


(3)

72 Lampiran 10. Prosedur analisis karakteristik air

1. Fluks (Wenten, 1999)

Fluks (J) merupakan jumlah filtrat yang keluar (L) per satuan luas (A) per waktu (t) yang dapat ditulis rumusnya sebagai berikut :

J= V/ (Axt)

J= fluks (l/m-2jam-1) V= volume permeat (l)

A= luas permukaan membran (m2)

t = waktu (jam)

2. Total padatan terlarut (Total Dissolved Solid)(TDS) (Nutabonis, 2004) a. Alat penyaring milipore dan pompa vakumnya disiapkan.

b. Kertas saring milipore dikeringkan dalam oven 103 – 105 0C dan kemudian didinginkan dalam desikator serta ditimbang beratnya.

c. Kemudian sejumlah contoh air disaring dan dicatat volumenya.

d. Cawan bersih dipanaskan dalam tungku pemanas dalam 550 0C selama 1 jam. Selanjutnya cawan didinginkan dan dimasukkan ke dalam desikator serta ditimbang. Cawan disimpan dalam desikator hingga siap untuk dipakai.

e. Filtrat air contoh sebanyak 100 mL dituang ke dalam cawan kemudian diuapkan hingga kering pada oven 103 – 105 0C.

f. Setelah kering filtrat mengalami pemanasan lebih lanjut selama 1 jam. g. Cawan didinginkan dalam desikator untuk kemudian ditimbang.

Pemanasan dan penimbangan ini dilakukan berulang kali sehingga diperoleh berat yang konstan.

h. Perhitungan :

A = berat cawan + residu B = berat cawan contoh

mg/l padatan terlarut total = ( A – B) x 1000 ml contoh


(4)

73 3. Total padatan tersuspensi (Total Susspended Solid)(TSS) (Nutabonis, 2004)

a. Alat penyaring milipore dan pompa vakumnya disiapkan.

b. Kertas saring milipore dikeringkan dalam oven 103 – 105 0C dan kemudian didinginkan dalam desikator serta ditimbang beratnya.

c. Kemudian sejumlah contoh air disaring dan dicatat volumenya.

d. Kertas saring berikut residu yang diperoleh dalam oven pada 103 – 105 0C selama 1 jam. Kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. e. Perhitungan :

A = berat kertas saring + residu B = berat kertas saring contoh

4. Kekeruhan (Nutabonis, 2004)

Sebanyak 25 ml blanko (air akuabides) dan sampel air dituangkan ke dalam botol kaca spektrofotometer. Alat DR2000 kemudian dihidupkan. Selanjutnya kode program pemeriksaan kekeruhan (750) dimasukkan ke spektrofotometer alat DR2000 dan panjang gelombang diatur pada 860 nm. Setiap kali pembacaan kekeruhan sampel, pembacaan blanko dilakukan terlebih dahulu. Hasil kekeruhan yang didapat dalam satuan NTU (Nephelometric Turbidity Unit).

5. Warna (Nutabonis, 2004)

Sebanyak 25 ml blanko (air akuabides) dan sampel air dituangkan ke dalam botol kaca spektrofotometer. Alat DR2000 kemudian dihidupkan. Selanjutnya kode program pemeriksaan warna (120) dimasukkan ke spektrofotometer alat DR2000 dan panjang gelombang diatur pada 455 nm. Setiap kali pembacaan kekeruhan sampel, pembacaan blanko dilakukan terlebih dahulu. Hasil kekeruhan yang didapat dalam satuan Pt Co Scale (Platina Cobalt Scale).

6. Mikrobiologi (Total E.Coli dan Total Coliform) (Nutabonis, 2004) Penghitungan jumlah total coliform dan E.coli menggunakan prinsip yang sama, namun menggunakan media agar dan suhu inkubasi yang berbeda. Total

mg/l padatan tersuspensi total = ( A – B) x 1000 ml contoh


(5)

74

coliform diinkubasi pada suhu 35 oC dengan medium M-Endo, sedangkan total

E.coli diinkubasi dengan menggunakan suhu 44,5 oC dengan medium M-FC.

7. pH (Nutabonis, 2004)

ƒ suhu air diukur dan diset pengatur suhu pH meter.

ƒ pH meterdinyalakan dan dibiarkan sampai stabil (15 – 30 menit)

ƒ elektroda dibilas dengan air

ƒ elektroda dicelupkan ke dalam larutan air

ƒ elektroda dibiarkan tercelup beberapa saat sampai diperoleh pembacaan yang stabil


(6)

75 Lampiran 11. Baku Mutu Air Minum KepMenKes

No.907/MENKES/SK/VII/2002

No Parameter Satuan Persyaratan Teknik Pengujian

FISIKA

1. Bau - tidak berbau Organoleptik

2. Rasa - normal Organoleptik

3. Warna TCU maks.15 Spektrofotometri

4. Total Padatan Terlarut (TDS)

mg/l maks. 1000 Gravimetri

5. Kekeruhan NTU maks. 5 Spektrofotometri

6. Suhu oC Suhu udara ± 3oC Termometer

KIMIA

7. Besi (Fe) mg/l maks 0.3 AAS

8. Kesadahan sebagai CaCO3 mg/l maks. 500 Titrimetri

9. Klorida (Cl) mg/l maks 250 Argentometri

10. Mangan (Mn) mg/l maks 0.1 AAS

11. pH - 6.5 - 8.5 pH meter

12. Seng (Zn) mg/l maks. 8 AAS

13. Sulfat (SO4) mg/l maks 250 Spektrofotometri

14. Tembaga (Cu) mg/l maks. 1 AAS

15. Klorin (Cl2) mg/l maks. 5 Titrimetri

16. Amonium (NH4) mg/l maks 0.15 Spektrofotometri (Nesler)

KIMIA ANORGANIK

17. Arsen (As) mg/l maks. 0.01 AAS

18. Fluorida (F) mg/l maks 1.5 Spektrofotometri

19. Krom heksavalen (Cr6+) mg/l maks 0.05 AAS

20. Kadnium (Cd) mg/l maks. 0.003 AAS

21. Nitrat (NO3) mg/l maks 50 Spektrofotometri (Brusin)

22. Nitrit (NO2) mg/l maks 3 Spektrofotometri (NED)

23. Sianida (CN) mg/l maks 0.07 Destilasi

24. Timbal (Pb) mg/l maks. 0.01 AAS

25. Raksa (Hg) mg/l maks 0.001 AAS

MIKROBIOLOGI

24. E. Coli APM/100ml negatif MPN