atau pendalaman ilmu agama Islam, yang pada akhirnya dikembangkan secara luas di tanah air.
C. Lembaga Keagamaan di Banten
1. Tarekat
Tarekat merupakan pengamalan ajaran metode-metode tasawuf yang sesuai dengan petunjuk atau gurunya mursyid. Tarekat lebih mementingkan
amalan praktis dan bersifat organisasi. Masuknya tasawuf ke Nusantara diduga sejak abad XIII bersama dengan kehancuran Dinasti Abasiyah Hulaqu pada
tahun 1258. Hal ini dapat dilihat bahwa penyebaran Islam yang dianggap keramat menunjukan sangat besarnya segi tasawuf dalam ajaran-ajarannya. Oleh
karena sebelum masuknya Islam, di Indonesia sendiri telah ada agama Pribumi, misalnya Hindu dan Budha yang mempercayai adanya mistik, maka dengan
masuknya Islam dalam bentuk tasawuf memudahkan dan mempercepat penerimaan masyarakat Pribumi terhadap Islam.
21
Dalam kenyataannya tarekat lebih dikenal oleh masyarakat awam daripada ajaran tasawuf itu sendiri. Sebab tarekat menekankan pada amalan praktis dalam
mendekati Allah sesuai petunjuk guru dan syekhnya, hingga lebih diminati oleh masyarakat awam dari pada seluk-beluk ajaran tasawuf padahal tarekat adalah
bagian penting dari tasawuf. Sedikitnya ada tujuh macam tarekat yang pernah masuk ke Nusantara. Hal
ini tidak lepas dari pengaruh para koloni Jawa dalam hubungannya dengan
21
Uka Tjandrasasmita ed, Sejarah Nasional Indonesia cet.4 Jakarta:Balai Pustaka, 1984, jilid, 3, h. 181
organisasi-organisasi tarekat yang bekembang di Mekah. Pada masa itu banyak koloni Jawa yang menetap di Mekah mendalami tarekat Qodariyah,
Naqsyabandiyah dan Satariyah. Pada ke-19 ketiga organisasi tarekat ini memiliki peran aktif di Nusantara. Dalam perkembangan selanjutnya tarekat
Syatariyah kurang diminati, sedangkan tarekat Naqsabandiyah, dan Qodariah berkembang pesat.
22
Di samping itu berkembang pula tarekat Qodariah wa Naqsyabandiyah yang merupakan gabungan dua buah tarekat menjadi satu, yaitu
tarekat Qodariyah dengan tarekat Naqsyabandiyah.
23
Menurut Karel A. Steenbrink dan Sartono Kartodirjo, tarekat yang berkembang di Banten adalah tarekat Qodariyah
24
yang didirikan oleh Syekh Abdul Qadir Jaelani 1077-1166. Tarekat ini menekankan pentingnya
zikirwirid yang keras dan ekstasis. Berbeda dengan dua peneliti ini, menurut Martin Van Bruinessen tarekat yang berkembang di Banten pada saat itu adalah
tarekat Qadariyah wa Naqsyabandiyah dengan zikirwirid keras Qadariyah dan zikirwirid dalam Naqsyabandiyah. Lebih lanjut Martin memaparkan:
“ Tarekat Qadariyah wa Naqsyabandiyah yang terdapat di Indonesia
bukanlah hanya merupakan suatu penggabungan dari dua Tarekat yang berbeda yang diamalkan bersama-sama. Tarekat ini lebih merupakan sebuah tarekat yang
baru dan berdiri sendiri, yang di dalamnya unsur-unsur pilihan dari Qadariyah dan juga Naqsyabandiyah telah dipadukan menjadi sesuatu yang baru”.
25
Tarekat ini didirikan oleh Ahmad Khatib Sambas yang bermukim dan
mengajar di Mekah pada pertengahan abad ke-19. Perlu dicatat bahwa penganut
22
Ibid., h. 225
23
Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia, Bandung: Mizan, 1992, Cet. 1, h. 89
24
Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Jakarta: Bulan Bintang , 1984, Cet.1, h. 55. lihat juga Sartono Kartodirjo, h. 227
25
Bruinessen, Tarekat Naqsabandiah di Indonesia, h. 89
kedua tarekat tersebut Qadariyah dan Naqsyabandiyah mengakui Abdul Karim al-Bantani dan Ahmad Katib Sambas sebagai mursyid sekaligus khalifah.
26
Dalam perkembangan selanjutnya tarekat tidak hanya membangkitkan praktek-praktek keagamaan tatapi juga mampu membangkitkan sikap anti
pemerintah asing. Bahkan melalui tarekat itu antara ulama yang satu dengan yang lainnya saling menjalin komunikasi dan menjadi semacam ikatan yang
kokoh di Banten. Para pengikut tarekat tidak hanya terbatas pada rakyat kecil saja, melainkan juga para pegawai sipil termasuk polisi.
27
Organisasi tarekat meluas sampai ke daerah Bogor, Tangerang, Solok, Sambas, Bali, dan Madura.
Tarekat Qodariyah wa Naqsyabandiyah yang berkembang di Banten, tampak sebagai artikulasi Identitas Keislaman berhadapan dengan lawannya
Belanda. Golongan tarekat ini sangat panatik terutama untuk membentuk kelompok organisasi dalam satu solidaritas dengan suatu Idiologi keyakinan
yang kokoh untuk dipakai sebagai Idiologi dalam melawan aksi-aksi dari lawannya Belanda yang mengancam eksistensinya. Dan tidak mengherankan
jika mereka berani melakukan konfrontasi fisik dalam bentuk jihad fisabilillah seperti yang terjadi dalam pemberontakan petani di Cilegon yang lebih dikenal
dengan Geger Cilegon.
26
Adanya dua pendapat yang berbeda tentang tarekat yang berkembang di Banten pada saat itu, disebabkan perbedaan sudut pandang dalam melihat tarekat tersebut. Sartono dan Karel melihat bahwa
Khalifah Abdul Karim al-Bantani adalah murid Syekh Ahmad Khatib Sambas yang mempelajari tarekat Qadariyah dari Syekh Syamsuddin di Mekah dan tidak di ketahui dari siapa Ahmad Khatib mempelajari
tarekat Naqsabandiyah. Hal ini diakui Martin, sementara Martin melihatnya dari sisi ajaran tarekat Qadariyah wa Naqsabandiyah yang memilih ajaran-ajaran dari kedua tarekat tersebut kemudian
menggabungkannya. Karena penggabungan tarekat telah pula diamalkan oleh Syekh-syekh lain. Misalnya Ibrahim al-Qur’ani yang mengamalkan tarekat qadariyah wa Naqsabandiah dengan tarekat Sattariah.
Syekh Yusup al-Makasari mengamalkan tarekat Qadariyah, Naqsabandiyah, Sattariyah, Balawiyah dan Khalwatiyah. Demikian juga Syekh Abdul Rauf Singkel tidak hanya mengamalkan tarekat Sattariyah
tetapi juga beberapa tarekat lainnya termasuk tarekat Naqsabandiyah. Ibid., h. 40-41dan h. 89-91
27
H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES, 1985, Cet.1, h. 67
2. Pesantren