Dinakmika pemikiran politik Ahmad Syafi'i Ma'arif: tinjauan terhadap idiologi negara

(1)

DINAMIKA PEMIKIRAN POLITIK AHMAD SYAFI’I MA’ARIF

(Tinjauan Terhadap Ideologi Negara)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) oleh:

Lia Hilyah NIM: 105045201521

Dibawah bimbingan Pembimbing

Dr. Rumadi, MA NIP: 196903041997031012

KONSENTASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2009 1430 H/2009 M


(2)

DINAMIKA PEMIKIRAN POLITIK AHMAD SYAFI’I MA’ARIF (Tinjauan Terhadap Ideologi Negara)

Skripsi

Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh : Lia Hilyah NIM: 105045201521

KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(3)

PENGESAHAN PANITIA PENGUJI

Skripsi berjudul DINAMIKA PEMIKIRAN POLITIK AHMAD SYAFI’I MA’ARIF (Tinjauan Terhadap Ideologi Negara) telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 8 Desember 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Siyasah Syar’iyyah.

Jakarta, 10 Desember 2009

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, M.A, M.M. NIP. 195505051982031012

PANITIA UJIAN MUNAQASAH

1. Ketua : Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH., M.A., M.M. (…....…..……..…) NIP: 195505051982031012

2. Sekretaris : Sri Hidayati, M.Ag (………) NIP: 197102151997032002

3. Pembimbing : Dr. Rumadi, M.A (………….……..) NIP: 196903041997031012

4. Penguji I : Sri Hidayati, M.Ag (………...) NIP: 197102151997032002

5. Penguji II : Drs. Heldi, M. Pd (.….…….…...….) NIP: 196304141993031002


(4)

Skripsi berjudul DINAMIKA PEMIKIRAN POLITIK AHMAD SYAFI’I MA’ARIF (Tinjauan Terhadap Ideologi Negara) telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 8 Desember 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Jinayah Siyasah, KonsentrasiSiyasaSyariyyah.

Jakarta, 8 Desember 2009 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 195505051982031012

PANITIA UJIAN

1.Ketua : Dr. Asmawi, M.Ag (………)

NIP. 197210101997031008

2. Sekretaris : Sri Hidayati, M.Ag (………)

NIP. 197102151997032002

3. Pembimbing: Dr. Jaenal Aripin, M.Ag (………)

NIP. 197210161998031004

4. Penguji I : Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag (………)

NIP. 197112121995031001

5. Penguji II : Khamami Zada, MA (………)


(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah swt, atas berkat dan rahmat-Nya, penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul: Dinamika Pemikiran Politik Ahmad Syafii Maarif (Tinjauan Terhadap Ideologi Negara), dapat terselesaikan dengan tepat waktu. Shalawat dan Salam senantiasa tercurahkan keharibaan Nabi Muhammad saw, beserta keluarga dan para pengikutNya.

Dalam penyelesaian skripsi ini, tentunya tidak terlepas dari bantuan dan motifasi dari berbagai pihak, baik secara personal maupun secara kelembagaan. Untuk itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya pada semua pihak, baik yang secara langsung maupun tidak langsung telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Maka perkenankanlah penulis menghaturkan ucapan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MH, MM selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

2. Bapak DR. Rumadi, MA selaku pembimbing dalam penyelesaian skripsi ini. Beliau dengan tulus telah memberikan bimbingan dan arahan yang sangat berarti demi kelancaran penyusunan skripsi ini.

3. Bapak Asmawi, MAg selaku ketua Jurusan Jinayah Siyasah dan Ibu Sri Hidayati, MAg selaku sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah.

4. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmunya kepada penulis sehingga penulis dapat


(6)

menyelesaikan studi di Jurusan Jinayah Siyasah Prodi Siyasah Syar’iyyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Abi dan Umiku tercinta, kakak dan adik-adikku tersayang, dan semua saudaraku yang ikut berjasa dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih atas dukungan dan kasih sayang kalian. Aku Begitu Menyayangi dan Mencintai kalian semua.

6. Orang terdekat penulis Abangku (Salman). Terima kasih atas dukungan dan motivasinya.

7. Sahabat-sahabatku Istiqomah, Rohma, Arie Zakiyah, Qie-qie, Lisa Astarina, Susanti (Ds), Foe (Ds). Terima kasih atas dukungan dan persahabatan kalian yang selalu menemani penulis saat suka dan duka.

8. Sahabat-sahabat Siyasah Syar’iyyah angkatan 2005. Terima Kasih atas kebersamaan dan persahabatannya. Semoga kita dapat terus menjalani silaturrahmi.

9. Semua teman-teman penulis di mana pun berada, yang telah memberikan dukungan dan semangat dalam penyelesaian skripsi ini.

10.Kepada Lembaga Institut Maarif, terima kasih atas bantuan data-data yang telah diberikan sehingga dapat mempermudah penulis dalam penyusunan skripsi ini.

Penulis berdo’a kepada Allah swt, semoga segala dukungan dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis akan mendapatkan balasannya. Serta segala ilmu yang penulis dapatkan selama di perkuliahan dapat


(7)

bermanfaat. Dan segala pengorbanan penulis dalam penyususan skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Amien…

Jakarta, 8 Desember 2009


(8)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 8 Desember 2009 Lia Hilyah


(9)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI...iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……….1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah……….8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………..9

D. Tinjauan Pustaka………...10

E. Metode Penelitian……….11

F. Subjek Penelitian…...………13

G. Sistematika Penulisan………13

BAB II BIOGRAFI SYAFI'I MA'ARIF A. Riwayat Hidup Syafi'i Ma'arif ………..16

B. Pendidikan dan Karir Syafi’i Ma’arif………23

C. Aktifitas Syafi’i Ma’arif………29

D. Karya-karya Syafi’i Ma’arif……….36

E. Fase Perkembangan Pemikiran Syafi’i Ma’arif 1. Pembentukkan Intelektual Syafi’i Ma’arif.……….40


(10)

2. Pertumbuhan Intelektual Syafi’i Ma’arif…..………...40 3. Perkembangan Intelektual Syafi’i Ma’arif.……….41 4. Kematangan Intelektual Syafi’i Ma’arif….……….41

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG IDEOLOGI DASAR NEGARA DI INDONESIA

A. Pengertian Ideologi ………...43 B. Bentuk-Bentuk Ideologi dan Dasar Negara yang Pernah Berkembang di Indonesia………..44 1. Islam Sebagai Dasar Negara………..45 2. Pemahaman Negara Sekuler.……….52 3. Interseksi Agama dan Negara dalam Ideologi Pancasila……..54 4. Ideologi dan Falsafah Pancasila………58

BAB IV PEMIKIRAN POLITIK AHMAD SYAFI'I MA'ARIF TENTANG IDEOLOGI NEGARA DI INDONESIA

A. Pandangan Ahmad Syafi'i Ma'arif tentang Islam sebagai Ideologi Negara...69 B. Pandangan Ahmad Syafi'i Ma'arif tentang Pancasila sebagai Ideologi Negara...79 C. Pancasila sebagai Ideologi Terbuka...83


(11)

D. Relevansi Pemikiran Politik Ahmad Syafi’i Ma’arif Dalam Konteks Indonesia sekarang...85

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan………88

B. Saran………..89


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di kalangan intelektual Muslim sejak zaman klasik hingga saat ini terdapat tiga aliran tentang hubungan agama dan negara, yaitu: Pertama, golongan sekuler (Barat), berpendapat bahwa agama yang tidak ada hubungannya dengan urusan politik atau negara. Menurut aliran ini, Nabi Muhammad saw hanyalah seorang rasul biasa seperti rasul-rasul sebelumnya, dengan tugas tunggal mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang mulia. Nabi tidak pernah bermaksud mendirikan suatu negara atau pun sejenis bangunan politik lainnya. Kedua, aliran ini berpendapat bahwa Islam memang tidak memiliki hubungan secara langsung dengan masalah negara tetapi ia memiliki seperangkat nilai etika bagi kehidupan bernegara atau dalam kata lain memiliki hubungan integralistik yang saling mempengaruhi melalui nilai-nilai etika tersebut. Tokoh utama yang mewakili aliran ini adalah Muhammad Husain Haikal.1 Ketiga, para Islamis pada umumnya berpendapat, Islam merupakan sebuah agama yang khas. Sebab, Islam mengatur bukan hanya urusan transcendental, tapi juga hubungan sosial, bahkan politik. Sejarah Islam juga telah memperlihatkan bahwa Nabi Muhammad saw dalam kenyataannya merupakan pimpinan politik dan agama

1

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI Press, 1993), h. 3


(13)

sekaligus.2 Namun, Nabi Muhammad saw tidak pernah menyatakan diri sebagai seorang penguasa.

Fakta itu memberikan sebuah interpretasi bahwa politik hakikatnya hanyalah sarana dari agama itu sendiri. Apalagi fakta bahwa sunnah Nabi maupun realitas Qur'an memang tidak memberikan pola teori kenegaraan secara baku, karena al-Qur'an memang lebih merupakan petunjuk etik bagi manusia, bukan sebuah kitab ilmu politik. Umat Islam diberi kebebasan untuk membangun sistem politiknya sesuai dengan tantangan zaman dan tuntunan masyarakat. Tujuan terpenting dalam al-Qur'an lebih terarah pada upaya agar nilai dan perintah etiknya dijunjung tinggi dan bersifat mengikat atas berbagai kegiatan sosio-politik dan sosio-kultural umat Islam. Maka atas dasar nilai-nilai etik al-Qur'anlah, bangunan politik Islam dan bangunan sosio-kultural wajib ditegakkan.3

Karena itu, dapat dipahami pula jika Islam akhirnya menjadi "ideologi" yang ampuh dalam panji-panji perlawanan rakyat Indonesia ketika melawan kolonial, penjajah dan pendatang asing yang atribut kulturnya berbeda dengan pribumi yang mayoritas Muslim.4

Keinginan adanya cara hidup Islami dengan diberlakukannya syariat Islam di lembaga negara disuarakan sejak sebelum Indonesia merdeka hingga

2

Dhurorurudin Mashad, Akar Konflik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008), h. 51

3

Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan; Studi tentang Percaturan dalam Konstituante (Jakarta: LP3ES, 1996), h. 16

4


(14)

kemerdekaan.5 Pada awal-awal menjelang kemerdekaan Indonesia, para tokoh pendiri bangsa Indonesia dihadapkan dengan perdebatan panjang tentang ideologi dan dasar negara yang akan diterapkan di Indonesia. Berbagai kalangan mencoba memberikan argumen dan menawarkan dasar negara untuk Indonesia.

Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUUPK) yang dilantik pada 28 Mei 1945, ditugaskan untuk merumuskan bentuk negara, batas negara, dasar filsafat negara, dan masalah-masalah lain yang perlu dimasukkan dalam konstitusi. Para anggota BPUUPK mencoba mempertanyakan "Philosofische Grondslang" (Landasan filosofis) bagi negara yang hendak didirikan, Soekarno dan Moehammad Yamin merupakan tokoh yang paling siap untuk memberikan jawaban. Soekarno dan Moehammad Yamin mengajukan lima prinsip dasar yang kemudian dikenal dengan Pancasila. Sedangkan dari kalangan Islam yang paling bersemangat adalah Ki Bagus Hadikusuma, seorang tokoh puncak Muhammadiyah, mengajukan Islam sebagai dasar negara. Usul Ki Bagus ini merupakan anti-tesis terhadap usulan Soekarno-Yamin. Dengan munculnya dua usulan yang berbeda itu, maka dimulailah pergumulan pertama antara Pancasila dan Islam dalam sidang-sidang BPUPKI. Dalam badan BPUPKI inilah terjadi perdebatan ideologis yang sangat tajam antara wakil-wakil kaum Muslimin dengan golongan nasionalis-sekuler. Perdebatan itu dengan sendirinya memanaskan keadaan politik menjelang lahirnya Indonesia.

5

Irfan S. Awwas, Trilogi Kepemimpinan Negara Islam Indonesia; Menguak Perjuangan Umat Islam dan Pengkhianatan Kaum Nasionalis-Sekuler (Yogyakarta: Uswah, 2008), h. 33


(15)

Sidang pertama BPUPKI diselenggarakan tanggal 29 Mei sampai 1 Juni 1945. Pokok bahasan sidang pertama itu membicarakan dasar (ideologi) negara yang akan dibentuk.6 Para pemimpin Islam menginginkan agar negara didirikan di atas petunjuk al-Qur'anul Karim dan al-Hadits shahih, sehingga Indonesia harus menjadi negara Islam.

Sedangkan kaum nasionalis-sekuler, mengingat bahwa tidak hanya dihuni oleh orang-orang Islam, mereka menghendaki konstruk negara Indonesia merdeka tidak harus berdasarkan pada suatu agama tertentu (Islam), sebab jika negara yang majemuk ini, terutama dari dimensi agama, Islam dijadikan sebagai agama resmi negara dan sebagai dasar negara, tentu akan terjadi diskriminasi terhadap agama-agama lain.7

Dari pihak Islam beralasan bahwa sesungguhnya mayoritas penduduk Indonesia beragam Islam. Namun demikian, syariat Islam tidak dapat berjalan, sebab -sebagaimana diutarakan oleh Ki Bagus Hadikusumo- tidak ada institusi formal seperti negara yang mendukungnya. Zaman pemerintahan kolonial Belanda adalah contoh paling tepat untuk melukiskan betapa syariat Islam tidak dapat berjalan, kendati pun mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Lebih lanjut Hadikusumo menjelaskan bahwa sebagian besar ajaran Islam mempunyai hubungan langsung dengan persoalan politik.

6

Irfan S. Awwas, Trilogi Kepemimpinan Negara Islam Indonesia, h. 122 7

Bahtiar Efendy, Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998), Cet. Ke-I, h. 89


(16)

Pernyataan Ki Bagus Hadikusumo itu sepenuhnya dapat dipahami oleh pihak nasionalis-sekuler. Namun, kelompok ini masih tidak dapat menerima gagasan negara Islam, karena menurut Soepomo (wakil nasionalis-sekuler), Indonesia mempunyai keistimewaan-keistimewaan tertentu. Lebih dari itu, ia juga meragukan apakah syariat Islam tetap cukup mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat modern. Ideologi Islam dalam pandangan mereka adalah bentuk sistem kuno yang tidak mampu menjawab persoalan-persoalan masyarakat modern.

Setelah bergumul selama lebih kurang 21 hari, akhirnya pada tanggal 22 Juni 1945 suatu sintesis dan kompromi dapat diwujudkan antara dua pola pemikiran yang berbeda itu. Sintesis inilah yang kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta. Piagam Jakarta adalah hasil kerja sebuah panitia kecil dalam BPUPKI.8 Dalam piagam ini Pancasila diterima sebagai dasar negara, tetapi urutan silanya mengalami perubahan letak. Sila ketuhanan disamping ditempatkan sebagai sila mahkota (pertama), juga diberikan anak kalimat pengiring, "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Piagam ini adalah hasil rumusan panitia sembilan: Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikusumo Tjokrosujoso, Abdul Kahar Muzakir, Agus Salim, Achmad Subardjo, Wahid Hasjim, dan Moehammad Yamin.

Kompromi politik dalam bentuk Piagam Jakarta rupanya hanya mampu bertahan selama 57 hari. Anak kalimat pengiring yang terdiri dari tujuh atau delapan perkataan di atas dirasakan oleh sebagian bangsa kita belahan timur sebagai

8


(17)

diskriminatif terhadap pemeluk agama lain. Maka demi persatuan bangsa, akhirnya anak kalimat itu pada tanggal 18 Agustus 1945 dibuang dari pembukaan UUD 1945.

Alasan paling keras disuarakan untuk menolak pemberlakuan syariat Islam adalah persoalan minoritas non-Muslim. Kekhawatiran minoritas non-Muslim seperti ini pernah diungkapkan secara terbuka dan terus terang oleh seorang cendekiawan Kristen, Th. Sumartana. Menurutnya, "Bagi umat non-Muslim, kesangsian dan ketakutan utama mereka terhadap pemberlakuan syariat Islam adalah manakala status kewarganegaraan mereka tereduksi menjadi sekedar "para penumpang" atau "para tamu", bahkan lebih ngeri lagi kalau dianggap sebagai "orang asing" di negara sendiri. Mereka ingin diakui dan diterima sebagai sesama warga negara yang setara dengan warga negara yang lain, karena mereka juga merasa memiliki andil dalam pendirian republik ini.

Pasca polemik Soekarno dan Natsir, perdebatan yang sama kembali muncul pada masa Orde Baru antara tahun 1960-an sampai 1980-an di kalangan para intelektual Muslim. Pada masa awal Orde Baru, pembangunan ekonomi lebih diprioritaskan dari pada masalah politik. Untuk itu stabilitas merupakan prinsip penting bagi pemerintah, pada awal dekade 1970-an pemerintah mengadakan restrukturisasi politik dalam usaha menciutkan peran politik masyarakat untuk suksesnya stabilitas. Bersamaan dengan depolitisasi masa lalu, pemerintahan Orde


(18)

Baru merencanakan apa yang disebut dengan pembangunan nasional dengan modernisasi isu sentralnya.9

Salah satu tokoh pendukung kuat gagasan negara Islam Indonesia pada masa ini adalah Ahmad Syafii Maarif. Sebelum meneruskan kuliah ke Universitas Chicago, pola pikir Maarif terikat oleh pemikiran tokoh-tokoh Masyumi plus Maududi dan menjadikannya sebagai rujukan primer. Pada tahun 1976-1978, Syafii Maarif aktif dalam MSA (Muslim Students' Association), yang masih sangat merindukan tegaknya sebuah negara Islam di suatu negeri. Sampai meninggalkan Athens tahun 1978, masih belum ada yang dapat ditawarkan Syafii Maarif untuk menembus kebuntuan intelektualisme Islam. Kesamaan ideologi Maarif dengan tokoh-tokoh Masyumi ini ia pertahankan hingga akhirnya berubah haluan setelah sampai di Chicago pada awal 1980-an.10

Periode Chicago merupakan perubahan mendasar dalam pola pemikirannya tentang Islam, Maarif merasa sedang mengalami kelahiran kedua dalam pemikiran. Islam baginya adalah sumber moral utama dan pertama. Al-Qur'an adalah kitab suci dengan sebuah benang merah pandangan dunia yang jelas sebagai acuan dalam berpolitik. Pergumulan dengan kuliah-kuliah Fazlur Rahman selama empat tahun telah mempengaruhi sikap hidup Maarif secara mendasar.11

9

Ahmad Amir Azis, Neo Modernisme Islam Indonesia; Gagasan Sentral Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid (Jakarta: PT. Bineka Cipta, 1999), Cet. Ke-I, h. 38

10

Ahmad Syafii Maarif, Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku (Yogyakarta: Ombak, 2006), h. 195

11


(19)

Menurut Syafii Maarif, sebutan negara Islam tidak diperlukan lagi. Tetapi bahwa moral Islam harus menyinari masyarakat luas adalah sebuah keniscayaan, jika memang Indonesia ingin menjadi sebuah negeri yang adil dan makmur. Adapun perangkat hukum-hukum Islam dapat dikawinkan dengan sistem hukum nasional melalui proses demokratisasi. Dalam konteks ini, Nurchalish Madjid menggambarkan bahwa pengertian Islam hakiki bukanlah strukur atau kumpulan hukum, yang bisa melahirkan formalisme agama, tetapi Islam sebagai pengejawantahan tauhid yang melahirkan jiwa yang hanif, terbuka, demokratis, atau paling tidak mampu menempatkan dirinya dalam konfigurasi pluralistik.12

Selanjutnya, untuk menjelaskan posisinya dalam masalah hubungan Islam dan negara, Ahmad Syafii Maarif sering mengutip ungkapan Hatta "Janganlah gunakan filsafat gincu, tampak tetapi tidak terasa, pakailah filsafat garam, tak tampak tetapi terasa". Menurut Syafii Maarif, Pancasila yang sudah disepakati itu harus membukakan pintu seluas-luasnya bagi masuknya sinar wahyu, sehingga tuduhan bahwa Indonesia yang berdasarkan Pancasila tidak berbeda dengan negara sekuler akan dapat ditangkal. Pancasila yang hanya dimuliakan dalam kata, tetapi dikhianati dalam laku, hanyalah akan memperpanjang derita bangsa, sementara tujuan kemerdekaan berupa tegaknya sebuah masyarakat adil dan makmur akan semakin menjauh saja.

12

Ahmad Taufik, dkk., Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), Cet. Ke-I, h. 156


(20)

Untuk mempelajari lebih dalam lagi pemikiran Ahmad Syafii Maarif tersebut, penulis merasa perlu dan merasa tertarik untuk membahas hal itu dalam sebuah skripsi dengan judul:

DINAMIKA PEMIKIRAN POLITIK AHMAD SYAFII MAARIF (Tinjauan Terhadap Ideologi Negara). Karya ilmiah ini diharapkan dapat memberikan gambaran lebih jauh tentang konsep ideologi bernegara Ahmad Syafii Maarif.

B. Pembatasan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, Supaya penelitian ini lebih terarah dan tidak menyimpang dari topik yang dipersoalkan, maka penulis membatasi permasalahan penelitian ini pada pemikiran politik Ahmad Syafii Maarif tentang ideologi Negara Indonesia.

Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan yang akan di jadikan bahan perumusan masalah oleh penulis sebagai berikut:

a. Bagaiman pemikiran politik Ahmad Syafii Maarif tentang Islam dan Pancasila sebagai ideologi negara sebelum kuliah di Chicago dan pasca kuliah di Chicago? b. Bagaimana hubungan Islam dan Pancasila sebagai ideologi negara Menurut

pandangan Ahmad Syafii Maarif?


(21)

1. Tujuan Penelitian

Secara umum, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Untuk memperoleh gambaran yang jelas pemikiran politik Ahmad Syafii Maarif

tentang Islam dan Pancasila sebagai ideologi negara.

b. Untuk mengetahui alasan-alasan ideologi Ahmad Syafii Maarif dalam bernegara. 2. Manfaat Penelitian

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu kontribusi bagi pengembangan kajian Politik Islam di Indonesia, khususnya tentang konsep ideologi negara. b. Karya ilmiah ini merupakan wujud kontribusi dan sumbangan pemikiran penulis

untuk almamater dimana penulis menuntut ilmu.

D. Tinjauan Pustaka

Dalam penyusunan skripsi ini yang digunakan adalah dokumen-dokumen tertulis yang bersangkutan dengan pokok permasalahan yang akan dibahas. Langkah ini dimaksud agar dalam proses penulisannya dilakukan kepada kepustakaan yang sudah ada sehingga dapat dijadikan acuan dalam upaya melengkapi penulisan skripsi ini. Adapun kepustakaan yang berhubungan dengan judul ini adalah sebagai berikut:


(22)

Roudhonah, Pemikiran Da’wah Ahmad Syafii Maarif. Disertasi ini mengkaji tentang cara berda’wah Ahmad Syafii Maarif yang bertujuan agar kehidupan di dunia ini selalu berlandaskan al-Qur’an dan al-Hadits.13

Buku Islam dan Politik di Indonesia Pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), dalam buku ini mengkaji kritis realitas politik yang tercermin dalam tingkah laku politik praktis partai-partai Islam pada periode demokrasi terpimpin (1959-1965). Suatu periode singkat dalam sejarah modern Indonesia, tetapi cukup penting dan genting bila ditempatkan dalam suatu perspektif sejarah perjuangan partai-partai Islam di Indonesia.14

Buku Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, buku ini mengkaji tentang penyebab kemunduran umat Islam. Dan dalam buku ini mencoba mengenengahkan problem tersebut melalui analisisnya yang memadukan perspektif sosial, politik, budaya, dan sejarah yang ditekuninya.15

Buku Dinamika Budaya dan Politik dalam Pembangunan, dalam buku ini mengkaji tentang kumpulan makalah-makalah dalam seminar yang dilaksanakan oleh perpustakaan yayasan Hatta. Salah satu dari pengisi seminar tersebut adalah Ahmad

13

Roudhonah, Pemikiran Da’wah Ahmad Syafii Maarif (Jakarta: Program Doktor Sekolah Pascasarjana UIN, 2008)

14

Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik di Masa Demokrasi Terpimpin (Yogyakarta: PT. Pustaka Parama Abiwara, 1988)

15

Ahmad Syafii Maarif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1995)


(23)

Syafii Maarif, beliau membahas tentang pengaruh gerakan modern Islam Indonesia terhadap perkembangan pemikiran Islam di Indonesia dewasa ini.16

Di antara tinjauan pustaka di atas, tidak ada kesamaaan judul secara langsung berkaitan dengan masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini. Dari sini penulis tertarik mengkaji lebih dalam tentang dinamika pemikiran politik Ahmad Syafii Maarif (tinjauan atas ideologi negara).

E. Metode Penelitian

Untuk mencapai tujuan serta hasil yang komprehensif dan akurat, serta bisa dipertanggungjawabkan secara moral dan intelektual, maka penulis memerlukan metode penelitian yang mampu menjadi kerangka eksplorasi berbagai bahan dan perangkat yang diperlukan.

1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan penelitian kualitatif. Adapun sifatnya adalah deskriptif, yaitu menggambarkan pandangan Ahmad Syafii Maarif tentang Islam dan Pancasila sebagai ideologi negara. Penelitian ini juga merupakan penelitian hukum yang bersifat normatif-doktriner.

2. Teknik Pengumpulan Data

16

Fauzi Ridjal, Dinamika Budaya dan Politik dalam Pembangunan, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1991)


(24)

Teknik pengumpulan data yang dilakukan penulis dalam penelitian ini adalah Studi dokumenter, yaitu studi yang dilakukan dengan mempelajari sumber-sumber informasi milik obyek yang ditulis secara langsung tanpa perantara penulis lainnya.

Sedangkan untuk memperoleh data yang berkenaan dengan judul penulis menggunakan metode pengumpulan data yang bersumber sebagai berikut: Data Primer; yaitu buku-buku politik karangan Ahmad Syafii Maarif yang berkaitan langsung dengan bahasan skripsi ini, di antaranya adalah buku Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara; Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante (Jakarta: Pustaka LP3ES) Indonesia, 2006), dan buku Peta Intelektualisme Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1995).

Sedangkan data Skunder, yaitu penulis peroleh dari buku-buku yang berkaitan dengan pembahasan penulis, yaitu berupa artikel, majalah, surat kabar, yang ditulis oleh penulis lain yang mempunyai relevansi dengan masalah penelitian sebagai bahan penunjang.

3. Teknik Pengolahan Data

Pengelolaan data dalam penelitian ini mengunakan teknik pengelolaan data Editing, yaitu memeriksa, mengontrol dari pada data yang di peroleh, untuk menjamin kemantapan terhadap data tersebut atau menjamin validitas dan reabilitas data.17 4. Teknik Analisis Data

17

Surjadi Soerdirja, Metode Penelitian Sosial (Terhadap Dan Kebijakan), Jakatra,26 Oktober 2000, h. 81


(25)

Analisi data dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis isi secara kualitatif komparatif dengan menggunakan metode-metode penelitian deskriptif komparatif yaitu penelitian yang berusaha memberikan uraian dan menggambarkan secara garis besar kemudian dilakukan analisis terhadap pemikiran politik Ahmad Syafii Maarif terhadap Islam dan Pancasila sebagai ideologi negara sekarang.

5. Teknik Penulisan Skripsi

Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada buku panduan penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (UIN) Jakarta Tahun 2008.

F. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah Ahmad Syafi’i Ma’arif, Ia adalah seorang tokoh politik yang aktif dalam organisasi Muhammadiyyah.

G. Sistematika Penulisan

Untuk lebih jelas dan mudah dipahami pembahasan dalam penelitian ini, penulis memaparkan sistematika penulisannya sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai karya ilmiah, penelitian ini dimulai dengan pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah. Yaitu hal-hal apa saja yang melatar belakangi permasalahan yang dibahas. Agar masalah yang dibahas tidak melebar pemaparannya, maka masalah tersebut dibatasi, dan kemudian dirumuskan. Pada bab ini juga memaparkan tujuan dan manfaat penulisan, yaitu menjelaskan


(26)

tujuan penulis melakukan penelitian, dan manfaat apa yang akan dicapai. Selanjutnya, dala bab ini juga dipaparkan tinjauan pustaka. Dalam penelitian ilmiah harus ada metode penelitian agar penelitian tersebut dapat terarah dan sistematis. Untuk itu, pada bab ini penulis memaparkan metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II BIOGRAFI AHMAD SYAFII MAARIF. Dalam bab ini, penulis membahas sejarah ringkas kelahiran dan latar belakang keluarga Ahmad Syafii Maarif, jenjang pendidikan yang pernah dilalui. Selanjutnya aktivitas dan bagaimana karir Maarif di dunia Islam Indonesia, dan karya-karya apa saja yang sudah dihasilkan. Pembahasan ini diperlukan agar penulis bisa mengetahui latar belakang keluarga Syafii Maarif, alur pemikiran, Fase perkembangan pemikiran, dan tokoh-tokoh yang mempengaruhi pemikirannya.

BAB III TINJAUAN UMUM TENANG IDEOLOGI NEGARA. Bab ini penulis memaparkan tentang pengertian ideologi negara, bentuk-bentuk ideologi dan dasar negara yang berkembang di Indonesia, antara lain Islam sebagai dasar Negara, Pengertian Negara sekuler, Interseksi agama dan Negara dalam ideologi Pancasila, dan falsafah Pancasila.

BAB IV PEMIKIRAN POLITIK AHMAD SYAFII MAARIF TENTANG IDEOLOGI NEGARA DI INDONESIA. Bab ini dimulai dari penjelasan tentang Pandangan Ahmad Syafii Maarif tentang Islam sebagai ideologi negara dan dilanjutkan dengan pandangan Ahmad Syafii Maarif tentang Pancasila sebagai ideologi negara yang meliputi; Pancasila sebagai ideologi terbuka, relevansi pemikiran politik Ahmad Syafii Maarif dalam konteks Indonesia sekarang.


(27)

BAB V PENUTUP. Bab ini merupakan sebuah kesimpulan dari bab-bab sebelumnya atau konklusi dari penelitian tentang pemikiran politik Ahmad Syafii Maarif tentang ideologi negara. Bab ini juga berisi saran-saran penulis, dengan apa yang telah penulis simpulkan


(28)

BAB II

BIOGRAFI AHMAD SYAFII MAARIF F. Kelahiran Ahmad Syafii Maarif

Ahmad Syafii Maarif sering di panggil dengan istilah “Buya” oleh orang yang dekat dengannya. Istilah Buya di ucapkan kepada Syafii Maarif karena ia pantas menyandang panggilan Buya yang memang sudah menjadi ulama yang benar-benar alim, dan juga dikenal sebagai pendidik, sekaligus ilmuwan atau cendekiawan yang mempunyai reputasi intelektual yang sangat tinggi. Namun Ahmad Syafii Maarif sendiri mengatakan “tidak usahlah disebut dengan Buya, cukup dengan nama saja, sebutan Buya masih dipermasalahkan”. Kadang Ahmad Syafii Maarif suka memelesetkan dengan kata “Buaya”, seolah-olah mencoba menetralisasi atau ingin membersihkan kandungan “karismatik” atau feodalistik” yang dari sebutan khas untuk tokoh Minang itu. Lagi-lagi sikap humanis yang egaliter. Di hadapannya apapun yang berbau “keangkeran diri” diubah menjadi hal wajar, biasa dan bahkan lugu dan polos.18

Ahmad Syafii Maarif lahir dari pasangan Ma'rifah Rauf dan Fathiyah pada hari Sabtu, 31 Mei 1935 di bumi Calau Sumpur Kudus "Makkah Darat", Sumatera Barat. Sumpur Kudus "Makkah Darat" (Makkah Darek dalam bahasa Minang) adalah ungkapan yang sering diulang-ulang tidak saja oleh kaum elit negeri Minang,

18

Abd. Rohim Ghazali dan Saleh Partaonan Daulay (editor), Refleksi 70 Tahun Ahmad Syafii Maarif Cermin untuk Semua (Jakarta: Maarif Institute, 2005), h. 37


(29)

rakyat jelata pun tak lupa pula menyebutnya.19 Secara kultural melambangkan sebuah gerak perlawanan terhadap apa yang bernama kultur hitam Jahiliyah yang dikuasai Parewa (preman) sangar daerah pedalaman.

Sewaktu kecil Syafii Maarif tidak ada cita-cita tinggi yang ingin diraih, tidak ada angan-angan untuk jadi apa atau siapa, karena memang lingkungan nagari yang sempit dan sederhana itu tidak mendorong orang untuk menjadi sosok melebihi orang kampungnya. Semasa kecil Syafii Maarif, pengaruh kota belum menjalar di kampungnya, karena televisi20 saat itu belum lagi ada. Wawasan Syafii Maarif pun hanyalah sebatas nagari Sumpur Kudus. Dalam kehidupan sehari-hari, Syafii Maarif bergaul dengan teman-teman sekampungnya, mengadu sapi, mengadu ayam, mengail, menjala, menembak burung dengan senapang angin milik abangnya dan mengembala sapi.21

Ayah Syafii Maarif lahir pada tahun 1900, Ia adalah seorang terpandang di kampung, saudagar gambir, jauh sebelum dia diangkat menjadi kepala nagari tahun 1936. Keluarga Ahmad Syafii Maarif merupakan keluarga terhormat, ayahnya sebagai kepala suku Melayu dengan menyandang gelar Datuk Rajo Malayu yang jabatannya sampai wafat. Secara ekonomi, ayahnya termasuk dalam kategori elit di kampung, tempat masyarakat mengadu tentang berbagai masalah, tidak saja

19

Ahmad Syafii Maarif, Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku (Yogyakarta: Ombak, 2006), h. 3 20

Televisi Republik Indonesia (TVRI) di Indonesia dimulai pada tanggal 17 Agustus 1962 dengan studionya yang sederhana di komplek Senayan Jakarta (Onong Uchyana Effendy, Dimensi Komunikasi, Bandung: Alumni, 1981), h. 178

21


(30)

menyangkut masalah ekonomi, juga masalah adat dan lembaga tingkat nagari. Pengetahuan agama ayahnya diperolehnya dengan membaca. Bahkan ayahnya cerdas, semua orang kampung mengakui. Maarif sendiri sering menyaksikan betapa rasa hormat masyarakat kepada ayahnya, pasti datang dengan sikap sopan sebagai pertanda bahwa yang ditemui itu memang layak untuk itu.

Ayah Ahmad Syafii Maarif bersaudara seayah-seibu (Abd. Rauf dan Bailam) berjumlah tujuh; Ma’rifah, Karimah, Siti Dariyah, Saidina Hasan, Bainah, Attudin Rauf, dan Ahmad. Karimah dan Ahmad wafat sewaktu masih kecil, sementara Saidina Hasan wafat pada 1949 di rumah sakit Sawahlunto dalam usia sekitar 32 tahun. Ayah Ahmad Syafii Maarif wafat pada tanggal 5 Oktober 1955, dimakamkan di Tapi Selo, tanah persukuan orang Melayu. Semula ayahnya sakit di Tanjung Ampalu, di tempat ibu tirinya bernama Mak Maran, kemudian etek Lamsiah, ibu tiri Maarif yang lain, memboyongnya ke Tapi Selo sampai ayahnya wafat di sana. Waktu itu ayahnya berusia 55 tahun.22

Sementara ibu Maarif bernama Fathiyah lahir di Tepi Balai pada tahun 1905 dan meninggal dunia sewaktu Maarif berusia 18 bulan. Ahmad Syafii Maarif tidak bisa membayangkan seperti apa perawakan ibunya, seperti apa senyumannya, dan seperti apa pula ketika dia menggendong anak-anaknya. Ahmad Syafii Maarif tidak pernah melihat foto ibunya, hal ini menjadi sulit baginya untuk membayangkan sosok ibunya. Ibunya wafat pada tahun 1937 dalam usia sekitar 32 tahun, sempat dua tahun menyusuinya. Maarif tidak sempat merasakan betapa manis atau pahitnya hidup

22


(31)

bersama ibunya, orang mengatakan bahwa ibunya cukup cantik, tetapi Syafii Maarif tidak pernah mengenal wajah ibunya.

Seperti wanita-wanita yang lain di Sumpur Kudus, ibunya adalah wanita yang sering menunggang Kuda untuk menempuh perjalanana jauh. Syafii Maarif pun menceritakannya “selagi sehat kabarnya ibuku kalau bepergian biasa naik Kuda dengan selendang sarung bugis yang diselempangkan di bahunya, suatu kebiasaan yang tak terlalu lazim di kampungnya. Tetapi sebagai isteri orang terkemuka pada tingkat nagari masyarakat dapat memakluminya. Alangkah anggunnya ibuku barang kali berada di atas punggung kuda”.23

Budaya perempuan naik kuda, berarti pula bahwa posisi perempuan di kampung Syafii Maarif sangat terhormat, tidak kalah dengan kaum pria dan sebenarnya kultur Minangkabau adalah matrilinial, yakni kaum perempuan secara teori memang mempunyai posisi dominan. Apakah ini terkait ini, yang jelas ibu Syafii Maarif bukanlah manusia yang kolot pada saat Indonesia berada di bawah sistem penjajahan.

Ibunya telah wafat pada umur yang masih muda, sehingga Ahmad Syafii Maarif sendiri tidak dapat menelusuri sejarahnya, hanya pusaranya yang ada tidak jauh dari rumah tempat kelahiran Ahmad Syafii Maarif. Sesaat setelah ibunya wafat, Syafii Maarif diberi tahu bahwa ayahnya menggendongnya ke tepi Batang Sumpur, tak jauh dari rumah kelahirannya sebelah barat melalui pematang sawah. Sungai ini tak pernah kering, sumber penghidupan para petani yang merupakan mayoritas

23


(32)

penduduk kampungnya, batang sumpur ini digambarkan sebagai “airnya jernih, pasirnya putih, tebingnya landai, dan ikannya jinak”, sekalipun dalam kenyataannya ketika hujan lebat airnya keruh juga, dan ikannya tidak pernah jinak, kecuali yang sakit atau pingsan.24

Setelah ibunya meningggal, Ahmad Syafii Maarif dititipkan pada bibinya Bainah (dipanggil etek), yang tempat tinggalnya sekitar 500 meter dari tempat kelahirannya. Tampaknya, ayah Maarif sengaja menitipkan anaknya pada adiknya sendiri, mungkin agar dapat diawasinya dari dekat, sebelum pergi merantau, selama 16 tahun Maarif hidup bersama bibi dan pamannya. Bibi Bainah mempunyai anak bernama Saiful Wahid yang lahir tahun 1939. Saiful punya dua adik kandung bernama Yusnida dan Muslim, keduanya sudah wafat dalam usia yang relatif muda, sedangkan etek (bibi) Bainah wafat pada 1973 dalam usia belum terlalu tua.

Ahmad Syafii Maarif menikah pada tanggal 5 Februari awal tahun 1965 dengan seorang gadis bernama Nurkhalifah. Maarif menikah di rumah mertuanya (Sarialam dan Halifah) yang dikenal dengan kawasan Mandahiling dalam sebuah upacara sederhana. Pada saat menikah, usia Ahmad Syafii Maarif sudah berumur 30 tahun.

Ahmad Syafii Maarif memiliki beberapa orang anak, anak pertamanya bernama Salman yang lahir di Yogyakarta pada bulan Maret 1966. Namun sayang, Salman meninggal diusianya kurang sedikit dari 20 bulan, setelah sakit beberapa lama di Padang. Saat itu Salman diajak ibunya pulang ke Padang dalam keadaan

24


(33)

kurang sehat, sedangkan Ahmad Syafii Maarif tetap di Jawa. Akhirnya Salman wafat tidak di depan ayahnya (Syafii Maarif). Kuburan Salman di pinggir laut, sekarang sudah tidak ada bekasnya lagi karena telah ditelan ombak.25 Dengan meninggalnya Salman, Syafii Maarif begitu terpukul batinnya, sebagaimana diungkapkannya “sungguh nak, kepergianmu menyebabkan batin ayah sangat terguncang, tetapi inilah kenyataan pahit dan perih yang harus dilalui. Hanya iman saja yang dapat menolong agar tidak terus berlarut dalam suasana ketidakstabilan jiwa.26 Anak selanjutnya adalah bernama Iwan yang lahir pada November tahun 1968 dan ia wafat pada Oktober tahun 1973. Anak ketiga Ahmad Syafii Maarif adalah Mohammad Hafiz yang lahir premature dengan berat badan 2.20 kg pada 25 Maret 1974. Dari ketiga anaknya, Hafiz merupakan anak satu-satunya yang hidup hingga dewasa. Kini Syafii Maarif hidup dengan anak semata wayangnya bernama Mohammad Hafiz dan isterinya Hj Nurkhalifah. Panggilan Ibu Hj.Nurkhalifh (isteri) terhadap Ahmad Syafii Maarif yaitu dengan sebutan Kak Oncu, sebuah kebiasaan anak nagari Sumpur Kudus memanggil suaminya berdasarkan urutan kelahiran di kalangan keluarganya. Dan dalam perjalanan hidupnya, melalui suasana suka dan duka, perang dan damai, hanya satu kata yang diucapkannya, yaitu bersyukur. Rasa syukur itulah yang merupakan

25

Ahmad Syafii Maarif, Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku, h. 185 26


(34)

perekat rumah tangga yang beranggotakan tiga orang tersebut: Buya, Ibu Hj. Nurkhalifah, dan Mohammad Hafiz.27

Mohammad Hafiz sangat bangga pada ayahnya (Syafii Maarif), yang telah memberi pelajaran secara relatif demokratis, dan liberal, dimana bertiga mempunyai suara equal dalam menyampikan pendapat, dan kadang disertai adu argumen. Ketika Hafiz mengobrol ringan dengan seorang teman Syafii Maarif di Padang, orang tersebut mengatakan bahwa; “…..ayahmu itu adalah gambaran pribadi orang Minang yang seutuhnya dan semestinya sikap yang egaliter, sederhana, adil, tegas, dan jujur…..”28 tentulah Hafiz tidak menyangkal, apalagi Hafiz hidup di antara orang Minang selama setahun lebih di Padang. Kesimpulan yang didapatkan mungkin seorang Ahmad Syafii Maarif adalah salah satu segelintir orang yang dari sekian lapis generasi Minang yang bisa mempertahankan image orang Minang yang semestinya, setelah generasinya yang melahirkan pribadi seperti H. Agus Salim, Moh. Hatta, Buya Hamka dan lainnya.

Di samping itu, Dalam buku Refleksi 70 tahun Ahmad Syafii Maarif kesan yang diutarakan Moh. Hafiz tentang ayahnya (Syafii Maarif), ada dua macam fungsi, sebagai seorang ayah dan sebagai seorang individu yang unik. Sebagai seorang ayah, selama hidup di bawah naungan beliau, pelajaran paling berharga Mohammad Hafiz adalah tentang tawakkal dan kesederhanaan manusianya, terutama menghadapi

27

Ahmad Syafii Maarif, Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku, h. 73

28 Abd Rohim Ghazali, Saleh Partaonan Daulay, Refleksi 70 Tahun Ahmad Syafii Maarif:Cermin Untuk Semua, h.11


(35)

kenakalan seorang anak bernama Mohammad Hafiz, bahkan sampai dewasa pun masih bandel, keras kepala, dan tidak mau diatur.

Sedangkan sebagai seorang individu yang unik, Syafii Maarif memberikan pelajaran bagaimana seharusnya “hablum minannas”, berhubungan dengan individu-individu lain di muka bumi ini, yaitu dengan selalu berprasangka positif dan baik dan menghilangkan berprasangka buruk pada orang, saling menghargai dan menghormati. Terkadang sedikit naif, sikap agak berlawanan dengan sikap pandangan/opini Muhammad Hafiz sendiri yang ekstra hati-hati, bahkan cenderung sarkastik terhadap orang.29

G. Pendidikan

Dunia awal masa kecil Ahmad syafii Maarif dilewati di kampung halamannya. Pendidikan dasar diperoleh di Sekolah Rakyat (SR) Sumpur Kudus. Selanjutnya Ahmad Syafii Maarif melanjutkan sekolah di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Sumpur Kudus hingga selesai pada tahun 1947. Setelah lulus dari Madrasah Ibtidaiyah, Ahmad Syafii Maarif melanjutkan pendidikan di Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah di Balai Tengah, Lintau dan selesai pada tahun 1953. Pendidikan menengah tidak seluruhnya dihabiskan di Lintau, tetapi sebagian dilanjutkan di Yogjakarta dan meneruskan pendidikannya di Madrasah Mu’alimin Yogyakarta. Ternyata datang ke Jawa meneruskan pendidikan tidak semudah yang dibayangkan. Karena ada beberapa alasan dari pihak sekolah untuk menolak Ahmad

29


(36)

Syafii Maarif masuk ke kelas empat, yaitu; pertama, kelas empat sudah penuh, kedua, dari seorang guru, Syafii Maarif mendengar bahwa kualitas pelajaran di Yogya lebih tinggi dibandingkan dengan Mu’alimin daerah lain. Jadi Ahmad Syafii Maarif akan mengalami kesulitan bila masuk ke kelas empat. Awalnya Ahmad Syafii Maarif merasa syok, namum Ahmad Syafii Maarif tidak bisa berbuat apa-apa dan kemudian menganggur, jika tidak mau mengulang kelas tiga. Semua itu dihadapinya dengan tabah, dan mengulang kuartal terakhir kelas tiga Mu’alimin,30 sehingga akhirnya dapat tamat pada 12 Juli 1956.31 Ahmad Syafii Maarif "mendinamisasikan" dirinya, berkat M. Sanusi Latief, ia melanjutkan pendidikannya di Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah Yogyakarta.32

Setelah menyelesaikan pendidikan menengahnya pada tahun 1956, Ahmad Syafii Maarif melanjutkan pendidikannya di Surakarta, tepatnya di Universitas Cokroaminoto Surakarta Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) atas bantuan saudaranya.

30Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku , h. 106 31

Suara Karya, Ketua Umum; Muhammadiyah Tetap sebagai Organisasi Sosial (Jakarta: 10 Juli 2000

32

Suara Karya, Ketua Umum; Muhammadiyah Tetap sebagai Organisasi Sosial (Jakarta: 10 Juli 2000


(37)

Namun baru satu tahun kuliah bantuan itu sempat terhenti karena hubungan pulau Jawa dan Sumatera terputus akibat pemberontakan PRRI/Permesta,33 akhirnya Ahmad Syafii Maarif memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliah, kemudian Ahmad Syafii Maarif menjadi guru di desa Baturetno, Wonogiri, Jawa Tengah.34 Sambil mengajar, Ahmad Syafii Maarif kembali melanjutkan kuliah, karena sering tidak masuk kuliah -karna sering mengajar- akibatnya Ahmad Syafii Maarif hanya tamat Sarjana Muda (BA) pada tahun 1964. Putus sambung kuliah sudah pernah dirasakannya, namun karena motivasi belajar yang cukup tinggi, akhirnya ia berhasil menyelesaikan kuliah, walau harus ditempuh sambil bekerja.35 Gelar Sarjana (Drs) diperolehnya di Yogyakarta dari FKIS IKIP Yogyakarta pada Agustus 196836, dengan skripsi berjudul “Gerakan Komunis di Vietnam (1930-1954)”, dibawah bimbingan Dharmono Hardjowidjono, dosen sejarah Asia Tenggara. Untuk teman-teman seangkatannya, Ahmad Syafii Maarif adalah lulusan pertama.

33 PPRI adalah Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia,suatu pemerintahan tandingan dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara(dari masyumi)sebagai Perdana Menteri, PPRI di proklamirkan di Padang, tanggal 15 Februari 1958. Pemberontakan ini menuntut otonomi regional, perbaikkan Duumvirate Soekarno dan Hatta, Pembentukan Senat, Penggantian Kepala Staf ABRI Jendral Nasution dan Stafnya, dan pembatasan aktivitas PKI. Permesta adalah Perjuangan Semesta Alam, yang bergabung dengan PPRI yang dipimpin oleh H. N. V.Sumual, Permesta diproklamirkan pada tanggal 2Maret 1957 di Makassar, Sulawesi Selatan. Bahtiar Effendy, Islam Dan Negara:Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, h. 97-98

34

Ahmad Syafii Maarif, Independensi Muhammadiyah; Di Tengah Pergumulan Pemikiran Islam dan Politik (Jakarta: Cidesindo, 2000), h. 172

35

Abd. Rohim Ghazali, Refleksi 70 Tahun Ahmad Syafii Maarif, h. Xi 36

Ahmad Syafii Maarif, Independensi Muhammadiyah di Tengah Pergumulan Pemikiran Islam dan Politik, h. 172-173


(38)

Dalam pengembangan akademika, Ahmad Syafii Maarif berangkat ke Amerika, ia belajar sejarah pada Nothern Illinois University (1973) dan Ohio State University (1980) hingga dapat gelar MA. Di Athens ia tinggal bersama teman-temannya dari Malaysia yang juga aktivis MSA (Muslim Students’ Association) yang masih serba belia, sementara usia Syafii Maarif sendiri sudah di atas 30 tahun. Selama perkembangan pemikiran keislamaan Syafii Maarif di Atheans belum ada perkembangan yang berarti, Syafii Maarif masih terpasung dalam status quo. Masih berkutat pada ajaran maududi, Maryam Jameelah, tokoh-tokoh Ikhwan, Masyumi, dan gagasan tentang negara Islam. Iqbal, pemikir dan penyair dari pakistan pun telah Syafii Maarif ikuti, tetapi ruh ijtidanya belum singgah secara mantap di otak Syafii Maarif yang masih bercorak aktivis, belum reflektif dan kontemplatif. Apalagi Syafii Maarif aktif dalam MSA (Muslim Students Association), yang masih merindukan tegaknya sebuah negara Islam di suatu Negeri.37

Di lingkungan MSA, ia bergaul dengan teman-teman dari Saudi Arabia, Kuwait, Mesir, Iraq, Libia, Al-Jazair, di samping teman-teman dari Indonesia dan Malaysia. Dari segi moral pergaulan, MSA sungguh bagus, hati-hati, dan saling menjaga. Tidak ada di antara mereka yang larut dalam budaya serba bebas ala Barat. Di Athens ia adalah salah seorang khatib pada hari Jum’at yang diselenggarakan di sebuah ruangan luas di lingkungan kampus. Di Athens, lingkungan pergaulan Syafii Maarif berada di tengah-tengah orang-orang saleh, tetapi hampir sepi dari pemikiran

37Titik-titik Kisar di Perjalananku,

h.209


(39)

yang memungkinkan kita keluar dari kebutuhan intelektual yang sudah beradab diderita dunia.Muslim. Teori-teori keIslaman yang bertolak dari sikap anti asing ternyata tidak mampu menawarkan solusi bagi masalah modernitas yang semakin sekuler kalau bukan ateistik. Sebuah paradoks berlaku di sini. Para pendukung Maududi, Qutb, yang mengkritik Barat in toto, umumnya tidak betah hidup di negerinya sendiri, karena berhadapan dengan penguasa yang korup, otoritarian, dan ulama konservatif. Justru mereka memilih hidup di barat yang dijadikan sasran kritik itu.38

Menurut Syafii Maarif, di dunia ini kita tidak boleh memakai kaca mata hitam. Di antara mahasiswa muslim yang datang dari berbagai penjuru dunia, tidak sedikit yang menemukan Islam setelah mereka belajar di Barat. Bahkan sebagian mereka menjadi puritan. Di tanah airnya masing-masing belum tentu mereka mengenal shalat dan praktik-praktik Islam lainnya, di Barat justru muncul kesadara baru untuk mencapai Muslim yang baik. Oleh sebab itu akan lebih bijak bila orang bersikap lapang dada saja, jangan ekstrim anti sesuatu, sebab Barat-Timur itu milik Allah. Kearifan tidak bersifat Barat atau bersifat Timur. Orang bias saja menemukan kearifan itu di mana saja asal di cari dengan sungguh-sungguh melalui hati dan otak yang terbuka semata-mata karena rindu kepada kebenaran. Syafii Maarif pun berkata Islam haruslah senantiasa bersentuhan dengan realitas. Bukan saja bersentuhan,tetapi

38Titik-tititk Kisar di Perjalananku


(40)

malah wajib berupaya mengubah realitas yang pengap menjadi sesuatu yang asri, adil, dan penuh rahmat yang dapat diukur dengan parameter apa pun.39

Pada tahun 1978 diusia 43 tahun Maarif meninggalkan Athens, Di Ohio inilah ia mendapat MA pada Departemen Sejarah dengan tesis “Islamic Politics Under

Guided Democracy in Indonesia” (1959-1965) dibawah bimbingan Prof. William H.

Frederick, Ph.D, seorang ahli Indonesia dan sejarah Jepang yang teramat baik terhadapnya.

Dari sinilah Ahmad Syafii Maarif mengikuti ke mana tapak kaki melangkah sampai mencapai puncak prestasi akademik, Ph.D (Doctor of Philosophy), dari negara yang mengklaim dirinya sebagai "bapak Demokrasi", Amerika Serikat, tepatnya di University of Chicago (Desember 1983)40 dalam usia 47 tahun. Tidak mudah bagi Maarif untuk meneruskan belajar ke Universitas Chicago, sekalipun ia sudah diterima untuk program Ph.D dalam Pemikiran Islam. Bantuan sahabatnya M. Amien Rais, sungguh menjadi penting bagi Maarif untuk bisa belajar Islam ke kampus “orientalis” itu. Professor Frederick turut membantunya untuk mendapatkan beasiswa dari Ford Foundation dan USAID melalui perwakilannya di Jakarta. Akhirnya dengan bantuan banyak pihak, beasiswa itu bisa ia dapatkan. Pada saat-saat awal itu tidak terbayang dalam otakknya bahwa Chicago akan mengubah secara fundamental sikap intelektualnya tentang Islam dan kemanusiaan. Gelar Ph.D dalam

39 Titik-titik Kisar di Perjalananku,

h.214

40


(41)

bidang pemikiran Islam diselesaikan pada tahun 1983 dengan disertasi “Islam as the Basic of State; A Study of the Islamic Political Ideal as Reflected in the Cinstituent Assembly Debates in Indonesia” dibawah bimbingan Prof. Dr. Fazlur Rahman.41 Meskipun Syafii dibesarkan dalam tradisi akademik di negara superpower, namun kritiknya terhadap kebijakan politik luar negeri dari negara adikuasa, misalnya Amerika yang dianggap kurang fair dan cenderung “berat-sebelah” terhadap negara-negara Muslim, tak pernah luntur.

Sebelum mencapai "puncak-puncak" di atas, Ahmad Syafii Maarif melakukan perjalanan dan pengembaraan dari satu daerah ke daerah yang lain disertai berbagai interupsi dalam kehidupannya. Antara rantau dan alam, dalam sosok Ahmad Syafii Maarif, selalu terlibat dalam dialog secara terus-menerus disertai dengan sikap kritis "Alam terkembang jadi guru". Proses atau "struktur pengalaman" inilah yang membentuk sosoknya sebagai manusia bebas dan merdeka.

H. Aktivitas

Sebagai anak panah Muhammadiyah, tidak lama setelah tamat Mu’allimin, Syafii Maarif berangkat ke Lombok dalam usia 21 tahun. Syafii Maarif datang ke Lombok Timur pada 19 Agustus 1956 dan mengajar pada 21 Agustus 1956. Ia ditempatkan di kampung Batuyang, di rumah Subki, adik kandung H. Harist yang

41

Ahmad Syafii Maarif, Peta Bumi Intlektualisme Islam di Indonesia (Jakarta: Mizan, 1995), cet. 111, h, 5


(42)

juga sebagai kepala desa. Ia mengajar pada PGA Muhammadiyah Pohgading yang terletak di pinggir sungai.

Pada tahun 60-an di samping mengajar di Baturetno, Maarif juga mengajar di kota Solo. Di Madrasah Mu’alimat NDM pimpinan pak Duhardi, SMA MIS (Modern Islamic School) pimpinan pak Abdul Manna Kadim. Mata pelajaran yang Maarif asuh umumnya sama dengan yang di Baturetno yaitu Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Cukup lama Maarif bolak-balik Solo-Baturetno dengan kereta api. Pada saat itu Maarif naik kereta api dari Pasar Pon terus melaju ke Baturetno dengan jarak 52 km. Kereta api Solo-Baturetno adalah kendaraan para pedagang kecil(bakul), anak sekolah, dan rakyat umumnya. Syafii Maarif termasuk dalam katagori yang terakhir. Semua ini Syafii Maarif jalani tanpa perasaan gelisah yang mengganggu, karena cara inilah satu-satunya jalan bagi Maarif untuk meneruskan kuliah di Solo: Universitas Cokroaminoto.

Pada tanggal 1 Juni 1967 Ahmad Syafii Maarif diangkat menjadi pegawai negeri dengan jabatan asisten perguruan tinggi. Sebagai asisten, Ahmad Syafii Maarif diberi tugas mengajar sejarah Indonesia kuno pada FKIS IKIP Yogyakarta, di samping juga menjadi asisten sejarah Islam pada Fakultas Syariah dan Tarbiyah UII (Universitas Islam Indonesia) Pada tahun 1966 Ahmad Syafii Maarif diterima menjadi sebagai korektor majalah Suara Muhammadiyah (SM), pimpinan alm. H.A.


(43)

Basuni, B.A dan alm Mohammad Diponegoro. Di samping sebagai korektor majalah, Ahmad Syafii Maarif juga dipercayakan mengurus iklan untuk majalah.42

Bakat menulis Ahmad Syafii Maarif banyak disalurkan melalui suara Muhammadiyah. Bermacam topik yang ia tulis, tetapi umumnya menyangkut masalah agama, sejarah, dan politik. Sewaktu bekerja pada Suara Muhammadiyah, ia pun pernah menjadi anggota PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) cabang Yogyakarta. Setelah sekian lama menjadi korektor, posisi redaksi kemudian diberikan kepada Ahmad Syafii Maarif sampai ia berhenti bekerja di sana karena beliau mau berangkat ke Amerika Serikat pada Juli 1972.

Setelah pulang dari Chicago, Maarif kembali ke Indonesia dan mengajar pada jurusan sejarah FPIPS IKIP Yogyakarta (sekarang FIS Universitas Negeri Yogyakarta). Pada tahun 1984 IAIN membuka program Pasca Sarjana. Maarif diminta sebagai salah seorang tenaga pengajar. Tugas ini ia emban selama beberapa tahun. Tahun 1986 selama 100 hari Maarif diminta untuk mengajar studi keislaman di Universitas OIWA. Saat itu Ahmad Syafii Maarif dan Prof. Barnadib, mantan Rektor IKIP, sama-sama berangkat ke Universitas yang sama.

Aktivitas lain Ahmad Syafii Maarif adalah di Muhammadiyah. Sejak tahun 1985 atas dorongan M.A. Rais, Maarif diminta aktif sebagai anggota Majelis Tabligh PP Muhammadiyah yang dipimpinnya. Sebagai alumnus Madrasah Mu’allimin, tentu tidak sulit bagi Maarif untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan tabligh ini. Sebelumnya sewaktu bekerja pada majalah SM, Maarif pun pernah menjadi anggota

42


(44)

Majelis Pustaka PP Muhammadiyah pimpinan H.A. Basuni, BA. Dalam berkiprah pada Majelis Tabligh ini Maarif mulai berkunjung ke daerah-daerah. Majelis pimpinan M. A. Rais ini sangat aktif dalam menjalankan misi da’wahnya, tidak saja secara lisan, penerbitan pun digalakkan.

Ahmad Syafii Maarif selama 2 tahun (1990-1992) bertugas di UKM (Universitas Kebangsaan Malaysia). Proses keberangkatan Maarif ke Malaysia dimulai dari informasi dari Dr. Ir. Imaduddin Abdul Rahim, tokoh pergerakan Islam yang bersahabat dekat dengan Anwar Ibrahim. Imaduddin memberitahukan bahwa pihak UKM memerlukan tenaga dosen dari Indonesia dengan kualifikasi Ph.D dalam kajian Islam. Ijazah Maarif dari Chicago memang dalam bidang itu. Di UKM Maarif diberi tugas untuk mengajar mata kuliah sejarah perang Salib, Islam dan Perubahan Sosial di Asia Tenggara. Ia juga merupakan dosen tamu di Institute of Islamic studies, universitas McGill, Kanada (1993-1994). Di samping terkenal sebagai seorang pengajar, Ahmad Syafii Maarif juga dikenal sebagai seorang penulis yang aktif. Tulisannya banyak dimuat di berbagai media masa baik berupa Jurnal, Majalah seperti Panji Masyarakat, Suara Muhammadiyah, Dermaha, Ishlah dan Genta, Surat Kabar seperti Mercu Suar, Abadi, Adil dan kedaulatan rakyat. Bentuk tulisannya yang lain dituangkan alam bentuk buku yang juga sudah diterbitkan oleh berbagai badan penerbit.

Pada Muktamar tahun 2000 di Jakarta, Ahmad Syafii Maarif kemudian terpilih untuk memimpin Muhammadiyah untuk periode 2000-2005. Selama kepemimpinan Ahmad Syafii Maarif di Muhammadiyah, banyak terobosan baru yang


(45)

belum pernah dilakukan pada periode kepemimpinan sebelumnya. Jika pada periode sebelumnya Muhammadiyah lebih banyak tampil dan dikenal sebagai gerakan da’wah, pendidikan, dan amal usaha sosial, maka pada era Syafii Maarif, Muhammadiyah lebih mewarnai percaturan bangsa dan menjawab tantangan perkembangan dunia. Dorongan beliau untuk membubuhkan dan memberikan ruang pada lahirnya pemikiran kritis di Muhammadiyah, intensifnya hubungan antar umat beragama dan ormas Islam lainnya, keterlibatan yang sangat aktif dalam gerakan Moral Anti Korupsi, serta partisipasi aktifnya dalam berbagai forum dialog dunia untuk memecahkan berbagai persoalan kemanusiaan adalah di antara beberapa terobosan yang sangat terasa signifikansinya.

Di era Ahmad Syafii Maarif, posisi Muhammadiyah yang mengambil jarak dari semua partai politik dan tidak terlibat pada politik praktis juga kembali ditegaskan. Hal itu terumuskan lewat Tanwir Makassar pada Juni 2003 yang tidak mendukung partai dan calon presiden tertentu. Bahkan, di saat tokoh-tokoh bangsa dan ormas Islam lainnya larut dan tergoda pada perebutan “kue” kekuasaan, Syafii Maarif justru tidak bergeming dan tetap konsisten dengan perannya sebagai pemimpin umat dan guru bangsa. Hal ini tentu saja berangkat dari keyakinan beliau selama ini, bahwa Muhammadiyah pada dasarnya adalah gerakan pemikiran, sosial, dan da’wah. Jadi, Muhammadiyah bukan gerakan politik yang bisa dijadikan untuk dijadikan alat untuk merebut kekuasaan.43

43

Abd Rohim Ghazali dan Saleh Partaonan Daulay, Muhammadiyah dan Politik Islam Inklusif,h. 116-117


(46)

Kesan yang diperoleh Ahmad Syafii Maarif dalam menjalankan tugas sebagai ketua PP Muhammadiyah dengan sebanyak mungkin kegiatannya adalah: 1) Muhammadiyah dengan segala kelemahannya masih berada di papan atas. Tapi bila parameter yang digunakan adalah cita-cita al-Qur’an untuk menciptakan sebuah masyarakat Indonesia yang bermoral, Muhammadiyah masih juga berada di awal jalan, suasana seperti ini memang memprihatinkan. Tentu untuk bergerak ke sana merupakan tanggung jawab semua kekuatan bangsa dengan pimpinan pemerintah yang juga harus bermoral.44 2) Pada sisi lain Syafii Maarif menggambarkan bahwa isu-isu pembaharuan dikerjakan Muhammadiyah barulah sekedar menyentuh jenis ijtihad pinggiran, sementara jenis ijtihad di luar itu belum disentuh bayak oleh Muhammadiyah. Lebih jauh dikatakan bahwa secara intelektual Muhammadiyah tidak tau betul apa yang harus dikerjakannya.45 3) Yang menjadi sorotan adalah karena Muhammadiyah menyebut dirinya sebagai gerakan Islam, gerakan da’wah

amar ma’ruf nahi munkar. Rumusan semacam ini mengisaratkan tanggung jawab yang besar sekali, sementara energi Muhammadiyah lebih banyak terkuras oleh kerja-kerja sosial kemasyarakatan. 4) Dalam berbagai forum Syafii Maarif sering mengatakan bahwa di bidang pendidikan dan kesehatan, Muhammadiyah hanyalah sebagai pembantu pemerintah, tidak lebih dan tidak kurang. 5) Muhammadiyah belum mampu menawarkan sistem alternatif, baik untuk pendidikan, kesehatan

44

Ahmad Syafii Maarif, Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku, h. 348 45

M. Yunan Yunus, Teologi Muhammadiyah Cita Tajdid dan Realitas Sosial (Jakarta: Uhamka Press, 2005), h. 72


(47)

maupun dalam bidang-bidang kemanusiaan lain yang selalu memerlukan perhatian khusus.

Selanjutnya, Ahmad Syafii Maarif adalah salah seorang yang mempunyai prakarsa untuk mendirikan Maarif Institute for Culture and Humanity. Lembaga ini didirikan di Jakarta pada tahun 2002 dan secara resmi berdiri pada tanggal 28 Februari 2003. Adapun salah satu misi Maarif Institute adalah memperjuangkan percepatan proses konsolidasi demokrasi di Indonesia dengan memperkuat peran dan fungsi civil society, legislative dan eksekutif serta mendorong proses resolusi konflik, mediasi dan rekonsiliasi.46

Ahmad Syafii Maarif adalah tokoh yang menghindari politik praktis, Ia menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah lebih kurang tujuh tahun dan tidak pernah terjun ke politik praktis, baik itu menjabat jabatan publik, mencalonkan ataupun bergerak melalui partai politik.

Pemikiran Ahmad Syafii Maarif merupakan khazanah intelektual yang sangat berharga, karena gagasan-gagasannya tidak dapat dilihat semata-mata sebagai renungan intelektual dari tokoh yang berada di atas menara gading, sebab mereka menulis dalam konteks sebuah pergerakan sosial, keagamaan dan politik di Indonesia dimana beliau terlibat secara intens dan serius sebagai pelaku utama yang bergerak di luar sistem praktis yang mencurahkan segenap perhatiannya sebagai pelaku yang menyerukan pergerakan moral dan memberikan masukan-masukan yang bermanfaat bagi bangsa Indonesia.

46


(48)

I. Karya-Karya

Ahmad Syafii Maarif adalah seorang penulis yang produktif, mulai belajar menulis semenjak masih sekolah di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogjakarta tahun 1950-an, diteruskan sampai sekarang setelah batang usianya di atas setengah abad.47 Sebagian karangannya adalah mengenai Islam. Tulisan-tulisannya diterbitkan pada artikel-artikel yang bertebaran di media masa, seperti surat kabar (Mercu Suar, Abadi, Adil dan Kedaulatan Rakyat), majalah (Panji Masyarakat, Suara Muhammadiyah, Dermaha, Islah, Gatra dan Genta) dan jurnal (Informasi, Sigma Pi Gama dan Mizan).48 Beberapa bukunya telah diterbitkan oleh penerbit terkenal. Sampai kini, Ahmad Syafii Maarif telah menghasilkan berbagai karya. Segudang “produk pemikirannya”, dan jejak langkah yang telah digoreskan, merupakan hasil dari sebuah proses yang panjang, berliku, bahkan penuh onak duri. Kesulitan dan tantangan hidup telah dibacakan sebagai peluang untuk bergerak terus tanpa henti. Puluhan buku telah lahir dari tangan seorang anak udik yang semula tidak punya cita-cita besar dan muluk-muluk. Tugasnya sebagai ketua PP Muhammadiyah yang diembannya selama tujuh tahun (1998-2005) telah membawanya ke pusaran perkembangan politik, sosial, dan budaya secara nasional dan internasional. Periode ini adalah titik-titik krusial dalam transformasi republik ini, dan Ahmad Syafii Maarif

47

Ahmad Syafii Maarif, Peta Bumi Intelektual Islam, h. 5 48

Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila sebagai DasarNegara (Jakarta: LP3ES, 2006), h. sampul akhir


(49)

di antara anak bangsa yang ikut mengambil peran. Di antara karya-karya Ahmad Syafii Maarif adalah:

1. Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan (Bandung: Mizan, 2009).

2. Menerobos Kemelut Refleksi Cendekiawan Muslim (2006). 3. Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku (Yogyakarta: Ombak, 2006). 4. Menggugah Nurani Bangsa (2005).

5. Mencari Autentitas dalam kegalauan (Jakarta: PSAP, 2004).

6. Independensi Muhammadiyah di Tengah Pergumulan Pemikiran Islam dan Politik (Jakarta: Cidesindo, 2000).

7. Islam dan Politik Membingkai Peradaban (1999). 8. Islam Kekuatan Doktrin dan Keagamaan Umat (1997).

9. Keterkaitan antara Sejarah, Filsafat, dan Agama (Yogjakarta: Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Yogyakarta, 1997).

10.Islam dan Politik; Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (Jakarta: Gema Insani Press, 1996).

11.Muhammadiyah dalam Konteks Intelektual Muslim (Bandung: Mizan, 1995). 12.Membumikan Islam (1995).

13.Percik-Percik Pemikiran Iqbal (Shalahuddin Press, 1994).

14.Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia (Jakarta: Mizan, 1994). 15.Islam dan Politik di Indonesia (1988).


(50)

17.Islam dan Masalah Kenegaraan; Studi tentang Percaturan dalam Konstituante (Jakarta: LP3ES, 1985).

18.Dinamika Islam (Shalahuddin Press, 1984).

19.Islam, Mengapa Tidak? (Shalahuddin Press, 1984).

20.Islam, Politik dan Demokrasi di Indonesia dalam Aspirasi Umat Islam Indonesia (Jakarta: LEPPENAS, 1983).

21.Mengapa Vietnam Jatuh Seluruhnya ke Tangan Komunis (Yogyakarta: Yayasan FKIS IKIP Yogyakarta, 1975).

Tulisan-tulisan Ahmad Syafii Maarif sampai saat ini masih terus mengalir, terutama yang selalu diterbitkan pada kolom Resonasi Republika (bergantian dengan penulis lainnya). Dan tulisan-tulisannya sangat beragam, tidak hanya tentang keislaman, namun juga mencakup tentang keindonesiaan dan kemanusiaan. Ahmad Syafii Maarif adalah satu dari sedikit cendekiawan Muslim Indonesia yang secara serius memikirkan nasib bangsanya. Melalui tulisan-tulisannya, Ahmad Syafii Maarif ingin berbagi kegelisahan sekaligus mengajak untuk mengatasinya, kepada semua anak bangsa.

Abd. Rohim Ghazali mengatakan bahwa, sejauh ini gagasan yang paling menonjol dari Ahmad Syafii Maarif adalah kegetolannya dalam merelevansikan realitas obyektif umat Islam yang ada dalam sejarah dengan doktrin-doktin suci Islam baik dalam al-Qur’an maupun dalam Hadits. Untuk upaya ini, setidaknya Ahmad Syafii Maarif telah menulis tiga buku; 1) Al-Qur’an, Realitas Sosial dan Limbo


(51)

Sejarah (1985). 2) Membumikan Islam (1995). 3) Islam, Kekuatan Doktrin dan Keagamaan Umat (1997).

Dalam tulisan-tulisannya, Ahmad Syafii Maarif tampaknya memiliki satu obsesi akan tampilnya Islam sebagai agama yang memiliki kekuatan transformasi bagi kehidupan umat. Sayangnya, diakui oleh Ahmad Syafii Maarif, obsesinya itu masih jauh “panggang dari api”.49

Kiranya melalui karya-karyanya, Ahmad Syafii Maarif ingin mengajak bangsa Indonesia khususnya, dalam melaksanakan kegiatan-kegiatannya hendaknya berdasarkan pada al-Qur’an dan Hadits, politik harus dibangun sesuai dengan moralitas al-Qur’an. Demikian juga dengan kegiatan kehidupan di dunia ini, segala kegiatannya kendaknya berlandaskan al-Qur’an dan Hadits Rasulullah saw, seperti dalam ukhwah islamiyah, yaitu persaudaraan Islam, dari manapun kita berasal, tetapi terikat sesaudara seagama Islam, bukan dengan masih mementingkan golongan dan budaya masing-masing.

Kini, Di usia senjanya, bersama istrinya Ny. Hj. Nurkhalifah, sebagai sumber inspirasinya dalam “perang dan damai” dan anak semata wayangnya, Mohammad Hafiz, Ahmad Syafii Maarif tetap menikmati hari-harinya. Ahmad Syafii Maarif berharap di sisi hidupnya, ia mampu menghasilkan karya-karya besar tentang Islam dan kemanusiaan. Dapat dipastikan bahwa karya itu kelak akan memberikan sumbangan besar bagi peradaban.

49

Abd. Rohim Ghazali dan Saleh Partaonan Daulay, Muhammadiyah dan Politik Islam Inklusif,h. 20


(52)

E.Fase Perkembangan Pemikiran Syafii Maarif 1. Pembentukan Intelektual

Pembentukan Intelektual terjadi pada waktu Syafii Maarif belajar Di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah di Balai Tangan, Lintau, selama menganggur selam tiga tahun pasca Syafii Maarif. Dengan modal pendidikan Mu’allimin, Syafii Maarif telah berani berpidato di depan publik kampong yang jumlahnya terbatas. Bahkan lebih dari itu, Syafii Maarif sudah berani pula memberi ceramah di tempat-tempat lain. Dengan bekal ilmu agama yang serba sedikit, sebagai pemula, Syafii Maarif telah berani berdebat di masjid menghadapi kaum elit Sumpur Kudus dengan semangat tinggi. Topik perdebatan tidak melebihi masalah-masalah khilafiah di tingkat kampung. Paham agama Muhammadiyah yang telah dipompakan ke dalam otak dan hatinya sejak masih belajar di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Sumpur Kudus telah menjadi modal Syafii Maarif untuk berkayuh lebih jauh, sampai ke puncak karier akademiknya.50

2. Pertumbuhan Intelektual

Pertumbuhan Intelektual terjadi setelah meneruskan pelajaran ke Madrasah Mu’allimin Jogjakarta. Wawasan semakin luas, tetapi nalurinya sebagai seorang “Fundamentalis” belum berubah. Bahkan sampai Syafii Maarif belajar sejarah pada Universitas Ohio di Athens, Amerika Serikat, paham agamanya belum banyak mengalami perubahan. Cita-cita politik Syafii Maarif tetap saja ingin menaklukan

50

Ahmad Syafii Maarif, Titik-titik Kisar di Perjalananku, h. x


(53)

Indonesia agar menjadi Negara Islam, padahal batang usianya ketika itu sudah di atas 40 tahun.

3. Perkembangan Intelektual

Perkembangan Intelektual Syafii Maarif terjadi di lingkungan Kampus Universitas Chicago. Syafii Maarif mengalami kebangkitan spiritual dan intelektual yang baru. Otak dan hatinya mendapatkan “virus” pencerahan. Menurut Syafii Maarif, ini adalah perkembangan pemikiran keislaman dan keindonesiaan. Peran Fazlur Rahman, dengan segala kritiknya kepada sang guru, sungguh sangat besar. Strategi dan pendekatan yang digunakannya agar Syafii Maarif menimbang seluruh kekayaan khazanah Islam klasik dan modern dengan al-Qur’an sebagai sumber pokoknya.51

4. Pematangan Intelektual

Pematangan Pemikiran Syafii Maarif terjadi setelah ia kembali dari Chicago, Islam bagi Syafii Maarif adalah sumber moral utama dan pertama. Al-Qur’an adalah Kitab suci dengan sebuah benang merah pandangan dunia yang jelas sebagai pedoman dan acuan tertinggi dalam semua hal, termasuk acuan dalam berpolitik. Pasca Chicago pemikiran keindonesiaan dan keagamaan Syafii Maarif telah lebur menjadi satu. Menurut Syafii Maarif Islam yang dianut mayoritas penduduk tidak boleh menang

51

Ahmad Syafii Maarif, Titik-titik Kisar di Perjalananku, h.xi


(54)

sendiri, saudara-saudara sebangsa dan setanah air tetapi berbeda iman haruslah dilindungi dan diperlakukan secara adil dan proporsional.52

52


(55)

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG IDEOLOGI DAN DASAR NEGARA DI INDONESIA

A. Pengertian Ideologi

Secara etimologi, istilah ideologi berasal dari kata Yunani, idea (ideos dalam bahasa Latin) dan logos. Idea artinya gagasan, ide, atau cita-cita, logos adalah ilmu. Secara sederhana, ideologi dapat dipahami sebagai ilmu tentang ide, gagasan atau cita-cita.53 Dalam kamus besar bahasa Indonesia mendefinisikan ideologi sebagai sekumpulan konsep bersistem yang menjadikan asas pandang memberikan arah dan tujuan hidup seseorang atau satu kelompok masyarakat.54

Bagi para penganutnya, ideologi bukan hanya sekedar doktrin. Ideologi pada dasarnya mengaitkan tindakan dengan sejumlah makna yang kemudian memberikan pengaruh pada tingkah laku sosial penganutnya. Ideologi mempertegas landasan moral dari tindakan-tindakan yang kemudian menjadi kekuatan untuk membangun identitas dan solidaritas sosial para penganutnya.55

Ideologi yang didefinisikan dalam buku DR. Faisal Ismail oleh A.S. Hornby sebagai ”seperangkat gagasan yang membentuk landasan teori masyarakat teori

53

Paul Barry Clark dan Andrew Linxey, ed., Distionary of Ethics, Theology and Society, (New York; Routledge, 1996), h. 466

54

Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h. 319

55

David E. Apter, Politik Modernisasi, Terjemahan Hermawan Sulistyo dan Wardah Hafidz (Jakarta: PT Gramedia, 1987), h. 327-340


(56)

ekonomi dan politik atau yang dipegangi oleh seseorang atau kelompok tertentu’, adalah sesuatu yang sangat penting dan benar-benar vital bagi kelangsungan hidup sebuah bangsa, karena ideologi memberi kejelasan identitas nasional, kebangsaan dan kekuatan yang bisa mengilhami untuk mencapai cita-cita sosial dan politik.56 Jadi, dalam politik, ideologi politik menjadi penggerak dinamis yang utama dalam kehidupan organisasi atau lembaga politik serta dalam kehidupan politik suatu negara dan bangsa, karena ideologi berfungsi ”menyatukan rakyat dalam organisasi politik untuk melakukan tindakan politik secara efektif.” Lebih dari itu tujuan ideologi adalah untuk membangkitkan perasaan dan mendorong munculnya tindakan, sedangkan kekuatan ideologi terletak pada kapasitasnya dalam menangkap dan menggerakan imajinasi manusia serta melepaskan energi-energi manusia.57

B. Bentuk-Bentuk Ideologi dan Dasar Negara yang Pernah Berkembang di Indonesia

Dalam khazanah pemikiran ideologi dan falsafah negara Indonesia, diskursus tentang Islam dan Pancasila memang bukan persoalan baru. Diskursus ini telah berlangsung sangat lama, namun sampai sekarang tetap menjadi wacana yang menarik dan aktual, bahkan kontroversial. Ini menandakan bahwa masalah Islam dan

56

DR. Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni Dan Otoritas Agama: wacana ketegangan kreatif antara Islam dan Pancasila, (Yogyakarta: Tiara Wancana,1999). h. 15

57


(57)

Pancasila merupakan masalah penting yang menjadi perhatian masyarakat dan umat Islam Indonesia.

1. Islam Sebagai Dasar Negara

Di kalangan umat Islam, terdapat pemahaman dan keyakinan bahwa Islam bersifat universal, menyeluruh dan meliputi aspek kehidupan manusia, di dalamnya berisi beberapa pokok ajaran yang dapat diterapkan dalam berbagai dimensi kehidupan manusia, termasuk tentang kenegaraan. Atas pemahaman dan keyakinan tersebut, kemudian melahirkan konsep bersatunya Islam dan negara, dalam hal ini keduanya tidak terpisah atau tidak dapat dipisahkan (integrated). Oleh karena itu, kekuasaan Islam juga meliputi kekuasaan negara, negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Pemerintahan negara diselenggarakan atas dasar kedaulatan Ilahi (divine sovereignty), karena memang kedaulatan itu berasal dan berada di tangan Tuhan.

Dalam hubungan Islam dan Negara, Natsir mendasari uraiannya kepada al-Qur’an: ”Dan kami telah jadikan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah kepada ku” (51:56). Dari ayat tersebut Natsir mengembangkan teorinya dengan mengatakan: ” Seorang Islam hidup di atas dunia ini dengan cita-cita kehidupan supaya menjadi seorang hamba Allah dengan arti yang sepenuhnya, yakni hamba Allah yang mencapai kejayaan dunia dan kemenangan akhirat. Dunia dan akhirat ini sama sekali bagi kaum Muslimin tidak mungkin dipisahkan dari ideologi mereka, selanjutnya didalilkan bahwa Negara sebagai kekuatan dunia merupakan sesuatu yang mutlak bagi al-Qur’an, sebab hanya dengan itulah aturan-aturan dan


(58)

ajaran-ajarannya dapat dilaksanakan dalam kehidupan nyata. Bagi pemimpin modernis Negara adalah alat bagi Islam untuk melaksanakan hukum-hukum Allah demi keselamatan manusia. Sebagai alat, adanya Negara bersifat mutlak, karena itu Natsir membela perinsip persatuan agama dengan Negara.58

Menurut Natsir, Islam tidak dapat dipisahkan dari negara, dan urusan kenegaraan merupakan bagian integral risalah Islam. Bagi Natsir, kaum Muslimin mempunyai falsafah hidup atau ideologi seperti kalangan Kristen, Fasis atau Komunisme.59 Paham pemisahan Islam dari Negara, dan bukan kaitan non formal/legal antara Islam dan Negara, inilah yang menyulut kritik dari beberapa pemikir dan aktivis Islam politik, khususnya Mohammad Natsir. Bertolak belakang dengan posisi Soekarno, Natsir Menjadi pembela utama paham penyatuan agama dan Negara.60

Hubungan Negara dan Agama dalam pidato Natsir di depan Majelis Konstituante pada tahun 1957, Natsir mempertegas dan menjelaskan lebih lanjut pendiriannya tentang hubungan Islam dengan negara di Indonesia di mana ummat Islam merupakan pemeluk mayoritas. Dalam pidatonya berjudul Islam sebagai Dasar Negara, Natsir berdalih bahwa untuk dasar Negara, Indonesia hanya mempunyai dua pilihan, yaitu Sekularisme (al-maniyah), atau paham agama (dini). Dan pancasila menurut pendapatnya bercorak al-maniyah, karena itu ia sekuler, tidak mau mengakui

58 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Study Tentang Perdebatan dalam Konstituante, h. 130

59

Mohammad Natsir, Capital Selecta (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 436 60 Mohammad Natsir, Capita Selecta, h.429


(59)

wahyu sebagai sumbernya. Seperti kalangan umat Islam yang lain, Natsir percaya akan watak Holistik Islam. Ia amat mendukung H.A.R. Gibb, yang memang mendapatkan sambutan luas di kalangan umat Islam, bahwa ”Islam itu sesungguhnya lebih dari suatu sistem agama saja, dia itu adalah suatu kebudayaan yang lengkap.61 Bagi Natsir Islam tidak hanya terdiri dari praktik-praktik ibadah, melainkan juga prinsip-prinsip umum yang relevan untuk mengatur hubungan antara individu dan masyarakat.

Meski demikian, Natsir amat menyadari bahwa al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad tidak punya ”tangan dan kaki” untuk membuat manusia berjalan sesuai dengan aturan-aturan Islam. Karena itu, tidak diragukan lagi bahwa Islam memerlukan alat yang cocok untuk menjamin agar aturan-aturannya dijalankan. Dalam konteks khusus inilah ia melihat Negara sebagai alat yang cocok untuk menjamin agar perintah-perintah dan hukum-hukum Islam dijalankan.

Natsir menegaskan bahwa negara bukanlah tujuan akhir Islam, melainkan hanya merealisasikan aturan-aturan Islam yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah. Semua aturan-aturan Islam, seperti kewajiban belajar, zakat, dan pemberantasan perzinahan, dan lain-lain, tidak ada artinya manakala tidak ada negara. Negara di sini berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan ”kesempurnaan berlakunya

61

Bahtiar Effendi, Islam Dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, h. 80


(1)

1. Menurut Ahmad Syafii Maarif, bahwa Nabi Muhammad saw tidak pernah menyatakan diri sebagai seorang penguasa. Fakta ini memberikan sebuah interpretasi bahwa politik hakikatnya hanyalah sarana dan bahkan sebagai sebuah perwujudan (suatu eksistensi) dari agama itu sendiri. Apalagi realitas al-Qur’an tidak memberikan pola teori kenegaraan secara baku. Umat Islam diberi kebebasan untuk membangun sistem politiknya sesuai dengan tantangan zaman dan tuntutan masyarakat.

2. Ahmad Syafii Maarif secara tegas menolak formalisasi syariat, karena baginya tuntutan seperti itu bukan saja ahistoris, tidak realistis, dan tidak dilandasi dengan pondasi intelektual yang kuat

3. Bagi Ahmad Syafii Maarif, sebutan negara Islam itu tidak diperlukan lagi. Tetapi bahwa moral Islam harus menyinari masyarakat luas (Indonesia) adalah sebuah keniscayaan. Menurut Ahmad Syafii Maarif, perangkat hukum-hukum Islam dapat dikawinkan dengan sistem hukum nasional melalui proses demokratisasi. Yang penting adalah prinsip moral Islam bagi tegaknya keadilan untuk semua harus dijadikan program untuk bertindak. Adapun beberapa prinsip hukum Islam untuk publik dapat diintegrasikan dalam hukum nasional, sehingga tidak lagi bersifat eksklusif, kecuali yang bertalian dengan hukum keluarga, seperti perkawinan, warisan, wakaf, dan juga yang menyangkut masalah zakat.


(2)

Setelah melalui proses dan kajian terhadap pemikiran Ahmad Syafii Maarif dinamika ideologi Negara Indonesia, kiranya penulis perlu mengemukakan saran sebagai kelanjutan dari kajian penulis atas hal-hal tersebut di atas, yaitu; perlunya penelitian yang lebih komprehensif tentang Pancasila sebagai ideology terbuka secara khusus, sehingga mampu memberikan informasi yang lebih utuh. Dengan penelitian yang lebih komprehensif, diharapkan dapat melahirkan pemahaman bahwa Indonesia merupakan Negara yang multi cultural, multi agama, dan etnis. Untuk itu diperlukan suatu bangunan Negara nasional yang mampu menggabungkan kesemua unsur budaya dan keragaman cultural Indonesia.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, Manzoruddin.“The Classical Muslim State”, Islamic Studies, 1. no. 3 September, 1962

Ansari, Endang Syaifuddin. Komitmen Umat Islam Indonesia; Pokok-Pokok Pikiran tentang Islam. Jakarta: Usaha Enterprises, 1976

Antono, Raja Juli. Laporan Tahunan , Jakarta, Maarif Institute, 2000-2007

Amir Azis, Ahmad. Neo Modernisme Islam Indonesia; Gagasan Sentral Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid. Jakarta: PT. Bineka Cipta 1999

Apter, David E. Politik Modernisasi, Terjemahan Hermawan Sulistyo dan Wardah Hafidz , Jakarta: PT Gramedia, 1987

Awwas, S. Irfan. Trilogi Kepemimpinan Negara Islam Indonesia; Menguak Perjuangan Umat Islam dan Pengkhianatan Kaum Nasionalis-Sekuler. Yogjakarta: Uswah, 2008

Azra, Azyumardi. Pergerakan Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme, Hingga Postmodernisme, Jakarta: Paramadina,1996

Bakry, Ms Noor. Pancasila Yuridis Kenegaraan. Yogjakarta: Liberty, 1994

Clark, Paul Barry dan Andrew Linxey, ed., Distionary of Ethics, Theology and Society, New York; Routledge, 1996

Darmodiharjo, Darji, dkk. Santiaji Pancasila; Suatu Tinjauan Filosofis, Historis dan Yuridis-Konstitusional. Surabaya: Usaha Nasional, 1991

Efendy, Bahtiar. Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1998

Effendy, Onong Uchyana. Dimensi Komunkasi, Bandung: Alumni, 1981

Ghazali, Abd Rohim. Muhammadiyah dan Politik Islam Inklusif. Jakarta: Maarif Institute, 2005

Refleksi 70 Tahun Ahmad Syafii Maarif Cermin untuk Semua Jakarta: Maarif Institute, 2005


(4)

Ismail, DR. Faisal. Ideologi Hegemoni Dan Otoritas Agama: wacana ketegangan kreatif antara Islam dan Pancasila, Yogyakarta: Tiara Wancana,1999

Jansen, G.H. Islam Militan, Terjemahan Armahedi Mahzar. Bandung: Pustaka, 1980 Maarif, Ahmad Syafii. Islam dan Masalah Kenegaraan; Studi tentang Percaturan

dalam Konstituante. Jakarta: LP3ES, 1996

Islam di Masa Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin, dalam Fauzi Rahman (Ed.), Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 1994

Independensi Muhammadiyah: Di Tengah Pergumulan Islam dan Politik, Jakarta:Cidesindo,2000

Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku. Yogjakarta: Ombak, 2006 Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan.

Bandung: Mizan, 2009

Peta Bumi Intlektualisme Islam di Indonesia (Jakarta: Mizan, 1995), Cet. Ke-3

Piagam Madinah dan Konvergensi Sisial, Pesantren No. 3, Vol. VII

Madjid, Nurchalish. Islam, Kemoderenan, dan Keindonesiaan , Bandung: Mizaan,1978

Mangkusasmito, Prawoto. Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Projeksi,Jakarta:Hudaya,1970

Mashad, Dhurorudin. Akar Konflik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008

Natsir, Mohammad. Capital Selecta. Jakarta: Bulan Bintang, 1973

Nawiriddin. Islam dan Pancasila: Studi Hubungan Ideal dalam Konstruk Negara Nasional, Tesis Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta 2008


(5)

Ridjal, Fauzi. Dinamika Budaya dan Politik dalam Pembangunan, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1991

Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: UI Press, 1993

Soekarno. Di Bawah Bendera Revolusi, Jakarta: Darul Falah, 1964

Suara Karya, Ketua Umum: Muhammadiyah Tetap sebagai Organisasi Sosial, Jakarta, 2000

Taimiyah, Ibnu. Al-Siyasah al-Syar’iyyah. Beirut: Dar al-Kitab al-Arabiyah, 1996 Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa

Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988

Wahid,Marjuki, Rumadi. Fiqh Madzhab Negara: kritik atas Politik Hukum Islam Di Indonesia, Yogtakarta: LKiS, 2001

Yasni, Z. Bung Hatt Menjawab. Jakarta: Gunung Agung, 1979

Yunus, M. Yunan. Teologi Muhammadiyah Cita Tajdid dan Realitas Sosial ,Jakarta: Uhamka Press, 2005

Zaidan, Abd Al-Karim. Al-Fardl wa al-Daulah fi al-Syariah al-Islamiyah. Al-Ittihad al-Islami al-Alami, 1970

Zamharir, Muhammad Hari. Agama, dan Negara: Analisis Kritis Pemikiran Politik Nurcholish Madjid, Raja Grafindo: Jakarta,2004

Internet:

Omcivics. “Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka”. Artikel ini diakses pada 12

November 2009 dari http://www.Slideshare.net/omcivics/pancasila -sebagai-ideologi-terbuka


(6)