BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Definisi sepsis pertama sekali diperkenalkan oleh American College of Chest Physicians ACCP dan the Society of Critical Care Medicine SCCM Consensus
Conference pada tahun 1991, dimana sepsis diartikan sebagai suatu respons inflamasi sistemik systemic inflammatory responseSIRS terhadap infeksi.
Manifestasi SIRS dapat berupa dua atau lebih dari gejala berikut: 1 suhu tubuh 38°C atau 36°C; 2 takikardi denyut jantung 90 kalimenit; 3 takipneu pernafasan 20
kalimenit atau PaCO2 4,3 kPa; 4 lekositosis atau lekopenia jumlah lekosit 12.000 atau 4000mm
1-4
3
Sepsis berat adalah sepsis yang berhubungan dengan adanya disfungsi organ satu atau lebih, hipoperfusi jaringan atau hipotensi. Hipoperfusi termasuk asidosis laktat, oliguria
dan perubahan akut status mental. atau 10 sel imatur.
Sedangkan syok sepsis adalah sepsis yang disertai hipotensi TDs 90 mmHg atau penurunan
≥ 40 mmHg dari tekanan darah sebelumnya tanpa ada penyebab hipotensi lainnya, yang menetap walaupun telah dilakukan resusitasi cairan yang adekuat.
2,5-7,10-11
Sepsis dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, namun yang menjadi penyebab terbesar adalah bakteri. Angka kesakitan dan kematian sepsis bakterialis yang cukup tinggi
membuat sepsis merupakan 2 penyakit penyebab pasien masuk ke RS, dimana sekitar 9 pasien sepsis memburuk menjadi sepsis berat, dan 3 pasien sepsis berat menjadi syok
sepsis, dan yang menyebabkan 10 kasus di ICU. Penyakit ini menjadi penyebab kematian kedua non koroner di ICU, dan penyebab kematian kesepuluh di AS.
2-5
Penyebab sepsis terbesar adalah bakteri gram negatif 60-70. Struktur dominan pada membran luar bakteri gram negatif adalah lipopolisakarida LPS yang akan
merangsang peradangan dengan melepaskan mediator-mediator inflamasi.
7-9
22,28
American College of Chest Physicians ACCP dan the Society of Critical Care Medicine SCCM Consensus Conference pada tahun 1991 merekomendasikan adanya
petanda biomolekuler yaitu procalcitonin PCT dan C-reactive protein CRP dimasukkan sebagai langkah awal dalam diagnosis sepsis. Vienna dkk 2000, meneliti penanda
biomolekuler procalcitonin PCT. Simon dkk tahun 2004 meneliti kadar prokalsitonin pada Sedangkan
kuman Staphilokokus, Pneumokokus, Streptokokus dan organisme gram positif lainnya dapat menyebabkan sepsis pada 20-40.
Universitas Sumatera Utara
sepsis bakterialis. Purba D 2010 di Medan, pada penelitian prokalsitonin sebagai penanda sepsis, meneliti 19 orang pasien sepsis dibandingkan dengan 19 orang kontrol dan
mendapatkan nilai PCT 0,8 ngmL sesuai untuk sepsis akibat infeksi bakteri dan kadarnya semakin meningkat berdasarkan keparahan penyakit.
25
Surviving Sepsis Campaign 2008 mengemukakan diagnosis dini dan pengobatan sepsis yang tidak ditunda-tunda dapat menurunkan mortalitas dan morbiditas. Diagnosis awal
sepsis sebelum didapat hasil kultur menjadikan pemberian antibiotik empiris sangat penting untuk dapat menurunkan mortalitas pasien. Namun ketersediaan penanda marker infeksi
bakteri masih belum memuaskan. Penanda yang ideal haruslah memiliki nilai spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi , mudah dikerjakan, tidak mahal, dan berhubungan dengan berat
ringannya penyakit dan prognosis. Kultur darah sebagai baku emas standar dalam diagnosis sepsis bakterialis memiliki banyak kekurangan diantaranya memerlukan waktu pemeriksaan
yang lama, biaya yang mahal, belum tersedia di semua rumah sakit. Namun pemeriksaan PCT harganya
mahal, hasilnya diperoleh dalam waktu yang lama 24 jam, dan belum tersedia di semua rumah sakit
Penurunan jumlah eosinofil eosinopenia telah lama diketahui sebagai salah satu respon tubuh terhadap infeksi akut. Namun demikian fungsi eosinofil sebagai penanda infeksi
akut sudah mulai dilupakan. Eosinopenia diharapkan dapat mendeteksi sepsis bakterialis sedini mungkin karena umur eosinofil di dalam sirkulasi berkisar antara 6-12 jam, hasil
pemeriksaan eosinofil dapat diketahui dalam waktu singkat, dan tersedia hampir di seluruh fasilitas kesehatan. Eosinopenia dalam sirkulasi diduga merupakan respon sekunder terhadap
stres yang disebabkan oleh infeksi bakteri akut. Mekanisme yang menyebabkan terjadinya eosinopenia pada infeksi akut diperkirakan
adalah akibat stress akut, dimediasi oleh adrenal glukokortikoid dan epinefrin. Juga diperkirakan penyebab eosinopenia pada infeksi akut adalah adanya sekuestrasi cepat
eosinofil yang beredar dalam darah ke tempat infeksi. Berpindahnya eosinofil ke tempat inflamasi diperkirakan oleh adanya substansi kemotaktik yang lepas pada inflamasi akut.
Substansi utama yang terlibat adalah komplemen C5a dan fibrin yang sudah berhasil dideteksi pada inflamasi akut.
Di bawah ini adalah beberapa penelitian sebelumnya yang menunjukkan hubungan eosinopenia dengan infeksi bakteri akut dan eosinopenia sebagai penanda diagnosis sepsis
bakterialis. Penelitian Gil, dkk melibatkan 1038 pasien sepsis dengan rerata usia 71,8 tahun menunjukkan leukositosis 10.000mm
3
dan jumlah eosinofil 40mm
3
sangat mengarah kepada penyakit infeksi karena bakteri. Pada tahun 2006, Abidi, dkk melakukan penelitian
Universitas Sumatera Utara
pada pasien di Intensive Care Unit ICU dan menunjukkan bahwa eosinopenia merupakan penanda diagnosis yang baik untuk membedakan penyebab infeksi dan noninfeksi pada
pasien sangat kritis. Eosinopenia menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan pemeriksaan CRP untuk mendiagnosis sepsis saat masuk ke ICU, dengan
jumlah eosinofil 40 selmm3 menghasilkan sensitivitas 80 IK 95, 71-81, spesifisitas 80 IK 95, 55-93, positive likelihood ratio 4 IK 95; 1,65-9,65, dan negative
likelihood ratio 0,25 IK 95; 0,17-0,36. Di Indonesia, Yefta EK dkk melakukan penelitian eosinophil terhadap sepsis bakterialis dengan subjek neonatus, didapatkan cut-off point
persentase eosinofil ≤0,78 mempunyai sensitivitas 69,6 IK 95; 55,9 -81,2 dan
spesifisitas 74,3 IK 95; 56,7-87,5 serta akurasi 71,4 dibandingkan dengan pemeriksaan kultur darah sebagai baku emas standar. Juga pada penelitian ini didapati nilai
cut-off point eosinofil yang berbeda dengan penelitian sebelumnya oleh karena perbedaan subjek penelitian.
Berdasarkan uraian di atas peneliti ingin meneliti apakah eosinopenia merupakan penanda diagnosis dini sepsis bakterialis dan dapat menjadi alternatif selain pemeriksaan
PCT. Selain itu, hingga saat ini penelitian sejenis belum pernah dilakukan di Medan sehingga diharapkan akan membantu menegakkan diagnosis dini sepsis bakterialis di Indonesia dan
negara berkembang lainnya.
1.2.Perumusan masalah
Apakah eosinopenia dapat menjadi penanda dini sepsis bakterialis?
1.3.Hipotesis
Eosinopenia dapat menjadi penanda dini sepsis bakterialis
1.4.Tujuan
Tujuan umum Untuk mengetahui nilai eosinophil pada pasien sepsis bakterialis
Tujuan Khusus Eosinopenia sebagai penanda dini sepsis bakterialis dan menjadi pemeriksaan alternatif
selain PCT
1.5.Manfaat penelitian
Di bidang pengembangan penelitian : mengingatkan kembali akanpenggunaan dan manfaat pemeriksaan hitung eosinofil absolut sebagai penandadini sepsis bakterialis
Universitas Sumatera Utara
Di bidang akademik institusi: Dengan mengetahui parameter hitung eosinofil absolut pasien sepsis, maka para klinisi dapat menggunakannyasebagai penandadini sepsis
bakterialis. Di bidang pelayanan kesehatan masyarakat: Dengan mengetahui parameter hitung
eosinofil absolut sebagai penanda sepsis bakterialis, diharapkan diagnosis dan penatalaksanaan sepsis bakterialis dapat menjadi lebih cepat dan tepat.
Kerangka Konseptual
Pasien sepsis
Procalcitonin 2 ngmL
Universitas Sumatera Utara
BAB II TINJAUAN PUSTAKA