Perlindungan Hukum Bagi Pelanggan PT. Telkom Dalam Kontrak Baku

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PELANGGAN PT. TELKOM DALAM KONTRAK BAKU

TESIS

Oleh NIZARLY 087011086/MKn

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PELANGGAN PT. TELKOM DALAM KONTRAK BAKU

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Dalam Program Studi Kenotariatan

Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

NIZARLY 087011086/MKn

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Judul Tesis : PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PELANGGAN PT. TELKOM DALAM KONTRAK BAKU

Nama Mahasiswa : Nizarly

Nomor Pokok : 087011086

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum) Ketua

(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH ) (Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)

Anggota Anggota

Ketua Program Magister kenotariatan Dekan

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 24 September 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum Anggota : 1. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH

2. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum 4. Dr. Dedi Herianto, SH, M.Hum


(5)

ABSTRAK

Perjanjian berlangganan jasa telepon kabel merupakan salah satu perjanjian yang lahir akibat adanya asas kebebasan berkontrak, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1338 Jo Pasal 1320 KUHPerdata. Sementara itu dalam pasal 18 ayat (1) Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) ditentukan bahwa para pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian. Namun, dalam perjanjian yang dibuat antara konsumen dan penyedia jasa telekomunikasi tetap saja terdapat klausula baku yang merupakan pelanggaran dari ketentuan UUPK, yang dimanfaatkan oleh penyedia jasa untuk mengalihkan tanggung jawab dalam perjanjian.

Penelitian ini bersifat deskriptif karena metode yang digunakan untuk menggambarkan, menelaah dan menjelaskan peraturan perundang-undangan yang berlaku kemudian menghubungkan dengan keadaan atau fenomena dalam praktek. Jenis penelitian yang diterapkan ialah yuridis normatif dengan dilengkapi dengan yuridis empiris sebagai pendekatan masalah dengan melihat ketentuan-ketentuan yang ada, dan juga melihat ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang perlindungan hukum bagi pelanggan PT. Telkom dalam kontrak baku dan bagaimana pelaksanaan dari ketentuan tersebut.

PT. Telkom selaku penyedia jasa telekomunikasi dalam hal ini telepon kabel yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dari konsumen, dimana bentuk, isi, format dan perjanjian ditentukan secara sepihak oleh PT. Telkom dan pihak konsumen hanya bisa menerima atau tidak menerima ketentuan tersebut (take it or leave it contract). Sehingga dalam hal ini menyebabkan lemahnya kedudukan pihak pelanggan dibandingkan PT. Telkom. Hal ini tertuang didalam pasal 18 (1) UUPK, yaitu : “Larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak”. Perlindungan Hukum yang diberikan oleh PT. Telkom yang diatur dalam ketentuan berlangganan sambungan telekomunikasi kepada pelanggan di wujudkan dalam bentuk garansi dan kompensasi. Dalam hal terjadi sengketa konsumen dapat menempuh dengan dua cara, yaitu : penyelesaian sengketa melalui pengadilan negeri dan penyelesaian sengketa di luar pengadilan.

Kata Kunci : Sengketa, Konsumen Jasa Telekomunikasi, Perlindungan.


(6)

ABSTRACT

The agreement of cable telephone service subscription is one of the agreements that exist because of the freedom of contract as regulated in Article 1338 in connection with Article 1320 of the Indonesian Civil Codes. Article 18 (1) of Law No.8/1999 on Customer Protection is determined that, in offering the goods and/or service to be traded, a businessmen is not allowed to make or put a standard clause on each document and/or agreement. But, in the agreement made between the consumer and the telecommunication service provider, the standard clause is always found, and this is a violation of what decided in law of Consumer Protection which is used by the service provider to shift their responsibility stated in the agreement.

This was a descriptive study because the method used to describe, analyze, and explain the existing regulation of legislation then to relate it to the condition or phenomenon in practice. This was also a normative juridical study with empirical juridical approach the problems by looking at the existing stipulations and those regulating a legal protection for the customers of PT. Telkom based on a standard contract and how the stipulation was implemented.

PT. Telkom as the telecommunication service provider, in this context cable telephone, has a higher position compared to the consumer that the form, content, format and agreement itself was unilaterally decided by PT. Telkom and the consumers can only take or leave the contract. This made the position of customers was weaker than PT. Telkom’s. This is stated in Article 18 (1) of Law No. 8/1999as follows: “This prohibition is meant to put the position of consumer at the same level as business practitioner based on the principle of freedom of contract”. The legal protection given by PT. Telkom regulated in the stipulation of telecommunication connection subscription to the customers is materialized in the form of guarantee and compensation. In case of dispute, the consumer can settle it in two ways that is the dispute is settled through the court of the first instance or outside of court of law. Key words: Dispute, Consumer, Telecommunication Service, Protection


(7)

KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia Nya sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penulisan tesis ini guna memenuhi salah satu syarat akademik dalam menyelesaikan program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus ketua komisi pembimbing yang dengan penuh perhatian memberi dorongan, bimbingan dan saran kepada penulis;

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH., MS., CN., selaku Ketua Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. sekaligus anggota komisi pembimbing yang telah memberikan dukungan, semangat, dan masukan kepada penulis;

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum., selaku Sekretaris Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus penguji yang telah memberikan masukan kepada penulis;


(8)

5. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH., M.H. selaku anggota komisi pembimbing yang selalu memberi semangat, arahan serta kritik yang membangun kepada penulis; 6. Bapak Dr. Dedi Herianto, SH, M.HUM., selaku penguji yang selalu memberi

arahan serta kritik yang membangun kepada penulis;

7. Seluruh Staf Pengajar Program Studi Magister Kenotariatan Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama menuntut ilmu pengetahuan di Program Studi Magister Kenotariatan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara;

8. Seluruh Staf Pegawai Administrasi Program Studi Magister Kenotariatan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, selaku para pihak yang selalu membantu selama penulis menyelesaikan urusan besar dan urusan kecil yang berhubungan dengan perkuliahan.

9. Ayahanda H. NASRULLAH, SH, CN. dan Ibunda Tercinta CUT AINUL MARDHIAH, selaku orang tua terbaik yang selalu sabar, tulus, ikhlas, dan tabah

dalam segala hal dari dulu, sekarang, esok, dan seterusnya menjadi bagian terindah dalam hidup penulis;

10. Kakanda Rizkia, SH, beserta Adinda Rizaldi, Nazlia, dan Marisa, yang telah

menjadi motivasi untuk menyelesaikan studi dan dalam penulisan tesis ini;

11. Dwi Ayu Rosari, selaku penggemar rahasia dan penjaga hati yang melengkapi

hari-hari penulis dengan hal-hal indah selama menjadi bagian hidup penulis;


(9)

12.Rekan-rekan satu angkatan 2008 pada Program Studi Magister Kenotariatan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan dukungan moral maupun material kepada penulis dalam penyelesaian tesis ini;

13.Dan pihak-pihak lain yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah membantu memberikan data informasi sehingga dapat digunakan dalam penulisan dan penyelesaian tesis ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini masih terdapat banyak kekurangan baik dari segi penulisan maupun substansi yang masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun demi penyempurnaan penulisan tesis ini.

Akhir kata penulis mengharapkan semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan juga bagi pembaca pada umumnya. Amien Ya Rabbal ‘Alamin

Medan, September 2010 Penulis,

NIZARLY


(10)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. DATA PRIBADI

Nama : Nizarly

Tempat/Tanggal Lahir : Banda Aceh/22 Juni 1983

Alamat : Jl. Rawa Sakti I No. 13 Jeulingke, Banda Aceh Jenis Kelamin : Laki-Laki

Status Perkawinan : Belum Menikah

II. DATA ORANG TUA

Nama Ayah : H. Nasrullah, SH, CN Nama Ibu : Cut Ainul Mardhiah

III.PENDIDIKAN

1. SD : SD Negeri 61 Banda Aceh (Tamat Tahun 1995)

2. SLTP : SLTP Negeri 13, Banda Aceh (Tamat Tahun 1998)

3. SMU : SMU Negeri 4, Banda Aceh (Tamat Tahun 2001)

4. S-1 : Fakultas Hukum UNSYIAH, Banda Aceh (Tamat Tahun 2007)

5. S-2 : Program Studi Magister Kenotariatan USU, Medan (Tamat Tahun 2010)


(11)

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN PENGESAHAN

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR SINGKATAN ... x

DAFTAR TABEL ... xi

BAB I. PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian ... 13

E. Keaslian Penelitian ... 13

F. Kerangka Teori dan Konsep ... 14

1. Kerangka Teori ... 14

2. Konsepsional... 21

G. Metode Penelitian ... 23

1. Spesifikasi Penelitian ... 23


(12)

2. Lokasi Penelitian ... 24

3. Metode Pengumpulan Data ... 24

4. Sumber Data ... 25

5. Analisis Data ... 26

BAB II. KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN DENGAN PT. TELKOM... 27

A. Bentuk Perjanjian Antara Pelanggan dengan PT. Telkom ... 27

1. Pengertian Perjanjian ... 27

2. Kontrak Baku ... 41

BAB III. PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK-HAK PELANGGAN DALAM PELAKSANAAN PERJANJIAN DENGAN PT. TELKOM ... 61

A. Dasar Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia ... 61

1. Asas Perlindungan Konsumen ... 62

2. Tujuan Perlindungan Hukum ... 62

3. Hubungan Hukum Antara Konsumen dan Produsen... 63

B. Hak dan Kewajiban Para Pihak ... 65

1. Hak Konsumen dan Pelaku Usaha ... 65

2. Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha ... 67

C. Perlindungan Hukum Terhadap Pelanggan PT. Telkom ... 70

1. Perlindungan Konsumen Menurut UU No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen ... 70


(13)

2. Perlindungan Konsumen Menurut UU No.36 Tahun 1999

Tentang Telekomunikasi ... 72

BAB IV. PENYELESAIAN SENGKETA ANTARA PELANGGAN DENGAN PT. TELKOM ... 89

A. Klausula penyelesaian sengketa ... 90

1. Penyelesaian Sengketa Konsumen Sesuai dengan UU No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen ... 90

2. Penyelesaian Sengketa Konsumen oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen ... 96

B. Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan Negeri ... 102

C. Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan ... 106

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 118

A. Kesimpulan ... 118

B. Saran ... 119

DAFTAR PUSTAKA ... 120


(14)

DAFTAR SINGKATAN

BPSK : Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen BW : Burgerlijk Wetboek (KUHPerdata) IKR/G : Instalasi Kabel Rumah/Gedung JARTEL : Jaringan Telekomunikasi JASTEL : Jasa Telekomunikasi

KBST : Kontrak Berlangganan Sambungan Telekomunikasi KTB : Kotak Terminal Batas

LPKSM : Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyakat

RPU : Rangka Pembagi Utama

RK : Rumah Kabel

SLJJ : Sambungan Langsung Jarak Jauh

TP : Titik pembagi

UUPK : Undang-undang Perlindungan Konsumen


(15)

DAFTAR TABEL

TABEL 1, Garansi dan Kompensasi Layanan Baru ... 79

TABEL 2, Garansi dan Kompensasi Layanan Perbaikan Gangguan ... 81

TABEL 3, Batas Waktu Pengajuan Keberatan ... 82

TABEL 4, Garansi dan kompensasi Layanan Mutasi ... 85


(16)

ABSTRAK

Perjanjian berlangganan jasa telepon kabel merupakan salah satu perjanjian yang lahir akibat adanya asas kebebasan berkontrak, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1338 Jo Pasal 1320 KUHPerdata. Sementara itu dalam pasal 18 ayat (1) Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) ditentukan bahwa para pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian. Namun, dalam perjanjian yang dibuat antara konsumen dan penyedia jasa telekomunikasi tetap saja terdapat klausula baku yang merupakan pelanggaran dari ketentuan UUPK, yang dimanfaatkan oleh penyedia jasa untuk mengalihkan tanggung jawab dalam perjanjian.

Penelitian ini bersifat deskriptif karena metode yang digunakan untuk menggambarkan, menelaah dan menjelaskan peraturan perundang-undangan yang berlaku kemudian menghubungkan dengan keadaan atau fenomena dalam praktek. Jenis penelitian yang diterapkan ialah yuridis normatif dengan dilengkapi dengan yuridis empiris sebagai pendekatan masalah dengan melihat ketentuan-ketentuan yang ada, dan juga melihat ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang perlindungan hukum bagi pelanggan PT. Telkom dalam kontrak baku dan bagaimana pelaksanaan dari ketentuan tersebut.

PT. Telkom selaku penyedia jasa telekomunikasi dalam hal ini telepon kabel yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dari konsumen, dimana bentuk, isi, format dan perjanjian ditentukan secara sepihak oleh PT. Telkom dan pihak konsumen hanya bisa menerima atau tidak menerima ketentuan tersebut (take it or leave it contract). Sehingga dalam hal ini menyebabkan lemahnya kedudukan pihak pelanggan dibandingkan PT. Telkom. Hal ini tertuang didalam pasal 18 (1) UUPK, yaitu : “Larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak”. Perlindungan Hukum yang diberikan oleh PT. Telkom yang diatur dalam ketentuan berlangganan sambungan telekomunikasi kepada pelanggan di wujudkan dalam bentuk garansi dan kompensasi. Dalam hal terjadi sengketa konsumen dapat menempuh dengan dua cara, yaitu : penyelesaian sengketa melalui pengadilan negeri dan penyelesaian sengketa di luar pengadilan.

Kata Kunci : Sengketa, Konsumen Jasa Telekomunikasi, Perlindungan.


(17)

ABSTRACT

The agreement of cable telephone service subscription is one of the agreements that exist because of the freedom of contract as regulated in Article 1338 in connection with Article 1320 of the Indonesian Civil Codes. Article 18 (1) of Law No.8/1999 on Customer Protection is determined that, in offering the goods and/or service to be traded, a businessmen is not allowed to make or put a standard clause on each document and/or agreement. But, in the agreement made between the consumer and the telecommunication service provider, the standard clause is always found, and this is a violation of what decided in law of Consumer Protection which is used by the service provider to shift their responsibility stated in the agreement.

This was a descriptive study because the method used to describe, analyze, and explain the existing regulation of legislation then to relate it to the condition or phenomenon in practice. This was also a normative juridical study with empirical juridical approach the problems by looking at the existing stipulations and those regulating a legal protection for the customers of PT. Telkom based on a standard contract and how the stipulation was implemented.

PT. Telkom as the telecommunication service provider, in this context cable telephone, has a higher position compared to the consumer that the form, content, format and agreement itself was unilaterally decided by PT. Telkom and the consumers can only take or leave the contract. This made the position of customers was weaker than PT. Telkom’s. This is stated in Article 18 (1) of Law No. 8/1999as follows: “This prohibition is meant to put the position of consumer at the same level as business practitioner based on the principle of freedom of contract”. The legal protection given by PT. Telkom regulated in the stipulation of telecommunication connection subscription to the customers is materialized in the form of guarantee and compensation. In case of dispute, the consumer can settle it in two ways that is the dispute is settled through the court of the first instance or outside of court of law. Key words: Dispute, Consumer, Telecommunication Service, Protection


(18)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pembangunan nasional Indonesia dalam mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila dan Undang- undang Dasar 1945 merupakan cita-cita dari masyarakat Indonesia. Pengaruh globalisasi dan perkembangan teknologi yang sangat pesat telah mengakibatkan perubahan yang mendasar dalam penyelenggaraan dan cara pandang terhadap pembangunan. Sejalan dengan kemajuan pembangunan tersebut, maka penyelenggaraan jasa telekomunikasi mempunyai arti strategis dalam upaya memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, memperlancar kegiatan pemerintahan, mendukung terciptanya tujuan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, serta meningkatkan hubungan antar bangsa.

Penyelenggara telekomunikasi adalah perseorangan, koperasi, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Swasta, instansi pemerintah, dan instansi pertahanan keamanan negara, yang dalam penyelenggaraannya harus melindungi kepentingan dan keamanan negara, mengantisipasi perkembangan teknologi dan tuntutan global, dilakukan secara profesional dan dapat dipertanggung jawabkan serta perlu peran serta masyarakat.1

Telepon secara konvensional adalah untuk komunikasi suara, namun demikian telah banyak telepon yang difungsikan untuk komunikasi data. Pembahasan berikut ini akan ditekankan pada penggunaan telepon sebagai komunikasi suara. Pada

1 Ketentuan Umum Pasal 1 huruf (d) Undang-undang No. 36 Tahun 1999 tentang


(19)

dasarnya pesawat telepon terdiri dari alat pengirim suara (mikropon) dan alat penerima suara (speaker). Pesawat ini dihubungkan dengan sentral telepon menggunakan sepasang kabel tembaga yang dikenal sebagai 2 kawat.

Pengaturan mengenai telekomunikasi telah diatur tersendiri di dalam Undang-undang Republik Indonesia nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Dalam hal ini yang akan dibahas dalam tesis ini adalah telepon kabel. Telepon kabel (wireline) adalah layanan jasa telekomunikasi suara berbasis akses kabel dengan jaringan yang berawal dari sentral telepon menuju rangka pembagi utama (RPU) dilanjutkan ke rumah kabel (RK) disalurkan ke titik pembagi (TP) berakhir pada roset pesawat telepon.

Pelaksanaan jasa telekomunikasi di Indonesia tersebut dikelola oleh PT. Telkom dan yang mana terus berupaya untuk selalu meningkatkan kualitas pelayanannya kepada seluruh masyarakat. Telepon merupakan suara dari jarak jauh, merupakan salah satu fasilitas yang disediakan oleh PT. Telkom yang perkembangan pada saat ini telah mencapai ke seluruh pelosok Indonesia.2 Telepon sangat berarti didalam masyarakat karena sifat penggunaannya sangat mudah, praktis dan cepat dalam melakukan aktifitas komunikasi jarak jauh dan dapat menghemat biaya, tenaga dan waktu.

Dalam rangka pelaksanaan pelayanan jasa telekomunikasi tersebut, maka akan terjadi suatu hubungan hukum antara calon pelanggan atau pelanggan dengan PT.

2 Gouzali Saydam, Sistem Telekomunikasi Di Indonesia Edisi Revisi, Bandung, Alfabeta,


(20)

Telkom. Oleh karena itu perlu diadakan suatu perjanjian yang disebut dengan “Kontrak Berlangganan Sambungan Telekomunikasi” yang harus ditandatangani oleh kedua belah pihak yaitu pihak PT. Telkom dan calon pelanggan. Perjanjian ini termasuk dalam kontrak baku yaitu suatu kontrak/perjanjian yang bentuk dan isinya ditentukan oleh salah satu pihak dan pihak yang membuat adalah PT. Telkom,3 Sedangkan pelanggan adalah para pengguna jasa Telekomunikasi yang telah menanda tangani surat perjanjian khusus dengan pengelola jasa telekomunikasi, untuk berlangganan sambungan telekomunikasi yang mana formulir kontrak baku tersebut telah dibuat oleh pihak PT. Telkom.4 Hal ini dimaksudkan untuk membantu kelancaran dalam pelayanan kepada calon pelanggan baru.

Menurut Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa kontrak baku adalah perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir.5 Setiap bentuk perjanjian harus terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak dan dianggap sah apabila telah memenuhi syarat-syarat perjanjian seperti yang diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata yang bunyinya “Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:6

1. Kesepakatan dari para pihak. Akibatnya, pihak yang tidak sepakat dengan suatu kontrak dan (karenanya) tidak menanda tanganinya, tidak terikat oleh kontrak

3

Ahmadi Miru, Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 2007, hal 39.

4 Gouzali Saydam, Op.cit, hal 84.

5 Mariam Darus Badrulzaman dalam Tan Kamelo, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar

Fakultas Hukum USU 1979 – 2001, Butir-Butir Pemikiran Hukum Guru Besar Dari Masa Ke Masa, Medan, Pustaka Bangsa Press, 2003, hal 14.

6 Budiono Kusumohamidjojo, Panduan Untuk Merancang Kontrak, Jakarta, PT. Gramedia


(21)

tersebut. Karena itu, pihak tersebut juga tidak mengemban suatu kewajiban yang ditetapkan oleh kontrak itu.

2. Kecakapan dari masing-masing pihak. Jadi, suatu pihak dapat terikat oleh suatu kontrak hanya jika dia cakap untuk mengikatkan dirinya.

3. Suatu hal tertentu. Dalam hal suatu kontrak objek perjanjian harus jelas dan ditentukan oleh para pihak, objek perjanjian tersebut dapat berupa barang maupun jasa.

4. Suatu sebab yang halal. Dalam hal ini isi kontrak tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Jika unsur-unsur tersebut dipenuhi, para pihak yang membuat kontrak kemudian juga akan tunduk pada pasal 1338 KUHPerdata yang bunyinya: “Semua perjanjian yang di buat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.7

Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh Undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Dengan demikian orang bebas membuat atau tidak membuat perjanjian, bebas menentukan isi, berlakunya dan syarat-syarat perjanjian dengan bentuk tertentu atau tidak dan bebas memilih jenis perjanjian yang akan dipakai untuk perjanjian itu dan inilah yang disebut dengan asas kebebasan berkontrak. Azas tersebut tetap ada rambu-rambunya yaitu tidak bertentangan dengan Undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.8

7 Ibid, hal. 17


(22)

Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang merupakan tiangnya hukum perdata berkaitan dengan penjabaran dari asas kebebasan berkontrak, yaitu:9

1. Bebas membuat jenis perjanjian apa pun; 2. Bebas mengatur isinya;

3. Bebas mengatur bentuknya.

Seperti telah diuraikan, isi kontrak baku telah dibuat oleh satu pihak, sebagai pihak lainnya tidak dapat mengemukakan kehendak secara bebas. Singkatnya tidak terjadi tawar menawar mengenai isi perjanjian sebagaimana menurut asas kebebasan berkontrak. Dengan demikian, dalam perjanjian baku berlaku adagium, “take it or

leave it contract”. Maksudnya apabila setuju silakan ambil, dan bila tidak tinggalkan

saja, artinya perjanjian tidak dilakukan.

Memperhatikan keadaan demikian, banyak isi kontrak baku yang memberatkan atau merugikan konsumen sebagaimana diketahui lazimnya syarat-syarat dalam kontrak baku adalah mengenai:10

1. Cara mengakhiri perjanjian;

2. Cara memperpanjang berlakunya perjanjian; 3. Cara penyelesaian sengketa;

4. Klausula eksonerasi.

9

Sihar Roni Sirait, Klausula Baku dalam Kontrak Baku,

http://www.goldencontract.blogspot.com/2008/01/klausula-baku-dalam-kontrak-baku.html, diakses pada tanggal 16 Februari 2010, pukul 22.50 Waktu Indonesia Bagian Barat.

10


(23)

Sehubungan dengan perlindungan terhadap konsumen, yang perlu mendapat perhatian utama dalam kontrak baku adalah mengenai klausula eksonerasi (exoneratie

klausule exemption clausule) yaitu klausula yang berisi pembebasan atau pembatasan

pertanggungjawaban dari pihak pelaku usaha yang lazimnya terdapat dalam jenis perjanjian tersebut.

Perlindungan Hukum bagi konsumen telah diatur dalam Perundang-undangan di Indonesia, Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Undang-undang Perlindungan Konsumen menyatakan, konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.11 Sebelum muncul UUPK (Undang-undang Perlindungan Konsumen) yang diberlakukan pemerintah mulai 20 April 2000 praktis hanya sedikit pengertian normatif yang tegas tentang konsumen dalam hukum positif di Indonesia. Dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (ketetapan MPR No. II/MPR/1993) disebutkan kata konsumen dalam rangka membicarakan tentang sasaran bidang perdagangan. Di antara ketentuan normatif itu terdapat Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat (diberlakukan 5 Maret 2000, 1(satu) tahun setelah diundangkan). Undang-undang ini memuat suatu definisi tentang konsumen, yaitu setiap pemakai dan/atau pengguna barang dan/atau jasa, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan orang lain. Batasan itu mirip dan garis besar maknanya diambil alih oleh Undang-undang perlindungan konsumen.

Pakar masalah konsumen di Belanda, Hondius menyimpulkan, para ahli hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai , pemakai produksi terakhir dari benda dan jasa; (uiteindelijke gebruiker van goederen en diesten).12

11 Shidarta, (Edisi revisi) Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta, PT Gramedia

Widiasarana Indonesia, 2004, hal. 1.

12 Mariam Darus Badrulzaman, Perlindungan terhadap Konsumen Dilihat dari Sudut

Perjanjian Baku (standar), dalam BPHN, Simposium Aspek-Aspek Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung, Binacipta, 1986, hal. 57.


(24)

Dengan rumusan itu, Hondius ingin membedakan antara konsumen bukan pemakai terakhir (konsumen antara) dengan konsumen pemakai terakhir.

Rumusan-rumusan seperti yang disimpulkan oleh Hondius, menunjukan sangat beragamnya pengertian tentang konsumen. Untuk itu, dengan mempelajari perbandingan dari rumusan konsumen, kita perlu kembali melihat pengertian konsumen dalam Pasal 1 angka (2) Undang-undang Perlindungan Konsumen. Sejumlah cacatan dapat diberikan terhadap unsur-unsur definisi konsumen.13

Konsumen adalah: 1. Setiap orang

Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Istilah “orang” sebetulnya menimbulkan keraguan, apakah hanya, orang individual yang lazim disebut natuurlijke person atau termasuk juga badan hukum (recht persoon). Hal ini berbeda dengan pengertian yang diberikan yang diberikan untuk “pelaku usaha” dalam Pasal 1 angka (3) Undang-undang Perlindungan Konsumen yang secara eksplisit membedakan kedua pengertian person di atas, dengan menyebutkan kata-kata: ”orang perseorangan atau badan usaha”. Tentu yang paling tepat tidak membatasi pengertian konsumen itu sebatas pada orang perorangan.14 Namun, konsumen harus mencakup juga badan usaha, dengan makna lebih luas daripada badan hukum.

Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, kata “orang” tidak digunakan. Dalam Undang-undang itu hanya ditemukan kata “pemakai” yang dapat di interpretasikan baik sebagai orang perseorangan maupun badan usaha.

13 Shidarta, Op.Cit, hal. 5-10.

14 Az. Nasution, salah seorang penyusun draf RUU Perlindungan Konsumen, menyatakan

bahwa konsumen yang dilindungi UUPK adalah manusia atau makhluk lain yang menggunakan dan/atau memanfaatkan barang dan atau jasa untuk kepentingan sendiri dan rumah tangga, tidak untuk tujuan komersial. Dari penjelasannya ini tetap masih tidak jelas, apakah “badan usaha” sengaja dikecualikan oleh penyusun UUPK. Lihat: Az. Nasution, “Profil Undang-undang Perlindungan Konsumen,” Warta Konsumen , Nomor 6 (Juni 1999): 7.


(25)

UUPK (Undang-undang Perlindungan Konsumen) tampaknya berusaha menghindari penggunaan kata “produsen” sebagai lawan dari kata “pelaku usaha” yang bermakna lebih luas. Istilah terakhir ini dipilih untuk memberi arti sekaligus bagi kreditur (penyedia dana), produsen, penyalur, penjual, dan terminologi lain yang lazim diberikan.

2. Pemakai

Sesuai dengan bunyi penjelasan Pasal 1 angka (2) UUPK, kata “pemakai” menekankan, konsumen adalah konsumen akhir (ultimate consumer). Istilah “pemakai” dalam hal ini tepat digunakan dalam rumusan ketentuan tersebut, sekaligus menunjukkan, barang dan/atau jasa yang dipakai tidak serta merta hasil dari traksaksi jual beli. Artinya, yang diartikan sebagai konsumen tidak selalu harus memberikan prestasinya dengan cara membayar uang untuk memperoleh barang dan/atau jasa itu. Dengan kata lain, dasar hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha tidak perlu harus kontraktual (the privitiy of

contract).

Konsumen memang tidak sekedar pembeli (buyer atau koper), tetapi semua orang (perorangan atau badan usaha) yang mengkonsumsi jasa dan/atau barang. Jadi, yang paling terjadinya suatu transaksi konsumen (consumer transaction) berupa peralihan barang dan/atau jasa, termasuk peralihan kenikmatan dalam menggunakannya.

Mengartikan konsumen secara sempit, seperti hanya sebagai orang yang mempunyai hubungan kontraktual pribadi (in privity of contract) dengan produsen atau penjual adalah cara pendefinisian konsumen yang paling sederhana.

3. Barang dan/atau jasa.

Berkaitan dengan istilah barang dan/atau jasa, sebagai pengganti terminologi tersebut digunakan kata produk. Saat ini “produk” sudah berkonotasi barang dan/atau jasa. Semula kata produk hanya mengacu pada pengertian barang. UUPK mengartikan barang sebagai setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. UUPK tidak menjelaskan perbedaan istilah-istilah “dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan”.

Sementara itu, jasa diartikan sebagai setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen dalam hal ini adalah PT. Telkom. Pengertian “disediakan bagi masyarakat” menunjukkan, jasa itu harus ditawarkan kepada masyarakat. Artinya,


(26)

pihak yang ditawarkan harus lebih dari satu orang. Jika demikian halnya, tidak tercakup dalam pengertian tersebut.

4. Yang tersedia dalam masyarakat.

Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia di pasaran yang tercantum dalam Pasal 9 ayat (1) huruf (e) Undang-undang Perlindungan Konsumen. Dalam perdagangan yang makin komplek dewasa ini; syarat itu tidak mutlak lagi dituntut oleh masyarakat konsumen.

5. Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup lain.

Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, dan makhluk hidup lain. Unsur yang diletakkan dalam definisi itu mencoba untuk memperluas pengertian kepentingan. Kepentingan ini tidak sekedar ditujukan untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi juga barang dan/atau jasa itu diperuntukkan bagi orang lain (diluar diri sendiri dan keluarganya), bahkan untuk, makhluk hidup lain.

6. Barang dan/atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan.

Pengertian konsumen dalam UUPK ini dipertegas, yakni hanya konsumen akhir. Batasan itu sudah biasa dipakai dalam peraturan perlindungan konsumen di berbagai negara. Secara teoritis hal demikian terasa cukup baik untuk mempersempit ruang lingkup pengertian konsumen, walaupun dalam kenyataan, sulit menetapkan batas-batas seperti itu.

Apabila dalam suatu perjanjian, kedudukan para pihak tidak seimbang, pihak lemah biasanya tidak berada dalam keadaan yang betul-betul bebas untuk menentukan apa yang di inginkan dalam perjanjian. Dalam hal demikian, pihak yang memiliki kuat biasanya menggunakan kesempatan tersebut untuk menentukan klausul-klausul tertentu dalam kontrak baku, sehingga perjanjian yang seharusnya dibuat atau dirancang oleh para pihak yang terlibat dalam perjanjian, tidak ditemukan lagi dalam kontrak baku karena format dan isi kontrak dirancang oleh pihak yang kedudukan lebih kuat.15

Karena yang merancang format dan isi kontrak adalah pihak yang memiliki kedudukan lebih kuat dalam hal ini adalah PT. Telkom, dapat dipastikan bahwa kontrak tersebut memuat klausul-klausul yang menguntungkan baginya, atau


(27)

meringankan atau menghapuskan beban-beban atau kewajiban-kewajiban tertentu yang seharusnya menjadi bebannya yang biasa dikenal dengan klausula eksonerasi.

Menurut Rijken mengatakan bahwa klausula eksonerasi adalah klausula yang dicantumkan dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melawan hukum.16

Dengan adanya kontrak berstandar itu dengan sendirinya pihak PT. Telkom dapat mencantumkan syarat-syarat sesuai dengan kemauannya. Syarat-syarat ini sering memberatkan pihak pelanggan dalam arti kewajiban yang dipikul oleh pelanggan lebih berat, jika dibandingkan dengan haknya. Biasanya pihak pelanggan langsung saja menerima syarat-syarat yang diajukan PT. Telkom sebab mereka sangat memerlukan jasa telkom tersebut sekalipun terpaksa dan tidak adanya keseimbangan hak dan kewajiban. Hal seperti inilah yang sering menimbulkan adanya perselisihan dikemudian hari, baik yang bersifat teknik (kerusakan) maupun non teknis (pulsa tinggi) bagi pengguna jasa tetap yang telah terikat kontrak baku dengan PT. Telkom. Sebelum pelanggan mendapatkan saluran pemasangan baru dari PT. Telkom biasanya pelanggan diberikan beban untuk pemasangan maupun pembelian tiang, hal inilah yang sering muncul pada masyarakat sehingga mereka agak keberatan dengan beban tersebut. Selain itu timbul perselisihan karena pihak PT. Telkom tidak segera melakukan pemasangan sambungan sampai batas waktunya 14 (empat belas) hari disamping itu PT. Telkom tidak segera memperbaiki pesawat telepon setelah adanya


(28)

pengaduan pelanggan sampai batas waktunya yaitu 17 (tujuh belas) hari, sehingga kerusakan sambungan telepon atau gangguan telepon yang dapat terjadi mulai dari penyambungan saluran sampai pada pesawatnya. Adapun penyebabnya ialah karena kerusakan kabel, pemasangan alat tambahan, pencurian kabel bahkan pulsa tinggi padahal jarang dipakai. Hal inilah yang seringkali menyebabkan rasa jengkel dan mengeluh dari pelanggan kepada PT. Telkom.

Sementara dipihak PT. Telkom apabila pelanggan terlambat melakukan pembayaran, dalam hal ini PT. Telkom melakukan pencabutan secara sepihak tanpa menunggu keputusan dari hakim. Di lain pihak yaitu PT. Telkom sendiri juga menghadapi masalah mengenai pemakaian pulsa telepon yang relatif kecil yang akan mengakibatkan menurunnya pendapatan. Oleh sebab itu, akan diuraikan upaya yang dilakukan oleh PT. Telkom dalam mengantisipasi serta jalan penyelesaiannya.

Perselisihan antara pelanggan dengan PT. Telkom sehubungan dengan perjanjian berlangganan telepon itulah yang membuat penulis tertarik sekali untuk mengetahui, mempelajari, memahami, dan mengupasnya dalam bentuk tesis dengan judul: “PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PELANGGAN PT. TELKOM

DALAM KONTRAK BAKU”.

B. Perumusan Masalah

Dari latar belakang tersebut di atas dapat dikemukakan rumusan permasalahan sebagai berikut :


(29)

2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap hak-hak pelanggan dalam pelaksanaan perjanjian dengan PT. Telkom?

3. Bagaimana Penyelesaian Sengketa Antara Pelanggan dengan PT. Telkom?

C. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan perumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui klausula-klausula yang memberatkan dalam perjanjian dengan PT. Telkom.

b. Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi pelanggan dalam sengketa yang berkenaan dengan klausula baku.

c. Untuk mempermudah konsumen dalam memperoleh hak-haknya apabila haknya dilanggar ataupun dirugikan oleh PT. Telkom.


(30)

D. Manfaat Penelitian :

Penelitian ini diharapkan memberi manfaat antara lain: 1. Secara Teoritis :

hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan saran dalam ilmu pengetahuan hukum pada umumnya, dan hukum perlindungan konsumen pada khususnya, terutama mengenai masalah hak-hak konsumen pengguna jasa dengan adanya klausul baku dalam perjanjian telekomunikasi telepon kabel.

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi para penegak hukum dan instansi terkait terutama dalam hal pelaksanaan perlindungan hukum terhadap pelanggan atau konsumen. Penelitian ini diharapkan akan memberikan sumbangan pemikiran tentang hal-hal yang harus diperhatikan para pihak dalam menyelesaikan kasus antara pelanggan dengan yang dalam hal ini adalah perseroan terbatas PT. Telkom.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian ini difokuskan untuk meneliti tentang Perlindungan Hukum Bagi Pelanggan PT.Telkom Dalam Kontrak Baku. Berdasarkan penelusuran kepustakaan dan hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan, khususnya di Universitas Sumatera Utara. Penelitian mengenai “Perlindungan Hukum Bagi Pelanggan PT.Telkom Dalam Kontrak Baku”, belum pernah dilakukan oleh peneliti lain, oleh karena itu penelitian


(31)

ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan keasliannya secara akademis. Adapun penelitian yang pernah dilakukan adalah :

1. Analisis Hukum Kontrak Kerja Sama Bagi Hasil (Sharing Profile) PT. TELKOM Dengan Pelaku Usaha Warnet Dan Wartel (Studi Pada Kota Medan), Oleh : Ali Imran, NIM : 067011110, Tahun : 2006, Mahasiswa Program Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.

2. Transaksi Cross Ownership Antara PT. Indosat, Tbk Dan PT. TELKOM, Tbk Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal, Oleh : Anton Deven Varma, NIM : 047005049, Tahun : 2004, Mahasiswa Program Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.

F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi,17 dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.18 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu

17

J.J.J. M. Wuisman, dalam M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, FE UI, Jakarta, 1996, hal. 203. M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994, Hal. 27. Menyebutkan, bahwa teori yang dimaksud disini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual di mana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan biar bagaimanapun menyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.


(32)

kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.19

Teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah perlindungan oleh mekanisme pasar tanpa intervensi (unregulated-market place) dan perlindungan konsumen dengan intervensi pemerintah terhadap pasar (government regulated place).20 Hukum berkembang sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat. Perubahan masyarakat di bidang hukum perlindungan konsumen harus berjalan dengan teratur dan diikuti dengan pembentukan norma-norma sehingga dapat berlangsung secara harmonis.21

Teori perlindungan konsumen yang menjadi pedoman dalam penulisan ini adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.22 Segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum adalah benteng untuk menghalangi kesewenang-wenangan. Kesewenang-wenangan akan mengakibatkan ketidak pastian hukum.

Oleh karena itu agar segala upaya memberikan jaminan akan kepastian hukum, ukurannya secara kualitatif ditentukan dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen dan Undang-undang lainnya yang juga dimaksudkan dan masih berlaku untuk memberikan perlindungan hukum bagi konsumen, baik dalam bidang hukum

19 M. Solly Lubis, Op.Cit, hal. 80.

20 Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen : Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab

Mutlak, cet I, Jakarta : Program PascaSarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004, hal 26.

21 Tan Kamelo, Hukum Jaminan fidusia, Suatu Kebutuhan yang didambakan, Alumni,

Bandung, 2006, hal 18.


(33)

privat (perdata), maupun hukum publik (hukum pidana dan hukum administrasi negara).23

Suatu sistem adalah kumpulan asas-asas yang terpadu, yang merupakan landasan, di atas mana dibangun tertib hukum.24 Berdasarkan teori sistem ini, dapat dirumuskan bahwa sistem hukum perlindungan konsumen adalah kumpulan asas-asas hukum yang merupakan landasan, tempat berpijak di atas mana tertib hukum perlindungan konsumen itu dibangun. Jadi dengan adanya ikatan asas-asas hukum tersebut, berarti hukum perlindungan konsumen merupakan suatu sistem hukum.25

Asas-asas hukum perlindungan konsumen harus bersumber dari Pancasila, sebagai asas idiil (filosofis), UUD 1945 sebagai asas konstitusional (struktural), Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai asas konsepsional (politis) dan Undang-undang sebagai asas operasional (teknis). Asas-asas tersebut mempunyai tingkat-tingkat dilihat dari gradasi sifatnya yang abstrak.26

Dalam Pancasila, Hukum perlindungan konsumen memperoleh landasan idiil (filosifis) hukumnya pada sila kelima yaitu : “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Pengertian keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, di dalamnya terkandung suatu “Hak” seluruh rakyat Indonesia untuk diperlakukan sama (equality) di depan hukum. Hak adalah suatu kekuatan hukum, yakni hukum dalam pengertian subyektif yang merupakan kekuatan kehendak yang diberikan oleh tatanan hukum.

23 Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta, PT.

RajaGrafindo Persada, 2007, hal. 1-2.

24 Lihat lebih lanjut Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional,

Bandung, Alumni, 1986, hal. 14-18.

25 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung, Alumni, 1986, hal. 89. 26 Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit, hal. 19.


(34)

Oleh karena hak dilindungi oleh tatanan hukum, maka pemilik hak memiliki kekuatan untuk mempertahankan haknya dari gangguan/ancaman dari pihak manapun juga.27

Apabila pihak lain melanggar hak tersebut, maka akan menimbulkan gugatan hukum dari sipemilik hak, yang diajukan ke hadapan aparat penegak hukum.28 Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa seluruh rakyat Indonesia berhak memperoleh keadilan, yang dalam konteks hukum perlindungan konsumen terbagi menjadi dua kelompok yakni keadilan sebagai pelaku usaha disatu sisi dan keadilan sebagai konsumen disisi lain.

Hukum perlindungan konsumen juga memperoleh landasan konstitusional (struktural) dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 pada alinea keempat (setelah empat kali amandemen), yang menyatakan sebagai berikut :

“….Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, …….”

Dari kutipan di atas, ada dua kata yang menjadi landasan konstitusional bagi lahirnya hukum perlindungan konsumen, yaitu, kata “segenap bangsa” dan kata “melindungi”. Dalam dua kata ini terkandung asas perlindungan (hukum) pada segenap bangsa tanpa kecuali. Baik laki-laki atau perempuan, orang kaya atau miskin, orang kota atau desa, orang Indonesia asli atau keturunan, pelaku usaha atau

27 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, (Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif), Terjemahan

Raisul Muttaqien, Bandung, Nusamedia & Nuansa Bandung, 2006, hal.152.


(35)

konsumen, semuanya tanpa kecuali wajib memperoleh perlindungan hukum dari negara.29

Penjabaran hukum perlindungan konsumen dituangkan pula melalui ketetapan majelis permusyawaratan rakyat (TAP MPR) nomor II/MPR1993, pada BAB IV, huruf F butir 4a, sebagai asas konsepsional (politis) yaitu :

“…Pembangunan perdagangan ditujukan untuk memperlancar arus barang dan jasa dalam rangka menunjang peningkatan produksi dan daya saing, meningkatkan pendapatan produsen terutama produsen hasil pertanian rakyat dan pedagang, melindungi kepentingan konsumen…..” . (kursif dari penulis).

Dengan susunan kalimat demikian, terlihat lebih jelas arahan MPR tentang kekhususan kepentingan produsen (dan semua pihak yang dipersamakan dengannya) dan kepentingan konsumen. Sifat kepentingan khas produsen (lebih tepat disebut dengan istilah pelaku usaha sesuai UUPK) telah ditunjukkan oleh MPR.

Pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan memproduksi atau berdagang, menggunakan produk atau jasa sebagai bahan baku, bahan tambahan, bahan penolong, atau bahan pelengkap. Kepentingan mereka dalam menggunakan produk atau jasa adalah untuk kegiatan usaha memproduksi dan atau berdagang itu, adalah untuk meningkatkan pendapatan atau penghasilan mereka (tujuan komersial).

Bagi konsumen sebagai pribadi, penggunaan produk dan/atau jasa itu, adalah untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya (kepentingan non komersial), dimana penggunaan produk tersebut harus bermanfaat bagi

29 Az Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, Suatu Pengantar, Jakarta, Diadit Media,


(36)

kesehatan/keselamatan tubuh, keamanan jiwa dan harta benda, diri, keluarga dan/atau rumah tangganya (tidak membahayakan atau merugikan), dan juga membantu mempermudah aktifitas kehidupan konsumen sehari-hari.

Perbedaan prisipil dari kepentingan-kepentingan dalam penggunaan produk/jasa dan pelaksanaan kegiatan antara pelaku usaha dan konsumen, dengan sendirinya memerlukan jenis pengaturan perlindungan dan dukungan yang berbeda pula.

Bagi konsumen kepentingan tidak komersial mereka yang harus diperhatikan adalah akibat-akibat kegiatan usaha dan persaingan di kalangan pelaku usaha terhadap keselamatan jiwa, tubuh atau kerugian harta benda mereka dalam keadaan bagaimanapun, dengan tetap harus menjaga keselarasan, keserasian dan keseimbangan diantara keduanya. Pendekatan sistem terhadap pemecahan masalah perlindungan konsumen akan lebih sempurna apabila ditambahkan unsur lain dari sistem hukum yaitu budaya hukum.30

Menurut Lawrence M. Friedmann, suatu sistem hukum terdiri dari tiga unsur yaitu struktur (structure), substansi (substance) dan budaya hukum (legal culture). Pada prinsipnya pengaturan perlindungan konsumen secara umum dalam hukum positif di Indonesia sebelum lahirnya UUPK, terbagi dalam tiga bidang hukum, yaitu bidang hukum perdata, pidana, dan administrasi negara. Perlindungan di bidang

30 Satjipto Rahardjo, Op.Cit, hal.67, menerjemahkan legal culture, dengan istilah kultur

hukum. Yang dimaksud dengan kultur hukum adalah ide, sikap, keyakinan, harapan dan pendapat mengenai hukum.


(37)

keperdataan diadakan bertitik tolak dari tarik-menarik kepentingan antar sesama anggota masyarakat.

Pasal 1233 KUHPerdata mengatakan, perikatan itu dapat muncul dari perjanjian atau karena Undang-undang. Dua pengertian ini sangat mempengaruhi perlindungan dan penyelesaian sengketa hukum yang melibatkan kepentingan konsumen di dalamnya.31

Jika seseorang sebagai konsumen mempunyai hubungan hukum berupa perjanjian dengan pihak lain, dan pihak lain itu melanggar perjanjian yang disepakati bersama, maka konsumen berhak menggugat lawannya berdasarkan dalih melakukan wanprestasi (cidera/ingkar janji). Jika sebelumnya tidak ada perjanjian, konsumen tetap saja memiliki hak untuk menuntut secara perdata, yakni melalui ketentuan perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad). Dalam konsepsi perbuatan melawan hukum, seseorang diberi kesempatan untuk menggugat, sepanjang dipenuhi tiga unsur, yaitu, adanya unsur kesalahan (dilakukan pihak lain/tergugat), ada kerugian (diderita si penggugat), dan ada hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian itu.32

Pasal 1365 juncto Pasal 1366 jo Pasal 1367 KUHPerdata, intisarinya menyatakan bahwa, tiap perbuatan melanggar hukum, kelalaian atau kurang hati-hatinya seseorang atau orang lain yang menjadi tanggungannya, yang membawa kerugian bagi orang lain, mewajibkan orang tersebut yang karena salahnya atau

31 Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta, Intermasa, 1987, hal. 1. 32 Shidarta, Op.Cit, hal. 59.


(38)

kesalahan orang yang menjadi tanggungannya tersebut menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Seseorang juga diwajibkan mengganti kerugian kepada orang lain yang disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.33

2. Konsepsional

Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan operational definition.34 Pentingnya definisi operasional adalah untuk

menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah.35

Konsepsi merupakan unsur pokok dalam usaha penelitian atau untuk membuat karya ilmiah. Sebenarnya yang dimaksud dengan konsepsi adalah suatu pengertian mengenai sesuatu fakta atau dapat berbentuk batasan atau definisi tentang sesuatu yang akan dikerjakan. Jadi, jika teori berhadapan dengan sesuatu hasil kerja yang telah selesai, sedangkan konsepsi masih merupakan permulaan dari sesuatu karya yang setelah diadakan pengolahan akan dapat menjadikan suatu teori.36

Kegunaan dari adanya konsepsi agar supaya ada pegangan dalam melakukan penelitian atau penguraian, sehingga dengan demikian memudahkan bagi orang lain

33 Inti sari yang dirangkum oleh penulis dari pasal 1365, 1366 dan 1367 KUH Perdata. 34 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi

Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Indonesia, Jakarta, Institut Bankir Indonesia, 1993, hal. 10.

35 Tan Kamelo, Perkembangan Lembaga Jaminan Fidusia: Suatu Tinjauan Putusan

Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertasi, PPs-USU, Medan, 2002, Hal. 35.


(39)

untuk memahami batasan-batasan atau pengertian-pengertian yang dikemukakan. Dalam hal ini seolah-olah konsepsi tidak berbeda dari suatu teori, tetapi perbedaannya terletak pada latar belakangnya. Suatu teori pada umumnya merupakan gambaran dari apa yang sudah pernah dilakukan penelitian atau diuraikan, sedangkan suatu konsepsi lebih bersifat subjeksif dari konseptornya untuk sesuatu penelitian atau penguraian yang akan dirampungkan.37 Oleh karena itu, untuk dapat menjawab permasalahan dalam penelitian tesis ini perlu didefinisikan beberapa konsep dasar dalam rangka menyamakan persepsi atas judul tersebut adalah:

1. Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.

2. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk lain dan tidak untuk diperdagangkan.

3. PT. Telkom adalah perusahaan perseroan (persero) PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk, pihak yang berinterkoneksi dengan mitra.

4. Telekomunikasi adalah setiap pemancar, pengiriman, dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya. 5. Telepon adalah suara dari jarak jauh, merupakan salah satu fasilitas yang

disediakan oleh PT. Telkom yang perkembangan pada saat ini telah mencapai ke seluruh pelosok Indonesia.

37 Ibid, hal. 5.


(40)

6. Pelanggan adalah para pengguna jasa telekomunikasi yang telah menanda tangani surat perjanjian khusus dengan pengelola jasa telekomunikasi, untuk berlangganan sambungan telekomunikasi yang mana formulir kontrak baku tersebut telah dibuat oleh pihak PT. Telkom.

7. Kontrak baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.

G. Metode penelitian 1. Spesifikasi penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis38, Karena metode yang digunakan untuk menggambarkan, menelaah dan menjelaskan peraturan perundang-undangan yang berlaku kemudian menghubungkan dengan keadaan atau fenomena dalam praktek, yang memerlukan evaluasi terhadap substansi peraturan hukum tentang Perlindungan Hukum Bagi Pelanggan PT. Telkom Dalam Kontrak Baku.

Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai penelitian dengan metode penulisan dengan pendekatan yuridis normatif (penelitian hukum normatif), yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum, yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai pijakan normatif, yang berawal dari

38 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, Jakarta, Sinar Grafika, 1996, hal. 8,

menyatakan bahwa penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk melukiskan tentang sesuatu hal di daerah tertentu dan pada saat tertentu.


(41)

premis umum kemudian berakhir pada suatu kesimpulan khusus. Hal ini dimaksudkan untuk menemukan kebenaran-kebenaran baru (suatu tesis) dan kebenaran-kebenaran induk (teoritis).

Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan yuridis normatif dengan dilengkapi juga dengan penggunaan pendekatan yuridis empiris sebagai pendekatan masalah dengan melihat ketentuan yang ada, dan juga melihat ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang perlindungan hukum bagi pelanggan PT. Telkom dalam kontrak baku dan bagaimana pelaksanaan dari ketentuan-ketentuan tersebut dalam prakteknya.

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang penulis gunakan adalah PT. Telkom cabang Kota Banda Aceh.

3. Metode Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian pendahulu yang berhubungan dengan objek telaah penelitian ini, yang dapat berupa peraturan perundang-undangan, dan karya ilmiah lainnya


(42)

4. Sumber Data

Sumber-sumber data kepustakaan diperoleh dari : 1) Bahan hukum primer, yang terdiri dari :

a. Norma atau kaidah dasar. b. Peraturan dasar.

c. Peraturan perundang-udangan yang terkait dengan perlindungan konsumen. d. Kontrak atau perjanjian berlangganan jasa telepon kabel yang memuat

klausula baku.

2) Bahan hukum sekunder, seperti hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, artikel, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini.

3) Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah, serta bahan-bahan primer, sekunder dan tersier (penunjang) di luar bidang hukum, misalnya yang berasal dari bidang teknologi informasi dan komunikasi, ekonomi, filsafat dan ilmu pengetahuan lainnya yang dapat dipergunakan untuk melengkapi atau sebagai data penunjang dari penelitian ini.

Sebagai data penunjang dalam penelitian ini juga didukung dengan penelitian lapangan (field research) guna akurasi terhadap hasil penelitian yang dipaparkan, yang dapat berupa wawancara langsung dengan pimpinan dan staf PT. Telkom, yang dalam penelitian ini dipilih sebagai narasumber.


(43)

5. Analisis Data

Analisis data merupakan hal yang sangat penting dalam suatu penelitian dalam rangka memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti, untuk kebutuhan analisis data dalam penelitian ini semua data primer dan data sekunder yang diperoleh dikumpulkan dan selanjutnya kedua jenis data itu dikelompokkan sesuai dengan data yang sejenis, dan selanjutnya dilakukan penarikan secara kualitatif, yang didasarkan pada pokok permasalahan dalam penelitian ini.

Baru kemudian ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode syllogism yang di dasarkan pada cara induktif yaitu dimana pengambilan kesimpulan dimulai dari pernyataan atau fakta khusus menuju kesimpulan bersifat umum.


(44)

BAB II

KEDUDUKAN HUKUM PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN DENGAN PT. TELKOM

A. Bentuk Perjanjian Antara Pelanggan dengan PT. Telkom 1. Pengertian Perjanjian

Bab II Buku III KUHPerdata berjudul “perikatan yang lahir dari kontrak atau perjanjian”. Digunakanya kata “atau” diantara “kontrak” dan “perjanjian” menunjukkan kepada kita bahwa kata “kontrak” dan “perjanjian” menurut Buku III BW adalah sama dan cara penyebutannya secara berturut-turut seperti tersebut di atas memang disengaja dengan tujuan untuk menunjukkan, bahwa pembuat Undang-undang menganggap kedua istilah tersebut mempunyai arti yang sama.39

Jadi disini kita tidak menafsirkan dalam arti sebagai yang sehari-hari kita kenal, di mana ada anggapan, bahwa kontrak adalah perjanjian yang berlaku untuk jangka waktu tertentu. Pembentuk Undang-undang dalam pasal 1313 KUHPerdata mencoba memberikan suatu definisi mengenai perjanjian (dalam Undang-undang disebut persetujuan) dengan mengatakan bahwa “Suatu persetujuan adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.40

39 Hofmann, Het Ned. Verbintenissenrecht, Jilid Kesatu, Cetakan Keempat, J.B. Wolters

Groningen, Batavia, 1935. hal. 151.


(45)

Para Sarjana Hukum Perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan di atas adalah tidak lengkap, dan pula terlalu luas. Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan di dalam lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin, yang merupakan perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata buku III. Perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata buku III kriterianya dapat dinilai secara materiil, dengan kata lain dinilai dengan uang.41

Dari pengertian perjanjian menurut pasal 1313 KUHPerdata tersebut menurut J. Satrio nampak ada 3 kelemahan yaitu : 42

a. Kata “perbuatan” atau “rechtshandeling” disini mengandung makna yang dalam skema peristiwa hukum, maka peristiwa hukum yang timbul karena perbuatan/tindakan manusia meliputi baik “tindakan hukum” maupun “tindakan manusia yang lain” (yang bukan tindakan hukum).

b. Kata “dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Setiap orang yang membaca kalimat tersebut akan membayangkan adanya satu orang atau lebih yang terikat kepada satu orang atau lebih lainnya. Jadi kesan yang timbul adalah : di satu pihak ada kewajiban dan dilain pihak ada hak. Yang demikian itu hanya cocok untuk perjanjian yang sepihak, sebab didalam perjanjian yang timbal-balik pada kedua pihak ada baik hak maupun kewajiban.

c. Pengertian perjanjian disitu tidak memperlihatkan adanya konsensus/ sepakat/persetujuan dan tidak mempunyai tujuan yang jelas.

Istilah perjanjian sebenarnya merupakan terjemahan dari bahasa Belanda yaitu

overeenkomst dan dalam kepustakaan ilmu hukum di Indonesia sendiri ada berbagai

macam pendapat di kalangan para sarjana, menterjemahkan sebagai, kontrak dan ada

41 Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung, PT. Citra Aditya

Bakti. 2001, hal. 65.


(46)

pula yang menterjemahkan sebagai perjanjian. Mariam Darus Badrulzaman berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat dalam buku ke III KUHPerdata tidak lengkap dan terlalu luas. Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Pada umumnya perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu, dapat dibuat secara lisan dan andai kata dibuat tertulis, maka perjanjian ini bersifat sebagai alat pembuktian apabila terjadi perselisihan.43

Sedangkan menurut Purwahid Patrik definisi atau batasan atau juga dapat disebut rumusan perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan pasal 1313 KUHPerdata kurang lengkap dan bahkan dikatakan terlalu banyak mengandung kelemahan-kelemahan, diantaranya pertama perjanjian tersebut hanya menyangkut perjanjian sepihak saja, disini dapat diketahui dari rumusan “satu orang atau lebih” sedangkan maksud dari perjanjian sebenarnya adalah mengikatkan dirinya terhadap satu orang/lebih lainnya. Kata “mengikatkan” merupakan kata kerja yang sifatnya hanya datang dari satu pihak saja yaitu mengikatkan diri dari kedua belah pihak. Kedua kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus/kesepakatan. Dalam pengertian perbuatan termasuk juga tindakan mengurus kepentingan orang lain dan perbuatan melawan hukum.44

Karena banyak mengandung kelemahan rumusan perjanjian dalam pasal 1313 KUHPerdata maka muncullah doktrin (pendapat ahli hukum) yang mencoba melengkapi pengertian perjanjian tersebut. Menurut Doktrin Perjanjian adalah suatu

43 Mariam Darus Badrulzaman.Op.Cit. hal. 18.


(47)

perbuatan hukum (rechtshandeling) yang berdasarkan kata sepakat dapat menimbulkan suatu akibat hukum.

Rutten memberi rumusan perjanjian adalah perbuatan hukum yang terjadi sesuai dengan formalitas-formalitas dari peraturan hukum yang ada, tergantung dari persesuaian pernyataan kehendak dua atau lebih orang-orang yang ditujukan untuk timbulnya akibat hukum demi kepentingan salah satu pihak atas beban pihak lain atau demi kepentingan dan atas beban masing-masing pihak secara timbal balik.45

Dalam perkembangannya, pengertian perjanjian tersebut mengalami perubahan sebagaimana dikemukakan oleh J. Van Dunne, menyebutkan : “Perjanjian ditafsirkan sebagai suatu hubungan hukum penawaran dari satu pihak dan perbuatan hukum penerimaan dari pihak lain.”46

Jadi dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa perjanjian timbul atau terjadi karena adanya kata sepakat atau persetujuan kedua belah pihak, dan kata sepakat terjadi karena adanya persesuaian kehendak diantara para pihak. Perjanjian menimbulkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak yang melakukan perjanjian itu. Perjanjian dinamakan juga persetujuan dan/atau kontrak karena menyangkut kedua belah pihak yang setuju atau sepakat untuk melakukan sesuatu.

a) Asas-asas perjanjian

Hukum perjanjian mengenal asas-asas yang merupakan dasar dalam pelaksanaan perjanjian. Tujuannya tiada lain untuk menjamin kepastian hukum dan

45 Ibid. hal 46-47.


(48)

membatasi dominasi salah satu pihak dalam perjanjian. Asas-asas ini merupakan pedoman bagi para pihak, antara lain:

(1) Asas kebebasan berkontrak

Asas kebebasan berkontrak (contractsvrijheid/partij autonom/freedom of

contract) berhubungan dengan isi dan bentuk perjanjian, yaitu kebebasan menentukan

“apa” dan dengan “siapa” perjanjian itu diadakan. Kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting didalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia. Kebebasan berkontrak ini berlatar belakang pada paham individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaissance melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo de Groot, Thomas Hobbes, John Locke dan Rousseau. Puncak perkembangannya tercapai dalam periode setelah revolusi Perancis.47 Menurut Mariam Darus Badrulzaman kebebasan berkontrak adalah salah satu asas dari hukum kontrak dan ia tidak berdiri sendiri. Maknanya hanya dapat ditentukan setelah kita memahami posisinya dalam kaitan yang terpadu dengan asas-asas hukum kontrak yang lain, yang secara menyeluruh asas-asas ini merupakan pilar, tiang, fondasi dari hukum kontrak.48

Menurut Rutten yang dikutip Purwahid Patrik dalam hukumnya mengatakan orang bebas membuat atau tidak membuat perjanjian, bebas menentukan isi,

47 Mariam Darus Badrulzaman. Op.Cit, hal 84. 48 Ibid, hal 38.


(49)

berlakunya dan syarat-syarat perjanjian, dengan bentuk tertentu atau tidak dan bebas memilih Undang-undang mana yang akan dipakainya untuk perjanjian itu.

Pasal 1338 KUHPerdata menyebutkan : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

Menurut sejarah pasal 1338 KUHPerdata mencerminkan tipe perjanjian pada waktu itu yang berpijak pada revolusi Perancis, bahwa individu sumber dari kesejahteraan dan kehendak individu sebagai dasar dari semua kekuasaan menjadikan tumbuh suburnya kapitalisme dan individualisme. Kebebasan berkontrak merupakan bagian dari hak-hak asasi manusia makin lama makin banyak pembatasan terhadap kebebasan berkontrak pada perkembangan akhir-akhir ini. Kebebasan berkontrak dibatasi dengan peraturan umum yang tercantum dalam pasal 1337 KUHPerdata juga dibatasi dengan peraturan khusus yang tercantum dalam peraturan-peraturan pemaksa atau dibatasi dalam perjanjian itu sendiri.49 Dengan demikian batasan dari kebebasan berkontrak adalah tidak bertentangan dengan Undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.

(2) Asas konsensualisme

Asas ini dapat ditemukan dalam pasal 1320 dan pasal 1338 KUHPerdata. Dalam pasal 1320 KUHPerdata penyebutannya tegas sedangkan dalam pasal 1338 KUHPerdata ditemukan dalam istilah “Semua”. Kata-kata semua menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya (will), yang dirasanya baik untuk menciptakan perjanjian. Asas ini sangat erat hubungannya

49 Purwahid Patrik. Op.Cit, hal. 66.


(50)

dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian.50 Menurut Rutten yang dikutip Purwahid Patrik dalam bukunya mengatakan bahwa perjanjian yang dibuat itu pada umumnya bukan secara formil tetapi konsensual, artinya perjanjian itu selesai karena disesuaikan kehendak atau konsensus semata-mata.

Jadi yang dimaksud dengan asas konsensuil adalah asas bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak mengikat bagi mereka yang membuatnya sejak konsensus atau kesepakatan mengenai sesuatu hal yang pokok dari perjanjian itu. Asas ini berkaitan dengan saat lahirnya suatu perjanjian.

(3) Asas itikad baik dan kepatutan

Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata berbunyi : Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Pasal 1339 KUHPerdata, perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau Undang-undang. Dengan dimasukkannya itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian berarti tidak lain kita harus menafsirkan perjanjian itu berdasarkan keadilan dan kepatutan.

Menurut Pitlo, yang dikutip Purwahid Patrik dalam bukunya mengatakan bahwa terjadinya hubungan yang erat antara ajaran itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian dan teori kepercayaan pada saat perjanjian (kesepakatan terjadi pada saat penandatanganan) Bahwa perjanjian itu tidak hanya ditentukan oleh para pihak dalam perumusan perjanjian tetapi juga ditentukan oleh itikad baik dan kepatutan, jadi itikad baik dan kepatutan ikut pula menentukan isi dari perjanjian.


(51)

Menurut Vollmar yang dikutip Purwahid Patrik dalam bukunya mengatakan bahwa itikad baik (pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata) dan kepatutan (pasal 1339 KUHPerdata) umumnya disebutkan secara senafas dan Hoge Raad dalam putusan tanggal 11 Januari 1924 telah sependapat bahwa hakim setelah menguji dengan kepantasan dari suatu perjanjian tidak dapat dilaksanakan maka berarti perjanjian itu bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.51

(4) Asas kekuatan mengikat

Menurut asas ini apa yang telah disepakati oleh kedua belah pihak mengikat sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Asas ini berkenaan dengan akibat hukum dari suatu perjanjian. Rutten yang dikutip Purwahid Patrik dalam bukunya berpendapat bahwa asas kekuatan mengikat dari perjanjian adalah pihak-pihak harus memenuhi apa yang telah dijanjikan, sebagaimana disebutkan dalam pasal 1338 KUHPerdata bahwa perjanjian berlaku sebagai Undang-undang bagi para pihak.52

Menurut Mariam Darus Badrulzaman disebutkan demikianlah seterusnya dapat ditarik kesimpulan bahwa didalam perjanjian terkandung suatu asas kekuatan mengikat. Terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan, akan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang

51 Purwahid Patrik. Op.Cit, hal. 67-68. 52 Ibid. hal. 66.


(52)

dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral. Demikianlah sehingga asas-asas moral, kepatutan dan kebiasaan yang mengikat para pihak.53

1) Syarat Sahnya Perjanjian

Perjanjian atau kontrak yang sah adalah persetujuan yang memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Undang-undang. Menurut ketentuan pasal 1320 KUHPerdata bahwa untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu:

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; b. Cakap untuk membuat suatu perikatan; c. Suatu hal tertentu;

d. Suatu sebab yang halal.

Dua syarat yang pertama dinamakan syarat subyektif karena syarat tersebut mengenai subyek perjanjian sedangkan dua syarat terakhir disebut syarat obyektif, karena mengenai obyek dari perjanjian. Perjanjian yang sah diakui dan diberi akibat hukum sedangkan perjanjian yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut tidak diakui oleh hukum. Tetapi bila pihak-pihak mengakui dan mematuhi perjanjian yang mereka buat, tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh Undang-undang tetapi perjanjian itu tetap berlaku diantara mereka, namun bila sampai suatu ketika ada pihak yang tidak mengakui sehingga timbul sengketa maka hakim akan membatalkan atau menyatakan perjanjian itu batal.

Keempat syarat di atas merupakan syarat yang esensial dari suatu perjanjian, artinya syarat-syarat tersebut harus ada dalam suatu perjanjian, tanpa suatu syarat ini, perjanjian dianggap tidak pernah ada atau perjanjian itu tidak sah. Namun dengan


(53)

diberlakukannya kata sepakat mengadakan perjanjian, maka berarti bahwa kedua pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak. Dengan kata sepakat suatu perjanjian sudah lahir, tetapi belum sah karena harus dipenuhi 3 syarat lainnya, jika tidak maka mengakibatkan “Cacat” bagi perwujudan kehendak tersebut.

Untuk mengetahui apakah suatu perjanjian itu terjadi apabila ada perbedaan antara kehendak (will) dengan kenyataan (verklaring), maka ada 3 teori yang perlu untuk dipahami, yaitu:54

a. Teori kehendak (wills theorie)

Menurut teori ini bila perbedaan itu terjadi maka perjanjian itu tidak terjadi karena yang menyebabkan terjadinya perjanjian adalah kehendak (will). Kelemahan teori ini adalah kehendak merupakan suatu hal yang batiniah yang sulit diketahui oleh pihak lain.

b. Teori pernyataan (verklarings theorie)

Menurut teori ini apabila terjadi perbedaan antara pernyataan dengan kehendak maka perjanjian itu tetap terjadi, yang dipegang oleh pihak lain adalah pernyataan bukan kehendak.

c. Teori kepercayaan (vertrouwens theorie)

Menurut teori ini apabila terjadi perbedaan antara kehendak dengan pernyataan tidak lalu otomatis perjanjian itu terjadi. Yang menyebabkan terjadinya perjanjian adalah pernyataan (verklaring) yang dapat dipercaya.

54


(54)

Sehubungan dengan syarat kesepakatan mereka yang mengikatkan diri, dalam KUHPerdata dicantumkan beberapa hal yang merupakan faktor, yang dapat menimbulkan cacat pada kesepakatan tersebut, yaitu:

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Adanya kata sepakat berarti terdapat suatu persesuaian kehendak diantara para pihak yang mengadakan perjanjian. Perjanjian sudah lahir pada saat tercapainya kata sepakat diantara para pihak, dikenal dengan asas konsensualisme yang merupakan asas pokok dalam hukum perjanjian.

Menurut Abdul Kadir Muhammad persetujuan kehendak adalah kesepakatan seia-sekata. Pihak-pihak mengenai pokok perjanjian, apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lainnya. Persetujuan itu sifatnya sudah mantap, tidak lagi dalam perundingan.55

Pernyataan kehendak atau persetujuan kehendak harus merupakan perwujudan kehendak yang bebas, artinya tidak ada paksaan dan tekanan (dwang) dari pihak manapun juga, harus betul-betul atas kemauan sukarela para pihak. Dalam pengertian kehendak atau sepakat itu termasuk juga tidak ada kekhilafan (dwaling) dan tidak ada penipuan (bedrog). Apabila ada kesepakatan terjadi karena kekhilafan, paksaan atau penipuan maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan atau dapat dimintakan pembatalan kepada hakim (vernietigbaar). Hal ini sesuai dengan pasal 1321

55 Abdul Kadir Muhammad. Hukum Perdata Indonesia. Bandung, Cipta Aditya Bhakti, 1990,


(1)

_____________, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), (Bandung, Penerbit: PT. Citra Aditya Bakti, 2003).

_____________, Hukum Bisnis Dalam Teori Dan Praktek, Buku Kesatu (Bandung, Penerbit: PT. Citra Aditya Bakti, 1994).

_____________, Hukum Bisnis Dalam Teori Dan Praktek, Buku Kedua (Bandung, Penerbit: PT. Citra Aditya Bakti, 1996).

Hadikusuma, Hilman, Hukum Waris Adat, (Bandung, Penerbit: Citra Aditya Bakti, 2003).

Kamello, Tan, Butir-Butir Pemikiran Hukum Guru Besar Dari Masa Ke Masa - Kumpulan Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Fakultas Hukum USU 1979 – 2001, (Medan, Penerbit: Pustaka Bangsa Press, 2003).

Kelsen, Hans, Teori Hukum Murni, (Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif), Terjemahan Raisul Muttaqien, (Bandung, Penerbit: Nusamedia & Nuansa Bandung, 2006).

Kusumohamidjojo, Budiono, Panduan Untuk Merancang Kontrak, (Jakarta, Penerbit : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2001).

Johannes Gunawan, Penggunaan Perjanjian Standard dan Implementasinya Pada Asas Kebebasan Berkontrak, Majalah Pro Justitia, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 1987).

Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung, Penerbit: CV. Mandar Maju,1994).

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum, (Yogyakarta, Penerbit : Liberty, 1988). Miru , Ahmadi, Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak, (Jakarta, Penerbit : PT.

RajaGrafindo Persada, 2007).

_____________, dan Sutarman,Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Edisi 1, Cetakan 2, (Jakarta, Penerbit: RajaGrafindo Persada, 2004).


(2)

_____________, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta, Penerbit: PT. RajaGrafindo Persada, 2007).

Muktamar, Nining et al, Berperkara Secara Mudah, Murah dan Cepat, Pengenalan Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa Konsumen : Pelajaran dari Uni Eropa, (Jakarta, Penerbit : Piramedia, 2005).

Nasution, Az, Hukum Perlindungan Konsumen, Suatu Pengantar, (Jakarta, penerbit: Diadit Media, 2002).

Peter Salim, Kamus Bahasa Indoonesia Kontemporer, Peter Salim, (Jakarta, Penerbit : Modern English Press, 1998).

Prasad, Aduru Rajendra, The Regulation of Unfair Contracts – An Indian Perspective, dalam Developing Consumer Law in Asia Faculty of law University of Malaya & International Organization of Consumer Union Regional Office for Asia and the Pacific, (Editor S. Sothi Rachagan, 1994). R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta, Penerbit : Sinar Grafika, 1993). Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, (Bandung, Penerbit: Alumni, 1986).

Rajagukguk, Erman, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung, Penerbit : Mandar Maju, 2000).

Patrik, Purwahid, Dasar-dasar Hukum Perikatan, (Bandung, Penerbit: Mandar Maju, 1994).

_____________, Diktat Hukum Perdata I, (Semarang, Penerbit : Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1994).

Pohan, A.Partomuan, Penggunaan Kontrak Baku (standard Contract) dalam Praktek Bisnis di Indonesia, Naskah Akademis tentang Kontrak di Bidang Perdagangan , BPHN, Jakarta, 1994.

Satrio, J. Cessie, Hukum Perikatan. Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, Buku Kedua, (Bandung, Penerbit: Citra Aditya Bakti, 1995).


(3)

_____________, Hukum Perikatan. Perikatan Pada Umumnya, (Bandung, Penerbit: Citra Aditya Bakti, 1993).

Samsul, Inosentius, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggungjawab Mutlak, (Universitas Indonesia, Fakultas Hukum, Pascasarjana, 2004).

Saydam, Gouzali, Sistem Telekomunikasi Di Indonesia Edisi Revisi, (Bandung, Penerbit : Alfabeta, 2006).

Shidarta, (Edisi revisi) Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta, Penerbit: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2004).

Siahaan, N.H.T. , Hukum Konsumen, Perlindungan Konsumen dan Tanggungjawab Produk, (Jakarta, Penerbit : Panta Rei, 2005).

Sjahdeini, Sutan Remy, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Indonesia, (Jakarta, Penerbit: Institut Bankir Indonesia, 1993).

Soekanto, Surjono, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta, Penerbit: Universitas Indonesia, 1986).

Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta, Penerbit: Intermasa, 1987).

_____________, Kumpulan Karangan Hukum Perikatan Arbitrase dan pengadilan, (Bandung, Penerbit : Alumni, 1980).

Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta, Penerbit : Rineka Cipta, 1992).

Sudaryatmo, Hukum & Advokasi Konsumen, (Bandung, Penerbit : PT. Citra Aditya Bakti, 1999).

Suherman, Ade Maman, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, (Bogor, Penerbit : Ghalia Indonesia, 2005).

Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta, Penerbit: Raja Grafindo Persada, 1997).


(4)

Susilo, Zumrotin K., Penyambung Lidah Konsumen, YLKI dan Puspa Swara, (Jakarta, 1996).

Wuisman, J.J.J. M, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, (Jakarta, Penerbit: FE UI,1996).

Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta, Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, 2003).

B. Perundang-Undangan Dan Peraturan Pemerintah

Undang-undang Hukum Perdata=Burgerlijk Wetboek (terjemahan),” Cet. 16, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1983).

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Perlindungan Konsumen, Cet. 1, (Jakarta, Penerbit: Sinar Gradika, 1999).

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Cet. 1, (Jakarta, Penerbit: Sinar Gradika, 1999).

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat, Cet. 1, (Jakarta, Penerbit: Sinar Gradika, 1999).

PP Nomor 57 Tahun 2001 Peraturan Pemerintah Tentang Badan Perlindungan Konsumen NasionalPP.

PP Nomor 58 Tahun 2001 Peraturan Pemerintah Tentang Pembinaan Dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen.

PP Nomor 59 Tahun 2001 Peraturan Pemerintah Tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.

KEPMEN Nomor 350/MPP/Kep/12/200 tentang Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia.


(5)

C. Refrensi Jurnal

Kamello, Tan, Perkembangan Lembaga Jaminan Fidusia: Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertasi, PPs-USU, (Medan, 2002).

Nasution, Bismar, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Makalah disampaikan Pada Dialog Interaktif Tentang Penelitian Hukum Dan Hasil Penulisan Penelitian Hukum Pada Makalah Akreditasi Fakultas Hukum USU Tanggal 18 Februari 2003.

Suharno, Makalah Sistem Pengawasan Barang dan Jasa Dalam Rangka Perlindungan Konsumen, (Purwokerto, 2003).

Sugiastuti, Natasya Yunita, Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian Kredit Bank, Majalah Hukum Trisakti nomor 18 Tahun XX, Jakarta, April 1995.


(6)

D. Website

Sihar Roni Sirait, Klausula Baku dalam Kontrak Baku, http://www.goldencontract.blogspot.com/2008/01/klausula-baku-dalam-kontrak baku.html, di akses pada tanggal 16 Februari 2010, pukul 22.50 Waktu Indonesia Barat.

http://hukumonline.com/, diakses tanggal 18 juni 2010, pukul 15.00 Waktu Indonesia Barat.