Latar Belakang Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum 4. Dr. Dedi Herianto, SH, M.Hum

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan nasional Indonesia dalam mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila dan Undang- undang Dasar 1945 merupakan cita-cita dari masyarakat Indonesia. Pengaruh globalisasi dan perkembangan teknologi yang sangat pesat telah mengakibatkan perubahan yang mendasar dalam penyelenggaraan dan cara pandang terhadap pembangunan. Sejalan dengan kemajuan pembangunan tersebut, maka penyelenggaraan jasa telekomunikasi mempunyai arti strategis dalam upaya memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, memperlancar kegiatan pemerintahan, mendukung terciptanya tujuan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, serta meningkatkan hubungan antar bangsa. Penyelenggara telekomunikasi adalah perseorangan, koperasi, Badan Usaha Milik Daerah BUMD, Badan Usaha Milik Negara BUMN, Badan Usaha Swasta, instansi pemerintah, dan instansi pertahanan keamanan negara, yang dalam penyelenggaraannya harus melindungi kepentingan dan keamanan negara, mengantisipasi perkembangan teknologi dan tuntutan global, dilakukan secara profesional dan dapat dipertanggung jawabkan serta perlu peran serta masyarakat. 1 Telepon secara konvensional adalah untuk komunikasi suara, namun demikian telah banyak telepon yang difungsikan untuk komunikasi data. Pembahasan berikut ini akan ditekankan pada penggunaan telepon sebagai komunikasi suara. Pada 1 Ketentuan Umum Pasal 1 huruf d Undang-undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3881, hal 2. 1 Universitas Sumatera Utara dasarnya pesawat telepon terdiri dari alat pengirim suara mikropon dan alat penerima suara speaker. Pesawat ini dihubungkan dengan sentral telepon menggunakan sepasang kabel tembaga yang dikenal sebagai 2 kawat. Pengaturan mengenai telekomunikasi telah diatur tersendiri di dalam Undang- undang Republik Indonesia nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Dalam hal ini yang akan dibahas dalam tesis ini adalah telepon kabel. Telepon kabel wireline adalah layanan jasa telekomunikasi suara berbasis akses kabel dengan jaringan yang berawal dari sentral telepon menuju rangka pembagi utama RPU dilanjutkan ke rumah kabel RK disalurkan ke titik pembagi TP berakhir pada roset pesawat telepon. Pelaksanaan jasa telekomunikasi di Indonesia tersebut dikelola oleh PT. Telkom dan yang mana terus berupaya untuk selalu meningkatkan kualitas pelayanannya kepada seluruh masyarakat. Telepon merupakan suara dari jarak jauh, merupakan salah satu fasilitas yang disediakan oleh PT. Telkom yang perkembangan pada saat ini telah mencapai ke seluruh pelosok Indonesia. 2 Telepon sangat berarti didalam masyarakat karena sifat penggunaannya sangat mudah, praktis dan cepat dalam melakukan aktifitas komunikasi jarak jauh dan dapat menghemat biaya, tenaga dan waktu. Dalam rangka pelaksanaan pelayanan jasa telekomunikasi tersebut, maka akan terjadi suatu hubungan hukum antara calon pelanggan atau pelanggan dengan PT. 2 Gouzali Saydam, Sistem Telekomunikasi Di Indonesia Edisi Revisi, Bandung, Alfabeta, 2006, hal 24. 2 Universitas Sumatera Utara Telkom. Oleh karena itu perlu diadakan suatu perjanjian yang disebut dengan “Kontrak Berlangganan Sambungan Telekomunikasi” yang harus ditandatangani oleh kedua belah pihak yaitu pihak PT. Telkom dan calon pelanggan. Perjanjian ini termasuk dalam kontrak baku yaitu suatu kontrakperjanjian yang bentuk dan isinya ditentukan oleh salah satu pihak dan pihak yang membuat adalah PT. Telkom, 3 Sedangkan pelanggan adalah para pengguna jasa Telekomunikasi yang telah menanda tangani surat perjanjian khusus dengan pengelola jasa telekomunikasi, untuk berlangganan sambungan telekomunikasi yang mana formulir kontrak baku tersebut telah dibuat oleh pihak PT. Telkom. 4 Hal ini dimaksudkan untuk membantu kelancaran dalam pelayanan kepada calon pelanggan baru. Menurut Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa kontrak baku adalah perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir. 5 Setiap bentuk perjanjian harus terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak dan dianggap sah apabila telah memenuhi syarat-syarat perjanjian seperti yang diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata yang bunyinya “Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat: 6 1. Kesepakatan dari para pihak. Akibatnya, pihak yang tidak sepakat dengan suatu kontrak dan karenanya tidak menanda tanganinya, tidak terikat oleh kontrak 3 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 2007, hal 39. 4 Gouzali Saydam, Op.cit, hal 84. 5 Mariam Darus Badrulzaman dalam Tan Kamelo, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Fakultas Hukum USU 1979 – 2001, Butir-Butir Pemikiran Hukum Guru Besar Dari Masa Ke Masa, Medan, Pustaka Bangsa Press, 2003, hal 14. 6 Budiono Kusumohamidjojo, Panduan Untuk Merancang Kontrak, Jakarta, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2001, hal 16. 3 Universitas Sumatera Utara tersebut. Karena itu, pihak tersebut juga tidak mengemban suatu kewajiban yang ditetapkan oleh kontrak itu. 2. Kecakapan dari masing-masing pihak. Jadi, suatu pihak dapat terikat oleh suatu kontrak hanya jika dia cakap untuk mengikatkan dirinya. 3. Suatu hal tertentu. Dalam hal suatu kontrak objek perjanjian harus jelas dan ditentukan oleh para pihak, objek perjanjian tersebut dapat berupa barang maupun jasa. 4. Suatu sebab yang halal. Dalam hal ini isi kontrak tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Jika unsur-unsur tersebut dipenuhi, para pihak yang membuat kontrak kemudian juga akan tunduk pada pasal 1338 KUHPerdata yang bunyinya: “Semua perjanjian yang di buat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. 7 Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh Undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Dengan demikian orang bebas membuat atau tidak membuat perjanjian, bebas menentukan isi, berlakunya dan syarat-syarat perjanjian dengan bentuk tertentu atau tidak dan bebas memilih jenis perjanjian yang akan dipakai untuk perjanjian itu dan inilah yang disebut dengan asas kebebasan berkontrak. Azas tersebut tetap ada rambu-rambunya yaitu tidak bertentangan dengan Undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. 8 7 Ibid, hal. 17 8 Ahmadi Miru, Op.Cit, hal. 7-9. 4 Universitas Sumatera Utara Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata yang merupakan tiangnya hukum perdata berkaitan dengan penjabaran dari asas kebebasan berkontrak, yaitu: 9 1. Bebas membuat jenis perjanjian apa pun; 2. Bebas mengatur isinya; 3. Bebas mengatur bentuknya. Seperti telah diuraikan, isi kontrak baku telah dibuat oleh satu pihak, sebagai pihak lainnya tidak dapat mengemukakan kehendak secara bebas. Singkatnya tidak terjadi tawar menawar mengenai isi perjanjian sebagaimana menurut asas kebebasan berkontrak. Dengan demikian, dalam perjanjian baku berlaku adagium, “take it or leave it contract”. Maksudnya apabila setuju silakan ambil, dan bila tidak tinggalkan saja, artinya perjanjian tidak dilakukan. Memperhatikan keadaan demikian, banyak isi kontrak baku yang memberatkan atau merugikan konsumen sebagaimana diketahui lazimnya syarat- syarat dalam kontrak baku adalah mengenai: 10 1. Cara mengakhiri perjanjian; 2. Cara memperpanjang berlakunya perjanjian; 3. Cara penyelesaian sengketa; 4. Klausula eksonerasi. 9 Sihar Roni Sirait, Klausula Baku dalam Kontrak Baku, http:www.goldencontract.blogspot.com200801klausula-baku-dalam-kontrak-baku.html, diakses pada tanggal 16 Februari 2010, pukul 22.50 Waktu Indonesia Bagian Barat. 10 Ibid. 5 Universitas Sumatera Utara Sehubungan dengan perlindungan terhadap konsumen, yang perlu mendapat perhatian utama dalam kontrak baku adalah mengenai klausula eksonerasi exoneratie klausule exemption clausule yaitu klausula yang berisi pembebasan atau pembatasan pertanggungjawaban dari pihak pelaku usaha yang lazimnya terdapat dalam jenis perjanjian tersebut. Perlindungan Hukum bagi konsumen telah diatur dalam Perundang-undangan di Indonesia, Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen UUPK. Undang-undang Perlindungan Konsumen menyatakan, konsumen adalah setiap orang pemakai barang danatau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. 11 Sebelum muncul UUPK Undang-undang Perlindungan Konsumen yang diberlakukan pemerintah mulai 20 April 2000 praktis hanya sedikit pengertian normatif yang tegas tentang konsumen dalam hukum positif di Indonesia. Dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara ketetapan MPR No. IIMPR1993 disebutkan kata konsumen dalam rangka membicarakan tentang sasaran bidang perdagangan. Di antara ketentuan normatif itu terdapat Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat diberlakukan 5 Maret 2000, 1satu tahun setelah diundangkan. Undang- undang ini memuat suatu definisi tentang konsumen, yaitu setiap pemakai danatau pengguna barang danatau jasa, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan orang lain. Batasan itu mirip dan garis besar maknanya diambil alih oleh Undang-undang perlindungan konsumen. Pakar masalah konsumen di Belanda, Hondius menyimpulkan, para ahli hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai , pemakai produksi terakhir dari benda dan jasa; uiteindelijke gebruiker van goederen en diesten. 12 11 Shidarta, Edisi revisi Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2004, hal. 1. 12 Mariam Darus Badrulzaman, Perlindungan terhadap Konsumen Dilihat dari Sudut Perjanjian Baku standar, dalam BPHN, Simposium Aspek-Aspek Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung, Binacipta, 1986, hal. 57. 6 Universitas Sumatera Utara Dengan rumusan itu, Hondius ingin membedakan antara konsumen bukan pemakai terakhir konsumen antara dengan konsumen pemakai terakhir. Rumusan-rumusan seperti yang disimpulkan oleh Hondius, menunjukan sangat beragamnya pengertian tentang konsumen. Untuk itu, dengan mempelajari perbandingan dari rumusan konsumen, kita perlu kembali melihat pengertian konsumen dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang Perlindungan Konsumen. Sejumlah cacatan dapat diberikan terhadap unsur-unsur definisi konsumen. 13 Konsumen adalah: 1. Setiap orang Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang danatau jasa. Istilah “orang” sebetulnya menimbulkan keraguan, apakah hanya, orang individual yang lazim disebut natuurlijke person atau termasuk juga badan hukum recht persoon. Hal ini berbeda dengan pengertian yang diberikan yang diberikan untuk “pelaku usaha” dalam Pasal 1 angka 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen yang secara eksplisit membedakan kedua pengertian person di atas, dengan menyebutkan kata-kata: ”orang perseorangan atau badan usaha”. Tentu yang paling tepat tidak membatasi pengertian konsumen itu sebatas pada orang perorangan. 14 Namun, konsumen harus mencakup juga badan usaha, dengan makna lebih luas daripada badan hukum. Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, kata “orang” tidak digunakan. Dalam Undang-undang itu hanya ditemukan kata “pemakai” yang dapat di interpretasikan baik sebagai orang perseorangan maupun badan usaha. 13 Shidarta, Op.Cit, hal. 5-10. 14 Az. Nasution, salah seorang penyusun draf RUU Perlindungan Konsumen, menyatakan bahwa konsumen yang dilindungi UUPK adalah manusia atau makhluk lain yang menggunakan danatau memanfaatkan barang dan atau jasa untuk kepentingan sendiri dan rumah tangga, tidak untuk tujuan komersial. Dari penjelasannya ini tetap masih tidak jelas, apakah “badan usaha” sengaja dikecualikan oleh penyusun UUPK. Lihat: Az. Nasution, “Profil Undang-undang Perlindungan Konsumen,” Warta Konsumen , Nomor 6 Juni 1999: 7. 7 Universitas Sumatera Utara UUPK Undang-undang Perlindungan Konsumen tampaknya berusaha menghindari penggunaan kata “produsen” sebagai lawan dari kata “pelaku usaha” yang bermakna lebih luas. Istilah terakhir ini dipilih untuk memberi arti sekaligus bagi kreditur penyedia dana, produsen, penyalur, penjual, dan terminologi lain yang lazim diberikan. 2. Pemakai Sesuai dengan bunyi penjelasan Pasal 1 angka 2 UUPK, kata “pemakai” menekankan, konsumen adalah konsumen akhir ultimate consumer. Istilah “pemakai” dalam hal ini tepat digunakan dalam rumusan ketentuan tersebut, sekaligus menunjukkan, barang danatau jasa yang dipakai tidak serta merta hasil dari traksaksi jual beli. Artinya, yang diartikan sebagai konsumen tidak selalu harus memberikan prestasinya dengan cara membayar uang untuk memperoleh barang danatau jasa itu. Dengan kata lain, dasar hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha tidak perlu harus kontraktual the privitiy of contract. Konsumen memang tidak sekedar pembeli buyer atau koper, tetapi semua orang perorangan atau badan usaha yang mengkonsumsi jasa danatau barang. Jadi, yang paling terjadinya suatu transaksi konsumen consumer transaction berupa peralihan barang danatau jasa, termasuk peralihan kenikmatan dalam menggunakannya. Mengartikan konsumen secara sempit, seperti hanya sebagai orang yang mempunyai hubungan kontraktual pribadi in privity of contract dengan produsen atau penjual adalah cara pendefinisian konsumen yang paling sederhana. 3. Barang danatau jasa. Berkaitan dengan istilah barang danatau jasa, sebagai pengganti terminologi tersebut digunakan kata produk. Saat ini “produk” sudah berkonotasi barang danatau jasa. Semula kata produk hanya mengacu pada pengertian barang. UUPK mengartikan barang sebagai setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. UUPK tidak menjelaskan perbedaan istilah- istilah “dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan”. Sementara itu, jasa diartikan sebagai setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen dalam hal ini adalah PT. Telkom. Pengertian “disediakan bagi masyarakat” menunjukkan, jasa itu harus ditawarkan kepada masyarakat. Artinya, 8 Universitas Sumatera Utara pihak yang ditawarkan harus lebih dari satu orang. Jika demikian halnya, tidak tercakup dalam pengertian tersebut. 4. Yang tersedia dalam masyarakat. Barang danatau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia di pasaran yang tercantum dalam Pasal 9 ayat 1 huruf e Undang-undang Perlindungan Konsumen. Dalam perdagangan yang makin komplek dewasa ini; syarat itu tidak mutlak lagi dituntut oleh masyarakat konsumen. 5. Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup lain. Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, dan makhluk hidup lain. Unsur yang diletakkan dalam definisi itu mencoba untuk memperluas pengertian kepentingan. Kepentingan ini tidak sekedar ditujukan untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi juga barang danatau jasa itu diperuntukkan bagi orang lain diluar diri sendiri dan keluarganya, bahkan untuk, makhluk hidup lain. 6. Barang danatau jasa itu tidak untuk diperdagangkan. Pengertian konsumen dalam UUPK ini dipertegas, yakni hanya konsumen akhir. Batasan itu sudah biasa dipakai dalam peraturan perlindungan konsumen di berbagai negara. Secara teoritis hal demikian terasa cukup baik untuk mempersempit ruang lingkup pengertian konsumen, walaupun dalam kenyataan, sulit menetapkan batas-batas seperti itu. Apabila dalam suatu perjanjian, kedudukan para pihak tidak seimbang, pihak lemah biasanya tidak berada dalam keadaan yang betul-betul bebas untuk menentukan apa yang di inginkan dalam perjanjian. Dalam hal demikian, pihak yang memiliki kuat biasanya menggunakan kesempatan tersebut untuk menentukan klausul-klausul tertentu dalam kontrak baku, sehingga perjanjian yang seharusnya dibuat atau dirancang oleh para pihak yang terlibat dalam perjanjian, tidak ditemukan lagi dalam kontrak baku karena format dan isi kontrak dirancang oleh pihak yang kedudukan lebih kuat. 15 Karena yang merancang format dan isi kontrak adalah pihak yang memiliki kedudukan lebih kuat dalam hal ini adalah PT. Telkom, dapat dipastikan bahwa kontrak tersebut memuat klausul-klausul yang menguntungkan baginya, atau 15 Ahmadu Miru, Op.Cit, hal. 41-43. 9 Universitas Sumatera Utara meringankan atau menghapuskan beban-beban atau kewajiban-kewajiban tertentu yang seharusnya menjadi bebannya yang biasa dikenal dengan klausula eksonerasi. Menurut Rijken mengatakan bahwa klausula eksonerasi adalah klausula yang dicantumkan dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melawan hukum. 16 Dengan adanya kontrak berstandar itu dengan sendirinya pihak PT. Telkom dapat mencantumkan syarat-syarat sesuai dengan kemauannya. Syarat-syarat ini sering memberatkan pihak pelanggan dalam arti kewajiban yang dipikul oleh pelanggan lebih berat, jika dibandingkan dengan haknya. Biasanya pihak pelanggan langsung saja menerima syarat-syarat yang diajukan PT. Telkom sebab mereka sangat memerlukan jasa telkom tersebut sekalipun terpaksa dan tidak adanya keseimbangan hak dan kewajiban. Hal seperti inilah yang sering menimbulkan adanya perselisihan dikemudian hari, baik yang bersifat teknik kerusakan maupun non teknis pulsa tinggi bagi pengguna jasa tetap yang telah terikat kontrak baku dengan PT. Telkom. Sebelum pelanggan mendapatkan saluran pemasangan baru dari PT. Telkom biasanya pelanggan diberikan beban untuk pemasangan maupun pembelian tiang, hal inilah yang sering muncul pada masyarakat sehingga mereka agak keberatan dengan beban tersebut. Selain itu timbul perselisihan karena pihak PT. Telkom tidak segera melakukan pemasangan sambungan sampai batas waktunya 14 empat belas hari disamping itu PT. Telkom tidak segera memperbaiki pesawat telepon setelah adanya 16 Meriam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Bandung, Alumni, 1994, hal 47. 10 Universitas Sumatera Utara pengaduan pelanggan sampai batas waktunya yaitu 17 tujuh belas hari, sehingga kerusakan sambungan telepon atau gangguan telepon yang dapat terjadi mulai dari penyambungan saluran sampai pada pesawatnya. Adapun penyebabnya ialah karena kerusakan kabel, pemasangan alat tambahan, pencurian kabel bahkan pulsa tinggi padahal jarang dipakai. Hal inilah yang seringkali menyebabkan rasa jengkel dan mengeluh dari pelanggan kepada PT. Telkom. Sementara dipihak PT. Telkom apabila pelanggan terlambat melakukan pembayaran, dalam hal ini PT. Telkom melakukan pencabutan secara sepihak tanpa menunggu keputusan dari hakim. Di lain pihak yaitu PT. Telkom sendiri juga menghadapi masalah mengenai pemakaian pulsa telepon yang relatif kecil yang akan mengakibatkan menurunnya pendapatan. Oleh sebab itu, akan diuraikan upaya yang dilakukan oleh PT. Telkom dalam mengantisipasi serta jalan penyelesaiannya. Perselisihan antara pelanggan dengan PT. Telkom sehubungan dengan perjanjian berlangganan telepon itulah yang membuat penulis tertarik sekali untuk mengetahui, mempelajari, memahami, dan mengupasnya dalam bentuk tesis dengan judul: “PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PELANGGAN PT. TELKOM DALAM KONTRAK BAKU”. B. Perumusan Masalah Dari latar belakang tersebut di atas dapat dikemukakan rumusan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana kedudukan hukum para pihak dalam Perjanjian dengan PT. Telkom? 11 Universitas Sumatera Utara 2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap hak-hak pelanggan dalam pelaksanaan perjanjian dengan PT. Telkom? 3. Bagaimana Penyelesaian Sengketa Antara Pelanggan dengan PT. Telkom?

C. Tujuan Penelitian