2.2.3 Kesantunan Berbahasa
Terdapat tiga macam teori yang dapat dijadikan dasar atau pijakan di dalam penelitian kesantunan pragmatik tentang imperatif dan pemakaian tuturan
imperatif di dalam bahasa Indonesia. Ketiga teori itu adalah 1 teori tindak tutur, 2 teori pranggapan, implikatur, dan entailment, dan 3 teori kesantunan bahasa.
John R. Searle 1983 dalam bukunya Speech Act: An Essay in The Philosophy of Language menyatakan bahwa dalam praktik penggunaan bahasa
terdapat tiga macam tindak tutur, antara lain tindak lokusioner, tindak ilokusioner, dan tindak perlokusi. Tindak lokusioner adalah tindak bertutur dengan kata, frasa,
dan kalimat sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa, dan kalimat itu. Tindak ilokusioner adalah tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan
fungsi tertentu pula. Tindak perlokusi adalah tindak menumbuhkan pengaruh kepada mitra tutur.
Terdapat dua cara dalam menyampaikan imperatif, yakni dengan tuturan langsung dan tuturan tidak langsung. Tingkat kelangsungan tuturan itu dapat
diukur berdasarkan besar kecilnya jarak tempuh, yakni jarak antara titik ilokusi yang berada dalam diri penutur dengan titik tujuan ilokusi yang terdapat dalam
diri si mitra tutur. Semakin jauh jarak tempuhnya, semakin tidak langsunglah tuturan itu. Demikian pula sebaliknya, semakin dekat jarak tempuhnya akan
semakin langsunglah tuturan itu. Selain itu, tingkat kelangsungan tuturan dapat pula diukur berdasarkan kejelasan pragmatiknya. Adapun yang dimaksud dengan
kejelasan pragmatik adalah kenyataan bahwa semakin tembus pandang maksud sebuah tuturan akan semakin langsunglah maksud tuturan tersebut. Sebaliknya,
Universitas Sumatera Utara
semakin tidak tembus psndang maksud tuturan tersebut akan semakin tidak langsunglah maksud tuturan itu. Apabila kejelasan pragmatik itu dikaitkan dengan
kesantunan, semakin jelas maksud sebuah tuturan akan semakin tidak santunlah tuturan itu, demikian sebaliknya, semakin tidak tembus pandang maksud suatu
tuturan akan menjadi semakin santunlah tuturan itu. Makna pragmatik tuturan di dalam pertuturan tidaklah hanya didapatkan dari
tuturan tersebut, tetapi juga didapatkan dari informasi indeksalnya. Dengan perkataan lain, makna yang tersurat pada sebuah tuturan tidaklah selalu sama
dengan makna yang tersirat dalam pertuturan itu. Makna yang tersirat itu dapat diperoleh dengan mencermati konteks yang menyertai munculnya tuturan itu,
yakni melalui praanggapan, implikatur, dan entailment. Menurut Kridalaksana 1984:159 praanggapan adalah syarat yang diperlukan
bagi benar tidaknya suatu kalimat; misalnya ’ia bergadang’ adalah praanggapan bagi kebenaran kalimat ’barang dagangannya sangat laku.’ Praanggapan
pragmatik adalah apabila dalam suatu ucapan mempunyai praanggapan yang menyatakan siapa pembicara atau pendengar, seperti keadaan dengan honorifik,
misalnya pemakaian kata ’beliau’ di bahasa Indonesia mempunyai praanggapan pragmatik bahwa yang dibicarakan adalah seseorang yang terhormat.
Suatu percakapan dapat berlangsung berkat adanya kesepakatan bersama. Kesepakatan itu antara lain berupa kontrak tak tertulis bahwa ihwal yang
dibicarakan itu harus saling berhubungan atau berkaitan. Hubungan atau keterkaitan itu sendiri tidak terungkapkan secara literal pada masing-masing
kalimat. Makna dibalik apa yang diucapkan tersebut sangat erat hubungan
Universitas Sumatera Utara
kaitannya dengan konteks di mana ke dua kalimat itu diucapkan, misalnya ’rumahmu bagus sekali’ yang memiliki implikatur pujian. Inilah yang disebut
implikatur percakapan. Menurut Yule 2006: 43 Entailmen adalah sesuatu yang secara logis ada atau
mengikuti apa yang ditegaskan di dalam tuturan. Yang memiliki entailmen adalah kalimat, bukan penutur.
Kesantunan bahasa menurut Leech 1993 menyangkut hubungan antara peserta komunikasi, yaitu penutur dan pendengar. Oleh sebab itu, penutur
menggunakan strategi dalam melakukankan suatu tuturan dengan tujuan agar kalimat yang dituturkan santun tanpa menyinggung pendengar. Prinsip
kesantunan adalah peraturan dalam percakapan yang mengatur penutur penyapa dan petutur pesapa untuk memperhatikan sopan santun dalam percakapan.
Dengan kata lain, suatu ujaran dikatakan santun atau tidak berdasarkan batasan- batasan yang dilakukan oleh peserta tutur komunikasi mengenai apa yang boleh
dikatakan dan bagaimana cara mengujarkannya. Oleh karena itu, konteks ujaran hubungan antara penutur dan petutur sangat menentukan kesantunan sebuah
bentuk bahasa. Kesantunan merupakan sebuah fenomena dalam kajian pragma Di dalam model kesantunan Leech 1993:194, setiap maksim interpersonal
dapat dimanfaatkan untuk menentukan peringkat kesantunan sebuah tuturan. Skala kesantunan yang disampaikan Leech, antara lain:
tik.
1. Cost-benefit scale skala kerugian dan keuntungan
Skala ini ditujukan kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan. Semakin tuturan
Universitas Sumatera Utara
tersebut merugikan diri penutur, akan semakin dianggap santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tuturan itu menguntungkan diri penutur akan
semakin dianggap tidak santunlah tuturan itu. Apabila hal yang demikian itu dilihat dari kacamata si mitra tutur dapat dikatakan bahwa semakin
menguntungkan diri mitra tutur, akan semakin dipandang tidak santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tuturan itu merugikan diri si mitra
tutur, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu. Contoh:
“Hidupkan kipas angin, jika AC-nya rusak” Tuturan di atas merupakan tuturan yang tidak santun karena maksud perintah
yang disampaikan oleh penutur tersebut memberikan kerugian kepada mitra tutur untuk melakukan apa yang diinginkan oleh penutur dalam tuturannya.
2. Optionality scale skala pilihan
Skala ini menunjuk kepada banyak atau sedikitnya pilihan options yang disampaikan si penutur kepada mitra tutur di dalam kegiatan bertutur.
Semakin pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra tutur menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu.
Sebaliknya, apabila pertuturan itu sama sekali tidak memberikan kemungkinan memilih bagi si penutur dan si mitra tutur, tuturan tersebut akan dianggap
tidak santun. Contoh:
“Baik, hari ini kita akan belajar tentang pragmatik. saya minta kalian baca buku kalian hal 30-35 selama 10 menit. Kemudian kita akan diskusi. Silakan”
Universitas Sumatera Utara
Tuturan di atas merupakan tuturan yang santun karena maksud persilaan yang disampaikan oleh seorang dosen kepada mahasiswanya memberikan banyak
alternatif atau pilihan tindakan kepada mahasiswanya ketika belajar suatu mata kuliah, yakni membaca dan mendiskusikan tentang pragmatik.
3. Indirectness scale skala ketidaklangsungan
Skala ini menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung akan dianggap
semakin tidak santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tidak langsung maksud sebuah tuturan, akan dianggap semakin santunlah tuturan
itu. Contoh:
“Dimohon sabar, semua akan dilayani” Penanda kesantunan mohon pada tuturan tersebut sudah dapat menyatakan
bahwa tuturan di atas merupakan tuturan yang santun, dimana maksud permohonan dari tuturan tersebut dinyatakan secara tidak langsung kepada
orang yang sebenarnya tidak sabar untuk segera dilayani. 4.
Authority scale skala keotoritasan Skala ini menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan mitra
tutur yang terlibat dalam pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat sosial rank rating antara penutur dengan mitra tutur, tuturan yang digunakan akan
cenderung semakin santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat status sosial di antara keduanya, akan cenderung berkuranglah peringkat kesantunan
tuturan yang digunakan dalam bertutur itu.
Universitas Sumatera Utara
Contoh: “Maaf Pak, kemarin saya tidak dapat mengikuti ujian. Mohon Bapak dapat
memberikan ujian susulan kepada saya.” Tuturan di atas merupakan tuturan permohonan yang santun. Mahasiswa
sebagai penutur dalam tuturan di atas memiliki status yang lebih rendah daripada dosennya sebagai mitra tuturnya, sehingga mahasiswa secara
otomatis akan menyampaikan maksud dari tuturannya secara santun. 5.
Social distance scale skala jarak sosial Skala ini menunjuk kepada peringkat hubungan sosial antara penutur dan
mitra tutur yang terlibat dalam sebuah pertuturan. Ada kecenderungan bahwa semakin dekat jarak peringkat sosial di antara keduanya, akan menjadi
semakin kurang santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur, akan semakin
santunlah tuturan yang digunakan itu. Dengan perkataan lain, tingkat keakraban hubungan antara penutur dengan mitra tutur sangat menentukan
peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur. Contoh:
“tenang..tenanglah dulu, Pong” Tuturan di atas dituturkan oleh teman Pong, yang saat itu melihat Pong
tergesa-gesa akan meluapkan emosi kepadanya. Hubungan keakraban di antara keduanya membuat tuturan di atas tidaklah santun.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan ketiga teori di atas, maka teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah teori kesantunan bahasa. Adapun alasan pemilihan teori tersebut karena
teori inilah yang sampai saat ini dijadikan tolak ukur untuk menilai kesantunan suatu bahasa. Teori kesantunan berbahasa merupakan sebagian kiat berbahasa
yang mendukung keberhasilan penyampaian pesan berkomunikasi yang juga berhubungan dengan kebudayaan masyarakat penuturnya terhadap citra diri
seseorang di tengah masyarakatnya.
2.2.4 Konteks Situasi