108
Kegiatan Pembelajaran 3
Dalam proses sosialisasi bisa terjadi kendala atau hambatan hal ini karena, terjadinya kesulitan komunikasi dan adanya pola kelakuan yang berbeda-beda atau
bertentangan di antara kelompok. Pelanggaran terhadap nilai dan norma atau perilaku yang menyimpang dari peran yang dimainkannya akan berakibat adanya
sangsi, penentuan jenis sangsi ini ditentutan atas kesepakatan bersama, atau aturan yang telah dibakukan, kesemuanya itu dilakukan agar aktivitas olahraga yang
dimainkan bisa berjalan secara aman, tertib dan lancar. Untuk itu, guru dituntut untuk memiliki kesadaran bahwa dirinya merupakan salah
satu agen sosial yang mempengaruhi konsep, pandangan dan tingkat partisipasi siswa dalam aktivitas olahraga. Dengan demikian peran guru sebagai role model juga
akan menentukan keberhasilan siswa dalam mewujudkan nilai-nilai karakter yang ingin dicapai melalui PJOK.
Menurut Laker 2001, ada beberapa faktor yang mempengaruhi keterlibatan siswa dalam pembelajaran PJOK. Faktor-faktor ini juga dimungkinkan menjadi penyebab
munculnya berbagai problema sosial bagi peserta didik. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah : 1 perbedaan gender, 2 kelas soial, 3 ras dan etnis.
a. Perbedaan Gender
Aktivitas fisik dalam pembelajaran pendidikan jasmani diberlakukan sama bagi semua siswa baik laki-laki maupun perempuan. Beberapa diantara mereka ingin
bisa tampil menonjol dalam berbagai aktivitas fisik, namun fakta dan penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kompetensi fisik antara laki-laki dan
perempuan. Sekalipun beberapa siswa perempuan juga senang berprestasi di olahraga, namun prestasi olahraga dianggap lebih penting bagi laki-laki dibanding
perempuan. Olahraga seringkali identik dengan berbagai perilaku kekerasan, kekuatan dan persaingan untuk meraih prestasi, sementara perempuan lebih
identik dengan kelemahlembutan. Beberapa kajian juga menyatakan aktivitas olahraga bagi kaum Hawa di Negara-negara Barat lebih bisa diterima dibanding di
Negara-negara Asia.
PJOK SD KK G
109
b. Perbedaan Kelas Sosial
Dalam pembelajaran PJOK yang banyak menggunakan olahraga sebagai media untuk mencapai tujuan pendidikan, menyebabkan munculnya kelas-kelas sosial tertentu
dalam berolahraga. Sebagaimana diketahui pada cabang-cabang olahraga tertentu seperti tenis lapangan, golf, balap mobil, akan lebih banyak ditekuni oleh atlet atau
individu-individu dari kelas atas high level class sedangkan cabang olahraga atletik seperti lari, lempar, lompat dan juga sepak bola seringkali didominasi oleh anak-
anak dari kalangan menengah ke bawah. Hal ini bisa disebabkan karena perbedaan biaya peralatan yang harus dikeluarkan untuk menguasai cabang olahraga tersebut.
Dengan fakta tersebut, maka jika ada siswa-siswa yang menguasai olahraga tenis lapangan, golf, maka akan terkesan adanya perbedaan kelas sosial dalam
pembelajaran PJOK. Hal yang sama juga dirasakan ketika ada siswa-siswa yang mampu berprestasi
olahraga di tingkat nasional maupun Internasional, dan ada siswa yang tidak bisa melakukan aktivitas olahraga saat pembelajaran PJOK karena berbagai
keterbatasan, maka siswa-siswa yang tidak mampu melakukan aktivitas fisik yang baik seringkali merasa minder ketika bersosialisasi dengan teman yang lain.
c. Perbedaan Ras dan Etnis
Dalam sebuah sekolah, tentunya banyak sekali keberagaman baik berdasarkan ras, suku, agama, asal daerah dsbnya. Perbedaan-perbedaan tersebut kadang juga
memunculkan “gap” atau jarak ketika bersosialisasi melalui pembelajaran PJOK. Ketika dalam konteks permainan, maka cara guru membentuk tim akan sangat
menentukan munculnya problem sosial atau tidak. Guru yang membentuk tim berdasarkan kesamaan ras, suku tentunya akan memunculkan masalah sosial.
Disamping itu, keberadaan ras minoritas seperti misalnya Cina, Arab atau yang lain kadang juga menjadi kendala ketika siswa melakukan aktivitas permainan olahraga
kompetitif dalam PJOK. Jika melihat timnas sepakbola Indonesia saat ini, mungkin tidak satupun etnis Cina yang masuk dalam timnas, padahal di jaman lampau banyak
sekali orang-orang Cina yang menjadi timnas sepakbola Indonesia. Kondisi ini menunjukkan adanya kesenjangan dalam bersosialisasi dan melakukan aktivitas
olahraga akibat perbedaan ras atau etnis suku tertentu.
110
Kegiatan Pembelajaran 3
4. Pemanfaatan Sosiologi olahraga dalam pembelajaran PJOK
Dalam pembelajaran PJOK, banyak siswa terjebak dengan tujuan mencapai olahraga prestasi. Olahraga prestasi dalam konteks pendidikan tidak semata-mata
menempatkan kemenangan sebagai satu-satunya tujuan, karena memang kemenangan tidak selalu dapat diraih pada setiap kesempatan oleh setiap orang dan
oleh semua orang. Kompetisi adalah persaingan yang dilandasi oleh dasar-dasar fair play. Pengalaman kompetisi yang dilandasi fair play tersebut diharapkan dapat
diimplementasikan dalam kehidupan pelaku olahraga dalam kehidupan sehari- harinya. Siedentop 1994:13 mengatakan pelajaran berharga dari olahraga
kompetitif sebagai berikut: “The biggest lesson is to play hard, play fair, honor your opponent, and accept that when the contest is over, it is over. What matters most is
taking part fairly and honorably, not which individual or team wins or loses” Agar olahraga prestasi dalam pengajaran pendidikan jasmani ini selalu terintegrasi
dengan nilai-nilai pendidikan pada umumnya, demikian juga kualitas partisipasi siswa terhadap olahraga prestasi semakin meningkat, Siedentop 1990:222
mengutip pendapat Smoll 1986 dalam “coach effectiveness Training”, menganjurkan agar para guru pendidikan jasmani demikian juga siswanya
memahami beberapa philosophy kompetisi sebagai berikut. a. Winning is not everything, nor it is the only thing; that is, winning is an
important goal, but it is not the only goal. b. Failure is not the same as losing; therefore losing does not need to imply
personal failure in any way. c. Success is not synonymous with winning; therefore, winning does not relate
directly to sense of personal triumph anymore than losing relates to personal failure.
d. Success is found in striving for victory and is related to effort as much as or more than to outcome
Dengan demikian pengertian kompetisi dalam konteks olahraga prestasi di lingkungan persekolahanpun hendaknya ditinjau ulang dan didefinisikan kembali
agar sesuai dengan arah dan tujuannya.