Tempe Karakteristik Fisikokimia dan Sifat Fungsional Tempe yang Dihasilkan dari Berbagai Varietas Kedelai

14 Pengukuran warna secara objektif dilakukan dengan menggunakan chromameter dengan skala Hunter L, a, b. Hasil analisis menunjukkan bahwa tempe yang dihasilkan dari lima varietas kedelai ini memiliki kecerahan, warna kromatik merah, dan warna kromatik kuning yang berbeda. Tempe dari kedelai Impor 1, Lokal 2, dan Lokal 3 memiliki tingkat kecerahan yang sama dan lebih tinggi dibandingkan Impor 2 dan Lokal 1. Tempe dari kedelai impor memiliki warna kromatik kuning +b yang lebih besar dibandingkan dengan kedelai lokal. Hal ini disebabkan oleh perbedaan warna kedelai secara genetik dan penyebaran pertumbuhan kapang yang berbeda. Efektivitas Biaya Efektivitas biaya dihitung dengan membandingkan total keuntungan yang diperoleh dari penjualan terhadap biaya total yang dibutuhkan untuk memproduksi tempe dalam satuan berat yang sama. Komponen dari biaya total antara lain biaya variabel dan biaya tetap. Perhitungan efektivitas biaya erat kaitannya dengan harga beli kedelai, impuritas kedelai, dan harga jual tempe. Kelima jenis kedelai memiliki harga yang bervariasi, dengan kedelai yang memiliki harga termahal adalah kedelai Lokal 3 dan kedelai dengan harga termurah adalah kedelai Impor 1. Biaya variabel diperoleh dengan mengalikan harga masing-masing kedelai dengan impuritas dan rendemen dari tempe yang dihasilkan dari masing-masing jenis kedelai serta ditambah dengan biaya pendukung produksi seperti listrik, gas, dan bahan pengemas. Adapun biaya tetap diperoleh dengan menjumlahkan biaya penyusutan dari alat-alat yang digunakan dalam memproduksi tempe. Biaya tetap kelima jenis tempe diasumsikan sama karena proses produksi dilakukan dalam satu waktu yang bersamaan. Penjumlahan antara biaya variabel dan biaya tetap akan menghasilkan biaya total. Harga jual tempe dari kelima jenis kedelai ditentukan dengan mengikuti harga jual tempe yang ditetapkan oleh Rumah Tempe Indonesia dengan margin keuntungan berkisar antara 40-60. Harga jual tempe dari kelima jenis kedelai bervariasi, dipengaruhi oleh kelimpahan bahan baku, harga bahan baku, dan kualitas bahan baku serta tempe yang dihasilkan dari masing-masing jenis kedelai. Tempe yang memiliki efektivitas biaya tertinggi merupakan tempe dengan biaya produksi paling minimal untuk menghasilkan keuntungan yang maksimal. Hasil analisis menunjukkan bahwa tempe dari kedelai Lokal 1 memiliki efektivitas biaya tertinggi. Komposisi Kimia Hasil analisis menunjukkan bahwa kadar air tempe dari kelima jenis kedelai berkisar antara 57.98 hingga 61.42 Tabel 5. Varietas kedelai berpengaruh nyata terhadap kadar air tempe p0.05. Perbedaan ini terjadi akibat adanya perbedaan penetrasi air ke dalam matriks biji dan perbedaan pengembangan biji. Kadar air tempe juga dipengaruhi oleh aktivitas pertumbuhan kapang dalam tempe. Pada data pengembangan biji dapat dilihat bahwa kedelai Lokal 3 memiliki pengembanganbiji yang relatif rendah, yaitu hanya mencapai 215. Hal tersebut menghasilkan kadar air tempe lokal 3 sebesar 57.98. Berbeda dengan kedelai Lokal 2 yang memiliki derajat pengembangan biji mencapai 280 15 menghasilkan tempe dengan kadar air mencapai 60.17. Tempe dari kedelai Lokal 1 mempunyai kadar air yang sama dengan kedelai Impor 1 dan Impor 2. Kadar air tempe juga dipengaruhi oleh aktivitas pertumbuhan kapang dalam tempe. Mengacu pada SNI 2009, kadar air tempe dari kelima jenis kedelai sudah sesuai dengan standar yang telah ditetapkan, yaitu 65. Tabel 5 Analisis proksimat, serat pangan, dan kapasitas antioksidan tempe dari kedelai impor dan kedelai lokal Parameter Jenis Tempe dari Kedelai SNI Impor 1 Impor 2 Lokal 1 Lokal 2 Lokal 3 Air wb 61.42±0.59 b 61.09±1.13 b 60.58±1.43 b 60.17±2.22 ab 57.98±1.59 a maks. 65 Abu db 2.43±0.06 b 2.32±0.17 ab 2.14±0.16 a 2.72±0.29 c 2.30±0.02 ab maks. 4.28 Protein db 46.68±1.26 a 48.07±1.44 a 50.08±1.27 ab 49.80±5.23 ab 52.70±1.14 b min. 45.71 Lemak db 33.09±0.94 b 31.39±2.58 b 31.14±0.33 b 30.62±1.67 b 28.11±1.23 a min. 28.57 Karbohidrat wb 6.87±0.60 a 7.12±1.60 a 6.57±0.91 a 6.81±3.12 a 7.09±0.34 a - Serat pangan wb 6.21±0.09 a 6.58±0.19 bc 6.53±0.06 b 6.77±0.23 c 6.61±0.08 bc - Kapasitas antioksidan mg AEAC kg tempe 191.1±4.0 a 188.9±2.9 a 188.7±9.4 a 187.7±3.5 a 186.1±0.0 a - Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata p0.05 Kadar abu menunjukkan kandungan mineral yang terkandung dalam suatu bahan pangan. Kadar abu tempe berkisar antara 2.01-2.47 bk. Tempe dari kedelai Lokal 1 mempunyai kadar abu yang sama dengan tempe dari kedelai Impor 2. Apabila dibandingkan dengan kedelai sebagai bahan baku, terjadi penurunan kadar abu pada tempe yang dihasilkan. Hal ini diduga karena pengaruh berbagai tahapan proses dalam pembuatan tempe, seperti pencucian, perendaman semalam, dan pengupasan kulit ari. Fennema 1996 menyebutkan bahwa kandungan mineral dalam bahan pangan tidak dapat rusak oleh panas, cahaya, agen pengoksidasi, dan pH yang ekstrim. Namun, hilangnya mineral lebih disebabkan oleh pencucian atau pemisahan fisik. Penurunan kadar abu ini mengindikasikan bahwa mineral yang terkandung dalam kedelai banyak terdapat pada lapisan kulit ari kedelai. Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan Fennema 1996 yang menyatakan bahwa mineral pada kacang-kacangan dan biji-bijian terkonsentrasi pada bagian kulit dan lapisan ari. Apabila dibandingkan dengan standar tempe SNI 2009 kadar abu tempe sudah sesuai dengan SNI yaitu maksimal 4.28 bk. Kadar protein tempe berkisar antara 46.68-52.70 bk dan meningkat dibandingkan kadar protein pada kedelai yaitu antara 37.10-41.79 bk. Menurut 16 Bavia et al. 2012, peningkatan kadar protein pada tempe disebabkan oleh hilangnya beberapa komponen terlarut seperti mineral dan gula dari biji kedelai. Ferreira et al. 2011 menambahkan, akan terjadi peningkatan kadar protein sebanyak 21 pada tempe jika dibandingkan dengan kotiledon. Miselium kapang yang memiliki aktivitas proteolitik juga dapat berkontribusi terhadap peningkatan kadar protein pada tempe Rahayu 2004.Pemecahan oleh enzim protease ini mengubah protein kompleks menjadi peptida, dan asam amino berberat molekul rendah yang lebih larut.Peningkatan kadar protein disebabkan oleh peningkatan jumlah nitrogen terlarut pada tempe dari 3.5 mgg menjadi 8.7 mgg dan peningkatan jumlah asam amino bebas dalam tempe. Hal ini dikarenakan Rhizopus menggunakan asam amino sebagai sumber nitrogen bagi pertumbuhannya Astuti et al. 2000.Berdasarkan hasil analisis, tempe dari kedelai Lokal 1 memiliki kandungan protein yang sama dengan tempe dari kedelai Impor 1 dan Impor 2. Kadar lemak yang terdapat dalam tempe berkisar antara 28.11-33.09 bk. Tempe yang dihasilkan dari kedelai Lokal 1 mempunyai kadar lemak yang sama dengan tempe dari kedelai Impor 1 dan Impor 2. Menurut Astuti et al. 2000, kadar lemak tempe akan lebih rendah dibandingkan kedelai, karena selama fermentasi kapang akan mensintesis enzim lipase yang akan menghidrolisis triasilgliserol menjadi asam lemak bebas. Selanjutnya, asam lemak akan menjadi sumber energi kapang untuk tumbuh sehingga kadar lemak menurun hingga 26. Kapang R. oligosporus dan R. stolonifer menggunakan asam linoleat, oleat dan palmitat sebagai sumber energi. Oleh karena itu, kadar asam linoleat menurun hingga 63.4, asam oleat menurun hingga 59.25, dan asam palmitat menurun hingga 55.78. Varietas kedelai tidak berpengaruh nyata terhadap kadar karbohidrat tempe yang dihasilkan p0.05. Kadar karbohidrattempe dari kelima jenis kedelai berkisar 6.57-7.12. Apabila dibandingkan dengan kedelai, terjadi penurunan kadar karbohidrat pada tempe. Penurunan ini terjadi karena adanya aktivitas enzimatis dari kapang selama fermentasi. Kapang mencerna karbohidrat menghasilkan penurunan heksosa secara drastis dan hidrolisis lambat stakiosa Rahayu 2004. Penurunan kadar karbohidrat ini diiringi oleh kenaikan kadar total solid Nuraida et al. 2005. Serat pangan dalam tempe dari kelima jenis kedelai berkisar 6.21-6.77. Kapasitas Antioksidan Jenis kedelai tidak berpengaruh p0.05 kepada kapasitas antioksidan tempe yang dihasilkan. Tempe yang dihasilkan dari kelima jenis kedelai memiliki kapasitas antioksidan berkisar 186-191mg AEACkg tempe Tabel 5. Antioksidan yang terdapat dalam tempe berupa isoflavon dalam bentuk aglikon dan glukosida. Senyawa aglikon diantaranya genistein, daidzein, dan glisitein Nakajima et al. 2005, serta isoflavon faktor 2 6,7,4-trihidroksi isoflavon Pokorny, 2001.Menurut United States Department ofAgriculture USDA 1999, per 100 g kedelai mentah mengandung 128.35 mg isoflavon.Isoflavon yang terdapat dalam kedelai berbeda-beda, tergantung genetik, umur benih, dan lokasi penanaman kedelai.Komponen isoflavon malonyl dalam kedelai akan menurun seiring dengan lamanya pemasakan. Perendaman, pemasakan, dan fermentasi 17 menurunkan kadar isoflavon glukosida dan malonyl, tapi meningkatkan bioavailability isoflavon Ferreira, 2011. Fermentasi meningkatkan bioavailabilitas isoflavon hingga dua kalinya Nakajima et al. 2005. Isoflavon aglikon terbesar terdapat pada tempe mentah Haron et al. 2009. Analisis Sensori Analisis sensori dilakukan terhadap tempe mentah dan tempe goreng dengan metode rating hedonik oleh 30 orang panelis semi terlatih. Bentuk dan ukuran tempe, baik pada tempe mentah maupun tempe goreng dibuat seragam untuk menghindari bias. Penggorengan dilakukan tanpa dibumbui terlebih dahulu pada suhu 150 o C selama 5 menit untuk menghasilkan tingkat kematangan yang seragam. Tabel 6 menunjukkan bahwa tempe mentah memperoleh tingkat kesukaan yang bervariasi dari panelis. Hal tersebut erat kaitannya dengan karakteristik fisik tempe mentah yang disajikan.Pada sampel tempe mentah, penilaian panelis berbeda nyata p0.05 pada semua atribut sensori, kecuali aroma dan tekstur tempe. Tabel 6Uji sensori sampel tempe mentah terhadap 30 orang panelis semi terlatih dengan metode rating hedonik Sampel Warna Aroma Tekstur Kenampakan Overall Impor 1 5.80 c 5.10 a 5.73 a 5.60 ab 5.50 ab Impor 2 5.63 bc 5.40 a 5.67 a 6.00 b 5.80 b Lokal 1 4.77 a 5.13 a 5.13 a 5.30 a 5.20 a Lokal 2 5.10 a 5.10 a 5.13 a 5.57 ab 5.50 ab Lokal 3 5.13 ab 5.13 a 5.37 a 5.43 ab 5.30 ab Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata p0.05 Panelis lebih menyukai tempe dengan potongan kedelai yang berwarna kuning. Tempe dari kedelai impor memiliki tingkat kesukaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tempe dari kedelai lokal. Hal ini dikarenakan tempe dari kedelai lokal memiliki warna yang lebih pucat dibandingkan tempe dari kedelai impor. Tempe dari kedelai Impor 1 memiliki warna yang lebih kuning dengan warna kromatik kuning +b sebesar 27, sedangkan tempe dari kedelai lokal memiliki warna yang lebih pucat dengan warna kromatik kuning sebesar 21. Aroma tempe dihasilkan dari hasil perombakan asam linoleat yang merupakan asam lemak dominan dalam kedelai menjadi 1-octen-3-ol oleh enzim lipoksigenase dan hidroperoksida lyase Fenget al.2006, bukan karena perombakan oleh R. oligosporus. Data hasil analisis sensori menunjukkan bahwa tempe dari kedelai impor dan lokal memperoleh tingkat kesukaan panelis sedang. Tekstur tempe mentah memperoleh penilaian agak suka hingga suka dari panelis, dan tempe yang dihasilkan dari kedelai impor dan kedelai lokal mendapat penilaian tingkat kesukaan yang sama dari panelis p0.05. Data pengukuran 18 tekstur secara objektif menyebutkan bahwa tempe dari kedelai impor memiliki tekstur yang lebih lunak, yang diindikasikan dengan kedalaman penetrasi probe yang lebih tinggi dibandingkan tempe dari kedelai lokal. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa panelis menyukai tempe baik dengan tekstur yang lunak maupun yang keras. Kenampakan tempe meliputi penyebaran kapang dalam menyelimuti biji kedelai dan kekompakan tempe. Berdasarkan data hasil analisis, tempe yang dihasilkan dari kedelai Lokal 1 memiliki tingkat kesukaan yang sama dengan tempe dari kedelai Impor 1, namun kurang disukai dibandingkan tempe dari kedelai Impor 2. Tingkat kesukaan panelis terhadap kenampakan tempe bervariasi, mulai dari agak suka hingga suka. Hal tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan kapang pada semua jenis tempe telah merata dan memiliki tekstur yang kompak. Secara keseluruhan, tempe mempunyai tingkat kesukaan yang sedang, tempe dari kedelai Lokal 1 memiliki tingkat kesukaan yang sama dengan tempe dari kedelai Impor 1, dan tempe yang memiliki tingkat kesukaan tertinggi adalah tempe dari kedelai Impor 2. Tabel 7Uji sensori sampel tempe goreng terhadap 30 orang panelis semi terlatih dengan metode rating hedonik Sampel Warna Aroma Tekstur Rasa Overall Impor 1 5.63 a 5.17 ab 5.53 b 4.97 a 5.20 a Impor 2 5.67 a 5.57 ab 5.53 b 4.93 a 5.33 a Lokal 1 5.43 a 5.03 a 4.63 a 4.97 a 5.13 a Lokal 2 5.40 a 5.37 ab 4.57 a 4.70 a 4.87 a Lokal 3 5.47 a 5.77 b 4.73 a 4.60 a 4.90 a Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata p0.05 Pengaruh penggorengan tempe dari kelima jenis kedelai menunjukkan hasil yang berbeda nyata p0.05 hanya pada atribut sensori aroma dan tekstur Tabel 7. Pada atribut warna, tempe goreng dari kelima jenis kedelai tidak berbeda nyata p0.05. Hal tersebut mengindikasikan bahwa proses penggorengan telah menghasilkan warna tempe goreng yang seragam. Aroma tempe goreng dari kedelai lokal sama dengan tempe dari kedelai impor. Tekstur tempe goreng yang dihasilkan dari kedelai impor memiliki tekstur yang lebih lunak dan lebih disukai oleh konsumen dibandingkan tempe dari kedelai lokal.Pada parameter rasa dan overall, tempe goreng dari kelima jenis kedelai memperoleh penilaian yang tidak berbeda nyata, yaitu agak suka.Hal tersebut mengindikasikan bahwa panelis tidak dapat membedakan karakteristik sensori tempe goreng yang dihasilkan baik dari kedelai impor maupun kedelai lokal. 19 Masa Simpan Penentuan masa simpan tempe dilakukan dengan menggunakan uji penerimaan sensori oleh 10 orang panelis terlatih pada sampel tempe yang disimpan pada suhu ruang dan suhu rendah 3-7 o C. Pada suhu ruang, terjadi penurunan penerimaan panelis yang sangat tajam pada semua atribut sensori Tabel 8. Hal ini dipicu oleh adanya kerusakan yang sangat cepat dari sampel tempe yang disimpan akibat pertumbuhan kapang yang berlebihan. Setelah disimpan selama tiga hari, warna tempe sudah mencoklat, timbul bau busuk, penyebaran kapang semakin sedikit dan kedelai semakin terlihat serta tekstur menjadi lunak dan berlendir. Kerusakan utama yang teramati adalah timbulnya bau busuk. Bau busuk tersebut disebabkan oleh aktivitas enzim proteolitik dalam menguraikan protein menjadi peptida atau asam amino secara anaerobik yang menghasilkan H 2 S, amonia, metil sulfida, amin, dan senyawa -senyawa lain yang berbau busuk. Tabel 8 Perubahan penerimaan konsumen terhadap atribut sensori tempe yang dihasilkan dari lima varietas kedelai yang disimpan pada suhu ruang 27 o C Hari ke- Atribut Impor 1 Impor 2 Lokal 1 Lokal 2 Lokal 3 1 Warna 6.8 6.8 6.4 6.6 6.1 Aroma 6.6 6.8 6.5 6.6 6.5 Tekstur 6.5 6.5 6.7 6.8 6.6 Kenampakan 6.4 6.6 6.7 6.5 6.4 Overall 6.7 6.7 6.5 6.6 6.2 2 Warna 4.6 3.3 4.1 3.7 3.0 Aroma 4.4 3.5 3.6 3.5 3.0 Tekstur 4.7 4.0 4.9 4.9 3.6 Kenampakan 4.5 3.3 4.0 3.6 2.9 Overall 4.4 3.5 3.9 3.7 2.8 3 Warna 4.3 3.3 3.3 2.0 1.4 Aroma 3.9 3.4 3.0 1.6 1.3 Tekstur 4.5 3.3 3.7 2.3 1.9 Kenampakan 4.2 3.6 3.6 2.1 1.4 Overall 4.1 3.4 3.0 2.0 1.5 Nilai yang berada di bawah 4 menunjukkan tempe sudah tidak dapat diterima oleh panelis Analisis sensori dihentikan saat panelis memberikan nilai di bawah 4, yang berarti panelis sudah tidak menerima produk tempe mentah yang telah disimpan. Tempe dari kedelai Lokal 1 dan Lokal 2 memiliki masa simpan mencapai dua hari pada suhu ruang, tempe dari kedelai Impor 1 mencapai tiga hari pada suhu ruang, sedangkan tempe dari kedelai Impor 2 dan Lokal 3 hanya memiliki masa simpan 20 satu hari. Hal tersebut menunjukkan bahwa tempe dari kedelai Impor 2 dan Lokal 3 mengalami penurunan kualitas sensori yang lebih cepat dibandingkan dengan tempe dari kedelai Impor 1, Lokal 1, dan Lokal 2 pada semua atribut sensori. Tabel 9 Perubahan penerimaan konsumen terhadap atribut sensori tempe yang dihasilkan dari lima varietas kedelai yang disimpan pada suhu rendah 3-7 o C Hari ke Atribut Impor 1 Impor 2 Lokal 1 Lokal 2 Lokal 3 1 Warna 6.8 6.8 6.4 6.6 6.1 Aroma 6.6 6.8 6.5 6.6 6.5 Tekstur 6.5 6.5 6.7 6.8 6.6 Kenampakan 6.4 6.6 6.7 6.5 6.4 Overall 6.7 6.7 6.5 6.6 6.2 3 Warna 6.8 5.8 6.5 6.3 6.2 Aroma 6.5 5.6 6.5 6.4 6.2 Tekstur 6.8 6.7 6.9 6.8 6.9 Kenampakan 7.0 6.2 6.9 6.1 6.8 Overall 6.7 5.8 6.7 6.4 6.5 5 Warna 5.2 3.0 5.3 4.2 4.2 Aroma 4.4 3.0 5.1 3.9 3.7 Tekstur 5.6 3.8 6.2 5.4 5.2 Kenampakan 5.7 2.5 5.9 3.6 4.1 Overall 5.3 2.9 5.5 4.0 3.9 7 Warna 4.5 2.1 4.1 3.5 4.3 Aroma 4.4 2.2 4.5 3.6 4.0 Tekstur 5.0 3.2 4.9 4.5 5.2 Kenampakan 4.8 2.7 4.2 3.4 4.8 Overall 4.5 2.4 4.4 3.5 4.3 9 Warna 3.5 1.7 2.6 1.6 2.8 Aroma 2.9 2.1 3.1 1.5 2.3 Tekstur 3.6 1.8 4.0 1.9 3.9 Kenampakan 3.6 1.6 3.0 1.6 2.7 Overall 3.0 1.8 3.0 1.6 2.5 Nilai yang berada di bawah 4 menunjukkan tempe sudah tidak dapat diterima oleh panelis Penyimpanan tempe pada suhu rendah menunjukkan penurunan kualitas sensori yang lebih lambat dibandingkan penyimpanan pada suhu ruang. Hasil ini dipertegas oleh Shurtleff dan Aoyagi 1979 yang melakukan penyimpanan suhu dingin yang dapat memperpanjang umur simpan tempe hingga satu minggu. Kerusakan mutu yang paling cepat pada penyimpanan suhu rendah terjadi pada 21 atribut warna dan aroma. Hal tersebut terjadi karena hasil aktivitas kapang dan aktivitas enzim proteolitik yang dihasilkan kapang. Pada Tabel 9 terlihat bahwa tempe dari kedelai Lokal 1 dan Lokal 3 memiliki masa simpan yang sama dengan tempe dari kedelai Impor 1 yaitu mencapai 7 hari pada suhu refrigerator. Tempe yang mengalami kerusakan paling cepat adalah tempe yang dihasilkan dari kedelai Impor 2 dengan masa simpan hanya mencapai 3 hari pada suhu rendah. 4 KESIMPULAN

4.1 Kesimpulan

Kedelai Lokal 1 memiliki ukuran yang sama dengan kedelai impor. Kedelai yang memiliki pengembangan biji terbesar adalah varietas Lokal 2, dan yang memiliki impuritas terendah adalah varietas Lokal 3. Kedelai lokal 1 memiliki kadar air yang sama dengan kedelai Impor 2, kadar lemak yang sama dengan kedelai Impor 1, dan kadar karbohidrat yang sama dengan kedelai Impor 1 dan Impor 2. Baik kedelai impor maupun lokal memiliki kandungan protein yang sama. Varietas kedelai tidak berpengaruh nyata terhadap rendemen tempe yang dihasilkan. Tempe dari kedelai Lokal 1 memiliki efektivitas biaya yang paling tinggi. Tempe yang dihasilkan dari kedelai Lokal 1 memiliki kadar air, protein, dan lemak yang sama dengan tempe yang dihasilkan dari kedelai impor. Varietas kedelai tidak berpengaruh nyata terhadap kapasitas antioksidan tempe, yaitu berkisar 186-191 mg AEACkg. Berdasarkan uji sensori pada tempe mentah dan tempe goreng, secara keseluruhan tempe dari kedelai lokal memperoleh tingkat kesukaan yang samadengan tempe dari kedelai impor. Apabila disimpan pada suhu ruang, tempe dari kedelai Impor 1 memiliki masa simpan hingga 3 hari, tempe dari kedelai Lokal 1dan Lokal 2 memiliki masa simpan mencapai 2 hari, dan tempe dari kedelai Impor 1 dan Lokal 3 memiliki masa simpan hanya satu hari. Apabila disimpan pada suhu rendah, masa simpan tempe Lokal 1 dan Lokal 3 setara dengan tempe Impor 1 yaitu mencapai 7 hari.

4.2 Saran

Varietas kedelai Lokal 1 dan tempe yang dihasilkannya memiliki kualitas fisik, sensori, dan komposisi kimia yang sama dengan tempe yang dihasilkan dari kedelai impor dan memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan sebagai bahan baku dalam proses pembuatan tempe. Oleh karena itu, diharapkan pemerintah mampu mendorong petani agar meningkatkan produksi kedelai dalam negeri khususnya varietas Lokal 1 dan mengedukasi pengrajin tempe untuk menggunakan kedelai varietas Lokal 1 sebagai bahan baku pembuatan tempe. Namun, perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai bioavailabilitas protein dan komponen lain secara in vivo. Selain itu, perlu adanya penelitian lanjutan mengenai komponen flavor yang ada dalam tempe dari kedelai impor dan kedelai lokal. 22 5 DAFTAR PUSTAKA AdawiyahDR, Waysima. 2009. Buku Ajar Evaluasi Sensori Produk Pangan. ed ke-1. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. [AGBIOS]. 2004. GM Database. [internet] [Diacu 2013 Juni 8] Tersedia dari:http:www.agbios.com. [Anonim]. 2008. Mutu Kedelai Nasional Lebih Baik dari Kedelai Impor. Jakarta ID: Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Antarlina SS, Utomo JS, Ginting E, and Nikkuni S. 2002.Evaluation of Indonesian soybean varieties for food processing.p. 58−68.InA.A. Rahmianna and S. Nikkuni, editor.Soybean Production and Postharvest Technology for Innovation in Indonesia.Proceedings of RILET- JIRCAS Workshop on Soybean Research; 2000 September 28; Malang, Indonesia. [AOAC] Association of Official Analytical Chemistry. 2005. Official Method of Analysis. Association of Official Analytical Chemistry. Washington DC US: AOAC. AspNG, Johanson CG, Halmer H, and Siljestrom M. 1983.Rapid Enzymatic Assayof Insoluble and Soluble Dietary Fiber.J Agric Food Chem. 311: 476 – 482. Astuti M, Andreanyta M, Dalais SF, Wahlqvist ML. 2000. Tempe, a Nutritious and Healthy Food from Indonesia. Asia Pacific J Clin Nutr. 94: 322-325. BabuDP,Bhakyaraj R, and Vidhyalakshmi R. 2009. A Low Cost Nutritious Food “Tempeh” [review]. World J Dairy and Food Sci. 41: 22-27, 2009. [BALITKABI] Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. 2008. Deskripsi Varietas Unggul Kacang-kacangan dan Umbi-umbian.Malang ID: BALITKABI. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Kedelai. Jakarta ID: Badan Pusat Statistik. Bavia ACL, Silva CE, Ferreira MP, Leite RS, Mandarino JMG, and Carrao- Panizzi MC. 2012. Chemical Composition of Tempeh from Soybeans Cultivars Specially Developed for Human Consumption. Cienc Tecnol Aliment. 323: 613-620. Cahyadi W. 2006.Kedelai Khasiat dan Teknologi. Jakarta ID: PT. Bumi aksara. [Deptan]Departemen Pertanian. 2008. Deskripsi Varietas Unggul Kedelai Tahun 1918-2008. Jakarta ID: Departemen Pertanian RI. Feng XM, Larsen TO, Schnurer J. 2006. Production of Volatile Compounds by Rhizopus oligosporus during soybean and barley tempeh fermentation.IntJ Food Microbiol.113 1: 133-141. Fennema OR ed.. 1996. Food Chemistry Third Edition. New York:Marcel Dekker, Inc. Ferreira M. 2011. Changes in the Isoflavone Profile and in the Chemical Composition of Tempeh During Processing and Refrigeration. Pesq Agropec Bras. 4611: 1555-1561. Haldeman C. 2008. ISTA and biotechGM crops.Seed Test Int. Zürichstrasse. Switzerland. 1361: 3-5. 23 Haron H, Ismail A, Azlan A, Shahar S, and Peng LS. 2009. Daidzein and genestein contents in tempeh and selected soyproducts. J Food Chem. 1151: 1350‑1356. Hermana, Karmini M, Karyadi D. 1996. Komposisi dan nilai gizi tempe serta manfaatnya dalam peningkatan mutu gizi makanan. Dalam: Sapuan, Soetrisno N editor. Bunga Rampai Tempe Indonesia. Yayasan Tempe Indonesia, Jakarta, hal 61-66. Hsu YL, Jin WC, and Daniel YCS. 2001. Detection of Genetically Modified Soybeans by PCR Method and Immunoassay Kits. J Food and Drug Analysis.93:160-166. Krisdiana R. 2005. Preferensi industri tahu dan tempe dalam menggunakan bahan baku kedelai di Jawa Timur. Malang ID: Balitkabi. Kubo I, Masuoka N, Xiao P, Haraguchi H. 2002. Antioxidant Activity of Dodecyl Gallate.J Agric Food Chem. 50 1: 3533-3539. Liu KS. 1997. Soybeans: Chemistry, Technology, and Utilization. New York: Chapman and Hall Moraes RMA, Jose IC, Ramos FG, Barros EG, Moreira MA.2006. Biochemical Charac teristics of Soybean’s Protein.Pesq Agropec Bras.411: 725‑729. Mugendi JB, Njagi EM, Kuria EN, Mwasaru MA, Mureithi JG, and Apostolides Z. 2010. Nutritional quality and physicochemical properties of mucuna bean Mucuna pruriens L. protein isolates. Int Food Res J.171: 357-366. Nakajima N, Nozaki N, Ishihara K, Ishikawa A, Tsuji H. 2005. Analysis of Isoflavone Content in Tempeh, a Fermented Soybean, and Preparation of a New Isoflavone-Enriched Tempeh.J Biosci and Eng 1006: 685-689. Nout, MJR, and Kiers JL. 2005. Tempeh Fermentation, Innovation, and Functionality: Update Info the Third Millenium. J App Microbiol. 981: 789-805. NuraidaL, Suliantari, Andarwulan N, Adawiyah DR, Noviar R and Denny A. 2005. Evaluation of Soybean Varieties on Production and Quality of Tempe. Southeast Asian Food and Agricultural Science and Technology SEAFAST Center, Bogor Agricultural University, Bogor. Pokorny J, Yanihlieva N, Gordon M. 2001.Antioxidants in Food. Cambridge: CRC press. Woodhead publishing limited. Rahayu K. 2004. Industrialization of tempe fermentation. In KH Steinkraus ed. Industrialization of Indigenous Fermented Foods. 2 nd Edition. New York: Marcel Dekker, Inc. Rosalina. 2011. Swasembada Kedelai Terancam Gagal [internet] [diacu 2013 Juni 8] Tersedia dari:http:www.tempo.coreadnews20110721090347618swasembada- kedelai-terancam-gagal. Shurtlef W and Aoyagi A. 1979.The Book of Tempe. New York: Harper Row. [SNI] Standar Nasional Indonesia. 1992. Pedoman Umum Analisis Komponen Pangan. Jakarta ID: Badan Standarisasi Nasional. [SNI] Standar Nasional Indonesia. 1995. SNI Nomor 01-3922 tahun 1995 tentang Kedelai. Jakarta ID: Badan Standarisasi Nasional. [SNI] Standar Nasional Indonesia. 2009. SNI Nomor 3144 tahun 2009 tentang Tempe Kedelai. Jakarta ID: Badan Standarisasi Nasional.