BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pisang dan plantain Musa spp merupakan tanaman pangan yang ditumbuhkan dan dikonsumsi oleh lebih dari 100 negara di daerah tropis dan
subtropis INIBAP 2000. Di Indonesia pisang dan plantain merupakan komoditas buah tropika yang perlu dikembangkan
selain manggis, nenas dan pepaya yang dicanangkan oleh Kemetrian Riset dan Teknologi berdasarkan pertimbangan bahwa
komoditas buah tropika tersebut berorientasi kerakyatan, yang mampu menjadi leverage factor
bagi peningkatan kesejahteraan petani, kecil kemungkinan diimpor secara segar, kualitas produk masih perlu ditingkatkan untuk memenuhi standar
konsumen, dapat diterima luas di pasar domestik, dan memiliki potensi di pasar dunia.
Kultivar-kultivar pisang yang dikonsumsi secara alami berkembang dari species Musa acuminata genom A dan Musa balbisiana genom B. Kultivar
diploid AA dan AB, triploid AAA, AAB, ABB dan tetraploid AAAA, AAAB, AABB atau ABBB, berasal dari hibrida di antara kedua species tersebut, dan di
antara 9 subspecies Musa acuminata Moore et al. 2001; Ploetz et al. 2003; 2007. Kedua species alami dan hibrida kompleks ini menghasilkan kombinasi jenis
pisang yang dikonsumsi saat ini. Kultivar pisang dikelompokkan ke dalam dua tipe, yaitu jenis pisang meja dessert type yang dikonsumsi tanpa dimasak terlebih
dahulu, dan jenis pisang olahan cooking type yang dimasak terlebih dahulu sebelum dikonsumsi Valmayor et al. 2000; Pillay et al. 2004; Heslop-Harisson
Schwarzacher 2007. Produksi pisang meja atau pisang manis diperkirakan mencakup 43 dari total produksi pisang di seluruh dunia, sedangkan pisang
olahan diperkirakan mencakup 57 Valmayor et al. 2000. Pisang Musa acuminata, genom AAA, subgrup non-Cavendish cv.
Ampyang merupakan jenis pisang meja, selain di Indonesia pisang ini hanya terdapat di Malaysia cv. Amping dan Filipina cv. Amo Valmayor et al. 2000.
Di Indonesia diperkirakan sekitar 200 kultivar pisang lokal dan varietas liar telah ditanam di hampir seluruh area pada ketinggian yang berbeda dan pada berbagai
jenis tanah, baik ditanam di pekarangan rumah maupun di perkebunan pisang, terutama di daerah Sumatra Barat Nasir et al. 1999. Lahan yang tersedia untuk
tanaman pisang di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Papua sebesar 20.000.000 ha Nasir et al. 2003. Pada saat ini penurunan produktivitas dan kualitas pisang
disebagian besar kebun pekarangan, perkebunan tradisional dan perkebunan komersial di berbagai daerah di Jawa, Sumatra dan Sulawesi sebagian besar
dikarenakan adanya penyakit layu Fusarium yang disebabkan oleh cendawan Fusarium oxysporum
f.sp. cubense Foc. Penyakit layu Fusarium pada pisang disebabkan oleh cendawan tular tanah
Fusarium oxysporum Schlecht. f.sp. cubense E. F. Smith Snyder and Hansen
Foc, dikenal juga dengan nama Panama disease, atau ’penyakit layu kuning’. Patogen tumbuhan ini menyerang jaringan vaskuler, dan sangat berperan dalam
sejumlah kerusakan pada tanaman pisang dan plantain. Pengendalian yang efektif dan berkelanjutan merupakan salah satu topik yang paling penting dalam bidang
pertanian saat ini. Cendawan Foc pertama kali dilaporkan di Indonesia pada tahun 1916 dari perkebunan pisang di Pulau Jawa Nasir et al. 1999, dan penyebaran
penyakit ini berkembang secara eksponensial 32.2 setelah 4 tahun Lee et al. 2001. Hilangnya eksport komoditas pada kultivar-kultivar komersial, seperti pada
pisang Cavendish di Sumatera Selatan dapat mencapai 70, di Sumatra Utara lebih dari 1000 ha perkebunan komersial pisang rusak dalam waktu tiga tahun, dan
sebagian besar kerusakan pada kebun pekarangan, perkebunan tradisional dan perkebunan komersial tersebut disebabkan oleh serangan cendawan Fusarium
oxysporum f.sp. cubense. Di propinsi Riau, 3000 ha perkebunan Cavendish seharga
US 2.5 juta, di Halmahera 3000 ha dan Lampung 1700 ha telah diserang oleh Foc ras 4 Nasir et al. 2003, secara umum penyakit layu Fusarium dimasa depan dapat
menjadi epidemik di perkebunan-perkebunan di Sumatra dan di Indonesia Nasir et al.
1999; Moore et al. 2000. Pengendalian penyakit layu Fusarium pada pisang secara kimiawi dengan
menggunakan fumigan pada tanah, rotasi tanaman, pemberian substansi organik untuk meningkatkan kondisi kimiawi tanah, saat ini tampaknya bukan suatu
metode pengendalian yang efektif dan ekonomis Moore et al. 2001; Daly Walduck 2006, karena teknik tersebut tidak mampu mengendalikan penyakit
dalam periode yang lama, demikian pula pengendalian dengan biopestisida dan pestisida nabati hanya menekan penurunan penyakit sebesar 26-50 Suastika
Kamandalu 2005 .
Meskipun dijumpai kultivar pisang yang resisten terhadap
penyakit ini, transfer gen-gen resisten ke dalam varietas yang rentan dengan persilangan konvensional sangat sulit karena sifat triploid kultivar pisang dan
produksi biji yang rendah Matsumoto et al. 1999; De Ascensao Dubery 2000; Hwang Ko 2004. Teknik persilangan konvensional juga diketahui memiliki
tingkat keberhasilan yang rendah Companioni et al. 2003; 2006 dan membutuhkan waktu yang lama, sehingga prospek pengendalian penyakit pisang
sangat bergantung pada tersedianya kultivar-kultivar inang yang resisten Moore et al.
2001; Hwang Ko 2004. Pisang dan plantain Musa spp diperbanyak secara vegetatif melalui
suckers atau potongan rhizome, dan sebagian besar pisang yang dikonsumsi
bersifat triploid, steril, dan partenokarpi serta membutuhkan waktu generasi yang panjang dalam siklus vegetatifnya, sehingga metode pemuliaan secara
konvensional sulit dilakukan Musoke et al. 1999; Valmayor et al. 2000; Hwang Ko 2004, Suprasana et al. 2008. Pada banyak tanaman yang diperbanyak secara
vegetatif, induksi mutasi yang dikombinasikan dengan teknik kultur in vitro merupakan suatu metode yang efektif untuk peningkatan keragaman suatu tanaman
Novak Brunner 1992; Roux 2004, sangat efektif untuk peningkatkan sumber genetik alami, dan secara signifikan mampu mendukung pengembangan kultivar-
kultivar tanaman buah IAEA 2009. Agen mutagenik seperti iradiasi dan beberapa bahan kimia seperti EMS dapat digunakan untuk mutasi induksi dan menghasilkan
variasi genetik dimana mutan-mutan yang diinginkan kemungkinan dapat diseleksi Novak Brunner 1992; IAEA 2009.
Induksi mutasi secara in vitro untuk mendapatkan varian somaklonal yang dilanjutkan dengan seleksi in vitro untuk mendapatkan tanaman-tanaman pisang
yang resisten terhadap layu Fusarium merupakan metode alternatif yang telah digunakan pada beberapa jenis pisang meja lainnya, antara lain pada pisang cv.
Highgate M. acuminata, AAA, subgrup Gros Michel Bhaghwat Duncan 1998, pisang cv. Ambon Kuning M. acuminata, AAA, subgrup Gros Michel
Sutarto et al. 1998; Mariska et al. 2006, cv. Maca Musa spp., AAB, subgrup Silk Matsumoto et al. 1999, pisang cv. Cavendish M. acuminata, AAA, subgrup
Cavendish Hwang Ko 2004, cv. Dwarf Parfitt Musa spp, AAA, subgrup Cavendish Smith et al. 2006, cv. Rajabulu Musa spp, AAB, subgrup Pisang
Raja Lestari et al. 2009.
Pendekatan Masalah
Penyakit layu Fusarium yang disebabkan oleh cendawan Fusarium oxysporum
f.sp. cubense Foc menyerang sebagian besar pertanian pisang dan plantain
Musa spp. di Indonesia. Pengendalian patogen secara kimiawi maupun hayati sulit dilakukan, karena cendawan ini dapat bertahan hidup secara saprofit
dalam tanah sebagai mycelium atau sebagai chlamydospora tanpa adanya inang, serta mampu bertahan hidup pada tanah dalam jangka waktu yang lama Agrios
2005, sehingga penyediaan kultivar-kultivar pisang yang resisten terhadap layu Fusarium
merupakan suatu alternatif yang penting untuk dilakukan. Usaha penyediaan kultivar yang resisten terhadap penyakit layu Fusarium
memiliki kendala berupa sulitnya diperoleh keragaman genetik pada kultivar- kultivar pisang, karena tanaman ini diperbanyak secara vegetatif klonal.
Peningkatan keragaman pada tanaman akan dilakukan melalui pendekatan secara in vitro
, melalui induksi tunas pisang aseptis dengan sinar gamma γ agar diperoleh
varian somaklonal serta melalui teknik subkultur berulang untuk meningkatkan kemungkinan perolehan varian dan kestabilan karakter varian. Peningkatan variasi
somaklonal perlu dilakukan untuk menjamin ketersediaan plasma nutfah yang akan digunakan untuk seleksi in vitro ketahanan tanaman terhadap penyakit. Identifikasi
fenotipik varian tanaman hasil induksi mutasi dengan sinar gamma di rumah kaca dan di lapangan dilakukan untuk memperoleh tanaman pisang dengan keragaman
genetik yang tinggi, sehingga dari percobaan ini diperoleh tanaman pisang Musa acuminta
, AAA cv. Ampyang yang memiliki karakter agronomis yang diinginkan. Sistem seleksi secara in vitro untuk resistensi terhadap layu Fusarium telah
dideskripsikan untuk tanaman pisang dan plantain, namun tanaman pisang terdiri dari banyak kultivar dengan genotipe yang berbeda, dan kemungkinan besar
memiliki karakteristik ketahanan yang berbeda. Demikian pula cendawan Foc isolat Banyuwangi merupakan isolat yang menyerang abaka Musa textilis Nee,
sehingga pengujian awal untuk mengetahui patogenitas dan virulensi Foc isolat Banyuwangi terhadap pisang cv. Ampyang secara in vitro dan ex vitro, serta
pengujian efektivitas Foc isolat ini sebagai agen penyeleksi tetap diperlukan. Pengujian metode seleksi dan kerapatan suspensi konidia Foc yang efektif
untuk menginfeksi tanaman pisang dilakukan agar diperoleh metode inokulasi dan kerapatan konidia yang tepat yang dapat digunakan untuk evaluasi ketahanan
tanaman terhadap layu Fusarium di rumah kaca, sehingga terhindar dari penarikan kesimpulan yang salah. Identifikasi resistensi klon-klon varian yang berasal dari
hasil mutasi induksi yang dilanjutkan dengan seleksi in vitro dilakukan di rumah kaca, dan identifikasi resistensi klon varian yang berasal dari hasil mutasi induksi
tanpa tahapan seleksi in vitro dilakukan melalui pendekatan secara agronomis di rumah kaca dan di lapangan. Serangkaian percobaan ini diharapkan dapat
memberikan kontribusi yang paling relevan dalam penyediaan benih pisang yang resisten atau meningkat resistensinya terhadap penyakit layu Fusarium.
Tujuan Umum Penelitian:
1. Meningkatkan keragaman tanaman pisang Musa acuminata, AAA cv. Ampyang melalui teknik mutasi induksi dengan iradiasi gamma secara in vitro.
2. Mendapatkan klon-klon dari kultivar pisang Musa acuminata, AAA cv. Ampyang yang resistensi terhadap layu Fusarium yang disebabkan oleh
cendawan Fusarium oxysporum f.sp. cubense.
Manfaat Penelitian
1. Penentuan kisaranan dosis letal LD
20-50
pisang cv. Ampyang Musa acuminata, AAA, subgrup non-Cavendish yang dapat menjadi acuan untuk menginduksi
mutasi pada pisang kultivar lainnya dengan genom AAA. 2. Diperoleh parameter untuk mengidentifikasi keragaman fenotipik tanaman
secara kuantitatif dan kualitatif, dan prosedur baku untuk mendapatkan tanaman pisang yang resisten terhadap penyakit layu Fusarium.
3. Perolehan klon-klon yang dapat digunakan sebagai plasma nutfah tanaman pisang cv. Ampyang resisten layu Fusarium dan potensi pengembangan
tanaman pisang secara klonal.
Hipotesis.
1. Teknik mutasi induksi melalui pemberian berbagai dosis iradiasi gamma dapat meningkatkan keragaman tanaman pisang cv. Ampyang.
2. Perolehan klon-klon tanaman pisang resisten layu Fusarium dapat diperoleh melalui teknik mutasi induksi yang dilanjutkan dengan seleksi in vitro, atau
teknik mutasi induksi tanpa tahapan seleksi in vitro
Ruang Lingkup Penelitian
Tujian akhir dari penelitian ini adalah mendapatkan klon tanaman pisang cv. Ampyang dengan keragaman yang tinggi dan resisten penyakit layu Fusarium.
Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan serangkaian percobaan yang meliputi:
I. RADIOSENSITIVITAS PISANG cv. AMPYANG DAN POTENSI PENGGUNAAN IRADIASI GAMMA UNTUK INDUKSI VARIAN
Percobaan 1. Radiosensitivitas tunas pisang terhadap iradiasi gamma. Percobaan 2. Regenerasi tunas dan identifikasi fenotipik plantlet pisang
hasil iradiasi gamma.
II. EVALUASI KERAGAMAN FENOTIPIK PADA
PISANG cv.
AMPYANG HASIL MUTASI INDUKSI DENGAN IRADIASI GAMMA
Percobaan 3. Evaluasi di rumah kaca terhadap keragaman fenotipik tanaman pisang.
Percobaan 4. Evaluasi di lapangan terhadap keragaman fenotipik tanaman
pisang.
III. VIRULENSI F. oxysporum f.sp. cubense ISOLAT BANYUWANGI
UNTUK IDENTIFIKASI KETAHANAN PISANG cv. AMPYANG TERHADAP LAYU
FUSARIUM
Percobaan 5. Uji virulensi Foc isolat Banyuwangi dengan metode kultur
ganda secara in vitro. Percobaan 6.
Evaluasi virulensi Foc isolat Banyuwangi dan efektivitas metode uji ketahanan pisang cv. Ampyang terhadap layu
Fusarium .
IV. SELEKSI IN VITRO UNTUK MENDAPATKAN PLANTLET PISANG
cv. AMPYANG HASIL IRADIASI GAMMA INSENSITIF FILTRAT KULTUR
F. oxysporum f.sp. cubense
Percobaan 7. Efektivitas filtrat kultur FK Foc isolat Banyuwangi sebagai agen penyeleksi.
Percobaan 8. Seleksi in vitro secara bertingkat tunas pisang cv. Ampyang
dengan FK Foc Percobaan 9.
Regenerasi dan aklimatisasi plantlet pisang insensitif FK Foc. V. KETAHANAN VARIAN PISANG
Musa acuminata, AAA cv. AMPYANG TERHADAP LAYU
FUSARIUM
Percobaan 10. Evaluasi ketahanan varian pisang cv. Ampyang hasil iradiasi gamma yang dilanjutkan dengan seleksi in vitro
terhadap layu Fusarium di rumah kaca. Percobaan 11. Evaluasi ketahanan varian pisang cv. Ampyang hasil iradiasi
gamma terhadap layu Fusarium di rumah kaca. Percobaan 12. Evaluasi ketahanan varian pisang cv. Ampyang hasil
iradiasi gamma terhadap layu Fusarium di lapangan.
Diagram Alir Strategi Penelitian. A.
Mutasi induksi untuk meningkatkan keragaman dan ketahanan tanaman
3. Eva lua si ke ra g a m a n fe no tip ik ta n. d i rum a h ka c a