Pengukuran Salinitas Analisis Salinitas dan Dampaknya terhadap Produktivitas Padi di Wilayah Pesisir Indramayu

surut sangat dipengaruhi oleh pergerakan air pasang dan mempunyai nilai salinitas yang bervariasi. Keadaan ini, seperti yang dijelaskan oleh Sipayung 2003, akan menghambat pertumbuhan akar, batang, dan luas daun karena adanya cekaman garam, yaitu ketidakseimbangan metabolik yang disebabkan oleh keracunan ion Na + dan kekurangan unsur hara N, P, dan K. Kekeringan merupakan sumber utama dari permasalahan salinitas khususnya di wilayah pesisir. Soemarno 2004 menyatakan apabila persediaan air tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan tanaman secara penuh, evapotranspirasi aktual Eta akan menurun di bawah evapotranspirasi maksimum Etm. Pada kondisi ini, akan berkembang stres air pada tanaman yang akan berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman. Pengurangan potensi air tanah yang terjadi di akuifer daerah pantai dapat menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan hidrostatis air tawar dan air asin. Bila tekanan hidrostatis air tawar berkurang maka terjadi intrusi air asin yang meningkatkan kadar garam pada akuifer. Penyerapan yang buruk merupakan salah satu faktor penyebab salinisasi. Cepat lambatnya perkolasi air tanah sangat dipengaruhi oleh jenis tanah. Tekstur tanah yang halus memiliki pori-pori yang kecil sehingga evaporasi rendah dan penyerapan akan menjadi sulit. Akibat lambatnya perkolasi tanah, air yang menguap dari dalam tanah akan menarik air tanah yang melarutkan garam ke atas, sehingga pada saat menguap akan membentuk kerak bermuatan garam di permukaan tanah yang sering disebut kristal garam. Darmawidjaya dalam Santoso, 1993. Salinitas dikombinasikan dengan irigasi dan kondisi drainase yang buruk, dapat mengakibatkan hilangnya kesuburan tanah secara permanen FAO, 2005.

2.4 Pengukuran Salinitas

Salinitas tanah dapat diketahui dengan 2 cara, yaitu dengan mengukur daya hantar listrik DHL atau Electrical Conductivity EC atau dengan mengambil sampel pasta tanah yang kemudian diuji pada laboratorium. ECa dapat diukur dengan metode induksi elektromagnetik menggunakan alat EM38. Metode EM induktif adalah salah satu teknik geofisika permukaan non destruktif yang digunakan untuk mengukur konduktivitas bawah permukaan tanah, batuan, dan air tanah. Metode ini merupakan metode aktif karena menggunakan sumber medan EM terkontrol. Pengukuran dapat dilakukan tanpa elektroda maupun kontak dengan tanah, sehingga survei sangat memungkinkan dilakukan untuk beragam daerah geologi termasuk daerah dengan resistivitas permukaan yang tinggi seperti pasir, aspal, kerikil, tetapi biasanya metode ini digunakan untuk eksplorasi dangkal Telford, 1990. Pada umumnya sensor EM induksi terdiri dari dua bagian utama yaitu koil transmiter dan koil receiver. Transmiter koil yang dialiri arus bolak balik akan memancarkan medan EM primer ke segala arah, sebagian dari medan elektromagnetik ini menembus bumi dan akan berinteraksi dengan material bumi. Material yang bersifat konduktif akan terinduksi oleh medan tersebut, dan menimbulkan arus Eddy telluric current. Arus ini kemudian membangkitkan medan elektromagnetik sekunder yang akan dipancarkan kembali ke segala arah. Kuat lemahnya arus Eddy dan medan elektromagnetik sekunder bergantung pada sifat konduktif dari material bumi, semakin tinggi konduktivitas material semakin kuat arus dan medan sekunder yang mampu dibangkitkan. Sesampai di permukaan bumi, medan sekunder kemudian ditangkap oleh koil receiver sebagai data. Koil receiver akan menerima baik medan primer maupun medan sekunder, yang dibedakan berdasarkan fasenya. Perbedaan medan resultan terhadap medan primer akan memberikan informasi mengenai geometri, ukuran, dan sifat kelistrikan dari konduktor bawah permukaan. Sebagian besar sensor EM induktif bekerja pada domain frekuensi dan dikembangkan dengan sistem sounding geometri tetap. Sensor terdiri dari dua buah koil, berfungsi sebagai transmiter dan receiver yang terpisah pada jarak tertentu. Jarak kedua koil tersebut menjadi salah satu variabel dalam menentukan nilai konduktivitas tanah. Pengoperasian alat diatur pada satu nilai frekuensi tertentu, yang telah disesuaikan dengan target kedalaman yang dapat dijangkau oleh alat. EM 38 dengan frekuensi arus 14.6 kHz jarak koil 1 m, sensitif hingga kedalaman 0.4 m pada mode horisontal coplanar Simpson et al.,2009. Alat ini dapat digunakan untuk mengukur salinitas tanah di lapangan secara cepat. Semakin tinggi elektrolit dalam tanah, menandakan jumlah garam juga semakin meningkat. EM38 akan menangkap besaran konduktivitas elektrik di dalam tanah untuk dapat menentukan kadar garamnya. Alat EM38 juga digunakan di propinsi NAD untuk memantau perubahan tingkat salinitas tanah di 20 lokasi di daerah yang terkena tsunami. Dua tipe pengukuran dengan EM38 adalah pengukuran secara rebah horizontal dan tegak vertikal. Perbandingan nilai dari kedua cara pengukuran tersebut dapat digunakan untuk memperkirakan sejauh mana garam telah terinfiltrasi masuk kedalam tanah. Dua posisi tersebut menghasilkan dua hasil pengukuran yaitu EMv vertikal pada posisi alat tegak, yang mampu mengidentifikasi konduktifitas hidraulik hingga kedalaman 1,5 m. Sedangkan posisi alat rebah menghasilkan nilai EMh horizontal yang mampu mengidentifikasi konduktifitas hidraulik hingga kedalaman 0,5 m. Hasil pengukuran salinitas tanah dengan EM38 dipengaruhi oleh berbagai faktor, terutama tekstur tanah. Berdasarkan hal tersebut, menurut Irhas dan M. Nasir 2010, interpretasi hasil dari pengukuran menggunakan EM38 ini harus disesuaikan dengan tekstur tanah yang diukur. Berikut merupakan tingkat salinitas tanah pada berbagai tekstur tanah. Tabel 2 Klasifikasi nilai salinitas berdasarkan tekstur tanah sumber : McKenzie, 1988

2.5 Toleransi tanaman terhadap salinitas