Salinitas Analisis Salinitas dan Dampaknya terhadap Produktivitas Padi di Wilayah Pesisir Indramayu

kesepakatan dalam penentuan batas wilayah pesisir menurut garis tegak lurus dari garis pantai. Hal ini menyebabkan batas wilayah pesisir pada tiap-tiap negara berbeda-beda karena karakteristik lingkungan, sumber daya dan sistem penetapan batasnya tidak sama. Namun demikian, dengan meggunakan definisi tersebut, ekosistem pesisir dapat dikatakan sebagai ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekayaan habitat yang beragam, di darat maupun di laut, serta saling berinteraksi satu dengan yang lain. Wilayah pesisir kabupaten Indramayu terdiri atas pantai pasir berlumpur, kawasan hutan mangrove dan estuaria serta pantai berpasir. Daerah terumbu karang tidak dijumpai di daerah pesisir Indramayu. Pemakaian lahannya sebagian besar digunakan untuk pertambakan, pemukiman, ladang dan industri. Marwanto dkk 2009 menyatakan bahwa wilayah Indramayu pada penelitian bulan Januari 2009 memiliki nilai ECe yang bervariasi antara 0,03-12,91 dsm, dengan rata-rata curah hujan bulanan 293 mm. Pengembangan usaha pertanian di wilayah pesisir merupakan salah satu bagian dari kebijaksanaan pemerintah untuk meningkatkan produksi pangan nasional. Namun, pengembangan yang dilakukan pun harus sesuai dengan tetap memperhatikan aspek-aspek perlindungan lingkungan sehingga tidak menimbulkan masalah- masalah lingkungan seperti pencemaran perairan, perubahan siklus air, dan meningkatnya laju sedimentasi. Pada wilayah pesisir, tidak dipungkiri bahwa perembesan air asin pasti terjadi dan berpengaruh besar terhadap kadar garam dalam tanah salinitas. Hal ini menyebabkan kegiatan- kegiatan yang berkaitan dengan usaha pertanian seperti pembuatan saluran irigasi serta drainase akan mempengaruhi pola tata air dan juga pertumbuhan tanaman. Pengaruh pada pola tata air meliputi aspek kualitas, volume, dan debit air. Pengurangan debit air sungai bagi keperluan irigasi dapat mengubah salinitas dan pola sirkulasi air di perairan pesisir seperti wilayah estuaria. Berkurangnya debit air sungai mengakibatkan jangkauan intrusi garam semakin jauh ke hulu sungai dan mempengaruhi tidak hanya ekosistem perairan pantai itu sendiri tetapi juga ekosistem daratan di sekitar perairan tersebut.

2.3 Salinitas

Salinitas tanah menunjukkan besar konsentrasi garam terlarut di dalam tanah Sembiring dan Gani, 2010. Lahan yang tanahnya memiliki salinitas tinggi disebut lahan salin. Lahan salin umumnya ditemui pada daerah yang dipengaruhi oleh pasang surut dan intrusi air asin lebih dari 3 bulan dalam setahun, dengan kandungan Na dalam tanah lebih dari 8 Aswidinnoor et al., 2008. Tanah yang salin dapat diukur berdasarkan daya hantar listrik DHL yang tergantung pada kadar garam yang terlarut dalam tanah. Berdasarkan daya hantar listriknya, Follet et al 1981 mengelompokkan tanah menjadi 3 yang dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Klasifikasi tanah berdasarkan DHL sumber : Rosita Sipayung, 2003 Garam-garam yang menimbulkan stres tanaman antara lain ialah NaCl, NaSO 4 , CaCl 2 , MgSO 4 , MgCl 2 yang terlarut dalam air Sipayung, 2003. Menurut Follet et al, 1981, tanah salin memiliki pH kurang dari 8,5 dengan daya hantar listrik lebih dari 4 mmhoscm. Hakim dkk 1986 menyatakan bahwa kandungan NaCl yang tinggi pada tanah salin menyebabkan rusaknya struktur tanah, sehingga aerasi dan permeabilitas tanah tersebut menjadi sangat rendah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan FAO pada tahun 2005, ciri-ciri tanah yang terkena salinitas adalah munculnya endapan liat atau butiran-butiran kristal garam yang terdapat di permukaan tanah. Keretakan adalah tanda yang jelas adanya endapan liat atau debu. Gambar 1 Keretakan pada tanah di lahan sawah Indramayu Sumber : Dokumentasi pribadi Salinitas adalah salah satu cekaman abiotik yang sangat mempengaruhi produktivitas dan kualitas tanaman khususnya di wilayah lahan pasang surut. Semakin besar jarak lahan terhadap sumber air garam, maka akan semakin besar pengaruhnya terhadap tanah S. Marwanto, 2009. Menurut Sembiring dan Gani 2010, lahan pasang surut sangat dipengaruhi oleh pergerakan air pasang dan mempunyai nilai salinitas yang bervariasi. Keadaan ini, seperti yang dijelaskan oleh Sipayung 2003, akan menghambat pertumbuhan akar, batang, dan luas daun karena adanya cekaman garam, yaitu ketidakseimbangan metabolik yang disebabkan oleh keracunan ion Na + dan kekurangan unsur hara N, P, dan K. Kekeringan merupakan sumber utama dari permasalahan salinitas khususnya di wilayah pesisir. Soemarno 2004 menyatakan apabila persediaan air tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan tanaman secara penuh, evapotranspirasi aktual Eta akan menurun di bawah evapotranspirasi maksimum Etm. Pada kondisi ini, akan berkembang stres air pada tanaman yang akan berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman. Pengurangan potensi air tanah yang terjadi di akuifer daerah pantai dapat menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan hidrostatis air tawar dan air asin. Bila tekanan hidrostatis air tawar berkurang maka terjadi intrusi air asin yang meningkatkan kadar garam pada akuifer. Penyerapan yang buruk merupakan salah satu faktor penyebab salinisasi. Cepat lambatnya perkolasi air tanah sangat dipengaruhi oleh jenis tanah. Tekstur tanah yang halus memiliki pori-pori yang kecil sehingga evaporasi rendah dan penyerapan akan menjadi sulit. Akibat lambatnya perkolasi tanah, air yang menguap dari dalam tanah akan menarik air tanah yang melarutkan garam ke atas, sehingga pada saat menguap akan membentuk kerak bermuatan garam di permukaan tanah yang sering disebut kristal garam. Darmawidjaya dalam Santoso, 1993. Salinitas dikombinasikan dengan irigasi dan kondisi drainase yang buruk, dapat mengakibatkan hilangnya kesuburan tanah secara permanen FAO, 2005.

2.4 Pengukuran Salinitas