sawah besar dan berdekatan dengan garis pantai. Data hasil pengumpulan dari lapangan dianalisis di
Laboratorium Klimatologi Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini ialah :
1. Kuesioner yang digunakan dalam survei untuk
mempelajari sistem usaha tani padi Lampiran 1
2. Data hujan harian dari 17 stasiun Gambar 9
untuk bulan Juli 2009, Oktober 2009, dan November 2010, yaitu bulan-bulan waktu
pengukuran salinitas 3.
EM38, alat untuk mengukur salinitas Gambar 10 diperlukan untuk analisis data
Gambar 9 Lokasi Stasiun Hujan di Indramayu sumber : Dinas Pertanian Indramayu,
2010
a
b Gambar 10 Alat EM38 untuk pengukuran salinitas
secara a horizontal b vertikal sumber : Dokumentasi pribadi
3.3 Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 11.
Tahap pertama ialah melakukan studi literatur tentang
kajian dampak
salinitas terhadap
pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi dan survei lapang SUT dengan menggunakan kuesioner
pada Lampiran 1. Tahap kedua ialah melakukan pengukuran
salinitas di kecamatan yang sudah dipilih pada beberapa titik pengamatan pada bulan November
2010. Titik pengamatan salinitas ditetapkan pada lokasi yang sama dengan lokasi tempat pengukuran
hasil ubinan padi yang dipanen pada bulan November 2010. Untuk mempelajari pengaruh
kondisi hujan terhadap salinitas, penelitian ini juga menggunakan data hasil pengukuran salinitas yang
dilakukan pada bulan Juli dan Oktober 2009 oleh Balai
Besar Sumberdaya
Lahan Pertanian-
Departemen Pertanian. Periode waktu pengambilan sampel ubinan dan salinitas dilakukan selama
periode pertumbuhan dan perkembangan tanaman Gambar 12.
Tahap ketiga ialah melakukan analisis data yang diperoleh dari Tahap 1 dan 2 untuk menyusun
peta sebaran kondisi salinitas dan hubungannya dengan kondisi hujan, menyusun persamaan
hubungan antara salinitas dengan hasil tanaman padi dan alternatif teknologi usahatani untuk
mengatasi masalah salinitas.
Gambar 11 Diagram Alir Penelitian
Gambar 12 Periode Waktu Pelaksanaan Kegiatan Penelitian
3.3.1 Survei Lapang
Survei lapang
terhadap SUT
padi dilakukan
dengan menggunakan
metode wawancara
mendalam In-depth
Intervew. Penggunaan metode ini didasarkan pada dua alas
an. Pertama, dengan wawancara, peneliti dapat menggali tidak saja apa yang diketahui dan dialami
petani, tetapi
juga memungkinkan
peneliti mendapat informasi lain yang dirasa penting.
Kedua, apa yang ditanyakan kepada petani bisa mencakup hal-hal yang bersifat lintas waktu, yang
berkaitan dengan masa lampau, masa sekarang, dan juga masa mendatang.
Responden yang dipilih dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode purposive
sampling atau pemilihan secara sengaja sebanyak 40 responden. Ketentuan responden yang dipilih
adalah petani-petani yang lahan sawahnya dipilih untuk pengukuran salinitas dan menjadi bahan
sampel ubinan. Setiap petani mewakili satu kelompok petani. Responden yang dipilih terdiri
dari petani dengan tipe pengairan lahan irigasi dan tadah hujan.
3.3.2 Metode Pengukuran Salinitas dan
Sampel Ubinan
Pengukuran salinitas dan hasil padi ubinan dilakukan pada bulan November 2010. Salinitas
diukur dengan alat EM-38, dengan dua kali pengukuran yaitu secara vertikal dan horizontal.
Pada satu titik pengamatan dilakukan pengambilan contoh sebanyak 10 kali baik secara
vertikal dan horizontal dan kemudian dihitung nilai rata-ratanya. Sedangkan data hasil padi diukur
dengan pengambilan sampel ubinan berukuran 2.5 x 2.5 meter. Banyak titik pengukuran salinitas dan
pengambilan contoh ubinan ialah sebanyak 32 titik Gambar 13.
3.3.3
Analisis Data
Analisis data dilakukan untuk mempelajari pola
sebaran kondisi
salinitas tanah
dan hubungannya dengan kondisi hujan dengan
menyusun data jumlah hujan dan banyak hari hujan dari semua stasiun hujan Gambar 9 dan data hasil
pengamatan salinitas pada semua titik pengamatan Gambar 13 selama periode pengamatan salinitas
ke dalam software Surfer 10. Software Surfer 10 selanjutnya
dijalankan dengan
menggunakan metode Kriging. Hasil dari proses ini adalah pola
sebaran salinitas dan juga pola sebaran tinggi hujan dan banyak hari hujan. Langkah berikutnya
dilakukan analisis visual untuk melihat hubungan antara pola sebaran salinitas dan kondisi hujan.
Selanjutnya untuk menyusun hubungan antara salinitas dan hasil tanaman, data hasil padi dari
pengukuran ubinan dan salinitas dianalisis dengan menggunakan teknik regresi. Bentuk-bentuk
hubungan yang diperoleh dari hasil kajian literatur digunakan sebagai referensi dalam menentukan
bentuk persamaan hubungan yang akan dibangun.
Gambar 13 Lokasi titik-titik pengamatan salinitas dan pengambilan sampel ubinan sumber : Balai Penelitian Tanah, 2010
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1
Pemetaan salinitas, curah hujan, dan jumlah hari hujan
Indramayu merupakan
salah satu
penghasil padi terbesar di Jawa Barat. Jenis persawahan yang ditemui di wilayah Indramayu
adalah sawah tadah hujan dan sawah irigasi. Letak Indramayu yang berbatasan langsung dengan laut
menimbulkan permasalahan salinitas yang sangat berpengaruh terhadap hasil produktivitas. Curah
hujan merupakan salah satu faktor yang berperan dalam situasi ini dikarenakan fungsinya sebagai
pencuci garam dalam tanah.
Pada bulan Juli 2009 curah hujan di wilayah Indramayu cenderung rendah dengan nilai
tertinggi adalah 6 mm pada stasiun Bulak dan Bangkir. Kecamatan yang dicakup adalah desa
Pamayahan, Bulak, Karangsinom, Soge, Muntur, Santing, dan sebagian wilayah Karanganyar. Nilai
terendahnya adalah tidak ada hujan pada stasiun Cikedung Sukadana, Tugu, Sumurwatu, Losarang,
Sudimampir Lor, Kedokan Bunder, dan Bondan. Stasiun-stasiun tersebut mencakup wilayah Selatan
Indramayu dan sebagian wilayah dekat laut seperti desa Brondong, Indramayu. Jumlah hari hujan
tertinggi terdapat pada wilayah stasiun Bangkir dan Cidempet yaitu selama 2 hari.
Pada Gambar 14 terlihat perbandingan antara 3 variabel yaitu curah hujan, jumlah hari
hujan, serta nilai salinitas. Perbandingan antara 3 variabel tersebut ditunjukkan dengan skala warna.
Warna merah menunjukkan curah hujan rendah, sedangkan warna biru menunjukkan curah hujan
tinggi. Demikian juga dengan jumlah hari hujan, warna merah menunjukkan intensitas hujan rendah
dan warna biru menunjukkan intensitas hujan tinggi. Variabel salinitas ditunjukkan dengan warna
merah yang didefinisikan sebagai wilayah rawan salinitas, serta warna biru yang didefinisikan
sebagai
wilayah dengan
salinitas rendah.
Berdasarkan Gambar 14, terlihat kesesuaian pola hubungan antara ketiga variabel tersebut.
Wilayah dengan curah hujan tinggi dan jumlah hari hujan yang banyak memiliki nilai
salinitas yang rendah, tepatnya di daerah Barat Laut Indramayu yang berbatasan langsung dengan laut.
Nilai salinitas yang tinggi terdapat pada Desa Brondong, Kecamatan Indramayu, dimana pada
wilayah tersebut jumlah hari hujannya banyak tetapi curah hujannya relatif rendah. Nilai
salinitasnya mencapai 10.54 dsm. Rendahnya curah hujan disertai dengan permasalah salinitas di
wilayah pesisir Indramayu mengakibatkan banyak kesulitan bagi petani. dimana mereka tidak dapat
menanam apapun di lahannya.
Selain itu juga, nilai salinitas yang rendah pada wilayah Barat Laut Indramayu Patrol,
Kandanghaur menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan dari lahan pertanian menjadi lahan garam
atau tambak. Bulan Juli merupakan puncak musim kemarau dengan rata-rata curah hujan bulanannya
kurang dari 2 mm. Menurut Soemarno 2004 apabila persediaan air tidak mencukupi untuk
memenuhi kebutuhan tanaman secara penuh, evapotranspirasi aktual Eta akan menurun di
bawah evapotranspirasi maksimum Etm. Pada kondisi ini, akan berkembang stres air di dalam
tanaman yang akan berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman.
Ketersediaan air yang kurang ditambah dengan jarak lahan yang dekat dengan laut
mengakibatkan turunnya tingkat kesuburan tanah di wilayah tersebut karena terkena salinitas. Masalah
utama yang dihadapi adalah keretakan pada lahan serta banyaknya kristal garam pada permukaan
tanah yang sangat terlihat jelas di sepanjang wilayah pesisir Indramayu pada bulan tersebut.
Pada bulan Oktober 2009, sebaran curah hujan di wilayah Indramayu didominasi oleh warna merah.
Nilai tertinggi yang tercatat adalah 41 mm pada stasiun Krangkeng dengan cakupan wilayah desa
Krangkeng, Kapringan, dan Kali Anyar.
Nilai terendahnya adalah tidak ada hari hujan yaitu pada stasiun Cikedung dengan cakupan
wilayah desa Loyang dan Cikedung Lor. Rata-rata curah hujan pada bulan Oktober 2009 adalah
sebesar 18 mm. Terdapat sedikit perbedaan antara curah hujan bulan Juli dengan bulan Oktober. Hal
tersebut juga berdampak pada produktivitas padi pada bulan-bulan terkait.
Jumlah hari hujan terbanyak adalah 4 hari tercatat pada wilayah Stasiun Bangkir, Cidempet,
dan Jatibarang. Sedangkan pada beberapa stasiun lainnya tidak turun hujan sama sekali. Tanaman
padi membutuhkan air untuk hidup. Variasi jumlah hari hujan ini juga dapat mengakibatkan fluktuasi
nilai produktivitas padi di wilayah Indramayu. Kesesuaian pola terlihat pada nilai salinitas yang
tinggi pada wilayah dengan intensitas hujan yang tinggi, tetapi curah hujannya rendah.
Menurut Sipayung 2003, kadar garam yang tinggi pada tanah menyebabkan terganggunya
pergerakan air dari tanah menuju akar, akibatnya tanaman akan kekurangan air, bahkan air dari
tanaman itu sendiri akan diserap oleh tanah, sehingga pertumbuhannya akan terhambat. Irigasi
dapat menjadi salah satu solusi yang baik untuk mengatasi hal tersebut karena air memiliki nilai pH
yang sangat netral sehingga dapat membantu proses pencucian garam pada lahan sehingga tanah dapat
berfungsi lebih maksimal. Lahan yang diairi dengan baik irigasi atau curah hujan akan dapat
mengurangi permasalahan salinitas.
Nilai salinitas tertinggi pada bulan Oktober tercatat sebesar 7.83 dsm, tepatnya pada
wilayah desa Brondong. Lahan persawahan di daerah ini sebagian terletak di pinggir sungai yang
mengarah ke laut. Tanpa adanya irigasi yang baik atau curah hujan yang tinggi, hal ini merupakan
Gambar 14 Pemetaan Sebaran Salinitas Tanah, Curah Hujan, dan Jumlah Hari Hujan di Indramayu sumber : Balai Penelitian Tanah dan Dinas Pertanian Indramayu, 2010
13
salah satu penyebab tingginya salinitas di wilayah tersebut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
Yadraf dan Ibrol 1988, angka tersebut termasuk kategori salinitas sedang. Sebaran salinitas pada
bulan Juli dan Oktober mengindikasikan hal yang sama, yaitu jarak antara laut dengan lahan pertanian
berpengaruh terhadap besar nilai salinitas tanah di wilayah tersebut. Semakin mendekati laut, nilai
salinitasnya menjadi lebih tinggi dan demikian pula sebaliknya.
Sebaran curah
hujan pada
bulan November 2010 didominasi dengan warna biru,
yang artinya pada bulan ini curah hujannya relatif tinggi, dengan rata-rata curah hujannya sebesar 268
mm. Curah hujan tertinggi terdapat pada wilayah Stasiun Sukadana dengan angka 325 mm.
Sedangkan curah hujan terendah terjadi di wilayah stasiun Lohbener dengan angka 37 mm. Jumlah
hari hujan pada bulan November juga termasuk tinggi, apabila dibandingkan pada bulan-bulan hasil
penelitian yang sebelumnya, yaitu Juli dan Oktober 2009.
Rata-rata jumlah hari hujan pada bulan November adalah 11 hari per stasiun dalam
sebulan. Jumlah hari hujan terbanyak terjadi di wilayah Jutinyuat selama 15 hari. Sedangkan angka
terendahnya terjadi di wilayah Lohbener dengan 4 hari kejadian hujan. Angka tersebut masih lebih
tinggi dari jumlah hari hujan di bulan Juli dan Oktober. Berkebalikan dengan curah hujan dan
jumlah hari hujannya, variabel salinitas didominasi oleh warna biru tua, yang berarti memiliki sebaran
dengan nilai yang rendah. Hal ini sangat sesuai, dikarenakan curah hujan serta jumlah hari hujan
yang tinggi dapat membantu proses pencucian garam di dalam tanah, sehingga tanah dapat
berfungsi lebih maksimal dan mengurangi angka salinitas di daerah tersebut. Akan tetapi, walaupun
perbedaan curah hujan pada bulan Juli dan Oktober 2009 sangat besar dibandingkan dengan curah
hujan bulan November 2010, nilai salinitas yang didapatkan dari hasil penelitian tidak menunjukkan
perbedaan yang signifikan.
Berdasarkan hasil pengamatan pada bulan November 2010, dapat diketahui bahwa semakin
mendekati laut, nilai salinitas cenderung akan meningkat, tetapi tidak dipungkiri bahwa banyak
faktor-faktor yang mempengaruhi selain daripada jaraknya terhadap laut, curah hujan, dan jumlah
hari hujan. Faktor tersebut antara lain jenis tanah yang dapat menyimpan kapasitas air lebih baik.
Tanah
dengan pori-pori
yang kecil
akan menghambat pergerakan air sehingga penyerapan
air dengan kandungan garam yang tinggi akan menjadi sulit. Selain itu faktor lain yang
menyebabkan hal tersebut adalah terjadinya konversi lahan di beberapa lokasi di Indramayu.
Lahan yang tadinya dialokasikan untuk kegiatan pertanian berubah menjadi lahan garam, tambak,
dan rawa-rawa. Salinitas memberikan pengaruh yang
besar pada saat musim kemarau. Pada musim kemarau, ketersediaan air tanah menurun sehingga
tanah menjadi kering. Kekeringan menyebabkan tanah mengalami keretakan, akibatnya intrusi air
asin dapat dengan mudah terjadi. Penyerapan air laut tersebut mengakibatkan akumulasi garam
sehingga
konsentrasi garam
dalam tanah
meningkat. Tanaman membutuhkan kandungan air yang cukup dalam tanah untuk dapat melakukan
pertumbuhan. Kondisi tanah dengan kapasitas air yang rendah serta akumulasi garam yang tinggi
menyebabkan
tanaman kesulitan
bertumbuh sehingga akan menyebabkan kematian.
Pengaruh curah hujan pada penurunan nilai salinitas terletak pada konsentrasi air yang
terserap ke dalam tanah. Curah hujan yang turun ke permukaan bumi memiliki pH yang hampir, atau
bisa diasumsikan, netral. Curah hujan yang jatuh ke bumi dan terserap ke dalam tanah akan berikatan
dengan kation-kation garam dalam tanah sehingga akan menurunkan konsentrasi garam di dalam
tanah.
4.2 Analisis hubungan produktivitas padi
dengan salinitas
Salinitas merupakan masalah utama pada lahan pertanian di wilayah pesisir. Permasalahan
tersebut berpengaruh terhadap hasil produktivitas padi di wilayah Indramayu. Mengetahui hal
tersebut, ada
juga petani
yang akhirnya
menkonversi lahannya menjadi lahan garam atau tambak. Kondisi ini merupakan bentuk adaptasi
dari sistem pertanian yang umumnya dilakukan di wilayah dataran rendah 650 mdpl dengan pH
tanah 4-7. Oleh sebab itu dibutuhkan perlakuan yang berbeda pada sistem usaha pertanian yang
diterapkan.
Sampel produksi panen yang diambil pada pengamatan akan menentukan banyaknya hasil
panen di wilayah pesisir Indramayu yang rentan terhadap bencana salinitas. Salinitas tanah yang
tinggi akan menurunkan hasil panen karena kadar garam tinggi dalam tanah akan menghambat aliran
air serta unsur hara dalam tanah. Hubungan produktivitas padi dan salinitas tersedia pada
Gambar 15. Berdasarkan diagram pada Gambar 15, terlihat bahwa hasil plot titik-titik tersebut
menyebar dan peningkatan salinitas tidak diikuti dengan
adanya perbedaan
nyata terhadap
produktivitas padi. Persamaan yang didapat adalah sebagai berikut.
y = -0.0608x + 3.1214
Persamaan yang didapat pada penelitian ini kurang berkesesuaian dengan persamaan yang
didapat oleh Grattan 2002 pada Gambar 8. Terdapat penurunan yang nyata pada produktivitas
padi seiring dengan bertambahnya nilai salinitas. Penurunan secara signifikan terjadi pada saat nilai
salinitas 8 menuju 9 dsm dengan penurunan produktivitas sebesar 70 . Sedangkan pada
diagram yang didapat dari hasil penelitian, sampai dengan nilai salinitas 7 dsm masih belum
ditemukan penurunan produktivitas padi secara signifikan.
Pada penelitian yang dilakukan Grattan 2002 terjadi penurunan produktivitas sebesar 40
pada nilai salinitas 6 dsm, berbeda dengan produktivitas padi yang didapat pada penelitian ini.
Produktivitas padi yang didapat dari penelitian ini hanya berkisar pada angka 2 kg sampai dengan 3
kg per 2.5 m
2
atau sekitar 4 tonha, walaupun nilai salinitasnya fluktuatif antara 1 sampai dengan 6
dsm. Gambar
16 menunjukkan
sebaran produktivitas padi di Indramayu selama bulan
November 2010. Sebaran ditunjukkan dengan skala warna, dengan warna hijau sebagai indikasi lahan
memiliki produktivitas yang baik sedangkan warna putih menunjukkan lahan memiliki produktivitas
kurang baik. Hasil produktivitas padi terbesar dicapai di desa Pamayahan dengan angka salinitas
1.85 dsm, yaitu 4.80 kgubinan. Sedangkan angka terendahnya ditunjukkan oleh area berwarna putih
pada Gambar 16 sebesar 0 kg pada angka salinitas 3.12 dsm, yaitu di Desa Losarang. Angka salinitas
tersebut
tergolong salinitas
rendah, namun
demikian lahan tidak menghasilkan sama sekali. Hal tersebut dikarenakan lahan yang tadinya
merupakan wilayah persawahan telah berubah fungsinya menjadi rawa-rawa sehingga tidak dapat
menghasilkan.
Konversi lahan juga terjadi di berbagai wilayah lain di Indramayu seperti di Patrol, yang
tadinya adalah lahan sawah berubah menjadi lahan garam dan tambak. Para petani yang pada akhirnya
menggarap sawah garam, karena dianggap lebih menguntungkan. Sawah garam banyak terdapat di
wilayah Indramayu, khususnya di daerah sepanjang pantai utara Jawa.
Pada wilayah lainnya, Desa Santing memiliki
angka produktivitas
sebesar 2.23
kgubinan dan nilai salinitas sebesar 5.51 dsm. Nilai salinitas sedang disertai curah hujan yang
rendah, akan membuat tanaman padi akan mengalami
kekurangan ketersediaan
air. Pertumbuhan tanaman akan terganggu, tanamannya
menjadi pendek dan bahkan sampai mati. Hal tersebut sangat merugikan petani sawah.
Berbeda dengan wilayah lainnya, terdapat satu titik yang menonjol diantara 32 titik yang
menjadi sampel penelitian, yaitu pada wilayah Brondong, sebesar 9.59 dsm. Pada angka ini,
salinitas sudah tergolong sangat tinggi dan secara teori dapat mengganggu pertumbuhan tanaman,
bahkan mematikan Follet et al, 1981. Tetapi yang Gambar 15 Hubungan Produktivitas Padi dan Salinitas pada bulan November 2010
terjadi adalah kebalikannya, pada saat angka salinitas mencapai 9.59 dsm, ternyata angka
produktivitasnya dapat mencapai 2.64 kgubinan. Hal ini tidak berkesesuaian dengan teori dimana
nilai salinitas berbanding terbalik dengan hasil produktivitas Grattan et al, 2002.
Berdasarkan data dari kuesioner, penyebab utamanya adalah jenis tanah serta irigasi yang baik.
Jenis tanah yang ada di wilayah Brondong merupakan jenis tanah yang dapat menyimpan
kapasitas air dengan lebih baik, sehingga lebih tahan terhadap ancaman salinitas. Penerapan irigasi
yang cukup baik juga sudah dilakukan di wilayah ini, sehingga hampir sebagian besar dari lahan
sawah di wilayah ini dapat terairi dengan baik. Wilayah Brondong memiliki angka salinitas yang
tergolong tinggi, tetapi dapat menjaga hasil produktivitasnya. .
Pada penelitian yang dilakukan oleh Grattan 2002 dan Motamed 2008, terjadi
penurunan hasil produktivitas padi yang nyata seiring dengan bertambahnya nilai salinitas. Jumlah
anakan yang lebih sedikit, tinggi tanaman yang lebih pendek, serta berkurangnya berat 100 bulir
padi menjadi pengaruh-pengaruh yang diakibatkan oleh salinitas. Hal ini tidak berkesesuaian dengan
penelitian yang dilakukan di Indramayu ini. Pada pengambilan hasil ubinan yang dilakukan pada
bulan November 2010, kenaikan nilai salinitas tidak
terlalu berpengaruh
terhadap hasil
produktivitas padi di wilayah tersebut. Nilai salinitas yang diamati pada penelitian ini mencapai
angka 9.59 dsm yang menurut klasifikasi besaran salinitas dan efeknya terhadap tanaman pada Tabel
3 Sipayung, 2003, hanya sedikit tanaman yang dapat bertahan.
Ketidaksesuaian yang
terjadi pada
penelitian ini salah satunya diakibatkan oleh faktor cuaca atau curah hujan, dimana pada bulan
November curah hujan relatif tinggi mencapai 325 mm, dengan jumlah hari hujan yang cukup banyak.
Curah hujan yang tinggi dapat membantu proses pencucian garam dalam tanah, sehingga tanaman
padi dapat menyerap unsur hara dengan lebih baik. Berdasarkan hasil survei yang dikumpulkan, sistem
irigasi pada sistem pertanian di Indramayu secara umum masih kurang memadai sehingga tidak
semua lahan sawah di Indramayu terairi dengan baik. Irigasi merupakan hal yang sangat penting
mengingat lokasi Indramayu yang berdekatan dengan laut, sehingga akan sulit mendapatkan air
dengan pH netral. Proses infiltrasi air laut menyebabkan air irigasi dengan kandungan garam
yang tinggi merembes ke dalam lahan, sehingga tanaman padi tidak dapat bertumbuh dengan baik.
Salah satu
komponen yang
juga mempengaruhi analisis hubungan ini adalah jenis
varietas padi yang digunakan oleh para petani di Indramayu. Tanaman padi bukan merupakan
tanaman halofita atau tanaman yang memiliki ketahanan tinggi terhadap salinitas, tetapi pada
kenyataannya varietas padi Ciherang memiliki toleransi yang cukup baik terhadap salinitas. Hal ini
dikuatkan dengan deskripsi padi Ciherang yang terdapat pada Tabel 4.
Gambar 16 Sebaran Produktivitas Padi di Indramayu
Berdasarkan hasil
kuesioner yang
dikumpulkan, 80 dari petani di wilayah Indramayu menggunakan varietas padi Ciherang,
sebagaimana disarankan oleh penyuluh pertanian setempat.
Padi Ciherang
dikeluarkan oleh
pemerintah sejak tahun 2000 dan dinilai memiliki kualitas yang unggul. Umur tanamnya berkisar
antara 116-125 hari, lebih pendek dari varietas lainnya seperti IR 64. Hal ini menguntungkan
petani khususnya dalam penentuan waktu tanam. Petani dapat menentukan waktu tanam yang sesuai
agar dapat mengatasi musim kemarau dengan baik.
Selain itu, varietas Ciherang juga terbukti cocok ditanam baik pada musim kemarau dan
musim hujan. Salah satu petani di Indramayu mengatakan bahwa varietas Ciherang telah dipakai
sejak tahun 2000 dan masih tetap bertahan karena menghasilkan produksi yang baik sampai sekarang.
Gambar padi, beras, dan gabah Ciherang dapat dilihat pada Gambar 17 dan Gambar 18.
Gambar 17 Padi Ciherang sumber : Balai Besar
Penelitian Padi
Gambar 18 Gabah dan beras Ciherang sumber : Balai Besar Penelitian
Padi Pada
musim tanam 2005,
varietas Ciherang menempati posisi kedua terbanyak
ditanam di wilayah Jawa Barat, yaitu mencapai 0.73 juta ha, 33 lebih luas dari jenis varietas IR
64 yang seluas 0.5 juta ha. Sampai dengan tahun 2011, varietas Ciherang masih mendominasi luas
pertanian di Indonesia yaitu sebesar 47, dari total lahan pertanian seluas 12.8 juta ha Hermanto,
2006. Varietas ini merupakan jenis persilangan
antara IR 64 dengan varietas lainnya. Para petani di Indramayu menilai varietas ini memiliki rasa nasi
yang pulen dan enak. Varietas Ciherang dianjurkan ditanam pada wilayah dengan ketinggian di bawah
500 mdpl, sehingga Indramayu yang memiliki ketinggian 0-100 mdpl merupakan lokasi yang
sesuai untuk ditanami varietas ini.
Informasi mengenai iklim sudah banyak diterapkan di wilayah Indramayu. Para petani di
wilayah tersebut sudah mendapatkan penyuluhan mengenai penerapan informasi iklim dalam
meningkatkan produktivitas
padi. Ciherang
merupakan varietas yang dianjurkan penyuluh pertanian untuk ditanam di wilayah Indramayu, dan
terbukti cukup resistan terhadap salinitas
Tabel 4 Deskripsi padi Ciherang sumber : Litbang Deptan, 2002
4.3 Solusi Permasalahan Salinitas