I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Papua merupakan salah satu wilayah terbasah di dunia dengan curah hujan berkisar
antara 2500 –4500 mm per tahun. Wilayah ini
memiliki iklim basah yang tidak biasa, baik di Indonesia maupun untuk skala global, dengan
kondisi geografis yang beragam mulai dari padang rumput, rawa, hutan hujan, hingga
pegunungan Prentice dan Hope 2007. Papua mempunyai pegunungan Jayawijaya dengan
puncak tertinggi yang terletak diantara pegunungan Himalaya dan Andes, serta
merupakan lokasi satu-satunya glacier di wilayah warm pool ekuatorial Samudera
Pasifik BMKG dan BPRC 2010. Penelitian yang komprehensif tentang pola curah hujan
di Papua masih relatif sedikit karena terbatasnya
stasiun pengamatan
hujan. Penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya
lebih banyak menitikberatkan pada data dari stasiun-stasiun pengamatan hujan tertentu
saja, sehingga belum bisa merepresentasikan karakteristik curah hujan di Papua secara
keseluruhan.
Penakar hujan pada stasiun pengamatan hujan merupakan suatu alat pengukur yang
akurat dalam menggambarkan kondisi hujan pada suatu tempat. Ketersediaan data curah
hujan selama ini sangat tergantung pada stasiun pengamatan hujan, namun tidak semua
daerah memilikinya. Sebaran pos penakar hujan ini tidak merata, khususnya di daerah
tidak berpenghuni serta di sekitar lautan, yang mengakibatkan
adanya kesulitan
dalam memperoleh informasi mengenai sebaran pola
spasial curah hujan di suatu wilayah. Pendugaan curah hujan menggunakan satelit
menjadi solusi bagi ketersedian data ini, karena dapat memberikan data yang kontinyu
baik secara spasial maupun temporal.
Teknologi observasi cuaca dengan satelit memungkinkan analisis pola curah hujan
dalam skala
ruang yang
lebih besar
dibandingkan data observasi stasiun cuaca. Karakteristik curah hujan di suatu wilayah
yang luas dapat dikaji secara mendalam, misalnya kapan dan di mana saja curah hujan
terjadi pada suatu waktu tertentu, serta bagaimana pola curah hujan dapat bervariasi
antara wilayah yang satu dengan wilayah yang lain.
Salah satu produk data penginderaan jauh dengan satelit adalah GSMaP Global Satellite
Mapping of
Precipitation. GSMaP
merupakan produk data grid hasil asimilasi data pengamatan beberapa satelit cuaca, antara
lain TRMM Tropical Rainfall Measuring Mission,
AQUA, DMSP
Defense Meteorological Satellite Program F13-F17,
NOAA National Oceanic and Atmospheric Administration N15-N18 serta beberapa
satelit geostasioner
seperti GMS
Geostationary Meteorological Satellite. Data ini mempunyai resolusi spasial 0.1°x0.1°
hingga 0.25°x0.25° dan resolusi temporal 60 menit hingga 30 hari sehingga sangat baik
digunakan untuk mengkaji pola curah hujan di suatu wilayah yang luas seperti Papua, baik
secara spasial maupun temporal.
Pemahaman tentang variabililitas curah hujan secara spasial dan temporal sangat
penting dalam menyusun informasi iklim yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan.
Penelitian ini menggunakan metode EOF dan transformasi wavelet untuk menganalisis
variabilitas curah hujan di Papua berdasarkan data GSMaP periode 1998-2006.
1.2 Tujuan
Tujuan dibuatnya tugas akhir ini adalah: 1.
Validasi data GSMaP di wilayah Papua,
2. Menganalisis pola spasial dan
temporal curah hujan di wilayah Papua menggunakan data GSMaP
periode 1998-2006, 3.
Menganalisis variabilitas curah hujan di Papua dan hubungannya dengan
iklim regional
menggunakan indikator SOI dan Nino 3.4.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Global Satellite Mapping of Precipitation GSMaP
GSMaP merupakan project milik badan antariksa Jepang untuk melakukan pendekatan
nilai curah hujan menggunakan media satelit luar angkasa. Tujuan dari project ini adalah
pemetaan hujan secara global dengan resolusi dan keakuratan yang tinggi menggunakan
satelit dengan sensor MWR microwave radiometer
Okamoto 2007.
GSMaP dikelola oleh EORC Earth Observation
Research Center
dari JAXA
Japan Aerospace
Exploration Agency
JAXA 2008. Data GSMaP dapat diakses di:
http:sharaku.eorc.jaxa.jpGSMaP. GSMaP melibatkan 3 satelit pengukur
curah hujan dengan menggunakan sensor MWR yaitu TRMM, AQUA, dan DMSP yang
masing-masing memiliki karakteristik sebagai berikut:
Tabel 1 Satelit dan sensor dalam GSMaP JAXA 2008 Satelit
Ketinggian km Sensor MWR
Frekuensi GHz TRMM
402 TMI
10,19,21,37,85 AQUA
705 AMSR-E
7,10,19,24,37,89 DMSP-F13
803 SSMI
19,37,85 DMSP-F14
803 SSMI
19,37,85 DMSP-F15
803 SSMI
19,37,85 Selain menggunakan 3 satelit MWR tersebut,
GSMaP juga menggunakan data satelit dengan sensor IR infrared, antara lain: MTSAT,
METSOSAT-7-8,
dan GOES-11-12.
Kombinasi dari sensor gelombang mikro dan inframerah digunakan untuk mendapatkan
vektor pergerakan awan Cloud Motion Vector, yang selanjutnya digunakan dalam
algoritma GSMaP Kubota et al 2007. Penggunaan kombinasi sensor dilakukan
untuk menutupi kelemahan sensor lainnya.
a
b Gambar 1 LintasanOrbit gabungan satelit
TRMMTMI, AQUAAMSR-E, ADEOOS-IIAMSR,dan
DMSP SSMI a dan diagram alir
algoritma GSMaP MWR b Okamoto 2007.
Pengambilan data curah hujan GSMaP terdiri dari beberapa tahapan, yaitu:
1. Pengumpulan data dari satelit-satelit GEO
IR yang dilakukan oleh JMA Japan Meteorology Agency. Data GEO IR ini
digunakan untuk
memperoleh data
pergerakan awan meridional dan zonal secara global,
Gambar 2 Algortima GSMaP Okamoto 2007. 2.
Data MWR yang dikumpulkan dari empat satelit setiap tiga jam citra hujan tiga jam
sebelumnya diinterpolasikan dengan citra CMV untuk mendapatkan pergerakan
hujan. Hasil interpolasi tersebut hanya berupa pergerakan hujan, tidak terdapat
proses pertumbuhan atau penghilangan hujan. Oleh karena itu diperlukan suatu
persamaan untuk membuat proses tersebut, yakni dengan Kalman filter. Kalman filter
adalah suatu hubungan antara nilai suhu kecerahan yang didapatkan dari sensor IR
dengan nilai intensitas hujan Ushio 2008. Selanjutnya diperoleh citra hujan satu jam-
an secara global empat jam sebelumnya kemudian dijumlahkan dengan nilai dari
sensor MWR pada jam tersebut, hanya pada lokasi tertentu yang sedang dilintasi
oleh orbit satelit Gambar 3. Penelitian-penelitian yang menggunakan
data GSMaP
telah banyak
dilakukan sebelumnya, diantaranya sebagai berikut:
Tabel 2.