Penyimpangan tertinggi curah hujan GSMaP terhadap curah hujan permukaan di wilayah
Merauke dan Wamena terjadi sekitar bulan November-April, yang merupakan musim
hujan di daerah Merauke dan Wamena. Penyimpangan
pendugaan curah
hujan tertinggi pada musim hujan diduga disebabkan
ketidakakuratan satelit ketika menduga obyek dalam jumlah yang besar. Intensitas hujan
yang tinggi pada musim hujan menyebabkan suhu kecerahan butir hujan yang tertangkap
oleh satelit menjadi bias. Hal ini sesuai dengan penelitian Kubota 2010 yang
menyatakan bahwa GSMaP mempunyai eror yang tinggi dalam menduga curah hujan yang
lebat.
Tabel 5 Nilai korelasi, keragaman, dan RSME GSMaP
terhadap curah
hujan permukaan
Uji Sorong
Wamena Merauke
r 0.639
0.571 0.553
R
2
33 6.5
23 RSME
129 103
100
Gambar 14 Tingkat keragaman curah hujan bulanan
GSMaP berdasarkan
curah hujan
permukaan di
Sorong, Wamena, dan Merauke. Hasil analisis korelasi memperlihatkan
bahwa GSMaP mempunyai korelasi yang cukup tinggi dengan curah hujan permukaan,
meskipun galat yang dihasilkan cukup tinggi pula. Nilai korelasi yang cukup tinggi
menunjukkan bahwa GSMaP mempunyai pola yang sama dengan curah hujan permukaan.
Hal ini didukung oleh Gambar 12 yang memperlihatkan adanya pola yang sama
antara GSMaP dengan curah hujan permukaan di wilayah Sorong, Wamena, dan Merauke.
Hasil analisis
keragaman R
2
menunjukkan bahwa curah hujan permukaan hanya mampu mewakili 33 keragaman
curah hujan GSMaP di Sorong, 6.5 di Wamena, dan 23 di Merauke. Tingkat
keragaman yang rendah dan adanya galat yang tinggi diduga dipengaruhi oleh cara kerja
satelit dalam mendekati nilai curah hujan, adanya fenomena-fenomena khusus atmosfer,
serta adanya pengaruh dari faktor-faktor meteorologi lainnya. Penelitian ini tidak
membahas hal tersebut, namun penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Wibowo YA
2010 menyatakan bahwa fenomena hujan hangat, variasi emisi permukaan yang tinggi
serta adanya pengaruh dari hujan orografik menyebabkan
GSMaP dan
TRMM mempunyai galat yang tinggi serta tidak
mampu mengikuti
pola curah
hujan permukaan di wilayah pegunungan. Selain itu,
parameter lokal berupa suhu permukaan dan kelembaban spesifik mempengaruhi besarnya
galat dan tingkat keragaman curah hujan di daerah pantai, sementara daerah daratan dan
pegunungan tidak mendapat pengaruh dari parameter lokal Wibowo YA 2010. Hasil
evaluasi secara keseluruhan menunjukkan bahwa GSMaP dapat digunakan untuk
merepresentasikan karakteristik curah hujan di suatu wilayah karena mampu mendekati nilai
dan pola curah hujan permukaan.
4.2 Pola Spasial dan Temporal Curah Hujan di Papua
Analisis pola spasial bertujuan untuk mengetahui kondisi dan sebaran curah hujan
di Papua setiap bulan, sedangkan analisis pola temporal bertujuan untuk mengetahui pola
curah hujan di daerah tersebut.
Gambar 15 Distribusi spasial curah hujan bulanan di Papua dengan menggunakan data GSMaP. Gambar 15 memperlihatkan kondisi hujan
dan sirkulasi angin di wilayah Papua pada tahun 1998-2006. Berdasarkan Gambar 15
terlihat bahwa Papua mendapat pengaruh kuat dari monsun. Pada musim hujan Desember-
April, angin yang dominan bertiup di Papua adalah angin barat laut yang mengindikasikan
terjadinya monsun Asia monsun barat, sedangkan angin yang dominan bertiup pada
musim kemarau Juli-Oktober adalah angin tenggara yang menandakan terjadinya monsun
Australia monsun timur. Gambar 15 juga menunjukkan bahwa pesisir pantai dan daerah
pegunungan mempunyai curah hujan tinggi sepanjang tahun. Wilayah pesisir pantai
mempunyai cadangan air yang sangat besar lautan untuk penguapan yang selanjutnya
berkondensasi hingga turun menjadi hujan. Sedangkan di daerah pegunungan sering
terjadi hujan orografik. Hal inilah yang menyebabkan wilayah pesisir pantai dan
pegunungan mempunyai curah hujan yang tinggi sepanjang tahun. Dengan demikian
aspek topografi turut mempengaruhi kondisi curah hujan di Papua. Selanjutnya dilakukan
analisis Continous wavelet transform untuk mengetahui variabilitas curah hujan dominan
yang terjadi di Papua. Gambar 16 merupakan hasil analisis CWT
curah hujan bulanan di Papua. Sumbu y menunjukkan periode siklus terjadinya
osilasi, sedangkan sumbu x menunjukkan waktu terjadinya osilasi. Berdasarkan Gambar
16, terlihat bahwa Papua memiliki variasi annual curah hujan. Hal ini ditunjukkan oleh
domain yang berwarna merah pada periode 12 bulan. Hasil CWT semakin menguatkan
analisis sebelumnya yang menyatakan bahwa Papua mendapat pengaruh monsun. Gambar
16 juga menunjukkan bahwa terdapat osilasi curah hujan selama 1-3 bulan, yang terjadi
sekitar bulan April-Juni tahun 2006. Osilasi ini mirip dengan fenomena MJO Madden
Julian Oscillation. Adanya fenomena MJO di wilayah Papua telah dikaji sebelumnya oleh
Madden RA dan Julian PR pada tahun 1993 yang meneliti osilasi yang terjadi sebagai
akibat dari sel sirkulasi skala besar dalam periode 40-50 hari di daerah ekuator yang
bergerak ke arah timur dari Samudera Hindia hingga ke Samudera Pasifik bagian tengah.
Ushiyama T et al 2003 juga mengkaji tingkat pemanasan bervariasi secara signifikan
dengan kondisi lingkungan pulau Manus Papua Nugini yang dihubungkan dengan
fase MJO.
Gambar 16 Continous wavelet transform curah hujan bulanan di Papua dengan menggunakan data GSMaP periode 1998-2006.
Gambar 17 Pola spasial curah hujan bulanan Papua berdasarkan data GSMaP. Berdasarkan Gambar 17, keragaman hujan
di Papua terjadi di wilayah pesisir pantai dan pegunungan. Hal ini dibuktikan oleh adanya
intensitas hujan yang dominan berada di wilayah tersebut, misalnya di wilayah Sorong,
Teluk Wondama, Nabire, Paniai, Puncak Jaya, Jayawijaya, dan laut Arafura.
Standar deviasi merupakan indikator seberapa besar simpangan curah hujan
bulanan di suatu wilayah terhadap rata- ratanya. Hasil pengolahan data GSMaP
menunjukkan bahwa standar deviasi tertinggi curah hujan di wilayah Papua pada tahun
1998-2006 adalah sebesar 231 mmbulan yang terjadi pada bulan Oktober 2002, sedangkan
standar deviasi terendah sebesar 59 mmbulan terjadi
pada bulan
Juni tahun
2000. Berdasarkan Gambar 17, standar deviasi yang
tinggi terjadi di Sorong, Puncak Jaya, dan laut Arafura. Daerah-daerah tersebut merupakan
daerah yang mendapat pengaruh lautan dan orografik pegunungan. Standar deviasi yang
tinggi menunjukkan bahwa selisih nilai curah hujan maksimum dan minimum di suatu
wilayah sangat tinggi. Hal ini berarti pada suatu waktu curah hujan dapat menjadi sangat
tinggi namun di waktu yang lain curah hujan dapat bernilai rendah. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa curah hujan di wilayah tersebut berfluktuatif. Standar deviasi yang
rendah menunjukkan bahwa nilai curah hujan di
suatu wilayah
cenderung seragam
mendekati nilai
rata-ratanya. Dengan
demikian dapat diketahui bahwa selain dipengaruhi monsun, curah hujan di Papua
juga mendapat
pengaruh dari
kondisi topografi.
Analisis pola spasial dan temporal curah hujan
juga dilakukan
dengan metode
Empirical Orthogonal Function EOF. Hasil analisis
EOF secara
temporal yang
ditunjukkan oleh Gambar 18 memperlihatkan dua pola curah hujan yang paling dominan di
Papua. Gambar 18 a merupakan pola yang paling
dominan modePC
1 dengan
persentase sebesar 32 menunjukkan curah hujan di Papua didominasi oleh variasi
seasonal dan intraseasonal. Variasi tersebut dipengaruhi
oleh pergerakan
matahari, aktivitas konveksi, arah aliran udara di atas
permukaan bumi, serta variasi sebaran daratan dan lautan Hamada et al 1997 dalam
Setiawan 1998. Gambar 18 b menunjukkan adanya pola hujan lokal yang mempengaruhi
curah hujan di Papua dengan persentase sebesar 11. Selanjutnya dilakukan analisis
curah
hujan secara
spasial dengan
menggunakan metode EOF untuk mengetahui persebaran wilayah kedua variasi curah hujan
tersebut
Gambar 18 Pola temporal curah hujan bulanan di Papua berdasarkan metode
EOF. a
modePC 1,
b modePC 2.
a
b Gambar 19 Pola spasial curah hujan bulanan
di Papua berdasarkan metode EOF.
a distribusi
spasial modePC 1, b distribusi spasial
modePC 2. Gambar 19 merupakan distribusi spasial
dari dua pola curah hujan yang paling dominan di Papua. Gambar 19 a menunjukkan
daerah-daerah di Papua yang dipengaruhi oleh mode 1 antara lain daerah Raja Ampat,
Sorong, Manokwari, teluk Wondama, Nabire, Waropen, Yapen Waropen, Mamberamo Jaya,
Sarmi, Jayapura, dan Keerom. Dengan demikian, curah hujan di daerah tersebut
sangat dipengaruhi oleh variasi musiman.
Gambar 19 b menunjukkan daerah-daerah yang dipengaruhi oleh mode 2, antara lain
daerah Teluk Bintuni, Fak-Fak, Kaimana, Asmat, Puncak Jaya, Jayawijaya, Yuhukimo,
Pegunungan Bintang, dan Merauke. Dengan demikian, curah hujan di daerah tersebut
sangat dipengaruhi oleh variasi lokal. Variasi lokal ini berkaitan erat dengan kondisi
topografi suatu wilayah. 4.3 ENSO
El Nino Southern Oscillation dan pengaruhnya terhadap curah
hujan di Papua Curah hujan di Papua didominasi oleh pola
hujan monsun yang masih mendapat pengaruh aspek topografi. Karena letaknya yang
berdekatan dengan Samudera Pasifik, maka diduga
bahwa fenomena
ENSO juga
berpengaruh terhadap curah hujan di wilayah tersebut.
Gambar 20 Kondisi curah hujan 3 bulanan pada tahun normal, El Nino, dan
La Nina dengan menggunakan data GSMaP periode 1998-
2006.
Berdasarkan gambar 20, terlihat bahwa fenomena ENSO mempunyai pengaruh yang
kuat terhadap intensitas hujan di Papua. Penurunan intensitas hujan yang tinggi
dibawah normal terjadi pada saat El Nino berlangsung. Penurunan tersebut berkisar
antara 8
–22. Penurunan intensitas hujan tertinggi yakni sebesar 22 terjadi pada
periode kering, sedangkan penurunan curah hujan terendah yakni sebesar 8 terjadi pada
periode peralihan kering ke basah. Pada saat terjadi La Nina, terjadi peningkatan intensitas
hujan sebesar 4-44. Peningkatan intensitas hujan tertinggi yakni sebesar 44 terjadi pada
periode kering,
sedangkan peningkatan
intensitas hujan terendah yakni sebesar 4 terjadi pada periode basah. Selanjutnya
dilakukan analisis koherensi antara curah hujan dengan SOI dan Nino 3.4 untuk melihat
seberapa besar pengaruh kedua indikator ENSO tersebut terhadap curah hujan di Papua.
Analisis
koherensi dilakukan
dengan menggunakan transformasi wavelet XWT dan
WTC. Gambar 21 menunjukkan hasil analisis
XWT dan WTC antara SOI dengan curah hujan di Papua. Berdasarkan gambar tersebut,
terlihat bahwa SOI mempengaruhi curah hujan di Papua pada selang kepercayaan 95.
Koherensi terjadi pada periode 12 bulanan, yang terjadi pada bulan Juni tahun 2000-Juni
tahun 2002. Nilai koherensi berkisar antara 0.7-0.8 pada selang kepercayaan 95.
Berdasarkan klasifikasi tahun ENSO yang dilakukan sebelumnya, tahun 2001 dan 2002
merupakan tahun ENSO. Dengan demikian ENSO turut memberikan pengaruh nyata pada
kondisi curah hujan di Papua. Pada Gambar 21 a terlihat adanya osilasi
curah hujan dan SOI pada periode 3 bulanan. Namun osilasi tersebut mempunyai power
wavelet yang lemah, yakni sekitar 1-1.5, sehingga ketika dilakukan analisis WTC,
osilasi antara curah hujan dengan SOI pada periode tersebut tidak menunjukkan adanya
koherensi.
Gambar 22 menunjukkan hasil analisis XWT dan WTC antara Nino 3.4 dengan curah
hujan di Papua. Berdasarkan gambar tersebut, terlihat bahwa Nino 3.4 mempengaruhi curah
hujan di Papua pada selang kepercayaan 95. Koherensi terjadi pada periode 12 bulanan,
yang terjadi pada bulan Desember tahun 2004-Desember tahun 2005. Nilai koherensi
berkisar
antara 0.7-0.75
pada selang
kepercayaan 95. Berdasarkan klasifikasi tahun ENSO yang dilakukan sebelumnya,
tahun 2004 dan 2005 merupakan tahun El Nino. Hasil analisis ini menunjukkan adanya
pengaruh ENSO yang nyata di Papua.
a
b Gambar 21 Koherensi antara SOI dengan curah hujan di Papua berdasarkan cross wavelet
transform a dan wavelet transform coherence b
a
b Gambar 22 Koherensi antara Nino 3.4 dengan curah hujan di Papua berdasarkan cross wavelet
transform a dan wavelet transform coherence b Analisis koherensi antara SOI dan Nino
3.4 juga dilakukan di daerah Sorong, Wamena, dan Merauke. Berdasarkan hasil
XWT dan WTC, dapat diketahui bahwa SOI dan Nino 3.4 tidak memiliki koherensi dengan
curah hujan di Wamena. Hal ini disebabkan adanya pengaruh topografi yang kuat di
daerah tersebut. Wamena merupakan daerah pegunungan yang sering mendapat limpahan
hujan orografik, sehingga ENSO tidak memberikan pengaruh nyata di daerah
tersebut.
Hasil XWT dan WTC juga menyatakan bahwa SOI dan Nino 3.4 mempunyai
koherensi dengan curah hujan di Sorong dan Merauke.
Pada daerah
Sorong, SOI
berpengaruh nyata pada periode 12 bulanan dengan nilai koherensi sebesar 0.7-0.9 pada
selang kepercayaan 95. Koherensi tersebut terjadi pada bulan Juni tahun 1999-Agustus
tahun 2000. Sedangkan Nino 3.4 mempunyai koherensi sebesar 0.7-0.9 pada periode 12
bulanan. Koherensi terjadi pada bulan Mei tahun 1999-Januari tahun 2001. Sorong
merupakan daerah daratan-pantai, sehingga meskipun faktor topografi juga berpengaruh
kuat di daerah ini, namun karena letaknya yang juga berdekatan dengan lautan maka
fenomena ENSO tetap memberikan pengaruh yang nyata.
Koherensi antara SOI dengan curah hujan di merauke terjadi pada 12 bulanan terjadi
pada bulan Juli tahun 1999-Februari tahun 2002. Selain iti juga terlihat adanya osilasi
pada periode 4-6 bulanan. Namun osilasi tersebut mempunyai power wavelet yang
lemah, yakni sekitar 1-1.5, sehingga ketika dilakukan analisis WTC, osilasi antara curah
hujan dengan SOI pada periode tersebut tidak menunjukkan adanya koherensi. Sedangkan
Nino 3.4 tidak mempunyai koherensi dengan curah hujan di daerah tersebut.
a
b
c Gambar 23 Cross wavelet transform kiri dan wavelet transform coherence kanan antara SOI
dan curah hujan GSMaP. a wilayah Sorong, b wilayah Wamena, dan c wilayah Merauke.
a
Gambar 24 Cross wavelet transform kiri dan wavelet transform coherence kanan antara Nino 3.4 dan curah hujan GSMaP. a wilayah Sorong, b wilayah Wamena, dan c
wilayah Merauke.
a
b c
Gambar 25 Kondisi hujan di Papua menggunakan data GSMaP. a tahun normal, b El Nino tahun 2002 dan c La Nina tahun 1998.
b
c
Gambar 25 menunjukkan kondisi hujan di wilayah Papua pada tahun normal dan tahun
ENSO. Pada tahun El Nino, intensitas hujan akan berada di bawah normal sehingga
menimbulkan kekeringan di daerah-daerah yang terkena El Nino. Namun, karena adanya
pengaruh topografi yang kuat berupa pesisir pantai yang mempunyai persediaan air yang
banyak untuk penguapan serta pegunungan yang dapat menimbulkan hujan orografik
yang frekuensinya berfluktuatif, maka daerah- daerah dengan pengaruh faktor topografi yang
kuat akan tetap mendapat hujan. Pada tahun La Nina, intensitas hujan akan berada di atas
normal sehingga menimbulkan hujan lebat di daerah-daerah yang terkena La Nina. Selain
mendapat pengaruh dari topografi, daerah
– daerah dengan faktor lokal yang kuat juga
mendapat pengaruh La Nina sehingga
intensitas hujannya seragam dengan daerah –
daerah lain di sekitarnya. Dengan kata lain ENSO berpengaruh nyata terhadap curah
hujan di Papua Gambar 20, 21 dan 22. Hal ini dikarenakan letak Papua yang berdekatan
dengan Samudera Pasifik, sehingga wilayah tersebut
mendapat pengaruh
aktivitas Sirkulasi Walker. Penelitian ini menguatkan
penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Hamada 2002. Adanya pengaruh faktor
lokal yang kuat menyebabkan beberapa daerah di Papua mendapat hujan yang stabil,
sehingga tidak terlihat perubahan yang signifikan pada kondisi curah hujan. Hal ini
menyebabkan pada saat El Nino intensitas hujan tetap tinggi dan pada saat La Nina
intensitas
hujan semakin
tinggi. Hasil
penelitian secara keseluruhan menunjukkan bahwa data GSMaP mampu memberikan hasil
yang baik dalam menganalisis pola spasial dan temporal curah hujan di Papua.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Hasil
evaluasi menunjukkan
bahwa GSMaP mempunyai pola yang mirip dengan
data curah
hujan permukaan.
Adanya overestimate
dan underestimate
dalam pendugaan curah hujan di Papua disebabkan
oleh kondisi topografi suatu wilayah. Namun hasil
penelitian secara
keseluruhan menunjukkan kemampuan GSMaP yang baik
dalam menganalisis pola spasial dan temporal curah hujan di Papua. Dengan demikian
GSMaP dapat
digunakan untuk
merepresentasikan karakteristik curah hujan di suatu wilayah.
Papua merupakan suatu wilayah yang didominasi pola hujan monsun dengan
pengaruh topografi yang kuat, terutama pada daerah Papua bagian tengah dan selatan.
Daerah-daerah di Papua yang mempunyai pola hujan monsun antara lain Raja Ampat,
Sorong, Manokwari, teluk Wondama, Nabire, Waropen, Yapen Waropen, Mamberamo Jaya,
Sarmi, Jayapura, dan Keerom. Selain itu, Papua juga mempunyai pola hujan lokal yakni
di daerah Teluk Bintuni, Fak-Fak, Kaimana, Asmat, Puncak Jaya, Jayawijaya, Yuhukimo,
Pegunungan Bintang, dan Merauke. Di sisi lain, pola curah hujan ekutorial lebih banyak
ditemui di wilayah Papua bagian utara. Periode musim hujan terjadi pada bulan
November-April, sedangkan periode musim kemarau terjadi pada bulan Juli-Oktober.
Variasi curah hujan di Papua dipengaruhi oleh
variasi annual,
seasonal, dan
intraseanonal. Dengan demikian wilayah ini mendapat pengaruh yang cukup kuat dari
sirkulasi atmosfer global. Fenomena ENSO juga memberikan pengaruh nyata di wilayah
ini. Namun karena adanya pengaruh topografi yang kuat menyebabkan beberapa daerah di
Papua mendapat hujan yang stabil, baik pada tahun normal maupun tahun ENSO.
5.2 Saran
Pemanfaatan data GSMaP dan penelitian di wilayah Papua masih jarang dilakukan.
Penelitian ini merupakan langkah awal untuk penelitian-penelitian
selanjutnya. Masih
diperlukan analisis curah hujan lebih lanjut dengan periode pengamatan yang lebih
panjang serta mempertimbangkan unsur-unsur cuaca lainnya. Adanya pengaruh topografi
yang kuat di Papua menandakan adanya pengaruh faktor lokal yang kuat. Namun
masih
diperlukan data-data
lain untuk
menganalisis faktor lokal tersebut. Analisis lebih lanjut juga diperlukan untuk mengetahui
pengaruh perubahan iklim terhadap curah hujan di Papua.
DAFTAR PUSTAKA
Aldrian E, Susanto D.R. 2003. Identification of three dominant rainfall region
within Indonesia
and their
relationship to surface temperature. International
Journal of
Climatology 23:1435-1452. Adikusumah N, Junaeni I, Suryantoro A,
Hamdan R, Firdaus K, Runtana N,
Setiawan U. 2008. Analisa monsun dan TBO Berdasarkan GCMLAM
dan observasi. Bidang Pemodelan Iklim Pusat Sains Atmosfer dan
Iklim, Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional, siap terbit.
Bjornsson H dan Venegas SA. 1997. A manual for EOF and SVD analyses
of climatic data. Department of atmospheric and oceanis sciences
and Centre for climate and global change research. McGill University
press
Brookfield HC, D Hart. 1966. Rainfall in the tropical
southwest pasific.
Canberra: Department
of Geography Publ. G3, Research
School of
Pasific Studies,
Australian National
University. Australian
National University
Press. Faqih A. 2003. Analisis pola spasial dan
temporal anomali suhu permukaan laut di Samudera Pasifik, Hindia,
dan Atlantik serta kaitannya dengan anomali
curah hujan
bulanan [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor,
FMIPA. Bogor. Grinsted A, Jevrejeva J. 2004. Apllication of
cross wavelet
transform and
wavelet coherence to geophysical time series. Nonlinear Processes in
Geophysics 11:561-566. Hamada J, Yamanaka MD, Matsumoto J,
Fukao S, Winarso PA, Sribimawati T. 2002. Spatial and temporal
variations of the rainy season over Indonesia and their link to ENSO.
Journal of the Meteorological Society of Japan 80:285-310.
Iwasaki H. 2008. NDVI prediction over Mongolian grassland using GSMaP
precipitation data
and JRA-
25JCDAS temperature data. J Arid Enviro 73: 557
–562. [JAXA] Japan Aerospace and Exploration
Agency. 2008. Global rainfall map in near real time data format
description. Japan:
Earth Observation Center.
[JAXA] Japan Aerospace and Exploration Agency. 2008. User‟s guide for
global rainfall
map by
JAXAEORC GSMaP near realtime system GSMaP NRT. Japan:
Earth Observation Center. Kikuchi K dan Wang B. 2007. Diurnal
precipitation regimes in the global tropics.
Journal of
Climate 21:2680-2696.
Kubota T, Shige S, Hashizume H, Aonashi K, Takahashi N, Seto S, Takayabu
YN, Ushio T, Nakagawa K, Iwanami K, Kachi M, Okamoto K.
2007. Global precipitation map using satellite-borne microwave
radiometers by the GSMaP project: production and validation. IEEE
45:2259-2275.
Kubota T, Ushio T, Shige S, Kida S, Kachi M, Okamoto K. 2009. Verification of
high-resolution satellite-based
rainfall estimates around Japan using a gauge-calibrated ground-
radar dataset. Journal of the Meteorological Society of Japan
87A:203-222.
Kubota T, Shirooka R, Hamada J, Syamsudin F.
2010. Interannual
rainfall variability
over the
Eastern Maritime Continent. Journal of the
Meteorological Society of Japan 87A:111-122.
Komaruddin MR, Parwati, Dalimunthe W. 2001. Analisis pola hujan bulanan
dengan data Outgoing Longwave Radiation
OLR untuk
menentukan kandungan air lahan pertanian. Warta LAPAN 3:1-8.
Madden JA dan Julian PR. 1993. Observaton of
the 40-50-day
tropical oscillation.
American Meteorological Society122: 814-
837 Okamoto K, Iguchi T, Takahashi N, Ushio T,
Awaka J, Kozu T, Shige S, Kubota T. 2007. High precision and high
resolution global precipitation map from
satellite data.
Japan: International
Symposium on