PENGGUNAAN GAYA BAHASA SARKASME PADA PROGRAM (Analisis Wacana JURUSAN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOCIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG TALK SHOW DI TELEVISI Kritis Pada Program “Mata Najwa” Di Metro TV Edisi 22 Agustus 2013)

(1)

PENGGUNAAN GA

(Analisis Wacana

JURUSAN ILMU K FAKULTAS ILM

UNIVERSITAS M

PENGGUNAAN GAYA BAHASA SARKASME PADA PROGRAM TALK SHOW DI TELEVISI

Wacana Kritis Pada Program “Mata Najwa” Di Metro TV Edisi 22 Agustus 2013)

SKRIPSI

Disusun Oleh: Wina Putri Andini

201010040311344

Dosen Pembimbing: 1. Nurudin, M. Si

2. M. Himawan Sutanto, M. Si

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOCIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2014

PADA PROGRAM


(2)

ii

LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Wina Putri Andini

NIM : 201010040311344

Konsentrasi : Jurnalistik

Judul Skripsi : Penggunaan Gaya Bahasa Sarkasme Pada Program Talk Show di Televisi

(Analisis Wacana Kritis Pada Program “Mata Najwa” Di Metro TV Edisi 22 Agustus 201)

Telah dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang

dan dinyatakan LULUS Pada hari : Sabtu Tanggal : 3 Mei 2014 Tempat : 609

Mengesahkan, Dekan FISIP UMM

Dr. Asep Nurjaman, M.Si Dewan Penguji:

1. Drs. Budi Suprapto, M.Si ( )

2. Rahadi, M.Si ( )

3. Nurudin, M.Si ( )


(3)

ABSTRAK Wina Putri Andini, 201010040311344

PENGGUNAAN GAYA BAHASA SARKASME PADA PROGRAM TALKSHOW DI TELEVISI

Analisis Wacana Kritis Pada Program Mata Najwa Di Metro TV Edisi 22 Agustus 2013

Pembimbing: Nurudin, M. Si dan M. Himawan Sutanto, M. Si

(xv + 158 + 5 tabel + 12 gambar + 1 lampiran naskah dialog Mata Najwa edisi 22 Agustus 2013 + 1 lampiran draft wawancara + 1 lampiran surat keterangan penelitian)

Bibliografi; 16 buku, 1 jurnal dan 3 Database Internet.

Kata Kunci: Gaya Bahasa Sarkasme, Analisis Wacana Kritis, Mata Najwa

Penggunaan gaya bahasa dalam bahasa jurnalistik memberikan warna dan keindahan dalam penyajian informasi dan berita. Ini juga mempengaruhi bagaimana penerimaan akan informasi tersebut. Bahasa membawa ideologi didalamnya, sehingga penggunaan gaya bahasa dalam media berarti menyebarluaskan berbagai definisi pesan media dan representasi ideologis dominan ke dalam agenda pembicaraan. Talkshow Mata Najwa merupakan salah satu talkshow yang menggunakan gaya bahasa dalam menyajikan isi acaranya. Gaya bahasa sarkasme dari seorang Najwa Shihab memunculkan sikap skeptis peneliti dalam melihat penggunaan gaya bahasa sarkasme dan tujuan penggunaannya dalam acara tersebut. Objek yang dijadikan bahan penelitian adalah tayangan Mata Najwa edisi 22 Agustus 2013, ‘Mendadak Capres’.

Untuk menjawab permasalah yang muncul, maka metode penelitian yang tepat digunakan adalah analisis wacana kritis dengan model Norman Fairclough. Model Fairclogh membagi analisis menjadi 3 bagian yaitu analisis teks, discourse practice, dan socialcultural practice. Analisis teks terdiri dari 4 unsur analisis yaitu; representasi, relasi, identitas, dan intertekstualitas. Discourse practice menganalisis teks berdasarkan proses produksi dan konsumsi teks yang terjadi. Socialcultural practice menganalisis mengenai kondisi situasional, intitusional dan sosial yang terjadi baik didalam dan di luar media. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dan tipe deskriptif. Ruang lingkup penelitian ini adalah tayangan Mata Najwa edisi 22 Agustus 2013 baik dari segi teks naskah, proses produksi teks, konsumsi teks hingga sosial budaya yang mempengaruhi teks tersebut.

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa untuk analisis teks, representasi narasumber berdasarkan interpretasi peneliti menjadi negatif, penggunaan bahasa sarkasme dalam intertekstualitas teks ditujukan untuk memojokkan narasumber. Lalu hasil analisis discourse practiceadalah proses produksi teks dilakukan oleh tim redaksi Mata Najwa, dimana pembutan naskah lebih dominan dari produser. Pada konsumsi teks yang terjadi adalah menarik banyak penonton dan pengiklan.


(4)

Serta para penonton terarah kepada opini yang diharapkan oleh tim redaksi. Untuk socialculture practicehasil analisis situasional yaitu kondisi saat itu mempengaruhi pengangkatan tema dan isi naskah program tersebut. Dari segi institusional, tayangan Mata Najwa ‘Mendadak Capres’ mendapatkan rattingyang tinggi dan spot iklan terpenuhi. Lalu untuk kondisi sosial, Metro TV mengedepankan berita mengenai Partai Nasdem, sehingga pemberitaan tidak objektif.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa penggunaan bahasa sarkasame dalam tayangan Mata Najwa edisi 22 Agustus 2013 ditunjukan untuk merepresentasikan secara negatif narasumber yang diundang. Sikap redaksi dimasukkan dalam naskah program yang secara rangkum dapat dilihat pada segmen Catatan Najwa. Sehingga benar apabila penggunaan gaya bahasa membawa sebuah ideologi didalamnya. Ideologi yang ditunjukkan adalah ideologi dominan, yaitu pembentukan makna terhadap realitas berdasarkan kekuasaan tertinggi.

ABSTRACT

The use of language style in journalism provides color and beauty in the presentation of information and news. It also affects how the acceptance of such information. Language carries ideology in it, so the use of language style in the media means to disseminate various definitions of media messages and representations of dominant ideological to the agenda of conversation. The Mata Najwa Show is one of television program that uses a style of language in presenting the content of the show. Sarcasm style in language from someone like Najwa Shihab brings out the skeptical of researcher to see the uses of sarcasm style and the purpose of use during the show. Researcher used one of The Mata Najwa Show episode to be the object of the research. The choosen episode is the Mata Najwa show in 22nd August 2013 edition with theme “Mendadak Capres”.

To answer the probem that came up, researcher used the critical discourse analysis methode with Norman Fairclough model. Fairclough model analysis divides it in 3 kinds of analysis, that is text analysis, discourse practice analysis and socialculture practice analysis. Text analysis consists of 4 element analysis, that is repesentation, relation, identity, and intertextuality. Discourse practice analysis is analyzing the text based on the production and consumption process. Socialculture practice analysis is analyzing about the condition of situational, institutional and social that happen inside and outside of media. This research used the quantitative approach with description type. The scope of this research is the Mata Najwa in 22nd August 2013, both in terms of text, production and consumption process, till socialculture aspect that affects the script of the show.

Result of the research shows that to analyze the text based on interpretation of researcher, representation of speaker becomes negative, sarcasm style used to cornor the speaker. In discourse practice analysis found that text production process is being implemented by Mata Najwa editorial staff, whereas


(5)

the script dominantly did by the producer.In consumption text process found that it attracts a lot of viewer and advertiser.

The viewers directed to the opinion that build and expected by editorial team. For socialculture practice analysis found that in situational aspect condition of that time affects the idea of theme and script content of the show from institutional aspect, the Mata Najwa show got high ratting and all the spot for advertise is fullfill. And then for social condition, Metro TV forward the news about Nasdem Party, so that made the news not objective.

Thus, it can be concluded that sarcasm language in the Mata Najwa show in 22nd August 2013 used to represent the invited speakers negatively. Editorial stance is being included in manuscript program that can be seen in Catatan Najwa segment in the show. So, it can be justified if the style of language carries an ideology in it. Ideology shown is the dominant ideology which establish the meaning of reality based on the highest power.

Peneliti

Wina Putri Andini

Pembimbing I Pembimbing II


(6)

KATA PENGANTAR

Media menggunakan bahasa sebagai alat untuk menyampaikan informasi kepada khalayak. Dalam dunia pertelevisian, penggunaan bahasa pastilah disertai dengan penggunaan gaya bahasa. Dewasa ini, penggunaan gaya bahasa digunakan dalam penyajian berita atau produk televisi lainnya seperti talkshow untuk menyampaikan suatu pesan tertentu. Fenomena ini saya angkat dalam bentuk skripsi yang berjudul “Penggunaan Gaya Bahasa Sarkasme Pada Program Talkshow di Televisi (Analisis Wacana Kritis Pada Program ‘Mata Najwa’ di Metro TV Edisi 22 Agustus 2013). Skripsi ini dibagi menjadi 4 bagian yaitu bab 1 berupa pendahuluan, bab 2 terkait gambaran objek penelitian, bab 3 membahas hasil analisis data, dan bab 4 berupa penutup.

Skripsi ini adalah hasil dari penelitian yang dilakukan secara bertahap dan berdasarkan hasil bimbingan dengan dosen pembimbing. Sehingga apabila ada kesalahan maupun kekurangan saya sebagai penulis memohon maaf atas ketidaksempurnaan tersebut. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan pada Program Studi Strata 1 di Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Malang serta untuk mendapatkan gelar Sarjana Komunikasi.

Dalam kesempatan ini saya ingin mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam. Shalawat serta salam untuk junjungan besar Nabi Muhammad SAW. Alhamdulillahirabil’alamin. Tiga tahun lebih sudah berlalu saat perjalanan ini dimulai. Ilmu-ilmu dan pengalaman ditujukan untuk menghasilkan skripsi ini. Tahap demi tahap sudah dilewati demi tercapainya


(7)

penelitian yang benar. Ridho Allah dan doa ibu selalu mengiringi tiap langkah saya untuk mencapai sampai pada tahap ini. Saya selaku penulis ingin mengucapkan terima kasih pada pihak-pihak yang telah mendukung saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih saya ucapkan kepada:

1. Bapak Drs. Muhadjir Effendi, M. AP selaku Rektor Univeristas Muhammadiyah Malang.

2. Bapak Dr. Asep Nurjaman, M. Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Malang.

3. Bapak Nurudin, M. Si selaku dosen pembimbing I yang memberikan pengarahan dan motivasi dalam penyelesaian skripsi ini.

4. Bapak M. Himawan Sutanto, M. Si selaku dosen pembimbing II yang juga memberikan pengarahan dan keyakinan dalam penyelesaian skripsi ini. 5. Bapak Drs. Budi Suprapto, M. Si selaku dosen penguji 1.

6. Ibu Isnani Dzuhrina, S. Sos, M. Adv selaku dosen penguji 2.

7. Ibu Widya Yutanti, MA yang bersedia meluangkan waktu dan memberikan saran saat proses penyelesaian skripsi.

8. Bapak Sugeng Winarno, Ma selaku dosen wali dan Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi yang membantu kelancaran kuliah serta skripsi ini dan kritik yang membangun.

9. Seluruh Bapak dan Ibu dosen Jurusuan Ilmu Komunikasi, Universitas Muhammadiyah Malang yang telah mengajar dan memberikan ilmu-ilmu yang sangat berguna selama perkulihan hingga skripsi ini terbentuk.


(8)

10. Mba GIta, selaku Public Relatin Metro TV yang telah menghubungkan dan mengaturkan janji saya dengan Mba Citra.

11. Dahlia Citra Buana selaku produser Mata Najwa yang menjadi narasumber utama dalam penelitian ini, terima kasih atas waktu, kesempatan dan ketersediaannya.

12. Metro TV sebagai stasiun televisi yang memberikan ijin untuk berlangsungnya penelitian ini

13. Satu-satunya wanita yang selalu berjuang, bersabar, dan rela melakukan apapun demi saya, Dwi Suciana, SE. Terima kasih mamah atas segalanya. Tak cukup dalam lembar ini saya ucapkan terima kasih atas segala apapun yang telah dilakukannya.

14. Seluruh keluarga besar, Saudara serta sepupu yang memberikan dukungan dan motivasi.

15. Sahabat-sahabat tercinta Ika, Agfi, Ganis, Niny, Astrid, Abi terimakasih atas segala masukan, saran, pelajaran yang diberikan agar terselesaikannya skripsi ini.

16. Teman-teman tersayang Wulan, Yurike, Tasya, Chita, Sonia, Arief, Bang Zul, Gatul, Yuna, Yusti, Chirstin, Mafudin, Heny, Wien Hesti, Hesti, Devi dan teman-teman kelas Ikom F serta seluruh teman-teman angkatan 2010 dan 2009 Ilmu Komunikasi yang mengenal dan membantu saya selama perkuliahan, terima kasih atas support dan pengalamannya.


(9)

17. Serta seluruh pihak yang membantu saya selama perkuliahan dan penyelesaian skripsi ini, saya sangat berterima kasih, Mohon maaf apabila tidak sempat saya sebutkan.

Skripsi ini merupakan hasil kerja paling maksimal yang telah diusahakan oleh penulis. Penulis menyadari apabila penelitian ini masih belum sempurna, diharapkan saran dan kritik untuk penelitian lanjutan yang akan dilakukan. Akhir kata, semoga skripsi ini bisa bermanfaat baik secara akademis maupun praktis.

Malang, 30 April 2014 Wina Putri Andini


(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI……… i

LEMBAR PENGESAHAN………. ii

PERNYATAAN ORISINALITAS………. iii

BERITA ACARA BIMBINGAN SKRIPSI……….. iv

ABSTRAK………...v

LEMBAR PERSEMBAHAN……….. vii

KATA PENGANTAR………. viii

DAFTAR ISI………xii

DAFTAR TABEL………xiv

DAFTAR GAMBAR……….. xv

BAB 1 PENDAHULUAN………. 1

A. Latar Belakang……….. 1

B. Rumusan Masalah……….4

C. Tujuan Penelitian……….. 4

D. Manfaat Penelitian……… 5

E. Tinjauan Pustaka………...6

E.1 Gaya Bahasa………...6

E.2 Jurnalistik Televisi……… 11

E.3 Talk Show………..19

E.4 Analisis Wacana……… 21


(11)

F. Metode Penelitian………. 25

F.5 Pendekatan dan Tipe Penelitian……….. 25

F.2 Dasar Penelitian……….. 26

F.3 Ruang Limgkup Penelitian………. 27

F.4 Waktu dan Lokasi Penelitian……….. 28

F.5 Sumber Data………28

F.6 Sumber Kajian...……….. 28

F.7 Teknik Analisis Data………...29

F.8 Teknik Keabsahan Data………. 35

BAB II GAMBARAN OBJEK PENELITIAN……….. 37

A. Gambaran Umum Metro TV……….37

B. Gambaran Umum Mata Najwa………. 42

BAB III ANALISIS DATA………... 45

A. Analisis Teks……….45

B. Analisis Praktik Wacana (Discourse Practice)……….139

C. Analisis Praktik Sosial Budaya ( Sociocultural Practice)……… 157

D. Matriks Hasil Analisis Data……….. 163

BAB IV PENUTUP……… 166

A. Kesimpulan………... 166

B. Saran………. 168 DAFTAR PUSTAKA


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1……….. 30

Tabel 1.2……….. 35

Tabel 2.1……….. 40

Tabel 2.2……….. 43

Tabel 3.1……….. 45


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1……….. 30

Tabel 1.2……….. 35

Tabel 2.1……….. 40

Tabel 2.2……….. 43

Tabel 3.1……….. 45


(14)

DAFTAR PUSTAKA

Baskin, Askurifai. 2006. Jurnalistik Televisi; Teori dan Praktik. Bandung. Simbiosa Rekatama Media

Bignell, Jonathan. 2004. An Introduction To Television Studies. New York. Routledge.

Eriyanto. 2001. Analisis Wacana; Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta. LKiS

Fiske, John.2009. Television Culture. The Taylor & Francis e-Library. Gulö, W. 2002. Metodelogi Penelitian. Jakarta. Grasindo.

Haiman, John. 1998. Talk Is Cheap; Sarcasm, Alienation and The Evolution Of

Language. New York. Oxford University Press.

Hall, Stuart, Dorothy Hobs, Andrew Lowe, dan Paul Willis. 2011. Budaya Media

Bahasa; Teks Utama Perancang Cultural Studies 1972-1979. Yogyakarta.

Jalasutra

Idris, Soewardi. 1987. Jurnalistik Televisi. Bandung. Remadja Karya Iskandar. 2009. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Jakarta. Gaung Persada Keraf, Gorys. 1984. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta. PT. Gramedia

Morissan. 2013. Teori Komunikasi; Individu Hingga Massa. Jakarta. Kencana Prenada Media Group

Rahadi, Kunjana. 2007. Bahasa Jurnalistik Tutur: Menjadi Jurnalis Tutur Andal

dengan Penguasaan Bahasa yang Lugas, Tajam, Terpercaya. Yogyakarta.

Yayasan Pustaka Nusatama

Rukmananda, Nuratama. 2004. Menjadi Sutradara Televisi; dengan Single dan Multi Kamera. Jakarta. Grasindo.

Sarwoko, Tri Adi. 2007. Inilah Bahasa Indonesia Jurnalsitik. Yogyakarta. CV. Andi Offset

Sumadiria, AS Haris. 2006. Bahasa Jurnalistik; Panduan Praktis Penulis dan

Jurnalis. Bandung. Simbiosa Rekatama Media

Sudibyo, Agus. 2009. Kebebasan Semu; Penjajahan Baru di Jagad Media. Jakarta. PT. Kompas Media Nusantara.

Ulung, Gagas. 2011. How To Be A News Anchor. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.


(15)

Website

http://www.merriam-webster.com/dictionary/sarcasm diakses pada 31/1/14 pukul; 5.57pm

http://kbbi.web.id/diakses pada 15/1/2014 pukul 4.30pm

http://www.metronews.comdiakses pada 31/3/2014 pukul 4.00pm Jurnal

Kanzunnudin, Mohammad dan Noor Rina Kastatria. 2012. Sarkasme Dalam Media Cetak. Rembang. Yayasan Adhigama


(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pers adalah salah satu sarana komunikasi massa yang menggunakan bahasa lisan dan tulisan sebagai alat penyampaian pesan secara efektif. Dalam pemberitaan sehari-hari pers menggunakan bahasa yang komunikatif sehingga menarik dan mudah dipahami. Pers memiliki tanggung jawab moral dan sosial dalam pemberitaannya. Oleh karenanya bahasa yang digunakan harus ringkas, mudah dipahami dan langsung menerangkan apa yang dimaksudkan.

Bahasa yang digunakan dalam pers adalah bahasa jurnalistik. Bahasa jurnalistik merupakan ragam bahasa yang digunakan oleh seorang (wartawan), yang memiliki ciri khas yaitu; singkat, padat, sederhana, lancar, lugas, dan menarik. Bahasa jurnalistik memiliki karakter yang berbeda-beda dalam setiap penulisan dan pembacaan berita. Gaya bahasa yang digunakan disesuaikan dengan jenis berita yang disajikan. Namun dalam perkembangan bahasa jurnalistik saat ini, sangat berbeda dengan bahasa jurnalistik beberapa puluh tahun yang lalu. Contohnya saja bahasa jurnalistik yang digunakan pada era orde baru dan era demokrasi saat ini. Era demokrasi yang menganut kebebasan pers yang bertanggung jawab telah mengubah gaya bahasa jurnalistik saat ini. Gaya bahasa yang digunakan dalam ragam bahasa jurnalistik sangat bervariasi. Salah satunya adalah gaya bahasa sarkasme, yang belakangan ini menurut peneliti banyak digunakan dalam media komunikasi massa. Sebagaimana diungkapkan oleh Lembaga Informasi Nasional, ialah muncul euphorianegatif yang ditandai dengan


(17)

1

munculnya jurnalisme anarki, jurnalisme provokasi, dan berbagai citra negatif lainnya dengan kandungan isi berita jorok, vulgar, keras, kejam, arogan, sensasional dan tendensius (Kanzunnudin dan Kastatri, 2012:v). Dampak negatif yang ditimbulkan oleh kebebasan pers ini menjadi hal yang seharusnya dikhawatirkan. Bahasa yang ditampilkan oleh media massa / pers akan menjadi bahasa yang digunakan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.

Sarkasme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Online adalah suatu majas yang dimaksudkan untuk menyindir, atau menyinggung seseorang atau sesuatu. Sarkasme dapat berupa penghinaan yang mengekspresikan rasa kesal dan marah dengan menggunakan kata-kata kasar. Majas ini dapat melukai perasaan seseorang. Penggunaan gaya bahasa digunakan dalam produk jurnalistik pada TV berita di Indonesia, salah satunya adalah program talk show. Mata Najwa merupakan salah satu program talk show yang populer. Sebagaimana yang kita tahu Mata Najwa adalah acara talk show yang sangat berkualitas, ini dibuktikan dengan keberhasilan Mata Najwa mendapat penghargaan dari KPI Awardsebagai “Program Talkshow Terbaikpada tahun 2014 ini. Najwa Shihab sebagai

pembawa acara adalah jurnalis yang professional dan pintar. Ia mewawancarai narasumber dengan sangat lugas dan kritis. Gaya bahasa dan sikapnya yang sarkastik terkadang bisa memojokkan bahkan menyindir narasumber yang diwawancarainya. Oleh karenanya tayangan talk show Mata Najwa menjadi pilihan peneliti untuk dijadikan subjek penelitian. Episode yang dipilih menjadi bahan penelitian adalah Mata Najwa edisi 22 Agustus 2013 yang berjudul “Mendadak Capres”. Pada edisi ini narasumber yang dihadirkan adalah Handoyo


(18)

2

Noto Prodjo, Farhat Abbas, dan Bambang Mulyono. Ketiganya adalah orang-orang yang berniat untuk mengajukan diri menjadi presiden 2014 dengan tidak memiliki latar belakang pengalaman mengenai pemerintahan atau politik. Menurut peneliti video edisi ini masih bisa digunakan sebagai bahan penelitian dikarenakan tema perbincangan yang diangkat dalam dialog mengenai pencalonan presiden yang dimana pemilu jatuh pada bulan Juli 2014.

Pemilu 2014 menjadi sebuah topik yang sangat menarik dan banyak fenomena yang terjadi. Pengajuan diri dari pihak-pihak non-politikus pun kini menjadi sebuah kontroversi. Dialog yang dilakukan oleh Najwa Shihab dengan ketiga narasumber ini menjadi bahan kajian yang cukup menarik. Seperti yang kita ketahui Farhat Abbas adalah salah satu pengacara yang sedang banyak diberitakan oleh media lantaran ucapannya dan kicauannya di media sosial twitter yang terkadang membuat orang gerah dan kesal. Handoyo Noto Projo, adalah pegawai asuransi swasta yang ingin ikut-ikutan juga dalam memasuki jajaran calon presiden nekat. Narasumber terakhir ini, adalah Bambang Mulyono yaitu, seorang pengusaha kecap yang memiliki modal financial cukup banyak untuk membiayai dirinya menjadi calon presiden 2014. Jawaban-jawaban yang dilontarkan dan pertanyaan yang diajukan membuat peneliti cukup tergelitik karena sindiran pedas dari Najwa Shihab. Disinilah peneliti ingin melihat bagaimana penggunaan bahasa sarkasme selama acara talk showedisi 22 Agustus 2013 ini berlangsung dan makna apa yang terselubung dengan adanya penggunaan bahasa tersebut. Sehingga menjadi kajian yang menarik untuk diteliti menggunakan analisis wacana kritis, dimana peneliti ingin menganalisis


(19)

3

penggunaan kata-kata yang terindikasi sebagai kata-kata sarkasme serta maksud penggunaan kata-kata tersebut selama acara berlangsung. Selain itu penggunaan metode analisis wacana kritis ini diharapkan dapat menunjukkan representasi narasumber yang dibentuk oleh Najwa Sihab dan ideologi media yang dimunculkan dengan kata-kata sarkasme.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana penggunaan gaya bahasa sarkasme pada program talk show Mata Najwa di Metro TV edisi 22 Agustus 2013?

2. Bagaimana makna di balik penggunaan bahasa sarkasme pada tayangan tersebut?

3. Bagaimanakah reperentasi narasumber dalam tayangan tersebut terkait dengan penggunaan bahasa sarkasme?

4. Ideologi apa yang muncul dalam penggunaan bahasa sarkasme tersebut?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui penggunaan gaya bahasa sarkasme pada program talk show Mata Najwa di Metro TV edisi22 Agustus 2013.

2. Mengetahui maksud dari penggunaan bahasa sarkasme yang terindikasi dalam percakapan pada program talk show Mata Najwa di Metro TV edisi 22 Agustus 2013


(20)

4

3. Mengetahui representasi yang dibentuk terhadap narasumber dari

penggunaan bahasa sarkasme pada program talk showMata Najwa di Metro TV edisi 22 Agustus 2013

4. Mengetahui ideologi media yang dimunculkan dalam program talk show Mata Najwa di Metro TV edisi 22 Agustus 2013

D. Manfaat Penelitian

Penelitian yang akan dilakukan ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa manfaat akademis dan manfaat praktis, berikut manfaat yang diharapkan:

a. Manfaat Akademis

Ilmu pengetahuan selalu berkembang dan bertambah, dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan ilmu mengenai kajian teks media terlebih lagi dalam analisis wacana mengenai penggunaan gaya bahasa sarkasme pada program talk show di TV dan referensi bagi penelitian serupa.

b. Manfaat Praktis

Perkembangan pers saat ini membuat kebebasan bagi siapapun untuk menyajikan informasi dan berita dengan bentuk yang terkadang tidak sesuai dengan etika jurnalistik. Pengetahuan jurnalistik yang berbeda bagi setiap orang membuat penggunaan bahasa jurnalistik semakin bervariasi. Oleh karenanya, dengan penelitian ini diharapkan penggunaan bahasa jurnalistk yang baik bisa diterapkan bagi calon-calon junalis lulusan Universitas Muhammadiyah Malang khususnya.


(21)

5

E. Tinjauan Pustaka

E.1 Gaya Bahasa

Dalam penulisan setiap penulis terbentuk dari latar belakang yang berbeda dan pengetahuan yang berbeda pula. Hal ini mempengaruhi dalam banyak dan sedikitnya kosa kata yang digunakan. Kosa kata dan karakteristik penulis inilah yang menciptakan adanya gaya bahasa dan tulisan. Begitu juga dengan jurnalis, pastinya memilki gaya bahasa yang berbeda-beda. Gaya bahasa inilah yang membedakan setiap penulis dan jurnalis dalam karya tulisnya. Menurut Dale (dalam Sumadiria 2006:145), gaya bahasa adalah bahasa indah yang dipergunakan untuk meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan serta memperbandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yang lebih umum. Pendek kata, penggunaan gaya bahasa tertentu dapat mengubah serta menimbulkan konotasi tertentu. Gaya bahasa adalah cara mempergunakan bahasa secara imajinatif, bukan dalam pengertian secara kalamiah saja (Warriner, 1979:602 dalam Sumadiria 2006:146). Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa). Sebuah gaya bahasa yang baik harus mengandung tiga unsur berikut: kejujuran, sopan-santun, dan menarik (Keraf, 1984:113).

Kejujuran dalam bahasa, tulis Keraf, berarti kita mengikuti aturan-aturan, kaidah-kaidah yang benar dan baik dalam berbahasa. Pemakaian kata-kata yang kabur dan tak terarah, serta penggunaan kalimat yang


(22)

6

berbelit-belit, adalah jalan untuk mengundang ketidakjujuran. Pembicara atau penulis tidak menyampaikan isi pikirannya secara terus terang. Ia seolah-olah menyembunyikan pikirannya itu di balik rangkaian kata yang kabur dan jaringan kalimat yang berbelit-belit.

Keraf menjelaskan bahwa sopan-santun, adalah menghormati orang yang diajak bicara khususnya pendengar atau pembaca. Rasa hormat dalam gaya bahasa dimanifestasikan melalui kejelasan dan kesingkatan. Menyampaikan sesuatu secara jelas berarti tidak membuat pembaca dan pendengar memeras keringat untuk mencari tahu apa yang ditulis atau dikatakan. Kesingkatan sering jauh lebih efektif daripada jalinan yang berliku-liku.

Lebih jelas Keraf menjelaskan bahwa kesingkatan dapat dicapai melalui usaha untuk mempergunakan kata-kata secara efisien, meniadakan penggunaan dua kata atau lebih yang bersinonim longgar, menghindari tautology(kata-kata berlebihan); atau mengadakan repetisi yang tidak perlu. Menarik, dapat diukur melalui beberapa komponen berikut: variasi, humor yang sehat, pengertian yang baik, tenaga hidup (vitalitas), dan penuh daya khayal (imajinatif) (Keraf, 1984:113-115).

Seorang jurnalis pada dasarnya adalah seorang penulis, tetapi seorang penulis belum tentu seorang jurnalis. Seorang jurnalis memiliki kewajiban untuk menulis secara objektif dalam semua karya jurnalistiknya. Karena seorang jurnalis menyajikan fakta yang tersedia dan diolah sedemikian rupa agar informasi dapat tersampaikan secara jelas kepada khayalak. Seorang


(23)

7

jurnalis berkualitas dituntut untuk tidak hanya bisa memahami segala praktek jurnalistik tetapi disyaratkan juga untuk bisa memahami dan menguasai aspek dan teknik penulisan yang benar.

Secara umum gaya bahasa terdiri atas empat bagian besar: gaya bahasa perbandingan, gaya bahasa pertentangan, gaya bahasa pertautan, dan gaya bahasa perulangan (Sumadiria 2006:146).

Sebagaimana yang kita ketahui Najwa Shihab adalah seorang jurnalis professional yang memiliki ciri khas tersendiri dalam berbahasa. Kata-kata yang digunakan dan dipilih terkadang terasa sedikit ‘pedas’. Gaya bahasa seperti ini bisa diindikasikan sebagai gaya bahasa sarkasme. Tetapi memang tidak semua kalimat atau kata-kata yang diucapkan seorang Najwa Shihab mengandung makna sarkasme. Gaya bahasa dalam bahasa Indonesia ada banyak, tetapi dalam penelitian ini lebih memfokuskan pada gaya bahasa sarkasme yang muncul pada dialog percakapan di video tayangan Mata Najwa edisi 22 Agustus 2013.

E.1.1 Gaya Bahasa Sarkasme

Dalam percakapan dengan seseorang yang tidak sepemikiran dengan kita terkadang kita menggunakan bahasa sarkastik/ sarkasme untuk menolak atau tidak setuju dengan pendapat orang tersebut. Sarkasame adalah penggunaan kata-kata yang memiliki arti sebaliknya dari apa yang sebenarnya ingin diungkapkan. Biasanya penggunaan sarkasame untuk menghina seseorang, menyindir atau bahkan sebagai rasa humor (Merriam-Webster Dictionary). Penggunaan bahasa sarkasame biasanya disertai


(24)

8

dengan intonasi suara dan ekspresi wajah, tetapi tidak selalu begitu. Karena sarkasme adalah bentuk tidak langsung dari sebuah komunikasi yang dimana meninggalkan intepretasi mengenai apa yang diucapkan kepada pendengar. Sarkasme adalah bagian lain dari kategori ironi, yang merupakan sebuah pernyataan di mana makna yang dimaksud tidak digambarkan dengan kata-kata yang digunakan (Shepperd, 2008:1).

Bila dibandingkan dengan ironi dan sinisme, sarkasme lebih kasar. Sarkasme adalah jenis gaya bahasa yang mengandung olok-olok atau sindiran pedas dan menyakiti hati (Poerwadarminta, 1976:874 dalam Sumadiria, 2006:161). Kata sarkasme berasal dari bahasa Yunani sarkasmos yang diturunkan dari kata kerja sakaseinyang berarti merobek-robek daging seperti anjing, menggigit karena marah, atau bicara kepahitan (Keraf, 1984:144). Ciri utama gaya bahasa sarkasme ialah selalu mengandung kepahitan dan celaan yang getir, menyakiti hati, dan kurang enak didengar (Tarigan, 1985:92 dalam Sumadiria, 2006: 161). Berikut contoh penggunaan gaya bahasa sarkasme dalam kalimat:

1. Dengan kemampuan rendahan, sungguh berani Anda mengajukan diri sebagai ketua partai.

2. Walaupun cibiran sudah menghiasi namanya, wajah tembok masih bisa menyemangati niat Yanto untuk maju menjadi Caleg.

Sarkasme termasuk kedalam jenis gaya bahasa pertentangan. Gaya bahasa pertentangan, sesuai dengan namanya, membandingkan dua hal yang berlawanan atau bertolak belakang. Gaya bahasa jenis ini cukup banyak


(25)

9

ditemukan dalam berbagai karya jurnalistik. Menurut Prof. Henry Guntur Tarigan (1985:55-82 dalam Sumadiria 2006:153), gaya bahasa pertentangan semuanya terdiri dari 20 jenis. Namun ada 12 jenis gaya bahasa pertentangan yang sering digunakan yaitu: (1) hiperbola, (2) litotes, (3) ironi, (4) oksimoron, (5) satire, (6) innuendo, (7) antifrasis, (8) paradoks, (9) klimaks, (10) antiklimaks, (11) sinisme, dan (12) sarkasme.

Apapun tujuan sosial atau psikologis kita untuk menjadi sarkastik, dari sudut pandang murni linguistik dan tata bahasa, kita melakukan dua hal sekaligus; kita mengkomunikasikan pesan nyata bagi pendengar kita tetapi pada saat yang sama kita membingkai pesan ini dengan komentar atau pesan inti yang mengatakan sesuatu seperti “Saya tidak bermaksud ini: pada kenyataanya saya bermaksud yang sebaliknya”. Bahasa adalah gambaran personaliti dan budaya seseorang, sehingga sarkasme merupakan penggambaran personaliti verbal yang agresif dan kesinisan dalam menanggapi sesuatu (Haiman, 1998;13).

Berdasarkan pengamatan sementara peneliti, Najwa Shihab menyalurkan rasa tidak setuju dalam wawancara yang dilakukannya di program Mata Najwa, dengan menggunakan gaya bahasa sarkasme di kalimat yang ia ucapkan. Kalimat lugas dan tegas dengan intonasi menyindir inilah yang sepertinya digunakan Najwa Shihab dalam mengekspresikan ketidak setujuan dengan argumen narasumber.

Sarkasme merupakan bentuk intelegensi humor yang digunakan saat sesorang sudah penat akan sesuatu yang sangat klise seperti politik, berita di


(26)

10

televisi, drama dan lain sebagainya. Sarkasme digunakan oleh orang cerdas untuk menghina atau menyindir orang lain agar terlihat bodoh. Begitu pula dengan Najwa Shihab, pertanyaan menjebak yang membuat narasumber terkadang termakan oleh ucapannya sendiri.

Dalam perpektif jurnalistik, sarkasme berkembang dalam suatu masyarakat sebagai cerminan masyarakat itu sedang sakit. Sarkasme menunjukkan kaidah normatif pada budaya peradaban tinggi, dianggap tidak lagi efektif dalam menjawab berbagai persoalan sosial-ekonomi dan politik suatu bangsa. Orang tidak lagi memilih pola pikir logis-etis tetapi lebih suka mengembangkan cara-cara, sikap dan perilaku sadis anarkis.

Bahasa jurnalistik tunduk kepada kaidah etis. Jadi, bahasa jurnalistik terlarang menggunakan kata kasar, menyakiti hati, tidak enak didengar, vulgar, sarat sumpah-serapah, dan lebih jauh lagi mencerminkan pola perilaku orang, atau kelompok masyarakat yang tidak beradab. Sarkasme pada bahasa jurnalistik bisa muncul dari banyak pintu. Bisa melalui kalimat kutipan atau ucapan langsung, bisa pula melalui kalimat berita atau pelaporan yang ditulis para jurnalis.

E.2 Jurnalistik Televisi

E.2.1 Bahasa Jurnalistik Televisi

Bahasa jurnalistik tidak hanya digunakan dalam media cetak saja, tetapi dalam media penyiaran seperti radio dan televisi pun bahasa jurnalistik digunakan, dan tetap sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bahasa jurnalistik elektronik (radio dan televisi) tetap


(27)

11

menggunakan standar EYD (Ejaan Yang Disempurnakan). Karena

jurnalistik radio maupun televisi mempunyai sifat intimacy (kedekatan/ intim) (Baksin, 2006:69), maka bahasa jurnalistik yang digunakan dalam penyiaran berbeda dengan bahasa cetak/ tulis. Bahasa penyiaran lebih menekankan pada bahasa tutur dan bahasa informal, sedangkan bahasa cetak lebih menekankan pada bahasa formal. Perbedaan yang jelas adalah informasi dari televisi tidak dapat diulang seperti halnya pada media cetak contohnya koran. Orang dapat membaca berulang-ulang kali untuk memahami informasi yang berasal dari media cetak. Tetapi tidak dengan media penyiaran, segala informasi yang dibacakan harus bisa langsung diterima dan dipahami oleh audiencepada saat itu juga.

Sebagaimana yang dikutip oleh Askurifai Baskin (2006:70) dalam buku JB Wahyudi bahwa mengingat salah satu sifat media televisi adalah transitory, yaitu hanya meneruskan isi pesan, yang berarti isi pesan hanya didengar atau dilihat sekilas, maka penyusunan naskah untuk karya jurnalistik harus tepat, ringkas, jelas, sederhana, dan dapat dipercaya. Apabila persyaratan ini dipenuhi, maka akan tersusun kalimat yang

memenuhi formula easy listening, yaitu mudah dimengerti pada

pendengaran pertama (Fang, 1971 dalam Baskin, 2007:70). Menurut Fang, agar susunan kalimat memenuhi formula easy listening, perlu diusakan tiap kalimat tidak menggunakan lebih dari 20 kata. John Henenberg (1958) (dalam Baskin, 2006:71) menegaskan bahwa dalam penyusunan naskah karya jurnalistik (berita dan penjelasan masalah hangat), pemilihan kata


(28)

12

yang tepat dan penggunaan tata bahasa yang benar mutlak adanya. Untuk menyusun naskah berita radio dan televisi, saran Soren H. Munhoff (The Five Star Approach to News Writing) dan Irving E. Fang tentang ELF (Easy Listening Formula) dan penggunaan kalimat yang tidak lebih dari 20 kata perlu diperhatikan. Jika kedua pendapat itu diperhatikan, sisipan yang disajikan, baik melalui radio maupun televisi akan sampai kepada khalayak dengan jernih dan jelas sehingga tidak akan menimbulkan pengertian yang berbeda (Baskin, 2006:71).

E.2.1.1 Ragam Bahasa Penyiaran

Media penyiaran memiliki berbagai program dalam setiap acara siarannya. Bahasa yang digunakan pun pasti berbeda, seperti bahasa yang digunakan dalam siaran berita atau informsai mengenai olahraga, berita utama, berita ringan, ataupun talk show. Tatanan dan gaya bahasa yang digunakan haruslah disesuaikan dengan kebutuhan berita atau informasi yang akan disampaikan. Namun ada beberapa pertimbangan yang harus diperhatikan jika menyusun naskah jurnalistik penyiaran (Baskin, 2006:72): 1. Pilih kata yang tepat dan pendek (ekonomi kata).

2. Hilangkan kata yang mubazir. 3. Gunakan kalimat aktif.

4. Hindari penggunaan kata-kata asing. Jika istilah asing bersifat teknis dan terpaksa digunakan, istilah tersebut harus dijelaskan maknanya.

5. Jangan menggunakan kalimat klise pada awal naskah. Kalimat klise adalah kalimat yang maknanya sudah bersifat umum.


(29)

13 6. Hindari penggunaan kalimat majemuk

Pendapat mengenai tekhnik penyusunan penulisan berita televisi pun di perkuat oleh Soewardi Idris dalam bukunya Jurnalistik Televisi (1987:6-10) yang merumuskannya sebagai berikut:

1. Sederhana, tidak bercampur aduk dengan kata-kata asing atau kata-kata yang kurang dikenal oleh rata-rata penonton.

2. Kalimat-kalimat hendaklah pendek, langsung kepada sasaran, tidak berbelit-belit.

3. Hindari pemakaian kalimat terbalik (inverted sentence).

4. Usahakan letak pokok kalimat berdekatan dengan sebuah kalimat. Pemisahan yang terlalu jauh antara pokok dan sebutan kalimat dapat mengacaukan perhatian penonton. Usahakan pula “yang diterangkan” (D) dan “yang menerangkan” (M) tersusun menurut hukum DM dalam bahasa Indonesia.

5. Mata uang asing, ukuran, timbangan, dan takaran Negara lain mungkin berbeda dengan apa yang lazim dipakai di Negara kita.

6. Tidak ada salahnya memberikan sedikit penjelasan mengenai benda-benda atau kata-kata asing yang terpaksa digunakan dalam siaran berita televisi.

E.2.1.2 Bahasa Jurnalistik Tutur

Hal utama yang membedakan media penyiaran dengan media yang lainnya adalah kecepatan waktu dalam penyampaian informasi. Durasi waktu yang mengikat membuat jurnalis penyiaran haruslah cermat dan lugas


(30)

14

dalam berbahasa saat membacakan berita dan informasi. Bahasa jurnalistik tutur harus cepat menuju pada sasaran yang hendak disampaikan (straight to the point), lugas, singkat, cerdas, tajam, dan terpercaya (Rahardi, 2007: 24-25). Oleh karenanya bahasa jurnalistik tutur harus memperhatikan hal-hal berikut (Rahardi, 2007: 27-39):

1. Perhatian khusus pada pemanfaatan bunyi atau suara yang asli, murni, natural atau alami dan tidak dibuat-buat. Di dalam jurnalistik tutur tidak dibenarkan menggunakan bentuk-bentuk yang disebut sebagai ‘penggenitan bahasa’. Jadi dalam media massa tutur hindarilah pemakaian ‘coqettish language’ atau bahasa yang bergenit-genit ria. 2. Perhatian yang khusus pada artikulasi, intonasi, aksentuasi, dan

pemenggalan bentuk-bentuk kebahasaan. Artikulasi dimaksudkan bahwa pengucapan kata-kata, frasa-frasa, kalimat-kalimat, dan istilah-istilah khusus di dalam sebuah bahasa harus jelas, tegas, benar dan akurat. Intonasi dimaksudkan sebagai langgam nada, nada pengucapan, cepat atau lambatnya pengucapan, naik-turunnya lagu kalimat atau tuturan. Intonasi yang keliru, pasti akan membuat pemaknaan yang menjadi keliru. Jurnalis tutur harus berusaha agar pendengar atau pemirsa tidak salah dalam manafsirkan tuturan, lantaran intonasi atau lagu kalimat yang tidak cermat dan tepat. Ketika bertutur, seorang jurnalis tutur juga harus cermat dan tepat aksentuasinya. Aksentuasi adalah penekanan dan penegasan pada bentuk-bentuk kebahasaan tertentu. Penegasan atau penekanan ini berpengaruh besar terhadap maksud dan makna. Jurnalis


(31)

15

tutur juga harus memperhatikan pemenggalan kata-kata atau bagian-bagian kalimat.

3. Perhatian yang khusus pada kesantunan dan keakraban. Seorang jurnalis tutur harus berlaku sopan dan ramah dengan siapa pun yang menjadi mitra tuturnya.

4. Perhatian yang khusus pada pengendalian emosi. Seorang jurnalis tutur yang baik mutlak harus mampu mengendalikan emosi dirinya sendiri, khususnya ketika sedang berada di depan pendengar atau pemirsanya. 5. Perhatian yang khusus pada penguasaan diksi. Seorang jurnalis tutur

mutlak harus menguasai prinsip-prinsip di dalam diksi atau pemilihan kata. Harus bisa menyusaikan penggunakaan kata yang sesuai dengan konteks yang sedang dibicarakan dan bisa menguasai standarisasi kata. 6. Perhatian yang khusus pada posisi dan peran diri.

7. Perhatian khusus pada pemeliharaan kontak dengan mitra tutur. Kontak mata adalah bahasa tubuh yang menguatkan apa yang dikatakan oleh seorang jurnalis tutur. Kontak mata tidak hanya dengan audience yang hadir di studio tetapi dengan pemirsa di rumah pula.

8. Perhatian khusus pada penguasaan prinsip-prinsip kelucuan atau kejenakaan.

9. Perhatian khusus pada penguasaan kosakata yang memadai. Seorang jurnalis media tutur harus senantiasa mengikuti perkembangan perkosakataan yang sedang hits di masyarakat. Seorang jurnalis tutur


(32)

16

perkosakataan, termasuk kata yang berciri kontemporer atau kata-kata khusus yang hanya diketahui dan dikuasai oleh kelompok tertentu saja. Seorang jurnalis tutur dituntut untuk memilki stok kata-kata yang banyak sehingga dengan mudah pula menggunakannya sesuai dengan konteks dan audiens yang dihadapi. Dengan demikian tuturan atau acara yang sedang dibawakan menjadi menarik dan tidak membosankan serta mendapatkan banyak apresiasi dan perhatian dari pendengar dan pemirsa.

E.2.2 Budaya Televisi

Fiske menyatakan dalam bukunya Television Culture (2001: chapter one) bahwa budaya televisi merupakan penjelasan dari definisi kedua objek tersebut. Fiske mendefinisikan televisi sebagai pembawa/ pemprovokasi makna dan kesenangan, sedangkan budaya adalah sebagai generasi dan sirkulasi dari makna dan kesenangan yang disajikan dalam masyarakat. Televisi sebagai budaya adalah bagian penting dari dinamika sosial dimana struktur sosial mempertahankan dirinya dalam proses konstan produksi dan reproduksi: makna, kesenangan populer dan sirkulasi mereka yang merupakan bagian dari struktur sosial ini. Fiske menyatakan setidaknya ada tiga proses yang dialami seseorang saat memaknai code yang diberikan oleh media yaitu realitas, representasi dan ideology.

Televisi membentuk budaya masyarakat melalui program-program yang ditayangakan setiap harinya. Budaya ini dibentuk secara perlahan melalui tayangan drama, gaya hidup selebriti, pola pikir kritis dalam


(33)

17

menanggapi politik dan iklan-iklan yang mempengaruhi konsumerisme. Televisi merupakan ruang publik yang dimana dituntut untuk menyajikan informasi berdasarkan kebutuhan publik secara global, bukan karena kepentingan sepihak. Tetapi pada kenyataannya bentuk, proses dan kualitas komunikasi di ruang publik berupa kebutuhan yang menyangkut orang banyak tidak lagi menjadi prioritas. Karena yang penting bagi televisi saat ini adalah tercapainya sasaran yang sangat particular yaitu; rating, share, dan pendapatan iklan (Sudibyo, 2009:56).

Televisi di Indonesia masih belum bisa menyajikan tayangan berkualitas seperti pada televisi Amerika. Televisi Indonesia masih saling ‘contoh-mencontoh’ dalam pembuatan program tayangan televisi. Setiap program tayangan televisi yang laku dari salah satu stasiun televisi, maka pada stasiun televisi yang lain pasti akan mengikuti sajian yang sama. Kehomogenan program tayang televisi ini membentuk pemikiran pada masyarakat bahwa trendpada tayangan tersebut merupakan hal yang sangat kekinian, sehingga layak untuk diikuti. Tanpa disadari masyarakat terbentuk atas trendyang berkembang pada tayangan televisi.

Tetapi ada beberapa televisi yang membedakan diri dalam target audienceyang terkait dengan program tayang televisinya. Contohnya dalam penelitian ini adalah Metro TV. Namun budaya populer yang dikembangkan tetap saja ada. Penggunaan bahasa redaksional dalam penyiaran berita terkadang membentuk pemaknaan lain bagi penonton. Berita yang disajikan pun berdasarkan kepentingan yang memang masih terkait dengan


(34)

18

kepelimikan saham media televisi itu sendiri. Dari sini bisa kita lihat bahwa budaya televisi Indonesia lebih mengutamakan sajian hiburan daripada edukatif, televisi menyajikan berita dan informasi berdasarkan kepentingan pemilik saham media. Budaya televisi disatu sisi membawa kita dalam peradaban hedonisme yang tinggi tetapi di lain sisi membodohkan kita sehingga ikut dalam alur trendyang berkembang di dalamnya.

E.3 Talk Show

Salah satu genre program televisi yaitu talk show. Talk show mulai diproduksi di Indonesia sejak awal tahun 90-an di SCTV yaitu “Perspektif” yang dibawakan oleh Wimar Witoelar (Rukmananda, 2004:149). Talk show sendiri merupakan perubahan yang sangat signifikan dari program televisi, yang dahulu lebih banyak menyajikan politik, dramadan berita. Talk show bisa di anggap sebagai perwakilan dari televisi untuk sebuah ranah publik, yang dimana televisi sendiri merupakan media massa publik. Ranah publik yang dimaksudkan adalah sebuah ruang konseptual dimana publik gunakan untuk membicarakan isu-isu terkini menggunakan wacana bersama dan asumsi yang diperlukan untuk debat secara rasional dengan bantuan pembawa acara. Perdebatan atau diskusi pada ranah publik televisi ini juga sebagai penunjang demokratisasi dan membangun budaya masyarakat yang lebih tinggi.

Tamu dalam acara talk showbiasanya difokuskan pada kelompok atau individual yang mewakili minoritas yang lebih besar dan memiliki pengalaman yang dapat di bagi kepada masyarakat sebagai pembelajaran


(35)

19

sosial. Contohnya saja penyandang cacat, orangtua tunggal dengan keterbatasan fisik, atau pada penelitian ini calon presiden dengan modal nekat. Dimana kelompok atau individual ini mampu menyuarakan pemikiran mereka dalam menghadapi situasi mereka, hal ini lah yang membuat talk show berbeda dengan acara televisi lainnya. Talk show membawa sensasi kedekatan lebih besar kepada penonton, pertanyaan-pertanyaan yang di ajukan oleh pembawa acara pun menjurus kepada jawaban privat, sehingga kedekatan yang ditampilkan juga lebih mengena kepada penontonnya, terlebih yang memiliki permasalahan atau pengalaman yang sama. Pengalaman pribadi yang diceritakan kepada publik secara nasional memang terkadang membawa efek yang tidak selalu baik, ada kalanya penonton menjadi skeptic dan sinis. Namun hal ini juga sebagai penggabungan dari penyaluran aspirasi dan diskusi yang memberikan solusi, ini juga mengubah kemarahan menjadi suatu yang bisa lebih dikompromikan (Bignell, 2004:123).

Talk show tidak hanya sebuah acara televisi yang menampilkan perdebatan ataupun diskusi kelompok, namun dalam talk show pun ada pesan-pesan lain yang dihadirkan bersamaan dengan narasumber yang diundang. Kehadiran narasumber yang berpengaruh dan membawa isu

sentral pada trend saat itu, mempunyai pembicaraan yang bisa

mempengaruhi pola pikir penonton. Sehingga dalam talk showada ideologi yang dipaparkan yang berasal baik dari narasumber maupun pembawa acara. Secara tidak langsung penonton dipaksa untuk menerima ideologi yang


(36)

20

disajikan dalam talk show tersebut. Stuart Hall (Hall, Hobson, Lowe dan Willis, 2011:195) menyatakan bahwa media memainkan peran dalam menyebarluaskan berbagai definisi pesan media dan representasi ideologis dominan ke dalam agenda pembicaraan.

E.4 Analisis Wacana

Mengacu pada Crystal (1987, dalam Eriyanto, 2001:2) analisis wacana memfokuskan pada struktur yang secara alamiah terdapat pada bahasa lisan, sebagaimana banyak terdapat dalam wacana seperti percakapan, wawancara, komentar, dan ucapan-ucapan. Wacana adalah komunikasi lisan atau tulisan yang dilihat dari titik pandang kepercayaan, nilai, dan kategori yang masuk di dalamnya; kepercayaan disini mewakili pandangan dunia; sebuah organisasi atau representasi dari pengalaman (Roger Fowler, 1972 dalam Eriyanto, 2001:2). Wacana kadangkala sebagai bidang dari semua pernyataan (statmen), kadang kala sebagai sebuah individualisasi kelompok pernyataan, dan kadang kala sebagai praktik regulatif yang dilihat dari sebuah pernyataan (Foucault, 1972 dalam Eriyanto, 2001:2).Analisis wacana selalu berhubungan dengan studi mengenai bahasa atau pemakaian bahasa. Ada tiga pandangan mengenai bahasa dalam analisis wacana (Mohammad A. S. Hikam 1996:78-86 dalam Eriyanto, 2001:4-6):

1. Pandangan pertama yaitu positivisme-empiris, tata bahasa, kebenaran sintaksis adalah bidang utama dari aliran ini. Dalam hal ini analisis wacana dimaksudkan untuk menggambarkan tata aturan kalimat, bahasa,


(37)

21

dan pengertian bersama. Wacana lantas diukur dengan pertimbangan kebenaran/ ketidakbenaran (menurut sintaksis dan semantik).

2. Pandangan kedua, disebut sebagai konstruktivisme. Analisis wacana dimaksudkan sebagai suatu analisis untuk membongkar maksud-maksud dan makna-makna tertentu. Wacana adalah suatu upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari subjek yang mengemukakan suatu pernyataan. 3. Pandangan ketiga, disebut sebagai pandangan kritis. Analisis wacana

tidak dipusatkan pada kebenaran/ ketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses penafsiran seperti pada analisis konstruktivisme. Analisis wacana dalam paradigma ini menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Oleh karena itu, analisis wacana dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa: batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang mesti dipakai, topik apa yang dibicarakan.

Dari ketiga pandangan mengenai analisis wacana diatas, penelitian ini menggunakan pandangan kritis. Dalam analisis wacana kritis, wacana di sini tidak dipahami semata sebagai studi bahasa, tetapi juga dikaitkan dengan konteks dan tujuan dari sebuah praktik. Menurut Fairclough dan Wodak (Eriyanto, 2001:7), analisis wacana kritis melihat wacana – pemakaian bahasa dalam tuturan dan tulisan – sebagai bentuk dari praktik sosial, dan analisis wacana kritis ini menyelidiki bagaimana melalui bahasa kelompok sosial yang ada saling bertarung dan mengajukan versinya masing-masing. Karakteristik penting dari analisis wacana kritis adalah tindakan, konteks,


(38)

22

historis, kekuasaan, dan ideologi. Wacana dianggap sebagai suatu tindakan dikarenakan wacana dipandang sebagai sesuatu yang bertujuan baik itu membujuk, mendebat, menyangga, beraksi dan sebagainya. Selain itu wacana juga dianggap sebagai sesuatu yang diekspresikan secara sadar. Konteks disini memasukan semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa. Historis disini adalah waktu dan seting bagaimana teks tersebut diproduksi dan digunakan. Kaitan antara kekuasaan dengan wacana adalah untuk melihat kontrol. Kontrol dalam hal ini adalah bagaimana orang yang memiliki kekuasaan saat berbicara atau menggunakan teks bisa mengontrol struktur wacana. Selanjutnya yang terakhir adalah ideologi. Teks dan bahasa adalah pencermianan dari sebuah ideologi, sehingga dimanapun bahasa digunakan pasti ada ideologi yang mengikutinya (Eriyanto, 2001: 8-14).

E.5 Ideologi Budaya Media

Media yang menggunakan bahasa dalam penyampaian informasi membawa ideologi dominan didalamnya. Ideologi merupakan dasar pemikiran berdasarkan budaya yang berkembang di dalam masyarakat. Ideologi juga dihasilkan dari pemikiran-pemikiran ahli filsuf terdahulu seperti Karl Marx, Lenin, Aistoteles dan yang lainnya. Sebuah ideologi tercipta atas pemaknaan dari sebuah realitas. Seperti yang dikatakan oleh Stuart Hall (dalam Morrisan, 2013: 540)

“Those images, concept and premises which provide the framework through which we represent, interpet, understand, and ‘make sense’ of some aspect of social existence”.


(39)

23

“Segala gambaran, konsep dan gagasan yang menjadi dasar pijakan yang kita gunakan untuk menyajikan, menginterpretasikan, mengerti dan ‘menerima’ aspek-aspek keberadaan masyarakat.”

Dari pernyataan Hall tersebut, ideologi mencakup bahasa, konsep dan kategorisasi yang berasal dari berbagai kelompok sosial yang berbeda dalam upaya mereka untuk memahami lingkungan. Ini berarti pemahaman masyarakat atas suatu realitas cenderung memiliki pemahaman yang sama mengenai banyak hal. Pemahaman yang sama tersebut adalah ideologi, dan ideologi ditentukan oleh berbagai pengaruh yang menjadikannya sebuah dasar pemikiran, seperti pembenaran sumber (verifikasi) dan hubungan di antara berbagai sumber tersebut (artikulasi) (Morissan, 2013: 540).

Ideologi memiliki berbagai tingkat dukungan yang berbeda-beda dalam masyarakat. Morissan dalam bukunya Teori Komunikasi (2013; 541), menyatakan bahwa masyarakat kapitalistik memiliki ideologi yang didominasi oleh ideologi yang bersal dari kelas elite di masyarakat, sehingga ini menjadi ideologi dominan. Ideologi dominan menjadikan kelompok elit memegang kekuasaan tertinggi dan kuat, sehingga bisa menekan kelompok lain yang kecil dan lebih lemah. Sehingga dengan kata lain, kelompok elite ini bisa menentukan dan berkuasa atas apa yang menjadi dasar sebuah pemikiran yang berkembang di masyarakat.

Kekuasaan ada pada semua aspek kehidupan manusia, baik dari budaya, ekonomi, agama bahkan identitas diri. Menurut Hall (dalam Morissan, 2013: 547) makna tentang realitas yang dipahami oleh masyarakat saling berhubungan dengan kekuasaan yang ada di dalam


(40)

24

masyarakat itu sendiri. Media merupakan salah satu aspek kehidupan kita saat ini. Media menyajikan realitas-realitas yang dibangun dengan makna yang ditentukan oleh kekuasaan. Contohnya pada penelitian ini, realitas mengenai calon presiden yang ideal dibentuk sedemikian rupa oleh Mata Najwa, sehingga kelompok-kelompok rendah seperti para narasumber tidak bisa memasuki kriteria calon presiden. Hal ini dikarenakan representasi yang dibentuk oleh Najwa terhadap narasumber adalah kebalikan dari kriteria ideal seorang calon presiden. Sehingga dalam hal ini, media selalu didominasi oleh ideologi yang berlaku atau ideologi yang berkuasa, dan media memperlakukan ideologi lain sebagai ideologi yang berlawanan atau ‘pinggiran’.

F. Metode Penelitian

F.2 Pendekatan Dan Tipe Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif lebih dimaksudkan untuk mengemukakan gambaran atau pemahaman (understanding) mengenai bagaimana dan mengapa suatu gejala atau realitas komunikasi terjadi (Pawito, 2007:35). Pendekatan ini lebih mendasarkan diri pada hal-hal yang yang bersifat diskursif, seperti transkrip dokumen, catatan lapangan, hasil wawancara, dokumen-dokumen tertulis dan data nondiskursif seperti video music dan sebagainya. Pijakan analisis dan penarikan kesimpulan dalam penelitian komunikasi kualitatif adalah kategori-kategori substantive dari makna-makna, atau lebih tepatnya adalah interpretasi-interpretasi terhadap gejala yang diteliti, yang pada umumnya


(41)

25

memang tidak dapat diukur dengan bilangan (Pawito, 2007:38). Sehingga menjadi pendekatan yang sangat tepat untuk penelitian ini. Dimana sesuai dengan tujuan dari penelitian yang sudah dituliskan di bab sebelumnya.

Tipe penelitian ini adalah deskriptif. Tipe penelitian ini didasarkan pada pertanyaan dasar ‘bagaimana’. Penelitian ini mengedepankan bagaimana suatu permasalahan itu terjadi. Dengan demikian temuan-temuan dari penelitian deskriptif lebih luas dan lebih terperinci, karena variable-variabel yang terkait dengan masalah diuraikan atas faktor-faktornya (Gulö, 2002:19). Hasil penelitian disajikan secara deskriptif, karena tema yang diangkat adalah wacana dan makna di balik bahasa.

F.2 Dasar Penelitian

Dasar penelitian ini adalah analisis wacana kritis. Dalam analisis wacana kritis, wacana di sini tidak dipahami semata sebagai studi bahasa, tetapi juga dikaitkan dengan konteks dan tujuan dari sebuah praktik. Menurut Fairclough dan Wodak (Eriyanto, 2001:7), analisis wacana kritis melihat wacana – pemakaian bahasa dalam tuturan dan tulisan – sebagai bentuk dari praktik sosial, dan analisis wacana kritis ini menyelidiki bagaimana melalui bahasa kelompok sosial yang ada saling bertarung dan mengajukan versinya masing-masing. Analisis wacana kritis digunakan dalam penelitian ini karena dianggap sebagai metode yang tepat untuk mengungkap kekuatan yang dominan dalam pembentukan teks, baik pada proses produksi dan reproduksi makna yang tersajikan. Oleh karenannya sangat tepat untuk mengungkap kuasa yang ada dalam proses penggunaan


(42)

26

gaya bahasa sarkasme dalam tayangan Mata Najawa edisi 22 Agustus 2013 dengan tema ‘Mendadak Capres’.

Dalam hal ini gaya bahasa sarkasme yang digunakan dalam dialogpercakapan menunjukkan untuk mengintimidasi narasumber. Selain itu metde analisis wacana terpilih untuk menganalisis permasalahan yang sudah diuraikan sebelumnya adalah menggunakan Norman Fairclough. Seperti yang diketahui analisis Norman Fairclough menekankan adanya penggunaan kekuasaan dibalik bahasa. Kekuasaan dalam hal ini dianggap bagaimana kemampuan seorang Najwa Shihab dalam membentuk intepretasi audience terhadap narasumber yang di wawancarainya. Selain itu, model

analisis Norman Fairclough juga bisa mengungkap bagaiamana

penggambaran teks yang sebenarnya, siapa yang berkuasa atas pembentukan dan penggunaan bahasa sarkasme dalam acara tersebut, serta kaitannya dengan keadaan sosial budaya politik saat itu.

F.3 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah dialog / percakapana yang dilakukan dalam tayangan talk show Mata Najwa di Metro TV edisi 22 Agustus 2013. Peneliti mencoba menganalisis gaya bahasa sarkasme yang

terdapat selama percakapan berlangsung. Edisi Mata Najwa ini

membicarakan mengenai calon-calon presiden yang mengajukan diri secara

independen dengan tidak adanya latar belakang politik maupun

pemerintahan. Narasumber yang dihadirkan adalah Handoyo Noto Prodjo, Farhat Abbas, dan Bambang Mulyono.


(43)

27

F.4 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di PT. Media Indonesia (Metro TV) yang beralamat di Jl. Pilar Mas Raya Kav A-D, Kebon Jeruk, Kedoya, Jakarta Selatan. Lokasi penelitian terkait dengan wawancara mendalam yang dilaksanakan pada tanggal 21 April 2014. Selanjutnya penelitian dan analisis data kembali dilaksanakan di Malang.

F.5 Sumber Data

a. Data Premier

Data premier dari penelitian ini adalah hasil wawancara dengan produser Mata Najwa dan data dokumentasi transkrip percakapan pada video tayangan Mata Najwa yang diunduh dari youtube dengan durasi full seperti yang tayang di Metro TV pada 22 Agustus 2013. Video tersebut di unduh dari akun milik T. Pur.

b. Data Sekunder

Data sekunder dari penelitian ini berupa studi kepustakaan yang terkait dengan penggunaan bahasa jurnalistik dan gaya bahasa sarkasme di media televisi. Kepustakaan disini berupa buku-buku refensi, jurnal, skripsi dan karya ilmiah serta internet untuk melengkapi penelitian terutama dalam tinjauan pustaka dan materi pembahasan.

F.6 Sumber Kajian

Sumber kajian untuk penelitian ini adalah:

1. Dokumentasi percakapan yang ada dalam video Mata Najwa edisi 22 Agustus 2013 dalam bentuk transkrip wawancara tertulis.


(44)

28

2. Dokumentasi komentar penonton video di youtube pada tiap segmen program Mata Najwa.

3. Hasil wawancara mendalam dengan pihak Mata Najwa yang memiliki

kualifikasi untuk melengkapi data analisis dalam bentuk produksi teks. 4. Studi kepustakaan, peneliti mencari bahan refensi untuk melengkapi

hasil analisis dengan menggunakan, buku, jurnal, skripsi, dan internet yang terkait dengan tema penelitian.

F.7 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis wacana Norman Fairclough. Analisis data melalui 3 tahap yaitu analisis teks, discourse practice, dan sociocultural practice. Analisis teks bertujuan mengungkap makna, dan itu bisa dilakukan diantaranya dengan menganalisis bahasa secara kritis. Discourse practice mengentarai teks dengan konteks sosial budaya (sociocultural practice).

Ada tiga tahap analisis yang digunakan. Pertama, deskripsi, yakni menguraikan isi dan analisis secara deskriptif atas teks. Di sini, teks dijelaskan tanpa dihubungkan dengan aspek lain. Kedua, interpretasi, yakni menafsirkan teks dihubungkan dengan praktik wacana yang dilakukan. Disini, teks tidak dianalisis secara deskriptif, tetapi ditafsirkan dengan menghubungkannya dengan bagaimana proses produksi teks dibuat. Ketiga, eksplanasi, bertujuan untuk mencari penjelasan atas hasil penafsiran kita pada tahap kedua. Penjelasan itu dapat diperoleh dengan mencoba


(45)

29

menghubungkan produksi teks itu dengan praktik sosiokultural di mana suatu media tersebut berada (Eriyanto, 2001:326-327).

a. Analisis Teks

Analsis teks merupakan tahap pertama dalam analisis data pada metode analisis wacana kritis dengan model Fairclough ini. Analisis teks berupa analisis dialog percakapan objek penelitian secara deskriptif dan terperinci sesuai dengan unsur analisis teks yaitu representasi, relasi, identitas dan intertekstualitas. Unsur-unsur analisis teks tersebut digunakan untuk menemukan makna teks sebenarnya dan mengungkap kaitannya dengan setiap unsur. Karena sebuah teks bukan hanya menampilkan bagaimana suatu objek digambarkan tetapi juga bagaimana hubungan antarobjek didefinisikan. Eriyanto (2001: 289) menjelaskan analisis teks dengan tabel sebagai berikut:

Tabel 1.1

Unsur-Unsur untuk Menguraikan Teks

Unsur Yang Ingin Dilihat

Representasi

 Dalam anak kalimat

 Dalam kombinasi

anak kalimat

 Dalam rangkaian

antar kalimat

Bagaimana peristiwa, orang, kelompok, situasi, keadaan, atau

apa pun ditampilkan dan

digambarkan dalam teks.

Relasi

Bagaimana hubungan antara

wartawan, khalayak, dan

partisipan berita ditampilkan dan digambarkan dalam teks.

Identitas

Bagaimana identitas wartawan, khalayak media, dan partisipan

publik ditampilkan dan

digambarkan dalam teks. Intertekstualitas

Setiap ungkapan dihubungkan

dengan rantai komunikasi.


(46)

30

didasarkan oleh ungkapan yang lain, baik eksplisit maupun

implisit. Semua pernyataan

dalam hal ini teks didasarkan dan mendasari teks lain

Sumber: Eriyanto, 2001:289

Eriyanto pun menjelaskan (2001:292-300) unsur representasi dibagi lagi menjadi 3 jenis yaitu dalam anak kalimat, dalam kombinasi kalimat, dan dalam rangkaian anak kalimat. Dalam anak kalimat representasi dibagi menjadi bentuk tindakan yaitu kalimat yang mempunyai struktur transitif (subjek+verb+objek). Bentuk kedua yaitu bentuk peristiwa memasukkan hanya satu partisipan saja dalam kalimat, baik subjeknya saja maupun objeknya saja. Bentuk keadaan, menunjuk pada sesuatu yang telah terjadi. Bentuk yang lain adalah proses mental, menampilkan sesuatu sebagai fenomena, gejala umum, yang membentuk kesadaran khalayak, tanpa menunjuk subjek/ pelaku, dan korban secara spesifik. Dalam kombinasi anak kalimat analisis teks dibedakan dengan proposisi penjelas, perpanjangan kontras dan penyebab. Untuk repesentasi dalam rangkaian kalimat dilihat bagaimana dua kalimat disusun dan dirangkai.

Penjelasan tambahan yang diberikan Eriyanto untuk unsur intertekstualitas, secara umum, dapat dibagi kedalam dua bagian besar yaitu manifest intertectuality dan interdiscursivity. Manifest intertectualityadalah bentuk intertekstualitas di mana teks yang lain atau suara yang lain itu muncul secara eksplisit dalam teks. Ada beberapa


(47)

31

jenis dari intertekstualitas yang manifest, yaitu sebagai berikut (Eriyanto, 2010:310-313):

1. Repserentasi wacana, digunakan untuk menunjukkan pada suatu istilah bagaimana peristiwa tersebut dilaporkan.

2. Pengandaian adalah proposisi yang diterima oleh pembuat teks yang siap ditempatkan sebagai sesuatu yang dipandang benar dan ditempatkan dalam organisasi teks secara keseluruhan.

3. Negasi, kalimat negasi sering kali digunakan untuk tujuan polemic. 4. Ironi, adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan bahwa

apa yang dikatakan sebetulnya bukan apa yang ingin

diungkapkannya. Itu hanya dimaksudkan untuk menyindir, atau untuk tujuan humor, dan sebagainya.

5. Metadiscourse adalah bentuk dari manifest intertectuality di mana pembuat teks memberikan tingkat yang berbeda ke dalam teks yang dia miliki dan membuat jarak dirinya dengan tingkat teks yang lain.

Menurut Fairclough, (dalam Eriyanto, 2001:313) ada beberapa elemen dari interdiskursif ini: genre, tipe aktivitas (activity style), style, dan wacana. Elemen-elemen tersebut dapat dirangking karena satu elemen menjelaskan atau menjabarkan elemen yang lain.

Untuk analisis teks dalam penelitian ini menggunakan dialog

percakapan dari Najwa dan para narasumber yang sudah


(48)

32

memudahkan peneliti dalam menganalisis kalimat-kalimat yang digunakan sepanjang acara berlangsung.

b. Discourse Practice

Pada analisis kedua ini lebih menitikberatkan pada bagaimana teks di produksi oleh media dan dikonsumsi oleh audience/ penonton. Analisa pada produksi teks meliputi tiga aspek penting yaitu pribadi wartawan, hubungan wartawan dalam struktur organisasi, dan praktik kerja. Pada proses produksi teks, hasil analisis digunakan untuk menunjukkan kuasa dominan yang mempengaruhi teks. Untuk konsumsi teks meliputi bagaimana teks diterima dan direspon oleh penonton dan audience. (Eriyanto, 2001:316-320). Proses analisis ini harus bisa masuk kedalam news room media yang akan dijadikan objek penelitian untuk melakukan wawancara mendalam dengan pihak media. Agar bisa terhubung dengan pihak media maka langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Membuat surat ijin dari universitas untuk melakukan penelitian di media terkait.

2. Apabila sudah mendapatkan respo dari pihak media, segera lakukan konfirmasi atau atur jadwal pertemuan untuk melakukan wawancara.

3. Siapkan alat rekam dan daftar pertanyaan terkait tema penelitian. 4. Rekam hasil wawancara dan dokumentasikan dalam bentuk


(49)

33

5. Gunakan hasil wawancara untuk dikaitkan dengan hasil analisis data dan pembahasan

Dalam penelitian ini aspek-aspek yang dilihat pada discourse practice adalah proses penentuan tema tayangan Mata Najwa, proses produksi naskah, proses pencarian sumber berita, pelaku penulis naskah, proses editing naskah, keberpihakan tim redaksi dalam proses pembuatan naskah, sosok Najwa Shihab serta hubungan yang terjadi antara Najwa dengan tim Mata Najwa. Seluruh aspek ini berpengarh atas proses produksi teks yang terjadi, setiap aspeknya saling mempengaruhi dan menunjukkan kekuatan dominan yang mempengaruhi isi naskah. Kekuatan dominan inilah yang bertanggung jawab atas pembentukan makna oleh audience terhadap isi tayangan Mata Najwa ‘Medadak Capre’.

c. Sociocultural Practice

Analisis sociocultural practice didasarkan pada pemahaman bahwa adanya faktor-faktor diluar media yang bisa mempengaruhi proses terbentuknya teks. Selain itu, analisis ini juga menggambarkan bagaimana kemampuan pengaruh masyarakat dalam memaknai dan menyebarkan ideologi yang dominan kepada masyarakat. Namun menurut Fairclough hubungan yang dibangun masyarakat dalam menyebarkan ideologi dan mempengaruhi media ini dimediasi oleh discourse practice. Untuk menjabarkan analisis ini, Fairclough membuat tiga level analisis yaitu sebagai berikut:


(50)

34 Tabel 1.2

Level-level Analisis Sociocultural Practice Situasional

Teks dihasilkan dalam suatu kondisi yang khas sehingga berbeda satu sama lain. Ini merupakan tindakan untuk merespon situasi atau konteks sosial tertentu

Institusional Iklan, audiens, persaingan antarmedia, intervensi pemilik, politik

Social Wacana muncul karena perubahan pada masyarakat,

comtoh; budaya masyarakat Sumber: Eriyanto, 2001:322-326

Pada penelitian ini tahap analisis socialculture practice dilakukan dengan melihat pemberitaan yang di publikasikan oleh metrotvnews.com pada tanggal 22 Agustus 2013. Hal ini dilakukan untuk melihat topik-topik pemberitaan apa saja yang dikeluarkan oleh Metro TV. Peneliti memilih mengakses website milik Metro TV, dikarenakan keterjangkauan dan rekam data yang bisa diambil dan dijadikan sebagai sumber data dalam penelitian. Metro TV cenderung mempublikasikan topik pemberitaan yang sama pada website dan siaran televisinya. Tetapi bentuk pemberitaan di website lebih singkat dan tidak mendalam seperti pada siaran televisi. Namun ini tidak mempengaruhi data lainnya, karena peneliti hanya melihat topik populer yng dibicarakan saat itu, untuk mengkaitkannya dengan situasi pemberitaan lain di luar Mata Najwa.

F.8 Teknik Keabsahan Data

Validitas (validity) data dalam penelitian komunikasi kualitatif lebih menunjuk pada tingkat sejauh mana data yang diperoleh telah secara akurat mewakili realitas atau gejala yang diteliti. Oleh karena itu dalam penelitian ini di gunakan triangulasi. Ada beberapa jenis teknik triangulasi pada penelitian kualitatif. Peneliti memilih untuk menggunakan triangulasi


(51)

35

sumber. Triangulasi sumber berdasarkan yang dituliskan oleh Moleong (2000:300 dalam Iskandar 2009:156) berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif. Pengecekan ini dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

a. Membandingkan hasil pengamatan dengan hasil wawancara

b. Membandingkan apa yang dikatakan di depan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi.

c. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu.

d. Membandingkan keadaan dan perspekstif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan.

e. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan dengan penelitian.

Berdasarkan kriteria dari uji keabsahan data diatas, maka peneliti menggunakan cara pada poin (a) dan (e) yaitu membandingkan hasil pengamatan dengan hasil wawancara dan membandingkan hasil wawancara dengan pihak Metro TV khususnya tim Mata Najwa dan dengan data dokumen berupa transkrip dan video tayangan Mata Najwa episode 22 Agustus 2013. Sehingga uji keabsahan data bisa dilakukan dan menghasilkan data penelitian yang valid.


(1)

didasarkan oleh ungkapan yang lain, baik eksplisit maupun implisit. Semua pernyataan dalam hal ini teks didasarkan dan mendasari teks lain

Sumber: Eriyanto, 2001:289

Eriyanto pun menjelaskan (2001:292-300) unsur representasi dibagi lagi menjadi 3 jenis yaitu dalam anak kalimat, dalam kombinasi kalimat, dan dalam rangkaian anak kalimat. Dalam anak kalimat representasi dibagi menjadi bentuk tindakan yaitu kalimat yang mempunyai struktur transitif (subjek+verb+objek). Bentuk kedua yaitu bentuk peristiwa memasukkan hanya satu partisipan saja dalam kalimat, baik subjeknya saja maupun objeknya saja. Bentuk keadaan, menunjuk pada sesuatu yang telah terjadi. Bentuk yang lain adalah proses mental, menampilkan sesuatu sebagai fenomena, gejala umum, yang membentuk kesadaran khalayak, tanpa menunjuk subjek/ pelaku, dan korban secara spesifik. Dalam kombinasi anak kalimat analisis teks dibedakan dengan proposisi penjelas, perpanjangan kontras dan penyebab. Untuk repesentasi dalam rangkaian kalimat dilihat bagaimana dua kalimat disusun dan dirangkai.

Penjelasan tambahan yang diberikan Eriyanto untuk unsur intertekstualitas, secara umum, dapat dibagi kedalam dua bagian besar yaitu manifest intertectuality dan interdiscursivity. Manifest intertectualityadalah bentuk intertekstualitas di mana teks yang lain atau suara yang lain itu muncul secara eksplisit dalam teks. Ada beberapa


(2)

jenis dari intertekstualitas yang manifest, yaitu sebagai berikut (Eriyanto, 2010:310-313):

1. Repserentasi wacana, digunakan untuk menunjukkan pada suatu istilah bagaimana peristiwa tersebut dilaporkan.

2. Pengandaian adalah proposisi yang diterima oleh pembuat teks yang siap ditempatkan sebagai sesuatu yang dipandang benar dan ditempatkan dalam organisasi teks secara keseluruhan.

3. Negasi, kalimat negasi sering kali digunakan untuk tujuan polemic. 4. Ironi, adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan bahwa

apa yang dikatakan sebetulnya bukan apa yang ingin diungkapkannya. Itu hanya dimaksudkan untuk menyindir, atau untuk tujuan humor, dan sebagainya.

5. Metadiscourse adalah bentuk dari manifest intertectuality di mana pembuat teks memberikan tingkat yang berbeda ke dalam teks yang dia miliki dan membuat jarak dirinya dengan tingkat teks yang lain.

Menurut Fairclough, (dalam Eriyanto, 2001:313) ada beberapa elemen dari interdiskursif ini: genre, tipe aktivitas (activity style), style, dan wacana. Elemen-elemen tersebut dapat dirangking karena satu elemen menjelaskan atau menjabarkan elemen yang lain.

Untuk analisis teks dalam penelitian ini menggunakan dialog percakapan dari Najwa dan para narasumber yang sudah didokumentasikan kedalam bentuk transkrip terttulis. Sehingga


(3)

memudahkan peneliti dalam menganalisis kalimat-kalimat yang digunakan sepanjang acara berlangsung.

b. Discourse Practice

Pada analisis kedua ini lebih menitikberatkan pada bagaimana teks di produksi oleh media dan dikonsumsi oleh audience/ penonton. Analisa pada produksi teks meliputi tiga aspek penting yaitu pribadi wartawan, hubungan wartawan dalam struktur organisasi, dan praktik kerja. Pada proses produksi teks, hasil analisis digunakan untuk menunjukkan kuasa dominan yang mempengaruhi teks. Untuk konsumsi teks meliputi bagaimana teks diterima dan direspon oleh penonton dan audience. (Eriyanto, 2001:316-320). Proses analisis ini harus bisa masuk kedalam news room media yang akan dijadikan objek penelitian untuk melakukan wawancara mendalam dengan pihak media. Agar bisa terhubung dengan pihak media maka langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Membuat surat ijin dari universitas untuk melakukan penelitian di media terkait.

2. Apabila sudah mendapatkan respo dari pihak media, segera lakukan konfirmasi atau atur jadwal pertemuan untuk melakukan wawancara.

3. Siapkan alat rekam dan daftar pertanyaan terkait tema penelitian. 4. Rekam hasil wawancara dan dokumentasikan dalam bentuk


(4)

5. Gunakan hasil wawancara untuk dikaitkan dengan hasil analisis data dan pembahasan

Dalam penelitian ini aspek-aspek yang dilihat pada discourse practice adalah proses penentuan tema tayangan Mata Najwa, proses produksi naskah, proses pencarian sumber berita, pelaku penulis naskah, proses editing naskah, keberpihakan tim redaksi dalam proses pembuatan naskah, sosok Najwa Shihab serta hubungan yang terjadi antara Najwa dengan tim Mata Najwa. Seluruh aspek ini berpengarh atas proses produksi teks yang terjadi, setiap aspeknya saling mempengaruhi dan menunjukkan kekuatan dominan yang mempengaruhi isi naskah. Kekuatan dominan inilah yang bertanggung jawab atas pembentukan makna oleh audience terhadap isi tayangan Mata Najwa ‘Medadak Capre’.

c. Sociocultural Practice

Analisis sociocultural practice didasarkan pada pemahaman bahwa adanya faktor-faktor diluar media yang bisa mempengaruhi proses terbentuknya teks. Selain itu, analisis ini juga menggambarkan bagaimana kemampuan pengaruh masyarakat dalam memaknai dan menyebarkan ideologi yang dominan kepada masyarakat. Namun menurut Fairclough hubungan yang dibangun masyarakat dalam menyebarkan ideologi dan mempengaruhi media ini dimediasi oleh discourse practice. Untuk menjabarkan analisis ini, Fairclough membuat tiga level analisis yaitu sebagai berikut:


(5)

Tabel 1.2

Level-level Analisis Sociocultural Practice Situasional

Teks dihasilkan dalam suatu kondisi yang khas sehingga berbeda satu sama lain. Ini merupakan tindakan untuk merespon situasi atau konteks sosial tertentu

Institusional Iklan, audiens, persaingan antarmedia, intervensi pemilik, politik

Social Wacana muncul karena perubahan pada masyarakat, comtoh; budaya masyarakat

Sumber: Eriyanto, 2001:322-326

Pada penelitian ini tahap analisis socialculture practice dilakukan dengan melihat pemberitaan yang di publikasikan oleh metrotvnews.com pada tanggal 22 Agustus 2013. Hal ini dilakukan untuk melihat topik-topik pemberitaan apa saja yang dikeluarkan oleh Metro TV. Peneliti memilih mengakses website milik Metro TV, dikarenakan keterjangkauan dan rekam data yang bisa diambil dan dijadikan sebagai sumber data dalam penelitian. Metro TV cenderung mempublikasikan topik pemberitaan yang sama pada website dan siaran televisinya. Tetapi bentuk pemberitaan di website lebih singkat dan tidak mendalam seperti pada siaran televisi. Namun ini tidak mempengaruhi data lainnya, karena peneliti hanya melihat topik populer yng dibicarakan saat itu, untuk mengkaitkannya dengan situasi pemberitaan lain di luar Mata Najwa.

F.8 Teknik Keabsahan Data

Validitas (validity) data dalam penelitian komunikasi kualitatif lebih menunjuk pada tingkat sejauh mana data yang diperoleh telah secara akurat mewakili realitas atau gejala yang diteliti. Oleh karena itu dalam penelitian


(6)

sumber. Triangulasi sumber berdasarkan yang dituliskan oleh Moleong (2000:300 dalam Iskandar 2009:156) berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif. Pengecekan ini dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

a. Membandingkan hasil pengamatan dengan hasil wawancara

b. Membandingkan apa yang dikatakan di depan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi.

c. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu.

d. Membandingkan keadaan dan perspekstif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan.

e. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan dengan penelitian.

Berdasarkan kriteria dari uji keabsahan data diatas, maka peneliti menggunakan cara pada poin (a) dan (e) yaitu membandingkan hasil pengamatan dengan hasil wawancara dan membandingkan hasil wawancara dengan pihak Metro TV khususnya tim Mata Najwa dan dengan data dokumen berupa transkrip dan video tayangan Mata Najwa episode 22 Agustus 2013. Sehingga uji keabsahan data bisa dilakukan dan menghasilkan data penelitian yang valid.


Dokumen yang terkait

Studi dokumentasi tentang kecenderungan penelitian mahasiswa departemen ilmu komunikasi fakultas ilmu social dan ilmu politik Universitas Sumatra Utara 2010 - 2013

0 26 123

PENGGUNAAN GAYA BAHASA SARKASME PADA PROGRAM (Analisis Wacana JURUSAN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOCIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG TALK SHOW DI TELEVISI Kritis Pada Program “Mata Najwa” Di Metro TV Edisi 22 Agustus 2013)

4 35 51

HUBUNGAN TAYANGAN DENGAN (Studi pada warga masyarakat Desa Mimba’an JURUSAN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG RUNNING TEXT TV ONE KECUKUPAN INFORMASI RW. 12 Situbondo)

0 12 12

PENGARUH TERPAAN TAYANGAN CERIWIS DI TRANS TV TERHADAP PENGGUNAAN JARGON DALAM KOMUNIKASI MAHASISWA Studi pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2004 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang

0 3 2

APRESIASI MAHASISWA TENTANG PROGRAM REALITY SHOW PENCARIAN BAKAT INDONESIA’S GOT TALENT DI INDOSIAR ( Studi pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2006)

0 18 38

HUBUNGAN TAYANGAN DENGAN (Studi pada warga masyarakat Desa MimbaÂ’an JURUSAN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG RUNNING TEXT TV ONE KECUKUPAN INFORMASI RW. 12 Situbondo)

1 7 12

PERBANDINGAN IKLAN PROVIDER SELULER DI TELEVISI (Analisis Komparatif Unsur JURUSAN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG VERSI RAMADHAN Unsur-unsur Iklan pada Produk Mentari dan Axis)

0 3 39

PENDAPAT MAHASISWA TERHADAP PROGRAM REALITY SHOW “BIG BROTHER INDONESIA BESAMA SIMPATI” di Trans TV. “Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2007”

0 6 23

Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu

0 0 7

Presenter Talk Show “Sarah Sechan” Dan Minat Menonton (Studi Korelasional Pengaruh PresenterTalk Show Sarah Sechan pada Televisi NET terhadap Minat Menonton Mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Ut

0 0 17