Makalah Konservasi Genetik dan Perubahan

(1)

MAKALAH

KONSERVASI GENETIK DAN PERUBAHAN

IKLIM

Oleh :

Galuh Gustina

4122.2.15.11.0010

FAKULTAS KEHUTANAN

UNIVERSITAS WINAYA MUKTI

BANDUNG

2016


(2)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Yang mana atas berkat rahmat dan karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan sebuah makalah tentang Konservasi Genetik dan Perubahan Iklim. Makalah ini disusun sebagai salah satu tuntutan tugas dari mata kuliah Ilmu Iklim.

Dalam makalah ini memuat pembahsan mengenai konservasi genetic dan perubahan iklim yang diharapkan dapat bermanfaat untuk kedepannya bagi pembaca khususnya bagi penulis sendiri. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada seluruh pihak yang telah ikut berkostribusi membantu dalam penyusunan makalah ini.

Dalam penyusunan makalah ini tentunya masih jauh dari kata kesempurnaan, maka dari itu penulis harapkan kritik dan saran yang membangun mengenai makalah ini untuk kedepannya agar dapat lebih baik lagi.

Bandung, Januari 2016


(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI...ii

DAFATAR TABEL...iv

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang...1

I.2. Tujuan... 2

BAB II PEMBAHASAN II.1. Konservasi Genetik...3

II.1.1.Keragaman Genetik...3

II.1.2.Pengertian Konservasi Genetik...4

II.1.3.Pendekatan Konsevasi Genetik...4

II.1.4.Tujuan Konservasi Genetik...6

II.2. Perubahan Iklim...7

II.2.1.Pengertian...7

II.2.2.Penyebab Perubahan Iklim...7

II.2.2.1. Kehutanan...7

II.2.2.2. Pemanfaatan Energi Bahan Bakar Fosil...8

II.2.2.3. Pertanian dan Peternakan...8

II.2.2.4. Sampah...8

II.2.3.Dampak Perubahn Iklim...8

II.2.3.1. Dampak Perubahan Iklim terhadap Sektor Pertanian...8

II.2.3.2. Dampak Perubahan Iklim terhadap Kenaikan Muka Air Laut 9 II.2.3.3. Dampak Perubahan iklim terhadap Ekosistem...9

II.2.3.4. Dampak Perubahan iklim terhadap Sumber Daya Air...9

II.2.3.5. Dampak Perubahan iklim terhadap Kesehatan...9

II.2.3.6. Dampak Perubahan iklim terhadap Sektor Lingkungan.10 II.2.4.Solusi terhadap Perubahan Iklim...10

II.2.5.Strategi dalam menanggulangi perubahan iklim...11

II.2.5.1. Antisipasi...11


(4)

II.2.5.3. Adaptasi...11

BAB III PENUTUP

III.1. Kesimpulan...13 III.2. Saran... 13


(5)

DAFATAR TABEL

Table 1. Tiga dekade konservasi ex-situ sumber daya genetik di Indonesia 5 Table 2. Ukuran populasi (jumlah individu) yang direkomendasikan untuk

mempertahan-kan tingkat keragaman genetik pada suatu populasi. ... 5


(6)

BAB I PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Kenakeragaman hayati di alam ini sangatlah melimpah, terdapat berbagai jenis binatang dan tumbuhan yang mampu bertahan hidup hingga saat ini. Jenis binatang dan tumbuhan ini tersebar di seluruh bagian dunia dan harus dilestarikan agar mampu mengatasi perubahan lingkungan di masa depan. Pelestarian spesies tersebut dapat dilakukan dengan konservasi genetik.

Indonesia merupakan negara yang memiliki hutan tropis terluas ketiga di dunia setelah Brazil dan Kongo. Luas hutan Indonesia mencapai 121,11 juta ha yang terbagi dalam hutan konservasi seluas 20,62 juta hektar, hutan lindung seluas 33,92 juta hektar, hutan produksi terbatas seluas 23,17 juta hektar, hutan produkasi tetap seluas 35,32 juta hektar dan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 8,08 juta hektar (Suparna, 2005). Sumber daya hutan tersebut sangat vital bagi perekonomian Indonesia, baik dalam penyediaan kayu untuk keperluan domestik maupun untuk eksport yang memberikan kontribusi 3,8 – 5,95 milyar US dollar pertahun (Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 2000). Disamping itu sumber daya hutan ini juga sangat penting dalam mendukung kelestarian tanah dan air serta dapat menekan pemanasan global. Namun karena berbagai faktor seperti pembalakan hutan, konversi lahan hutan untuk keperluan lain, seperti alih fungsi lahan menjadi perkebunan, kebakaran hutan, penjarahan hutan, perladangan berpindah, sumber daya hutan tersebut saat ini mengalami kemunduran dan kerusakan yang sangat cepat dan keadaannya sangat memprihatinkan. Berdasarkan data dari Departemen Kehutanan (2004) tingkat kerusakan hutan (deforestasi) sangat besar yaitu mencapai 1,6 - 2 juta hektar per tahun dengan total kerusakan seluas 56 juta hektar. Deforestasi akan berpengaruh terhadap penyusutan areal hutan yang berarti akan menyebabkan pengurangan luas areal vegetasi dan tidak mengherankan akan mengarah pada kemungkinan kepunahan suatu jenis atau pengurangan jumlah individu penyusun vegetasi di areal yang hilang


(7)

tersebut. Disamping itu berdasarkan data dari Departemen Kehutanan dan Perkebunan (2000) kapasitas industri kayu diperkirakan sebesar 58,24 juta m3 per tahun, sementara itu potensi hutan alam dalam menyediakan bahan baku secara lestari terus menurun mulai sekiatr 25,36 juta m3 menjadi 6,89 juta m3. Berdasarkan perhitungan, pada tahun 2010 diperlukan 1 Hutan Tanaman Industri (HTI) seluas 4.279.212,9 hektar dengan rata-rata produksi 200 m3 per hektar (Dirjen Bina Produksi Kehutanan, 2005). Menghadapi tantangan yang berat berupa tuntutan ekolabel, pasar bebas, ancaman kondisi hutan alam yang semakin terancam kelestariannya dan tuntutan produktivitas yang tinggi, maka tidak ada pilihan lain untuk membangun hutan tanaman yang produktif, efisien, kompetitif dan lestari. Untuk membangun hutan tanaman yang produktif peran konservasi genetik dan pemuliaan pohon sangat penting. Dengan pemuliaan maka akan dihasilkan benih unggul, sehingga hutan tanaman yang dibangun akan mempunyai produktivitas yang tinggi.

Iklim merupakan peluang statistik berbagai keadaan atmosfer anatara lain suhu, tekanan, angin, kelembaban yang terjadi di suatu daerah selama kurun waktu yang panjang.

Perubahan iklim bisa terjadi karena proses alam internal maupun kekuatan dan tingkah laku aktivitas manusia yang terus menerus mengubah komposisi atmosfer dan tata guna lahan.

Perubahan iklim ini merupakan ancaman bagi bumi, karena dapat memengaruhi semua aspek kehidupan. Dan tentu saja akan merusak keseimbangan kehidupan bumi.

I.2. Tujuan

Salah satu tujuan konservasi genetik menurut pendapat para breeders dan biotechnologists yaitu untuk menyediakan sumber daya genetik sehingga dapat digunakan saat diperlukan (Soekotjo, 2004), khususnya untuk kegiatan pemuliaan (tree improvement). Kemudian dari aspek pemuliaan tujuannya adalah menghasilkan benih unggul sebagai materi untuk pengembangan hutan tanaman dengan produktivitas tinggi dalam rangka mendukung program pembangunan hutan berkelanjutan.


(8)

BAB II PEMBAHASAN

II.1. Konservasi Genetik

II.1.1. Keragaman Genetik

Keragaman genetik dapat diartikan sebagai variasi gen dan genotipe antar dan dalam species (Melchias, 2001). Keragaman genetik dalam species memberikan kemampuan untuk beradaptasi atau melawan perubahan lingkungan dan iklim atau hama dan penyakit baru. Oleh karenanya, keragaman genetik merupakan modal dasar bagi suatu jenis tanaman untuk tumbuh, berkembang dan bertahan hidup dari generasi ke genarasi. Kemampuan tanaman untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan tempat tumbuh ditentukan oleh potensi keragaman genetik yang dimilikinya. Semakin tinggi keragaman genetiknya semakin besar peluang tanaman untuk beradaptasi dengan lingkungan. Kemampuan beradaptasi tersebut dapat diamati dari dua parameter, yaitu secara fenotip (pertumbuhan, kesehatan, reproduksi) dan parameter genetik yang tidak secara langsung teramati secara visual. Untuk mengetahui adaptabilitas tanaman, 2dilakukan uji provenansi di berbagai lokasi. Jenis yang tumbuh baik di berbagai kondisi lingkungan adalah jenis yang tingkat adaptabilitasnya tinggi.

Keragaman genetik mempunyai peranan yang sangat penting dalam program pemuliaan, karena optimalisasi perolehan genetik akan sifat-sifat tertentu dapat dicapai apabila cukup peluang untuk melakukan seleksi gen terhadap sifat yang diinginkan. Basis genetik yang luas perlu tetap dipertahankan bahkan dikembangkan, sebab bukan saja untuk mempertahankan sifat yang telah ada tetapi untuk memperoleh sifat baru yang diinginkan dan sekaligus memiliki kemampuan beradaptasi pada lingkungan yang beragam (Wright, 1976). Pada dasarnya species pohon hutan memiliki sebaran geografis yang luas, sistem perkawinan silang, biji tersebar secara luas dan memikili kemampuan berkembang biak baik secara generatif maupun vegetatif, sehingga akan memiliki keragaman genetik baik antar


(9)

species ataupun antar populasi yang lebih besar dibanding dengan species yang sebarannya endemic dan populasi alaminya lebih sempit (Hamrich et al.,1992). Lebih lanjut disampaikan bahwa species dengan sebaran endemic dan populasi sempit akan menunjang terjadinya proses genetic drift yang berakibat langsung terhadap turunnya keragaman genetik.

Kemajuan program pemuliaan pohon akan sangat ditentukan oleh materi genetik yang tersedia, dimana semakin luas basis genetik yang dilibatkan dalam program pemuliaan suatu jenis, semakin besar peluang untuk mendapatkan peningkatan perolehan genetik (genetic gain) dari sifat yang diinginkan. Keberadaan sumberdaya genetik suatu jenis dengan basis yang luas menjadi suatu keharusan dan memiliki arti yang sangat penting agar program pemuliaan dari generasi ke generasi berikutnya tetap terjamin kelangsungannya.

II.1.2. Pengertian Konservasi Genetik

Konservasi adalah pelestarian atau perlindungan. Secara harfiah, konservasi berasal dari bahasa Inggris, (Inggris)Conservation

yang artinya pelestarian atau perlindungan.

Konservasi genetik adalah salah satu cara aplikasi genetik untuk melestarikan berbagai jenis binatang dan tumbuhan sebagai mahkluk hidup yang dinamis yang mampu mengatasi perubahan lingkungan. Seperti yang ditulis oleh Bonde dkk., (2008) dalam jurnal marine animals and their ecology, konservasi genetik merupakan metode genetik yang berhubungan dengan keanekaragaman hayati. Konservasi genetik ini membantu pengelola satwa liar dalam mengidentifikasi serangkaian unit konservasi binatang.

Pengertian konservasi dalam bidang biologi adalah upaya menjamin kelangsungan keberadaan jenis, habitat dan komunitas biologis dan interaksi antar jenis, dan jenis dengan ekosistem (Spellerberg, 1996). Bagi para breeder perhatian serius terhadap upaya konservasi genetik adalah untuk menyimpan gene atau gene complexes yang mungkin pada masa mendatang akan bernilai ekonomis serta memiliki sifat adaptasi yang baik. Gene


(10)

complexes tidak dapat disamakan dengan genotipe suatu jenis individu, 3 karena justru merupakan kombinasi perilaku gen yang menentukan sifat-sifat yang spesifik.

II.1.3. Pendekatan Konsevasi Genetik

Secara umum konservasi genetik dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu secara in-situ dan ex-situ. In-situ berarti melestarikan pohon dan tegakan pada sebaran alamnya, sedangkan ex-situ adalah melindungi gene atau gene complexes di kondisi buatan atau setidaknya di luar kondisi alaminya.

konservasi ex-situ adalah konservasi dari komponen-komponen keanekaragaman hayati di luar habitat alaminya . Sering kali digunakan juga istilah gene bank sebagai pengganti istilah ex-situ, bilamana materi konservasi genetik yang dibangun berbentuk koleksi klon yang ada di lapangan, kebun benih maupun pertanaman (Chomchalow, 1985). Soekotjo (2001) menggolongkan konservasi ex-situ dalam tiga dekade, secara rinci disajikan dalam Tabel 1.

Table 1. Tiga dekade konservasi ex-situ sumber daya genetik di Indonesia

Era konservasi ex-situ Periode Aktivitas Utama

Era pertama :

 Introduksi jenis asli dan exote dengan dasar variasi genetik terbatas.

 Jenis contoh sangat terbatas sifatnya, terlalu terbatas untuk dapat dievaluasi.

1817 -1959

 Pembangunan Kebun

Raya Bogor,

Purwodadi dan

Ekakarya.

 Pembangunan uji jenis di 11 lokasi kebun percobaan.

 Pembangunan

Arboretum di Bogor,

Kaliurang dan

Watusipat (Gunung Kidul).

Era kedua (era

pemuliaan)

 Era dalam program breeding

 Contoh sifat (traits)

khusus dengan

spektrum keragaman genetik cukup lebar.  Fokus sifat (trait) 2 – 3

(kelurusan batang, riap diameter) yang

1976 – 1998

 Uji provenansi dan uji progeny

 Seedling seed

orchards


(11)

dipilih

Era ketiga (pemanfaatan yanglebih efisien)  Lebih berkaitan

dengan breeders dan biotechnologists

 Menjaga agar setiap populasi terpisah.

 Tegakan hasil

konservasi di lokasi yang baru harus memproduksi

buah/biji.

> 1998  Sampling target populasi

 Pembangunan

tanaman konservasi, setiap populasi harus terpisah.

 Dibangun jalur isolasi antar populasi.

 Ulangan lokasi minimal 2.

Ukuran populasi untuk dapat dimasukkan dalam program konservasi genetik dapat diduga dan dihitung dengan menggunakan berbagai pendekatan, misalnya pendekatan frekuensi allel unik yang cukup populer (Zulkarnaen, 2006). Lebih lanjut disampaikan, beberapa ahli genetika teoritikal merekomendasikan ukuran minimum populasi untuk dikonservasi seperti disajikan pada Tabel 2.

Table 2. Ukuran populasi (jumlah individu) yang direkomendasikan untuk mempertahan-kan tingkat keragaman genetik pada suatu populasi.

Frekuensi

allel (1979)Kang Gregorius(1980) Namkong(1981) Frankelet al. (1995)

0.5 18 6 - 5

0.2 31 21 - 14

0.1 49 51 - 29

0.05 79 117 117 59

0.01 269 754 579 299

Koservasi in-situ adalah konservasi dari ekosistem, termasuk di dalamnya habitat alami yang dihuni oleh biota sehingga biota yang berada di tempat konservasi ini dimungkinkan untuk berevolusi. Berbicara tentang luasan ideal untuk konservasi in-situ, Zobel et. al. (1987) mengatakan bahwa hal yang sangat sulit dan hampir tidak mungkin ditetapkan karena akan sangat tergantung pada potensi genetik jenis yang ditangani dan kelimpahannya di dalam hutan. Ukuran luas ini menjadi semakin sulit ditentukan untuk hutan tropis.


(12)

II.1.4. Tujuan Konservasi Genetik

Secara singkat tujuan dari konservasi sumber daya genetik sangat tergantung dari goal yang ingin dicapai (Soekotjo, 2004) : 1) Bagi breeders dan/atau biotechnologists, kegiatan ini

bertujuan untuk menyediakan sumber daya genetik sehingga dapat digunakan saat diperlukan.

2) Bagi ahli biologi evolusioner, konservasi sumber daya genetik bertujuan untuk menjamin dan memelihara kemampuan adaptasi, evolusi dan seleksi dari jenis dalam populasinya agar mampu menyesuaiakan diri dengan perubahan yang akan terjadi 5 khususnya dari persyaratan ekologi, ekonomi serta viabilitas yang mendukung ekosistem.

3) Bagi ahli kehutanan, konservasi bertujuan agar jenis-jenis target dan habitatnya lestari.

4) Bagi awam, konservasi bertujuan agar keanekaragaman hayati terjamin.


(13)

II.2. Perubahan Iklim

II.2.1. Pengertian

Perubahan iklim adalah terjadinya perubahan kondisi atmosfer, seperti suhu, san cuaca yang menyebabkan suatu kondisi yang tidak menentu. Perubahan ini sangat berdampak luas bagi kehidupan manusia dalam berbagai sektor .

Perubahan iklim juga dapat dikatakan sebagai, keadaan dimana temperatur di bumi mengalami kenaikan dan pergeseran musim. Kenaikan temperatur ini akan menyebabkan terjadinya pemuaian massa air dan permukaan air laut.

Menurut IPCC (2001) menyatakan bahwa perubahan iklim merujuk pada variasi rata-rata kondisi iklim suatu tempat atau pada variabilitasnya yang nyata secara statistik untuk jangka waktu yang panjang (biasanya dekade atau lebih). Selain itu juga diperjelas bahwa perubahan iklim meungki terjadi karena proses alam internal maupun ada kekuatan eksternal, atau ulah manusia yang terus menerus merubah komposisi atmosfer atau tata guna lahan.

II.2.2. Penyebab Perubahan Iklim

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa aktivitas manusia merupakan penyebab utama terjadinya perubahan iklim. Selain itu pertambahan populasi penduduk dan pesatnya pertumbuhan teknologi dan industri ternyata juga memberikan kontribusi besar pada pertambahan GRK (Gas Rumah Kaca). Akibat jenis aktivitas yang berbedabeda, maka GRK yang dikontribusikan oleh setiap negara ke atmosfer pun porsinya berbedabeda.

Ada banyak kejadian yang dapat menyebabkan perubahan iklim. Penyebab-penyebab tersebut adalah :

II.2.2.1. Kehutanan

Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dengan luas hutan terbesar, yaitu 120,3 juta hektar. Sekitar 17% dari luasan tersebut adalah hutan konservasi dan 23%


(14)

hutan lindung, sementara sisanya adalah hutan produksi (FWI/GFW, 2001).

Namun dari tahun ke tahun luas hutan berkurang. Hal ini disebabkan oleh penebangan liar atau juga kebakaran hutan (disengaja ataupun tidak disengaja). Padahal hutan sangat berperan sebagai penyerap CO2 dan penghasil O2. Dengan kemampuan hutan tersebut dapat mengurangi kadar GRK di udara.

II.2.2.2. Pemanfaatan Energi Bahan Bakar Fosil

Saat ini kehidupan manusia sangat tergantung pada energi listrik dan bahan bakar fosil. Ketergantungan tersebut sangat berdampak buruk bagi kehidupan umat manusia. Penggunaan energi fosil seperti, minyak bumi, batu bara, dan gas alam dalam berbagai kegiatan akan memicu bertambahnya emisi GRK di atmosfer.

II.2.2.3. Pertanian dan Peternakan

Sektor pertanian juga berperan banyak terhadap meningkatnya emisi GRK, khususnya gas metana (CH4) yang dihasilkan dari sawah yang tergenang. Berdasarkan penelitian sektor pertanian menghasilkan emisi gas metana tertinggi di banding sektor-sektor lainnya.

Sektor peternakan juga tidak kalah dalam mengemisikan GRK, hal tersebut dikarenakan kotoran ternak yang membusuk akan melepaskan gas metana ke atmosfer. II.2.2.4. Sampah

Sampah turut mengasilkan emisi GRK berupa gas metana walaupun dalam jumlah yang cukup kecil. Diperkirakan 1 ton sampah padat menghasilkan sekitar 50 kg gas metana.

Kegiatan manusia selalu menghasilkan sampah. Sampah merupakan masalah besar yang dihadapi oleh kota-kota besar di Indonesia. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup mengatakan bahwa pada tahun 1995 rata-rata orang di perkotaan di Indonesia menghasilkan sampah


(15)

0,8 kg per hari dan terus meningkat hingga 1 kg per orang per hari pada tahun 2000.

II.2.3. Dampak Perubahn Iklim

Perubahan iklim akan memberikan dampak yang sangat besar pada berbagai sektor, diantaranya:

II.2.3.1. Dampak Perubahan Iklim terhadap Sektor Pertanian

Perubahan iklim akan menyebabkan pergeseran musim, sehingga musim kemarau menjadi lebih panjang. Hal ini akan menyebabkan gagal panen, krisis air bersih dan kebakaran hutan. Sehingga Indonesia harus mengimpor beras dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhannya. Secara otomatis, produktivitas di bidang pertanian juga akan menurun.

II.2.3.2. Dampak Perubahan Iklim terhadap Kenaikan Muka Air Laut

Kenaikan temperatur menyebabkan es dan gletser di Kutub Utara dan Selatan mencair. Peristiwa ini menyebabkan terjadinya pemuaian massa air laut dan kenaikan permukaan air laut. Hal ini membawa banyak perubahan bagi kehidupan di bawah laut, seperti pemutihan terumbu karang dan punahnya berbagai jenis ikan. Sehingga akan menurunkan produksi tambak ikan dan udang serta mengancam kehidupan masyarakat pesisir pantai.

Kenaikan muka air laut akan menyebabkan hancurnya tambak-tambak ikan di beberapa daerah, juga dapat merusak terumbu karang yang ada di laut Indonesia.

II.2.3.3. Dampak Perubahan iklim terhadap Ekosistem

Meningkatnya tingkat keasaman dari laut karena bertambahnya karbondioksida di atmosfer akan membawa dampak negatif pada organisme-organisme laut. Misalnya, hilangnya jenis flora dan fauna khususnya di Indonesia.


(16)

II.2.3.4. Dampak Perubahan iklim terhadap Sumber Daya Air

Pada pertengahan abad ini, rata-rata aliran air sungai dan kelestarian air di daerah sub polar serta daerah tropis basah diperkirakan akan meningkat sebanyak 10-40%. Sementara di daerah subtropis dan daerah tropis yang kering, air akan berkurang sebanyak 10-30% sehingga daerah-daerah yang sekarang sering mengalami kekeringan akan semakin parah kondisinya.

II.2.3.5. Dampak Perubahan iklim terhadap Kesehatan

Frekuensi timbulnya penyakit seperti malaria dan demam berdarah akan meningkat. Penduduk dengan kapasitas beradaptasi rendah akan semakin rentan terhadap diare, gizi buruk, serta berubahnya pola distribusi penyakit-penyakit yang ditularkan melalui berbagai serangga dan hewan.

II.2.3.6. Dampak Perubahan iklim terhadap Sektor Lingkungan

Dengan lingkungan yang rusak, alam akan lebih rapuh terhadap perubahan iklim. Apabila terjadi curah hujan yang cukup tinggi akan berpotensi menimbulkan bencana alam seperti banjir dan tanah longsor.

II.2.4. Solusi terhadap Perubahan Iklim

Mengingat perubahan iklim sangat besar dampaknya bagi kehidupan manusia dan bumi, maka kita harus mengadakan solusi untuk mengatasinya. Ada beberapa solusi yang dapat kita lakukan, diantaranya:

1) Melakukan perbaikan dari sektor kehutanan. Seperti mengadakan reboisasi, menanamkan prinsip tebang pilih dan tebang tanam pada generasi penerus, juga terhadap pihak-pihak yang bersentuhan langsung dengan hutan.

2) Menyediakan dan mengembangkan energi alternatif yang ramah lingkungan. Seperti mengganti bahan bakar kendaraan dengan bahan bio seperti dari bahan biji-bijian atau minyak lobak. Kita juga arus menghemat bahan bakar tersebut dengan mematikan mesin kendaraan apabila berhenti lebih


(17)

dari 2 menit. Selain itu kita juga dapat mengganti lampu di rumah, dikantor dan tempat lainnya dengan lampu hemat energi, dan mematikan lampu pada malam hari.

3) Produksi daging membutuhkan air, biji-bijian, tanah, dan lainnya dalam jumlah besar termasuk hormon dan antibiotik, serta menyebabkan polusi tanah, udara, dan air. Untuk menghasilkan satu pon daging sapi membutuhkan sekitar 12.000 galon air, bandingkan dengan 60 galon air untuk satu pon kentang. Jika Anda seorang pemakan daging, untuk pemula, cobalah tidak makan daging sekali dalam seminggu. Menjadi vegetarian atau vegan merupakan pilihan yang sangat berarti bagi lingkungan.

4) Perlakuan terhadap sampah adalah dengan jalan mendaur ulangnya. Membakar sampah sama artinya dengan memindahlan sampah tersebut ke udara.

II.2.5. Strategi dalam menanggulangi perubahan iklim

II.2.5.1. Antisipasi

Antisipasi dilakukan untuk menyiapkan tindakan mitigasi dan adaptasi berdasarkan kajian dari dampak perubahan iklim terhadap :

1) Sumberdaya pertanian seperti pola curah hujan dan musim, sistem hidrologi dan sumberdaya air,

2) Sarana dan prasarana pertanian, terutama sistem irigasi, dan waduk,

3) Sistem usahatani dan agribisnis, pola tanam, produktivitas, pergeseran jenis dan varietas dominan.

II.2.5.2. Mitigasi

Indonesia selain sebagai penyumbang terbesar oksigen (O2) dari hutan dan areal pertaniannya, Indonesia juga dituding sebagai negara penyumbang emisi Gas Rumah Kaca (GRK), terutama dari sistem pertanian lahan sawah dan rawa, kebakaran hutan/lahan, emisi dari lahan gambut. Oleh sebab itu, Indonesia dituntut (sesuai


(18)

dengan Kiyoto Protocol) untuk senantiasa berupaya mengurangi (mitigasi) GRK, antara lain melalui; (a) CDM (Clean Development Mechanism), (b) perdagangan karbon (carbon trading) melalui pengembangan teknologi budidaya yang mampu menekan emisi GRK, dan (c) penerapan teknologi budidaya seperti penanaman varietas dan pengelolaan lahan dan air dengan tingkat emisi GRK yang lebih rendah (Sinar Tani, 2010).

II.2.5.3. Adaptasi

Yang dimaksud dengan adaptasi disini adalah mengembangkan berbagai upaya yang adaptif dengan keadaan yang terjadi akibat dampak perubahan iklim terhadap sumberdaya, sarana prasarana dan lain lain melalui (a) reinventarisasi dan redelineasi potensi dan karakterisasi sumberdaya lahan dan air, (b) penyesuaian dan pengembangan sarana prasarana pertanian, terutama irigasi sesuai dengan perubahan sistem hidrologi dan potensi sumberdaya air, (c) penyesuaian sistem usahatani dan agribisnis, terutama pola tanam, jenis tanaman dan varietas, dan sistem pengolahan tanah (Las, 2007). Proses adaptasi merupakan rangkaian usaha manusia untuk menyesuaiakan diri atau memberi respon terhadap perubahan lingkungan fisik maupun sosial yang terjadi pada waktu tertentu. Perubahan lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap adaptasi manusia adalah perubahan lingkungan yang berupa bencana, yaitu kejadian yang mengancam kelangsungan hidup organisme termasuk manusia, sehingga dalam menghadapi perubahan-perubahan lingkungan akibat bencana tersebut, manusia mengembangkan pola adaptasi yang berbentuk pola tingkah laku yang mengikuti perubahan iklim.

Perubahan iklim dengan segala penyebabnya telah terjadi ditingkat lokal, regional maupun global. Peningkatan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) menyebabkan


(19)

terjadi pemanasan global diikuti dengan meningkatnya permukaan air laut akibat pencairan es di wilayah kutub. Naiknya permukaan air laut akan menyebabkan meningkatnya energi yang terjadi dalam atmosfer, sehingga mendorong terjadinya perubahan iklim. Perubahan iklim yang terjadi telah memberikan dampak yang signifikan diberbagai sektor, terutama di sektor pertanian. Dampak akibat terjadinya perubahan iklim antar lain curah hujan yang tinggi dan musim kemarau yang panjang. Untuk itu, diperlukan sosialisasi mengenai perubahan iklim kepada seluruh lapisan masyarakat khususnya petani, baik secara langsung dan tidak langsung serta perlu diberikannya solusi untuk menanggulangi kerugian yang dirasakan petani akibat adanya perubahan iklim, salah satunya yaitu dengan diadakannya Sekolah Lapang Perubahan Iklim (SL-Iklim). Pemerintah bersama pihak-pihak yang terkait harus membantu petani dalam menyediakan/memperbaiki sarana dan prasarana, seperti benih/bibit tanaman yang dapat bertahan pada kondisi kekurangan air, pembangunan dan perbaikan bendungan serta irigasi.


(20)

BAB III PENUTUP

III.1.

Kesimpulan

Konservasi genetik adalah salah satu cara aplikasi genetik untuk melestarikan berbagai jenis binatang dan tumbuhan sebagai mahkluk hidup yang dinamis yang mampu mengatasi perubahan lingkungan.

Perubahan iklim adalah terjadinya perubahan kondisi atmosfer, seperti suhu, cuaca yang menyebabkan suatu kondisi yang tidak menentu. Perubahan iklim juga dapat dikatakan sebagai, keadaan dimana temperatur di bumi mengalami kenaikan dan pergeseran musim. Aktivitas manusia merupakan penyebab utama terjadinya perubahan iklim.

Ada banyak kejadian yang dapat menyebabkan perubahan iklim. Penyebab-penyebab tersebut adalah :

5) Kehutanan.

Dari tahun ke tahun luas hutan berkurang. 6) Pemanfaatan Energi Bahan Bakar Fosil.

Penggunaan energi fosil seperti, minyak bumi, batu bara, dan gas alam dalam berbagai kegiatan akan memicu bertambahnya emisi GRK di atmosfer.

7) Pertanian dan Peternakan.

Sektor peternakan berperan mengemisikan GRK, hal tersebut dikarenakan kotoran ternak yang membusuk akan melepaskan gas metana ke atmosfer. Sektor pertanian juga terhadap meningkatnya emisi GRK, khususnya gas metana (CH4) yang dihasilkan dari sawah yang tergenang.

8) Sampah.

Diperkirakan 1 ton sampah padat menghasilkan sekitar 50 kg gas metana.


(21)

III.2.

Saran

Dalam penyusunan makalah ini tentunya masih jauh dari kata kesempurnaan, maka dari itu penulis harapkan kritik dan saran yang membangun mengenai makalah ini untuk kedepannya agar dapat lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA

1. http://blogs.uajy.ac.id/renitanurhayati/2015/08/29/konservasi-genetik/ (13 Januari 2016)

2. http://ibcraja4.org/assets/file/Buletin04September2013.pdf (13 Januari 2016)

3. http://forda-mof.org/files/Mashudi.pdf (13 Januari 2016)

4. http://seeevil13.blogspot.com/2015/03/normal-0-false-false-false-in-x-none-x.html (13 Januari 2016)

5.

http://ditjenbun.pertanian.go.id/bbpptpambon/berita-332-perubahan-iklim-dampak-dan-pengaruhnya.html (13 Januari 2016) 6. Las, Irsal. 2007. Srategi dan Inovasi Antisipasi Perubahan Iklim.

Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian. Jakarta.

7. Intergovernmental Panel on Climate Change,1995. Climate Change 1994. IPCC. Cambridge University Press. London.

8. Budianto, AI. 2001. Pengaruh Perubahan Iklim Global Terhadap Negara Kepulauan Indonesia, dalam Rajagukguk, E dan Ridwan K, Jakarta.

9. Sinar Tani. 17 September 2010. Upaya yang Dilakukan Petani Untuk Menanggulangi Dampak Perubahan Iklim.


(1)

II.2.3.4. Dampak Perubahan iklim terhadap Sumber Daya Air Pada pertengahan abad ini, rata-rata aliran air sungai dan kelestarian air di daerah sub polar serta daerah tropis basah diperkirakan akan meningkat sebanyak 10-40%. Sementara di daerah subtropis dan daerah tropis yang kering, air akan berkurang sebanyak 10-30% sehingga daerah-daerah yang sekarang sering mengalami kekeringan akan semakin parah kondisinya.

II.2.3.5. Dampak Perubahan iklim terhadap Kesehatan

Frekuensi timbulnya penyakit seperti malaria dan demam berdarah akan meningkat. Penduduk dengan kapasitas beradaptasi rendah akan semakin rentan terhadap diare, gizi buruk, serta berubahnya pola distribusi penyakit-penyakit yang ditularkan melalui berbagai serangga dan hewan.

II.2.3.6. Dampak Perubahan iklim terhadap Sektor Lingkungan Dengan lingkungan yang rusak, alam akan lebih rapuh terhadap perubahan iklim. Apabila terjadi curah hujan yang cukup tinggi akan berpotensi menimbulkan bencana alam seperti banjir dan tanah longsor.

II.2.4. Solusi terhadap Perubahan Iklim

Mengingat perubahan iklim sangat besar dampaknya bagi kehidupan manusia dan bumi, maka kita harus mengadakan solusi untuk mengatasinya. Ada beberapa solusi yang dapat kita lakukan, diantaranya:

1) Melakukan perbaikan dari sektor kehutanan. Seperti mengadakan reboisasi, menanamkan prinsip tebang pilih dan tebang tanam pada generasi penerus, juga terhadap pihak-pihak yang bersentuhan langsung dengan hutan.

2) Menyediakan dan mengembangkan energi alternatif yang ramah lingkungan. Seperti mengganti bahan bakar kendaraan dengan bahan bio seperti dari bahan biji-bijian atau minyak lobak. Kita juga arus menghemat bahan bakar tersebut dengan mematikan mesin kendaraan apabila berhenti lebih


(2)

dari 2 menit. Selain itu kita juga dapat mengganti lampu di rumah, dikantor dan tempat lainnya dengan lampu hemat energi, dan mematikan lampu pada malam hari.

3) Produksi daging membutuhkan air, biji-bijian, tanah, dan lainnya dalam jumlah besar termasuk hormon dan antibiotik, serta menyebabkan polusi tanah, udara, dan air. Untuk menghasilkan satu pon daging sapi membutuhkan sekitar 12.000 galon air, bandingkan dengan 60 galon air untuk satu pon kentang. Jika Anda seorang pemakan daging, untuk pemula, cobalah tidak makan daging sekali dalam seminggu. Menjadi vegetarian atau vegan merupakan pilihan yang sangat berarti bagi lingkungan.

4) Perlakuan terhadap sampah adalah dengan jalan mendaur ulangnya. Membakar sampah sama artinya dengan memindahlan sampah tersebut ke udara.

II.2.5. Strategi dalam menanggulangi perubahan iklim II.2.5.1. Antisipasi

Antisipasi dilakukan untuk menyiapkan tindakan mitigasi dan adaptasi berdasarkan kajian dari dampak perubahan iklim terhadap :

1) Sumberdaya pertanian seperti pola curah hujan dan musim, sistem hidrologi dan sumberdaya air,

2) Sarana dan prasarana pertanian, terutama sistem irigasi, dan waduk,

3) Sistem usahatani dan agribisnis, pola tanam, produktivitas, pergeseran jenis dan varietas dominan. II.2.5.2. Mitigasi

Indonesia selain sebagai penyumbang terbesar oksigen (O2) dari hutan dan areal pertaniannya, Indonesia juga dituding sebagai negara penyumbang emisi Gas Rumah Kaca (GRK), terutama dari sistem pertanian lahan sawah dan rawa, kebakaran hutan/lahan, emisi dari lahan gambut. Oleh sebab itu, Indonesia dituntut (sesuai


(3)

dengan Kiyoto Protocol) untuk senantiasa berupaya mengurangi (mitigasi) GRK, antara lain melalui; (a) CDM (Clean Development Mechanism), (b) perdagangan karbon (carbon trading) melalui pengembangan teknologi budidaya yang mampu menekan emisi GRK, dan (c) penerapan teknologi budidaya seperti penanaman varietas dan pengelolaan lahan dan air dengan tingkat emisi GRK yang lebih rendah (Sinar Tani, 2010).

II.2.5.3. Adaptasi

Yang dimaksud dengan adaptasi disini adalah mengembangkan berbagai upaya yang adaptif dengan keadaan yang terjadi akibat dampak perubahan iklim terhadap sumberdaya, sarana prasarana dan lain lain melalui (a) reinventarisasi dan redelineasi potensi dan karakterisasi sumberdaya lahan dan air, (b) penyesuaian dan pengembangan sarana prasarana pertanian, terutama irigasi sesuai dengan perubahan sistem hidrologi dan potensi sumberdaya air, (c) penyesuaian sistem usahatani dan agribisnis, terutama pola tanam, jenis tanaman dan varietas, dan sistem pengolahan tanah (Las, 2007). Proses adaptasi merupakan rangkaian usaha manusia untuk menyesuaiakan diri atau memberi respon terhadap perubahan lingkungan fisik maupun sosial yang terjadi pada waktu tertentu. Perubahan lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap adaptasi manusia adalah perubahan lingkungan yang berupa bencana, yaitu kejadian yang mengancam kelangsungan hidup organisme termasuk manusia, sehingga dalam menghadapi perubahan-perubahan lingkungan akibat bencana tersebut, manusia mengembangkan pola adaptasi yang berbentuk pola tingkah laku yang mengikuti perubahan iklim.

Perubahan iklim dengan segala penyebabnya telah terjadi ditingkat lokal, regional maupun global. Peningkatan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) menyebabkan


(4)

terjadi pemanasan global diikuti dengan meningkatnya permukaan air laut akibat pencairan es di wilayah kutub. Naiknya permukaan air laut akan menyebabkan meningkatnya energi yang terjadi dalam atmosfer, sehingga mendorong terjadinya perubahan iklim. Perubahan iklim yang terjadi telah memberikan dampak yang signifikan diberbagai sektor, terutama di sektor pertanian. Dampak akibat terjadinya perubahan iklim antar lain curah hujan yang tinggi dan musim kemarau yang panjang. Untuk itu, diperlukan sosialisasi mengenai perubahan iklim kepada seluruh lapisan masyarakat khususnya petani, baik secara langsung dan tidak langsung serta perlu diberikannya solusi untuk menanggulangi kerugian yang dirasakan petani akibat adanya perubahan iklim, salah satunya yaitu dengan diadakannya Sekolah Lapang Perubahan Iklim (SL-Iklim). Pemerintah bersama pihak-pihak yang terkait harus membantu petani dalam menyediakan/memperbaiki sarana dan prasarana, seperti benih/bibit tanaman yang dapat bertahan pada kondisi kekurangan air, pembangunan dan perbaikan bendungan serta irigasi.


(5)

BAB III PENUTUP

III.1.

Kesimpulan

Konservasi genetik adalah salah satu cara aplikasi genetik untuk melestarikan berbagai jenis binatang dan tumbuhan sebagai mahkluk hidup yang dinamis yang mampu mengatasi perubahan lingkungan.

Perubahan iklim adalah terjadinya perubahan kondisi atmosfer, seperti suhu, cuaca yang menyebabkan suatu kondisi yang tidak menentu. Perubahan iklim juga dapat dikatakan sebagai, keadaan dimana temperatur di bumi mengalami kenaikan dan pergeseran musim. Aktivitas manusia merupakan penyebab utama terjadinya perubahan iklim.

Ada banyak kejadian yang dapat menyebabkan perubahan iklim. Penyebab-penyebab tersebut adalah :

5) Kehutanan.

Dari tahun ke tahun luas hutan berkurang. 6) Pemanfaatan Energi Bahan Bakar Fosil.

Penggunaan energi fosil seperti, minyak bumi, batu bara, dan gas alam dalam berbagai kegiatan akan memicu bertambahnya emisi GRK di atmosfer.

7) Pertanian dan Peternakan.

Sektor peternakan berperan mengemisikan GRK, hal tersebut dikarenakan kotoran ternak yang membusuk akan melepaskan gas metana ke atmosfer. Sektor pertanian juga terhadap meningkatnya emisi GRK, khususnya gas metana (CH4) yang dihasilkan dari sawah yang tergenang.

8) Sampah.

Diperkirakan 1 ton sampah padat menghasilkan sekitar 50 kg gas metana.


(6)

III.2.

Saran

Dalam penyusunan makalah ini tentunya masih jauh dari kata kesempurnaan, maka dari itu penulis harapkan kritik dan saran yang membangun mengenai makalah ini untuk kedepannya agar dapat lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA

1. http://blogs.uajy.ac.id/renitanurhayati/2015/08/29/konservasi-genetik/ (13 Januari 2016)

2. http://ibcraja4.org/assets/file/Buletin04September2013.pdf (13 Januari 2016)

3. http://forda-mof.org/files/Mashudi.pdf (13 Januari 2016)

4. http://seeevil13.blogspot.com/2015/03/normal-0-false-false-false-in-x-none-x.html (13 Januari 2016)

5.

http://ditjenbun.pertanian.go.id/bbpptpambon/berita-332-perubahan-iklim-dampak-dan-pengaruhnya.html (13 Januari 2016) 6. Las, Irsal. 2007. Srategi dan Inovasi Antisipasi Perubahan Iklim.

Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian. Jakarta.

7. Intergovernmental Panel on Climate Change,1995. Climate Change 1994. IPCC. Cambridge University Press. London.

8. Budianto, AI. 2001. Pengaruh Perubahan Iklim Global Terhadap Negara Kepulauan Indonesia, dalam Rajagukguk, E dan Ridwan K, Jakarta.

9. Sinar Tani. 17 September 2010. Upaya yang Dilakukan Petani Untuk Menanggulangi Dampak Perubahan Iklim.