8
Perusahaan Lain, dalam hukum, ada asas yang sangat fundamental menuntun kehidupan ketatanegaraan, bahwa Undang
–Undang tidak boleh diganggu gugat. Namun masih ada saja banyak pihak di dalam masyarakat yang memersoalkan
eksistensi perhubungan hukum PKWT tersebut. Penulis tertarik untuk menggambarkan pemikiran pihak
–pihak itu memertanyakan institusi hukum yang berlaku tersebut, sekaligus membuat gambaran
dari perpektif ilmu hukum atau postur prinsip –prinsip dan kaedah–kaedah hukum
yang mengatur PKWT dan Penyerahan Sebagian Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain yang menjadi soal atau polemik dalam masyarakat tersebut, dan yang menurut
Penulis merupakan suatu kontrak
sui generis hybrid.
1.2. Latar Belakang Masalah
Hukum meningkatkan kebahagiaan masyarakat secara keseluruhan dengan cara antara lain melarang perbuatan
–perbuatan yang mendatangkan sengsara.
15
Sebagaimana halnya dengan sumber hukum pada umumnya, pengaturan mengenai ketenagakerjaan mempunyai sumber yang tidak jauh berbeda. Khusus dalam
membicarakan masalah sumber hukum perburuhan
16
ini, perlu digarisbawahi adanya
15
Sama dengan Catatan untuk Catatan Kaki no. 14, supra. Hukum adalah sumber kebahagiaan, lihat Buku Jeferson Kameo SH., LLM., Ph.D. Kontrak sebagai Nama Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.
16
Istilah hukum perburuhan sebetulnya sudah ketinggalan zaman jadul atau lapuk ditelan jaman. Saat ini, menurut Penulis istilah yang lebih tepat modern adalah Ketenagakerjaan; konsep atau lebih tepat
institusi hukum yang digunakan oleh UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Hal ini tidak
9
sumber hukum perburuhan yang datangnya dari subyek dalam perhubungan hukum perburuhan itu
the parties to contract
, yakni pihak Pekerja dan Serikat Pekerja serta badan yang bersangkutan dengan masalah perburuhan itu sendiri khususnya dalam
proses penyelesaian perselisihan perburuhan. Dalam industrialisasi dan pembangunan ekonomi sebagai satu strategi dari
bangsa Indonesia yang didikte oleh hukum
the dictate of the law
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, manusia
–manusia warga negara mempunyai tenaganya dan keahlian atau keterampilan untuk upah bagi kesejahteraan diri sendiri
atau masyarakat. Golongan manusia warga negara yang demikian itu disebut dengan Pekerja. Dalam hal ini, Negara mau tidak mau harus terlibat dan bertanggung jawab
terhadap soal perburuhanketenagakerjaan demi menjamin agar Pekerja dapat terlindungi hak-haknya dalam bingkai hukum.
Meskipun Penulis berpendapat bahwa hukum adalah sumber kebahagiaan
the law as a source of happines,
dalam hubungan perburuhanketenagakerjaan antara Pekerja dan Pemberi Kerja, masih ada saja pihak yang berpendapat bahwa Pekerja
seringkali dianggap berada pada posisi yang lemah. Karenanya sistem hukum perburuhanketenagakerjaan yang mengatur hubungan hukum ketenagakerjaan di
Negara ini adalah sistem hukum perburuhanketenagakerjaan yang melindungi
protektif
terhadap Pekerja, sekaligus tidak meninggalkan Pemberi Kerja.
mengesampingkan fakta bahwa KUHPerdata Bab ketujuh A tentang Persetujuan-persetujuan untuk melakukan pekerjaan masih relevan.
10
Dalam hubungan antara Pekerja dan Pemberi Kerja, secara yuridis Pekerja haruslah bebas. Prinsip hukum yang mengatur setiap hubungan hukum, tidak seorang
pun boleh diperbudak.
17
Semua bentuk dan jenis perbudakan, peruluran dan perhambaan tidak mendapat tempat dalam suatu hubungan yang didasarkan atas
prinsip kemerdekaan atau kebebasan berkontrak. Hanya saja, masih ada anggapan bahwa Pekerja itu tidak bebas. Pihak yang mengemukakan pandangan yang
mencerminkan anggapan seperti itu mengatakan bahwa Pekerja adalah orang yang tidak mempunyai bekal hidup yang lain selain tenaganya dan terkadang terpaksa
18
menerima hubungan kerja dengan Pemberi Kerja meskipun memberatkan untuk Pekerja itu sendiri.
Anggapan yang sudah umum atau sering muncul itu juga mengatakan bahwa penekanan terhadap efisien secara berlebihan untuk semata
–mata meningkatkan investasi guna mendukung pembangunan ekonomi melalui kebijakan upah murah
berakibat pada hilangnya keamanan kerja
job security
bagi Pekerja Indonesia. Ancaman kehilangan pekerjaan itu, kata pihak
–pihak itu, berangkat dari asumsi bahwa sebagian besar BuruhPekerja tidak akan lagi menjadi Pekerja tetap, tetapi
menjadi Pekerja kontrak yang akan berlangsung seumur hidupnya. Hal inilah yang oleh sebagian kalangan dimaksud, disebut sebagai satu bentuk perbudakan zaman
17
Dalam hukum yang Penulis sebut sebagai sumber kebahagiaan itu, misalnya, ada asas bahwa para pihak harus bebas freedom of contract. Lihat uraian lebih lanjut dalam Bab II Skripsi ini, dalam Sub
Judul 2.7. Post.
18
Bukankah suatu perjanjian tidak boleh dibuat secara terpaksa? Dari mana pihak-pihak itu berpendapat demikian?
11
modern. Pada titik inilah mulai nampak apa yang telah Penulis kemukakan di depan sebagai satu kubu yang memertanyakan institusi hukum PKWT yang berlaku
tersebut. Menurut pendapat Penulis, mungkin saja pihak-pihak yang beranggapan demikian belum terlalu memahami apa itu kontrak.
Sebagian kalangan dalam masyarakat tersebut beranggapan bahwa status sebagai Pekerja kontrak
19
PKWT, pada kenyataannya berarti juga hilangnya hak –
hak, tunjangan –tunjangan kerja dan sosial yang biasanya dinikmati oleh mereka yang
mempunyai status sebagai Pekerja tetap PKWTT. Dengan demikian, amat potensial menurunkan kualitas hidup dan kesejahteraan Pekerja Indonesia. Padahal, Pekerja,
kata sebagian kalangan dalam masyarakat tersebut, merupakan bagian terbesar dari rakyat Indonesia. Pada akhirnya apabila metoda yang memungkinkan Pekerja kontrak
PKWT
20
yang dituding dapat menghilangkan hak-hak, tunjangan-tunjangan kerja dan sosial yang hanya dinikmati oleh pekerja tetap PKWTT maka itu sama artinya
dengan akan menurunkan kualitas hidup dan kesejahteraan rakyat Indonesia pada
19
Kekurang pemahaman tentang kontrak, dapat menyebabkan orang merendahkan kontrak secara tidak sengaja kemungkinan. Padahal UU tentang Ketenagakerjaan yang adalah suatu kontrak telah
begitu detail memberikan perlindungan kepada macam-macam hak Pekerja.
20
Penulis tidak sependapat dengan pihak yang menyamakan hanya PKWT, atau jenis Perjanjian Kerja seperti Pekerja harian lepas sebagai Pekerja kontrak. Sebab, pada prinsipnya, dalam kontrak sebagai
Nama Ilmu Hukum, setiap perjanjian, termasuk Perjanjian Kerja adalah suatu kontrak. Lihat Buku Jeferson Kameo SH., LLM., Ph.D. Kontrak sebagai Nama Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Kristen Satya Wacana Salatiga.
12
umumnya, demikian pandangan pihak-pihak yang sudah umum ada dalam masyarakat tersebut.
21
Masih juga merupakan anggapan umum sebagian masyarakat, bahwa Pekerja dalam PKWT, juga dilihat hanya semata
–mata sebagai komoditas atau barang dagangan di sebuah pasar tenaga kerja. Pekerja dibiarkan sendirian menghadapi
ganasnya kekuatan pasar dan kekuatan modal, yang akhirnya akan timbul kesenjangan sosial yang semakin menganga antara yang kaya dan yang miskin dan
tidak menutup kemungkinan kelak anak cucu Pekerja itu akan menjadi budak di negeri sendiri dan diperbudak oleh bangsa sendiri dan hal ini sangat jelas
bertentangan dengan Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945 “setiap orang berhak untuk bekerja
serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubun gan kerja”,
kata pihak –pihak tersebut.
22
Masih dalam rangka menggambarkan pihak-pihak yang memertanyakan PKWT, kenyataan masih saja ada anggapan umum sebagian masyarakat apabila di
dalam PKWT Pekerja ditempatkan sebagai faktor produksi semata, maka begitu mudah Pekerja dipekerjakan bila dibutuhkan dan diputus hubungan kerjanya ketika
21
Dalam analisis pada Bab III Sub Judul 3.4. Penulis temukan bahwa ternyata PKWT itu identik dengan pemborongan pekerjaan dan tegas, menurut undang-undang dilakukan oleh pihak yang
berbadan hukum, bukan Buruh. Sehingga asumsi bahwa Pekerja itu lemah bisa jadi keliru.
22
Padahal, melalui analisis yang mendalam, Penulis menemukan, seperti telah dikemukakan dalam Catatan Kaki No. 18 bahwa Pekerja dalam PKWT yang identik dengan perjanjian penyerahan sebagian
pekerjaan kepada perusahaan lain itu adalah Badan Hukum, punya kedudukan yang lebih kuat dibanding Buruh.
13
tidak lagi dibutuhkan. Komponen upah sebagai salah satu dari biaya –biaya
cost
bisa tetap ditekan seminimal mungkin.
Hal yang menarik adalah bahwa disamping memertanyakan PKWT, pada saat yang bersamaan pihak-pihak sebagaimana telah dikemukakan di atas juga
memertanyakan Penyerahan Sebagian Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain. Penyerahan Sebagian Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain oleh para pihak yang
memertanyakan PKWT itu disamakan dengan
outsourcing
. Menurut pandangan yang umum di sejumlah kalangan itu, inilah akibat dilegalkannya sistem kerja
“pemborongan pekerjaan”
outsourcing
. Dengan sistem seperti itu, maka anggapan umum sejumlah kalangan itu
adalah bahwa Pekerja semata sebagai sapi perahan para pemilik modal dan ini adalah bertentangan dengan Pasal 33 A
yat 1 UUD 1945 yang menyatakan “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan”. Menurut anggapan umum dalam kalangan masyarakat tertentu tersebut, tidak ada lagi prinsip
perekonomian berdasarkan pada demokrasi ekonomi, dimana produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua dengan kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan. Di
sinilah persis perbudakan modern dan
degradasi
nilai manusia, Pekerja sebagai komoditas atau barang dagangan, akan terjadi secara resmi dan diresmikan melalui
Undang –Undang. Kemakmuran masyarakat yang diamanatkan konstitusipun akan
menjadi kata –kata kosong, demikian pandangan dari kalangan masyarakat tersebut.
14 Outsourcing
,
23
dan perjanjian kerja waktu tertentu, jelas tidak menjamin adanya
job security
, tidak adanya kelangsungan pekerjaan karena seorang pekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu pasti tahu bahwa pada suatu saat hubungan
kerja akan putus dan tidak akan bekerja lagi ditempat tersebut, akibatnya pekerja akan mencari pekerjaan lain, sehingga kontinuitas, pekerjaan menjadi persoalan bagi
pekerja yang di
outsourcing
dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Apabila
job security
tidak terjamin, jelas hal tersebut bertentangan dengan Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945 yaitu “hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak”, kata pandangan umum
yang ada di kalangan masyarakat tertentu tersebut. Bagi sejumlah kalangan itu,
outsourcing
yang sudah diatur dua macam
outsourcing
dalam Pasal 64, yaitu
outsourcing
mengenai pekerjaannya yang dilakukan oleh pemborong dan
outsourcing
mengenai pekerjanya yang dilakukan oleh perusahaan jasa penyedia tenaga pekerja.
24
Outsourcing
yang pertama konstruksi hukumnya yaitu ada main
contractor
yang mensubkan pekerjaan pada sub
contractor
.
Subcontractor
untuk melakukan pekerjaan yang di subkan oleh
maincontractor
yang membutuhkan pekerja. Di situlah
subcontractor
merekrut
23
Istilah outsourcing bukan istilah hukum, sebab tidak dikenal dalam UU Ketenagakerjaan. Sehingga pihak yang berperang dengan istilah itu seperti berperang dalam “bayangan”. Meskipun demikian,
istilah outsourcing juga digunakan dalam putusan Pengadilan di Indonesia. Lihat Putusan No. No. 153 KPDT.SUS2010 antara Serikat Buruh Nestle Panjang melawan PT. Nestle Indonesia. Sebagian pihak
menyebut outsourcing dengan alih daya. Lihat misalnya Peraturan Bank Indonesia No. 142PBI2012 tanggal 6 Januari 2012.
24
Perusahaan-perusahaan Agen yang menyediakan tenaga kerja atau penyalur tenaga kerja. Gambaran singkat tentang perspektif hukum keagenan sebagai suatu kontrak Penulis kemukakan
dalam Bab II, Sub Judul 2.9.
15
pekerja untuk mengerjakan pekerjaan yang disubkan oleh
maincontractor
. Sehingga ada hubungan kerja antara
subcontractor
nya dengan pekerjanya. Dalam perpektif kalangan dalam masyarakat tersebut, apabila dikaitkan dengan konstitusi, jelas hal
tersebut memaksakan adanya hubungan kerja antara Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja dengan Pekerjanya, yang sebenarnya tidak memenuhi unsur
–unsur Hubungan Kerja yaitu dengan adanya perintah, pekerjaan dan upah. Dengan demikian Pekerja
hanya dianggap sebagai barang saja, bukan sebagai subyek hukum.
25
Akibat dari
outsourcing
dan PKWT Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja pada dasarnya menjual manusia kepada
user
, dengan sejumlah uang dan mendapatkan keuntungan dengan menjual manusia, kata para pihak itu. Tidak ada hal seperti itu dalam kontrak.
Menurut kalangan dalam masyarakat tersebut, manusia harus dilindungi sebagai manusia yang seutuhnya. Bekerja seharusnya adalah untuk memberikan
kehidupan yang selayaknya tetapi ketika Pekerja hanya sebagai bagian produksi dan terutama dengan kontrak-kontrak
26
yang dibuat, maka hanya sebagai salah satu bagian dari produksi, sehingga perlindungan sebagai manusia menjadi lemah.
Meskipun sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa masih banyak pihak di dalam masyarakat yang mempertanyakan eksistensi PKWT dan Penyerahan
25
Perlu dikemukakan di sini bahwa dalam istilah Inggris Hukum, Subyek hukum itu memang benda property
atau hak. Mungkin yang dimaksud oleh para pihak tersebut dengan pihak adalah the party to contract
. The party to contract adalah orang legal person. Penjelasan mengenai hal ini dapat dilihat dalam buku Jeferson Kameo SH., LL.M., Ph.D. dengan judul Kontrak Sebagai Nama Ilmu
Hukum Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.
26
Tidak ada kontrak yang boleh dibuat dengan sengaja dalam rangka menempatkan satu pihak dalam hubungan hukum tersebut sebagai semata-
mata alat produksi untuk “diperas”. Apabila hal itu terjadi, maka itu bukan suatu kontrak tetapi perbuatan melawan hukum.
16
Sebagian Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain, namun pihak Pemerintah sendiri membantah rasionalisasi dibalik gugatan pihak
–pihak di dalam masyarakat tersebut. Berikut di bawah ini, bagaimana sudut pandang Pemerintah eksekutif dan DPR.
Pemerintah berpendapat bahwa Hubungan Kerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu PKWT dan Penyerahan Sebagian Pekerjaan kepada Perusahaan
Lain, yang umum dikenal dengan
outsourcing
, sebagaimana diatur dalam Pasal 59 serta Pasal 64 Undang
–Undang Ketenagakerjaan adalah dalam rangka memberikan kesempatan bagi seluruh warga negara Indonesia untuk mendapatkan pekerjaan yang
layak, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945; juga dalam rangka memberikan perlakuan yang adil dan layak bagi semua warga negara dalam
hubungan kerja guna mendapatkan imbalan yang setimpal dengan pekerjaan yang dilaksanakannya.
Dalam pandangan Pemerintah, dengan diterapkannya Perjanjian Kerja Waktu Tertentu PKWT, dan Penyerahan Sebagian Pekerjaan kepada Perusahaan Lain atau
outsourcing
adalah bagi Pekerja
outsourcing
, mereka akan menggunakan seluruh kemampuannya dalam bekerja. Dengan adanya
outsourcing
, maka para Pekerja akan mendapatkan suatu keterampilan yang belum mereka miliki sebelumnya. Apabila
para Pekerja tersebut telah memiliki kemampuan, maka Pekerja akan menambah kemampuan mereka dengan bekerja
outsourcing
. Pekerjaan tersebut akan menjadi lebih bermanfaat, jika pekerjanya mampu menangkap ilmu yang mereka dapat dari
perusahaan penerima.
17
Selanjutnya Pemerintah berpendapat bahwa para pekerja mengembangkan keterampilan tersebut untuk menambah daya saing dalam meraih lapangan pekerjaan.
Sebelum mendapatkan pekerjaan tetap, dengan adanya
outsourcing
akan membantu Pekerja yang belum bekerja untuk disalurkan kepada perusahaan
–perusahaan yang membutuhkan tenaga kerja dari perusahaan
outsourcing
tersebut. Selain hal tersebut, Peraturan perundang
–undangan Ketenagakerjaan yang sudah mengatur jenis dan sifat pekerjaan yang akan selesai dalam waktu tertentu, serta segala aturan
–aturan dalam menerapkan sebuah Pekerjaan untuk Waktu Tertentu, dan Penyerahan Sebagian
Pekerjaan kepada Perusahaan Lain. Pemerintah menilai bahwa pandangan sejumlah kalangan di dalam masyarakat yang menyatakan Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65, dan
Pasal 66 Undang –Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah
menimbulkan kerugian hak adalah tidak benar. Sejalan dengan pandangan Pemerintah sebagimana telah dipaparkan di atas,
dalam polemik itu, DPR beranggapan bahwa tidak ada kerugian konstitusional atau kerugian yang bersifat potensial akan terjadi dengan berlakunya Pasal 59 dan Pasal
64 UU Ketenagakerjaan. Bagi para pihak Dewan Perwakilan Rakyat, anggapan kalangan dalam masyarakat bahwa para Pekerja tidak spesifik khusus dan aktual
mengenai kerugian konstitusional akibat pemberlakuan PKWT dan Penyerahan Sebagian Pekerjaan kepada Perusahaan Lain dalam UU Ketenagakerjaan.
Pada prinsipnya, menurut pihak DPR, kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, Pekerja
outsourcing
tidak boleh digunakan oleh perusahaan. Hanya kegiatan jasa penunjang yang tidak berhubungan langsung dengan proses
18
produksi, perusahaan dapat mempekerjakan Pekerja
outsourcing
melalui Perusahaan Penyedia Jasa.
Pada bagian lain, menurut DPR Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang lazim disebut dengan pekerja kontrak, mendasarkan diri pada Pasal 59 Ayat 1 huruf a,
huruf b, huruf c, dan huruf d serta Ayat 2, Ayat 3, Ayat 4, Ayat 5, Ayat 6, Ayat 7 dan Ayat 8 Undang
–Undang Ketenagakerjaan, kesepakatan yang dibuat untuk Perjanjian Kerja Waktu Tertentu adalah hanya untuk pekerjaan yang
mempunyai sifat, jenis dan kegiatan akan selesai dalam waktu tertentu. Sehingga menurut DPR, hal itu dapat dikategorikan sebagai Pekerjaan Waktu
Tertentu, yaitu pekerjaan yang sekali selesai yang dilakukan sekali tiap bulan. Kontroversi antara sebagian Masyarakat
versus
pihak Pemerintah eksekutif dan DPR itu perlu diteliti dikaitkannya dengan prinsip
–prinsip dan kaedah–kaedah hukum yang mengatur mengenai PKWT dan Penyerahan Sebagian Pekerjaan kepada
Perusahaan Lain tersebut. Itulah uraian mengenai latar belakang Penulis melakukan penelitian dan pada
akhirnya menulis suatu Skripsi Kesarjanaan yang rumusan masalahnya akan dikemukakan di bawah ini.
1.3. Perumusan Masalah