KRITIK SOSIAL DALAM FILM INDONESIA (Analisis Potret Kemiskinan Dalam Film Laskar Pelangi Dan Alangkah Lucunya (Negeri Ini))

(1)

KRITIK SOSIAL DALAM FILM INDONESIA

(Analisis Potret Kemiskinan dalam Film Laskar Pelangi dan Alangkah Lucunya

(Negeri Ini))

Oleh

Esti Retnowati

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA ILMU KOMUNIKASI

Pada

Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2013


(2)

ABSTRACT

SOCIAL CRITICISM IN INDONESIAN MOVIES

(Analysis Of Poverty Portrait In “Laskar Pelangi” And “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)” Movies)

By

ESTI RETNOWATI

A movies as a social critique reveals social conditions in a society associated with related values or values that become a guideline. It is not only represents or becomes a mirror of reality but rather constructs the reality. One of the propositions represented is the poverty problem. The aim of the research was to find out the description of social criticism related to the poverty discourse that was reconstructed on “Laskar Pelangi” and “Alangkah Lucunya Negeri Ini” movies. The approach of the research was qualitative descriptive by using hermeneutics analysis to analyze the examined objects. The technique of data analysis was based on hermeneutics loop method that worked dialecticly. In a general way, the interpretation process in both movies were classified into two parts, namely overall understanding with narrative analysis and partly understanding gained from the analysis of selected scenes based on the research focus.

Based on the results of the research, it was known that the social criticism interpretated in both movies focused on the poverty discourse in structural level, which was a condition where the poverty was considered as the result of community system policies that were considered unfair.


(3)

ABSTRAK

KRITIK SOSIAL DALAM FILM INDONESIA

(Analisis Potret Kemiskinan Dalam Film Laskar Pelangi Dan Alangkah Lucunya (Negeri Ini))

Oleh

ESTI RETNOWATI

Film sebagai kritik sosial mengungkapkan sebuah kondisi sosial masyarakat yang terkait dengan nilai-nilai yang dianut ataupun nilai-nilai yang menjadi pedoman. Ia tidak hanya merepresentasikan, merefleksikan atau sekedar cermin realitas melainkan melakukan konstruksi pula terhadap realitas. Salah satu wacana yang direpresentasikan itu adalah masalah kemiskinan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kritik sosial yang terkait dengan wacana kemiskinan yang terekonstruksi pada film Laskar Pelangi dan Alangkah Lucunya (Negeri Ini). Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan menggunakan analisis hermeneutika untuk menganalisis objek yang diteliti. Teknik analisis data dilakukan berdasarkan metode lingkaran hermeneutika yang bekerja secara dialektik. Secara garis besar proses interpretasi pada kedua film diklasifikasikan menjadi dua bagian, yakni pemahaman secara keseluruhan dengan analisis naratif dan pemahaman bagian yang didapat dari analisis terhadap adegan yang dipilih berdasarkan fokus penelitian.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, diketahui bahwa kritik sosial yang terepresentasi pada kedua film terfokus pada wacana kemiskinan dalam tataran struktural, yakni sebuah kondisi dimana kemiskinan yang dialami tokoh merupakan akibat dari kebijakan sistem masyarakat yang dianggap tidak adil.


(4)

(5)

(6)

(7)

ix

DAFTAR ISI

Halaman ABSTRAK

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PERSETUJUAN ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

SURAT PERNYATAAN ... iii

RIWAYAT HIDUP ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

SANWACANA ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR BAGAN ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penelitian Terdahulu ... 7

B. Tinjauan Tentang Kritik Sosial 1. Kritik Sosial ... 9

2. Pengertian Kritik Sosial ... 10

3. Fungsi Kritik Sosial ... 11

B. Tinjauan Tentang Film 1. Film Sebagai Media Komunikasi Massa ... 12

2. Film Sebagai Kritik Sosial ... 14

D. Tinjauan Tentang Kemiskinan 1. Masalah Kemiskinan ... 15

2. Faktor Penyebab Kemiskinan ... 18

C. Tinjauan Tentang Hermeneutika ... 21


(8)

x

BAB III METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian ... 29

B. Metode Penelitian ... 30

C. Objek Penelitian ... 31

D. Fokus Penelitian ... 31

E. Definisi Konsep ... 32

F. Sumber Data ... 33

G. Teknik Pengumpulan Data ... 33

H. Teknik Analisis Data ... 34

BAB IV GAMBARAN UMUM A. Gambaran Umum Objek Penelitian ... 36

1. Film Laskar Pelangi ... 36

a. Data Produksi Film ... 37

b. Sinopsis ... 37

c. Pemeran ... 38

d. Penghargaan ... 40

B. Film Alangkah Lucunya (Negeri Ini) ... 41

a. Data Produksi Film ... 41

b. Sinopsis ... 42

c. Pemeran ... 42

d. Penghargaan ... 45

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 46

1. Film Laskar Pelangi ... 46

a. Pemahaman Keseluruhan ... 46

1. Identifikasi Karakter Penokohan, Latar Tempat Dan Waktu ... 47

2. Penelusuran Alur ... 51

b. Pemahaman Bagian ... 58

2. Film Alangkah Lucunya (Negeri Ini) ... 62

a. Pemahaman Keseluruhan ... 62

1. Identifikasi Karakter Penokohan, Latar Tempat Dan Waktu ... 62

2. Penelusuran Alur ... 65

b. Pemahaman Bagian ... 72

B. Pembahasan ... 76

1. Representasi Kritik Sosial Terhadap Wacana Kemiskinan Dalam Film Laskar Pelangi ... 77

2. Representasi Kritik Sosial Terhadap Wacana Kemiskinan Dalam Film Alangkah Lucunya (Negeri Ini) ... 79

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 85

B. Saran ... 86


(9)

xi

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Penelitian terdahulu ... 7

2. Pemeran Film Laskar Pelangi ... 38

3. Pemeran Film Alangkah Lucunya (Negeri Ini) ... 42

4. Identifikasi Karakter Penokohan Film Laskar Pelangi ... 49

5. Deskripsi adegan yang mengandung kritik sosial atas masalah kemiskinan dalam film Laskar Pelangi ... 58

6. Identifikasi Karakter Penokohan Film Alangkah Lucunya (Negeri Ini) ... 64

7. Deskripsi adegan yang mengandung kritik sosial atas masalah kemiskinan dalam film Alangkah Lucunya (Negeri Ini) ... 72


(10)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

5.1 Ikal menggambarkan sosok Lintang ... 48

5.2 Ikal menemui Lintang ... 49

5.3 Ikal dan ayahnya berangkat ke sekolah ... 51

5.4 Para buruh berangkat bekerja ... 52

5.5 Bu Muslimah bertemu seorang ibu di pasar ... 54

5.6 Lintang menyemangati Ikal ... 55

5.7 Perpisahan Lintang dan teman-temannya ... 56

5.8 Muluk melamar kerja di sebuah perusahaan ... 62

5.9 Muluk melamar kerja di sebuah agen tenaga kerja ... 63

5.10 Pertemuan pertama Muluk dengan Komet ... 66

5.11 Muluk bertemu Samsul di pos ronda ... 66

5.12 Muluk bersama para copet ... 67

5.13 Muluk dan Samsul menemui para copet di markas ... 68

5.14 Pak Makbul, Haji Sarbini, dan Haji Rahmat ... 69


(11)

xii

DAFTAR BAGAN

Bagan Halaman

1. Kerangka pikir penelitian ... 28 2. Bentuk representasi kritik sosial dalam film ... 84


(12)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Film bukan lagi menjadi fenomena baru di ranah media massa. Dengan tampilannya yang audio visual, film sangat digemari oleh masyarakat. Film mampu merekonstruksi wacana sosial secara lebih nyata dan mudah dimengerti khlayaknya.

Berdasarkan kelebihannya itulah, film dapat dijadikan sebagai media kritik sosial yang efektif. Salah satu kritik sosial yang ditampilkan film adalah tentang masalah kemiskinan. Kemiskinan itu sendiri, menurut Suparlan (dalam Hartomo dan Arnicun, 2004: 315) disebut sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah; yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Standar kehidupan yang rendah ini secara langsung nampak pengaruhnya terhadap tingkat keadaan kesehatan, kehidupan moral dan rasa harga diri dari mereka yang tergolong miskin.

Seperti yang kita ketahui, film menggambarkan kemiskinan dengan beragam lattar dan alur cerita. Hal ini membuktikan bahwa film dipengaruhi oleh pandangan


(13)

hidup berbagai pihak yang berada di belakang layar. Menurut beberapa teori film, film adalah arsip sosial yang menangkap jiwa zaman (zeitgeist) masyarakatnya (Imanjaya, 2006: 29), serta dipengaruhi oleh ideologi pembuatnya. Dengannya, film membentuk konstruksi masyarakat akan suatu hal (Sobur, 2006: 127).

Oleh sebab itu, film memiliki ciri khasnya masing-masing dalam merepresentasikan wacana kemiskinan. Terlepas dari maksud dan tujuan pembuatnya, wacana dalam sebuah film dapat diinterpretasikan dengan berbagai makna oleh khalayaknya. Salah satunya melalui pengkajian terstruktur melalui penelitian terhadap konteks wacana yang terepresentasi.

Misalnya, penelitian yang dilakukan Khrishna Sen yang terangkum dalam bukunya Kuasa Dalam Sinema. Di dalamnya dijelaskan bagaimana film-film tahun 70-an merepresentasikan masyarakat kelas bawah sebagai pihak yang minor dalam strata sosial ekonomi. Penggambaran demikian merupakan salah satu bentuk kritik sosial sineas atas realitas masyarakat di zamannya yang memposisikan masyarakat miskin sebagai pihak yang tidak berdaya secara sosial.

Akan tetapi Sen menegaskan bahwa wacana kemiskinan dalam film di masa itu tidak sepenuhnya menghadirkan realitas pada zamannya. Hal itu diakibatkan oleh ideologi pihak-pihak yang berkuasa atas proses sensor film yang telah diproduksi. Sehingga, kritik sosial tidak dapat diwacanakan secara eksplisit dan gamblang pada film-film di zaman itu.

Seperti yang kita ketahui, dalam sejarah sinema Indonesia, dekade 1970-an cukup akrab dengan eksplorasi kemiskinan via medium film, sebut saja Yatim (1974),


(14)

3

Sebatang Kara (1974), Jangan Biarkan Mereka Lapar (1975), Ratapan Si Miskin (1975), dan Nasib Si Miskin (1977). Modus ceritanya adalah melodrama yang ditujukan untuk menguras air mata. Protagonisnya adalah anak kecil atau remaja, yang diawal film kesulitan karena kemiskinannya, dan makin sulit karena pada satu titik mengalami suatu bencana yang membuatnya yatim piatu. Protagonis pun merosot status kesulitannya: dari kemiskinan ke kesengsaraan.

Khalayak digiring untuk menganggap kemiskinan sebagai nasib yang berlangsung sementara serta harus diterima dengan ikhlas dan tanpa protes. Selama tokoh utama berlaku baik dalam tataran sosial dan moral, maka ia akan mendapat imbalan yang baik pula. Sedangkan mereka yang keluar dari batas-batas perilaku dan moral baik, seperti pengemis dan maling (dalam film Nasib Si Miskin) akan berakhir dengan hukuman.

Melalui konflik moral yang protagonis hadapi, mobilitas sosial yang drastis menjadi sesuatu yang mungkin, sehingga segala konsepsi tentang perbedaan kelas hanya menjadi hambatan sementara yang protagonis dapat atasi. Dalam mitos tersebut, tidak ada istilahnya yang kaya tambah kaya, yang miskin tambah sengsara. Bagi yang mau berusaha, semuanya akan setara pada akhirnya.

Kemudian di era 80-an, dirilislah film yang bergenre sama namun memiliki sudut pandang yang berbeda dalam melihat kemiskinan, yaitu film karya Slamet Rahardjo: Langitku Rumahku (1989). Film ini bercerita tentang persahabatan Andri dan Gempol. Andri adalah anak orang kaya, sebaliknya Gempol berasal dari keluarga pemulung. Meski masih menampilkan sang protagonis dengan seorang anak remaja yang memiliki moral yang baik, etos keja yang tinggi, serta


(15)

tidak mempunya niat jahat untuk memanfaatkan Andri, temannya yang orang kaya, namun akhir cerita ternyata tidak membawa si miskin menjadi seorang yang sukses. Mobilitas sosial yang sebelumnya selalu dihamparkan dalam film-film bertema kemiskinan, tidak ditunjukkan di sini.

Film bertemakan kemiskinan yang tak kalah menariknya adalah Daun di Atas Bantal karya Garin Nugroho. Film yang dirilis tahun 1998 ini juga menceritakan tentang perjuangan warga miskin dalam mempertahankan hidupnya. Bergelut dengan hiruk pikuk kehidupan Kota Yogyakarta, tiga anak jalanan yang memerankan tokoh sentral di film ini cukup menampilkan realitas kemiskinan di zamannya.

Berdasarkan pernyataan di atas, diketahui bahwa setiap zaman memiliki konteks yang berbeda dalam penggambaran kemiskinan. Pada tahun-tahun terakhir ini, dunia perfilman Indonesia memiliki beberapa film yang bertemakan kemiskinan atau mengandung unsur-unsur simbolik kemiskinan/masyarakat kelas bawah, diantaranya: Denias, Senandung Di Atas Awan (2006); Laskar Pelangi (2008); Kun Fayakuun (2008); Doa Yang Mengancam (2008); Jermal (2009); Sang Pemimpi (2009); Emak Ingin Naik Haji (2009); Alangkah Lucunya (Negeri Ini) (2010); Tanah Air Beta (2010); dan Di Bawah Langit (2010).

Dari beberapa film yang bertemakan kemiskinan di atas, peneliti tertarik untuk memilih film laskar pelangi dan alangkah lucunya (negeri ini) sebagai objek kajian. Selain karena keduanya menggambarkan realitas kemiskinan, kedua film juga bermuatan kritik terhadap wacana kemiskinan dalam konteks dan setting yang berbeda, yakni pedesaan dan perkotaan.


(16)

5

Film laskar pelangi sendiri merupakan film yang diadaptasi dari sebuah novel dengan judul yang sama karya Andrea Hirata, dimana novel tersebut meraih predikat International Best Seller di Turki. Filmnya pun meraih berbagai penghargaan, baik di dalam negeri maupun di ranah internasional, salah satunya yakni meraih The Golden Butterfly Award untuk kategori film terbaik di

International Festival of Films for Children and Young Adults di Hamedan, Iran. Selain itu, film Laskar Pelangi juga telah ditonton oleh 4,6 juta orang, menjadikannya film terbanyak ditonton di Indonesia keempat, setelah Jelangkung dengan 5,7 Juta, Pocong 2 dengan 5,1 Juta, dan Ada Apa Dengan Cinta dengan 4,9 Juta.

Sementara untuk film Alangkah Lucunya (Negeri Ini) peneliti pilih sebab film ini mendapatkan perhatian yang besar di berbagai media tanah air ketika film ini dirilis pada tahun 2010. Di tahun yang sama film Alangkah Lucunya (Negeri Ini) berhasil meraih tiga penghargaan sekaligus pada Festival Film Indonesia 2010, yakni sebagai skenario adaptasi terbaik, tata suara terbaik, dan tata musik terbaik. Deddy Mizwar sebagai salah satu sutradara dan aktor yang terkenal di dunia perfilman Indonesia menjadi salah satu pertimbangan peneliti dalam memilih film Alangkah Lucunya (Negeri Ini) menjadi objek penelitian.

Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti ingin melihat bagaimana pesan kritik sosial mengenai masalah kemiskinan yang terkandung pada kedua film di atas, yakni film Laskar Pelangi dan film Alangkah Lucunya (Negeri Ini).


(17)

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimana pesan kritik sosial mengenai masalah kemiskinan yang tergambar dalam film Laskar Pelangi dan Alangkah Lucunya (Negeri Ini)?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan pesan kritik sosial yang difokuskan pada wacana kemiskinan yang terkandung dalam film Laskar Pelangi dan Alangkah Lucunya (Negeri Ini).

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat: a. Secara teoritis

Hasil penelitian diharapkan dapat menambah kajian pemikiran bagi pengembangan ilmu komunikasi terutama berkaitan dengan pengembangan studi analisis hermeneutika.

b. Secara Praktis

Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai rekomendasi atau bahan pertimbangan bagi penelitian lanjutan dan sebagai acuan (referensi) bagi jurusan Ilmu Komunikasi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.


(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penelitian Terdahulu

Berikut ini beberapa penelitian terdahulu yang dijadikan peneliti sebagai rujukan dalam melakukan penelitian mengenai kritik sosial yang difokuskan pada wacana kemiskinan dalam film Indonesia dengan metode penelitan hermeneutika.

Tabel 1. Penelitian Terdahulu

No Nama Peneliti Judul Kesimpulan

1. Jaya, Tri Purna. Jurusan Ilmu Komunikasi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Lampung, 2008. Representasi Gender dalam Cerpen (Analisis Hermeneutik Cerpen Samurai Karya Kuntowijoyo yang Terbit pada Tahun 1970-an)

Hermeneutik adalah sebuah kajian interpretasi terhadap sebuah teks. Dalam metode hermeneutik, “teks” bukan hanya berarti “tulisan” saja, tetapi juga “teks” bisa

dikatakan sebagai “segala

objek” yang bisa diuji dan diinterpretasikan. Objek di sini bisa berupa apapun seperti media elektronik, media cetak, foto, atau karya-karya seni. 2. Lubis, Rita

Arnita. Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara, 2010. Gambaran Kemiskinan dalam Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata

Kemiskinan dalam novel tersebut dilihat dari beberapa segi

kehidupan, yaitu pendidikan, status sosial, kesenjangan sosial, dan juga lingkungan. Sedangkan faktor-faktor penyebab

kemiskinannya teridentifikasi melalui faktor tingkat pendidikan,


(19)

mata pencarian, keterpencilan sosial, dan pengelolaan alam. 3. Safitri, Devi.

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2010. Masalah-masalah Sosial dalam Novel Ketika Cinta Bertasbih Karya Habibburahman El Shirazy

Kemiskinan yang tergambar dalam novel tersebut meliputi kemiskinan temporer (kekurangan materi dan kemiskinan ke tahap sejahtera yang dialami tokoh Azzam dan keluarganya) dan kemiskinan struktural (perbedaan kelas atas dan kelas bawah yang terlihat pada tokoh Azzam sebagai pemuda miskin dengan tokoh Furqan yang berasal dari keluarga kaya raya)

4. Sustri. Jurusan Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2009.

Dimensi Sosial dalam Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata

Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa kesenjangan perekonomian yang difokuskan pada masalah kemiskinan dalam novel laskar pelangi mencakup dua hal yaitu (a) kemiskinan temporal

(temporary poverty) yang terdiri dari kekurangan materi dan kemiskinan ke tahap sejahtera, kemiskinan yang berdampak pada semua aspek kehidupan, salah satunya adalah pemenuhan kebutuhan sehari-hari sebagai kebutuhan pokok; (b) kemiskinan struktural (structural poverty) yang terdiri dari kebutuhan sosial, kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai berupa keterkucilan sosial,

ketergantungan, dan

ketidakmampuan berpartisipasi dalam masyarakat, pendidikan, dan informasi.

5. Suharyanto,

Mohammad Hendy. Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Lampung, 2006.

Film dan Anak Jalanan Kemiskinan dalam penelitian ini direpresentasikan pada tanda-tanda yang melekat pada anak jalanan dalam film Daun di Atas Bantal karya Garin Nugroho. Anak jalanan sangat dekat dengan kehidupan yang keras, suram, dan cenderung melakukan perbuatan-perbuatan yang negatif. Perilaku mereka yang seperti itu tidak terlepas dari pengaruh lingkungan dimana mereka berada, yang tak dipungkiri bahwa lingkungan tempat anak-anak jalanan tinggal


(20)

9

adalah lingkungan yang sarat dengan kemiskinan.

B. Tinjauan tentang Kritik Sosial1

1. Kritik Sosial

Semua kemajuan lahir dari kritik, karena tanpa kritik, bangsa manusia tidak akan mungkin bisa mencapai hasil yang kini dicapainya itu. Banyak orang berbicara mengenai kritik, baik dalam arti positif maupun negatif. Kritik adalah sesuatu yang tabu dalam kebudayaan tradisionil. Kritik adalah zat hidup kebudayaan modern. Kritik adalah sesuatu bentuk kebebasan yang mesti “disesuaikan dengan

situasi dan kondisi” pada masa kebudayaan transisi ini. Sementara itu, Muladi

menilai, “Dinegara berkembang, kritik sering dilihat sebagai sesuatu yang tidak loyal (disloyality). Padahal, masyarakat yang maju, kritik justru merupakan sesuatu yang penting, sebagai masukan agar sistem politik menjadi lebih baik”. (Sobur, 2001:194).

Orang memuji kritik sebagai nilai dasar bangsa manusia, sebagai dasar untuk pandangan yang penuh harapan bagi masa depan. Namun orang juga menentang kritik sebagai perusakan yang tidak sopan, sebagai penyergapan terhadap nilai-nilai suci. Apakah termasuk memuji atau menetang, kebanyakan orang tidak menyadari tentang hakikat kritik, sifat kritik dan persyaratan-persyaratan kritik.

1

http://elib.unikom.ac.id/download.php?id=139025. jbptunikompp-gdl-agilnopian-26333-5-unikom_a-i.pdf (akses 24 Februari 2013)


(21)

Juga mengenai pentingnya kritik dalam tata kehidupan bangsa manusia, dan dalam susunan hidup-hidup permasyarakatan kita dewasa ini, masih kurang diinsafi. Juga masih kurang begitu peduli pada apa dan sejauh manakah sesuatu yang dilontarkan sebagai kritik itu berhak untuk dinamakan kritik

2. Pengertian Kritik Sosial

Dalam kamus besar Indonesia edisi kedua, kritik diartikan sebagai kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian pertimbangan baik buruk terhadap suatu karya pendapat dan sebagainya, menurut Kwant bentuk kritik dapat dibedakan dalam dua macam yaitu: kritik positif dan kritik negatif. Kritik negatif artinya sikap kritis yang kesimpulannya tidak menyetujui, biasanya kritik negatif lebih banyak dibanding kritik positif, sementara kritik positif artinya suatupenilaian terhadap suatu yang mempunyai kesimpulan menyetujui.

Kritik berasal dari bahasa yunani yaitu krinein yang berarti memisahkan, memerinci. Dalam kenyataan tersebut, manusia membuat pemisahan dan perincian antara nilai dan bukan nilai, arti dan bukan arti, baik dan jelek. Jadi kritik suatu penilaian terhadap kenyataan dalam sorotan norma. Dalam buku berjudul Mens en Kritiek. R.C. Kwant (1975:12) menuliskan bahwa kritik menentukan nilai suatu kenyataan yang dihadapinya. Dalam melontarkan kritik, tidak cukup hanya mengetahui kenyataan yang ada, namun orang yang melancarkan kritik harus berusaha menentukan apakah yang dihadapinya itu benar-benar seperti yang seharusnya. Oleh karenanya,orang tersebut harus mengetahui sebelumnya bagaimana seharusnya (Kwant, 1975:90).


(22)

11

Kepekaan sosial atau social sensitivity, merupakan inti suatu kritik sosial. Menurut Astrid S. Susanto (1977:5), kritik sosial biasanya dihubungkan dengan perlunya situasi ideal dan perilaku ideal (ideal conduct). Suatu kritikan selalu menginginkan perubahan, hingga kritik selalu berorientasi ke masa depan. Oleh karena itu suatu kritik perlu dilandasi data dan pengetahuan yang tepat, yaitu agar prediksi tentang masalah dalam bermasyarakat jadi tepat, setepat mungkin.

Kritik sosial yang murni kurang didasarkan pada peneropongan kepentingan diri saja, melainkan justru menitikberatkan dan mengajak khalayak untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan dalam masyarakat. Suatu media kritik sosial karenanya didasarkan pada rasa tanggung jawab atau pengontrol bahwa manusia sama-sama bertanggung jawab atas perkembangan lingkungan sosialnya. Kritik sosial antara lain sebagai control terhadap jalannya sebuah sistem sosial atau merupakan proses bermasyarakat, dalam kontek inilah kritik sosial merupakan salah satu faktor penting dalam memelihara sistem sosial.

3. Fungsi Kritik Sosial

Adanya kritik dalam suatu masyarakat, mencerminkan perubahan yang sedang dialami oleh masyarakat itu (Susanto, 1985:106). Jika suatu kritik sosial ingin memenuhi fungsinya dengan efektif, harus memenuhi beberapa langkah dan syarat. Kritik sosial sebagai pendapat pribadi, tidak terorganisir, akan hilang lenyap dalam saingan pendapat.

Ternyata kritik sosial juga perlu melembagakan diri menemukan saluran-saluran yang dapat lebih menjelaskan, memfokuskan, memerinci dan merumuskan dalam


(23)

langkah-langkah operasional mengenai apa yang akan diusulkan untuk diperbaiki. Kritik sosial perlu juga melepaskan diri dari ikatan-ikatan komunal maupun kepentingan pribadi.

Data dan lingkungan lebih luas diperlukan oleh suatu kritik untuk dapat berperan dan berpengaruh. Mengingat bahwa suatu kritik sosial bukan lagi merupakan suatu “milik pribadi”. Sekali ia disebarkan di masyarakat, maka mau tidak mau efektifitas kritik sosial akan sangat melekat.

C. Tinjauan Tentang Film

1. Film Sebagai Media Komunikasi Massa

Media komunikasi adalah alat-alat perantara dalam proses penyampaian isi pernyataan (message) dari komunikator sampai kepada komunikan atau proses penyampaian umpan balik (feedback) dari komunikan sampai kepada komunikator. Media komunikasi yang sering kita jumpai dalam kehidupan sehari –hari seperti leaflet, selebaran, spanduk, baliho, billboard, poster, buku, surat kabar, bulletin, majalah, radio, televisi, dan film.

Film atau cinema pada hakekatnya adalah serangkaian gambar bergerak yang berisi pesan-pesan melalui bahasa (visual sekaligus verbal) yang ditujukan kepada khalayak luas. Film memproyeksikan rekaman realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat ke atas layar (Sobur, 2006: 127). Film dapat dikategorikan sebagai media komunikasi massa, hal ini dikarenakan memenuhi karakter yang disebutkan Nurudin (2007: 19-32) sebagai berikut:


(24)

13

1. Komunikatornya melembaga

Komunikator dalam komunikasi massa bukan satu orang, tetapi kumpulan orang. Artinya, gabungan antarberbagai macam unsure dan bekerja satu sama lain dalam sebuah lembaga. Lembaga yang dimaksud di sini menyerupai sebuah sistem,

2. Komunikan bersifat heterogen, tersebar dan anonim, 3. Pesannya bersifat umum,

Artinya pesannya dapat diterima oleh siapa saja dan dimana saja tanpa mengenal usia, jenis kelamin, dan suku bangsa,

4. Komunikasinya berlangsung satu arah,

5. Penyampaian isi pernyataannya (pemutaran film) dilakukan pada waktu-waktu teratur yang telah ditentukan sebelumnya,

6. Isi pesan mencakup berbagai aspek kehidupan manusia (ekonomi, social, budaya, politik, dan lain-lain),

7. Bersifat satu arah, artinya komunikasi yang dilakukan kurang memungkinkan terjadinya dialog antara pengirim dan penerima. (Cangara, 2006: 122)

Sebagai media komunikasi massa, film tidak hanya berfungsi sebagai sarana informasi, tetapi juga menghibur dan mendidik khalayak, serta dapat dijadikan sebagai media pertukaran budaya masyarakat. Bahkan saat ini, film juga digunakan untuk melawan kekuasaan dan kekuatan represif, memberikan kritik, berpolitik dan propaganda.


(25)

2. Film Sebagai Kritik Sosial

Film selain berfungsi sebagai media hiburan, juga dapat dimanfaatkan sebagai media kritik. Karena bagaimanapun juga, film tetap memuat ideologi pembuatnya. Film sebagai ideologi jelas memiliki konteks yang berbeda daripada film sebagai sebuah produk hiburan. Akan tetapi, sangat terbuka kemungkinan bagi film sebagai “komoditi hiburan” untuk tetap bersifat “ideologis”, karena pada dasarnya sebuah film secara otomatis pasti memuat gagasan pemikiran para pembuatnya baik secara implisit maupun eksplisit.

Sebagai kritik sosial, film mengungkapkan sebuah kondisi sosial masyarakat yang terkait dengan nilai-nilai yang dianut ataupun nilai-nilai yang menjadi pedoman. Film hadir dengan berbagai latar belakang. Ia merupakan sebentuk seni sekaligus praktik sosial, yang memuat berbagai unsur, baik sosial, politik, budaya, psikologi, serta estetis film, dimana kesemua unsur tersebut berada dalam hubungan yang dinamis. Oleh karena itu, jelas bahwa film tidaklah hanya menampilkan ulang akan suatu gambaran realitas. Ia tidak hanya merepresentasikan, merefleksikan atau sekedar cermin realitas melainkan melakukan konstruksi pula terhadap realitas.

Film tidak dapat dipungkiri mampu merekam suatu zaman, kondisi masyarakat tertentu ataupun kode-kode budaya saat film tersebut diproduksi sekalipun ia tidak pernah diarahkan serta dimaksudkan untuk hal itu. Hal ini senada dengan apa

yang dituturkan Ron Mottram dalam tulisannya “Cinema and Communication”:

Films reflects the cultural codes of society ini which they are produced


(26)

15

Juni 2013). Melalui film pun kita mampu membaca tampilan wajah suatu bangsa, belajar mengenai banyak hal dalam konteks kehidupan bahkan mampu mencandra

mentalitas suatu bangsa sebagaimana pernah dilontarkan Sigfried Kracauer: ”The

films of a nation reflect its mentality in a more direct way than other artistic

media”.

Sebagai contoh, film Gie (2005) yang menurut Eric Sasono dalam tulisannya yang dimuat di harian Kompas, Minggu 17 Juli 2005, berbicara tentang kondisi bangsa saat itu. Film seakan mengingatkan bahwa masih banyak agenda bangsa yang belum selesai dan masih dibutuhkan kaum intelektual yang setia pada pikiran lurus. Dengan tegas film ini memposisikan diri dalam konteks kepolitikan tahun 1960-an serta refleksinya pada kehidupan Indonesia kontemporer. (http://ericsasono.blogspot.com/2005/07/film-sebagai-kritik-sosial.html, akses 11 Juni 2013)

D. Tinjauan Tentang Kemiskinan

1. Masalah Kemiskinan

Kemiskinan dan keterbelakangan merupakan fenomena sosial yang banyak ditemui di negara-negara berkembang. Hampir di setiap negara, kemiskinan selalu terpusat di tempat-tempat tertentu, yaitu biasanya di pedesaan atau daerah-daerah


(27)

yang kekurangan sumber daya. Persoalan kemiskinan juga selalu berkaitan dengan masalah lain, misalnya lingkungan.2

Beban kemiskinan paling besar terletak pada kelompok-kelompok tertentu. Kaum wanita pada umumnya merupakan pihak yang dirugikan. Dalam rumah tangga miskin, mereka sering merupakan pihak yang menanggung beban kerja yang lebih berat dari pada kaum pria. demikian pula dengan anak-anak, mereka juga menderita akibat adanya ketidakmerataan tersebut dan kualitas hidup masa depan mereka terancam oleh karena tidak tercukupinya gizi, pemerataan kesehatan dan pendidikan. Selain itu timbulnya kemiskinan sangat sering terjadi pada kelompok-kelompok minoritas tertentu.3

Kemiskinan dapat dikonotasikan sebagai suatu kondisi ketidakberdayaan, ketidakmampuan baik secara individual, kelompok, bangsa, bahkan negara yang menyebabkan kondisi tersebut rentan terhadap timbulnya berbagai permasalahan kehidupan sosial. Umumnya, mereka yang tergolong miskin mengalami kesulitan dalam menikmati fasilitas-fasilitas yang disediakan pemerintah seperti pendidikan, layanan kesehatan, dan kemudahan-kemudahan lainnya yang dapat digunakan untuk meningkatkan taraf kehidupan yang lebih baik. Kondisi demikian dapat dikategorikan sebagai masalah sosial yang cukup krusial, bahkan dapat mendorong masalah sosial lain yang dapat menggoyahkan stabilitas sebuah negara.

2

Bahri, Syaiful. 2005. Tesis: Faktor-Faktor Determinan Yang MempengaruhiPemberdayaan

Ekonomi Keluarga Pada Program Gerdu Taskindi Kabupaten Jombang. Program Studi

Pengembangan Sumber Dya Manusia: Universitas Airlangga. Hal. 9

3


(28)

17

Menurut Suparlan (dalam Hartomo dan Arnicun, 2004: 315) kemiskinan disebut sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah; yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Standar kehidupan yang rendah ini secara langsung nampak pengaruhnya terhadap tingkat keadaan kesehatan, kehidupan moral dan rasa harga diri dari mereka yang tergolong miskin. Sedangkan Soekanto (2002: 365) mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu keadaan di mana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam kelompok tersebut.

Dengan munculnya berbagai paradigma di atas, maka secara garis besar kemiskinan merupakan suatu integrated concept yang memiliki lima dimensi, yaitu: 1) kemiskinan (proper), 2) ketidakberdayaan (powerless), 3) kerentanan menghadapi situasi darurat (state of emergency), 4) ketergantungan (dependence), dan 5) keterasingan (isolation) baik secara geografis maupun sosiologis. Hidup dalam kemiskinan bukan hanya hidup dalam kekurangan uang dan tingkat pendapatan rendah, tetapi juga banyak hal lain, seperti: tingkat kesehatan, pendidikan rendah, perlakuan tidak adil dalam hukum, kerentanan terhadap ancaman tindak kriminal, ketidakberdayaan menghadapi kekuasaan, dan ketidakberdayaan dalam menentukan jalan hidupnya sendiri.4

4

M. Amin Abdullah. Usaha Memahami Kemiskinan Secara Multidimensional Ditinjau Dari

Agama.


(29)

Kemiskinan bersifat multidimensional, dalam arti berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, politik dan aspek lainnya. Sedangkan Kartasasmita (dalam Bahri, 2005: 13) mengatakan bahwa kemiskinan merupakan masalah dalam pembangunan yang ditandai dengan pengangguran dan keterbelakangan, yang kemudian meningkat menjadi ketimpangan. Masyarakat miskin pada umumnya lemah dalam kemampuan berusaha dan terbatas aksesnya kepada kegiatan ekonomi sehingga tertinggal jauh dari masyarakat lainnya yang mempunyai potensi lebih tinggi. Hal tersebut senada dengan yang dikatakan Friedmann (dalam Bahri, 2005: 13) yang mengatakan bahwa kemiskinan sebagai akibat dari ketidak-samaan kesempatan untuk mengakumulasi basis kekuatan sosial.

Namun menurut Brendley kemiskinan adalah ketidaksanggupan untuk mendapatkan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan sosial yang terbatas. Hal ini diperkuat oleh Salim yang mengatakan bahwa kemiskinan biasanya dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk memperoleh kebutuhan hidup yang pokok. Sedangkan Lavitan mendefinisikan kemiskinan sebagai kekurangan barang-barang dan pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai suatu standar hidup yang layak.5

2. Faktor Penyebab Kemiskinan

Menurut Baswir dan Sumodiningrat (dalam Bahri, 2005: 13), secara sosioekonomis, terdapat dua bentuk kemiskinan, yaitu :

5

Bahri, Syaiful. 2005. Tesis: Faktor-Faktor Determinan Yang MempengaruhiPemberdayaan

Ekonomi Keluarga Pada Program Gerdu Taskindi Kabupaten Jombang. Program Studi


(30)

19

a. Kemiskinan absolut adalah suatu kemiskinan di mana orang-orang miskin memiliki tingkat pendapatan dibawah garis kemiskinan, atau jumlah pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum, kebutuhan hidup minimum antara lain diukur dengan kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan, kalori, GNP per kapita, pengeluaran konsumsi dan lain-lain.

b. Kemiskinan relatif adalah kemiskinan yang dilihat berdasarkan perbandingan antara suatu tingkat pendapatan dengan tingkat pendapatan lainnya. Contohnya, seseorang yang tergolong kaya (mampu) pada masyarakat desa tertentu bisa jadi yang termiskin pada masyarakat desa yang lain.

Di samping itu terdapat juga bentuk-bentuk kemiskinan yang sekaligus menjadi faktor penyebab kemiskinan (asal mula kemiskinan). Ia terdiri dari: (1)

Kemiskinan natural, (2) Kemiskinan kultural, dan (3) Kemiskinan struktural.6 1. Kemiskinan natural adalah keadaan miskin karena dari awalnya memang

miskin. Kelompok masyarakat tersebut menjadi miskin karena tidak memiliki sumberdaya yang memadai baik sumberdaya alam, sumberdaya manusia maupun sumberdaya pembangunan, atau kalaupun mereka ikut serta dalam pembangunan, mereka hanya mendapat imbalan pendapatan yang rendah. Menurut Baswir kemiskinan natural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor alamiah seperti karena cacat, sakit, usia lanjut atau karena

bencana alam. Kondisi kemiskinan seperti ini disebut sebagai “Persisten

Poverty” yaitu kemiskinan yang telah kronis atau turun temurun. Daerah

6


(31)

seperti ini pada umumnya merupakan daerah yang kritis sumberdaya alamnya atau daerah yang terisolir.

2. Kemiskinan kultural mengacu pada sikap hidup seseorang atau kelompok masyarakat yang disebabkan oleh gaya hidup, kebiasaan hidup dan budaya di mana mereka merasa hidup berkecukupan dan tidak merasa kekurangan. Kelompok masyarakat seperti ini tidak mudah untuk diajak berpartisipasi dalam pembangunan, tidak mau berusaha untuk memperbaiki dan merubah tingkat kehidupannya. Akibatnya tingkat pendapatan mereka rendah menurut ukuran yang dipakai secara umum. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Baswir bahwa ia miskin karena faktor budaya seperti malas, tidak disiplin, boros dan lain-lainnya.

3. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktorfaktor buatan manusia seperti kebijakan ekonomi yang tidak adil, distribusi aset produksi yang tidak merata, korupsi dan kolusi serta tatanan ekonomi dunia yang cenderung menguntungkan kelompok masyarakat tertentu. Selanjutnya Sumodiningrat mengatakan bahwa munculnya kemiskinan struktural disebabkan karena berupaya menanggulangi kemiskinan natural, yaitu dengan direncanakan bermacammacam program dan kebijakan. Namun karena pelaksanaannya tidak seimbang, pemilikan sumber daya tidak merata, kesempatan yang tidak sama menyebabkan keikutsertaan masyarakat menjadi tidak merata pula, sehingga menimbulkan

struktur masyarakat yang timpang. Hal ini disebut “accidental poverty”, yaitu

kemiskinan karena dampak dari suatu kebijaksanaan tertentu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat.


(32)

21

Masalah-masalah kemiskinan tersebut di atas menurut Nurkese (dalam Bahri, 2005: 16) sebagai suatu “lingkaran setan kemiskinan” yang meliputi enam unsur, yaitu : Keterbelakangan, Kekurangan modal, Investasi rendah, Tabungan rendah, Pendapatan rendah, Produksi rendah.

Lain halnya dengan pendapat Chambers yang mengatakan bahwa inti dari masalah kemiskinan dan kesenjangan sebenarnya, di mana “deprivation trap” atau jebakan kemiskinan ini terdiri dari lima unsur yaitu: Kemiskinan, Kelemahan jasmani, Isolasi, Kerentanan, Ketidakberdayaan. Kelima unsur tersebut saling kait mengait antara satu dengan yang lain dan saling mempengaruhi (dalam Bahri, 2005: 16).

E. Tinjauan Tentang Hermeneutika

Hermeneutika, yang dalam bahasa Inggrisnya adalah hermeneutics, berasal dari kata Yunani hermeneuine dan hermeneia yang masing-masing berarti “menafsirkan” dan “penafsiran”. Dalam tradisi Yunani, istilah hermeneutika diasosiasikan dengan Hermes (Hermeios), seorang utusan (dewa) dalam mitologi Yunani Kuno yang bertugas menyampaikan dan menerjemahkan pesan dewa ke dalam bahasa manusia. Menurut mitos itu, Hermes bertugas menafsirkan kehendak dewata (Orakel) dengan bantuan kata-kata manusia.7

Dengan demikian, hermeneutika merupakan “proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti (Sumaryono dalam Rahardjo, 2008: 29).

7

Rahardjo, Mudjia. 2008. Dasar-Dasar Hermeneutika: Antara Intensionalisme dan Gadamerian. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Hal 27-28


(33)

Definisi lain, hermeneutika adalah metode atau cara untuk menafsirkan simbol berupa teks untuk dicari arti dan maknanya, metode ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan masa lampau yang tidak dialami, kemudian dibawa ke masa depan. Dengan demikian, hal yang penting di sini adalah hermeneutika merupakan proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti melalui pemahaman atas sebuah teks bahasa.

Istilah hermeneutikaisebagai “ilmu tafsir” pertama kali muncul pada sekitar abad

ke-17 dengan dua pengertian, yaitu hermeneutika sebagai seperangkat prinsip metodologis penafsiran dan hermeneutika sebagai penggalian filosofis dari sifat dan kondisi yang tak bisa dihindarkan dari kegiatan memahami. Semula hermeneutika berkembang di kalangan gerreja dan dikenal sebagai gerakan eksegesis (penafsiran teks-teks agama) dan kemudian berkembang menjadi “filsafat penafsiran” kehidupan sosial. Seorang Protestan, F.D.E. Schleiermacherlah yang bertanggung jawab membawa hermeneutika dari ruang

biblical studies ke ruang lingkup filsafat, sehingga apa saja yang berbentuk teks bisa menjadi objek hermeneutika. Oleh karena itu, dia dianggap sebagai filosof yang membangkitkan kembali hermeneutika dan membakukannya sebagai metode interpretasi yang tidak hanya terbatas pada teks kitab suci, tetapi juga pada seni, sastra, dan sejarah. Selanjutnya, hermeneutika dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti Wilhelm Dilthey yang menggagas hermeneutika sebagai landasan bagi ilmu-ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaften), lalu Hans-Georg Gadamer yang mengembangkannya menjadi metode filsafat yang diteruskan oleh para filosof


(34)

23

kontemporer seperti Paul Ricoeur, Jurgen Habermas, Jacques Derrida, Michel Foucault, Lyotard, Jean Baudrillard, dan seterusnya.8

Hermeneutika, sebagai sebuah metode penafsiran, tidak hanya memandang teks, tetapi hal yang tidak dapat ditinggalkannya adalah juga berusaha menyelami kandungan makna literalnya. Lebih dari itu, ia berusaha menggali makna dengan mempertimbangkan horizon-horizon yang melingkupi teks tersebut, baik horizon pengarang, horizon pembaca, maupun horizon teks itu sendiri.9

Dengan memperhatikan ketiga horizon tersebut, diharapkan upaya pemahaman atau penafsiran yang dilakukan akan menjadi kegiatan rekonstruksi dan reproduksi makna teks. Selain melacak bagaimana satu teks itu dimunculkan oleh pengarangnya dan muatan apa yang masuk dan ingin dimasukkan oleh pengarang ke dalam teks, sebuah aktivitas penafsiran sesungguhnya juga beusaha melahirkan kembali makna tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi saat teks tersebut dibaca atau dipahami. Dengan kata lain, sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika memperhatikan tiga hal sebagai komponen pokok dalam kegiatan penafsiran, yakni teks, konteks, dan kontekstualisasi.

Dengan demikian, untuk memperoleh pemahaman yang tepat terhadap suatu teks, keberadaan konteks di seputar teks tersebut tidak bisa dinafikan. Sebab, kontekslah yang menentukan makna teks, bagamana teks tersebut harus dibaca, dan seberapa jauh teks tersebut harus dipahami. Dengan demikian, teks yang sama dalam waktu yang sama dapat memiliki makna yang berbeda di mata “penafsir”

8

Ibid. Hal 30

9


(35)

yang berbeda; bahkan seorang “penafsir” yang sama dapat memberikan pemaknaan teks yang sama secara berbeda-beda ketika berada dalam ruang dan waktu yang berbeda.

Dengan demikian, dalam konteks perbincangan hermeneutika yang saat ini berkembang, setidaknya terdapat tiga pemehaman yang dapat diperoleh, yaitu:

Pertama, hermeneutika dipahami sebagai teknik praksis pemahaman atau penafsiran. Pemahaman ini lebih dekat dengan tindakan eksegesis, yakni kegiatan memberi pemahaman tentang sesuatu atau kegiatan untuk mengungkapkan makna tentang sesuatu agar dapat dipahami. Kedua, hermeneutika dipahami sebagai sebuah metode penafsiran. Dalam konteks ini, ia berisi perbincangan teoretis tentang the conditions of possibility sebuah penafsiran. Ia menyangkut hal-hal apa yang dibutuhkan atau langkah-langkah bagaimana yang harus dilakukan untuk menghindari pemahaman yang keliru terhadap teks. Ketiga, hermeneutika dipahami sebagai filsafat penafsiran. Dalam pemahaman ini, hermeneutika menyoroti secara kritis bagaimana bekerjanya pola pemahaman manusia dan bagaimana hasil pemahaman manusia tersebut diajukan, dibenarkan, dan bahkan disanggah.

Karena objek utama hermeneutika adalah teks dan teks adalah hasil atau produk praksis berbahasa, maka anatara hermeneutika dengan bahasa akan terjalin hubungan sangat dekat, sehingga kajian hermeneutika tidak lain adalah juga kajian terhadap bahasa secara filosofis. Lebih dari itu, bagi para filosof bahasa, bahasa dipandang sebagai unsur sangat penting bagi kehidupan manusia. Sebab, manusia berpikir, menulis, berbicara, mengapresiasi karya seni, dan sebagainya


(36)

25

melalui bahasa. Gadamerlah yang dengan jelas dan tegas menyatakan peran penting bahasa sebagai pusat untuk memahami dan pemahaman manusia.

Demikian pentingnya keberadaan bahasa bagi kehidupan manusia, sehingga manusia tidak mungkin berbuat apa-apa tanpa bahasa. Menurut Gadamer, bahasa bukan dipandang sebagai sesuatu yang mengalami perubahan, melainkan sesuatu yang memiliki ketertujuan di dalam dirinya. Maksudnya, kata-kata atau ungkapan tidak pernah tidak bermaksud. Kata atau ungkapan selalu mempunyai tujuan (telos). Jadi, kata atau ungkapan penuh dengan makna (Sumaryono dalam Rahardjo, 2008: 35). Dan hermeneutika merupakan ilmu untuk memahami atau mengerti makna tersebut.

Film sebagai karya seni tentunya memiliki beragam makna yang tersembunyi, sebab film juga merupakan produk praksis berbahasa. Karena itu, perlu kiranya film diinterpretasikan untuk mengungkap pesan-pesan yang tersirat di dalamnya. Penafsiran terjadi karena setiap subjek memandang objek melalui horison dan paradigma yang berbeda-beda. Metode hermeneutika tidak mencari makna yang benar, melainkan makna yang paling optimal yang didapat setelah menganalisis sebuah teks.10

Dalam penafsiran „teks‟11

, peneliti yang menggunakan hermeneutika akan masuk ke dalam suatu standar dari metode hermeneutika tersebut yang disebut lingkaran

10

Jaya, Tri Purna. 2008. Skripsi: Representasi Gender dalam Cerpen. Universitas Lampung. Hal 19

11 Dalam metode hermeneutika, „teks‟ bukan hanya berarti „tulisan‟ saja, tetapi juga „teks‟ bisa

dikatakan sebagai „segala objek‟ yang bisa diinterpretasikan. Objek di sini bisa berupa apapun seperti media elektronik, media cetak, foto, atau karya-karya seni (Jaya, 2008: 20). Sebab, tekstualitas yang menjadi arena beroperasinya kerja hermeneutika telah diperluas maknanya,


(37)

hermeneutika (the circle of hermeneutic). Penafsir melihat atau mencari sesuatu yang spesifik dari anasir-anasir umum yang terdapat dalam „teks‟ yang sedang diteliti kemudian menginterpretasikan kembali anasir-anasir umum yang sudah ada berdasarkan anasir-anasir spesifik yang didapat dari hasil menginterpretaasikan „teks‟ yang sedang diteliti. Secara singkat, lingkaran hermeneutika berarti pencarian makna-makna atas makna dari suatu „teks‟.12

F. Kerangka Pikir Penelitian

Film merupakan karya seni manusia berbentuk audio-visual. Film merekonstruksi realitas ke atas layar, sehingga dapat ditonton oleh publik. Dengan kemampuannya yang audio-visual tersebut, rekonstruksi yang ditampilkan terasa begitu real. Film sebagai media audio-visual menjadi sarana efektif dalam menggambarkan realitas yang ada di masyarakat sebagai sebuah kritik sosial. Salah satu wacana kritik sosial yang digambarkan film adalah masalah kemiskinan.

Kemiskinan sendiri adalah suatu keadaan ketidakmampuan seseorang atau kelompok dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sesuai dengan standar hidup yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Kemiskinan bersifat multidimensional, dalam arti berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya,

terutama oleh Schleiermacher. Teks bukan lagi semata merujuk pada pengertian teks ajaran agama (kitab suci), tetapi juga mencakup teks-teks lain. bahkan, definisi teks dalam perkembangan hermeneutika lebih lanjut juga kian meluas, bukan lagi teks tertulis, tetapi juga lisan dan isyarat-isyarat dengan bahasa tubuh. Karena itu, sikap „diam‟ seseorang, misalnya, juga bisa dianggap sebagai teks, karena mengundang banyak interpretasi (Rahardjo, 2008: 54).

12

Jaya, Tri Purna. 2008. Skripsi: Representasi Gender dalam Cerpen. Universitas Lampung. Hal 20


(38)

27

politik dan aspek lainnya. Hidup dalam kemiskinan bukan hanya hidup dalam kekurangan uang dan tingkat pendapatan rendah, tetapi juga banyak hal lain, seperti: tingkat kesehatan, pendidikan rendah, perlakuan tidak adil dalam hukum, kerentanan terhadap ancaman tindak kriminal, ketidakberdayaan menghadapi kekuasaan, dan ketidakberdayaan dalam menentukan jalan hidupnya sendiri.

Realitas kemiskinan diwakilkan lewat cerita dalam film, melalui bahasa film. Bahasa adalah medium yang menjadi perantara kita dalam memaknai sesuatu, memproduksi dan mengubah makna. Bahasa mampu melakukan semua ini karena ia beroperasi sebagai sistem representasi.

Penelitian ini akan menjabarkan bentuk-bentuk gambaran kemiskinan yang dilihat sebagai kritik sosial atas konstruksi kemapanan sebuah sistem masyarakat. Untuk menafsirkan gambaran kritik sosial atas kemiskinan dalam film, peneliti menggunakan metode hermeneutika. Dalam proses interpretasi itu kita dihadapkan pada suatu lingkaran bersifat spiral yang dinamakan Lingkaran Hermeneutika.

Lingkaran hermeneutika merupakan cara menginterpretasikan makna melalui pemahaman bagian dan pemahaman keseluruhan secara berkesinambungan. Interpretasi keseluruhannya tidak dapat dimulai tanpa pemahaman bagian-bagiannya, tetapi interpretasi bagian mengandalkan lebih dahulu pemahaman keseluruhan karya itu. Sehingga, peneliti akan bolak balik antara pemahaman bagian ke pemahaman keseluruhan dan sebaliknya, untuk mendapatkan makna yang terkandung dalam film secara optimal.


(39)

Pemahaman keseluruhan didapat dari proses analisis naratif dan pemahaman bagian yang dihasilkan dari identifikasi hubungan makna teks yang satu dengan teks yang lain berupa dialog dan narasi yang terindentifikasi pada sequence yang dijadikan data dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini, film yang akan diinterpretasikan adalah film Laskar Pelangi dan Alangkah Lucunya (Negeri Ini). Secara ringkas, penelitian ini dapat digambarkan dalam bagan kerangka pikir penelitian di bawah ini.

Bagan 1. Kerangka Pikir Penelitian

Konsep Kemiskinan

Film :

- Laskar Pelangi

- Alangkah Lucunya (Negeri Ini)

Interpretasi

(metode hermeneutika) : 1. Pemahaman keseluruhan 2. Pemahaman Bagian

Kesimpulan (Gambaran Kemiskinan

sebagai kritik sosial) Kritik Sosial


(40)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Penelitian ini dimaksudkan untuk menginterpretasikan atau memaknai film mengenai wacana kritik sosial yang berkaitan dengan fenomena kemiskinan yang terepresentasi di dalamnya. Berdasarkan objek penelitian yang akan diteliti yakni isi pesan film yang merepresentasikan kritik sosial atas fenomena kemiskinan tersebut, maka penelitian ini menggunakan tipe penelitian deskriptif kualitatif.

Tipe penelitian deskriptif merupakan penggambaran pengalaman dan pemahaman berdasarkan hasil pemaknaan berbagai bentuk pengalaman sesuai dengan karakteristik sasaran penelitian. Dalam penggambaran yang dilakukan secara tertulis tersebut pada dasarnya juga berlangsung kegiatan membaca dan menulis ulang. Kegiatan membaca mengacu pada tindak penemuan pemahaman secara skematis. Sementara kegiatan menulis ulang sebagai rewriting mengacu pada

rethinking, reflection, recognizing, dan revising (Lestari, 2012: 35).

Salah satu alasan peneliti menggunakan pendekatan kualitatif adalah pengalaman para peneliti dimana metode ini dapat digunakan untuk menemukan dan memahami apa yang tersembunyi dibalik fenomena yang kadangkala merupakan


(41)

sesuatu yang sulit untuk dipahami secara memuaskan (Lestari, 2012: 36). Selain itu, pendekatan kualitatif merupakan pendekatan yang paling tepat untuk menjawab pertanyaan dalam rumusan masalah pada penelitian ini. Data-data yang akan dikumpulkan oleh peneliti juga sesuai dengan karakteristik penelitian kualitatif, yaitu bersumber dari kaset video (kedua film yang diteliti, yaitu Laskar Pelangi dan Alangkah Lucunya (Negeri Ini)), dan studi literatur. Dengan pendekatan kualitatif yang lebih fleksibel dan tidak rigid, kemungkinan untuk memasukkan faktor-faktor lain (yang baru ditemukan di lapangan, dan belum dirumuskan sebelum penelitian dimulai) dalam analisis tetap terbuka.

B. Metode Penelitian

Dalam konteks pendekatan kualitatif ini metode yang digunakan untuk menganalisa adalah dengan memakai Hermeneuika. Hermeneutika adalah ilmu atau keahlian menginterpretasikan pesan. dan pada penelitian ini penulis mencoba menetapkan cara kerja Lingkaran Hermeneutik untuk mendapatkan pemahaman yang optimal. Lingkaran termaksud sebagai satu keseluruhan menentukan arti masing-masing bagian, dan bagian-bagian tersebut secara bersama membentuk lingkaran. Suatu kata ditentukan artinya lewat arti fungsionalnya dalam kalimat sebagai keseluruhan, dan kalimat ditentukan maknanya lewat arti satu per satu kata yang membentuknya. Jelas kiranya bahwa hermeneutika bersifat melingkar. (Lestari, 2012: 36)

Interpretasi pesan dengan menggunakan lingkaran hermeneutik dipecahkan secara dialektis, bertangga, dan bersifat spiral. Dimulai dari interpretasi menyeluruh yang


(42)

31

bersifat sementara dan kemudian dilanjutkan dengan menafsirkan bagian-bagiannya, begitu juga dengan sebaliknya. Dan apabila pamahaman bagian tidak cocok dengan pemahaman keseluruhan dapat diatasi dengan meninjau kembali salah satu diantaranya atau kedua-duanya. Sehingga akhirnya kita mencapai integrasi makna total dan makna bagian yang optimal.

Mengacu pada apa yang dikatakan oleh Schleiermacher bahwa “Lingkaran Hermeneutik” tidak bisa dipecahkan melalui logika struktural, tetapi melalui cara intuitif ataupun penafsiran secara psikologis. Dan penafsiran psikologis itu penulis mencoba menuangkannya ke dalam dua tahap, yakni pemahaman keseluruhan dan pemahaman bagian.

C. Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah konstruk bahasa berupa kata dan kalimat yang merepresentasikan kritik sosial atas masalah kemiskinan pada film-film Indonesia, baik secara verbal maupun nonverbal yang merupakan keseluruhan teks diantaranya dalam film Laskar Pelangi dan Alangkah Lucunya (Negeri Ini).

D. Fokus Penelitian

Fokus pengamatan dalam penelitian ini adalah bagian-bagian dari sinema berupa gambar, adegan, dialog alur dan latar yang menyiratkan kritik sosial atas wacana kemiskinan pada kedua sinema, Laskar Pelangi dan Alangkah Lucunya (Negeri Ini).


(43)

E. Definisi Konsep

Definisi Konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Kritik Sosial

Kritik sosial adalah suatu aktifitas yang berhubungan dengan penilaian (juggling), perbandingan (comparing), dan pengungkapan (revealing) mengenai kondisi sosial suatu masyarakat yang terkait dengan nilai-nilai yang dianut ataupun nilai-nilai yang dijadikan pedoman.

b. Kemiskinan

Kemiskinan merupakan suatu kondisi sosial individu atau kelompok yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sesuai standar yang berlaku di masyarakat. Kemiskinan adalah sebuah fenomena multidimensional. Hidup dalam kemiskinan bukan hanya hidup dalam kekurangan uang dan tingkat pendapatan rendah, tetapi juga banyak hal lain, seperti tingkat kesehatan dan pendidikan rendah, perlakuan tidak adil dalam hukum, kerentanan terhadap ancaman tindak kriminal, serta ketidakberdayaan dalam menentukan jalan hidupnya sendiri.

c. Film

Film sebagai atribut media massa yang berisikan teknik audio visual yang sangat canggih, mampu menerpa dan mempengaruhi masyarakat. Dalam hal ini efek kognitif dan afektif yang mendorong sebuah perilaku pada individu dan kelompok menjadi sorotan utama dari sebuah film. Selain itu, karakteristik film yang dianggap memiliki jangkauan, realisme, pengaruh emosional, dan popularitas yang hebat, menjadikan film sebagai medium


(44)

33

yang sangat efektif untuk menyampaikan pesan yang di interpretasikan kepada khalayak. Sehingga bagaimanakah khalayak mendapatkan pesan tersebut tergantung dengan penggambaran atau representasi yang ditampilkan dalam film tersebut.

F. Sumber Data

Sumber data penelitian ini adalah: 1. Sumber data primer

Sumber data primer dalam penelitian ini adalah rekaman film Laskar Pelangi dan Alangkah Lucunya (Negeri Ini).

2. Sumber data sekunder

Sumber data sekunder diperoleh dari buku-buku, majalah-majalah, dokumen-dokumen, dan catatan-catatan lain, juga dari penelitian terdahulu dan internet.

G. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan menonton, mencermati, dan mengelompokkan satuan analisisnya yang bersumber pada tiga film, yaitu film

Laskar Pelangi dan Alangkah Lucunya (Negeri Ini), dimana satuan analisis datanya adalah konstruk bahasa. Konstruk bahasa atau kesatuan bahasa mencakup kata, kalimat, yang selanjutnya berkembang dalam pembentukan cerita.


(45)

H. Teknik Analisis Data

Sesuai dengan sifat Lingkaran Hermeneutik yang bekerja intuitif atau secara psikologis, maka secara garis besar penulis menyederhanakan proses pemahaman tersebut menjadi dua bagian, yaitu pemahaman keseluruhan yang didapatkan dari hasil analisis naratif dan pemahaman bagian yang didapat dengan menfokuskan diri pada identifikasi satuan analisis data yang sesuai dengan inti permasalahan. Adapun penggunaan tahapan analisis diatas adalah dengan meninjau kembali beberapa penelitian terdahulu tentang film dan/atau kemiskinan yang menggunakan metode hermeneutik sebagai proses interpretasi. Secara konkret, analisis film ini dilakukan dengan beberapa tahapan sebagai berikut :

1. Menonton dan Membaca Film

Suatu makna dalam teks dapat timbul ketika makna tersebut dibaca. Melalui proses pengulangan baca maka penafsir akan semakin memahami konteks cerita yang didapat sehingga memperoleh tahap pemahaman awal. Hal ini pula yang dinyatakan oleh Jacques Derrida bahwa teori interpretasi pada dasarnya adalah teori membaca, yang pada akhirnya juga merupakan teori tentang teks. Pemahaman seseorang tergantung pada bagaimana ia membaca teks (Sumaryono, 1999: 133).

2. Memahami makna keseluruhan cerita dengan analisis naratif : a. Membuat sinopsis

b. Identifikasi karakter penokohan, latar, tempat, dan waktu c. Penelusuran alur


(46)

35

3. Memahami bagian-bagiannya yang berupa satuan analisis data, seperti kata, kalimat, relasi kalimat, maupun berbagai bentuk ungkapan dan hubungannya antar teks atau realita dengan menyalin tuturan kata dalam film sesuai dengan fokus permasalahan. Secara konkret hasilnya berupa tabel spesifikasi.

4. Mendaftar wacana-wacana yang sudah teridentifikasi dalam film sesuai dengan fokus permasalahan berdasarkan poin 2 dan 3. Secara konkret hasilnya berupa tabel spesifikasi.

5. Apabila belum mendapatkan pemahaman secara optimal, maka proses dapat diulangi sampai dirasa cukup.

6. Menyusun kesimpulan pemahaman berdasarkan poin 1, 2, 3, 4, dan 5. Karena sifatnya yang melingkar dan seringkali menimulkan kerancuan maka pedoman lingkaran hermeneutik ini adalah dimulai dari totalitas atau bagian yang dianggap penting, yang mengacu pada fokus masalah, yaitu tentang adanya representasi kritik sosial atas masalah kemiskinan. Dan diakhiri dengan munculnya pemahaman baru yang merupakan hasil dari keseluruhan proses interpretasi pada ketiga film tersebut.


(47)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Fokus penelitian ini adalah mengenai gambaran kritik sosial atas wacana kemiskinan dengan sumber data yang berasal dari dua film Indonesia, yaitu Laskar Pelangi dan Alangkah Lucunya (Negeri Ini). Penulis menggunakan metode Hermeneutik dalam melihat fokus masalah ini. Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang menggambarkan kritik sosial tersebut, maka penulis simpulkan sebagai berikut:

1. Kritik sosial atas wacana kemiskinan yang direpresentasikan dalam penelitian ini adalah penggambaran dari suatu problematika hidup yang diwujudkan dalam adegan dan dialog dari penokohan tokoh utama dalam kedua film tersebut. Berdasarkan pengamatan penulis, Kritik sosial yang terepresentasi pada kedua film terfokus pada wacana kemiskinan dalam tataran struktural, yakni sebuah kondisi dimana kemiskinan yang dialami tokoh merupakan akibat dari kebijakan sistem yang dianggap tidak adil.

2. Meskipun secara umum fokus wacana kemiskinan pada kedua film sama yakni pada tataran struktural, akan tetapi kedua film tetap memuat penggambaran yang berbeda tentang bagaimana masalah kemiskinan


(48)

86

direkonstruksi di dalamnya. Dari teks-teks yang ditelusuri, ditemukan bahwa masalah kemiskinan pada kedua film dipengaruhi oleh konteks lingkungan sosialnya.

3. Dalam film Laskar Pelangi kemiskinan digambarkan dengan situasi keterbatasan masyarakat miskin dalam mengakses sarana dan prasarana pendidikan. Sedangkan dalam film Alangkah Lucunya (Negeri Ini), kemiskinan digambarkan sebagai buah dari tindak korupsi yang dianggap memperburuk kondisi masyarakat miskin itu sendiri.

B. Saran

Dari hasil penelitian penulis, akhirnya penulis berkesempatan untuk memberikan sumbangsih saran terkait tema yang diangkat dalam penelitian ini. Berikut saran penulis:

1. Untuk mengetahui makna terdalam dari sebuah teks, Hermeneutika dapat dijadikan alternatif metode penelitian yang efektif melihat sifatnya yang memahami teks dengan cara berputar dalam lingkaran.

2. Menyarankan kepada para penikmat film untuk tidak sekedar menonton saja, akan tetapi mencoba memahami kandungan makna tersiratnya, karena film sebagaimana media massa pada umumnya mengandung ideologi pembuatnya. 3. Karena penelitian ini hanya mendeskripsikan gambaran kritik sosial yang terkait dengan wacana kemiskinan pada sebuah film dari sisi peneliti berdasarkan konsep kemiskinan yang didapat melalui studi pustaka, maka hasil yang didapat hanya sebatas kulit luarnya saja. Untuk mengatasi hal


(49)

tersebut, wawancara kepada pembuatnya dan studi komparatif terhadap film-film dengan tema yang selaras dengan fokus penelitian dapat memberikan wacana yang lebih luas dan menyeluruh terhadap gambaran kemiskinan dalam sebuah film.


(50)

DAFTAR PUSTAKA

Cangara, Hafied. 2006. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS.

Hartomo dan Arnicun. 2004. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Bumi Aksara.

Imanjaya, Ekky. 2006. A to Z About Indonesian Film. Bandung: DAR! Mizan. Nurudin. 2007. Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Rahardjo, Mudjia. 2008. Dasar-Dasar Hermeneutika: Antara Intensionalisme dan

Gadamerian. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Sen, Krishna. 2009. Kuasa Dalam Sinema: Negara, Masyarakat, dan Sinema Orde Baru. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Sobur, Alex. 2006. Analisis Teks Media. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Soekanto, Soerjono. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Sumaryono, E. 1999. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat (Edisi Revisi).

Yogyakarta: Kanisius.

Skripsi

Jaya, Tri Purna. 2008. Skripsi: Representasi Gender dalam Cerpen (Analisis Hermeneutik Cerpen Samurai Karya Kuntowijoyo yang terbit pada tahun 1970-an). Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik: Universitas Lampung. Lestari, Rahayu. 2012. Skripsi: Nasionalisme Dalam Sinema (Studi Analisis


(51)

Tanah Air Beta). Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik: Universitas Lampung.

Suharyanto, M. Hendy. 2006. Skripsi: Film dan Anak Jalanan. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik: Universitas Lampung.

Internet

Abdullah, M. Amin. Usaha Memahami Kemiskinan Secara Multidimensional Ditinjau Dari Agama. http://aminabd.wordpress.com/2010/06/04/usaha-memahami-kemiskinan-secara-multidimensional-ditinjau-dari-agama/. Akses 14 Oktober 2011.

Akbar, Abdul Haris. Sekilas Hermeneutika Filosofis Gadamer. http://gudangsemesta.blogspot.com/2012/04/hermeneutika.html . Akses 22 Maret 2013.

Bahri, Syaiful. 2005. Tesis: Faktor-Faktor Determinan Yang Mempengaruhi Pemberdayaan Ekonomi Keluarga Pada Program Gerdu Taskindi Kabupaten Jombang. Program Studi Pengembangan Sumber Daya Manusia:

Universitas Airlangga.

http://www.damandiri.or.id/file/syaifulbahriunairringkasan.pdf. Akses 22 Februari 2013

Bahrum, Syamsul. Kemiskinan sruktural dari perspektif teoritis. Sumber: http://www.haluankepri.com/opini-/21992-kemiskinan-struktural-dari-perspektif-teoritis.html. Akses 13 Juli 2012.

Lubis, Rita Arnita. 2010. Skripsi: Gambaran Kemiskinan dalam Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata. Fakultas Sastra: Universitas Sumatera Utara. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16393/6/Cover.pdf. Akses 22 Februari 2013.

Safitri, Devi. 2010. Skripsi: Masalah-Masalah Sosial dalam Novel Ketika Cinta Bertasbih Karya Habibburahman El Shirazy. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan: Universitas Muhammadiyah Surakarta. http://www.scribd.com/doc/164387076/tugas-b-indonesia. Akses 10 Juni 2013.

Sustri. 2009. Skripsi: Dimensi Sosial dalam Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan: Universitas Muhammadiyah Surakarta. http://www.studymode.com/essays/Skripsi-Laskar-Pelangi-520211.html. Akses 22 Februari 2013


(52)

90

http://ekanadashofa.staff.uns.ac.id/2013/02/12/film-kita-wajah-kita/. Akses 11 Juni 2013.

http://ericsasono.blogspot.com/2005/07/film-sebagai-kritik-sosial.html. Akses 11 Juni 2013.

http://elib.unikom.ac.id/download.php?id=139025. jbptunikompp-gdl-agilnopian-26333-5-unikom_a-i.pdf. Akses 24 Februari 2013.


(1)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Fokus penelitian ini adalah mengenai gambaran kritik sosial atas wacana kemiskinan dengan sumber data yang berasal dari dua film Indonesia, yaitu Laskar Pelangi dan Alangkah Lucunya (Negeri Ini). Penulis menggunakan metode Hermeneutik dalam melihat fokus masalah ini. Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang menggambarkan kritik sosial tersebut, maka penulis simpulkan sebagai berikut:

1. Kritik sosial atas wacana kemiskinan yang direpresentasikan dalam penelitian ini adalah penggambaran dari suatu problematika hidup yang diwujudkan dalam adegan dan dialog dari penokohan tokoh utama dalam kedua film tersebut. Berdasarkan pengamatan penulis, Kritik sosial yang terepresentasi pada kedua film terfokus pada wacana kemiskinan dalam tataran struktural, yakni sebuah kondisi dimana kemiskinan yang dialami tokoh merupakan akibat dari kebijakan sistem yang dianggap tidak adil.

2. Meskipun secara umum fokus wacana kemiskinan pada kedua film sama yakni pada tataran struktural, akan tetapi kedua film tetap memuat penggambaran yang berbeda tentang bagaimana masalah kemiskinan


(2)

direkonstruksi di dalamnya. Dari teks-teks yang ditelusuri, ditemukan bahwa masalah kemiskinan pada kedua film dipengaruhi oleh konteks lingkungan sosialnya.

3. Dalam film Laskar Pelangi kemiskinan digambarkan dengan situasi keterbatasan masyarakat miskin dalam mengakses sarana dan prasarana pendidikan. Sedangkan dalam film Alangkah Lucunya (Negeri Ini), kemiskinan digambarkan sebagai buah dari tindak korupsi yang dianggap memperburuk kondisi masyarakat miskin itu sendiri.

B. Saran

Dari hasil penelitian penulis, akhirnya penulis berkesempatan untuk memberikan sumbangsih saran terkait tema yang diangkat dalam penelitian ini. Berikut saran penulis:

1. Untuk mengetahui makna terdalam dari sebuah teks, Hermeneutika dapat dijadikan alternatif metode penelitian yang efektif melihat sifatnya yang memahami teks dengan cara berputar dalam lingkaran.

2. Menyarankan kepada para penikmat film untuk tidak sekedar menonton saja, akan tetapi mencoba memahami kandungan makna tersiratnya, karena film sebagaimana media massa pada umumnya mengandung ideologi pembuatnya. 3. Karena penelitian ini hanya mendeskripsikan gambaran kritik sosial yang terkait dengan wacana kemiskinan pada sebuah film dari sisi peneliti berdasarkan konsep kemiskinan yang didapat melalui studi pustaka, maka hasil yang didapat hanya sebatas kulit luarnya saja. Untuk mengatasi hal


(3)

87

tersebut, wawancara kepada pembuatnya dan studi komparatif terhadap film-film dengan tema yang selaras dengan fokus penelitian dapat memberikan wacana yang lebih luas dan menyeluruh terhadap gambaran kemiskinan dalam sebuah film.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Cangara, Hafied. 2006. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS.

Hartomo dan Arnicun. 2004. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Bumi Aksara.

Imanjaya, Ekky. 2006. A to Z About Indonesian Film. Bandung: DAR! Mizan. Nurudin. 2007. Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Rahardjo, Mudjia. 2008. Dasar-Dasar Hermeneutika: Antara Intensionalisme dan

Gadamerian. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Sen, Krishna. 2009. Kuasa Dalam Sinema: Negara, Masyarakat, dan Sinema Orde Baru. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Sobur, Alex. 2006. Analisis Teks Media. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Soekanto, Soerjono. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Sumaryono, E. 1999. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat (Edisi Revisi). Yogyakarta: Kanisius.

Skripsi

Jaya, Tri Purna. 2008. Skripsi: Representasi Gender dalam Cerpen (Analisis Hermeneutik Cerpen Samurai Karya Kuntowijoyo yang terbit pada tahun 1970-an). Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik: Universitas Lampung. Lestari, Rahayu. 2012. Skripsi: Nasionalisme Dalam Sinema (Studi Analisis


(5)

89

Tanah Air Beta). Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik: Universitas Lampung.

Suharyanto, M. Hendy. 2006. Skripsi: Film dan Anak Jalanan. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik: Universitas Lampung.

Internet

Abdullah, M. Amin. Usaha Memahami Kemiskinan Secara Multidimensional

Ditinjau Dari Agama.

http://aminabd.wordpress.com/2010/06/04/usaha-memahami-kemiskinan-secara-multidimensional-ditinjau-dari-agama/. Akses 14 Oktober 2011.

Akbar, Abdul Haris. Sekilas Hermeneutika Filosofis Gadamer. http://gudangsemesta.blogspot.com/2012/04/hermeneutika.html . Akses 22 Maret 2013.

Bahri, Syaiful. 2005. Tesis: Faktor-Faktor Determinan Yang Mempengaruhi Pemberdayaan Ekonomi Keluarga Pada Program Gerdu Taskindi Kabupaten Jombang. Program Studi Pengembangan Sumber Daya Manusia:

Universitas Airlangga.

http://www.damandiri.or.id/file/syaifulbahriunairringkasan.pdf. Akses 22 Februari 2013

Bahrum, Syamsul. Kemiskinan sruktural dari perspektif teoritis. Sumber: http://www.haluankepri.com/opini-/21992-kemiskinan-struktural-dari-perspektif-teoritis.html. Akses 13 Juli 2012.

Lubis, Rita Arnita. 2010. Skripsi: Gambaran Kemiskinan dalam Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata. Fakultas Sastra: Universitas Sumatera Utara. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16393/6/Cover.pdf. Akses 22 Februari 2013.

Safitri, Devi. 2010. Skripsi: Masalah-Masalah Sosial dalam Novel Ketika Cinta Bertasbih Karya Habibburahman El Shirazy. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan: Universitas Muhammadiyah Surakarta. http://www.scribd.com/doc/164387076/tugas-b-indonesia. Akses 10 Juni 2013.

Sustri. 2009. Skripsi: Dimensi Sosial dalam Novel Laskar Pelangi Karya Andrea

Hirata. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan: Universitas

Muhammadiyah Surakarta. http://www.studymode.com/essays/Skripsi-Laskar-Pelangi-520211.html. Akses 22 Februari 2013


(6)

http://ekanadashofa.staff.uns.ac.id/2013/02/12/film-kita-wajah-kita/. Akses 11 Juni 2013.

http://ericsasono.blogspot.com/2005/07/film-sebagai-kritik-sosial.html. Akses 11 Juni 2013.

http://elib.unikom.ac.id/download.php?id=139025. jbptunikompp-gdl-agilnopian-26333-5-unikom_a-i.pdf. Akses 24 Februari 2013.


Dokumen yang terkait

PESAN KRITIK SOSIAL DALAM FILM( Analisis Isi Dalam Film “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)” Karya Deddy Mizwar)

0 10 2

Penggambaran Kesenjangan Sosial Masyarakat “Belitung” Dalam Film “Laskar Pelangi” (Analisis Semiotika Dalam Film Laskar Pelangi)

5 41 91

WACANA PENDIDIKAN POLITIK MELALUI SATIRE POLITIK DALAM FILM ALANGKAH LUCUNYA NEGERI INI WACANA PENDIDIKAN POLITIK MELALUI SATIRE POLITIK DALAM FILM ALANGKAH LUCUNYA NEGERI INI (Analisis Semiotik Terhadap Film Alangkah Lucunya Negeri Ini).

0 0 14

PENDAHULUAN WACANA PENDIDIKAN POLITIK MELALUI SATIRE POLITIK DALAM FILM ALANGKAH LUCUNYA NEGERI INI (Analisis Semiotik Terhadap Film Alangkah Lucunya Negeri Ini).

0 0 9

REPRESENTASI KEKERASAN PADA ANAK DALAM FILM ” ALANGKAH LUCUNYA NEGERI INI ” ( Studi Semiotik Mengenai Represe ntasi Kekerasan Pada Anak Dalam Film ” Alangkah Lucunya Negeri Ini ” karya Deddy Mizwar ).

3 14 112

Penggambaran Kesenjangan Sosial Masyarakat “Belitung” Dalam Film “Laskar Pelangi” (Analisis Semiotika Dalam Film Laskar Pelangi)

0 0 12

Penggambaran Kesenjangan Sosial Masyarakat “Belitung” Dalam Film “Laskar Pelangi” (Analisis Semiotika Dalam Film Laskar Pelangi)

0 0 2

Penggambaran Kesenjangan Sosial Masyarakat “Belitung” Dalam Film “Laskar Pelangi” (Analisis Semiotika Dalam Film Laskar Pelangi)

0 0 8

Penggambaran Kesenjangan Sosial Masyarakat “Belitung” Dalam Film “Laskar Pelangi” (Analisis Semiotika Dalam Film Laskar Pelangi)

0 0 12

Penggambaran Kesenjangan Sosial Masyarakat “Belitung” Dalam Film “Laskar Pelangi” (Analisis Semiotika Dalam Film Laskar Pelangi)

0 0 2