REPRESENTASI KEKERASAN PADA ANAK DALAM FILM ” ALANGKAH LUCUNYA NEGERI INI ” ( Studi Semiotik Mengenai Represe ntasi Kekerasan Pada Anak Dalam Film ” Alangkah Lucunya Negeri Ini ” karya Deddy Mizwar ).

(1)

“ Alangkah Lucunya Negeri Ini “ karya Deddy Mizwar )

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi sebagai persyaratan memperoleh Gelar Sarjana pada FISIP UPN : “Veteran” Jawa Timur

Oleh :

CHRIS ELLMANDA NPM. 0743010295

YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

SURABAYA 2010


(2)

ii 

“ Alangkah Lucunya Negeri Ini “ karya Deddy Mizwar )

Disusun Oleh :

CHRIS ELLMANDA NPM. 0743010295

Telah disetujui untuk mengikuti Seminar Proposal.

Menyetujui,

PEMBIMBING UTAMA

Drs. Syaifuddin Zuhri, M.Si NPT. 3 7006 94 0035 1

Mengetahui,

KETUA PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

Juwito, S.Sos, M.Si NPT. 3 6704 95 0036 1


(3)

Oleh:

CHRIS ELLMANDA NPM. 0743010295

Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Pada tanggal 1 Desember 2010

Menyetujui,

Pembimbing Utama Tim Penguji

1. Ketua

Dra. Saifuddin Zuhri, MSi Dra. Sumardjijati, MSi

NIP. 3 7006 94 0035 1 NIP. 19620323 199309 2001

2. Sekretaris

Drs. Saifuddin Zuhri, MSi NPT. 3 7006 94 0035 1

3. Anggota

Dra. Dyva Claretta, MSi NPT. 3 6601 94 00251 Mengetahui,

DEKAN

Dra. Hj. Suparwati, MSi NIP. 19550718 198302 2001


(4)

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN UJIAN SKRIPSI ... ii

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR GAMBAR ... iii

i v DAFTAR LAMPIRAN ...  x 

ABSTRAKSI ...  x 

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 9

1.3. Tujuan Penelitian ... 9

1.4. Manfaat Penelitian ... 10

1.4.1. Manfaat Secara Akademis ... 10

1.4.2. Manfaat Secara Praktis ... 10

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 11

2.1. Landasan Teori ... 11

2.1.1. Film ... 11

2.1.2. Kekerasan ... 13 v


(5)

2.1.2.4 Teori – Teori Kekerasan……… ……… 22

2.1.2.5 Kategori Kekerasan……… ……… 31

2.1.2.5 Kekerasan Dalam Media……… ……… 33

2.1.3 Representasi ... 35

2.1.4 Semiotika ... 39

2.1.5 Pendekatan Semiotik Dalam Film Menurut Jhon Fiske... 40

2.2. Kerangka Berpikir... 48

2.3. Alur Berpikir ... 49

BAB III METODE PENELITIAN ... 50

3.1. Metode Penelitian ... 50

3.2. Kerangka Konseptual ... 51

3.2.1. Corpus ... 51

3.3. Definisi Operasional ... 52

3.3.1. Representasi ... 52

3.3.2. Kekerasan ... 53

3.3.2. 1. Kategori Kekerasan ... 54

3.3.3. Film ... 56

3.4. Unit Analisis ... 57

3.5. Teknik Pengumpulan Data ... 57

3.6. Teknik Analisis dan Penafsiran Data ... 58 vi


(6)

vii

4.1. Gambaran Umum Objek Penelitian dan Penyajian Data... ... 60

4.1.1. Gambaran Umum Film Alangkah Lucunya Negeri Ini... 60

4.2. Penyajian Data ... 63

4.2.1 Analisis Data ... 67

4.3. Analisis Data Keseluruhan ... 99

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 102

5.1. Kesimpulan ... 102

5.2. Saran ... 104

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(7)

xii  karya Deddy Mizwar )

Deddy Mizwar telah membuat film tentang kehidupan anak – anak jalanan yang  diberi  judul ” Alangkah Lucunya Negeri Ini ”. Film yang bergenre komedi satire dengan kisah lucu, sedih, haru, menyenangkan yang dicampur menjadi satu. Tetapi didalamnya terdapat kekerasan – kekerasan yang tidak baik dilihat oleh siapapun terutama anak – anak. Tindak kekerasan itu sangat jelas diperlihatkan di dalam film ini, terutama adalah kekerasan fisik yang dilakukan Bang Jarot kepada anak – anak jalanan yang dididiknya menjadi pencopet. Hal ini diperkuat juga dengan setelah anak – anak itu dipukul oleh Bang Jarot, tampak raut muka sedih dan ketakutan. Itu membuktikan bahwa karena kekerasan fisik yang dilakukan terlalu berlebihan sampai menimbulkan kekerasan secara psikologis atau disebut juga kekerasan simbolik. Hal itu tentunya tidak sesuai dengan Undang – Undang Pemerintah tentang perfilman tahun 2009 pada pasal 6 ayat 1 tentang mendorong khalayak umum melakukan kekerasan dan perjudian serta penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya.

Maka tanda – tanda kekerasan dalam scene – scene film itu akan direpresentasikan oleh peneliti dengan memekai teori semiotik Jhon Fiske, dengan memakai pemilahan scene – scene yang menunjukkan tanda – tanda adanya kekerasan. Dengan menggunakan kode – kode yang diwakili atas tiga level. Kode-kode tersebut bekerja dalam sebuah struktur hierarki yang kompleks. Analisis yang dilakukan pada film “Alangkah Lucunya Negeri Ini” ini dapat terbagi menjadi beberapa level, yaitu :Level Realitas (reality) seperti Penampilan, Kostum, Tata Rias, Lingkungan, Tingkah Laku, Cara Bicara, Gerak Tubuh, Ekspresi, Suara, dll, Level Representasi (representation) seperti Kamera, Cahaya, editing, Musik,, Level Ideologi (ideology) seperti dialog.

Dalam penelitian ini kekerasan yang ditunjukkan sesuai dengan kekerasan menurut Sunarto terdapat beberapa bentuk – bentuk kekerasan antara lain ( Sunarto, 2009 : 137 ) Kekerasan Fisik dengan cara memukul, menampar, mencekik, menendang, melempar barang ke tubuh, menginjak, melukai dengan tangan kosong, atau dengan alat atau senjata, menganiaya, membunuh serta perbuatan lain yang relevan.Kekerasan Psikologis adalah kekerasan yang dilakukan oleh pelaku terhadap mental korban dengan cara membentak, menyumpah, mengancam, merendahkan, memerintah, melecehkan, menguntit, memata – matai atau tindakan – tindakan lain yang menimbulkan rasa takut ( termasuk yang diarahkan kepada orang – orang terdekat korban, misalnya keluarga, anak, suami, teman, atau orang tua).

Kekerasan Financial adalah tindakan mengambil, mencuri uang korban, menahan atau tidak memberikan pemenuhan kebutuhan financial korban, mengendalikan dan mengawasi pengeluaran uang sampai sekecil – kecilnya.

Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif, alasan penggunaan metode kualitatif ini dikarenakan pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah. Apabila berhadapan dengan kenyataan ganda selain itu metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan


(8)

xii 

Dengan menggunakan metode semiotik, peniliti berusaha menggali realitas yang didapatkan melalui interpretasi simbol-simbol dan tanda-tanda yang ditampilkan dalam film, selanjutnya akan menjadi corpus dalam penelitian ini. Dan kemudian secara khusus peneliti menggunakan metode penelitian analisis semiotika yang dikemukakan oleh Jhon Fiske, untuk menginterpretasikan atau memaknai kekerasan dalam terhadap anak – anak dalam film “Alangkah Lucunya Negeri Ini”.

Peneliti menggunakan analisis berupa representasi terhadap scene-scene yang menunjukkan karakteristik kekerasan, Pertama Film akan di pilah penanda-penandanya ke dalam serangkaian fragmen ringkas dan beruntun. Pada tahap kedua film “Alangkah Lucunya Negeri Ini” scene – scene yang sudah dipilah tersebut akan dianalisa secara mendalam dan dimaknai, yang menunjukkan adegan kekerasan pada anak, menurut level realitas dan representasi dan ideologi menurut Jhon Fiske. Setelah itu akan ditemukan representasi kekerasan yang ada dalam film tersebut. Yang disimpulkan bahwa dari kekerasan – kekerasan yang dihadirkan dalam film ini, kekerasan fisik dan kekerasan verbal berimbang hampir sama banyaknya, tetapi memag lebih banyak kekerasan verbal hadir dalam film, kekerasan verbal yang jika diurikan lagi menjadi kekerasan psikologis dan kekerasan fungsional serta Kekerasan verbal selalu tak bisa lepas dari kekerasan yang lain. Karena verbal merupakan suatu ungkapan untuk menimbulkan efek psikologis bagi korbannya. Selain itu kekerasan apat terjadi antara orang dewasa kepada anak – anak atau sebaliknya, begitu juga esama sebayanya.

d s  


(9)

1.1. Latar Belakang Masalah

Manusia adalah makhluk sosial yang berarti bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri, karena pasti membutuhkan orang lain dalam hidupnya. Tuhan menciptakan manusia berbeda kelamin yaitu laki – laki dan perempuan. Tentu manusia telah diciptakan berpasang – pasangan, karena manusia juga mempunyai kewajiban dasar penting sebagai makhluk hidup, yaitu menghasilkan keturunan.

Menghasilkan keturunan merupakan harapan bagi setiap pasangan suami istri. Maka anak merupakan suatu amanah dari Tuhan kepada manusia, untuk bisa dijaga, dirawat, dan diberikan pelajaran tepat, agar anak tersebut dapat tumbuh dengan baik. Setiap orang tua pasti menginginkan seorang anak yang berbakti pada agama dan orang tua. Peran orang tua dalam mendidik anak sangat besar dalam membentuk karakter anak tersebut.

Pada era globalisasi sekarang ini, anak – anak kini berada dalam dunia yang tak semestinya dimiliki mereka. Dunia anak – anak kini sudah dipenuhi dengan dunia orang dewasa, seperti lagu anak, termasuk juga film – film anak yang ditayangkan di media televisi, banyak mengandung unsur kekerasan. Untuk itu tak jarang orang tua sekarang yang mendidik anaknya dengan meggunakan kekerasan.


(10)

Kekerasan pada anak, banyak dipengaruhi oleh satu pemahaman yang keliru atau menjadi salah kaprah di Indonesia. Anggapan bahwa anak adalah milik orang tua yang melahirkan. Mendidik dan merawat anak menjadi kebebasan orang tua itu sendiri bagaimanapun caranyadan menjadi tabu untuk dicampuri oleh campur tangan orang lain. Karena itu banyak kekerasan walaupun orang lain mengerti hal tersebut, tak akan ada yang bisa dilakukan selain mengingatkan saja.

Mengutip Konsiderans dari Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002, Bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Hal tersebut merupakan satu harapan yang ingin kita wujudkan di negara ini.

Anak – anak harus mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.

Tanggung jawab tersebut secara khusus berada pada orang tua si anak, tetapi juga menjadi tanggungjawab kita bersama dalam perwujudan anak-anak Indonesia. Baik Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, yang berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Hal ini sebagaimana telah diamatkan dalam Undang-undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002.


(11)

Semua peraturan yang telah dibuat pemerintah seakan tak memberikan peringatan bagi masyarakat di negara ini. Beberapa data yang terserak bisa menjadi gambaran betapa eskalatifnya kekerasan terhadap anak di tanah air. World Vision yang melakukan pendataan ke berbagai daerah menemukan angka 1.891 kasus kekerasan selama tahun 2009, pada tahun 2008 hanya ada 1600.

Kompilasi dari 9 surat kabar Nasional menemukan angka 670 kekerasan terhadap anak selama tahun 2009, sementara tahun 2008 sebanyak 555 kasus. Sementara Pengaduan langsung ke KPAI tahun 2008 ada 580 kasus dan tahun 2009 ada 595 kasus, belum termasuk Laporan melalui E-mail dan telepon. Dari Bareskrim Polri, selama tahun 2009 terjadi tindak kekerasan terhadap anak sebanyak 621 yang diproses hingga tahap P-21 dan diputus pengadilan. (http://www.kpai.go.id/publikasi-mainmenu.html diakses 25 Agustus 2010, 19:30 WIB)

Ada tiga faktor utama penyebab tingkat kekerasan terhadap anak di Indonesia begitu marak. Pertama adalah budaya atau kultur. Ada kultur kekerasan yang sangat kuat di sebagian masyarakat kita. Anak dilihatnya sebagai miilik mutlak yang harus takluk untuk “menggayuh” keinginan orang dewasa. Anak menjadi target dalam rangka memenuhi ambisi orang dewasa, dan ketika ia tidak bisa memenuhi anak akan diperlakukan dengan kekerasan.

Kedua, modernisasi yang tidak terkendali akan selalu melahirkan kemiskinan kota dengan segala karakternya; meningkatnya angka kriminalitas, prostitusi, dan tekanan hidup. Keempatnya saling berangkai dan saling menjadi sebab dan akibat. Muaranya satu, kekerasan terhadap anak


(12)

dalam berbagai bentuk seperti; penelantaran, pemekerjaan, perdagangan anak, pelacuran anak, hingga kekeerasan fisik yang menyebabkan penderitaan dan kematian anak.

Ketiga, karakter psikis seseorang. Karakter psikologis akan terekspresikan bila ada media yang mempertemukan dengan kondisi sosial. Untuk kasus Ibu yang membunuh anak di kota-kota besar pada umumnya karena tidak kuatnya menghadapi tekanan hidup. Ekspresi tekanan hidup yang tak tertanggungkan akan selalu dilampiakan kepada orang-orang

terdekatnya.(http://www.kpai.go.id/publikasi-mainmenu-33/artikel/83-kekerasan-terhadap-anak-mengapa.html diakses 25 Agustus 2010, 19:55 WIB)

Fromm (1970) mengutip hasil studi Sigmund Freud bahwa sesungguhnya dalam diri manusia ada dua kekuatan yang saling bersaing untuk keluar, yaitu keinginan untuk mencintai dan keingininan untuk membunuh. Seseorang yang memiliki karakter psikis dominan keingian membunuh akan segera terekspresikan ketika ada lingkungan sosial ekonomi yang tidak bisa dihadapi, menekan dirinya, dan jadllah orang-orang di sekitarnya sebagai pelampiasan.

Sementara itu pada masa kini semua dunia hiburan sedang naik daun. Terutama di Indonesia sekarang ini, dari musik, film, juga internet. Film Indonesia saat ini sangatlah beragam jenis bermunculan di masyarakat. Begitu juga dengan film – film yang mengandung unsur kekerasan. Padahal pengaruh film terhadap kehidupan realita masyarakat sangatlah besar.


(13)

“ Film sebagai media massa memiliki kelebihan antara lain dalam hal jangkauan, realism, pengaruh emosional, dan popularitas yang hebat. Film juga memiliki kelebihan dalam segi kemampuannya, yaitu dapat menjangkau sekian banyak orang dalam waktu singkat, dan mampu memanipulasi kenyataan tanpa kehilangan kredibilitas (McQuail 1994 : 14)

Untuk itu peneliti tertarik pada satu film sangat menggugah dan menyentuh hati. Film yang sebagian besar menceritakan kehidupan anak – anak jalanan ini banyak menunjukkan bagaimana perjuangan anak jalanan untuk dapat bertahan hidup. Mereka harus menghadapi kerasnya hidup di jalan. Dalam film ini juga memperlihatkan anak – anak yang mendapatkan perlakuan kasar dari orang dewasa. Film yang diberi judul “ Alangkah Lucunya Negeri Ini “ merupakan film yang disutradarai oleh Deddy Mizwar yang direlease pada 15 April 2010.

Film ini juga ingin memperlihatkan menjadi koruptor itu ternyata jauh lebih menarik ketimbang hanya menjadi pencopet di mal, pasar atau juga di bus kota. Seperti pemahaman umum yang sudah berkembang di tengah masyarakat, menjadi koruptor itu tak hanya berpeluang mendapatkan beragam fasilitas keringanan hukuman; yang pasti juga mampu menghisap duit rakyat dalam jumlah tak terkira.

Sebaliknya, jika hanya pandai menjadi pencopet kelas teri saja, jangankan mendapat keringanan hukuman. Jika tak piawai mengolah keterampilan tangan, bisa-bisa wajah dan tubuh akan bisa menjadi bulan-bulanan keroyok massa yang marah.


(14)

Cerita yang memusatkan kisah pada fragmen kehidupan Muluk (Reza Rahadian) di tengah sekumpulan anak-anak pencopet jalanan. Muluk adalah seorang sarjana. manajemen, namun berstatus sebagai penggangguran. Petualangan itu kemudian mengalir, ketika Muluk melihat seorang pencopet cilik beraksi. Muluk lalu mengikuti sang pencopet tadi dan membekuknya di sebuah tempat.

Dari peristiwa itu terbawalah Muluk ke markas pencopet jalanan. Di sana ia bertemu Bang Jarot (Tio Pakusadewo), bos kumpulan pencopet cilik jalanan. Alih-alih menawarkan jasa sebagai konsultan dengan mematok management fee sebesar 10 persen, perjalanan kehidupan Muluk pun mengalir.

Dari sana Muluk mencoba menjadi pembimbing dalam bidang pengembang sumber daya manusia (SDM) dengan memberikan pendidikan kepada para pencopet cilik. Dalam proyek pengembangan SDM ini, Muluk dibantu dua sahabatnya - Syamsul (Asrul Dahlan) yang merupakan pengangguran sarjana pendidikan serta Pipit (Tika Bravani) anak seorang haji yang waktunya sehari-hari hanya dihabiskan dengan mengikuti kuis di televisi.

Namun, karena anak-anak yang dididik itu sekumpulan buta huruf dan jauh dari pendidikan formal, logika yang digunakan dalam pendidikan ala Muluk ini memakai bahasa keseharian para pencopet cilik. Seperti salah satu dialog ketika Syamsul berusaha menjelaskan bahwa pendidikan itu penting.


(15)

Ia menjelaskan pentingnya pendidikan itu agar bocah-bocah itu tidak hanya pandai mencopet. "Dengan memiliki pendidikan, kau bisa jadi koruptor atau pencopet besar, dan itu jauh lebih menarik," kata Syamsul. Penjelasan itu direspons seorang anak yang langsung berdiri dengan tangan mengepal," Hidup koruptor!"

Tidak lupa juga, selain memberikan pendidikan dasar membaca dan menulis tetapi anak – anak jalanan itu juga memberikan pelajaran agama, agar anak – anak itu mengerti bahwa tetap walau jadi pencopet, tetapi juga harus ingat Tuhan sebagai pencipta manusia. Mereka diberikan pelajaran oleh Pipit ( Tika Bravani ) bagaimana salat menurut ajaran Islam, bahkan mereka yang tidak pernah mandi ini, juga diajari mandi, karena jika mau salat badan harus bersih.

Dalam pemberian pendidikan agama oleh Pipit ( Tika Bravani ), ada juga adegan yang lucu, yaitu ketika Pipit ditanya mau mengajar agama apa oleh anak – anak jalanan. Bu Pipit menjawab “ Enaknya apa ? “. Anak – anak menjawab apa aja yang penting enak. “ Lalu anak – anak itu tertawa terbahak – bahak. Hal ini menunjukkan bahwa anak – anak tersebut tidak menganggap agama itu sesuatu yang sangat penting.

Kritik terhadap perilaku korupsi ini juga disampaikan secara . lugas dalam film ini kepada lembaga yang dinamakan kumpulan \ orang-orang terhormat di DPR. Dalam salah satu adegan, Muluk membawa bocah-bocah pencopet tadi ke depan gedung DPR di Jakarta. Seperti ingin menunjukkan bahwa lembaga yang katanya berisi kumpulan orang-orang terhormat juga tak lepas dari perilaku korupsi.


(16)

Dalam penelitian ini peneliti akan merepresentasi tanda – tanda kekerasan yang dilakukan pada anak – anak yang diwakili oleh beberapa scene yang menguatkan bahwa kekerasan dalam film ini dipertontonkan. Seperti diceritakan anak – anak ini mempunyai seorang pimpinan atau “ Bos “ yang keras, tegas, juga galak. Pimpinan mereka ini bernama Bang Jarot ( Tio Pakusadewo ). Seperti pemukulan pada bagian kepala, menendang tubuh bagian depan, atau bahkan tanda kekerasan berupa verbal atau kata – kata yang keras kepada anak –anak yang ditunjukkan dalam dialog film ini.

Tindak kekerasan itu sangat jelas diperlihatkan di dalam film ini, terutama adalah kekerasan fisik yang dilakukan Bang Jarot kepada anak – anak jalanan yang dididiknya menjadi pencopet. Hal ini diperkuat juga dengan setelah anak – anak itu dipukul oleh Bang Jarot, tampak raut muka sedih dan ketakutan. Itu membuktikan bahwa karena kekerasan fisik yang dilakukan terlalu berlebihan sampai menimbulkan kekerasan secara psikologis atau disebut juga kekerasan simbolik.

Maka tanda – tanda kekerasan dalam scene – scene film itu akan direpresentasikan oleh peneliti dengan memekai teori semiotik Jhon Fiske, dengan memakai pemilahan scene – scene yang menunjukkan tanda – tanda adanya kekerasan.

Hal itu tentunya tidak sesuai dengan Undang – Undang Pemerintah tentang perfilman tahun 2009 pada pasal 6 ayat 1 tentang mendorong khalayak umum melakukan kekerasan dan perjudian serta penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya.


(17)

Berdasarkan uraian diatas peneliti ingin memaknai representasi kekerasan fisik pada anak dalam film “Alangkah Lucunya Negeri Ini” karya Deddy Mizwar.oleh karena itu yang sesuai adalah dengan menggunakan metode semiotik yang dikemukakan oleh Jhon Fiske. Dengan menggunakan metode ini memungkinkan peneliti untuk mengetahui dan melihat lebih jelas bagaimana sebuah pesan diorganisasikan, digunakan, dan dipahami.

Penelitian ini mengambil judul Representasi Kekerasan Pada Anak Dalam Film “ Alangkah Lucunya Negeri Ini ” (Studi Semiotik tentang Representasi Kekerasan Pada Anak Dalam Film “Alangkah Lucunya Negeri Ini” karya Deddy Mizwar).

1.2. Perumusan Masalah

Menindaklanjuti dari latar belakang permasalahan di atas, maka yang menjadi rumusan masalahnya adalah “ Bagaimanakah representasi kekerasan pada anak dalam film “Alangkah Lucunya Negeri Ini” karya Deddy Mizwar.

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini, antara lain untuk mengetahui bagaimanakah kekerasan pada anak dalam film “Alangkah Lucunya Negeri Ini” karya Deddy Mizwar.


(18)

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat secara Akademis

1. Menambah literatur penelitian kualitatif dan diharapkan dapat memberikan sumbagan landasan pemikiran pada Ilmu Komunikasi mengenai studi analisis semiotik.

2. Pemahaman ilmiah bahwa film sebagai komunikasi akan dipahami secara berbeda sesuai konteks budaya masing – masing individu.

3. Memperkaya wawasan tentang perspektif kekerasan dalam tema film di Indonesia.

1.4.2. Manfaat secara Praktis

1. Memberikan pemahaman tentang representasi kekerasan pada anak dalam film ”Alangkah Lucunya Negeri Ini” karya Deddy Mizwar.

2. Sebagai bahan referensi atas keterkaitan penellitian ini dengan larangan Undang – Undang Pemerintah tentang perfilman tahun 2009 pada pasal 6 ayat 1 tentang mendorong khalayak umum melakukan kekerasan dan perjudian serta penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya.


(19)

BAB II

K A J I A N P U S T A K A

2.1. Landasan Teori 2.1.1. Film

Film yang dimaksud dalam penelitian ini, adalah teatrikal, jenis film cerita yaitu film yang menyajikan suatu cerita dan diproduksi secara khusus untuk pertunjukan digedung – gedung bioskop atau cinema. Film jenis ini berbeda dengan film tv ( tv film ), atau sinetron ( sinema elektronik ) yang khusus dibuat untuk siaran itu Film teatrikal dibuat secara mekanik, sedangkan film tv dibuat secara elektronik ( Effendy, 1993:201 ). Film juga merupakan gambar hidup yang merupakan bentuk seni, bentuk popular dari hiburan dan juga bisnis.

Film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik, dan/atau lainnya;

Film adalah gambar bergerak yang terbuat dari celluloid transparent dalam jumlah banyak,dan apabila digerakkan melalui cahaya yang kuat akan tampak seperti gambar yang hidup ( Siregar, 1985 :9 ), McQuail menyatakan fungsi hiburan film sebagai berikut :


(20)

“Film berperan sebagai sarana baru yang digunakan untuk menyebarkan hiburan yang sudah menjadi kebiasaan terdahulunya serta menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, lawak, serta tehnis lain kepada masyarakat umum. Kehadiran film merupakan respon penemuan waktu luang diluar jam kerja dan jawaban terhadap kebutuhan menikmati waktu luang secara hemat dan sehat bagi semua anggota keluarga.” ( McQuail, 1994 : 13 ).

“ Film sebagai media massa memiliki kelebihan antara lain dalam hal jangkauan, realism, pengaruh emosional, dan popularitas yang hebat. Film juga memiliki kelebihan dalam segi kemampuannya, yaitu dapat menjangkau sekian banyak orang dalam waktu singkat, dan mampu memanipulasi kenyataan tanpa kehilangan kredibilitas (McQuail 1994 : 14).

Selain memiliki kelebihan, film juga memiliki beberapa kelemahan. Salah satu sebab khalayaknya kemudian berusaha mengkonsumsi media lain sebagai pelengkap atau pengulang ( repetisi ).

Terdapat beberapa perspektif yang dikemukakan oleh para ahli saat memandang sebuah film sebagai media massa. Perspektif yang pertama memandang bahwa apabila dilihat dari isi pesannya, film sesungguhnya merupakan pencerminan ( refleksi ) dari sebuah masyarakat, yaitu masyarakat tempat membuat film itu sendiri, dalam arti tempat sineas, pendukung dan awak produksiyang ada didalamnya ( Jowett, 1971:74 ).

Film sebagai refleksi ( pencerminan ) dari masyarakat tampaknya menjadi perspektif secara umum lebih mudah disepakati oleh Garth Jowett :

“It’s more generally agreed that mass media are capable of reflecting society because they are forced by their comorcial nature to provide a level of content which will guarantee the widest possible audience.” ( Jowett, 1971:74 ).


(21)

Secara umum disepakati bahwa film sebagai media massa mampu merefleksikan masyarakat karena ia didorong oleh sifat komersialnya agar menyajikan isi yang dapat menjamin jumlah khalayak yang seluas – luasnya.

Media massa telah lama dianggap sebagai media pembentuk masyarakat demikian halnya denagn film. Film dipandang sebagai media yang selalu mempengaruhi dan membentuk masyarakat melalui muatan pesan

yang dikandungnya.

2.1.2. Kekerasan

2.1.2.1. Definisi Kekerasan

Pada saat ini semakin banyak kekerasan yang dimunculkan dalam berbagai media, seperti halnya kekerasan naratif, agresifitas, kekerasan virtual, pornografi, kekerasan simbolik, dan kekerasan lembut yang manipulatif, contohnya seperti film di bioskop atau di televisi. Ada beberapa definisi kekerasan menurut para tokoh.

Kekerasan merupakan tindakan agresi dan pelanggaran (penyiksaan, pemerkosaan, pemukulan, dll.) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain. Istilah kekerasan juga berkonotasi kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang merusak.

Dalam kamus umum Bahasa Indonesia, kekerasan diartikan sebagai sifat atau hal yang keras, kekuatan dan paksaan. Sedangkan paksaan berarti tekanan, desakan yang keras. Jadi kekerasan berarti membawa kekuatan, paksaan dan tekanan ( Poerwadarminta, 1999 : 102 ). Sedangkan dalam


(22)

Bahasa Inggris, kekeraasan ( violence ) berarti sebagai suatu serangan/invasi fisik maupun integritas mental psikologis seseorang (Englander dalam Saraswati, 2006 : 13).

Kekerasan terjadi ketika seseorang menggunakan kekuatan, kekuasaan, dan posisi nya untuk menyakiti orang lain dengan sengaja, bukan karena kebetulan (Andez, 2006). Kekerasan juga meliputi ancaman, dan tindakan yang bisa mengakibatkan luka dan kerugian. Luka yang diakibatkan bisa berupa luka fisik, perasaan, pikiran, yang merugikan kesehatan dan mental.

Menurut Wignyosoebroto (1997), kekerasan adalah :

“Suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sejumlah orang yang berposisi kuat (atau yang tengah merasa kuat) terhadap seseorang atau sejumlah orang yang berposisi lebih lemah (atau yang tengah dipandang berada dalam keadaan lebih lemah), bersaranakan kekuatan fisiknya yang superior, dengan kesengajaan untuk dapat ditimbulkannya rasa derita di pihak yang tengah menjadi obyek kekerasan itu. Namun, tak jarang pula tindak kekerasan ini terjadi sebagai bagian dari tindakan manusia untuk tak lain daripada melampiaskan rasa amarah yang sudah tak tertahankan lagi olehnya”.

Lainhalnya menurut Jack.D.Douglas dan Frances Chaput Walker (2002) yang mengartikan kekerasan sebagai: “Serangan dengan memukul (assault and battery) merupakan kategori hukum yang mengacu pada tindakan illegal yang melibatkan ancaman dan aplikasi aktual kekuatan fisik kepada orang lain.

Ini berarti menurut mereka, bahwa kekerasaan (violence) dipakai untuk menggambarkan tindakan atau perilaku, baik secara terbuka (over) maupun tertutup (covert) dan baik yang sifatnya menyerang (offensive)


(23)

maupun bertahan (defensive), yang diikuti dengan penggunaan kekuatan fisik terhadap orang lain.

Kekerasan bisa dilakukan secara fisik seperti melukai, membunuh dan sejenisnya, maupun hanya lewat kata-kata seperti mengumpat dan menghina, sebagai luapan rasa marah yang sudah mencapai puncaknya kepada orang lain atau obyek kekerasan tersebut. Hal senada diungkapkan Kompas (1993) dengan membagi kekerasan menjadi dua macam yaitu : kekerasan berbentuk verbal (kata-kata) dan kekerasan berbentuk fisik (Joseph I. R., 1996 : 37).

Kekerasan verbal meliputi umpatan, olok – olok, hinaan dan segala perkataan yang menyebabkan lawan bicara tersinggung, emosi dan marah. Sedangkan, kekerasan non verbal adalah kekerasan melalui bahasa tubuh, tindakan, intonasi dan kecepatan suara.

Serangan dengan memukul dan pembunuhan secara resmi dipandang sebagai tindakan individu meskipun tindakan tersebut dipengaruhi oleh tindakan kolektif. Tindakan individu-individu ini terjadi dalam konteks suatu kelompok, sebagaimana kekerasan kolektif. (Santoso, 2002 : 24).

Robert Baron mendefinisikan kekerasan sebagai tingkah laku individu baik secara fisik maupun secara verbal yang ditujukan untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut, atau terhadap obyek-obyek lain (Koswara, 1988). Ada empat faktor tingkah laku, yaitu : tujuan untuk melukai atau mencelakakan, individu yang menjadi pelaku, individu yang menjadi korban dan ketidakinginan si korban menerima tingkah laku dari si pelaku kekerasan.


(24)

Segala bentuk penyiksaan fisik biasanya terjadi ketika orang tua frustrasi atau marah, kemudian melakukan tindakan-tindakan agresif secara fisik, dapat berupa cubitan, pukulan, tendangan, menyulut dengan rokok, membakar, dan tindakan - tindakan lain yang dapat membahayakan anak

Maka dari beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa, kekerasan sering dilakukan apabila manusia tersebut memiliki keunggulan fisik terhadap orang lain. Seperti halnya kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak –anak. Terkadang orang dewasa yang tak dapat memaklumi perilaku anak – anak, mudah sekali melakukan kekerasan.

2.1.2.2. Kekerasan Terhadap Anak

Kekerasan pada anak adalah segala bentuk tindakan yang melukai dan merugikan fisik, mental, dan seksual termasuk hinaan meliputi: Penelantaran dan perlakuan buruk, Eksploitasi termasuk eksploitasi seksual, serta trafficking/ jual-beli anak. Kekerasan pada anak dan penelantaran (neglect) adalah interaksi atau kurangnya interaksi antara anggota keluarga yang mengakibatkan perlukaan yang disengaja terhadap kondisi fisik dan emosi anak ( Helfer, 1987 ).

Child abuse pada anak didefinisikan sebagai segala perlakuan buruk yang dilakukan terhadap anak ataupun adolesen oleh para orangtua, wali, atau orang lain yang seharusnya memelihara dan merawat anak itu. Child abuse adalah semua bentuk kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh mereka yang seharusnya bertanggung jawab atas anak tersebut atau mereka yang memiliki kuasa atas anak tersebut, yang seharusnya dapat di percaya, misalnya orang tua, keluarga dekat, dan guru.


(25)

Patricia (1985) mendefinisikan sebagai suatu kelalaian tindakan/perbuatan oleh orangtua atau yang merawat anak yang mengakibatkan terganggu kesehatan fisik, emosional, serta perkembangan anak. Ini mencakup penganiayaan fisik dan emosi, kelalaian dan eksploitasi seksual.

Menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak selama tahun 2005 diketemukan 736 kasus kekerasan terhadap anak yang terbagi atas 327 kasus perlakuan salah secara seksual, 233 kasus perlakuan salah secara fisik, 176 kasus kekerasan psikis dan 130 kasus penelantaran anak. Banyaknya kasus tersebut sangat memprihatinkan, apalagi tahun 2006 telah dicanangkan sebagai Tahun Hentikan Kekerasan terhadap Anak.

Child Abuse Prevention and Treatment Act mendefinisikan pelecehan anak dan mengabaikan sebagai: "minimal, setiap tindakan terbaru atau kegagalan untuk bertindak atas bagian dari orang tua atau pengasuh, yang menyebabkan kematian, kerusakan fisik maupun emosi yang serius, pelecehan seksual atau eksploitasi , atau sebuah tindakan atau kegagalan untuk bertindak yang menyajikan risiko dekat dari bahaya serius. " 14 WIB )

Setiap anak juga merupakan subyek aktif, yang bebas menentukan tujuan hidupnya sendiri, yaitu kebahagiaan lahir batin di dunia dan di akhirat, walaupun kebahagiaan itu sendiri berlainan arti dan bentuknya bagi setiap pribadi.


(26)

Demikian pula cara untuk mencapai kebahagiaan itu pastilah berbeda. Sehingga bisa dikatakan bahwa tujuan akhir dari hidup setiap orang itu pasti berbeda juga. Dengan demikian tugas utama setiap orang tua adalah : (a) memberikan fasilitas bagi perkembangan anak dan (b) membantu memperlancar perkembangan anak menurut irama dan temponya sendiri sendiri. 2010, 12:14 WIB )

Kasus kekerasan terhadap anak misalnya, sepanjang tahun 2009 KomNas Perlindungan Anak telah menerima pengaduan sebanyak 1.998 kasus. Angka ini meningkat jika dibandingkan dengan pengaduan kekerasan terhadap anak pada tahun 2008 yakni 1.736 kasus. 62,7 persen dari jumlah tersebut adalah kekerasan seksual dalam bentuk sodomi, perkosaan, pencabulan serta incest, dan selebihnya adalah kekerasan fisik dan psikis. Dari hasil pengaduan, pelaku kekerasan tersebut tidak ada kaitannya dengan status sosial, agama, keyakinan serta etnis, atau ras.

Tingginya pengaduan kekerasan terhadap anak dari tahun ke tahun, menunjukkan tanda meningkatnya kesadaran masyarakat untuk melaporkan kasus kekerasan terhadap anak yang dialami, didengar dan atau dilihat di sekitarnya. Ironisnya kekerasan terhadap anak terjadi dilingkungan terdekat anak, yakni rumah tangga, sekolah, lembaga pendidikan dan lingkungan sosial anak. Demikian juga dengan angka kasus anak yang berhadapan dengan hukum.


(27)

Sepanjang tahun 2009 KomNas Perlindungan Anak menerima 1.258 pengaduan anak yang berhadapan dengan hukum. Angka ini meningkat dibanding pengaduan pada tahun 2008. Hampir 52 persen dari angka tersebut adalah kasus pencurian diikuti dengan kasus kekerasan, perkosaan, narkoba, perjudian, serta penganiayaan dan hampir 89,8 persen kasus anak yang berhadapan dengan hukum berakhir pada pemidanaan. Prosentase pemidanaan ini dibuktikan dengan data Anak yang berhadapan dengan Hukum di 16 Lapas di Indonesia (Departemen Hukum dan HAM) ditemukan 5.308 anak mendekam dipenjara.

Hanya kurang lebih 10 prosen anak yang berhadapan dengan hukum dikenakan hukuman tindakan yakni dikembalikan kepada Departemen Sosial atau orangtua. Ini menunjukkan bahwa negara khususnya penegak hukum gagalmelaksanakan amanat UU Pengadilan Anak, UU Perlindungan Anak maupun Konvensi PBB tentang Hak Anak.

Anak-anak korban penelantaran juga angkanya terus meningkat. Dirjen Yanresos Depsos RI tahun 2009, mencatat ditemukan 3.4 juta anak-anak di Indonesia dalam kondisi terlantar. Sekitar 1.1 juta anak-anak usia balita dalam kondisi terlantar, dan sekitar 10 juta lebih anak rawan terlantar. 193.155 jiwa anak dalam kategori nakal.

13:48).


(28)

Rakhmat (2003) beranggapan kekerasan pada anak-anak bukan hanya merupakan problem personal. Jika hanya menimpa segelintir anak-anak saja, dapat dilacak pada sebab-sebab psikologis dari individu yang terlibat. Pemecahannya juga dapat dilakukan secara individual. Memberikan terapi psikologis pada baik pelaku maupun korban mungkin akan cepat selesai.

Jika perilaku memperkerjakan anak kecil dalam waktu yang panjang, menelantarkan mereka, atau menyakiti dan menyiksa anak itu terdapat secara meluas di tengah-tengah masyarakat maka berhadapan dengan masalah sosial. Penyebabnya tidak boleh lagi dilacak pada sebab-sebab individual. Melacaknya pada nilai, pola interaksi sosial, struktur sosial ekonomi, dan atau pranata sosial. Pemecahannya memerlukan tindakan kolektif dari seluruh anggota masyarakat.

2.1.2.3. Faktor-faktor Pendorong Kekerasan Pada Anak

Menurut hasil pengaduan yang diterima KOMNAS Perlindungan Anak (2006), pemicu kekerasan terhadap anak yang terjadi diantaranya adalah:

1) Kekerasan dalam rumah tangga, yaitu dalam keluarga terjadi kekerasan yang melibatkan baik pihak ayah, ibu dan saudara yang lainnya. Kondisi menyebabkan tidak terelakkannya kekerasan terjadi juga pada anak. Anak seringkali menjadi sasaran kemarahan orang tua,

2) Disfungsi keluarga, yaitu peran orang tua tidak berjalan sebagaimana seharusnya. Adanya disfungsi peran ayah sebagai pemimpin keluarga dan peran ibu sebagai sosok yang membimbing dan menyayangi,


(29)

3) Faktor ekonomi, yaitu kekerasan timbul karena tekanan ekonomi. Tertekannya kondisi keluarga yang disebabkan himpitan ekonomi adalah faktor yang banyak terjadi,

4) Pandangan keliru tentang posisi anak dalam keluarga. Orang tua menganggap bahwa anak adalah seseorang yang tidak tahu apa-apa. Dengan demikian pola asuh apapun berhak dilakukan oleh orang tua.

Disamping itu, faktor penyebab lainnya adalah terinspirasi dari tayangan-tayangan televisi maupun media-media lainnya yang tersebar dilingkungan masyarakat. Yang sangat mengejutkan ternyata 62 % tayangan televisi maupun media lainnya telah membangun dan menciptakan prilaku kekerasan (Tempo, 2006). Agustus 2010 13 :12 WIB )

Menurut Sitohang (2004), penyebab munculnya kekerasan pada anak adalah

a) Stress berasal dari anak. Yaitu, kondisi anak yang berbeda, mental yang berbeda atau anak adalah anak angkat,

b) Stress keluarga. Yaitu, kemiskinan pengangguran mobilitas, isolasi, perumahan tidak memadai, anak yang tidak diharapkan dan lain sebagainya,

c) Stress berasal dari orang tua. Rendah diri, Waktu kecil mendapat perlakuan salah, Depresi, Harapan pada anak yang tidak realistis, Kelainan karakter/gangguan jiwa.


(30)

Sitohang (2004) melihat ketiga hal tersebut adalah situasi awal atau kondisi pencetus munculnya kekerasan pada anak. Pada gilirannya kondisi tersebut berlanjut pada perilaku yang salah orang tua terhadap anaknya. Contohnya, penganiayaan dan teror mental.

Unicef (1986) mengemukakan ada 2 faktor yang melatar belakangi munculnya kekerasan anak oleh orang tuanya. Faktor tersebut masing-masing berasal baik dari orang tua maupun anak sendiri. 2 faktor tersebut antara lain;

a) Orang tua yang pernah jadi korban penganiayaan anak dan terpapar oleh kekerasan dalam rumah, orang tua yang kondisi kehidupannya penuh sters, seperti rumah yang sesak, kemiskinan, orang tua yang menyalahgunakan NAPZA, orang tua yang mengalami gangguan jiwa seperti depresi atau psikotik atau gangguan keperibadian.

b) Anak yang premature, anak yang retardasi mental, anak yang cacat fisik, anak yang suka menangis hebat atau banyak tuntutan. Berdasarkan uraian tersebut baik orang tua maupun anak sama-sama berpengaruh pada timbulnya kekerasan pada anak.

2.1.2.4. Teori – Teori Kekerasan 1. Teori Katharsis

Katharsis dalam bahasa Yunani berarti “pencucian” atau “pembersihan”. Para pendukung teori ini berpendapat bahwa tayangan yang berisi kekerasan ( meskipun hanya tipuan kamera/fiksi ) atau tindakan brutal dalam acara TV atau film memberikan efek positif bagi penonton.


(31)

Ketika penonton melihat tayangan tersebut, penonton seakan ikut mengalami kekerasan atau ketakutan yang dialami para tokoh di dalam TV/film, penonton ikut terlibat berjuang. Dengan “happy ending”, penonton puas, rasa takut yang ada di bawah sadar penonton hilang berubah menjadi berani.

Dengan demikian kekerasan yang ditayangkan dalam TV/film memberikan efek positif pada tingkah laku real penonton. Jadi, menurut teori ini, kekerasan dalam TV/fim tidak membawa efek negative ( merusak ), sebaliknya justru membawa efek positif bagi penonton.

2. Teori Imitasi

Pengikut teori ini berpendapat bahwa kekerasan dalam TV/film mendorong tumbuhnya keinginan untuk meniruSebagai contoh, apabila para aktor Smack Down menjadi idola anak/remaja, ada kecenderungan anak/remaja terdorong untuk mengimitasikan diri seperti tokoh mereka, ingin bermainan Smack Down

Happy endingnya adalah tokoh idola akhirnya tampil sebagai pemenang setelah ia berjuang sedemikian berat. Ia tampil sebagai pahlawan. Cara penyelesaian masalah dengan kekerasan ala para tokoh idola itu menjadi model bagi anak remaja (tidak jarang juga bagi orang tua) dalam penyelesaian masalah. Tawuran antar pelajar bukan tidak mungkin dipicu

, meniru gerakan para aktor tsb. Anak-anak paling suka berlaku seperti itu. Dan permainan itu tentu saja sangat berbahaya. Bahaya lain, menurut teori imitasi adalah, bahwa seringkali dalam film laga ditampilkan kekerasan dan pembunuhan sebagai jalan untuk menyelesaikan masalah.


(32)

oleh keinginan tampil sebagai hero membela almamater atau teman, seperti tindakan heroik para tokoh film yang dijadikan idola bagi anak/remaja.

3. Teori Kekerasan Struktural

Dari semua teori kekerasan, teori' "kekerasan struktural" dari Johann Galtung, seorang kriminolog dari Norwegia dan seorang polemolog, adalah teori yang bertalian dengan kekerasan yang paling menarik. Dalam pengulasan dan penganalisaan lebih lanjut, saya sampai pada kesimpulan bahwa teori kekerasan struktural pada hakekatnya adalah teori kekerasan "sobural". Dengan "sobural" saya maksudkan suatu akronim dari (nilai-nilai) sosial, (aspek) budaya, dan (faktor) struktural (masyarakat).

Dengan "kekerasan struktural" dimaksudkan kekerasan tidak langsung, yang bukan berasal dari orang tertentu, tetapi yang telah terbentuk dalam suatu sistem sosial tertentu. Jadi bila anda berkuasa atau memiliki harta kekayaan berlimpah, maka akan selalu ada kecenderungan untuk melakukan kekerasan, kecuali kalau ada hambatan yang jelas dan tegas.

Teori "kekerasan struktural" jika diimplementasikan secara empirik realistik, telah diterapkan secara telanjang di zaman Soeharto (Orde Baru) melalui Angkatan Bersenjata dan organisasi politik yang berkuasa berbaju kultur Jawa. Secara singkat, Soeharto bisa dibanding dengan Ken Arok, hanya zaman dan teknologi (bersenjata) yang berbeda. (Baca buku Pramoedya Ananta Toer, Arok Dedes, Hasta Mitra, Jakarta, 2002).


(33)

Pada dasarnya hampir semua suku bangsa di Indonesia memiliki dan mempraktekkan "kekerasan struktural" melalui subkultur (kekerasan) masing-masing. Jadi manusia dengan pemilikan kekuasaan tak terbatas dan tak seimbang akan selalu cenderung melakukan kekerasan struktural. Dalam konteks yang demikian, melihat nilai-nilai sosial, aspek budaya dan faktor struktural masyarakat tertentu, teori kekerasan struktural adalah setali tiga uang dengan teori kekerasan "sobural". ( J.E. Sahetapy : 2006 ).

Dengan melakukan stigmatisasi dan kekuasaan yang tanpa check and balances, maka kekerasan struktural akan berkembang tanpa hambatan melanggar HAM, kecuali bila dihambat oleh rule of law, demokratisasi dalam suatu civil society.Kekerasan struktural sesungguhnya bukan barang kemasan baru dari abad ke 21 dan bukan pula solusi baru melalui kekerasan struktural terhadap kekerasan. Yargon awam tentang kekerasan bahwa kekerasan identik dengan (perbuatan) fisik, sesungguhnya tidak selalu harus berarti demikian.

Perbuatan kekerasan apalagi yang struktural tidak harus selalu dengan menggunakan secara fisik. Ia bisa berupa sesuatu yang non-fisik, yang psikologis berupa stigmatisasi, yang kultural, yang sosial, yang ekonomis dengan diskriminasi ethnis, yang struktural, bahkan dari yang berwajib / berkuasa secara psikis, sampai pada yang bersifat naratif seperti berita-berita pers mengenai Sadam dan Kadafi. (Turpin dan Kurtz, 1997 : 91).


(34)

Secara logika mungkin sulit diterima kalau dikatakan bahwa bentuk penipuan yang jelas secara kasat mata bukan kekerasan, pada asasnya menurut yargon awam, ujung-ujungnya adalah "kekerasan". Atau dari optik viktimologi, implikasi atau konsekuensi akhir adalah dapat berwujud pada kristalisasi (penggunaan) kekerasan yang dibanding dengan di zaman Hindia Belanda, kekerasan struktural selama merdeka jauh lebih besar. (Herman Bianchi : 2002 ).

Kekerasan struktural sudah dikenal sejak permulaan peradaban atau sejak permulaan penciptaan. Dan sebelum agama-agama besar mendapatkan wahyu demi eksistensinya, kekerasan bersumber pada agama dengan berdalih secara "falasi", demi dan melalui serta oleh agama-agama itu sendiri, kekerasan struktural sudah dikenal dan menggunakan kekerasan atas nama agama itu sendiri. Padahal Tuhan Allah yang memiliki sifat dan hakekat serta berwujud segala "maha" serta rahmani dan rahimi, belum tentu mengizinkan atau membenarkan kekerasan untuk sang chalik serta untuk dan atas nama agama.

Kini dengan berdalih kerusakan moral, orang ingin memperbaiki moral melalui berdandan dengan mewajibkan anak-anak sekolah berbusana tertentu. Suatu kekerasan struktural yang sangat "naif' dan terselubung dengan maksud-maksud yang tidak etis. Menurut Turpin dan Kurtz (1997 : 2) : "Understanding human violence is one of the central tasks of our time, yet we still know very little about it" oleh karena "... we have neglected the search for fundamental causes...”


(35)

Tetapi sesungguhnya, dengan mengingat apa yang telah disinggung di atas, kalau anatomi kekerasan boleh dibelah dan dianalisis, tidak selamanya bentuk atau wujud kekerasan selalu harus selalu secara fisik. Secara teoritik akademik dikenal berbagai bentuk kekerasan, antara lain : symbolic violence (Elias, 1993), workplace violence (Solomon and King, 1993), structural violence, bureaucratised violence (Turpin dan Kurtz, 1997), anarchic violence (Hobbes, 1928), juvenile violence, religious violence, cultural violence.

James Gilligan dengan mengutip dari James Q. Wilson menulis bahwa "... there is no such thing as `underlying causes' of crime; that we should abandon the attempt to discover and ameliorate or eradicate those so called causes, and simply continue with our customary approach to crime, namely imprisonment and punishment." Jhering pernah menulis bahwa "law without force is an empty name". Jadi aplikasi hukum lazimnya dengan menggunakan kekerasan.

Herman Bianchi (1980) menulis "Maar naar de theorie van het struktureel geweld vervult hij een aggresieve en gewelddadige rol". Dengan perkataan lain, melalui teori kekerasan struktural digunakan peranan agresif dan kekerasan. Robert Elias memang benar. Setelah membahas panjang lebar tentang "A culture of Violent Solutions" yang menyangkut berbagai perspektif dan membuat masyarakat pada akhirnya menggunakan violence is the solution of choice mengakhiri tulisannya dengan menulis : "We are a culture of violent solutions, but violence will not solve our problems and is itself a


(36)

problem and the root of most of our other social ills (Robert Elias, 1997 : 143).

Jhering pernah menulis bahwa "law without force is an empty name". Jadi aplikasi hukum lazimnya dengan menggunakan kekerasan. Tetapi kekerasan yang bagaimana? Orang lalu sampai pada suatu kesimpulan : apakah mungkin "penanggulangan kekerasan -- yang lazimnya dikualifikasi sebagai kejahatan, apakah mungkin dilakukan tanpa kekerasan".

Herman Bianchi (1980) menulis "Maar naar de theorie van het struktureel geweld vervult hij een aggresieve en gewelddadige rol". Dengan perkataan lain, melalui teori kekerasan struktural digunakan peranan agresif dan kekerasan. (JE Sahetapy (ketua Komisi Hukum Nasional) : 2006 ). Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik yang terbuka ( overt ) atau tertutup (covert), menyerang ( offensive ) atau bertahan ( defensive ), yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain.

Oleh karena itu ada empat jenis kekerasan yang dapat diidentifikasi : 1. Kekerasan terbuka, kekerasan yang bisa dilihat, seperti perkelahian. 2. Kekerasan tertutup, kekrasan tersembunyi atau tidak dilakukan langsung, seperti perilaku mengancam.

3. Kekerasan agresif, kekerasan yang dilakukan tidak untuk perlindungan, tetapi untuk mendapatkan sesuatu, seperti penjabalan.

4. Kekerasan defensive, kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan perlindungan diri.


(37)

Baik kekerasan agresif maupun defensive bisa bersifat terbuka maupun tertutup. ( Thomas Santoso, Teori-teori Kekerasan, 2002 )

Galtung mencoba menggabungkan analisis yang berorientasi aktor dengan analisis yang berorientasi struktur ( Windhu, 1992:xxii-xxiii ). Menurut Galtung, kekerasan terjadi bila manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada dibawah realisasi potensialnya ( Windhu, 1992:64 )

Pemahaman Galtung tentang kekerasan lebih ditentukan pada segi akibat atau pengaruhnya pada manusia. Galtung tidak membedakan acts of violence ( tindakan – tindakan kekerasan ) ( Windhu, 1992:65 ).

Galtung juga menguraikan enam dimensi penting dari kekerasan, yaitu sebagai berikut :

1. Kekerasan fisik dan psikologis. Dalam kekerasan fisik, tubuh manusia disakiti secara jasmani bahkan sampai pada pembunuhan. Sedangkan kekerasan psikologis adlah tekanan yang dimaksudkan meredusir kemampuan mental atau otak.

2. Pengaruh positif dan negative. Sistem orientasi imbalan ( reward oriented ) yang sebenarnya terdapat “pengendalian”, tidak bebas, kurang terbuka, dan cenderung manipulative, meskipun memberikan kenikmatan dan euphoria.

3. Ada objek atau tidak. Dalam tindakan tertentu tetap ada ancaman kekerasan fisik dan psikologis, meskipun tidak memakan korban tetapi membatasi tindakan manusia.


(38)

4. Ada subjek atau tidak. Kekerasan disebut langsung atau personal jika ada pelakunya disebut struktural atau tidak langsung. Kekerasan tidak langsung sudah menjadi bagian struktur itu (strukturnya jelek) dan menampakkan diri sebagai kekuasaan yang tidak seimbang yang menyebabkan peluang hidup tidak sama.

5. Disengaja atau tidak. Bertitik berat pada akibat dan bukan tujuan, pemahaman yang hanya menekankan unsur sengaja tentu tidak cukup untuk melihat, mengatasi kekerasan struktural yang bekerja secara halus dan tidak disengaja. Dari sudut korban, sengaja atau tidak, kekerasan tetap kekerasan.

6. Yang tampak dan tersembunyi. Kekerasan yang tampak, nyata ( manifest ), baik yang personal maupun struktural, dapat dilihat meski secara tidak langsung. Sedangkan kekerasan tersembunyi adalah sesuatu yang memang tidak kelihatan ( latent ), tetapi bisa dengan mudah meledak. ( Windhu, 1992:72). (Thomas Santoso, Teori-teori Kekerasan, 2002:169 ).

Akiko menggunakan berbegai pendekatan, yaitu : Pertama, psychological theory of vioelence ( teori psikologi tentang kekerasan ) yang mendiskusikan teori frustasi dan agresi, teori relative deprivation, dan social identity theory. Sebagian peneliti menganggap bahwa konflik kekerasan merupakan respon dari kekecewaan ( rasa kecewa atau deprivasi ), baik absolute ( alasan material ) maupun relative ( alasan psikologis ). Karena itu, beberapa individu berjuang untuk membentuk identitas diriinya dan identitas kelompok.


(39)

Kedua, human security dan civil society. Perspektif ini mengarahkan penelitian untuk melihat bagaimana asosiasi antara kelompok masyarakat sipil bekerja, termasuk apakah ada perlindungan terhadap individu, kelompok atau komunitas dari ancaman dari luar. Pendekatan ini lebih memfokuskan pada kehidupan masyarakat sipil, keterlibatan masyarakat sipil dalam asosiasi formal dan informal ( civic engagement ), danhubungan antar kelompok masyarakat sipil.

Ketiga, social movement theory, yang berupaya untuk menjelaskan gerakan massa dalam konflik kekerasan. Terdapat beberapa teori yang digunakan yaitu collective behavior dari Durkheim, grievance and frustration model yang dikembangkan dari teori deprivasinya Ted Gurr, rational choice dari Olson, dan resource mobilization dari MaCarthy dan Zald. Teori – teori tersebut digunakan untuk melihat bagaimana perilaku kolektif terjadi.

( Thomas Santoso, Teori – Teori Kekerasan, 2002 : 62 – 66 )

2.1.2.5. Kategori Kekerasan

Menurut Sunarto terdapat beberapa bentuk – bentuk kekerasan antara lain ( Sunarto, 2009 : 137 )

a) Kekerasan Fisik dengan cara memukul, menampar, mencekik, menendang, melempar barang ke tubuh, menginjak, melukai dengan tangan kosong, atau dengan alat atau senjata, menganiaya, membunuh serta perbuatan lain yang relevan.


(40)

b) Kekerasan Psikologis adalah kekerasan yang dilakukan oleh pelaku terhadap mental korban dengan cara membentak, menyumpah, mengancam, merendahkan, memerintah, melecehkan, menguntit, memata – matai atau tindakan – tindakan lain yang menimbulkan rasa takut ( termasuk yang diarahkan kepada orang – orang terdekat korban, misalnya keluarga, anak, suami, teman, atau orang tua).

c) Kekerasan Seksual adalah elakukan tindakan yang mengarah ajakan atau desakan seksual seperti menyentuh, meraba, mencium, dan atau melakukan tindakan – tindakan lain yang tidak dikehendaki korban, memaksa korban menonton pornografi, gurauan – gurauan seksual yang tidak dikehendaki korban, ucapan – ucapan yang merendahkan dan melecehkan dengan mengarah pada aspek jenis kelamin atau seks korban, memaksa hubungan seks tanpa persetujuan korban, memaksa melakukan aktivitas – ativitas seksual yang tidak disukai, pornografi, kawin paksa.

d) Kekerasan Financial adalah tindakan mengambil, mencuri uang korban, menahan atau tidak memberikan pemenuhan kebutuhan financial korban, mengendalikan dan mengawasi pengeluaran uang sampai sekecil – kecilnya.

e) Kekerasan Spiritual adalah merendahkan keyakinan dan kepercayaan korban, memaksa korban untuk meyakini hal – hal yang tidak diyakininya,memaksa korban mempraktikkan ritual dan keyakinan tertentu.


(41)

f) Kekerasan Fungsional, adalah memaksa melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan, menghalangi, atau menghambat aktivitas atau pekerjaan tertentu, memaksa kehadiran tanpa dikehendaki, membantu tanpa dikehendaki dan lain – lain yang relevan.

2.1.2.6. Kekerasan Dalam Media

Media sering menyajikan nilai kekerasan. Disajikan sepertinya hanya sebagai berita atau informasi, disajikan dengan gaya yang indah dan dikemas menjadi berseni, menarik. Namun di dalamnya ada tersaji nilai – nilai kekerasan. Nilai – nilai itu dapat mempengaruhi tanpa sadar masyarakat yang menontonnya.

Maka etika komunikasi mau tak mau juga harus merumuskan, mendefinisikan dan menentukan batas – batas kekerasan. Kekerasan dapat terjadi sebagai dokumen maupun fisik. Juga semacam latihan atau simulasi kekerasn. Anpa terkecuali kekerasan yang sifatnya symbol, kekerasan ang berupa sikap tidak saling peduli masyarakat. Dalam hal ini, maka etika komunikasi dicipatkan agar dapat mendukung pihak yang rentan menjadi korban kekerasan media, tanpa terjebak bersikap represif. ( shvoong.com ).

Kekerasan dalam media dapat menyebabkan terjadinya kekerasan social riil. Informasi tentang kekerasan juga bias menambah kegelisahan umum sehingga membangkitkan sikap representif masyarakat, alat penegak hukum. ( Haryatmoko, 2007 : 124 )


(42)

Kekerasan dalam media dibedakan menjadi tiga berdasarkan tiga tipe dunia dalam media, yaitu : ( Nel dalam buku Haryatmoko, 2007 : 127 )

1. Kekerasan – dokumen Merupakan again dari dunia riil atau factual. Dalam kekerasan – dokumen terdapat proses gambar yang dapat mempengaruhi psikisme pemirsa, penampilan gambar tersebut dipahami pemirsa sebagai dokumen atau rekaman fakta kekerasan. Kekerasan dalam media dapat di representasikan melalui isinya, missal : dengan tindakan ( pembunuhan, perkelahian, tembakan, pertengkaran ) bisa juga dengan situasi ( konflik, luka, tangisan ) sehingga timbul emosi yang menggambarkan perasaan yang terdalam dari diri manusia tersebut.

2. Kekerasan – fiksi Menunjukkan kepada kepemilikan dunia yang mungkin ada, missal : kisah fiksi, film, kartun, komik, dan iklan. Kekerasan yang terdapat kisah fiksi dapat menyebabkan pemirsa terutama pada anak bisa meninggalkan traumatisme dan perilaku agresif. Kekerasan fiksi bisa menjadi bahaya apabila member kemungkinan baru yang tidak ada dalam dunia riil.

3. Kekerasan – simulasi Berasal dari dunia virtual, missal : dalam permainan video, permainan on-line. Kekerasan simulasi memiliki dampak yang sangat besar terhadap anak – anak yaitu melahirkan masalah psikologis diantaranya kemarahan, kegelisahan, kekecewaan yang lahir dari permainan video.

Ketiga bentuk kekerasan diatas sering dikondisikan sebagai kekerasan simbolik ( Haryatmoko, 2007 : 127 ). Kekerasan simbolik berlangsung karena


(43)

system informasi dan media besar berjalan mengikuti aturan tertentu dalam bentuk keseragaman, tuntutan reportase langsung pada kejadian, sensasionalisme, dan penempatan prioritas informasi yang penuh kepentingan ( Haryatmoko, 2007 : 128 ).

2.1.3. Representasi

Representasi merupakan tindakan yang mengahadirkan sesuatu lewat sesuatu yang lain di luar dirinya, biasanya berupa tanda atau symbol ( Piliang, Yasraf Amir, 2006:24 ).

Representasi berasumsi bahwa praktik pemaknaan berbentuk menjelaskan atau menguraikan objek atau praktik lain di dunia nyata. Representasi membangun kebudayaan, makna, dan pengetahuan ( Barker, Chris, 2004 : 14 ). Bagaimana dunia dikonstruksi dan direpresentasikan secara social kepada dan oleh individu. Mengharukan adanya eksplorasi pembentukan makna tekstual. Serta menghendaki penyelidikan tentang cara dihasilkanya makna pada beragam konteks.

Representasi memiliki materialitas tertentu, yang melekat pada bunyi, prasasti, objek, citra, buku, majalah dan program televise. Representasi diproduksi, ditampilkan, digunakan, dan dipahami dalam konteks tertentu ( Barker, Chris, 2004:9 ).

Representasi menunjuk baik pada proses maupun produk dari pemaknaan suatu tanda. Representasi juga bisa berarti proses perubahan konsep – konsep ideologi yang abstrak dalam bentuk – bentuk yang kongkret. Representasi adalah konsep yang digunakan dalam proses social pemaknaan


(44)

melalui system penandaan yang tersedia : dialog, tulisan, video, film, fotografi, dan sebagainya. Secara ringkas, representasi adalah produksi makna melalui bahasa (http:kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm diakses 31 Agustus 2010, 19:30 WIB).

Menurut Stuart Hall ( 1997 ), representasi adalah salah satu praktek penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan konsep yang sangat luas, kebudayaan menyangkut ‘pengalaman berbagi’. Seseorang dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika manusia – manusia yang ada disitu membagi pengalaman yang sama, membagi kode – kode kebudayaan yang sama, berbicara dalam ‘bahasa’ yang sama, dan saling berbagi konsep – konsep yang sama.

(http:kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm diakses 31 Agustus 2010, 19:30 WIB).

Menurut Stuart Hall, ada dua proses representasi. Pertama, representasi mental. Yaitu konsep tentang ‘sesuatu’ yang ada di kepala kita masing – masing ( peta konseptual ). Representasi mental ini masih berbentuk ssesuatu yang abstrak. Kedua, ‘bahasa’, yang berperan penting dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita harus diterjemahkan dalam ‘bahasa’ yang lazim, supaya kita dapat menghubungkan konsep dan ide – ide kita tentang sesuatu dengan tanda dan symbol – symbol tertentu.


(45)

Proses pertama memungkinkan kita untuk memaknai dunia dengan mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara sesuatu dengan system ‘peta konseptual’ kita. Dalam proses kedua, kita mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara ‘peta konseptual’ dengan bahasa atau simbol yang berfungsi merepresentasikan konsep – konsep kita tentang sesuatu. Relasi antara ‘ sesuatu’, ‘peta konseptual’, dan ‘bahasa/simbol’ adalah jantung dari produksi makna lewat bahasa. Proses yang menghubungkan ketiga elemen ini secara bersama – sama itulah yang kita namakan representasi.

Representasi merupakan salah satu proses dalam sirkuit budaya ( circuit of culture ). Melalui representasi, maka makna ( meaning ) dapat berfungsi dan pada akhirnya diungkap. Representasi disampaikan melalui tanda – tanda ( signs ). Tanda – tanda ( signs ) tersebut sepert bunyi, kata – kata, tulisan, ekspresi, sikap, pakaian, dan sebagainya merupakan bagian dari dunia material kita ( Hall, 1997 ).

Tanda – tanda tersebut merupakan media yang membawa makna – makna tertentu dan merepresentasikan ‘meaning’ tertentu yang ingin disampaikan kepada dan oleh kita. Melalui tanda – tanda tersebut, kita dapat merepresentasikan pikiran, perasaan, dan tindakan kita. Pembacaan terhadap tanda – tanda tersebut tentu saja dapat dipahami dalam konteks social tertentu.(http://www.readingculture.net/index.php?option=com_content&task =view &item.id=43 diakses 31 Agustus 2010, 22:18 WIB).


(46)

Representasi adalah proses dan hasil yang member makna khusus pada tanda. Melalui representasi, ide – ide ideologis dan abstrak mendapat benuk konkretnya. Representasi juga berarti konsep yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan melalui sistem penandaan yang tersedia dialog, tulisan, video, film, fotografi, dan sebagainya, secara ringkas, representasi adalah produksi makna melalui bahasa.

Film dan televisi mempunyai bahasanya sendiri dengan susunan kalimat dan tata bahasa yang berbeda. Tata bahasa ini terdiri atas semacam unsure yang akrab, seperti pemotongan ( cut ), pengambilan gambar jarak dekat ( close up ), pengambilan gambar dari dua arah ( two shot ), dan lain – lain. Namun bahasa tersebut juga mencakup kode – kode representasi yang lebih halus, yang tercakup dalam komplektivitas dari penggambaran visual yang harfiah hingga simbol – simbol yang paling abstrak dan arbiter ( berubah – ubah ). ( Sardar, 2001:156 dalam sobur 2003:130 ).

Representasi dalam film merupakan penggambaran suatu obyek yang ditampilkan dalam film. Penggambaran ini ditampilkan melalui serangkaian tanda – tanda. Tanda – tanda yang dimaksudkan berarti tanda yang menjadi unsur sebuah film. Unsur tersebut berupa dialog, sikap pemain, angel, kamera hingga music. Tanda dan unsur – unsur film ini akan dianalisis dan dicari maknanya, sehingga makna dibalik tanda tersebut dapat diungkap.


(47)

2.1.4 Semiotika

Secara etimologis, istilah Semiotik berasal dari kata Yunani Semeion yang berarti “tanda”. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain ( Eco, 1979:16 dalam Alex Sobur, 2002:95 ).

Secara terminologis, semiotic dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek – objek, peristiwa – peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda ( Eco, 1976:6 dalam Alex Sobur, 2002:95 ). Pengertian lain yang dikemukakan Van Zoest mengartikan semiotic sebagai “ilmu tanda ( sign ) dan segala yang berhubungan dengannya : cara berfungsinya, hubungannya dengan kata lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya”.

Semiotika, yang biasanya di definisikan sebagai pengkajian tanda-tanda ( the study of signs) pada dasarnya merupakan sebuah study atas kode-kode, yaitu sistem apapun yang memunkinkan kita memandang entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda atau sebagai sesuatu yang bermakna (scholes, 1982 : ix dan budiman , 2004 : 3)

Di dalam sejarah perkembangan semiotika, berasal dari dua induk yang memiliki dua tradisi dasar yang berbeda. Pertama, Charles Sanders Peirce, seorang filsuf Amerika yang hidup di peralihan abad yang lalu (1839-1914). Sebagai seorang filsuf dan ahli logika, Peirce berkehendak untuk menyelidiki apa dan bagaimana proses bernalar manusia. Teori Peirce tentang tanda dilandasi oleh tujuan besar ini sehingga tidak mengherankan apabila dia


(48)

menyimpulkan bahwa semiotika tidak lain dan tidak bukan adalah sinonim bagi logika (Budiman, 2005 : 33).

Logika, secara umum, adalah (…) sekedar nama lain dari semiotika (…), suatu doktrin formal atau quasinecessary tentang tanda-tanda. Yang saya maksud dengan mengatakan doktrin ini sebagai “quasinecessary” atau formal adalah bahwa kita mengamati karakter-karakter tanda tersebut sebagaimana yang kita tahu, dan dari pengamatan tadi (…) kita arahkan kepada pernyataan-pernyataan yang bisa saja keliru dan, dengan demikian, dalam arti tertentu sama sekali tidak niscaya (Peirce, 1986 : 4 dalam Budiman, 2005 : 34).

Di sisi lain, kedua, terdapat pula tradisi semiotika yang dibangun berdasarkan teori kebahasan Ferdinand de Saussure (1857-1913), sebagai seorang sarjana linguistik di Perancis.

Sebuah ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di dalam masyarakat dapat dibayangkan, ia akan menjadi bagian dari psikologi sosial dan, sebagai konsekuensinya, psikologi general, ia akan saya beri nama semiologi (dari bahasa Yunani semeion ‘tanda’). Semiologi akan menunjukkan hal-hal apa yang membentuk tanda-tanda, kaidah-kaidah apa yang mengendalikannya (Saussure, 1996 : 16 dalam Budiman, 2005 : 35)

2.1.5. Pendekatan Semiotik Dalam Film Menurut Jhon Fiske

Jhon Fiske adalah salah satu tokoh semiotika komunikasi dalam bukunya Cultural and Communication Studies. Menurut John Fiske, dalam bukunya Cultural And Communication Studies, disebutkan bahwa terdapat dua perspektif dalam mempelajari ilmu komunikasi. Perspektif pertama melihat komunikasi sebagai transmisi pesan. Sedangkan perspektif kedua


(49)

melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna. Bagi perspektif yang kedua, studi komunikasi adalah studi tentang teks dan kebudayaan. Metode studinya yang utama adalah semiotika (ilmu tentang tanda dan makna) (Fiske, 2006 : 9).

Perspektif produksi dan pertukaran makna memfokuskan bahasanya pada bagaimana sebuah pesan ataupun teks berinteraksi dengan orang-orang disekitarnya untuk dapat menghasilkan sebuah makna. Hal ini berhubungan dengan peranan teks tersebut dalam budaya kita. Perspektif ini seringkali menimbulkan kegagalan berkomunikasi karena pemahaman yang berbeda antara pengirim pesan dan penerima pesan. Meskipun demikian, yang ingin dicapai adalah signifikasinya dan bukan kejelasan sebuah pesan disampaikan. Untuk itulah pendekatan yang berasal dari perspektif tentang teks dan budaya ini dinamakan pendekatan semiotik.

Definisi semiotik yang umum adalah studi mengenai tanda-tanda (Chandler, 2002 : ‘tanda’ dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga tujuan dibuatnya tanda-tanda tersebut. Bentuk-bentuk tanda disini antara lain berupa kata-kata, images, suara, gesture, dan objek.

Bila kita mempelajari tanda tidak biasa memisahkan tanda yang satu dengan tanda yang lain membentuk suatu sistem, dan kemudian disebut sistem tanda. Lebih sederhananya semiotik mempelajari bagaimana sistem tanda membentuk sebuah makna. Menurut John Fiske dan John Hartlye, konsentrasi semiotik adalah pada hubungan yang timbul antara sebuah tanda


(50)

dan makna yang dikandungnya. Juga bagaimana tanda-tanda tersebut dikomunikasikan dalam kode-kode (Chandler, 2002 :

Film merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi analisis struktural atau semiotika. Seperti dikemukakan (Van Zoest, 1993 : 109, dalam Sobur, 2004 : 128), film dibangun dengan tanda semata-mata. Tanda-tanda itu termasuk berbagi sistem Tanda-tanda yang bekerja sama dengan baik untuk mencapai efek yang diharapkan.

Berbeda dengan fotografi statis, rangkaian gambar dalam film menciptakan imaji dan sistem penandaan. Karena itu, menurut Van Zoest, bersamaan dengan tanda-tanda ikonis, yakni tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu (Van Zoest, 1993 : 109, dalam Sobur, 2004 : 128). Memang, ciri gambar-gambar film adalah persamaannya dengan realitas yang ditunjuknya. Gambar-gambar yang dinamis dalam film merupakan ikonis bagi realitas yang dinotasikannya.

Film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik dalam upaya mencapai efek yang diharapkan. Yang penting dalam film adalah gambar dan suara : kata yang diucapkan (ditambah dengan suara-suara lain yang serentak mengiringi gambar) dan music film. Sistem semiotika yang lebih penting lagi dalam film adalah digunakannya tanda-tanda ikonis, yakni tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu (Sobur,2004 : 128).

Menurut Fiske dalam bukunya berjudul Television Cultural, analisis semiotik pada sinema atau film layar lebar (wide screen) disetarakan dengan analisis film yang ditayangkan di televisi. Fiske mengkategorikan sign pada


(51)

film ke dalam tiga kategori, yakni kode sosial (social codes), dan kode-kode teknis (technical codes), dan kode-kode-kode-kode representasi (representational codes). Kode-kode tersebut bekerja dalam sebuah struktur hierarki yang kompleks (Fiske, 1990 : 40, dalam Mawardhani, 2006 : 39). Analisis yang dilakukan pada film “Alangkah Lucunya Negeri Ini” ini dapat terbagi menjadi beberapa level, yaitu :

1. Level Realitas (reality)

Pada level ini, realitas dapt berupa penampilan, pakaian dan make-up yang digunakan pemain, lingkungan, perilaku, ucapan ( dialog ), gesture, ekspresi, suara dan sebagainya yang dipahami sebagai kode budaya yang ditangkap secara elektronik melalui kode-kode teknis (Fiske, 1990 : 40).

Kode – kode social yang merupakan realitas yang akan diteliti dalam penelitian ini, dapat berupa :

a. Penampilan, kostum, dan make up yang digunakan oleh pemain utama dalam film “Alangkah Lucunya Negeri Ini”. Dalam penelitian ini pemeran yang menjadi objek penelitian adalah Bang Jarot (Tio Pakusadewo). Bagaimana pakaian dan tata rias yang digunakan, serta apakah kostum dan make up yang ditampilkan tersebut memberikan signifikasi tertentu menurut kode sosial dan cultural.

b. Behavior atau perilaku adalah segala respon atau aktivitas yang dilakukan oleh suatu organisme.

c. Conflic adalah suatu keadaan yang terjadi ketika dua atau lebih dorongan perilaku atau motivasi yang saling bertentangan bertarung untuk mengekspresikan dirinya.


(52)

d. Expression atau ekspresi adalah merupakan pesan yang menggunakan air muka untuk menyampaikan makna tertentu. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa wajah dapat menyampaikan paling sedikit sepuluh kelompok makna. Yakni : Kebahagiaan, rasa terkejut, ketakutan, kemarahan , kesedihan, kekesalan, pengecaman, minat ketakjuban, dan tekat.

e. Gasture atau gerakan adalah komunikasi non verbal yang dilakukan oleh seseorang dalam menyampaikan pesan yang mencerminkan emosinya dari pemikiran orang tersebut. Gasture atau gerakan berhubungan dengan ekspresi seseorang dan bisa juga dilakukan saat seseorang melakukan komunikasi verbal. Contohnya pada saat seseorang marah maka secara tidak langsung ekspresi muka mereka berubah menjadi lebih tegang, keningnya berkerut dan juga melakukan gesture seperti bercekak pinggang, atau menggenggam tangan, seakan ingin meninju lawannya. Menurut John Fiske gerak sebentar, gerak naik turun yang empatis sering menunjukkan upaya mendominasi. Meski lebih cair dan kontinyu, gesture menunjukkan hasrat untuk menjelaskan atau meraih simpati ( Fiske, 1990 : 97 ).

2. Level Representasi (representation)

Level representasi meliputi kerja kamera, pencahayaan, editing, musik dan suara, yang ditransmisikan sebagai kode-kode representasi yang bersifat konvensional. Bentuk-bentuk representasi dapat berupa cerita, konflik, karakter, action, dialog, setting, casting dan sebagainya. Level representasi meliputi :


(53)

a. Teknik Kamera

Ada tiga jenis shot gambar yang paling dasar yaitu meliputi :

1. Long Shot (LS), yaitu shot gambar yang jiak objeknya adalah manusia maka dapat diukur antara lutut kaki hingga sedikit ruang di atas kepala. Dari jenis shot ini dapat dikembangkan lagi yaitu Extreme Long Shot (ELS), mulai dari sedikit ruang dibawah kaki hingga ruang tertentu di atas kepala. Pengambilan gambar long shot ini menggambarkan dan memberikan informasi kepada penonton mengenai penampilan tokoh (termasuk pada body language, ekspresi tubuh, gerak cara barjalan dan sebagainya dari ujung rambut sampai kaki) yang kemudian mengarah pada karakter serta situasi dan kondisi yang sedang terjdai pada adegan tersebut.

2. Medium Shot (MS), yaitu shot gambar yang jika objeknya adalah manusia, maka dapat diukur sebatas dada hingga sedikit ruang di atas kepala. Dari medium shot dapat dikembangkan lagi, yaitu Wide Medium Shot (WMS), gambar medium shot tetapi agak melebar kesamping kanan kiri. Pengambilan gambar medium shot menggambarkan dan memberikan informasi kepada penonton tentang ekspresi dan karakter, secara lebih dekat lagi dibandingkan dengan long shot.


(54)

3. Close-Up (CU), yaitu shot gambar yang jiak objeknya adalah manusia, maka dapat diukur dari bahu hingga sedikit ruang di atas kepala. Pengambilan gambar close up menggambarkan dan memberikan informasi kepada penonton tentang penguatan ekspresi dan dialog penting untuk lebih diperhatikan penonton.

4. Eksterm Close-Up, menggambarkan secara detail ekspresi pemain dari suatu peristiwa (lebih detail pada ekspresi tubuh, contohnya mata,bibir,tangan dan sebagainya.

b. Pencahayaan

Cahaya menjadi salah satu unsure media visual, karena cahayalah informasi bisa dilihat. Cahaya ini pada mulanya hanya merupakan unsur teknis yang membuat benda bisa dilihat. Maka penyajian film juga, pada mulanya disebut sebagai “painting withlight”, melukis dengan cahaya. Namun dalam perkembangannya bertutur dengan gambar, ternyat fungsinya berkembang semakin banyak. Yakni mampu menjadi informasi waktu, menunjang mood atau atmosfer set dan bisa menunjang dramatik adegan (Biran,2006 : 43).

c. Penata Suara

Dalam penelitian ini, peneliti hanya akan membahas lebih lanjut penggunaan voice over yang sering dimunculkan di beberapa scene film “Alangkah Lucunya Negeri Ini”. Voice Over (VO) adalah suara-suara diluar kamera, dapat berupa narasi atau penuturan seorang tokoh


(55)

(Effendy, 2002 : 155). Vioce Over sering digunakan sebagai penjelasan suatu cerita yang berasal dari sudut pandang orang pertama.

d. Teknik Editing e. Penataan Musik

Namun dalam penelitian ini peneliti tidak akan membahas labih lanjut pada teknik editing dan penataan musik yang ada dalam level representasi, karena keduanya dianggap tidak memiliki kaitan langsung terhadap pembahasan representasi kekerasan terhadap anak – anak dalam film “Alangkah Lucunya Negeri Ini”.

3. Level Ideologi (ideology)

Level ideologi diorganisasikan ke dalam kesatauan (coherens) dan penerimaan sosial (social acceptability) seperti individualism, kelas patriarki, gender, ras, materialism, capitalism dan sebagainya. Kode sosialnya antara lai, narrative ( narasi ), conflict ( konflik ), character ( karakter ), action ( aksi ), dialogue ( dialog ), setting ( latar ), casting ( pemeran ). Selain itu analisis semiotic yang dilakukan pada sinema atau film layar lebar ( wide screen ) menurut Fiske disetarakan dengan analisis film yang ditayangkan di televise. Sehingga analisis yang dilakukan, pada film.

Dialog atau ucapan adalah kata – kata atau kalimat yang menunjukkan percakapan antara individu dengan orang lain, maka dalam penelitian ini meneliti dialog atau percakapan yang menunjukkan kekerasan terutama pada anak. Kekerasan dalam percakapan atau dialog


(56)

dalam film ini seperti penekanan suara atau disebut membentak untuk menimbulkan rasa ketakutan dan tertekan pada lawan bicara.

2.2 Kerangka Berpikir

Berdasarkan landasan teori yang telah disampaikan maka dapat diketahui bahwa untuk mengerti dan memahami beberapa bentuk visual yang merepresentasikan kekerasan terhadap anak – anak dalam film “Alangkah Lucunya Negeri Ini”, peneliti menggunakan teori analisis semiotic film oleh John Fiske, analisis semiotik pada sinema atau film layar lebar (wide screen) disetarakan dengan analisis film yang ditayangkan di televise yang dikemukakan oleh John Fiske. Analisis ini terbagi menjadi level realitas dan level representasi

Dalam pengembangan kerangka berpikir peneliti menggunakan analisis berupa representasi terhadap scene-scene yang menunjukkan karakteristik kekerasan, Pertama Film akan di pilah penanda-penandanya ke dalam serangkaian fragmen ringkas dan beruntun. Pada tahap kedua film “Alangkah Lucunya Negeri Ini” scene – scene yang sudah dipilah tersebut akan dianalisa secara mendalam dan dimaknai, yang menunjukkan adegan kekerasan pada anak, menurut level realitas dan representasi menurut Jhon Fiske.

Fenomena tentang kekerasan terhadap anak – anak sangat menarik untuk divisualisasikan dalam bentuk karya seni berupa film, karena mengingat banyaknya angka kekerasan pada anak – anak di Indonesia. Penelitian ini menggunakan studi semiotik Jhon Fiske, mengingat film ini terdiri dari yang mendasari tanda-tanda yang perlu dimaknai. Sehingga akhirnya diperoleh hasil dari interpretasi data mengenai representasi kekerasan dalam film ini.


(57)

2.3 Alur Berpikir

Film Alangkah Lucunya Negeri Ini

Level Ideologi : Dialog –dialog yang menunjukkan kekerasan

yang biasanya berupa kekerasan verbal atau kekerasan psikologis. Level Representasi :

Kamera, Cahaya, editing, Musik, Suara

Yang mentransmisikan kode – kode representasi

konvensional yang membentuk representasi, contonya : Konflik, karakter,

setting casting,dll Level Realita :

Penampilan, Kostum, Tata Rias, Lingkungan, Tingkah

Laku, Cara Bicara, Gerak Tubuh, Ekspresi, Suara, dll

Teori Semiotik Jhon Fiske

Scene – Scene dan Dialog Tentang Kekerasan Pada Anak

dalam Film

Representasi Kekerasan Pada Anak Dalam Film Alangkah Lucunya Negeri Ini Kekerasan Fisik, Kekerasan Psikologis, Kekerasan Financial, Kekerasan Fungsional


(58)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif, Bogdan dan Taylor dalam (Moleong, 2002:3) menyatakan bahwa metode penelitian kualitatif mempunyai prosedur penelitian yang menghasil data deskriptif berupa kata-kata lisan, tulisan serta gambar dan bukan angka-angka dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati, pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara utuh.

Alasan penggunaan metode kualitatif ini dikarenakan pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah. Apabila berhadapan dengan kenyataan ganda selain itu metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi (Moleong, 2002:5). Metode penelitian kualitatif lebih banyak dipakai untuk meneliti dokumen yang berupa teks, gambar, simbol dan sebagainya untuk memahami budaya dari suatu konteks sosial tertentu. Metode kualitatif ini, merujuk pada metode analisis dokumen untuk menanamkan, mengidentifikasi, mengolah dan manganalisis dokumen untuk memahami makna/signifikasi.

Oleh karena itu, peneliti dalam merepresentasikan kekerasan terhadap anak – anak dalam film “Alangkah Lucunya Negeri Ini” karya Deddy Mizwar. Harus mengetahui terlebih dahulu tanda-tanda yang ada di dalamnya serta beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu pertama, adalah konteks atau


(59)

situasi sosial di seputar dokumen atau teks yang diteliti. Disini, peneliti diharapkan dapat memahami the nature/kealamian dan culture meaning/makna kultural dari artifact/teks yang diteliti. Kedua adalah proses atau bagaimana suatu produksi media atau isi pesannya dikreasi secara actual dan diorganisasikan secara bersama, ketiga adalah emergence, yakni pembentukan secara gradual atau bertahap dari makna sebuah pesan melalui pemahaman dan interpretasi.

Dalam menganalisis data, peneliti menggunakan metode semiotik. Semiotik adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda (Sobur, 2004:15). Dengan menggunakan metode semiotik, peniliti berusaha menggali realitas yang didapatkan melalui interpretasi simbol-simbol dan tanda-tanda yang ditampilkan dalam film, selanjutnya akan menjadi corpus dalam penelitian ini. Dan kemudian secara khusus peneliti menggunakan metode penelitian analisis semiotika yang dikemukakan oleh Jhon Fiske, untuk menginterpretasikan atau memaknai kekerasan dalam terhadap anak – anak dalam film “Alangkah Lucunya Negeri Ini”.

3.2 Kerangka Konseptual

3.2.1 Corpus

Di dalam penelitian kualitatif diperlukan adanya suatu pembahasan masalah yang disebut Corpus. Corpus adalah sekumpulan bahan terbatas yang ditentukan pada perkembangannya oleh analisis dengan semacam kesemenaan. Corpus haruslah cukup luas untuk memberi harapan yang beralasan bahwa unsur – unsur akan memelihara sebuah sistem kemiripan


(1)

99

4.3. Analisis Data Keseluruhan

Pada level realitas melalui kode social kostum dapat dilihat cara berpakaian tokoh – tokoh utama film “ Alangkah Lucunya Negeri Ini “ yang terbagi antara dua dunia berbeda, yang pertama yaitu para pencopet cilik mempunyai pakaian serta dandanan yang terkesan lusuh, kotor, dan apa adanya merupakan kostum yang jauh dari kesan glamour dan mewah menggambarkan latar belakang ekonomi yang dialami oleh para pencopet dalam film ini. Dari keseharian para pencopet ini, yang sesuai dengan kenyataan yang memang hidup tidak layak, yaitu dengan penghasilan tak menentu, hidup dan tempat tinggal seadanya, tanpa fasilitas tertentu, mencerminkan mereka hidup kekurangan dalam hal ekonomi, social, dan kepedulian.

Yang kedua adalah tokoh – tokoh yang memiliki tingkat ekonomi lebih baik, berada di lingkungan yang juga lebih baik, lebih rapi dan bersih dalm berbusana, ataupun berpenampilan. Tokoh – tokoh seperti Bang Muluk, Pipit, Samsul, Haji Makbul, Haji Rahmat, Haji Sarbini. Bahkan tokoh Jupri yang diceritakan menjadi calon anggota DPR, yang selalu paer kekayaannya. Dalam dunia nyata memang banyak orang – orang yang kurang mampu yang sebenarnya hidup berdampingan dengan orang – orang yang lebih mampu bahkan berlebih, tapi kadang mereka tak peduli atau tidak dapat membaur.

Pada level representasi, penggunaan teknik kamera yang sengaja mengambil ekspresi atau bahasa tubuh dari tooh – tokoh utama alam film “ Alangkah Lucunya Negeri Ini “ memberikan informasi bagaimana kekerasan


(2)

yang ingin ditonjolkan dalam film ini seperti pengambilan teknik Close Up pada adegan pemukulan oleh Bang Jarot kepada para pencopet saat mengetahui mereka tidak mau menjadi pedagang asongan atau saat mereka memprotes Bang Jarot, karena mereka tak mau sekolah.

Pada level ideology khususnya pada kode sosial dialog adalah level yang kuat dalam menunjukkan adanya kekerasan dalam film ini. Dengan penggunaan kata – kata kasar melalui umpatan – upatan, hinaan, yang berdampak psikologis pada korban memberikan informasi bagaimana kekerasan yang ingin ditonjolkan dalam film ini merupakan dampak dari latar belakang ekonomi dan budaya dari tokoh – tokoh utama.

Dalam film sering sekali melakukan percakapan dengan membentak, hal ini tidak baik jika harus ditayangkan kepada masyarakat. Apalagi jika hal itu dianggap baik dan biasa saja oleh anak – anak. Makah al tersebut akan memberikan budaya yang salah dan tidak baik dalam kehidupan berbangsa – dan bernegara ini. Terlebih di Indonesia merupakan Negara yang menjunjung tinggi nilai social dan budaya saling menghormati dan menghargai antar sesama manusia.

Hal ini dikarenakan bangsa Indonesia merupakan bangsa yang memiliki banyak budaya daerah, dan memiliki beraneka ragam suku bangsa. Setiap suku bangsa memiliki budaya yang berbeda – beda dan semua salg menghormati kebudayaan suku lain, sebisa mungkin meminimalisir kesalah pahaman dan perselisihan antar suku bangsa atau umat beragama.


(3)

101

ANALISIS KEKERASAN

GAMBAR KEKERASAN ANALISA

KESIMPULAN

Kekerasan Fisik bisa terjadi karena adanya kemarahan atau ketidak setujuan akan sesuatu, yang menyebabkan kekerasan fisik lalu menjadi kekerasan verbal atau kekerasan psikologis. Begitu juga sebaliknya kekerasan verbal yang bisa berlanjut menjadi kekerasan fisik atau kekerasan yang lain.

Kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa kepada anak – anak.

Kekerasan yang dilakukan oleh anak – anak kepada sebayanya.

Kekerasan verbal selalu tak bisa lepas dari kekerasan yang lain. Karena verbal merupakan suatu ungkapan untuk menimbulkan efek psikologis bagi korbannya.

Kekerasan dapat terjadi antara orang dewasa kepada anak – anak atau sebaliknya, begitu juga sesama sebayanya.


(4)

102 5.1. Kesimpulan

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan pada bab sebelumnya, maka dapatlah ditarik kesimpulan dari penelitian ini bahwa kekerasan anak dalam film “ Alangkah Lucunya Negeri Ini “ direpresentasikan dalam media verbal dan non verbal dari tokoh seperti pukulan, tendangan, tamparan, makian, umpatan, hingga kepada kekerasan financial.

Dari kekerasan – kekerasan yang dihadirkan dalam film ini, kekerasan fisik dan kekerasan verbal berimbang hampir sama banyaknya, tetapi memag lebih banyak kekerasan verbal hadir dalam film, kekerasan verbal yang jika diurikan lagi menjadi kekerasan psikologis dan kekerasan fungsional.

Kekerasan secara verbal ini dimunculkan mulai dari mengejek atau menghina ( kekerasan verbal bertujuan untuk menyakiti perasaan dan emosi orang lain), membentak ( kekerasan verbal dengan nada tinggi biasanya disertai dengan rasa marah ), mengancam ( suatu pernyataan yang menyudutkan atau memaksa ), memaki ( kekerasan verbal dengan kata – kata kasar dan kotor yang ditujukan untuk merendahkan atau menyinggung perasaan orang lain, mislnya : Tolol, Bodoh, Bego, Goblok, atau bahkan menyamakan manusia dengan hewan dengan maksud merendahkan, menunjukkan kekuasaan, menakut – nakuti sampai kekerasan verbal yang dilakukan hanya sebagai kesenangan semata atau lelucon.


(5)

103

Kekerasan fisik juga tidak kalah banyak dalam film ini, seperti memukul dengan tangan ataupun benda lain, memaksa, menampar, mendorong ataupun menarik bagian tubuh untuk menimbulkan rasa sakit, bahkan menendang dengan kaki.

Jika ditelusuri lebih dalam lagi kekerasan dalam film ini tidak hanya hadir karena latar belakang konflik atau kesalah pahaman antar tokoh tetapi merupakan hasil dari keadaan ekonomi yang kurang atau kemiskinan yang dialami oleh para tokoh utamanya. Hampir semua kekerasan yang terjadi pada film ini bermotivasi pada alasan ekonomi seperti masalah setoran hasil mencopet, protes pembelian barang – barag, sampai perubahan system mencari uang atau penghasilan.

Gambaran kekerasan dalam film ini dapat dianggap sebagai bumbu penyedap bagi yang melihatnya. Tetapi sebaiknya diperhatikan lebih serius kekerasan dihadirkan tidak terlalu berlebihan, atau bersifat tabu dan bias, seperti kekerasan yang bersifat sepele tetapi hal itu sangat penting untuk tidak dilakukan daam kehidupan, karena tidak baik dicontoh oleh siapapun terutama anak – anak, dihadirkan secara biasa saja seakan hal itu sangat boleh dilakukan di kehidupan.

Anak –anak adalah paling rentan dalam menyerap sesuatu, sedangkan film adalah media massa. Kekerasan dalam media massa dapat menyebabkan terjadinya kekerasan social riil. Informasi tentang kekerasan juga bias menambah kegelisahan umum sehingga membangkitkan sikap representif masyarakat, alat penegak hukum.


(6)

5.2. Saran

Film “ Alangkah Lucunya Negeri Ini “ yang sudah tersebar luas dan telah ditonton jutaan penonton memiliki banyak kekerasan didalamnya dan jika didalam film menampilkan adegan yang mengandung kekerasan, maka akan berdampak negative bagi penontonnya, karena bukan tidak mungkin bagi mereka untuk meniru apa yang dilihatnya dalam film.

Dan bagi pembuat film sebaiknya lebih bijaksana lagi dalam memuat unsure – unsur dalam sebuah film, karena muatan – muatan yang seharusnya tidak diperbolehkan untuk dimasukkan dalam sebuah film sudah diatur jelas dalam Undang _ Undang Perfilman maupun peraturan yang dibuat KPI ( Komisi Penyiaran Indonesia ).

Dan bagi para orang tua hendaknya lebih selektif hiburan apa saja yang pantas dinikmati oleh anak – anak, terutama pemilihan hiburan pada media massa termasuk film. Seandainya ada hal – hal yang tidak semestinya dilihat oleh anak – anak, dengan segera alihkan perhatian anak kesesuatu yang lain agar tak melihat hal itu. Kekerasan dan seksualitas adalah hal yang harus dihindarkan pada anak – anak sampai mereka cukup umur, untuk mengetahuinya.


Dokumen yang terkait

Tindak Tutur Direktif dan Ekspresif dalam Dialog Film ―Alangkah Lucunya Negeri Ini‖ Karya Deddy Mizwar

4 76 12

PESAN KRITIK SOSIAL DALAM FILM( Analisis Isi Dalam Film “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)” Karya Deddy Mizwar)

0 10 2

WACANA PENDIDIKAN POLITIK MELALUI SATIRE POLITIK DALAM FILM ALANGKAH LUCUNYA NEGERI INI WACANA PENDIDIKAN POLITIK MELALUI SATIRE POLITIK DALAM FILM ALANGKAH LUCUNYA NEGERI INI (Analisis Semiotik Terhadap Film Alangkah Lucunya Negeri Ini).

0 0 14

PENDAHULUAN WACANA PENDIDIKAN POLITIK MELALUI SATIRE POLITIK DALAM FILM ALANGKAH LUCUNYA NEGERI INI (Analisis Semiotik Terhadap Film Alangkah Lucunya Negeri Ini).

0 0 9

KESANTUNAN TINDAK TUTUR DIREKTIF DALAM DIALOG FILM ”ALANGKAH LUCUNYA NEGERI INI” KARYA MUSFAR YASIN KESANTUNAN TINDAK TUTUR DIREKTIF DALAM DIALOG FILM ”ALANGKAH LUCUNYA NEGERI INI” KARYA MUSFAR YASIN (Sebuah Tinjauan Pragmatik).

0 0 13

TINDAK TUTUR DIREKTIF DAN EKSPRESIF DALAM DIALOG FILM ―ALANGKAH LUCUNYA NEGERI INI‖ KARYA DEDDY MIZWAR Dina Mariana br Tarigan dinamarianabrtariganyahoo.com Abstract - Tindak Tutur Direktif dan Ekspresif dalam Dialog Film ―Alangkah Lucunya Negeri Ini‖ Kar

0 0 12

KRITIK SOSIAL DALAM NASKAH DRAMA ALANGKAH LUCUNYA NEGERI INI KARYA DEDDY MIZWAR

0 1 17

NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM DALAM FILM ALANGKAH LUCUNYA NEGERI INI KARYA DEDDY MIZWAR SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam

0 0 191

REPRESENTASI KEKERASAN PADA ANAK DALAM FILM ” ALANGKAH LUCUNYA NEGERI INI ” ( Studi Semiotik Mengenai Represe ntasi Kekerasan Pada Anak Dalam Film ” Alangkah Lucunya Negeri Ini ” karya Deddy Mizwar )

0 1 18

Tindak tutur dalam film Alangkah Lucunya (Negeri ini) karya Deddy Mizwar - USD Repository

0 0 144