PENGARUH BRAIN GYM TERHADAP PERUBAHAN FUNGSI KOGNITIF PADA LANSIA DI PANTI TRESNA WERDHA NATAR LAMPUNG SELATAN

(1)

PENGARUH BRAIN GYM TERHADAP PERUBAHAN FUNGSI KOGNITIF PADA LANSIA DI PANTI TRESNA WERDHA NATAR LAMPUNG

SELATAN Hein Intan Wulandari

Abstrak

Proses menua adalah proses sepanjang hidup dan penurunan fungsi kognitif pada lansia merupakan bagian dari proses menua, untuk mempertahankan fungsi kognitif pada lansia upaya yang dapat dilakukan adalah dengan cara menggunakan otak secara terus menerus. Salah satu cara untuk meningkatkan fungsi kognitif pada lansia yaitu dengan brain gym. Brain gym adalah gerakan sederhana yang bertujuan untuk mempertahankan kesehatan otak.

Desain penelitian ini adalah quasy experiment dengan pre and post test without control group design dengan teknik total sampling. Sampel dalam penelitian ini adalah lansia yang berada di Panti Tresna Werdha Natar Lampung Selatan sebanyak 83 responden. Instrumen penelitian menggunakan kuesioner Mini Mental Status Examination.

Analisis uji statistik menggunakan Wilcoxon signed rank test. Hasil penelitian ini menunjukan p value 0,000 (p<0,05) dengan confidence interval 95% sehingga Ho ditolak yang berarti ada pengaruh brain gym terhadap perubahan fungsi kognitif lansia. Brain gym efektif untuk meningkatkan fungsi kognitif pada lansia. Diharapkan lansia dapat melakukan brain gym dengan teratur untuk mengoptimalkan fungsi kognitif.


(2)

BRAIN GYM EFFECTS ON THE CHANGE OF COGNITIVE FUNCTION IN ELDERLY IN PANTI TRESNA WERDA NATAR LAMPUNG SELATAN

Hein Intan Wulandari Abstract

Aging is a longlive process, and cognitive decline in elderly is a part of aging process. One of the ways to maintain cognitive function in elderly is by using brain continuously. Brain gym is one of the methods that can be used. Brain gym contains simple movements which aim to maintain the brain health.

The research method used in this study is quasy experimental method, with research design pre and post test with control group design. Total sampling is used to spesicify the sample used in this study. Samples of this research are elderly in Panti Tresna Werdha Natar Lampung Selatan with 83 repondent. The research instrument used is Mini Mental Status Examinaton quisioner.

Statistical analysis is done with Wilcoxon signed rank test in which p value obtained is 0,000 (p<0,05) and 95% confidence interval. Based on statistical result, Ho is declined which means brain gym effects the change of cognitive function in elderly. Brain gym is effective to improve cognitive function in elderly. Elderly is expected to do brain gym regularly to optimize the cognitive function.


(3)

PENGARUH BRAIN GYM TERHADAP PERUBAHAN FUNGSI KOGNITIF PADA LANSIA DI PANTI TRESNA WERDHA NATAR

LAMPUNG SELATAN

Oleh

HEIN INTAN WULANDARI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA KEDOKTERAN

Pada

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDARLAMPUNG 2014


(4)

(5)

(6)

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung, pada tanggal 9 April 1994. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara, pasangan Bapak Nazwar Basyuni SE dan Ibu Herliwaty Hamidi SE MM.

Pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) diselesaikan di TK Pertiwi Tanjung Karang pada tahun, Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SDN 2 Rawa Laut pada tahun, Sekolah Menengah Pertama (SMP) diselesaikan di SMPN 4 Bandar Lampung pada tahun 2007, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) diselesaikan di SMAN 3 Bandar Lampung pada tahun 2011.

Tahun 2011, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Selama menjadi mahasiswa, penulis mengikuti organisasi GEN-C pada tahun 2011-2013.


(8)

SANWACANA

Puji syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

Skripsi dengan judul Pengaruh Brain Gym Terhadap Perubahan Fungsi Kognitif Pada Lansia di Panti Tresna Werdha Natar Lampung Selatan adalah salah satu syarat menyelesaikan pendidikan dan memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Harianto, M.S., selaku Rektor Universitas Lampung; 2. Dr. Sutyarso, M.Biomed, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas

Lampung;

3. dr. Khairun Nisa Berawi, M.Kes., AIFO selaku Pembimbing I yang telah meluangkan waktu, memberikan kritik, saran serta nasihat yang bermanfaat dalam penyelesaian skripsi ini;

4. dr. Liana Sidharti, M.Km., selaku Pembimbing II yang telah meluangkan waktu, memberikan kritik, saran serta nasihat yang bermanfaat dalam penyelesaian skripsi ini;

5. dr. Novita Carolia. M.Sc, selaku pembahas yang telah bersedia meluangkan waktu dan memberikan ilmu, kritik, serta saran dalam skripsi ini;


(9)

6. dr. Muhartono, M.Kes., Sp.PA selaku Pembimbing Akademik yang telah memberikan arahan dan motivasi selama saya menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung ini;

7. Seluruh staf pengajar Program Studi Pendidikan Dokter Unila atas ilmu yang telah diberikan kepada saya untuk menambah wawasan yang menjadi landasan bagi masa depan dan cita-cita;

8. Seluruh staf dan karyawan di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung yang membantu dalam proses pembelajaran semasa kuliah dan penyelesaian skripsi ini;

9. Ayah (Nazwar Basyuni SE), Mama (Herliwaty SE MM), Abang (Harizul Akbar ST), dan keluarga besar atas dukungan, semangat, doa, motivasi, dan kasih sayang yang selalu menjadi alasan saya untuk terus berjuang sampai saat ini;

10. Seluruh staf dan karyawan di Panti Tresna Werdha Natar Lampung Selatan yang membantu dalam proses jalannya penelitian ini;

11. Seluruh lansia di Panti Tresna Werdha Natar Lampung Selatan yang telah bersedia menjadi responden dalam penelitian ini;

12. Teman-teman terdekat peneliti (andina, dealita, intan ratna, kartika, nur ayu, pradila, raissa, dan sarah) atas kebersamaanya selama ini yang selalu menemani disaat senang maupun sedih dari awal hingga akhir;

13. Raissa Ulfah Fadillah, atas kebersamaan, kesabaran dan semangat untuk bersama menjalani penelitian ini dari awal hingga akhir;

14. Teman-teman seperjuangan angkatan 2011 atas kebersamaannya selama ini. Semoga kita menjadi dokter-dokter yang amanah;


(10)

15. Adik-adik angkatan 2012, 2013, dan 2014 terimakasih atas dukungan dan doanya, tetap berjuang dan semangat;

16. Seluruh rekan, kerabat, dan guru yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu; 17. Jaya Ndaru Prasetio, terimakasih atas dukungan, motivasi, doa, kebersamaan,

kesabaran dan kasih sayang yang selalu diberikan selama ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi perbaikan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembacanya.

Bandar Lampung, Desember 2014 Penulis


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR GAMBAR ... i

DAFTAR TABEL ... ii

DAFTAR LAMPIRAN ... iii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 5

1.5 Kerangka Penelitian ... 6

1.5.1 Kerangka Teori ... 6

1.5.2 Kerangka Konsep ... 8

1.5.2.1 VariabelIndependet ... 8

1.5.2.2 VariabelDependent ... 8

1.5.2.3 VariabelConfounding ... 9

1.6 Hipotesis Penelitian ... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 12


(12)

2.1.1 Definisi Lansia ... 12

2.1.2 KarakteristikLansia ... 13

2.1.3 KlasifikasiLansia ... 13

2.1.4 Tipe-tipeLansia ... 14

2.1.5 Proses danTeori Penuaan ... 15

2.1.5.1 Teori Biologis ... 15

2.1.5.1 Teori Psikologis ... 18

2.2Kognitif ... 22

2.2.1 Pengertian ... 22

2.2.2 Fungsi Kognitif ... 23

2.2.3TerapiKognitif ... 23

2.3Mini Mental Status Examination (MMSE) ... 24

2.4Brain Gym ... 27

2.4.1PengertianBrain Gym ... 27

2.4.2 ManfaatBrain Gym ... 27

2.4.3 MekanismeKerjaBrainGym ... 29

2.4.4 PelaksanaanBrainGym ... 30

2.4.5Gerakan-gerakanPadaBrain Gym ... 31

2.4.5.1Lateralisasi (sisi) ... 31

2.4.5.2Fokus ... 34

2.4.5.3Pemusatan ... 37

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 40

3.1 DesainPenelitian ... 41


(13)

3.3 Populasi dan Sampel ... 41

3.3.1 Populasi ... 41

3.3.2 Sampel... 42

3.3.2.1KriteriaInklusi... 42

3.3.2.2 KriteriaEksklusi... 42

3.4 Variabel Penelitian ... 43

3.4.1Variabel Bebas ... 43

3.4.2Variabel Terikat ... 43

3.4.3Variabel Perancu ... 43

3.5Definisi Operasional ... 44

3.6Instrumen Penelitian ... 46

3.7 Validitas dan Reabilitas Instrumen ... 47

3.8Tekhnik Pengumpulan Data ... 47

3.9Prosedur Penelitian ... 48

3.10Analisa Data dan Pengujian Hipotesa ... 50

3.11 EtikPenelitian ... 51

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 52

4.1 Hasil ... 52

4.1.1 Analisis Univariat ... 52

4.1.2 Analisis Bivariat ... 55

4.2 Pembahasan ... 57

4.2.1 Analisis Univariat ... 58

4.2.2 Analisis Bivariat ... 61


(14)

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 71 5.1 Simpulan ... 71 5.2 Saran ... 72 DAFTAR PUSTAKA


(15)

DAFTAR TABEL

Daftar Tabel Halaman

1. Tabel Definisi Operasional ... 34

2. Tabel Karakteristik Responden Berdasarkan Usia ... 52

3. Tabel Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin... 53

4. Tabel Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendidikan ... 54

5. Tabel Rerata Skoring MMSE Pada Responden ... 55

6. Tabel Analisis Perbedaan Skoring MMSE Berdasarkan Intervensi ... 56


(16)

DAFTAR GAMBAR

Daftar Gambar Halaman

1. Kerangka Teori... 7

2. Kerangka Konsep ... 10

3. Gerakan 8 Tidur ... 33

4. Gerakan Putaran Leher... 34

5. Gerakan Burung Hantu ... 36

6. Gerakan Mengaktifkan Tangan... 37

7. Gerakan Pasang Telinga... 38


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

Lampiran 1 : Etik penelitian

Lampiran 2 : Lembar persetujuan (informed consent) Lampiran 3 : Kuesioer data demografi

Lampiran 4 : Kuesioner MMSE Lampiran 5 : Dummy tabel


(18)

1.1 Latar Belakang

Lansia merupakan seseorang dengan usia lanjut yang mengalami perubahan biologis, fisik, kejiwaan dan sosial. Perubahan ini akan memberikan pengaruh terhadap seluruh aspek kehidupan, termasuk kesehatannya. Oleh karena itu kesehatan pada lanjut usia perlu mendapatkan perhatian khusus dengan tetap memberian motivasi agar lansia dapat hidup secara produktif sesuai kemampuannya (Darmajo, 2009).

Proses menua adalah proses sepanjang hidup, tidak hanya dimulai dari suatu waktu tertentu tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan. Usia permulaan tua menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang lanjut usia menyebutkan bahwa usia 60 tahun adalah usia tua (Nugroho, 2008). Proses menua dan usia lanjut merupakan proses alami yang dialami setiap orang (Atun, 2010). Menua bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan suatu proses berkurangnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam maupun dari luar tubuh. Proses ini merupakan proses yang terus-menerus secara alamiah, berlangsung sejak seseorang mencapai usia dewasa, misalnya


(19)

dengan terjadinya kehilangan jaringan pada otot, susunan syaraf, dan jaringan lain sehingga tubuh mati sedikit demi sedikit. Walaupun demikian, memang harus diakui bahwa ada beberapa penyakit yang menghinggapi kaum lansia, seperti arthritis, asam urat, kolestrol, hipertensi dan penyakit jantung, selain aspek fisiologis yang mengalami perubahan pada lansia, fungsi kognitif pada lansia juga mengalami penurunan (Nugroho 2008).

Jumlah penduduk lansia di Indonesia pada tahun 2006 sebesar kurang lebih 19 juta, dengan usia harapan hidup 66,2 tahun. Pada tahun 2010 diperkirakan sebesar 23,9 juta (9,77%), dengan usia harapan hidup 67,4 tahun dan pada tahun 2020 diperkirakan sebesar 28,8 juta (11,34%), dengan usia harapan hidup 71,1 tahun. Berdasarkan jumlah tersebut, penduduk lansia di Indonesia termasuk terbesar keempat setelah China, India dan Jepang (Badan Pusat Statistik, 2010).

Pada setiap orang, fungsi fisiologis alat tubuhnya sangat berbeda, baik dalam hal pencapaian puncak maupun penurunannya, untuk mempertahankan fungsi kognitif pada lansia upaya yang dapat dilakukan adalah dengan cara menggunakan otak secara terus menerus dan di istirahatkan dengan tidur, kegiatan seperti membaca, mendengarkan berita dan cerita melalui media sebaiknya di jadikan sebuah kebiasaan hal ini bertujuan agar otak tidak beristirahat secara terus menerus (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008). Penurunan fungsi kognitif pada lansia dapat meliputi berbagai aspek yaitu orientasi, registrasi, atensi dan kalkulasi, memori dan


(20)

juga bahasa. Penurunan ini dapat mengakibatkan masalah antara lain memori panjang dan proses informasi, dalam memori panjang lansia akan kesulitan dalam mengungkapkan kembali informasi baru atau cerita maupun kejadian yang tidak begitu menarik perhatiannya (Dalton, 2008).

Salah satu cara untuk meningkatkan fungsi kognitif pada lansia yaitu Brain Gym. Brain Gym tidak saja akan memperlancar aliran darah dan oksigen ke otak, tetapi juga merangsang kedua belahan otak untuk bekerja (Tammase, 2009). Brain Gym adalah kegiatan yang bertujuan untuk mempertahankan kesehatan otak dengan gerakan sederhana (Hyatt, 2007).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Ranita et al (2012) brain gym yang dilakukan selama dua minggu sangat efektif dalam menurunkan stress pada anak. Menurut penelitian lain dengan judul senam vitalitas otak dapat meningkatkan fungsi kognitif pada usia dewasa muda terdapat peningkatan fungsi kognitif setelah dilakukan senam otak sebanyak tiga kali selama tiga minggu dengan nilai p< 0,05 (Lisnaini, 2012).

Berdasarkan latar belakang masalah diatas peneliti merasa tertarik untuk mengetahui lebih jauh mengenai pengaruh Brain Gym terhadap perubahan fungsi kognitif pada lansia.


(21)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas dapat diambil rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu apakah terdapat pengaruh Brain Gymterhadap perubahan fungsi kognitif lansia di Panti Tresna Werdha Natar Lampung Selatan?

1.3 Tujuan penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Brain Gymterhadap perubahan fungsi kognitif lansia di Panti Tresna Werdha Natar Lampung Selatan.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui gambaran fungsi kognitif sebelum diberikan Brain Gympada lanjut usia di Panti Tresna Werdha Natar Lampung Selatan. 2. Untuk mengetahui gambaran fungsi kognitif setelah diberikan Brain Gympada lanjut usia di Panti Tresna Werdha Natar Lampung Selatan. 3. Untuk mengetahui perubahan skor kognitif sebelum dan sesudah

diberikan Brain Gym pada lanjut usia di Panti Tresna Werdha Natar Lampung selatan.


(22)

1.4 Manfaat Penelitian

1. Manfaat bagi Panti Tresna Werdha Natar Lampung Selatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan secara objektif mengenai penanganan pada lansia untuk mengoptimalkan fungsi kognitif dengan Brain Gym.

2. Manfaat bagi tenaga kesehatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai upaya mengembangkan program dalam rangka meningkatkan kesehatan lansia dengan Brain Gym sebagai salah satu cara untuk mengoptimalkan fungsi kognitif pada lansia.

3. Manfaat bagi peneliti

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi peneliti sendiri dalam melaksanakan penelitian tentang lansia yang mengoptimalkan fungsi kognitif dengan Brain Gym.

4. Manfaat bagi peneliti lain

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumber informasi dalam penelitian selanjutnya serta tindakan lain seperti terapi kognitif untuk mengoptimalkan fungsi kognitif pada lanjut usia.


(23)

1.5 Kerangka penelitian

1.5.1 Kerangka teori

Proses menua adalah proses sepanjang hidup, tidak hanya dimulai dari suatu waktu tertentu tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan (Nugroho, 2008). Menua bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan suatu proses berkurangnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam maupun dari luar tubuh (Atun, 2010). Proses ini merupakan proses yang terus menerus berlangsung secara alamiah, selain aspek fisiologis yang mengalami perubahan pada lansia, fungsi kognitif lansia juga mengalami penurunan (Nugroho, 2008).

Brain Gym adalah serangkaian latihan berbasis gerakan tubuh sederhana. Gerakan ini dibuat untuk merangsang otak kiri dan kanan (dimensi lateral), meringankan atau merelaksasi belakang otak dan bagian depan otak (dimensi pemfokusan), merangsang sistem yang terkait dengan perasaan atau emosional yakni otak tengah (limbik) serta otak besar (dimensi pemusatan), untuk aplikasi gerakan Brain Gym dipakai istilah dimensi lateralis untuk belahan otak kiri dan kanan, dimensi pemfokusan untuk bagian belakang otak (batang otak dan brain stem) dan bagian otak depan (lobus frontal), serta dimensi pemusatan untuk sistem limbik (midbrain) dan otak besar (cerebral cortex) (Denisson, 2009).


(24)

Kerangka teori ini disusun dengan memadukan konsep-konsep serta teori yang diuraikan diatas, yakni tentang lansia, fungsi kognitif pada lansia, dan Brain Gym.Adapun kerangka teori penelitian ini adalah :

Gambar : 1.1Diagram Kerangka Teori Penelitian menurut Dennison, (2009).

Koordinasi Pikiran dan Tubuh

Cerebrum

Dimensi Pemusatan

Dimensi Lateral dan Dimensi Pemfokusan

Fungsi kognitif Brain Gym Gerakan Sederhana


(25)

1.5.2 Kerangka konsep

Kerangka konsep merupakan bagian dari kerangka teori yang akan menjadi panduan dalam pelaksanaan penelitiaan. Kerangka konsep dalam penelitiaan ini terdiri dari variabel independent (bebas), variabel dependent(terikat) dan variabel confounding(perancu).

1.5.2.1 Variabel independent(bebas)

Variabel bebas adalah variabel yang menjadi sebab timbulnya atau berubahnya variabel terikat atau yang mempengaruhi stimulus atau input (Sugiyono, 2013). Variabel independent dalam penelitian ini adalah terapi kognitif yakni Brain Gym yang diberikan pada lanjut usia karena terapi kognitif merupakan salah satu jenis psikoterapi yang menekankan dan meningkatkan kemampuan berpikir yang diinginkan (positif) dan merubah pikiran-pikiran yang negatif serta Brain Gym merupakan pelatihan untuk menstimulasi, merelaksasi, dan memfokuskan otak.

1.5.2.2 Variabel dependent(terikat)

Variabel dependent atau terikat adalah variabel yang dipengaruhi oleh atau yang menjadi akibat adanya variabel bebas dan variabel ini sering disebut respon output (Sugiyono, 2013). Variabel dependent dalam penelitiaan ini adalah fungsi kognitif. Variabel dependent


(26)

akan diukur sebelum dan sesudah diberikan terapi kognitif yakni Brain Gym pada kelompok intervensi. Instrumen pengukuran status kognitif lansia digunakan Mini Mental Status Examination (MMSE).

1.5.2.3 Variabel confounding(perancu)

Variabel confounding yang mungkin dalam penelitian ini adalah karakteristik lansia yang mengalami perubahan fisik dan psikososial. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi penelitiaan ini adalah usia, perubahan fisik (sakit fisik dan lama sakit), jenis kelamin, dan perubahan aspek psikososial (pendidikan) (Kuntjoro, 2002)

Peneliti mencari hubungan antara variabel independent dan dependentmelalui sebuah konsep penelitian yang memuat item input berupa pelaksanaan pre-test pada responden, item proses yaitu pemberian Brain Gym pada responden dan item output berupa pelaksanaan post-testpada responden.


(27)

Gambar 1.2: Kerangka Konsep

Keterangan :

: Variabel yang diteliti : Variabel yang tidak diteliti

Variabel Independent Variabel Dependent

Brain Gym

Perubahan Skor Fungsi kognitif Sebelum

Sesudah

Ya

Tidak

Variabel Confounding: 1. Jenis kelamin 2. Tingkat

pendidikan 3. Sakit fisik dan

lama sakita (Kuntjoro, 2002)


(28)

1.6 Hipotesis Ho :

Tidak terdapat pengaruh intervensi Brain Gym terhadap perubahan fungsi kognitif pada lansia.

Ha :

Terdapat pengaruh intervensi Brain Gym terhadap perubahan fungsi kognitif pada lansia.


(29)

2.1 Lansia

2.1.1 Definisi Lansia

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkan lansia menjadi empat yaitu usia pertengahan (middle age) adalah 45−59 tahun, lanjut usia (elderly) adalah 60−74 tahun, lanjut usia tua (old) adalah 75−90 tahun dan usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun (Nugroho, 2008). Usia lanjut menurut Keliat (1999) dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia. Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (2), (3), (4), UU No. 13 Tahun 1998 tentang Kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun (Maryam et al., 2011). Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa lansia adalah seseorang yang berusia 60 tahun ke atas baik pria maupun wanita, yang masih aktif beraktivitas dan bekerja ataupun mereka yang tidak berdaya untuk mencari nafkah sendiri sehingga bergantung kepada orang lain untuk menghidupi dirinya (Rosidawati, 2011).


(30)

2.1.2 Karakteristik Lansia

Menurut Bustan (2007) ada beberapa karakterisktik lansia yang perlu diketahui untuk mengetahui keberadaan masalah kesehatan lansia yaitu: 1. Jenis Kelamin

Lansia lebih banyak wanita dari pada pria. 2. Status Perkawinan

Status pasangan masih lengkap dengan tidak lengkap akan mempengaruhi keadaan kesehatan lansia baik fisik maupun psikologi. 3 Living Arrangement

Keadaan pasangan, tinggal sendiri, bersama istri atau suami, tinggal bersama anak atau keluarga lainnya.

2.1.3 Klasifikasi lansia

Klasifikasi lansia dibagi menjadi lima yaitu pralansia, lansia, lansia resiko tinggi, lansia potensial, lansia potensial. Pralansia (prasenelis) adalah seseorang yang berusia antara 45−59 tahun. Lansia yaitu seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih untuk Lansia Resiko tinggi yaitu seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih dan bermasalah dengan kesehatan seperti menderita rematik, demensia, mengalami kelemahan dan lain-lain, lansia potensial yaitu lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang atau jasa. Lansia tidak potensial yaitu


(31)

lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain (Darmajo, 2009).

2.1.4 Tipe-tipe lansia

Tipe lansia dibagi menjadi lima tipe yaitu tipe arif bijaksana, tipe mandiri, tipe tidak puas, tipe pasrah dan tipe bingung.

1. Tipe arif bijaksana, yaitu kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati, sederhana, dermawan, memenuhi undangan dan menjadi panutan.

2. Tipe mandiri, yaitu menganti kegiatan yang hilang dengan yang baru, selektif dalam mencari pekerjaan, bergaul dengan teman, dan memenuhi undangan.

3. Tipe tidak puas, yaitu konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga menjadi pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkritik dan banyak menuntut.

4. Tipe pasrah, yaitu menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan agama dan melakukan pekerjaan apa saja.

5. Tipe bingung, yaitu mengasingkan diri, minder, menyesal, pasif dan acuh tak acuh (Nugroho, 2008).


(32)

2.1.5 Proses dan Teori Menua

Menua didefinisikan sebagai penurunan, kelemahan, meningkatnya kerentanan terhadap berbagai penyakit dan perubahan lingkungan, hilangnya mobilitas dan ketangkasan, serta perubahan fisiologis yang terkait dengan usia (Aru et al., 2009). Penuaan adalah suatu proses normal yang ditandai dengan perubahan fisik, sosial, dan psikologis yang dapat terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai usia tahap perkembangan kronologis tertentu. Hal ini merupakan suatu fenomena yang kompleks dan multidimensional yang dapat diobservasi dan berkembang sampai pada keseluruhan sistem (Stanley, 2010).

Ada dua jenis teori penuaan yaitu, teori biologi, teori psikososial. Teori biologis meliputi teori genetik dan mutasi, teori imunologis, teori stress, teori radikal bebas, teori rantai silang, teori menua akibat metabolisme. Teori psikososial meliputi pelepasan, teori aktivitas, teori interaksi sosial, teori kepribadian berlanjut, teori perkembangan (Stanley, 2010).

2.1.5.1 Teori Biologis

a. Teori Genetik dan Mutasi

Teori genetik menyatakan bahwa menua itu telah terprogram secara genetik untuk spesies tertentu. Teori ini menunjukkan bahwa menua terjadi karena perubahan


(33)

molekul dalam sel tubuh sebagai hasil dari mutasi spontan yang tidak dapat dan yang terakumulasi seiring dengan usia. Sebagai contoh mutasi sel kelamin sehingga terjadi penurunan kemampuan fungsional sel (Aru et al., 2009).

b. Teori Imunologis

Menua merupakan suatu alternatif yang diajukan oleh Walford (1965). Teori ini menyatakan bahwa respon imun yang tidak terdiferensiasi meningkat seiring dengan usia. Mutasi yang berulang dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem imun tubuh mengenali dirinya sendiri. Jika mutasi merusak membran sel akan menyebabkan sistem imun tidak mengenal dirinya sendiri sehingga merusaknya. Hal inilah yang mendasari peningkatan penyakit auto-imun pada lanjut usia (Darmajo, 2009).

c. Teori Stress

Teori stress menyatakan bahwa menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasanya digunakan oleh tubuh. Regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan lingkungan internal, kelebihan usaha, dan


(34)

stress yang menyebabkan sel-sel tubuh lemah (Darmajo, 2009).

d. Teori Radikal Bebas

Radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas dan di dalam tubuh karena adanya proses metabolisme. Radikal bebas merupakan suatu atom atau molekul yang tidak stabil karena mempunyai elektron yang tidak berpasangan sehingga sangat reaktif mengikat atom atau molekul lain yang menimbulkan berbagai kerusakan atau perubahan dalam oksidasi bahan organik, misalnya karbohidrat dan protein. Radikal bebas menyebabkan sel tidak dapat beregenerasi. Radikal bebas dianggap sebagai penyebab penting terjadinya kerusakan fungsi sel. Teori ini menyatakan bahwa penuaan disebabkan oleh akumulasi kerusakan ireversibel (Darmajo, 2009).

e. Teori Rantai Silang

Teori ini menjelaskan bahwa menua disebabkan oleh lemak, protein, kerbohidrat, dan asam nukleat atau molekul kolagen bereaksi dengan zat kimia dan radiasi, yang mengubah fungsi jaringan yang akan menyebabkan


(35)

perubahan pada membran plasma, yang mengakibatkan terjadinya jaringan yang kaku, kurang elastis, dan hilangnya fungsi pada proses menua (Aru et al.,2009).

f. Teori Menua Akibat Metabolisme

Telah dibuktikan dalam percobaan hewan, bahwa pengurangan asupan kalori ternyata bisa menghambat pertumbuhan dan memperpanjang umur, sedangkan perubahan asupan kalori yang menyebabkan kegemukan dapat memperpendek umur (Darmajo, 2009).

2.1.5.2 Teori Psikososial

a. Teori Penarikan Diri / Pelepasan

Teori ini merupakan teori sosial tentang penuaan yang paling awal dan pertama kali diperkenalkan oleh Gumming dan Henry (1961). Teori ini menyatakan bahwa mayarakat dan individu selalu berusaha untuk mempertahankan diri mereka dalam keseimbangan dan berusaha untuk menghindari gangguan. Oleh karena itu lansia mempersiapkan pelepasan terakhir yaitu kematian dengan pelepasan mutual dan pelepasan yang dapat diterima masyarakat. Pelepasan ini meliputi pelepasan peran sosial dan aktivitas sosial. Menurut teori ini seorang lansia akan


(36)

dinyatakan mengalami proses penuaan yang berhasil apabila ia menarik diri dari kegiatan terdahulu dan dapat memusatkan diri pada persoalan pribadi serta mempersiapkan diri dalam menghadapi kematian (Stanley, 2010).

b. Teori Aktivitas

Penuaan yang sukses bergantung dari bagaimana seseorang lansia merasakan kepuasan dalam melakukan aktivitas dan memepertahankan aktivitas tersebut. Teori ini menyatakan bahwa lanjut usia yang sukses adalah mereka yang aktif dan banyak ikut serta dalam kegiatan sosial (Stanley, 2010).

c. Teori Interaksi Sosial

Teori ini menjelaskan mengapa lansia bertindak pada suatu situasi tertentu, yaitu atas dasar hal-hal yang dihargai masyarakat. Kemampuan lansia untuk terus menjalin interaksi sosial merupakan kunci untuk mempertahankan status sosialnya atas dasar kemampuannya bersosialisasi (Stanley, 2010).

d. Teori Kepribadian Berlanjut

Teori ini menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada seorang lanjut usia sangat dipengaruhi oleh tipe personalitas


(37)

yang dimilikinya. Teori ini mengemukakan adanya kesinambungan dalam siklus kehidupan lanjut usia. Pengalaman seseorang pada suatu saat merupakan gambarannya kelak pada saat ia menjadi lansia. Hal ini dapat dilihat dari gaya hidup, perilaku, dan harapan seseorang ternyata tidak berubah walaupun ia telah lanjut usia (Stanley, 2010).

e. Teori perkembangan

Teori perkembangan menjelaskan bagaimana proses menjadi tua merupakan suatu tantangan dan bagaimana jawaban lansia terhadap berbagai tantangan tersebut yang dapat bernilai positif maupun negatif (Stanley, 2010).

Banyak perubahan yang terjadi pada lansia. Adapun perubahan yang terjadi pada lanjut usia:

1. Perubahan fisik

a. Kardiovaskuler: kemampuan memompa darah menurun, elastisitsas pembuluh darah menurun, dan meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer sehingga tekanan darah meningkat.

b. Respirasi: elastisitas paru menurun, kapasitas residu meningkat sehingga menarik napas lebih berat, dan terjadi penyempitan bronkus.


(38)

c. Muskuloskeletal: cairan tulang menurun sehingga mudah rapuh (osteoporosis), bungkuk (kifosis), persendian membesar dan menjadi kaku.

d. Gastrointestinal: esophagus membesar, asam lambung menurun, lapar menurun dan peristaltik menurun.

e. Persyarafan: saraf panca indra mengecil sehingga fungsinya menurun serta lambat dalam merespon.

f. Vesika urinaria: otot-otot melemah, kapasitasnya menurun, dan retensi urin.

g. Kulit: keriput serta kulit kepala dan rambut menipis. Elastisitas menurun, vaskularisasi menurun, rambut memutih dan kelenjar keringat menurun (Nugroho, 2008).

2. Perubahan sosial

Perubahan fisik yang dialami lansia seperti berkurangnya fungsi indera pendengaran, pengelihatan, gerak fisik dan sebagainya menyebabkan gangguan fungsional, misalnya badannya membungkuk, pendengaran sangat berkurang, pengelihatan kabur sehingga sering menimbulkan keterasingan. Keterasingan ini akan menyebabkan lansia semakin depresi, lansia akan menolak untuk berkomunikasi dengan orang lain (Darmajo, 2009).


(39)

3. Perubahan psikologis

Pada lansia pada umumnya juga akan mengalami penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian dan lain-lain sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku lansia semakin lambat. Sementara fungsi kognitif meliputi hal-hal yang berhubungan dengan dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan, koordinasi menurun, yang berakibat lansia menjadi kurang cekatan (Nugroho, 2008).

2.2 Kognitif

2.2.1 Pengertian

Istilah kognitif berasal dari bahasa Latin cognosere, yang berarti untuk mengetahui atau untuk mengenali merujuk kepada kemampuan untuk memproses informasi, menerapkan ilmu, dan mengubah kecenderungan (Nehlig, 2010). Kognisi adalah suatu proses mental yang dengannya seseorang individu menyadari dan mempertahankan hubungan dengan lingkungannya, baik lingkungan dalam maupun lingkungan luar (Semiun, 2006). Kognitif merupakan istilah ilmiah untuk proses berfikir, yang menggambarkan kepercayaan seseorang tentang sesuatu yang didapatkan dari proses berfikir tentang seseorang atau sesuatu (Ramdhani, 2008). Proses


(40)

berfikir dan memperoleh pengetahuan diperoleh melalui aktivitas mengingat, menganalisa, memahami, menilai, membayangkan dan berbahasa (Johnson, 2005).

2.2.2 Fungsi kognitif

Pada lanjut usia selain mengalami kemunduran fisik juga sering mengalami kemunduran fungsi intelektual termaksuk fungsi kognitif (Hartono, 2002). Kemunduran fungsi kognitif dapat berupa mudah lupa (forgetfulness) yang merupakan bentuk gangguan kognitif paling ringan dan diperkirakan dikeluhkan oleh 39% lanjut usia yang berusia 50−59 tahun dan meningkat menjadi lebih dari 85% pada usia lebih dari 80 tahun (Ambon, 2010).

Banyak mitos yang berkembang di masyarakat tentang penurunan intelegensia lansia dan anggapan bahwa lansia sulit untuk diberikan pelajaran karena proses pikir yang mulai melambat, mudah lupa, bingung dan pikun (Fatimah, 2010).

2.2.3 Terapi kognitif

Terdapat berbagai metode untuk meningkatkan fungsi kognitif baik secara farmakologi atau nonfarmakologi. Pendekatan nonfarmakologi merupakan intervensi konvensional yang telah


(41)

diamalkan sejak ribuan tahun. Hal ini termasuk proses edukasi dan latihan. Latihan mental yang lain adalah seperti senam, yoga, seni bela diri, meditasi dan kursus kreativitas (Nehlig, 2010).

Olahraga dapat secara sementara meningkatkan berbagai aspek kognitif, efeknya tergantung pada jenis dan intensitas olahraga (Tomporowski, 2003). Mungkin melalui kombinasi efek peningkatan suplai darah dan pelepasan nerve growth factors (Vaynman & Gomez-Pinilla, 2005).

Intervensi yang lain adalah latihan mental dan teknik visualisasi yang sering digunakan oleh atlet untuk meningkatkan kemahiran. Untuk meningkatkan fungsi kognitif terdapat strategi khusus untuk terus menggunakan otak secara terus menerus setiap individu dengan contoh menghafalkan informasi seperti metode loci dimana pemakainya akan membayangkan bagian interior suatu bangunan untuk diasosiasikan dengan subjek yang hendak dihafalnya. Selain itu, ada berbagai lagi teknik mental yang digunakan seperti metode pemusatan dan peta berpikir (Bostrom & Sandberg, 2009).

2.3 MMSE (Mini Mental Status Examination)

Mini Mental Status Examinationmerupakan pemeriksaan status mental yang singkat dan mudah diaplikasikan yang telah dibuktikan sebagai


(42)

instrumen yang dapat dipercayai serta valid untuk mendeteksi dan mengikuti perkembangan gangguan kognitif yang berkaitan dengan penyakit neuro degenerative(Zulista, 2010).

Pemeriksaan neuropsikologi ini pertama kali diperkenalkan oleh Folstein pada tahun 1975. Tes ini mudah dikerjakan, membutuhkan waktu yang relatif singkat yaitu antara lima sampai sepuluh menit, yang mencakup penilaian orientasi, registrasi, perhatian dan kalkulasi, mengingat kembali serta bahasa, pasien dinilai secara kuantitatif pada fungsi-fungsi tersebut dan digunakan secara luas sebagai pemeriksaan yang sederhana dan cepat untuk mencari kemungkinan munculnya defisit kognitif (Kaplan et al.,2004).

Mini Mental Examination menjadi suatu metode pemeriksaan status yang digunakan paling banyak di dunia. Tes ini telah diterjemahkan ke beberapa bahasa dan telah digunakan sebagai intrument skrinning kognitif primer pada beberapa studi epidemiologi (Zulista, 2010).

Mini Mental Status Examination (MMSE) merupakan suatu skala terstruktur yang terdiri dari 30 poin yang dikelompokkan menjadi tujuh kategori terdiri dari orientasi terhadap tempat (Negara, provinsi, kota, gedung dan lantai), orientasi terhadap waktu (tahun, musim, bulan, hari dan tanggal), registrasi (mengulang dengan tepat tiga kata), atensi dan konsenterasi (secara berurutan mengurangi tujuh yang


(43)

dimulai dari angka 100 atau mengeja kata WAHYU secara terbalik), mengingat kembali (mengingat kembali tiga kata yang telah diulang sebelumnya), bahasa (memberi nama dua benda, mengulang kalimat, membaca kertas dan memahami suatu kalimat, menlulis kalimat dan mengikuti perintah tiga langkah) dan kontruksi visual (menyalin gambar) (Maramis, 2009).

Skor Mini Mental Status Examination(MMSE) diberikan berdasarkan jumlah item yang benar sempurna. Skor yang makin rendah mengindikasiakan gangguan kognitif yang semakin parah. Skor total berkisar antara 0−30, untuk skor 27−30 menggambarkan kemampuan kognitif sempurna. Skor MMSE 22−26 dicurigai mempunyai kerusakan fungsi kognitif ringan. Selanjutnya untuk skor MMSE <21 terdapat kerusakan aspek fungsi kognitif berat (Asosiasi Alzheimer Indonesia, 2003). Sedangkan menurut Kaplan et al(2004) nilai MMSE adalah 26−30 normal, 21−25 mengarah demensia dan kurang dari 20 pasti terjadi demensia.

Nilai MMSE dipengaruhi oleh faktor Sosio demografik, termasuk di dalamnya adalah umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan dan status perkawinan, yang kedua adalah faktor lingkungan dan faktor behaviour. Faktor lingkungan dan faktor behaviour adalah beban kehidupan secara umum, stress fisik, kontak sosial, aktivitas fisik, merokok dan minum alkohol (Zulista, 2010).


(44)

2.4Brain Gym

2.4.1 Pengertian

Brain Gymadalah serangkaian latihan yang berbasis gerakan tubuh sederhana. Brain Gym merupakan latihan yang terangkai dari gerakan tubuh yang dinamis yang memungkinkan didapatkan keseimbangan aktivitas kedua belahan otak secara bersamaan. Metode yang digunakan dalam melakukan Brain Gym adalah Edu-K (Educational Kinosiology) atau pelatihan gerakan yakni melakukan gerakan yang bisa merangsang seluruh bagian otak untuk bekerja (Dennison, 2009).

2.4.2 Manfaat Brain Gym

Brain Gym adalah kegiatan yang bertujuan untuk mempertahankan kesehatan otak dengan gerakan sederhana (Lisnaini, 2012). Manfaat lain dari Brain Gym ialah kemampuan berbahasa dan daya ingat meningkat, individu menjadi lebih bersemangat, kreatif dan efisien (Denisson, 2009). Rangkaian Brain Gym berguna dalam mempersiapkan seorang menyesuaikan diri dengan kehidupan sehari-hari. Dapat menambah atau meningkatkan ketrampilan khusus dalam hal berpikir dan koordinasi, memudahkan kegiatan belajar (Brain Gym International, 2008).


(45)

Neuro-fisiolog Carla Hannaford, Ph.D., (1995) dalam penelitiannya mengenai perkembangan anak, fisiologi dan ilmu syaraf mengatakan bahwa peran tubuh dan gerakan sangat penting dalam berfikir dan belajar, dimana terdapat peningkatan kemampuan belajar pada anak-anak melalui kegiatan brain gym. Berdasarkan Brain Gym Journal (2008), prestasi belajar dari 246 siswa dengan Brain Gympada tahun 2003−2004 (rata-rata nilai 8,1) di bandingkan dengan siswa pada sekolah yang sama tahun 2002−2003 tanpa intervensi Brain Gym (rata-rata nilai 7,7) (Demuth, 2007).

Brain Gym bisa digunakan untuk semua golongan usia, mulai dari bayi hingga para manula. Namun fungsinya berbeda. Bagi para manula Brain Gym bisa membantu meningkatkan fungsi kognitif dan menunda penuaan dini dalam arti menunda pikun atau perasaan kesepian yang biasanya menghantui para manula. Sedangkan bagi anak-anak Brain Gym ini bisa membantu meningkatkan kecerdasan anak, meningkatkan kepercayaan diri, menangani anak yang mengalami masalah dalam proses belajar mengajar. Selain itu Brain Gym juga sering digunakan untuk terapi beberapa gangguan pada anak-anak seperti hiperaktif, gangguan pemusatan perhatian, gangguan emosional, sindrom pada bayi dan gangguan kemampuan belajar (Gunadi, 2009).


(46)

2.4.3 Mekanisme Kerja Brain Gym

Paul dan Dennison (2009) membagi otak ke dalam tiga fungsi yakni, dimensi lateralis (otak kiri-kanan), dimensi pemfokusan (otak depan-belakang), dimensi pemusatan (otak atas-bawah). Masing-masing dimensi memiliki tugas tertentu, sehingga gerakan senam yang harus dilakukan dapat bervariasi, diantaranya:

1. Dimensi Lateralis

Otak terdiri atas dua bagian, kiri dan kanan dimana masing-masing belahan otak mempunyai tugas tertentu. bila kerja sama antara otak kiri dan otak kanan kurang baik, seseorang akan sulit membedakan antara kiri dan kanan, gerakan kaku, tulisan tangannya jelek atau cenderung terbalik, sulit membaca, menulis, mengikuti sesuatu dengan mata, sulit menggerakkan mata tanpa mengikutinya dengan kepala, tangan miring kedalam ketika menulis, cenderung melihat kebawah sambil berpikir, keliru dengan huruf (seperti d dan b; p dan q), serta menyebut kata sambil menulis (Dennison, 2009).

2. Dimensi Pemfokusan

Pemfokusan adalah kemampuan untuk menyeberang garis tengah keterlibatan yang memisahkan otak bagian belakang dan depan. Informasi diterima oleh otak bagian betakang (batang otak atau brainstem) yang merekam, semua pengalaman, lalu informasi


(47)

diproses dan diteruskan ke otak bagian depan untuk diekspresikan sesuai tuntutan dan keinginannya (Dennison, 2009).

3. Dimensi Pemusatan

Pemusatan adalah kemampuan untuk menyeberangi garis pemisah antara tubuh bagian bawah dan atas, sesuai dengan fungsi otak bagian bawah dan atas, yaitu sistem limbik. Apa yang dipelajari harus dapat dihubungkan dengan perasaan dan rnemberi arti. Bila kerja sama antar otak besar (cerebral corteks) dan sistem limbik terganggu, seseorang sulit merasakan emosi atau mengekspresikannya, cenderung bertingkah laku berjuang atau melarikan diri, serta dapat mengalami ketakutan yang berlebihan. Dalam keadaan stress, tegangan listrik berkurang di otak besar, sehingga fungsinya pun terganggu (Dennison, 2009).

2.4.4 Pelaksanaan gerakan Brain Gym

Pelaksanaan Brain Gym praktis untuk dilakukan karena bisa dilakukan dimana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja. Porsi latihan yang tepat adalah sekitar 10−15 menit. Brain Gym melatih melatih otak bekerja dengan melakukan gerakan pembaruan (repattering) dan aktivitas brain gym. Latihan Brain Gym membuka bagian-bagian otak yang sebelumnya tertutup atau terhambat. Disamping itu, Brain Gym tidak hanya memperlancar aliran darah dan okisigen ke otak juga merangsang kedua belah otak untuk bekerja sehingga didapat


(48)

keseimbangan aktivitas kedua belahan otak secara bersamaan (Denisson, 2009).

2.4.5 Gerakan-gerakan pada Brain Gym

2.4.5.1 Lateralisasi (sisi)

Otak terdiri dari dua bagian. Masing-masing belahan otak mempunyai tugas tertentu. Secara garis besar, otak bagian kiri berpikir logis dan rasional, menganalisa, bicara, berorientasi pada waktu dan hal-hal terinci sedangkan otak bagian kanan intuitif, merasakan, musik, kreatif, melihat keseluruhan. Otak belahan kiri mengatur tubuh bagian kanan, mata dan telinga kanan. Otak belahan kanan mengontrol tubuh bagian kiri, mata dan telinga kiri. Dua belahan otak disambung dengan Corpus callosum yaitu simpul saraf kompleks dimana terjadi transmisi informasi antara kedua belahan otak (Muhammad, 2013).

Otak bagian kiri aktif apabila sisi kanan tubuh digerakkan begitu juga sebaliknya dengan otak bagian kanan. Sifat ini memungkinkan dominasi salah satu sisi misalnya menulis dengan tangan kanan atau kiri, dan juga untuk integrasi kedua sisi tubuh (bilateral integration), yaitu untuk menyebrangi garis tengah tubuh untuk bekerja di bidang tengah.


(49)

Kemampuan belajar paling tinggi apabila kedua belahan otak bekerja sama dengan baik (Muhammad, 2013).

Beberapa contoh gerakan dimensi lateralis: a. 8 Tidur (Lazy 8s)

Gerakan 8 tidur memadukan bidang visual kiri dan kanan, jadi meningkatkan integrasi belahan otak kiri dan kanan, sehingga keseimbangan dan koordinasi antar bagian menjadi lebih baik (Muhammad, 2013).

Gerakan 8 tidur dilakukan dengan berdiri menggunakan kaki agak meregang dan kepala menghadap ke depan. Angkat tangan dan kepalkan dengan posisi jempol mengacung. Gerakan dimulai dengan menaikkan jempol ke kiri atas, dan turun ke bawah, lalu kembali ke titik awal. Hal yang sama dilakukan pada sisi kanan dengan menaikkan jempol ke kanan atas, dan turun kebawah, lalu kembali ketitik awal. Seiring dengan gerakan pada sisi kanan, sebaiknya mata mengikuti gerakan yang sama. Ulangi gerakan sebanyak lima kali untuk masing-masing tangan, dan kedua tangan secara bersamaan (Muhammad, 2013).


(50)

Gambar 2.1 :Gerakan 8 Tidur Sumber.(Dennison, 2009)

b. Putaran leher (Neck Rolls)

Putaran leher menunjang relaksnya tengkuk dan melepaskan ketegangan yang disebabkan oleh ketidakmampuan menyebrangi garis tengah visual atau untuk bekerja dalam bidang tengah. Gerakan ini akan memacu kemampuan penglihatan dan pendengaran secara bersamaan (Muhammad, 2013).

Kepala diputar di posisi depan saja setengah lingkaran dari kiri ke kanan, dan sebaliknya. Namun tidak disarankan memutar kepala hingga ke belakang. Selanjutnya, tundukkan kepala dan ayunkan seperti bandul bergoyang. Gerakkan kepala ke arah kanan dan kiri dengan sikap tubuh yang tegak (Muhammad, 2013).


(51)

Gambar 2.2 : Putaran Leher Sumber.(Maquire, 2000)

2.4.5.2 Fokus

Fokus adalah kemampuan menyebrangi garis tengah partisipasi yang memisahkan bagian belakang dan depan tubuh, dan juga bagian belakang (occipital) dan depan otak (frontal lobus). Perkembangan refleks antara otak bagian belakang dan bagian depan yang mengalami fokus kurang (underfocused). Kadangkala perkembangan refleks antara otak bagian depan dan belakang mengalami fokus lebih (overfocused) dan berusaha terlalu keras. Gerakan-gerakan yang membantu melepaskan hambatan fokus adalah aktifitas integrasi depan atau belakang. Beberapa contoh gerakan pemfokusan :


(52)

Gerakan burung hantu maksudnya burung ini menggerakkan kepala dan mata secara bersamaan, dan mempunyai jangkauan penglihatan yang luas karena dia dapat memutar kepalanya 180°, juga memiliki pendengaran yang merupakan radar. Gerakan burung hantu dimaksudkan untuk menunjuk kepada keterampilan penglihatan, pendengaran dan putaran kepala. Gerakan ini bisa menghilangkan ketegangan tengkuk dan bahu yang timbul karena stress (Muhammad, 2013).

Cara melakukan gerakan burung hantu, yaitu berdirilah dengan kedua kaki meregang. Letakkan telapak tangan kiri pada bahu kanan, sementara tangan kanan dibiarkan bebas. Sambil menengok ke kiri dan kanan, telapak tangan kiri meremas bahu. Keluarkanlah napas pada setiap putaran kepala, yakni ke kiri, lalu ke kanan kembali ke posisi tengah dengan menundukkan kepala sambil menghembuskan napas. Setelah itu, gerakan diulangi pada bahu yang lain dengan meletakkan telapak tangan kanan pada bahu kiri, sementara tangan kiri dibiarkan bebas. Lakukan gerakan yang sama sebanyak 10 kali (Muhammad, 2013).


(53)

Gambar 2.3: Burung hantu Sumber. (Dennison, 2009)

b. Mengaktifkan tangan (Arm activation)

Mengaktifkan tangan merupakan gerakan isometrik untuk menolong diri sendiri yang memperpanjang otot-otot dada atas dan bahu. Kontrol otot untuk gerakan-gerakan motorik kasar dan halus berasal dari area ini. Mengaktifkan tangan membantu menulis dan mengeja (Muhammad, 2013).

Cara melakukan gerakan isometrik, yaitu luruskan satu tangan keatas, lalu ke samping kuping. Kemudian buang napas, lalu dorong tangan ke depan, belakang, baik ke dalam maupun luar. Sementara itu, satu tangan lainnya menahan dorongan tersebut. Lakukan berulang dengan tangan bergantian (Muhammad, 2013).


(54)

Gambar 2.4 : Mengaktifkan tangan Sumber.(Dennison, 2009)

2.4.5.2 Pemusatan

Pemusatan adalah kemampuan untuk menyeberangi garis pisah antara bagian atas dan bawah tubuh serta mengaitkan fungsi dari bagian atas dan bawah otak, bagian tengah sistem limbik (mid brain) yang berhubungan dengan informasi emosional serta otak besar (cerebrum) untuk mempertahankan pemusatan ditandai dengan ketakutan yang tak beralasan, ketidakmampuan untuk menyatakan emosi. Beberapa gerakan pemusatan adalah :

a. Gerakan pasang telinga

Kegiatan pasang telinga bisa menolong memusatkan perhatian terhadap pendengarannya, dan menghilangkan


(55)

ketegangan pada tulang-tulang kepala. Dengan ibu jari dan telunjuk, pijat secara lembut daun telinga sambil menariknya ke luar, mulai dari ujung atas, menurun sepanjang lengkungan, dan berakhir di cuping (Muhammad, 2013).

Untuk melakukan gerakan pasang telinga, posisikan agar kepala tegak dan dagu lurus dengan nyaman. Setelah itu, letakkan tangan di telinga dengan jari jempol di belakang telinga. Lakukan latihan ini sebanyak tiga kali (Muhammad, 2013).

Gambar 2.5 :Gerakan pasang telinga Sumber.(Dennison, 2009)

b. Gerakan pernafasan perut (Belly breathing)

Meningkatkan persediaan oksigen untuk seluruh tubuh, terlebih untuk otak. Kegiatan ini merelakskan sistem saraf pusat serta meningkatkan kadar energi, gerakan ini


(56)

terbukti meningkatkan kemampuan membaca dan berbicara (Muhammad, 2013).

Cara melakukan gerakan pernafasan perut adalah dengan meletakan tangan di perut, lalu buang napas pendek-pendek, lalu ambil napas dalam dan pelan-pelan. Tangan mengikuti gerakan perut ketika membuang dan mengambil napas. Tarik napas sampai hitungan ketiga, dan tahan sampai hitungan ketiga, lalu buang napas selama hitungan ketiga, serta tahan napas lagi sampai hitungan, dan ulangi. Dengan irama yang bergantian, ambil napas dengan dua hitungan, hembuskan dalam empat hitungan (napas tidak ditahan) (Muhammad, 2013).

Gambar 2.6:Gerakan pernafasan perut Sumber.(Dennison, 2009)


(57)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan quasi eksperiment. Quasi eksperiment adalah penelitian yang menguji coba suatu intervensi pada sekelompok subjek dengan atau tanpa kelompok pembanding namun tidak dilakukan randomisasi untuk memasukkan subjek ke dalam kelompok perlakuan atau kontrol (Saryono, 2013).

Desain penelitian yang digunakan yaitu kuantitatif dengan pre and post test. Pada desain penelitian ini, peneliti hanya melakukan intervensi pada satu kelompok tanpa pembanding. Efektifitas perlakuan dinilai dengan cara membandingkan nilai post-test dengan pre-test (Dharma, 2011). Adapun skema desain pre and post test without control group sebagai berikut:


(58)

Keterangan :

X : Intervensi Brain Gym

A1 : Skor kognitif pada lansia dalam kelompok intervensi sebelum mendapatkan intervensi Brain Gym.

A2 : Skor kognitif pada lansia dalam kelompok intervensi setelah mendapatkan intervensi Brain Gym.

3.2 Waktu dan Tempat

Penelitian ini akan dilaksanakan di Panti Tresna Werdha Natar Lampung Selatan. Proses intervensi akan dilakukan diruangan serba guna atau aula. Penelitian ini dimulai dari pengambilan data (pre-test) pada bulan Oktober pada lansia di Panti Tresna Werdha Natar Lampung Selatan. Kemudian dilakukan Brain Gym terhadap responden, dilanjutkan dengan pengambilan data post-test.

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

Populasi adalah sekelompok subjek yang menjadi sasaran penelitian (Nursalam, 2011). Yang menjadi populasi dalam penelitian adalah lansia di Panti Tresna Werdha Natar Lampung Selatan yang berjumlah 90 orang.


(59)

3.3.2 Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan sampling tertentu untuk dapat mewakili populasi (Notoatmojo, 2010). Teknik sampling dalam penelitian ini adalah total sampling dimana semua populasi menjadi sampel (Sugiyono, 2013). Jumlah populasi yang hanya 90 menjadi alasan peneliti mengambil teknik total sampling agar hasil yang didapatkan lebih signifikan. Pemilihan sampel didasarkan pada kriteria inklusi dan ekslusi yang ditentukan oleh peneliti, yaitu:

3.3.2.1 Kriteria inklusi

Kriteria inklusi merupakan kriteria dimana subjek penelitian mewakili sampel penelitian yang memenuhi syarat sebagai sampel (Nursalam, 2011). Kriteria inklusi dalam penelitian ini meliputi :

1. Bersedia diteliti

2. Berada di tempat saat penelitian 3. Mampu berkomunikasi dengan baik

3.3.2.2 Kriteria eksklusi

Kriteria eksklusi merupakan kriteria dimana subjek penelitian tidak dapat mewakili sampel karena tidak memenuhi syarat


(60)

sebagai sampel penelitian, seperti halnya adanya hambatan etis, menolak menjadi responden atau suatu keadaan yang tidak memungkinkan untuk dilakukan penelitian (Nursalam, 2011). Kriteria eksklusi dalam penelitiaan ini adalah:

1. Lansia yang mengalami sakit

2. Lansia yang mengalami gangguan pengelihatan 3. Lansia yang mengalami penurunan kesadaran 4. Tidak mengikuti Brain Gym sampai akhir 5. Lansia yang tidak koperatif

3.4 Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat, dan ukuran yang dimiliki atau didapatkan oleh satuan penelitian tentang sesuatu konsep pengertian tertentu (Notoatmodjo, 2007). Jenis variabel penelitian yang digunakan yaitu:

3.4.1 Variabel bebas (independent)

Variabel bebas (independent variable) adalah variabel yang menjadi sebab atau berubahnya dependent variable. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah Brain Gym.


(61)

3.4.2 Variabel terikat (dependent)

Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi oleh atau yang menjadi akibat adanya variabel bebas dan variabel ini sering disebut respon output (Sugiyono, 2013). Variabel dependen dalam penelitiaan ini adalah fungsi kognitif. Variabel dependen akan diukur sebelum dan sesudah diberikan terapi kognitif yakni Brain Gym pada responden. Instrumen pengukuran status kognitif lansia digunakan Mini Mental Status Examination (MMSE).

3.4.3 Variabel perancu (confounding)

Variabel confounding yang mungkin dalam penelitian ini adalah karakteristik lansia yang mengalami perubahan fisik dan psikososial. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi penelitiaan ini adalah perubahan fisik (sakit fisik dan lama sakit), jenis kelamin, dan perubahan aspek psikososial (pendidikan).


(62)

3.5 Deifinisi operasional

Tabel 3.1: Definisi Operasional

Variabel Definisi

Operasional

Alat ukur Skala Hasil ukur

Independent

Brain gym Brain gym

adalah serangkaian latihan berbasis gerakan tubuh sederhana untuk merangsang otak kiri dan kanan, Merelaksasi belakang otak dan depan otak, merangsang sistem yang terkait dengan

perasaan atau

emosional.

Gerakan Brain Gym

Dennison 2009

Nominal 1. Ya


(63)

Dependent Fungsi Kognitif Kognitif adalah proses berfikir seseorang untuk memperoleh pengetahuan dengan cara mengingat, memahami, menilai, dan berbahasa. Kuesioner Mini mental status eximinitat ion (MMSE) sejumlah 11 pertanyaan

Numerik Skoring

fungsi kognitif

3.6 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar mempermudah peneliti dan hasilnya lebih baik (Saryono, 2013). Instrumen harus memenuhi syarat validitas dan reliabilitas. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu lembar dokumentasi dan lembar observasi yang berisikan data responden dan hasil pengamatan selama penelitian. Sebelum mengisi instrumen, responden diminta kesediannya dan diberi inform consent. Fungsi kognitif diukur dengan menggunakan penilaian Mini Mental State Examination (MMSE) yakni menggunakan formulir baku yang terstruktur atas 11 pertanyaan dengan skor yang telah ditetapkan untuk setiap pertanyaan. Tes ini terdiri atas dua


(64)

bagian, bagian pertama merupakan respon vokal yang meliputi pemeriksaan orientasi, memori dan atensi dengan jumlah skor 21. Bagian kedua meliputi kemampuan untuk menyebutkan nama, mengikuti perintah verbal dan tulisan, menuliskan kalimat dan mengkopi gambar poligon serupa gambar Bender-Gestalt dengan jumlah skor sembilan, total skor adalah 30.

3.7 Validitas dan Reliabilitas Instrumen

Reliabilitas untuk instrumen Mini Mental State Examination (MMSE) telah di uji oleh National Institute of Mental Health USA. Terdapat korelasi yang baik dengan nilai IQ pada Wechsler Adult Intelegence Scale (WAIS). Sensitivitas instrumen ini didapatkan hingga 87% dan spesifitasnya 82% untuk mendeteksi fungsi kognitif (Tatemichi et al.,1997 dalam Setyopranoto et al., 1999). Selain itu instrumen Mini Mental State Examination (MMSE) telah dicoba terapkan oleh Tedjasukmana et al., dengan tingkat sensitivitas 100% dan spesifitas 90% (Tedjasukmana et al., 1998).

3.8 Teknik Pengumpulan Data

1. Data primer

Kuisioner untuk memperoleh data mengenai data umum data identitas lansia tanpa nama (anonim), umur, jenis kelamin, pendidikan dan kuisioner untuk mengetahui daya ingat lansia.


(65)

2. Data sekunder

Data tentang status kesehatan dan riwayat kesehatan lansia serta keadaan umum lansia berupa kebiasaan lansia di Panti Tresna Werdha Natar Lampung Selatan.

3.9 Prosedur penelitian

Proses pengumpulan materi yang digunakan dalam pembuatan proposal yang kemudian diseminarkan. Proses jalannya penelitian adalah sebagai berikut: 1. Tahap persiapan

Mempersiapkan materi dan konsep yang mendukung penelitian. Tahap persiapan dilakukan sejak September 2014, dimana peneliti mulai membaca berbagai jurnal dan referensi untuk mencari topik penelitian. Setelah memutuskan untuk meneliti mengenai pengaruh Brain Gym terhadap perubahan fungsi kognitif pada lansia di Panti Tresna Werdha Natar Lampung Selatan, peneliti kembali mencari literatur untuk mendalami topik penelitian. Melaksananakan studi pendahuluan kepada lansia di Panti Tresna Werdha Natar Lampung Selatan untuk dapat menentukan sampel. Menyusun proposal penelitian yang terlebih dahulu dikonsultasikan kepada Pembimbing I dan Pembimbing II.

2. Tahap pelaksanaan

1. Mengumpulkan data sekunder lansia di Panti Tresna Werdha Natar Lampung Selatan


(66)

2. Pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2014. Pengambilan data dilakukan pada pagi hari dengan cara peneliti mengadakan pendekatan dengan responden dan menjelaskan tujuan serta manfaat penelitian (informed consent). Sebelum dilakukan pengisian kuisioner, peneliti menjelaskan cara pengisian. Peneliti dibantu oleh asisten penelitian yang berjumlah tiga orang. Sebelum penelitian, asisten penelitian menyamakan persepsi dengan peneliti agar para lansia mendapatkan informasi yang sama. Sebelum di berikan Brain Gym lansia diukur fungsi kognitifnya sebagai pre-test menggunakan MMSE, kemudian diberikan Brain Gym.

3. Lansia diberi perlakuan brain gym dengan alat bantu video selama ± 15 menit selama tiga minggu pada bulan Oktober 2014. Post-test dilakukan satu hari setelah perlakuan dengan menggunakan pertanyaan dari kuesioner Mini mental status eximinitation untuk mengetahui fungsi kognitif pada lansia. Pada referensi buku tentang Brain Gym tidak ada yang mendasari ditentukanya Brain Gym harus dilakukan berapa kali. Dilanjutkan dengan post-test menggunakan kuesioner MMSE.

4. Menindaklanjuti dari pengumpulan data yaitu dengan melakukan pengecekan. Setelah pre-test dan post-test MMSE, peneliti mengumpulkan data dan memeriksa kelengkapannya.


(67)

5. Melakukan seleksi data yang sesuai kemudian diolah menggunakan komputer.

6. Membuat laporan hasil penelitian.

3.10 Analisa data dan pengujian hipotesa

Hasil pemeriksaan fungsi kognitif yang terkumpul dianalisis menggunakan program statistik.

1. Analisis univariat

Analisis univariat dilakukan untuk menganalisis variabel-variabel yang ada secara deskriptif dengan menghitung distribusi frekuensi data demografi yang terdiri dari jenis kelamin, umur dan pendidikan. Analisis univariat pada penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karasteristik responden (usia, jenis kelamin, dan pendidikan), mengetahui skor MMSE sebelum mendapat Brain Gym, dan mengetahui skor MMSE sesudah mendapat Brain Gym.

2. Analisis bivariat

Analisis bivariat merupakan analisis yang dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan atau pengaruh atara variabel bebas dan variabel terikat. Uji normalitas disini menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov karena sampel data lebih dari 50 (Dahlan, 2013). Untuk mengetahui pengaruh dari perlakuan terhadap perubahan fungsi kognitif lansia digunakan uji t test berpasangan, apabaila tidak


(68)

memenuhi syarat (data tidak berdistribusi normal) maka dapat dipilih uji Wilcoxon signed rank test.

3.11 Etik Penelitian

Penelitian ini telah diajukan kepada tim etik Fakultas Kedokteran Universitas Lampung, adapun ketentuan etik yang telah ditetapkan sebagai berikut:

1. Persetujuan riset (informed consent)

Informed consent merupakan proses pemberian informasi yang cukup dan dapat dimengerti oleh responden mengenai partisipasinya dalam suatu penelitian. Hal ini meliputi pemberian informasi kepada responden mengenai hak dan kewajiban dalam suatu penelitian, serta mendokumentasikan sifat kesepakatan dengan cara menandatangani lembar persetujuan bila responden bersedia diteliti.

2. Tanpa nama (Anonymity)

Tidak memberikan atau mencantumkan nama responden dan hanya menuliskan inisial atau kode pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang akan disajikan.

3. Kerahasiaan (Confidentiality)

Merupakan tanggung jawab peneliti untuk melindungi semua informasi ataupun data yang dikumpulkan selama dilakukannya penelitian. Informasi tersebut hanya akan diketahui oleh tim peneliti dan pembimbing atas persetujuan responden.


(69)

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Terdapat pengaruh brain gym terhadap perubahan fungsi kognitif pada pada lanjut usia di Panti Tresna Werdha Natar Lampung Selatan dengan p value 0,000.

2. Rerata nilai kognitif responden sebelum diberikan intervensi brain gym pada pada lanjut usia di Panti Tresna Werdha Natar Lampung Selatan adalah 25,0361.

3. Rerata nilai kognitif responden setelah diberikan intervensi brain gym pada pada lanjut usia di Panti Tresna Werdha Natar Lampung Selatan adalah 27,4940.

4. Terdapat perubahan skor fungsi kognitif sebelum brain gym dan skor fungsi kognitif setelah brain gym pada lanjut usia di Panti Tresna Werdha Natar Lampung selatan dengan hasil positive ranks 54 responden, ties 21 responden dan negative ranks 8 responden.


(70)

5.2 Saran

1. Bagi Panti Tresna Werdha Natar Lampung Selatan

Memasukan Brain Gym atau latihan senam otak dalam program perencanaan kegiatan pada lansia untuk mengoptimalkan fungsi kognitif dengan Brain Gym.

2. Bagi tenaga kesehatan

Bagi tenaga kesehatan hendaknya lebih meningkatkan penyuluhan tentang kesehatan lansia, pemberian kegiatan kelompok lansia sebagai tindakan meningkatkan fungsi kognitif seperti Brain Gym.

3. Bagi peneliti lain

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi kelanjutan penelitian. Dan untuk kesempurnaan penelitian ini hendaknya dilakukan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan fungsi kognitif.


(71)

DAFTAR PUSTAKA

Ambon D. 2010. Clinical Research Study, The American Journal of Medicine. Elsecier Inc, Hal. 267−74.

Aru WS, Setiyohadi B, Simadribrata M, Setiati S. 2009. Proses Menua dan Implikasi Kliniknya Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi 4. Jakarta : Internal Publishing.

Asosiasi Alzheimer Indonesia. 2003. Konsensus Nasional Pengenalan dan Penatalaksanaan Demensia Alzheimer dan Demensia Lainnya. Edisi 1, Hal. 39−47.

Atun M. 2010. Lansia sehat dan bugar. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Badan Pusat Statistik. 2010. Data Statistik Indonesia: Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur, Jenis Kelamin, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.

Beck AT, Rush AJ, Shaw BF, Emery G. 1979. Cognitive Therapy of Depression. New York: Guilford Press.


(72)

(3):311−341.

Brain Gym International. 2008. Diakses 21 September 2014, dari http://braingym.org/studies.

Bustan MN. 2007. Epedemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta : Rineka Cipta.

Christensen H, Mackinnon AJ, Korten AE, Jorm AF, Henderson AS, Jacomb P., et al. 1999. An Analysis of Diversity in the Cognitive Performance of Elderly Community Dwellers: Individual Differences in Change Scores as a Function of Age. Journal Psychology and Aging. Vol. 14(3):365−379.

Dahlan S. 2013. Stastitika Untuk Kedokteran dan Kesehatan. Edisi 5. Jakarta: Salemba Medika.

Dalton R, Bryan H. 2008. Brain Gym for aged care: a case study.

Darmajo B. 2009. Teori Proses Menua. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI.

Demuth E. 2007. Brain Gym(R) Pedoman Senam Otak Bagi Guru dan Peminat. Jakarta: Yayasan Kinesiologi Indonesia.


(73)

Departemen kesehatan RI. 2008. Pedoman Pembinaan Kesehatan Usia Lanjut Bagi Petugas Kesehatan. Jilid 1. Jakarta: Direktorat Pembina Kesehatan Masyarakat.

Dharma. 2011. Metodologi Penelitian Keperawatan : Panduan Melaksanakan dan Menerapkan Hasil Penelitian. Jakarta : Trans Infomedia.

Fatimah, (2010). Merawat Manusia Lanjut Usia Suatu Pendekatan Proses Keperawatan Gerontik. Jakarta : Trans Info Medika.

Festi, P. 2010. Pengaruh Brain Gym Terhadap Peningkatan Fungsi Kognitif Lansia di Karang Werdha Peneleh Surabaya. Skripsi. Surabaya : Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surabaya.

Geda YE, Topazian HM, Lewis RA, Roberts RO, Knopman DS, Pankratz VS., et al. 2011. Enganging in Cognitive Activities Aging and Mild Cognitive Impairment. The Journal of Neuropsychiatry and Clinical Neurosciences, Vol.23(2):149−154.


(74)

With Vascular Dementia in Yogyakarta. Journal Neuro Science, Vol.285(1):267.

Gunadi, T. 2009. 24 Gerakan Meningkatkan Kecerdasan Anak. Jakarta: Penebar plus.

Hann MN, Shemanski L, Jagust WJ, Manolio TA, Kuller L. 1999. The Role of APOE in Modulating Effects of Other Risk Factors for Cognitive Decline in Elderly Persons. Journal of American Medical Association,Vol 281(1):40−46.

Hannaford C. 2005. Smart Moves: Why Learning Is Not All In Your Head. Great River Books.

Hartati. 2010. Asesmen Untuk Demensia. Semarang : Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro.

Hartono B. 2002. Konsep dan Pendekatan Masalah Kognitif Pada Usia Lanjut : Terfokus Pada Deteksi Dini, Hal. 1−6. Semarang: Badan Penerbit UNDIP.


(75)

Cognitive Therapy and Research, Vol. 4:383−395.

Hyatt JK. 2007. Brain Gym : Building Stronger Brains or Wishful Thinking. Journal Remedial and Special Education. Hal.117.

Iqbal W, Mubarak. 2009. Ilmu Keperawatan Komunias: Konsep dan Aplikasi. Jakarta : Salemba Medika.

Johnson, MH. 2005. Developmental Cognitive Neuroscience. Edisi 2. Oxford : Blacwell Publishing.

Kaplan JB, Sadock TC. 2004. Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi 2. Jakarta: EGC.

Kuntjoro, Z. S. 2002. Dukungan Sosial Pada Lansia. Surakarta : Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah.

Kusumoputro, Sidiarto. 2004. Mengenal Awal Pikun Alzheimer. Jakarta: UI-press.

Lisnaini. 2012. Senam Vitalisasi Otak Dapat Meningkatkan Fungsi Kognitif Usia Dewasa Muda, Jurnal Kesehatan, Vol. 1(2):102−110. Jakarta : Universitas Kristen Indonesia.


(76)

of Psychology Capella University.

Maramis, Willy F, Maramis, Albert A. 2009. Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga.

Maquiere. 2000. Brain Gym, The Topytight Owners Reverve All Right to its Reproduction. Spain : Cataluya.

Maryam, Fatma, Rosidawati, Juabed, Batubara. 2011. Mengenal Usia Lanjut Dan Perawatannya. Jakarta: Salemba Medika.

Muhammad A. 2013. Tutorial Senam Otak Untuk Umum. Jakarta : Flash Books.

Myers JS. 2008. Factors Associated with Changing Cognitive Function in Older Adults, Implications for Nursing Rehabilitation. Medical Library Proquest.

Nehlig A. 2010. Is Affeine a Cognitive Enhancer?. Journal of alzheimer’s Disease, Vol. 20:85─94.

Notoatmodjo S. 2007. Promosi Kesehatan & Ilmu Perilaku. Jakarta: PT Rineka Cipta.


(77)

Nugroho W. 2008. Keperawatan Gerontik dan Geratrik. Jakarta: EGC.

Nursalam. 2011. Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu. Edisi 2. Jakarta : Salemba Medika.

Ortega MP, Azanza MA, Gatchalian GF. 2000. Food Savety Knowledge and Pratice of Streetfood Vendors in Philippines University Campus. International Journal of Food Science and Nutrition, Vol. 51:235−246.

Paula. 2010. Pengaruh Senam Otak Terhadap Peningkatan Daya Ingat Lansia di Panti Werdha Karya Kasih Mongonsidi. Skripsi. Medan : Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

Podder T. 2004. Smart Memory. New Delhi: Pustak Mahal.

Pudjiastuti, S. 2003. Fisoterapi Pada Lansia. Jakarta : EGC.

Ramdhani N. 2008. Sikap dan Beberapa Definisi Untuk Memahaminya. Jakarta: EGC.


(78)

Muhammadiyah.

Rekawati E. 2004. Faktor-faktor sosiodemografi yang berhubungan dengan terjadinya kepikunan pada usia lanjut di Indonesia berdasarkan data susenas tahun 2001. Tesis magister. Jakarta : FKM UI.

Requejo AM, Ortega RM, Robles F, Navia B, Faci M, Aparicio A. 2003. Influence of Nutrition on Cognitive Function in a Group of Elderly Independently Living People. European Journal of Clinical Nutrition, Vol.55(6):1237−1243.

Ros Endah. 2009. Perbedaan Karakteristik Lansia dan Dukungan Keluarga Terhadap Tipe Demensia Pada Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Gatak Sukoharjo. Skripsi. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Rosidawati. 2011. Mengenal Usia Lanjut. Jakarta: Salemba Medika.

Saryono. 2013. Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Yogyakarta: Nuha Medika.


(79)

Journal of Geriatric Psychiatric,Vol. 15(8):716−726.

Semiun Y. 2006. Kesehatan Mental 3. Jogjakarta: Kanisius.

Setyopranoto I, Lamsudin R. 1999. Kesepakatan Penilaian Mini Mental State Examination (MMSE). Journal Neuro Sains, Vol.1:3−76. Yogyakarta : RSUP Dr. Sardjito.

Sosnoff JJ, Broglio SP, Ferrara MS. 2008. Cognitive and Motor Function Are Associated Following Mild Traumatic Brain Injury. Experimental Brain Research, Vol.187(4):563−571.

Spar JE, La Rue A. 2006. Clinical Manual of Geriatric Psychiatry. Washington DC : American Psychiatric Publishing, Inc.

Stanley. 2010. Buku Ajar Keperawatan. Jakarta: EGC.

Sugiyono. 2013. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: CV Alfabeta.

Supardjiman. 2007. Buku Panduan Brain Gym Senam Otak. Jakarta : Grasindo Gramedia Widiarsana Indonesia.


(80)

Tatemichi TK, Paik M, Bagiella P, Desmond DW, Stern Y, Sano M. 1997. Cognitive Impairment After Stroke : Frequency, Patterns, and Relationship to Functional Abilities. Journal Neurol Neurosurg and Psychiatry, Vol. 57:202─207.

Tedjasukmana R, Wendra A, Sutji H, Sidiarta K. 1998. The Mini Mental State Examination in Healthy Individuals In Jakarta A Preliminary Study. Journal Preliminary Study, Vol.15:4−8.

Tomporowski PD. 2003. Effects of Acute Bouts of Exercise On Cognition. Journal of Psychology, Vol. 112 (3):297−324.

Vaynman S, Gomez PF. 2005. License to run: exercise impacts functional plasticity in the intact and injured central nervous system by using neurotrophins. Journal Neurorehabil Neural Repair, Vol. 19:283–295.

Wiyoto. 2002. Gangguan Fungsi Kognitif Pada Stroke. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan, Bagian Ilmu Penyakit Saraf. Surabaya: FK UNAIR.


(81)

Elderly in Taiwan. BMC Public Health.

Yao S, Zeng H, Sun S. 2009. Investigation on Status and Influential Factors of Cognitive Function of the Community Elderly in Changsha City. Journal of Gerontology and Geriatrics, Vol. 49(3):329−334.

Yeh SCJ, Liu YY.2003. Influence of Social Support on Cognitive Function in the Elderly. BMC Heakth Services Research.

Zulsita, Arni. 2010. Gambaran Kognitif pada Lansia di RSUP H Adam Malik Medan dan Puskesmas Petisah Medan. Mahasiswa Kedokteran Universitas Sumatera Utara.


(1)

Loecke AM. 2007. The Correlation of Activity Participation and Maintenance of Cognitive Functioning in Nursing Home Resident. United States : School of Psychology Capella University.

Maramis, Willy F, Maramis, Albert A. 2009. Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga.

Maquiere. 2000. Brain Gym, The Topytight Owners Reverve All Right to its Reproduction. Spain : Cataluya.

Maryam, Fatma, Rosidawati, Juabed, Batubara. 2011. Mengenal Usia Lanjut Dan Perawatannya. Jakarta: Salemba Medika.

Muhammad A. 2013. Tutorial Senam Otak Untuk Umum. Jakarta : Flash Books.

Myers JS. 2008. Factors Associated with Changing Cognitive Function in Older Adults, Implications for Nursing Rehabilitation. Medical Library Proquest.

Nehlig A. 2010. Is Affeine a Cognitive Enhancer?. Journal of alzheimer’s Disease, Vol. 20:85─94.

Notoatmodjo S. 2007. Promosi Kesehatan & Ilmu Perilaku. Jakarta: PT Rineka Cipta.


(2)

Notoatmodjo S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Nugroho W. 2008. Keperawatan Gerontik dan Geratrik. Jakarta: EGC.

Nursalam. 2011. Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu. Edisi 2. Jakarta : Salemba Medika.

Ortega MP, Azanza MA, Gatchalian GF. 2000. Food Savety Knowledge and Pratice of Streetfood Vendors in Philippines University Campus. International Journal of Food Science and Nutrition, Vol. 51:235−246.

Paula. 2010. Pengaruh Senam Otak Terhadap Peningkatan Daya Ingat Lansia di Panti Werdha Karya Kasih Mongonsidi. Skripsi. Medan : Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

Podder T. 2004. Smart Memory. New Delhi: Pustak Mahal.

Pudjiastuti, S. 2003. Fisoterapi Pada Lansia. Jakarta : EGC.

Ramdhani N. 2008. Sikap dan Beberapa Definisi Untuk Memahaminya. Jakarta: EGC.


(3)

Ranita W, Purwonto S. 2009. Efektifitas Brain Gym Dalam Menurunkan Stress Pada Anak. Jurnal Kesehatan, Vol. 2(2):137−146. Surakarta : Universitas Muhammadiyah.

Rekawati E. 2004. Faktor-faktor sosiodemografi yang berhubungan dengan terjadinya kepikunan pada usia lanjut di Indonesia berdasarkan data susenas tahun 2001. Tesis magister. Jakarta : FKM UI.

Requejo AM, Ortega RM, Robles F, Navia B, Faci M, Aparicio A. 2003. Influence of Nutrition on Cognitive Function in a Group of Elderly Independently Living People. European Journal of Clinical Nutrition, Vol.55(6):1237−1243.

Ros Endah. 2009. Perbedaan Karakteristik Lansia dan Dukungan Keluarga Terhadap Tipe Demensia Pada Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Gatak Sukoharjo. Skripsi. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Rosidawati. 2011. Mengenal Usia Lanjut. Jakarta: Salemba Medika.

Saryono. 2013. Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Yogyakarta: Nuha Medika.


(4)

Scanlan JM, Tarigan S. 2007. Cognitive Impairment, Disorder Burden and Functional Disability: A Population Study of Older Italians. The American Journal of Geriatric Psychiatric,Vol. 15(8):716−726.

Semiun Y. 2006. Kesehatan Mental 3. Jogjakarta: Kanisius.

Setyopranoto I, Lamsudin R. 1999. Kesepakatan Penilaian Mini Mental State Examination (MMSE). Journal Neuro Sains, Vol.1:3−76. Yogyakarta : RSUP Dr. Sardjito.

Sosnoff JJ, Broglio SP, Ferrara MS. 2008. Cognitive and Motor Function Are Associated Following Mild Traumatic Brain Injury. Experimental Brain Research, Vol.187(4):563−571.

Spar JE, La Rue A. 2006. Clinical Manual of Geriatric Psychiatry. Washington DC : American Psychiatric Publishing, Inc.

Stanley. 2010. Buku Ajar Keperawatan. Jakarta: EGC.

Sugiyono. 2013. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: CV Alfabeta.

Supardjiman. 2007. Buku Panduan Brain Gym Senam Otak. Jakarta : Grasindo Gramedia Widiarsana Indonesia.


(5)

Tanushree P. 2010. Smart Memory. New Delhi: Pustak Mahal.

Tatemichi TK, Paik M, Bagiella P, Desmond DW, Stern Y, Sano M. 1997. Cognitive Impairment After Stroke : Frequency, Patterns, and Relationship to Functional Abilities. Journal Neurol Neurosurg and Psychiatry, Vol. 57:202─207.

Tedjasukmana R, Wendra A, Sutji H, Sidiarta K. 1998. The Mini Mental State Examination in Healthy Individuals In Jakarta A Preliminary Study. Journal Preliminary Study, Vol.15:4−8.

Tomporowski PD. 2003. Effects of Acute Bouts of Exercise On Cognition. Journal of Psychology, Vol. 112 (3):297−324.

Vaynman S, Gomez PF. 2005. License to run: exercise impacts functional plasticity in the intact and injured central nervous system by using neurotrophins. Journal Neurorehabil Neural Repair, Vol. 19:283–295.

Wiyoto. 2002. Gangguan Fungsi Kognitif Pada Stroke. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan, Bagian Ilmu Penyakit Saraf. Surabaya: FK UNAIR.


(6)

Wu MS, Lan TH, Chen CM, Chiu HC, Lan TY. 2011. Sociodemographic and Health Related Factors Associated With Cognitive Impairment in the Elderly in Taiwan. BMC Public Health.

Yao S, Zeng H, Sun S. 2009. Investigation on Status and Influential Factors of Cognitive Function of the Community Elderly in Changsha City. Journal of Gerontology and Geriatrics, Vol. 49(3):329−334.

Yeh SCJ, Liu YY.2003. Influence of Social Support on Cognitive Function in the Elderly. BMC Heakth Services Research.

Zulsita, Arni. 2010. Gambaran Kognitif pada Lansia di RSUP H Adam Malik Medan dan Puskesmas Petisah Medan. Mahasiswa Kedokteran Universitas Sumatera Utara.