PENGARUH SENAM OTAK TERHADAP LANSIA DENGAN GANGGUAN INSOMNIA DI PANTI TRESNA WERDHA NATAR LAMPUNG SELATAN

(1)

BRAIN GYM EFFECT ON THE ELDERLY WITH INSOMNIA IN TRESNA WERDHA NURSING NATAR SOUTH LAMPUNG

RAISSA ULFAH FADILLAH ABSTRACT

Sleep disorder is one of the disease that occur in the elderly, research shown 50 % attack 65 years or older who were living at home and 66% of elderly whom living in long-term facilities. Therapies that can be used for sleep disorders (insomnia) is brain gym. The purpose of this research was to determine the effect of brain brain gym on elderly with insomnia or sleeping disorder. The method in this research is Quasi Experimental Pre - Post Test with brain gym intervention. This research is located at Tresna Werdha Nursing, South Lampung in October 2014. The population used in this study were all elderly in Treshna Wherda Nursing South Lampung Natar, and amounting to 90 people. The sampling method is using total sampling. The statistical analysis in this study is using paired the t-test. The result of this study is the mean value of the score insomnia respondents before given brain gym is 25.5181. The mean score of insomnia respondents after given brain gym is 21.4578. The mean score of insomnia among respondents after given brain exercise is lower than the score of insomnia in the respondents before being given a brain gym with a difference of 4.0603. The conclusion of this study that there is an influence of brain exercises to decrease the score of insomnia in the elderly with p value of 0.000.


(2)

PENGARUH SENAM OTAK TERHADAP LANSIA DENGAN GANGGUAN INSOMNIA DI PANTI TRESNA WERDHA NATAR

LAMPUNG SELATAN

RAISSA ULFAH FADILLAH ABSTRAK

Gangguan tidur merupakan salah satu gangguan yang terjadi pada lansia, 50% menyerang usia 65 tahun atau lebih yang tinggal dirumah dan 66% lansia yang tinggal di fasilitas jangka panjang. Terapi yang dapat dilakukan untuk gangguan tidur (insomnia) adalah senam otak. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh senam otak terhadap gangguan insomnia pada lansia. Metode penelitian ini adalah Quasi Experimental Pre-Post Test dengan intervensi senam otak. Penelitian dilaksanakan di Panti Treshna Werdha Natar, Lampung Selatan pada bulan Oktober 2014. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh lansia di Panti Treshna Wherda Natar Lampung Selatan yang berjumlah 90 orang. Metode pengambilan sampel menggunakan total sampling. Adapun analisis statistik yang digunakan pada penelitian ini adalah uji t-test. Hasil penelitian ini adalah rerata skor insomnia responden sebelum diberikan senam otak adalah 25.5181. Rerata skor insomnia responden setelah diberikan senam otak adalah 21.4578. Rerata skor insomnia pada responden setelah diberikan senam otak lebih rendah dari skor insomnia pada responden sebelum diberikan senam otak dengan selisih sebesar 4,0603. Kesimpulan penelitian ini adalah terdapat pengaruh senam otak terhadap penurunan skor insomnia pada lansia dengan p value 0,000.


(3)

PENGARUH SENAM OTAK TERHADAP LANSIA DENGAN GANGGUAN INSOMNIA DI PANTI TRESNA WERDHA NATAR

LAMPUNG SELATAN

Oleh

RAISSA ULFAH FADILLAH 111801104

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA KEDOKTERAN

Pada

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(4)

PENGARUH SENAM OTAK TERHADAP LANSIA DENGAN GANGGUAN INSOMNIA DI PANTI TRESNA WERDHA NATAR

LAMPUNG SELATAN

(Skripsi)

Oleh

RAISSA ULFAH FADILLAH 1118011104

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(5)

i

DAFTAR GAMBAR

Daftar Gambar Halaman

1. Gerakan 8 Tidur ... 21

2. Gerakan Putaran Leher... 22

3. Gerakan Burung Hantu ... 23

4. Gerakan Mengaktifkan Tangan ... 24

5. Gerakan Pasang Telinga... 25

6. Gerakan Pernafasan Perut ... 26

7. Kerangka Teori ... 28

8. Kerangka Konsep ... 30

9. Jenis Penelitian ... 39

10. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin ... 53


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR GAMBAR ... i

DAFTAR TABEL ... ii

DAFTAR LAMPIRAN ... iii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3 . Tujuan Penelitian ... 4

1.4 . Manfaat Penelitian ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1. Lansia ... 5

2.1.1. Definisi Lansia ... 6

2.1.2. Teori Penuaan ... 7

2.1.2.1 Teori Biologis ... 7

2.1.2.1 Teori Psikologis ... 9

2.1.3. Perubahan Fisik dan Psikis pada Lansia ... 11

2.1.2.1 Perubahan Fisik ... 12

2.1.2.1 Perubahan Psikis ... 13

2.2. Insomnia ... 14

2.2.1. Definisi Insomnia ... 14

2.2.2. Patofisiologi Insomnia... 14

2.2.3. Etiologi Insomnia ... 15


(7)

ii

2.2.5. Gejala Insomnia... 18

2.2.6. Insomnia pada Lansia ... 18

2.2.7. Alat Ukur Insomnia ... 19

2.3. Senam Otak ... 22

2.3.1 Definisi Senam Otak ... 22

2.3.2 Tekhnik Pelaksanaan Senam Otak ... 23

2.3.2.1 Lateralisasi (sisi) ... 24

2.3.2.2 Fokus ... 27

2.3.2.3 Pemusatan ... 31

2.4. Kerangka Pemikiran ... 33

2.4.1. Kerangka Teori... 33

2.4.2. Kerangka Konsep ... 36

2.6. Hipotesis Penelitian ... 36

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 38

3.1 Rancangan Penelitian ... 38

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 39

3.3 Populasi dan Sampel ... 40

3.3.1 Populasi ... 40

3.3.2 Sampel ... 40

3.3.2.1 Kriteria Eksklusi ... 41

3.4. Variabel Penelitian... 41

3.4.1 Variabel Bebas ... 42

3.4.1 Variabel Terikat ... 42

3.4.1 Variabel Perancu... 42

3.5. Definisi Operasional... 43

3.6. Instrumen Penelitian... 45

3.6.1 Validitas dan Reabilitas Instrumen ... 47

3.7. Tekhnik Pengumpulan Data ... 47

3.7.1 Data Primer ... 47

3.7.2 Data Sekunder ... 48


(8)

3.9. Analisa Data dan Pengujian Hipotesa ... 50

3.9.1. Analisis Univariat ... 50

3.9.2. Analisis Bivariat ... 51

3.10 Analisa Data dan Pengujian Hipotesa ... 53

3.11 Etik Penelitian ... 54

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 55

4.1 Hasil ... 55

4.1.1 Analisis Univariat ... 56

4.1.2 Analisis Bivariat ... 56

4.2 Pembahasan ... 57

4.2.1 Analisis Univariat ... 58

4.2.2 Analisis Bivariat ... 61

4.3 Keterbatasan Penelitian ... 69

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 71

5.1 Simpulan ... 71

5.2 Saran ... 72 DAFTAR PUSTAKA


(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

Lampiran 1 : Etik penelitian Lampiran 2 : Output SPSS

Lampiran 3 : Lembar persetujuan (informed consent) Lampiran 4 : Lembar Kuesioner insomnia


(10)

DAFTAR TABEL

Daftar Tabel Halaman

1. Tabel Definisi Operasional ... 34

2. Tabel Karakteristik Responden Berdasarkan Usia ... 52

3. Tabel Rerata Skor Insomnia yang Melakukan Senam Otak ... 55

4. Tabel Analisis Perbedaan Skor Insomnia Berdasarkan Intervensi ... 56


(11)

(12)

(13)

(14)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 6 Oktober 1993, merupakan bungsu dari tiga bersaudara, dari pasangan Zaini Nurman, S.H., M.H dan Dra. Febriati.

Pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) diselesaikan di TK Kartini Bandar Lampung pada tahun 1999, Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SD Negeri 2 Rawa Laut Bandar Lampung pada tahun 2005, Sekolah Menengah Pertama (SMP) diselesaikan di SMP Negeri 2 Bandar Lampung pada tahun 2008, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) diselesaikan di SMA Negeri 2 Bandar Lampung pada tahun 2011.

Tahun 2011, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Lampung melalui jalur Ujian Mandiri (UM). Selama menjadi mahasiswa penulis pernah aktif pada organisasi Genitalial and Education Health (Gen-C) Fakultas Kedokteran Universitas Lampung sebagai anggota.


(15)

i

SANWACANA

Puji syukur Penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan hidayah-Nya skripsi ini dapat diselesaikan. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad S.A.W.

Skripsi ini berjudul “Pengaruh Senam Otak Terhadap Lansia Dengan Gangguan Insomnia Di Panti Tresna Werdha Natar Lampung Selatan” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Kedokteran di Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Harianto, M.S., selaku Rektor Universitas Lampung;

2. Bapak Dr. Sutyarso, M. Biomed., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung atas masukan, ilmu, dan saran-saran yang telah diberikan;

3. Ibu Ratna Widiastuti, S. Psi, M. A., M. Psi, selaku Pembahas skripsi atas masukan, ilmu, dan saran-saran yang telah diberikan selama jalannya skripsi;


(16)

ii dalam proses penyelesaian skripsi ini;

5. dr. Liana Sidharti, M.KM., selaku Pembimbing Kedua atas kesediannya untuk memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini;

6. dr. Ari Wahyuni dan dr. Anggraini Janar Wulan, M. , selaku Pembimbing Akademik atas waktu dan bimbingannya selama perkuliahan;

7. Seluruh Staf Dosen Fakultas Kedokteran Unila atas ilmu yang telah diberikan kepada penulis untuk menambah wawasan yang menjadi landasan untuk mencapai cita-cita;

8. Seluruh Staf Tata Usaha, Administrasi, dan Akademik Fakultas Kedokteran Unila serta pegawai;

9. Papa, Zaini Nurman, S.H. M.H. yang selalu mendoakan, mencurahkan kasih sayang, memberikan motivasi, semangat, harapan dan selalu mendukung penulis dari awal hingga akhir;

10. Mama, Dra. Febriati yang selalu memberikan perhatian serta kasih sayang, selalu menyebutkan saya di setiap doanya, membimbing serta mendukung setiap langkah penulis;

11. Abang dan ibung, Wira Dikara, S.E. dan IPTU Muhammad Kasyfi Mahardika, S.H., yang selalu mendoakan, menghibur, memberikan semangat, serta perhatian yang tidak ada habisnya;

12. Kakak ipar, drg. Aprita Sharfina Linata dan dr. Tara Lesianida, yang sudah seperti kakak perempuan yang selalu mendukung, mendoakan dan


(17)

iii memberikan semangat selama pembuatan skripsi ini; serta keponakan-keponakan saya, Salwa, Dhiwa, dan Zhafir yang selalu menghibur dengan keceriaan mereka;

13. Keluarga terdekat saya (Oyen, Aya, Tante Nomi, Om Johan, Uncu, Ujuk, Iyak, Kak Izar, Ratu, Bung Eeng, Icam, Fikri) dan seluruh keluarga besar dari papa maupun mama yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas perhatian, dukungan dan doa yang telah diberikan;

14. Hein Intan Wulandari atas persahabatan mulai dari awal perkuliahan hingga saat ini, selalu membantu serta menjadi partner penelitian yang setia di kala susah maupun senang;

15. Kartika Yuana, Intan Ratna K, Nur Ayu Virginia I, Pradila Desty S, Sarah Carolin, Hein Intan, Andina Selia, Fabella Khoiriah, Dea Lita atas persahabatan dari awal hingga akhir ini, yang selalu ada dalam suka maupun duka;

16. Nadia Fakhrunnisa, Wenny Artha, Intan Ratna, Aryati Pratama, Keidya Twintananda, Patrisella Noviyana, Karina Ananta, Indita Nathania atas persahabatan dari SMP dan SMA, yang selalu mendukung serta mencurahkan perhatian, kritik dan saran selama ini;

17. Bu Mega yang telah banyak membantu dalam proses penelitian dan pengamatan di Panti Tresna Werdha Natar Lampung Selatan;

18. Hein, Sarah, Kartika, Intan, Andina, Nur Ayu, Pradila, Jaya yang telah membantu dalam proses survei penelitian, pengumpulan data, dan pengamatan;


(18)

iv kebersamaannya;

20. Teman-teman sejawat angkatan 2011 (Filla, Prianggara, Tryvanie, Agatha, Gede, Bela, Caca, Sakinah, Mahardika, Adit, Robby, Rifka, Fatwa, Resty dll) yang tidak bisa disebutkan satu per satu;

21. Kakak-kakak dan adik-adik tingkat saya (2002–2014) yang sudah memberikan semangat kebersamaan dalam satu kedokteran.

Akhir kata, Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Akan tetapi, semoga skripsi yang sederhana ini dapat bermanfaat dan berguna bagi kita semua. Aamiiin.

Bandar Lampung, Januari 2015 Penulis


(19)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lansia merupakan istilah bagi individu yang telah memasuki periode dewasa akhir atau usia tua. Periode ini merupakan periode penutup bagi rentang kehidupan seseorang, dimana telah terjadi kemunduran fisik dan psikologis secara bertahap (Hurlock, 2007). Dalam keputusan Menteri Sosial No. 3-1-50/107 tahun 1971 seseorang dapat dinyatakan sebagai orang jompo setelah yang bersangkutan mencapai usia 55 tahun, tidak mempunyai atau tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidupnya sehari-hari dan menerima nafkah dari orang lain.

Usia harapan hidup yang makin meningkat, dari 59,8 tahun pada tahun 1990 menjadi 64,5 tahun 2010 (Joomla, 2005). Kondisi tersebut menyebabkan jumlah populasi lansia makin meningkat. Lansia di Indonesia menurut survey Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2006 meningkat sebanyak 17.717.800 jiwa (7,90%) dan jumlah pada tahun 2010 sebesar 23.992.552 (9,7%) dan di prakirakan pada tahun 2020 akan meningkat sebesar 28.822.879 (11,34%). Hasil survey Badan Pusat


(20)

Statistik pada tahun 2011 di Lampung jumlah lansia adalah 496.740 (7,2%). Jumlah lansia yang ada di Panti Treshna Werda Natar menurut data adalah 90 orang.

Kebutuhan dasar yang harus dipenuhi adalah kebutuhan akan oksigen dan cairan elektrolit, nutrisi, eliminasi, seksualitas, aktivitas dan olah raga, keamanan, serta kebutuhan tidur dan istirahat (Lueckenotte, 2000). Akan tetapi kebutuhan dasar yang sering kali tidak disadari peranannya adalah kebutuhan tidur dan istirahat. Hal tersebut dikarenakan oleh akibat yang timbul dari tidak adekuatnya kebutuhan tidur secara perlahan, yaitu baru akan dirasakan jika sudah terjadi pada kerusakan fungsi otot dan otak, oleh karena itu dalam penelitian ini akan lebih difokuskan pada kebutuhan tidur. Gangguan tidur merupakan salah satu gangguan yang terjadi pada lansia, 50% menyerang usia 65 tahun atau lebih yang tinggal dirumah dan 66% lansia yang tinggal di fasilitas jangka panjang (Kaplan, 2007).

Menurut hasil penelitian Luce dan Segal tahun 2000 menunjukan bahwa sebagian besar responden yang berumur 60 sampai 74 tahun (elderly) yaitu sebesar 13 responden (81,25 %) sedangkan responden yang berumur 75 sampai 90 tahun (old) didapatkan sebesar tiga responden (18,75%). Hasil penelitian membuktikan bahwa responden yang mengalami insomnia lebih banyak pada kategori elderly dibandingkan old. Derajat insomnia responden yang umurnya 75-90 (old) berada dalam kategori derajat insomnia berat dan sedang. Hal tersebut diperkuat oleh Frost (2001) yang


(21)

3

menyatakan bahwa prevalensi gangguan tidur pada lansia cukup tinggi yaitu sekitar 67%.

Beberapa cara bisa dilakukan untuk mengatasi insomnia atau mengurangi gangguan tidur tersebut baik secara farmakologi maupun non farmakologi (Allison, 2012). Terapi non farmokologi terdiri dari sleep restriction, sleep hygiene, relaxation therapy, dan stimulus control therapy (Edinger et. al., 2001). Salah satu relaxation therapy yang dapat dilakukan adalah senam otak. Menurut Dennison tahun 2009 pada penelitiannya senam otak dapat mengurangi kondisi gangguan tidur. Pada prinsipnya dasar-dasar senam otak adalah melatih otak agar tetap bugar dan menghilangkan stress. Penelitian yang dilakukan oleh Jatmiko (2013) menunjukkan adanya penurunan skor gangguan tidur setelah diberikan terapi senam otak.

Kegiatan senam otak ditujukan untuk merelaksasi (dimensi pemusatan), menstimulasi (dimensi lateralis) dan meringankan (dimensi pemfokusan). Dimensi pemusatan dapat meningkatkan aliran darah ke otak, meningkatkan penerimaan oksigen sehingga dapat menghilangkan pikiran-pikiran negatif yang dapat menjadi gangguan tidur. Dimensi lateralis akan menstimulasi koordinasi kedua belahan otak. Dimensi pemfokusan untuk membantu melepaskan hambatan fokus dari otak. Dengan senam otak diharapkan lansia yang mengalami gangguan tidur dapat dihilangkan karena salah satu dampak dari gangguan tidur adalah depresi. Lansia yang depresi mempunyai pikiran negatif, berperilaku tidak bersemangat, kurang konsentrasi, tidak melakukan aktivitas sehari-hari sehingga dapat


(22)

termotivasi kembali untuk aktif dalam pemenuhan kebutuhan fisik maupun psikologisnya (Dennison, 2009).

Berdasarkan latar belakang masalah diatas peneliti merasa tertarik untuk mengetahui lebih jauh mengenai pengaruh senam otak terhadap insomnia pada lansia.

1.2 Rumusan Masalah

Lansia merupakan istilah bagi individu yang telah memasuki periode dewasa akhir atau usia tua. Periode ini merupakan periode penutup bagi rentang kehidupan seseorang, dimana telah terjadi kemunduran fisik dan psikologis secara bertahap. Gangguan tidur merupakan salah satu gangguan yang terjadi pada lansia, 50% menyerang usia 65 tahun atau lebih yang tinggal dirumah dan 66% lansia yang tinggal di fasilitas jangka panjang. Menurut Dennison pada penelitiannya senam otak dapat mengurangi kondisi gangguan tidur. Pada prinsipnya dasar-dasar senam otak adalah melatih otak agar tetap bugar dan menghilangkan stres.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas, maka dapat disimpulkan yang menjadi pokok permasalahan yaitu: Apakah terdapat pengaruh senam otak pada lansia terhadap gangguan insomnia?

1.3 Tujuan Penelitian


(23)

5

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui pengaruh senam otak terhadap gangguan insomnia pada lansia.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui angka kejadian insomnia di Panti Tresna Werdha Natar Lampung.

2. Mengetahui skor insomnia sebelum dilakukan senam otak di Panti Tresna Werda Natar Lampung Selatan.

3. Mengetahui skor insomnia sesudah dilakukan senam otak di Panti Tresna Werda Natar Lampung Selatan.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat: 1. Bagi ilmu pengetahuan

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pengetahuan mengenai kesehatan jiwa pada lansia.

2. Bagi peneliti

Diharapkan dapat menambah pengetahuan dibidang ilmu kesehatan jiwa sekaligus dapat menerapkan ilmu yang didapat selama perkuliahan.

3. Bagi institusi / masyarakat

a. Sebagai bahan kepustakaan dalam lingkungan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung


(24)

b. Bagi tenaga kesehatan, agar dapat digunakan sebagai referensi untuk terapi menurunkan skor insomnia.

c. Bagi masyarakat umum, agar dapat mengetahui manfaat dari senam otak terhadap skor insomnia.

1.5 Kerangka Pemikiran

1.5.1 Kerangka Teori

Pertambahan umur pada individu merupakan suatu proses yang fisiologi yang akan terjadi pada setiap manusia, pada proses penuaan seseorang akan mengalami berbagai masalah tersendiri baik secara fisik, mental, maupun sosioekonomi. Gangguan tidur atau insomnia merupakan salah satu gangguan yang terjadi pada lansia. Gangguan tidur menyerang 50% orang yang berusia 65 tahun atau lebih yang tinggal dirumah dan 66% lansia yang tinggal di fasilitas jangka panjang. Lansia mengalami penurunan efektifitas tidur pada malam hari 70% sampai 80% dibandingkan dengan usia muda. Presentase penderita insomnia lebih tinggi dialami oleh orang yang lebih tua, dimana satu dari empat pada usia 60 tahun atau lebih mengalami sulit tidur yang serius (Galea, 2008).

Ketika lansia mengalami ketegangan emosional, maka beberapa otot akan mengalami ketegangan sehingga mengaktifkan sistem saraf simpatis. Pada kondisi ini, secara fisiologis tubuh akan mengalami respon yang dinamakan respon fight or flight. Respon


(25)

7

ini memerlukan energi yang cepat, sehingga hati melepaskan lebih banyak glukosa untuk menjadi bahan bakar otot, dan terjadi pula pelepasan hormon yang menstimulasi perubahan lemak dan protein menjadi gula. Metabolisme tubuh meningkat sebagai persiapan untuk pemakaian energi. Sebagian besar perubahan fisiologis tersebut terjadi akibat aktivitas dua sistem neuroendokrin yang dikendalikan oleh hipotalamus yaitu sistem simpatis dan sistem kortek adrenal (Benson, 2000).

Aktifnya saraf simpatis membuat lansia tidak dapat santai atau relaks sehingga tidak dapat memunculkan rasa kantuk. Melalui senam otak lansia dilatih untuk dapat memunculkan respon relaksasi sehingga dapat mencapai keadaan tenang. Respon relaksasi ini terjadi melalui penurunan bermakna dari kebutuhan zat oksigen oleh tubuh, yang selanjutnya aliran darah akan lancar, neurotransmiter penenang akan dilepaskan, sistem saraf akan bekerja secara baik otot-otot tubuh yang relaks menimbulkan perasaan tenang dan nyaman (Purwanto, 2007).

Senam otak memberikan manfaat dalam mengurangi ketegangan emosional, dengan relaksnya otot dan pikiran bisa megurangi keluhan gangguan tidur. Prinsip senam otak adalah mengaktifkan otak kedalam tiga fungsi yakni, dimensi lateralis (otak kiri-kanan), dimensi pemfokusan (otak depan-belakang), dimensi pemusatan (otak atas-bawah). Masing-masing dimensi memiliki tugas tertentu,


(26)

sehingga gerakan senam yang harus dilakukan dapat bervariasi (Dennison, 2009). Hal ini dibuktikan pada penelitian yang dilakukan Jatmiko (2013) menunjukkan bahwa terjadi perubahan skor yang bermakna pada lansia yang mengalami insomnia setelah melakukan terapi senam otak.

Kerangka teori ini disusun dengan modifikasi konsep-konsep serta teori yang diuraikan diatas, yakni tentang lansia, insomnia pada lansia, dan senam otak. Adapun kerangka teori penelitian ini adalah:

Gambar 8 Diagram Kerangka Teori Penelitian

Sumber Benson (2000), Dennison (2009), Galea (2008), Purwanto (2007) Senam Otak

Gerakan Sederhana Koordinasi Pikiran dan Tubuh

Respon relaksasi Sistem saraf simpatis membaik

Dimensi Pemfokusan Ketegangan

emosional

Saraf simpatis aktif

Tidak Relaks

Kelelahan Insomnia

Relaksasi otak bagian depan

Penurunan ketegangan otot dan emosi


(27)

9

1.5.2 Kerangka Konsep

Kerangka konsep merupakan bagian dari kerangka teori yang akan menjadi panduan pelaksanaan penelitian. Kerangka konsep dalam penelitian ini terdiri dari variabel independen (bebas), variabel dependen (terikat), dan variabel confounding (perancu).

Gambar 9 Diagram Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Senam Otak Insomnia

Sebelum

Sesudah

Ringan

Sedang

Variabel Confounding : 1. Usia

2. Jenis kelamin 3. Tingkat

pendidikan (Kunjoro,2002)


(28)

1.6 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka konsep penelitian, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:

Ho : Tidak terdapat pengaruh senam otak dengan gangguan insomnia pada lansia di Panti Treshna Werdha Natar Lampung Selatan Ha : Terdapat pengaruh senam otak dengan gangguan insomnia pada


(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lansia

2.1.1 Definisi Lansia

Usia lanjut usia adalah kelompok orang yang sedang mengalami suatu proses perubahan yang bertahap dalam jangka waktu pendek. Tahapan ini sebagai tahap akhir dari siklus kehidupan dan merupakan suatu perkembangan normal yang akan dialami oleh setiap individu sehingga tidak dapat dihindari (Siti, 2008).

Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh WHO, lanjut usia meliputi:

1. Usia pertengahan (middle age), ialah kelompok usia 45 sampai 59 tahun

2. Lanjut usia (elderly), ialah kelompok usia antara 60 sampai 70 tahun

3. Lanjut usia tua (old), ialah kelompok usia antara 70 sampai 90 tahun


(30)

4. Usia sangat tua (very old), ialah kelompok usia di atas 90 tahun (Nugroho, 2008).

2.1.2 Teori Penuaan

Terdapat dua jenis penuaan, antara lain penuaan primer, merupakan proses kemunduran tubuh gradual tak terhindarkan yang dimulai pada masa awal kehidupan dan terus berlangsung selama bertahun-tahun, terlepas dari apa yang orang-orang lakukan untuk menundanya. Sedangkan penuaan sekunder merupakan hasil penyakit, kesalahan dan penyalahgunaan faktor-faktor yang sebenarnya dapat dihindari dan berada dalam kontrol seseorang (Papalia et al., 2005). Teori-teori yang menjelaskan bagaimana dan mengapa penuaan terjadi biasanya dikelompokan ke dalam dua kelompok besar, yaitu teori biologis dan teori psikososial.

2.1.2.1Teori Biologis

Teori biologis mencoba untuk menjelaskan proses fisik penuaan, termasuk perubahan fungsi dan struktur pengembangan, panjang usia dan kematian. Teori biologis terdiri dari:

a. Teori Genetika

Teori sebab akibat menjelaskan bahwa penuaan terutama di pengaruhi oleh pembentukan gen dan dampak lingkungan pada pembentukan kode genetik. Menurut teori genetika adalah suatu proses yang secara tidak sadar diwariskan yang berjalan


(31)

13

dari waktu ke waktu mengubah sel atau struktur jaringan. Dengan kata lain, perubahan rentang hidup dan panjang usia ditentukan sebelumnya (Stanley & Beare, 2006).

b. Teori Wear-and-Tear

Teori Wear-and- Tear (dipakai dan rusak) mengusulkan bahwa akumulasi sampah metabolik atau zat nutrisi dapat merusak sintensis DNA, sehingga mendorong malfungsi organ tubuh. Pendukung teori ini percaya bahwa tubuh akan mengalami kerusakan berdasarkan suatu jadwal. Sebagai contoh adalah radikal bebas, radikal bebas dengan cepat dihancurkan oleh sistem enzim pelindung pada kondisi normal (Stanley & Beare, 2006).

c. Riwayat Lingkungan

Menurut teori ini, faktor-faktor di dalam lingkungan (misalnya karsinogen dari industri, cahaya matahari, trauma, dan infeksi) dapat membawa perubahan dalam proses penuaan. Walaupun faktor-faktor diketahui dapat mempercepat penuaan, dampak dari lingkungan lebih merupakan dampak sekunder dan bukan merupakan faktor utama dalam penuaan (Stanley & Beare, 2006).

d. Teori Imunitas

Teori ini menggambarkan suatu kemunduran dalam sistem imun yang berhubungan dengan penuaan. Ketika orang bertambah tua, pertahanan meraka terhadap organisme asing


(32)

mengalami penurunan, sehingga mereka lebih rentan untuk menderita berbagai penyakit seperti kanker dan infeksi (Stanley & Beare, 2006).

2.1.2.2 Teori Psikososiologis

Teori psikososiologis memusatkan perhatian pada perubahan sikap dan prilaku yang menyertai peningkatan usia, sebagai lawan dari implikasi biologi pada kerusakan anatomis. Beberapa teori tentang psikososiologis yaitu:

a. Teori Kepribadian

Teori kepribadian menyebutkan aspek-aspek pertumbuhan psikologis tanpa menggambarkan harapan atau tugas spesifik lansia. Teori pengembangan kepribadian orang dewasa yang memandang kepribadian sebagai extrovert atau introvert. Penuaan yang sehat tidak bergantung pada jumlah aktifitas sosial seseorang, tetapi pada bagaimana kepuasan orang tersebut dengan aktifitas sosial yang dilakukan (Stanley & Beare, 2006).

b. Teori Tugas Perkembangan

Tugas perkembangan adalah aktifitas dan tantangan yang harus dipenuhi oleh seseorang pada kehidupan tahap-tahap spesifik dalam hidupnya untuk mencapai penuaan yang sukses. Tugas utama lansia adalah mampu memperlihatkan kehidupan seseorang sebagai kehidupan yang dijalani dengan integritas.


(33)

15

Pada kondisi ini tidak hanya pencapaian perasaan bahwa ia telah menikmati kehidupan yang baik, maka lansia tersebut berisiko untuk disibukkan dengan rasa penyesalan atau putus asa (Stanley & Beare, 2006).

c. Teori Disengagement

Teori disengagement (teori pemutusan hubungan), menggambarkan proses penarikan diri oleh lansia dari peran masyarakat dan tanggung jawabnya. Proses penarikan diri ini dapat diprediksi, sistematis, tidak dapat dihindari, dan penting untuk fungsi yang tepat dari masyarakat yang sedang tumbuh. Lansia dikatakan bahagia apabila kontak sosial berkurang dan tanggung jawab telah diambil oleh generasi lebih muda (Stanley & Beare, 2006).

d. Teori Aktivitas

Lawan langsung dari teori disengagement adalah teori aktifitas penuaan, yang berpendapat bahwa jalan menuju penuaan yang sukses adalah dengan cara tetap aktif. Gagasan pemenuhan kebutuhan seseorang harus seimbang dengan pentingnya perasaan dibutuhkan orang lain. Kesempatan untuk berperan dengan cara yang penuh arti bagi kehidupan seseorang yang penting bagi kehidupan dirinya adalah suatu komponen kesejahteraan yang penting bagi lansia (Stanley & Beare, 2006).


(34)

e. Teori Kontinuitas

Teori kontiunitas, juga dikenal sebagai suatu teori perkembangan, merupakan suatu kelanjutan dari kedua teori sebelumnya dan mencoba untuk menjelaskan dampak kepribadian pada kebutuhan untuk tetap aktif atau memisahkan diri agar mencapai kebahagian dan terpenuhinya kebutuhan diusia tua (Stanley & Beare, 2006).

2.1.3 Perubahan Fisik dan Psikis pada Lansia

Menua adalah proses yang mengubah seorang dewasa sehat menjadi seorang yang frail dengan berkurangnya sebagian besar cadangan sistem fisiologis dan meningkatnya kerentanan terhadap berbagai penyakit dan kematian (Setiati dkk., 2006).

Banyak perubahan yang dikaitkan dengan proses menua merupakan akibat dari kehilangan yang bersifat bertahap (gradual loss). Lansia mengalami perubahan-perubahan fisik diantaranya perubahan sel, sistem persarafan, sistem pendengaran, sistem penglihatan, sistem kardiovaskuler, sistem pengaturan suhu tubuh, sistem respirasi, sistem gastrointestinal, sistem genitourinari, sistem endokrin, sistem muskuloskeletal, disertai juga dengan perubahan-perubahan mental menyangkut perubahan-perubahan ingatan (memori) (Setiati dkk., 2006).


(35)

17

2.1.3.1 Perubahan Fisik

a. Perubahan pada Sistem Sensoris

Pada lansia yang mengalami penurunan persepsi sensori akan terdapat keengganan untuk bersosialisasi karena kemunduran dari fungsi-fungsi sensoris yang dimiliki. Indra yang dimiliki seperti penglihatan, pendengaran, pengecapan, penciuman dan perabaan merupakan kesatuan integrasi dari persepsi sensori (Timiras & Maletta, 2007).

b. Perubahan pada Sistem Integumen

Pada lansia, epidermis tipis dan rata, terutama yang paling jelas diatas tonjolan-tonjolan tulang, telapak tangan, kaki bawah dan permukaan dorsalis tangan dan kaki. Penipisan ini menyebabkan vena-vena tampak lebih menonjol. Poliferasi abnormal pada terjadinya sisa melanosit, lentigo, senil, bintik pigmentasi pada area tubuh yang terpajan sinar mata hari, biasanya permukaan dorsal dari tangan dan lengan bawah. Sedikit kolagen yang terbentuk pada proses penuaan, dan terdapat penurunan jaringan elastik, mengakibatkan penampilan yang lebih keriput. Tekstur kulit lebih kering karena kelenjar eksokrin lebih sedikit dan penurunan aktivitas kelenjar eksokrin dan kelenjar sebasea. Degenerasi menyeluruh jaringan penyambung, disertai penurunan cairan tubuh total, menimbulkan penurunan turgor kulit. Massa lemak bebas berkurang 6,3% berat badan per dekade dengan


(36)

penambahan massa lemak 2% per dekade. Massa air berkurang sebesar 2,5% per dekade (Timiras & Maletta, 2007).

c. Perubahan pada Sistem Muskuloskeletal

Otot mengalami atrofi sebagai akibat dari berkurangnya aktivitas, gangguan metabolik, atau denervasi saraf. Dengan bertambahnya usia, perusakan dan pembentukan tulang melambat. Hal ini terjadi karena penurunan hormon esterogen pada wanita, vitamin D, dan beberapa hormon lain. Tulang-tulang trabekulae menjadi lebih berongga, mikro-arsitektur berubah dan seiring patah baik akibat benturan ringan maupun spontan (Timiras & Maletta, 2007).

d. Perubahan pada Sistem Neurologis

Berat otak menurun 10 – 20 %. Berat otak ≤ 350 gram pada saat kelahiran, kemudian meningkat menjadi 1,375 gram pada usia 20 tahun, berat otak mulai menurun pada usia 45-50 tahun penurunan ini kurang lebih 11% dari berat maksimal. Berat dan volume otak berkurang rata-rata 5-10% selama umur 20-90 tahun (Timiras & Maletta, 2007).

2.1.3.2 Perubahan Psikososial

Perubahan fisik yang dialami lansia seperti berkurangnya fungsi indera pendengaran, pengelihatan, gerak fisik dan sebagainya menyebabkan gangguan fungsional, misalnya badannya membungkuk, pendengaran sangat berkurang, pengelihatan kabur


(37)

19

sehingga sering menimbulkan keterasingan. Keterasingan ini akan menyebabkan lansia semakin kurang percaya diri hingga akhirnya akan mengalami depresi, lansia akan menolak untuk berkomunikasi dengan orang lain (Darmojo, 2009).

2.1.4. Karakteristik Lansia

Menurut Kuntjoro (2002) ada beberapa karakterisktik lansia yang perlu diketahui untuk mengetahui keberadaan masalah kesehatan lansia yaitu:

a. Usia

Data dari The Canadian Study on Health and Aging melaporkan bahwa gangguan tidur banyak terjadi pada usia 65 atau lebih (Petit et. al, 2003).

b. Jenis Kelamin

Menurut data dari Badan Pusat Statistik (2012) jumlah penduduk perempuan Indonesia yang lebih tinggi dibandingkan penduduk laki-laki menunjukkan bahwa umur harapan hidup tertinggi adalah perempuan. Semakin tinggi harapan hidup perempuan maka semakin lama kesempatan lansia perempuan untuk hidup. Dalam penelitian yang dilakukan Ancoli (2005) menyebutkan bahwa perempuan lebih rentan mengalami gangguan tidur dibanding laki-laki.


(38)

c. Tingkat Pendidikan

Di dalam penelitian Hartati (2010) yang menyatakan bahwa lansia yang berpendidikan rendah akan mengalami penurunan fungsi kognitif dikarenakan kurangnya aktivitas otak dalam berfikir sehingga mengakibatkan jaringan pada otak akan mati dan mengakibatkan beberapa keluhan, salah satunya adalah gangguan tidur.

2.2. Insomnia

2.2.1 Definisi Insomnia

Insomnia adalah kesulitan memulai atau mempertahankan tidur. Ini adalah keluhan tidur yang paling umum dan bisa bersifat sementara atau persisten. Populasi survei menunjukkan tingkat prevalensi 30 sampai 45 persen terjadi pada orang dewasa. Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders fourth edition (DSM-IV) definisi insomnia adalah kesulitan untuk memulai tidur, mempertahankan tidur atau kualitas tidur yang buruk selama 1 bulan atau lebih (Kaplan & Saddock, 2007).

2.2.2 Patofisiologi Insomnia

Proses tidur dan bangun diatur oleh sistem bangun (aurosal system) dan sistem tidur (hypnagonic system) yang terdapat dalam otak. Kedua sistem bangun dan tidur bersama-sama bekerja untuk


(39)

21

mencapai keseimbangan. Tetapi pada beberapa individu yang sistem bangun lebih peka atau sistem tidur yang kurang sempurna terdapat kecenderungan untuk mengalami insomnia (Caturwulan, 2008).

Data psikofisiologi dan metabolik dari hyperarousal pada pasien insomnia meliputi peningkatan suhu tubuh, peningkatan denyut nadi dan penurunan variasi periode jantung selama tidur. Kecepatan metabolik seluruh tubuh dihitung melalui penggunaan O2 persatuan waktu ternyata lebih tinggi pada pasien insomnia dibandingkan pada orang normal (Buysse DJ et al., 2005).

2.2.3 Etiologi Insomnia

Kebanyakan gangguan perubahan pola tidur pada lansia seiring bertambahnya usia :

a. Perubahan tidur seiring bertambahnya usia

b. Orang yang lebih tua cenderung mengalami kondisi yang berlawanan dengan mutu dan durasi tidurnya.

c. Tidur malam lebih mudah terganggu.

d. Orang yang lebih tua cenderung mempunyai keinginan untuk tidur siang yang lebih besar dibandingkan orang muda (Rafknowledge, 2004).


(40)

2.2.4 Klasifikasi Insomnia

Insomnia terbagi menjadi tiga jenis, yaitu:

a. Initial insomnia merupakan ketidakmampuan untuk jatuh tidur atau mengawali tidur.

b. Intermiten insomnia merupakan ketidakmampuan tetap tidur karena selalu terbangun pada malam hari.

c. Terminal insomnia merupakan ketidakmampuan untuk tidur kembali setelah tidur pada malam hari. Proses gangguan tidur ini kemungkinan besar disebabkan oleh adanya rasa khawatir, tekanan jiwa maupun stress (Hidayat, 2006).

Jenis-jenis insomnia adalah:

a. Insomnia ringan atau hanya sementara biasanya dipicu oleh stress, suasana ramai/berisik, perbedaan suhu udara, perubahan lingkungan sekitar, masalah jadwal tidur dan bangun yang tidak teratur, efek samping pengobatan. b. Insomnia kronis berlangsung lama dan seumur hidup

disebabkan oleh kelainan tidur (seperti tidur apnea), diabetes sakit ginjal, atritis atau penyakit yang mendadak seringkali menyebabkan kesulitan tidur, insomnia kronis biasanya memerlukan intervensi psikiatri atau medis (Kaplan & Saddock, 2007).


(41)

23

2.2.5 Gejala Insomnia

Menurut Rafknowledge (2004), munculnya gejala-gejala insomnia dimulai dengan munculnya :

a. Kesulitan jatuh tertidur (tidak tercapainya tidur nyenyak) keadaan ini bisa berlangsung sepanjang malam dan dalam tempo berhari-hari, berminggu-minggu, atau lebih.

b. Merasa letih saat bangun tidur dan tidak merasakan kesegaran. mereka yang mengalami insomnia seringkali merasa tidak pernah tertidur sama sekali.

c. Sakit kepala di pagi hari. d. Kesulitan berkonsentrasi e. Mudah marah

f. Mata memerah

g. Mengantuk di siang hari.

2.2.6 Insomnia pada Lansia

Perkembangan tidur di malam hari, mengalami perubahan seiring dengan bertambahnya usia. Tidur dapat dibagi menjadi dua tahap, Non Rapid Eye Movement (NREM) dan Rapid Eye Movement (REM) (Ancoli, 2005). Saat tidur, tahap siklus NREM dan REM dengan periode 90-120 menit. NREM dibagi lagi menjadi empat tahap; Tahap satu adalah tingkat ringan dan tahap empat adalah tingkat terdalam dari tidur. Tahap tiga dan empat juga disebut delta


(42)

tidur atau gelombang tidur lambat atau Slow Wave Sleep (SWS) (Kamel & Gammack, 2006).

Studi menunjukkan bahwa lansia memiliki lebih sedikit SWS dan REM. Mereka menghabiskan sebagian besar malam mereka pada tahap satu dan dua, yaitu tidur ringan. Perubahan pada pola tidur menyebabkan penurunan kualitas dan efisiensi tidur, penurunan total waktu tidur dikombinasi dengan fragmentasi tidur meningkat, dan sering dan bangun lebih pagi (Ancoli, 2005).

Pada lansia, irama sirkadian tidur-bangun bergeser dan kondisi ini disebut sindrom fase maju tidur. Perubahan diyakini karena perubahan dalam tubuh inti suhu, berkurangnya paparan cahaya, dan sesuai dengan genetika. Lansia mengalami kantuk pada sore dan pagi terjaga awal karena meningkatnya suhu tubuh saat. Lansia lebih rentan terhadap kurang tidur karena perubahan dalam biasa pola tidur bersama dengan fisik, sosial, dan faktor psikologis ( Kamel & Gammack, 2006).

2.2.7 Alat Ukur Insomnia

Alat ukur yang akan digunakan untuk mengukur (insomnia) dari subyek adalah menggunakan KSPBJ-IRS (Kelompok Studi Psikiatri Biologik Jakarta Insomnia Rating Scale). Alat ukur ini mengukur masalah insomnia secara terperinci, misalnya masalah gangguan masuk tidur, lamanya tidur, kualitas tidur, serta kualitas


(43)

25

setelah bangun. Berikut merupakan butir-butir dari KSPBJ Insomnia Rating Scale dan nilai skoring dari tiap item yang dipilih oleh subyek adalah sebagai berikut :

1. Lamanya tidur

Butir ini untuk mengevaluasi jumlah jam tidur total, nilai butir ini tergantung dari lamanya subyek tertidur dalam satu hari. Untuk subyek normal lamanya tidur biasanya lebih dari 6,5 jam, sedangkan pada penderita insomnia memiliki lama tidur yang lebih sedikit.

2. Mimpi

Subyek normal biasanya tidak bermimpi atau tidak mengingat bila sedang bermimpi atau kadang-kadang mimpi yang dapat diterimanya. Penderita insomnia mempunyai mimpi yang lebih banyak atau selalu berrnimpi dan kadang-kadang mimpi buruk. 3. Kualitas tidur

Kebanyakan subyek normal tidumya dalam, penderita insonmia biasanya tidurnya dangkal.

4. Mudah untuk terbangun

Subyek normal biasanya dapat jatuh tertidur dalam waktu 5-15 menit. Penderita insomnia biasanya lebih lama dari 15 menit. e. Terbangun malam hari

Subyek normal dapat mempertahankan tidur sepanjang malam, kadang-kadang terbangun 1-2 kali, tetapi penderita insomnia terbangun lebih dari tiga kali.


(44)

f. Waktu untuk tidur kembali

Subyek normal mudah sekali untuk tidur kembali setelah terbangun di malam hari biasanya kurang dari lima menit mereka dapat tertidur kembali. Penderita insomnia memerlukan waktu yang panjang untuk tidur kembali.

g. Terbangun dini hari

Subyek normal dapat terbangun kapan ia ingin bangun tetapi penderita insomnia biasanya bangun lebih cepat (misal satu sampai dua jam sebelum waktu untuk bangun).

h. Perasaan waktu bangun

Subyek normal merasa segar setelah tidur di malam hari. Akan tetapi penderita insomnia biasanya bangun dengan tidak segar atau lesu.

Berdasarkan hasil pengukuran yang telah dilakukan oleh KSPBJ-IRS ditetapkan bahwa nilai diatas 10 maka sudah dapat digolongkan ke dalam orang yang mengalami insomnia, dan untuk nilai dibawah 10 digolongkan tidak insomnia (Setiabudhi, 2008).

2.3 Senam Otak

2.3.1 Definisi Senam Otak

Senam otak dikenal di Amerika, dengan tokoh yang menemukannya yaitu Paul E. Dennison Ph. D seorang ahli dan pelopor dalam penerapan penelitian otak, bersama istrinya Gail E.


(45)

27

Dennison seorang mantan penari. Senam otak adalah serangkaian latihan berbasis gerakan tubuh sederhana. Gerakan ini dibuat untuk merangsang otak kiri dan kanan (dimensi lateral), meringankan atau merelaksasi belakang otak dan bagian depan otak (dimensi pemfokusan), merangsang sistem yang terkait dengan perasaan/emosional yakni otak tengah (limbik) serta otak besar (dimensi pemusatan) (Dennison, 2009).

Senam otak merupakan kumpulan gerakan-gerakan sederhana dan bertujuan untuk menghubungkan/menyatukan pikiran dan tubuh. Senam otak merupakan bagian dari proses edukasi kinesiologi. Kinesiologi merupakan suatu ilmu yang mempelajari gerakan tubuh dan hubungan antara otot dan postur terhadap fungsi otak (Sularyo, 2004).

2.3.2 Teknik pelaksanaan senam otak

Pelaksanaan senam otak dianjurkan tiga kali seminggu, masing-masing sekitar 15 menit. Harus selalu membayangkan gerak fisiknya, supaya tersambung sirkuit otak dengan gerakan-gerakan yang sedang dilakukan. Senam otak ini melatih otak bekerja dengan melakukan gerakan pembaruan (repatterning) dan aktivitas senam otak. Latihan ini membuka bagian-bagian otak yang sebelumnya tertutup atau terhambat. Disamping itu, senam otak tidak hanya memperlancar aliran darah dan oksigen ke otak juga


(46)

merangsang kedua belah otak untuk bekerja sehingga didapat keseimbangan aktivitas kedua belahan otak secara bersamaan (Sapardjiman, 2007). Aplikasi gerakan senam otak menurut Dennison (2009), yaitu :

2.3.2.1 Lateralisasi (sisi)

Otak terdiri dari dua bagian. Masing-masing belahan otak mempunyai tugas tertentu. Secara garis besar, otak bagian kiri berpikir logis dan rasional, menganalisa, bicara, berorientasi pada waktu dan hal-hal terinci; sedangkan otak bagian kanan intuitif, merasakan, musik, kreatif, melihat keseluruhan. Otak belahan kiri mengatur tubuh bagian kanan, mata dan telinga kanan. Otak belahan kanan mengontrol tubuh bagian kiri, mata dan telinga kiri.

Dua belahan otak disambung dengan “Corpus callosum” yaitu

simpul saraf kompleks dimana terjadi transmisi informasi antara kedua belahan otak.

Otak bagian kiri aktif apabila sisi kanan tubuh digerakkan begitu juga sebaliknya dengan otak bagian kanan. Sifat ini memungkinkan dominasi salah satu sisi misalnya menulis dengan tangan kanan atau kiri, dan juga untuk integrasi kedua sisi tubuh (bilateral integration), yaitu untuk menyebrangi garis tengah tubuh untuk

bekerja di “bidang tengah”. Kemampuan belajar paling tinggi

apabila kedua belahan otak bekerja sama dengan baik. Beberapa contoh gerakan dimensi lateralis:


(47)

29

a. 8 Tidur (Lazy 8s)

Gerakan 8 tidur memadukan bidang visual kiri dan kanan, jadi meningkatkan integrasi belahan otak kiri dan kanan, sehingga keseimbangan dan koordinasi antar bagian menjadi lebih baik. Gerakan 8 tidur dilakukan dengan berdiri menggunakan kaki agak meregang dan kepala menghadap ke depan. Angkat tangan dan kepalkan dengan posisi jempol mengacung. Gerakan dimulai dengan menaikkan jempol ke kiri atas, dan turun ke bawah, lalu kembali ke titik awal. Hal yang sama dilakukan pada sisi kanan. Seiring dengan gerakan pada sisi kanan, sebaiknya mata mengikuti gerakan yang sama. Ulangi gerakan sebanyak 5 kali untuk masing-masing tangan, dan kedua tangan secara bersamaan (Muhammad, 2013).

Gambar 2 Gerakan 8 Tidur Sumber Dennison (2009)


(48)

b. Putaran leher (Neck Rolls)

Putaran leher menunjang relaksnya tengkuk dan melepaskan ketegangan yang disebabkan oleh ketidakmampuan menyebrangi garis tengah visual atau untuk bekerja dalam bidang tengah. Gerakan ini akan memacu kemampuan penglihatan dan pendengaran secara bersamaan.

Kepala diputar di posisi depan saja setengah lingkaran dari kiri ke kanan, dan sebaliknya. Namun, tidak disarankan memutar kepala hingga ke belakang. Selanjutnya, tundukkan kepala dan ayunkan seperti bandul bergoyang. Gerakkan kepala ke arah kanan dan kiri dengan sikap tubuh yang tegak (Muhammad, 2013).

Gambar 3 Putaran Leher Sumber Sularyo (2009)


(49)

31

2.3.2.2 Fokus

Fokus adalah kemampuan menyebrangi “garis tengah partisipasi” yang memisahkan bagian belakang dan depan tubuh, dan juga bagian belakang (occipital) dan depan otak (frontal lobes). Perkembangan refleks antara otak bagian belakang dan bagian depan yang mengalami fokus kurang (underfocused). Kadangkala perkembangan refleks antara otak bagian depan dan belakang mengalami fokus lebih (overfocused) dan berusaha terlalu keras. Gerakan-gerakan yang membantu melepaskan hambatan fokus adalah aktifitas integrasi depan/belakang. Beberapa contoh gerakan pemfokusan :

a. Burung Hantu (The Owl)

Gerakan burung hantu maksudnya burung ini menggerakkan kepala dan mata secara bersamaan, dan mempunyai jangkauan penglihatan yang luas karena dia dapat memutar kepalanya 180 derajat, juga memiliki pendengaran yang merupakan radar. Gerakan burung hantu dimaksudkan untuk menunjuk kepada keterampilan penglihatan, pendengaran dan putaran kepala. Gerakan ini bisa menghilangkan ketegangan tengkuk dan bahu yang timbul karena stress.

Cara melakukan gerakan burung hantu, yaitu berdirilah dengan kedua kaki meregang. Letakkan telapak tangan kiri pada bahu kanan, sementaa tangan kanan dibiarkan bebas. Sambil


(50)

menengok ke kiri dan kanan, telapak tangan kiri meremas bahu. Keluarkanlah napas pada setiap putaran kepala, yakni ke kiri, lalu ke kanan kembali ke posisi tengah dengan menundukkan kepala sambil menghembuskan napas. Setelah itu, gerakan diulangi pada bahu yang lain. Lakukan gerakan yang sama sebanyak 10 kali (Muhammad, 2013).

Gambar 4 Burung hantu Sumber Dennison (2009)

b. Mengaktifkan tangan (Arm activation)

Mengaktifkan tangan merupakan gerakan isometrik untuk menolong diri sendiri yang memperpanjang otot-otot dada atas dan bahu. Kontrol otot untuk gerakan-gerakan motorik kasar dan halus berasal dari area ini. Mengaktifkan tangan membantu menulis dan mengeja.

Cara melakukan gerakan isometrik, yaitu luruskan satu tangan keatas, lalu ke samping kuping. Kemudian buang napas, lalu dorong tangan ke depan, belakang, baik ke dalam maupun luar. Sementara itu, satu


(51)

33

tangan lainnya menahan dorongan tersebut. Lakukan berulang dengan tangan bergantian (Muhammad, 2013).

Gambar 5 Mengaktifkan tangan Sumber Dennison (2009)

2.3.2.3 Pemusatan

Pemusatan adalah kemampuan untuk menyeberangi garis pisah antara bagian atas dan bawah tubuh serta mengaitkan fungsi dari bagian atas dan bawah otak, bagian tengah sistem limbik (mid brain) yang berhubungan dengan informasi emosional serta otak besar (cerebrum) untuk mempertahankan pemusatan ditandai dengan ketakutan yang tak beralasan, ketidakmampuan untuk menyatakan emosi. Beberapa gerakan pemusatan adalah :

a. Gerakan pasang telinga

Kegiatan pasang telinga bisa menolong memusatkan perhatian terhadap pendengarannya, dan menghilangkan ketegangan pada tulang-tulang kepala. Dengan ibu jari dan telunjuk, pijat


(52)

secara lembut daun telinga sambil menariknya ke luar, mulai dari ujung atas, menurun sepanjang lengkungan, dan berakhir di cuping.

Untuk melakukan gerakan pasang telinga, posisikan agar kepala tegak dan dagu lurus dengan nyaman. Setelah itu, letakkan tangan di telinga dengan jari jempol di belakang telinga. Lakukan latihan ini sebanyak tiga kali.

Gambar 6 Gerakan pasang telinga Sumber Dennison (2009)

b. Gerakan pernafasan perut (Belly breathing)

Meningkatkan persediaan oksigen untuk seluruh tubuh, terlebih untuk otak. Kegiatan ini merelakskan sistem saraf pusat sambil meningkatkan kadar energi, gerakan ini terbukti meningkatkan kemampuan membaca dan berbicara.

Taruh tangan di perut, lalu buang napas pendek-pendek, lalu ambil napas dalam dan pelan-pelan. Tangan mengikuti gerakan perut waktu membuang dan mengambil napas. Tarik napas


(53)

35

sampai hitungan ketiga, dan tahan sampai hitungan ketiga, lalu buang napas selama hitungan ketiga, serta tahan napas lagi sampai hitungan, dan ulangi. Dengan irama yang bergantian, ambil napas dengan dua hitungan, hembuskan dalam empat hitungan (napas tidak ditahan).

Gambar 7 Gerakan pernafasan perut Sumber Dennison (2009)

2.3.3 Manfaat Senam Otak

Menurut Dennison (2009), manfaat senam otak, yaitu stress emosional berkurang dan pikiran menjadi lebih jernih, hubungan antar manusia dan suasana belajar atau kerja lebih rileks dan senang, kemampuan berbahasa dan daya ingat meningkat, orang menjadi lebih bersemangat, lebih kreatif dan efisien, orang merasa lebih sehat karena stress berkurang. Senam latih otak juga dapat mengurangi stress, kecemasan, ketakutan dan depresi akibat gangguan tidur (Hocking, 2007).


(54)

Ketika lansia mengalami ketegangan emosional, maka beberapa otot akan mengalami ketegangan sehingga mengaktifkan sistem saraf simpatis. Pada kondisi ini, secara fisiologis tubuh akan mengalami respon yang dinamakan respon fight or flight. Respon ini memerlukan energi yang cepat, sehingga hati melepaskan lebih banyak glukosa untuk menjadi bahan bakar otot, dan terjadi pula pelepasan hormon yang menstimulasi perubahan lemak dan protein menjadi gula. Metabolisme tubuh meningkat sebagai persiapan untuk pemakaian energi.

Sebagian besar perubahan fisiologis tersebut terjadi akibat aktivitas dua sistem neuroendokrin yang dikendalikan oleh hipotalamus yaitu sistem simpatis dan sistem kortek adrenal. Aktifnya saraf simpatis membuat lansia tidak dapat santai atau relaks sehingga tidak dapat memunculkan rasa kantuk. Melalui senam otak lansia dilatih untuk dapat memunculkan respon relaksasi sehingga dapat mencapai keadaan tenang. Respon relaksasi ini terjadi melalui penurunan bermakna dari kebutuhan zat oksigen oleh tubuh, yang selanjutnya aliran darah akan lancar, neurotransmiter penenang akan dilepaskan, sistem saraf akan bekerja secara baik otot-otot tubuh yang relaks menimbulkan perasaan tenang dan nyaman (Benson, 2000; Purwanto, 2007).


(55)

37

Penelitian yang dilakukan Jatmiko (2013) menunjukkan bahwa terjadi perubahan skor insomnia yang bermakna pada lansia yang mengalami insomnia setelah melakukan terapi senam otak.

Senam otak untuk anak dan dewasa dilakukan untuk memperbaiki : a. Kemampuan membaca, mengeja, komprehensi, menulis tangan

dan membuat tulisan.

b. Kepercayaan diri, koordinasi dan komunikasi. c. Konsentrasi dan memori.

d. Gangguan tidur. e. Hiperaktifitas.

f. Mengatasi stres dan mencapai suatu tujuan. g. Motivasi dan mengembangkan kepribadian. h. Ketrampilan organisasi.


(56)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian ini menggunakan desain penelitian “Quasi Experimental Pre-Post Test” dengan intervensi senam otak. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perubahan gangguan insomnia sebelum dan sesudah diberikan perlakuan berupa pemberian senam otak. Penelitian ini membandingkan lansia yang mengalami insomnia di Panti Treshna Werdha Natar, Lampung Selatan, sebelum dan sesudah diberikan intervensi. Pada penelitian kuasi eksperimen ditujukan untuk mengungkapkan pengaruh dari intervensi perlakuan pada subyek dan mengukur hasil intervensi. Pada penelitian kuasi eksperimen ditujukan untuk mengungkapkan pengaruh dari intervensi perlakuan pada subyek dan mengukur hasil intervensi (Dahlan, 2009).


(57)

39

Intervensi A1 A2

Gambar 9 Jenis Penelitian

Keterangan :

X : Kelompok yang diberikan (intervensi) senam otak

A1 : Tingkat insomnia pada lansia sebelum mendapatkan perlakuan (intervensi) senam otak.

A2 : Tingkat insomnia pada lansia setelah mendapatkan perlakuan (intervensi) senam otak.

3.2 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dimulai dari pengambilan data (pre test) pada bulan Oktober pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Pada saat pre test intervensi generalis juga dilakukan bersamaan. Kemudian dilanjutkan tiga minggu berikutnya dilakukan senam otak terhadap kelompok intervensi, dilanjutkan dengan pengambilan post test pada kelompok intervensi.

Pelaksanaan penelitian dilakukan di Panti Treshna Werdha Natar, Lampung Selatan dimana panti ini memiliki 14 wisma yang ditempati

Posttest Pretest


(58)

oleh para lansia. Proses intervensi akan dilakukan diruangan yang nyaman (ruang aula dan taman panti).

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

Populasi adalah sekelompok subyek yang menjadi sasaran penelitian (Nursalam, 2011). Dalam penelitian ini populasinya adalah lansia di Panti Treshna Wherda Natar Lampung Selatan yang berjumlah 90 orang.

3.3.2 Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan sampling tertentu untuk dapat mewakili populasi (Notoatmodjo 2010). Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah total sampling yaitu teknik pengambilan sampel yang Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik total sampling, yaitu teknik penentuan sampel dengan mengambil seluruh anggota populasi sebagai responden atau sampel (Santjaka, 2008). Dengan demikian, maka peneliti mengambil sampel dari seluruh lansia di Panti Treshna Werdha Natar Lampung Selatan. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 90 orang.

Teknik pemilihan sampel didasarkan pada kriteria inklusi dan ekslusi yang ditentukan oleh peneliti, yaitu:


(59)

41

3.3.2.1Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi merupakan kriteria dimana subjek penelitian mewakili sampel penelitian yang memenuhi syarat sebagai sampel (Nursalam, 2011). Kriteria inklusi dalam penelitian ini meliputi :

a. Bersedia diteliti

b. Berada di tempat saat penelitian c. Mampu berkomunikasi dengan baik

3.3.2.2 Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi merupakan kriteria dimana subjek penelitian tidak dapat mewakili sampel karena tidak memenuhi syarat sebagai sampel penelitian, seperti halnya adanya hambatan etis, menolak menjadi responden atau suatu keadaan yang tidak memungkinkan untuk dilakukan penelitian (Nursalam, 2011). Kriteria eksklusi dalam penelitiaan ini adalah :

a. Lansia yang tidak kooperatif b. Lansia yang mengalami sakit

c. Lansia yang mengalami gangguan penglihatan d. Lansia yang mengalami penurunan kesadaran e. Meninggal


(60)

3.4 Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat, dan ukuran yang dimiliki atau didapatkan oleh satuan penelitian tentang sesuatu konsep pengertian tertentu (Notoatmodjo, 2010). Jenis variabel penelitian yang sering digunakan yaitu:

3.4.1 Variabel bebas (independent)

Variabel bebas (independent variable) adalah variabel yang menjadi sebab atau berubahnya dependent variable. Variabel bebas dalam penelitian yaitu senam otak.

3.4.2 Variabel terikat (dependent)

Variabel terikat (dependent variable) adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah skor gangguan insomnia.

3.4.3 Variabel perancu (confounding)

Variabel perancu (confounding) adalah variabel yang berhubungan dengan variabel bebas dan variabel terikat, tapi bukan variabel antara. Variabel confounding yang mungkin dalam penelitian ini adalah karakteristik lansia yang mengalami perubahan fisik dan psikososial. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi penelitian


(61)

43

ini adalah perubahan fisik (sakit fisik), stres dan perubahan dalam peran sosial.

3.5 Definisi operasional

Tabel 1 Definisi Operasional Variabel Definisi

Operasional

Alat Ukur Skala Hasil

Ukur Independen

Senam otak Senam otak adalah belajar dengan keseluruhan otak

melalui gerakan “repatterning” (pembaharuan pola) dan aktifitas yang memungkinkan orang bisa menguasai bagian

otak (Dennison, 2009).

Nominal 0. Tidak melakukan 1. Melakuka n Dependen Skor gangguan insomnia Insomnia adalah keadaan ketidak-mampuan mendapatkan tidur yang adekuat, baik kualitas maupun kuantitas dengan keadaan tidur yang sebentar atau susah tidur (Hidayat, 2006). Skala KSPBJ-IRS (kelompok studi psikiatri biologi Jakarta-Insomnia Rating Scale). (Iwan, 2009)

Ordinal

0. 11-19 = tidak ada keluhan insomnia. 1. 20-27 = insomnia ringan. 2. 28-36 = insomnia berat. 3. 37-44 = insomnia sangat berat.


(62)

3.6 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik (cermat, lengkap dan sitematis) sehingga lebih mudah diolah (Saryono, 2013). Instrumen harus memenuhi syarat validitas dan reliabilitas. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu lembar dokumentasi dan lembar observasi yang berisikan data responden dan hasil pengamatan selama penelitian. Sebelum mengisi instrumen, responden diminta kesediannya dan diberi inform consent. Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kelompok Studi Psikiatri Biologik Jakarta - Insomnia Rating Scale (IRS). KSPBJ-IRS digunakan untuk mengukur tingkat insomnia lansia. Kuesioner KSPBJ-IRS berupa daftar pertanyaan mengenai kesulitan untuk memulai tidur, terbangun pada malam hari, terbangun lebih awal atau dini hari, merasa mengantuk pada siang hari, sakit kepala pada siang hari, merasa kurang puas terhadap tidur, merasa kurang nyaman atau gelisah saat tidut, mendapati mimpi buruk, badan terasa lemah, letih, kurang tenaga setelah tidur, jadwal jam tidur sampai bangun tidak beraturan, tidur selama enam jam dalam semalam.

Peneliti memilih KSPBJ-IRS sebagai instrumen penelitian dengan alasan bahwa instrumen KSPBJ-IRS memiliki pertanyaan yang lebih aplikatif bila digunakan pada lansia. KSPBJ-IRS memiliki 11 pertanyaan yang dirasa tidak memberatkan lansia dalam menjawab dibanding kuesioner


(63)

45

insomnia lainnya yang ditemukan peneliti seperti Pittsburg Sleep Quality Index (PSQI) yang terdapat banyak pertanyaan sehingga dirasa akan menyulitkan lansia dalam menjawab pertanyaan kuesioner.

3.6.1 Validitas dan Reliabilitas Instrumen

Sebelum peneliti menyebarkan kuesioner kepada responden, perlu terlebih dahulu dilakukan pretest untuk menguji pertanyaan-pertanyaan yang ada. Uji tersebut dikenal dengan nama uji validitas dan reabilitas. Kuesioner mengenai gangguan insomnia dan dibagi menjadi beberapa derajat, menggunakan Kuesioner Kelompok Studi Psikiatri Biologik Jakarta - Insomnia Rating Scale (KSPBJ-IRS). Didalam penelitian yang dilakukan oleh Erliana (2008) kuesioner ini telah teruji dan memiliki koefisien reliabilitas sebesar 0,83 dan validitas 0,89 yang dilakukan pada 30 orang lansia di Panti Tresna Werdha Ciparay Bandung. Buysse (2005) mengembangkan KSPBJ-IRS untuk mengukur kualitas tidur dan membaginya kedalam beberapa derajat dimulai dari kategori tidak insomnia, insomnia ringan, insomnia berat dan insomnia sangat berat.

3.7 Teknik Pengumpulan Data


(64)

3.7.1 Data primer

Kuisioner untuk memperoleh data mengenai data umum data identitas lansia tanpa nama (anonim), umur, jenis kelamin dan kuisioner untuk mengetahui skor gangguan insomnia.

3.7.2 Data sekunder

Data tentang keadaan umum lansia berupa kebiasaan di Panti Treshna Wherda Natar Lampung Selatan.

3.8 Prosedur Penelitian

Proses pengumpulan materi yang digunakan dalam pembuatan proposal yang kemudian diseminarkan. Setelah proposal disetujui kemudian mendapat ijin dari kepala Panti Treshna Werdha Natar Lampung Selatan melakukan studi pendahuluan. Proses jalannya penelitian adalah sebagai berikut:

3.8.1 Tahap Persiapan

Mempersiapkan materi dan konsep yang mendukung penelitian. Tahap persiapan dilakukan sejak September 2014, dimana peneliti mulai membaca berbagai jurnal dan referensi untuk mencari topik penelitian. Setelah memutuskan untuk meneliti mengenai pengaruh senam otak terhadap gangguan insomnia pada lansia di Panti Treshna


(65)

47

Wherda Natar Lampung Selatan, peneliti kembali mencari literatur untuk mendalami topik penelitian. Melaksanakan studi pendahuluan kepada lansia di Panti Treshna Wherda Natar untuk dapat menentukan sampel. Menyusun proposal penelitian yang terlebih dahulu dikonsultasikan kepada pembimbing satu dan pembimbing dua.

3.8.2 Tahap Pelaksanaan

Dalam tahap pelaksanaan peneliti melakukan :

1. Mengumpulkan data sekunder lansia di Panti Treshna Wherda Natar Lampung Selatan.

2. Pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan September November 2014. Pengambilan data dilakukan pada pagi hari dengan cara peneliti mengadakan pendekatan dengan responden dan menjelaskan tujuan serta manfaat penelitian (informed consent). Sebelum dilakukan pengisian kuisioner, peneliti menjelaskan cara pengisian. Peneliti dibantu oleh asisten penelitian yang berjumlah dua orang. Sebelum penelitian, asisten penelitian menyamakan persepsi dengan peneliti agar para lansia mendapatkan informasi yang sama. Sebelum di berikan senam otak lansia diukur skor insomnia sebagai pretest menggunakan kuesioner KSPBJ-IRS, kemudian lansia kelompok perlakuan diberikan senam otak.


(66)

3. Lansia diberi perlakuan senam otak dengan alat bantu video selama ± 15 menit selama tiga minggu pada bulan Oktober 2014. Post test dilakukan tiga hari setelah perlakuan dengan menggunakan pertanyaan dari kuesioner KSPBJ-IRS untuk mengetahui skor insomnia pada lansia, dan pada referensi buku tentang senam otak tidak ada yang mendasari ditentukannya senam otak harus dilakukan berapa kali. Dilanjutkan dengan post tes kuesioner KSPBJ-IRS.

4. Menindaklanjuti dari pengumpulan data yaitu dengan melakukan pengecekan. Setelah pre tes dan post tes KSPBJ-IRS, peneliti mengumpulkan data dan memeriksa kelengkapannya.

5. Melakukan seleksi data yang sesuai kemudian diolah menggunakan komputer.

6. Membuat laporan hasil penelitian.

3.9 Analisa Data dan Pengujian Hipotesa

Data yang dikumpulkan selanjutnya diolah dengan menggunakan aplikasi statistik program SPSS 17 for Windows di komputer melalui beberapa tahapan yaitu merekapitulasi hasil jawaban kuisioner yang diisi oleh responden. Kegiatan mengolah data menurut Notoadmodjo (2010) terdiri dari :


(67)

49

a. Editing

Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang diperoleh atau dikumpulkan. Editing dapat dilakukan pada tahap pengumpulan data atau setelah data terkumpul.

b. Coding

Coding merupakan kegiatan pemberian kode numerik (angka) terhadap data yang terdiri dari beberapa kategori. Pemberian kode ini sangat penting bila pengilahan dan analisa data menggunakan komputer. Biasanya dalam pemberian kode dibuat juga daftar kode dan artinya dalam satu buku (codebook) untuk memudahkan kembali melihat lokasi dan arti suatu kode dari suatu variabel.

c. Data entry

Data entry adalah kegiatan memasukan data yang telah dikumpulkan ke dalam master tabel atau database komputer, kemudian membuat distribusi frekuensi sederhana atau dengan membuat tabel kontigensi.

d. Melakukan teknis analisis

Dalam melakukan analisis, khususnya terhadap data penelitian akan menggunakan ilmu statistik terapan, yang disesuaikan dengan tujuan yang hendak dianalisis, apabila penelitiannya deskriptif maka akan menggunakan statistik deskriptif sedangkan analisis analitik akan menggunakan statistik inferensi (apabila untuk generalisasi).


(68)

3.9.1 Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk menganalisis variabel-variabel yang ada secara deskriptif dengan menghitung distribusi frekuensi data demografi yang terdiri dari jenis kelamin, umur dan pendidikan. Analisis univariat pada penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karasteristik responden (usia dan jenis kelamin), mengetahui skor insomnia sebelum mendapat senam otak, dan mengetahui skor insomnia sesudah mendapat senam otak.

3.9.2 Analisis Bivariat

Analisis bivariat merupakan analisis yang dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan atau pengaruh atara variabel bebas dan variabel terikat. Uji normalitas disini menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov dikarenakan terdapat lebih dari 50 sampel (Dahlan, 2009).

Untuk mengetahui pengaruh dari perlakuan terhadap perubahan gangguan insomnia pada lansia digunakan uji t test berpasangan. Apabila tidak memenuhi syarat (data tidak berdistribusi normal) maka dapat dipilih uji Wilcoxon.


(69)

51

3.10 Etik Penelitian

Penelitian ini telah diajukan kepada tim etik Fakultas Kedokteran Universitas Lampung, adapun ketentuan etik yang telah ditetapkan sebagai berikut:

1. Persetujuan riset (informed consent)

Informed consent merupakan proses pemberian informasi yang cukup dan dapat dimengerti oleh responden mengenai partisipasinya dalam suatu penelitian. Hal ini meliputi pemberian informasi kepada responden mengenai hak dan kewajiban dalam suatu penelitian, serta mendokumentasikan sifat kesepakatan dengan cara menandatangani lembar persetujuan bila responden bersedia diteliti.

2. Tanpa nama (Anonymity)

Tidak memberikan atau mencantumkan nama responden dan hanya menuliskan inisial atau kode pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang akan disajikan.

3. Kerahasiaan (Confidentiality)

Merupakan tanggung jawab peneliti untuk melindungi semua informasi ataupun data yang dikumpulkan selama dilakukannya penelitian. Informasi tersebut hanya akan diketahui oleh tim peneliti dan pembimbing atas persetujuan responden.


(70)

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan penjelasan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut :

1. Terdapat pengaruh senam otak terhadap penurunan skor insomnia pada lansia dengan p value 0,000.

2. Didapatkan angka kejadian insomnia di Panti Tresna Werdha Natar Lampung sebesar 83 orang.

3. Rerata skor insomnia responden sebelum diberikan senam otak adalah 25.5181.

4. Rerata skor insomnia responden setelah diberikan senam otak adalah 21.4578.

5.2 Saran

Terkait dengan simpulan hasil penelitian, terdapat hal yang dapat disarankan demi keperluan pengembangan dari hasil penelitian ini, yaitu :


(71)

63

1. Bagi Panti Tresna Werdha Natar Lampung Selatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan secara objektif mengenai penanganan pada lansia untuk mengatasi insomnia.

2. Bagi institusi pendidikan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai upaya mengembangkan program dalam rangka meningkatkan kesehatan lansia dengan menggunakan senam otak sebagai salah satu cara untuk mengatasi insomnia.

3. Bagi peneliti

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi peneliti sendiri dalam melaksanakan penelitian tentang lansia yang mengalami insomnia dengan intervensi senam otak. 4. Bagi peneliti lain

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumber informasi bagi peneliti lain yang akan melakukan penelitian mengenai manfaat senam otak.


(72)

DAFTAR PUSTAKA

Ancoli-Israel, S. 2005. Sleep and aging: Prevalence of disturbed sleep and treatment considerations in older adults. Journal of Clinical Psychiatry, 66(Suppl. 9), 24–30; quiz 42–23.

Allison T, Siebern, Sooyeon S, Sara N. 2012. Non-Pharmacological Treatment of Insomnia. The American Society for Experimental NeuroTherapeutics. 9:717–727.

Badan Pusat Statistik RI. 2012. Susenas Tahun 2012. Jakarta. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Benson, H.M.D. 2000. Dasar-dasar Respon Relaksasi dalam Senam Otak: Bagaimana menggabungkan respon Relaksasi dengan Keyakinan Pribadi Anda. Bandung. Mizan

Buysse DJ, et al. 2005. Insomnia. The Journal of Lifelong Learning In Psychiatry .Jakarta. EGC.

Caturwulan, DFM. 2008. Aspek neurobiologi insomnia pada depresi. Jogjakarta. Jurnal Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada.

Dahlan, M.S. 2009. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel Dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. ed2. Jakarta. Salemba Medika.

Darmajo, B. 2009. Teori Proses Menua, Jakarta. Jurnal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Denisson P, Denisson G. 2009. Buku panduan Brain Gym. Jakarta. Grasindo Depkes RI. 2008. Pedoman Pembinaan Kesehatan Usia Lanjut Bagi Petugas


(73)

Doewes M. 2009. Exercise And Brain Health In Elderly. Surakarta. Folia Medica Indonesiana Journal [45]:161-164

Edinger Jack, Ruth M, Wilson S. 2001. Cognitive Behavioral Therapy for treatment of Chronic Primary Insomnia. Jamaica: American Medical Association Journal. [3];45-56.

Erliana E, Haroen H, Susanti R D. 2008. Perbedaan Tingkat Insomnia Lansia Sebelum Dan Sesudah Latihan Relaksasi Otot Progresif (Progressive Muscle Relaxation) Di BPSTW Ciparay Bandung. Bandung. Majalah Kedokteran Indonesia [42]:190-201

Frost, R. 2001. Sleep disorder introductory textbook of psychiatry (3rd ed). Washington DC. Am Psychiatric Publ. Inc.

Galea, M. 2008. Subjective Sleep Quality in The Eldery: Relationship To Anxiety, Depressed Mood, Sleep Beliefs, Quality Of Live, and Hipnotic Use. Journal, School Of Psychology, Victoria University

Hartati. 2010. Asesmen Untuk Demensia. Skripsi. Semarang. Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro

Hidayat, A A. 2006. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia: Aplikasi Konsep dan Proses Keperawatan. Jakarta. Salemba Medika.

Hocking, R. R. 2007. The analysis of linear models. Monterey, CA: Brooks/Cole. Hurlock B.E, 2007. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang

Rentang Kehidupan. Penerbit Erlangga. Jakarta.

Iskandar Y, Setyonegoro RK. 1995. Psikiatri Biologik Vol III. Jakarta. Yayasan Dharma Graha.

Iwan, 2009. Skala Insomnia (KSPBJ Insomnia Rating Scale). http://www.sleepnet.com . Diakses pada tanggal 18 September ; 10.00 WIB

Jatmiko, SR. 2013. Pengaruh Senam Otak Terhadap Tingkat Insomnia Pada Lansia Di Posyandu Lansia Desa Kalicupak Lor Kecamatan Kalibagor


(74)

Joomla. 2005. Lansia Masa Kini dan Mendatang. http://www.menkokesra.go.id Diperoleh pada tanggal 16 September 2014.

Kamel NS, Gammack JK. 2006. Insomnia in the elderly: Cause,approach, and treatment. American Journal of Medicine, 119, 463–469.

Kaplan dan Sadock. 2007. Sinopsis Psikiatri:Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatris Klinis Edisi Kesembilan Jilid Dua. Jakarta. BinarupaAksara

Kuntjoro JSK. 2002. Masalah Kesehatan Jiwa Lansia, kategori lanjut usia. http://www.e-psikologi.com/. Diakses pada tanggal 18 Desember 2014

Pukul 20.00 WIB

Luce SS, Segal J. 2000. Insomnia (The Guide For Troubled Sleeper), Longman London

Lueckenotte, A.G. 2000. Gerontologic Nursing. (2nd ed.). Missouri : Mosby. Mark D, David HB. 2002. Intisari Psikologi Abnormal. Edisi 4, Jakarta

Morin CM, Hauri PJ, Espie CA, Spielman AJ, Buysse DJ. 1999. Nonpharmacologic treatment of chronic insomnia. An American Academy of Sleep Medicine review. US National Library of Medicine

National Institutes of Health.

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/8037252. Diakses pada tanggal 16 Desember 2014 pukul 23.00

Muhammad, As’adi. 2013. Tutorial Senam Otak Untuk Umum. Jakarta. FlashBooks

Notoadmodjo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Edisi Revisi.Jakarta: Rineka Cipta

Nugroho, Wahyu. 2008. Keperawatan Gerontik dan Geriatrik. Jakarta: EGC Nursalam. 2011. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Kesehatan,


(1)

63

1. Bagi Panti Tresna Werdha Natar Lampung Selatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan secara objektif mengenai penanganan pada lansia untuk mengatasi insomnia.

2. Bagi institusi pendidikan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai upaya mengembangkan program dalam rangka meningkatkan kesehatan lansia dengan menggunakan senam otak sebagai salah satu cara untuk mengatasi insomnia.

3. Bagi peneliti

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi peneliti sendiri dalam melaksanakan penelitian tentang lansia yang mengalami insomnia dengan intervensi senam otak. 4. Bagi peneliti lain

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumber informasi bagi peneliti lain yang akan melakukan penelitian mengenai manfaat senam otak.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Ancoli-Israel, S. 2005. Sleep and aging: Prevalence of disturbed sleep and treatment considerations in older adults. Journal of Clinical Psychiatry, 66(Suppl. 9), 24–30; quiz 42–23.

Allison T, Siebern, Sooyeon S, Sara N. 2012. Non-Pharmacological Treatment of

Insomnia. The American Society for Experimental NeuroTherapeutics.

9:717–727.

Badan Pusat Statistik RI. 2012. Susenas Tahun 2012. Jakarta. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Benson, H.M.D. 2000. Dasar-dasar Respon Relaksasi dalam Senam Otak: Bagaimana menggabungkan respon Relaksasi dengan Keyakinan Pribadi Anda. Bandung. Mizan

Buysse DJ, et al. 2005. Insomnia. The Journal of Lifelong Learning In Psychiatry .Jakarta. EGC.

Caturwulan, DFM. 2008. Aspek neurobiologi insomnia pada depresi. Jogjakarta. Jurnal Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada.

Dahlan, M.S. 2009. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel Dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. ed2. Jakarta. Salemba Medika. Darmajo, B. 2009. Teori Proses Menua, Jakarta. Jurnal Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia

Denisson P, Denisson G. 2009. Buku panduan Brain Gym. Jakarta. Grasindo Depkes RI. 2008. Pedoman Pembinaan Kesehatan Usia Lanjut Bagi Petugas


(3)

Doewes M. 2009. Exercise And Brain Health In Elderly. Surakarta. Folia Medica Indonesiana Journal [45]:161-164

Edinger Jack, Ruth M, Wilson S. 2001. Cognitive Behavioral Therapy for treatment of Chronic Primary Insomnia. Jamaica: American Medical Association Journal. [3];45-56.

Erliana E, Haroen H, Susanti R D. 2008. Perbedaan Tingkat Insomnia Lansia Sebelum Dan Sesudah Latihan Relaksasi Otot Progresif (Progressive Muscle Relaxation) Di BPSTW Ciparay Bandung. Bandung. Majalah Kedokteran Indonesia [42]:190-201

Frost, R. 2001. Sleep disorder introductory textbook of psychiatry (3rd ed). Washington DC. Am Psychiatric Publ. Inc.

Galea, M. 2008. Subjective Sleep Quality in The Eldery: Relationship To Anxiety, Depressed Mood, Sleep Beliefs, Quality Of Live, and Hipnotic Use. Journal, School Of Psychology, Victoria University

Hartati. 2010. Asesmen Untuk Demensia. Skripsi. Semarang. Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro

Hidayat, A A. 2006. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia: Aplikasi Konsep dan Proses Keperawatan. Jakarta. Salemba Medika.

Hocking, R. R. 2007. The analysis of linear models. Monterey, CA: Brooks/Cole. Hurlock B.E, 2007. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang

Rentang Kehidupan. Penerbit Erlangga. Jakarta.

Iskandar Y, Setyonegoro RK. 1995. Psikiatri Biologik Vol III. Jakarta. Yayasan Dharma Graha.

Iwan, 2009. Skala Insomnia (KSPBJ Insomnia Rating Scale). http://www.sleepnet.com . Diakses pada tanggal 18 September ; 10.00 WIB

Jatmiko, SR. 2013. Pengaruh Senam Otak Terhadap Tingkat Insomnia Pada Lansia Di Posyandu Lansia Desa Kalicupak Lor Kecamatan Kalibagor


(4)

Kabupaten Banyumas. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Purwekerto. Diakses pada tanggal 30 November 2014; 21.00

Joomla. 2005. Lansia Masa Kini dan Mendatang. http://www.menkokesra.go.id Diperoleh pada tanggal 16 September 2014.

Kamel NS, Gammack JK. 2006. Insomnia in the elderly: Cause,approach, and treatment. American Journal of Medicine, 119, 463–469.

Kaplan dan Sadock. 2007. Sinopsis Psikiatri:Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatris Klinis Edisi Kesembilan Jilid Dua. Jakarta. BinarupaAksara Kuntjoro JSK. 2002. Masalah Kesehatan Jiwa Lansia, kategori lanjut usia.

http://www.e-psikologi.com/. Diakses pada tanggal 18 Desember 2014 Pukul 20.00 WIB

Luce SS, Segal J. 2000. Insomnia (The Guide For Troubled Sleeper), Longman London

Lueckenotte, A.G. 2000. Gerontologic Nursing. (2nd ed.). Missouri : Mosby. Mark D, David HB. 2002. Intisari Psikologi Abnormal. Edisi 4, Jakarta

Morin CM, Hauri PJ, Espie CA, Spielman AJ, Buysse DJ. 1999. Nonpharmacologic treatment of chronic insomnia. An American Academy of Sleep Medicine review. US National Library of Medicine

National Institutes of Health.

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/8037252. Diakses pada tanggal 16 Desember 2014 pukul 23.00

Muhammad, As’adi. 2013. Tutorial Senam Otak Untuk Umum. Jakarta. FlashBooks

Notoadmodjo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Edisi Revisi.Jakarta: Rineka Cipta

Nugroho, Wahyu. 2008. Keperawatan Gerontik dan Geriatrik. Jakarta: EGC Nursalam. 2011. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Kesehatan,


(5)

Papalia DE, Olds SW, and Feldman RD. 2005. Human Development. 10th ed. New York: McGraw-Hill

Petit L, Nahid A, Byszweski A, Francine F, Power B. 2003. Journal. Non-pharmacological management of primary and secondary insomnia among older people; review of assessment tools and treatments. Canada. British Greriatric Society. Age and Aging 32: 19-25.

Potter & Perry. 2010. Fundamental Keperawatan Buku 3 Edisi 7. Jakarta. EGC Prasetya, A. S. 2010. Pengaruh Terapi Kognitif dan Senam Latih Otak Terhadap

Tingkat Depresi dengan Harga Diri Rendah pada Klien Lansia di Panti Tresna Werdha Bakti Yuswa Natar Lampung. Tesis. Universitas

Indonesia. Diakses pada tanggal 10 November 2014 pukul 21.00 WIB Purwanto, S. 2007. Terapi Insomnia. Tersedia di at http//klinis.wordpress.com.

Diakses tanggal 10 November 2014

Rafknowledge. 2004. Insomnia dan Gangguan Tidur Lainnya. Jakarta. ECG Rockwood K, Davis HS, Merry HR et al. 2001. Sleep disturbances and mortality:

results from the Canadian study of health and aging. J Am Geriatr Soc; 49: 639–41.

Sanjaka. 2008. Biostatistika untuk Kedokteran Dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta.EGC

Sapardjiman, Kartini. 2007. Brain Gym (Senam Otak),

http://atikofianti.wordpress.com/2007/12/05/health-brain-gym-senam-otak/. Diakses pada tanggal 8 Oktober 2014, 17.00 WIB

Saryono. 2011. Metodologi penelitian kesehatan: penuntun praktis bagi pemula. Yogyakarta. Mitra Cendikia Press

Setiabudhi, T., 2008. Gangguan tidur pada usia lanjut. Cermin Dunia Kedokteran No. 53. Jakarta. Majalah Dunia Kedokteran PT Temprint

Setiati S, Harimurti K, dan Roosheroe AG. 2006. Proses Menua dan Implikasi Kliniknya. Dalam: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., dan Setiati, S., ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat


(6)

Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1335-1340.

Siti, Maryam R, dkk. 2008. Mengenal Usia Lanjut dan Penangannya. Jakarta: Salemba Medica.

Stanley M, Beare P. 2006. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Jakarta : EGC Sularyo S. T, Handryastuti S. 2004. Senam Otak. Jakarta. Sari Pediatri, Vol. 4,

No. 1: 36-44

Timiras P, Maletta G. 2007. Physiological Basis of Aging and Geriatrics. New York : Informa Health

Whitney CW, Enright PL, Newman AB et al. Correlates of daytime sleepiness in 4578 elderly persons: the cardiovascular health study. Sleep 1998; 21: 27–52.


Dokumen yang terkait

Pengaruh Senam Otak Terhadap Peningkatan Daya Ingat Lansia Di Panti Werdha Karya Kasih Mongonsidi Medan

3 60 84

PERBEDAAN KADAR HDL DAN LDL SEBELUM DAN SESUDAH SENAM JANTUNG SEHAT PADA LANSIA DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA BHAKTI YUSWA’ NATAR LAMPUNG SELATAN

1 11 73

PENGARUH SENAM JANTUNG SEHAT TERHADAP KADAR GLUKOSA DARAH PUASA PADA LANSIA DI PANTI SOSIAL DAN LANJUT USIA TRESNA WERDHA' NATAR LAMPUNG SELATAN

3 36 71

PENGARUH BRAIN GYM TERHADAP PERUBAHAN FUNGSI KOGNITIF PADA LANSIA DI PANTI TRESNA WERDHA NATAR LAMPUNG SELATAN

1 18 81

Gambaran Pengetahuan Lansia tentang Insomnia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 03 Margaguna Jakarta Selatan

2 31 106

Pengaruh Senam Otak Terhadap Tingkat Stres Lansia Di Panti Sosial Tresna Werdha Jara Mara Pati Singaraja.

2 15 47

PENGARUH SENAM OTAK TERHADAP TINGKAT STRES LANSIA DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA JARA MARA PATI SINGARAJA

0 0 6

PENGARUH TEKNIK RELAKSASI OTOT TERHADAP INSOMNIA PADA LANSIA DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA UNIT BUDHI LUHUR KASONGAN BANTUL YOGYAKARTA NASKAH PUBLIKASI - Pengaruh Teknik Relaksasi Otot Terhadap Insomnia pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Unit Budhi

0 0 9

PENGARUH RENDAM AIR HANGAT PADA KAKI TERHADAP INSOMNIA PADA LANSIA DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA YOGYAKARTA UNIT BUDI LUHUR NASKAH PUBLIKASI - Pengaruh Rendam Air Hangat pada Kaki Terhadap Insomnia pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Yogyakarta Unit

0 0 11

PENGARUH SENAM LANSIA TERHADAP FUNGSI KOGNITIF LANSIA DENGAN DEMENSIA DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA PALEMBANG

0 0 21