Ana dene jenenge pati iku kaya srengenge, lawang pati iku kaya tanggal sapisan, wetuning pati iku kaya sagara banjir, lanjuting pati iku kaya lintang ngalih, bangeting
pati iku kaya angina,lungguhing pati iku kaya gunung, kubure pati iku kaya geni, paugerane pati iku kaya tunggal, belabare pati iku kaya rambut tinemune pati iku iya
suka lila,enggone pati iku eguh, pasrahe pati iku wedi eling.
Raden Ngabehi Ronggowarsito 61-62.
Serat Wirid dan wejangan yang berasal dari Kitab Primbon ini adalah hasil dari pujangga-pujangga Jawa yang memiliki kelebihan dalam melihat sesuatu hal yang
akan terjadi di dunia ini. Namun, semua kembali kepada siapa yang menciptakan kehidupan yaitu Tuhan yang Maha Esa. Manusia memang diberi kelebihan untuk bisa
meraskan kejadian termasuk pertanda jika kematian akan datang tetapi semua berada pada kehendak-nya. Manusia yaitu hanya menerima apa yang telah Tuhan tuliskan
atau dengan kata lain manusia hanya bisa menerima takdir. Tetapi manusia diberi kelebihan oleh Tuhan yakni bisa berfikir dan melakukan. Seperti apa tanda-tanda
kematian itu yang bisa merasakan hanya orang yang akan mengalaminya.
D. Petungan
atau Perhitungan
Dalam adat kematian orang Jawa mempunyai tata cara sendiri yang
Njlimet
atau rumit, berciri khas perhitungan numerologi atau
Petungan
yaitu menurut penanggalan Jawa.
Petungan
adalah sistem yang cukup berbelit-belit yang terletak pada konsep metafisis orang Jawa yang fundamental :
cocog
berarti sesuai, sebagaimana kesesuaian kunci dengan gembok, obat mujarab dengan penyakit, suatu
pemecahan untuk soal matematik, serta penyesuaian seorang pria dan wanita yang akan dinikahinya.
Petungan
merupakan cara untuk menghindarkan semacam disharmoni dengan tatanan umum alam yang hanya akan membawa ketidakuntungan.
Di pihak lain, waktu adalah getaran, suatu periode waktu tertentu merupakan hasil dari
koinsidensi hari dalam siklus lima dan tujuh hari, dan dalam sistem
Petungan
yang lebih cermat merupakan bagian dari
Wuku minggu
yang tiga puluh tujuh hari, bagian dari salah satu bulan dalam dua belas bulan Islam menurut perhitungan rembulan dan
akhirnya bagian dari salah satu tahun dari perhitungan windu. Geertz, 1981 : 39.
Petungan
sudah ada sejak dahulu, yang merupakan rangkaian hasil dari leluhur berdasarkan pengalaman dan perjalanan hidup tentang baik buruk kehidupan yang
dicatat dan dihimpun dalam
Primbon.
E. Dina Geblag
atau Hari Kematian
Pada Masyarakat Jawa ketika seseorang meninggal terjadi maka hari dimana dia meninggal itulah yang di anggap sebagai hari yang sial atau na’as bagi keluarga yang
ditinggalkan. Dalam istilah Jawa hari na’as ini disebut
Dina Geblag,
hari kematian seseorang.
Dina Geblag
adalah hari meninggalnya seseorang berdasarkan perhitungan kalender Jawa yaitu
Pasaran
.
Pasaran
ada lima yaitu :
Legi , Pahing, Pon, Wage, Kliwon
. Penyebutan
Dina Geblag
dikombinasikan dengan hari yaitu: Ahad atau Minggu, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at, Sabtu.
Perhitungannya tidak sama dengan kalender masehi,
Dina Geblag
dihitung juga berdasarkan jam meninggalnya seseorang. Jika meninggal diantara pukul 00.00
sampai pukul 12.00 masih terhitung tepat pada hari itu juga, namun jika meninggalnya diatas pukul 12.00 itu sudah masuk ke hari berikutnya dalam kalender Jawa.
Masyarakat Jawa tidak hanya menyebut
Dina Geblag
dalam kalender Jawa saja tetapi juga menyebut hari masehinya. Misalnya seorang nenek meninggal pada hari sabtu,
dan hari Pasarannya pahing dan meninggal pukul 10.00 maka
Dina Geblag
-nya yaitu Sabtu Pahing, tetapi jika meninggalnya pukul 18.00 maka
Dina Geblag
jatuh pada hari
Minggu Wage. Dibawah ini contoh perhitungan jatuhnya
Dina Geblag
: Bapak Juwari meninggal pada Hari Nasional hari Rabu, 21 September 2006 meninggal Pukul 16.30
Wib maka
Dina Geblag
almarhum hari Kamis Pahing. Maka
Dina Geblag
atau hari na’as nya adalah hari
Kamis Pahing
. Hari itulah yang dianggap sebagai hari na’as atau
hari sial oleh Keluarga Bapak Juwari. Juga merupakan hari pantangan bagi keluarga Almarhum. Masyarakat Dusun Toyogiri yang sebagian masyarakatnya mempercayai
kepercayaan tradisional yakni
Islam Kejawen
percaya bahwa hari na’as itu akan
membawa malapetaka bagi anak cucu dari orang yang meninggal jika melakukan aktifitas sehari-hari, termasuk bekerja juga berpergian jauh.
F. Simbol atau Lambang