13. Menurut Suwardi Endraswara, 2005 : 80 roh dapat digolongkan menjadi 3 yaitu
:
1. Roh leluhur merupakan roh manusia yang sudah meninggal. Roh bersifat baik dan
akan menjaga anak cucunya. 2.
Danyang
merupakan roh yang menempati suatu desa, sumber mata air, bukit dan sebagainya. Roh ini bersifat baik dan suka menolong manusia.
3. Lelembut merupakan roh yang paling rendah, mendiami tempat sepi, hutan, pohon dan
batu. Seperti :
jin, banaspati, genderuwo, peri
dan sebagainya. Memiliki sifat jahat dan suka mengganggu manusia.
Kehidupan Jawa bersifat ritualistis, perubahan- perubahan dan kejadian- kejadian baru harus dimasukkan secara formal ke dalam struktur keadaan yang sudah
ada. Mereka harus diakui secara ritual dulu baru kemudian dapat diterima. Mulder, 1980 : 53. Sebagai bentuk hubungan yang baik karena manusia tidak bisa melihat roh
orang yang telah mati maka bentuk hubungan dan komunikasinya adalah diwujudkan dalam bentuk ritual dan doa sesuai dengan kepercayaan.
B. Prinsip Hidup
Sifat manusia Jawa yang
low profil
memiliki arti tidak boleh menonjol, dan tidak untuk bersaing satu sama lain, yang ada mereka harus bergotong royong, saling
berbagi, dan patuh dan menjalin hubungan baik terhadap sesama manusia, terhadap alam semesta, dan yang paling utama yaitu menjalin hubungan baik terhadap
Tuhannya. Sesuai dengan falsafah orang Jawa yaitu
Hamemayu Hayuning Bawana
dalam bahasa Indonesia artinya memelihara dan mempercantik dunia. Diterjemahkan dengan mempercantik yang dimaksudkan sebagi usaha positif dari individu Jawa.
Teguh Pranoto dalam bukunya yang berjudul “Spiritualitas Kejawen” menjelaskan usaha mempercantik dunia yang sudah cantik ini terdapat tiga hubungan yang harus
dilakukan setiap masing-masing manusia yaitu : 1.
Gegayutaning Manungsa karo Manungsa
dalam bahasa Indonesia yakni Hubungan antar manusia dengan manusia. Dalam hal ini terdapat hubungan yang harmonis dalam
masyarakat yang majemuk,
Tepa Slira
atau tenggang rasa yang tinggi, menghormati perbedaan dan mencari kesamaannya, menggalang persatuan dan kesatuan, tidak
memaksakan kehendak sendiri pada orang lain,
Bisa Rumangsa
bisa menyadari, mawas diri, rendah diri dan bukan
Rumangsa Bisa
menyadari bisa melakukan dan lain-lain.
2.
Gegayutaning Manungsa karo Alam
dalam bahasa Indonesia artinya hubungan antara manusia dengan alam semesta. Dengan menyadari bahwa alam telah banyak
memberikan kesejahterahan pada manusia dan melalui alam maka manusia dapat belajar banyak darinya maka sudah seharusnya manusia berterima kasih dan
mensyukuri kepada alam yang demikian bersahabat dan bukan sebaliknya yaitu kebaikan hati alam dibalas dengan merusak alam mentang-mentang alam tidak bisa
berbicara dan melawan kesewenang-wenangan atas ulah manusia.
3. Gegayutaning Manungsa Karo Gusti Kang Murbeng Dumadi Ingkang Akarya Jagad
arti dalam bahasa Indonesia yaitu hubungan manusia dengan Tuhan yang Maha Esa, Sang Pencipta Alam. Dengan menyadari siapa diri kita ini dihadapan Tuhan Yang
Maha Kuasa, sudah semestinya kita harus senantiasa mengikuti aturan-aturan Tuhan. Kejadian-kejadian yang tidak enak yang menimpa diri bangsa ini menurut pendapat
penulis merupakan ungkapan dari perbuatan manusia yang telah banyak mengingkari
aturan Tuhan , bukan karena kemarahan Tuhan atau bukan pula hukuman Tuhan tetapi disebabkan karena ulah manusia itu sendiri yang telah begitu banyak mengingkari
aturan Tuhan, sudah tidak lagi
Aja Dumeh
jangan sok, manusia tidak lagi
Eling
Ingat dan sudah tidak lagi waspada tapi sudah “semau gue”. Teguh Pranoto, 2007 : 68-70
Pemikiran orang jawa yang didasari dengan paham
Kejawen
berfikir bahwa alam semesta ini memberikan begitu banyak sumbangan untuk manusia yang begitu
banyak, sampai alam seakan ikut saja ketika manusia itu berbuat apapun terhadap alam.
C.
Kasedan Jati
Kematian yang Sebenar-benarnya
Sifat hidup itu adalah suatu saat akan mati dan kembali kepada penciptanya. Manusia Jawa akan mengalami
Kasedan Jati
atau mati yang sebenarnya-benarnya. Dalam hal ini adalah pemahaman tentang
Sangkan Paraning Dumadi
yaitu darimana kita berasal dan kepada siapa kita akan kembali. Tujuan mati yang sebenar-benarnya
ini yakni menghadap Tuhan yang Maha Esa dengan terpuji dan kematian yang sejati. Orang akan mati ketika sudah melanggar
Tata Paugeraning Urip
atau aturan yang menciptakan kehidupan.
Kasedan Jati
terdapat falsafah yakni
Urip Sepisan Mati Sepisan
dalam bahasa Indonesia artinya hidup sekali dan mati sekali atau Kematian yakni bila semua anasir yang ada didalam tubuh kita yang terdiri dari anasir tanah, air,
api, tanah dan roh pada waktu mati nanti dapat langsung kembali ke asalnya masing- masing. Jangan sampai terjadi “kekacauan” misalnya dari angin kembali ke api dan
yang dari tanah kembali ke air dan seterusnya dan lain-lain. Teguh Pranoto, 2007 : 114-115.
Kasedan Jati
atau kematian dianggap hal yang membutuhkan ritual yang benar-benar sesuai dengan pemahaman
Kejawen ,
yaitu dari hari kematian
Geblag
hingga mengebumikan
metak.
Karena pemahaman dari falsafah hidup orang Jawa Mati adalah menghadap Tuhan Yang Maha Esa, maka orang mati benar-benar harus
diperlakukan dengan cara yang penuh hikmah dan kerabat yang mengurus memperlakukan orang yang telah mati dengan sesempurna mungkin. Sebagai orang
yang berkeyakinan, pasti terdapat cara dan doa sebagai bagian penyempurnaan dari sebuah ritual. Pada serat Wirid yang mengajarkan kebatinan Islam yang umum juga
membahas banyak tentang istilah “Kematian” yang menguraikan tanda-tanda kedatangan maut setahun sebelum saat kematian. Dengan demikian manusia sempurna
sudah bisa tahu dengan pasti, bilamana ia akan meninggalkan dunia yang fana ini dan masuk ke dalam alam kekal. Harun Hadiwidjono, 1975 : 50
Ajaran serat Wirid ini memberi instruksi tentang apa yang harus dilakukan manusia sempurna agar supaya ia tidak tersesat di bagian terakhir dari pangkat
hidupnya, misalnya yang terdapat dalam halaman ke empat puluh lima serat wirid diuraikan demikian :
“Keenam, jika sudah nampak warnanya sendiri, tanda bahwa kurang setengah bulan, disitulah tempat orang harus memuja, menanyakan kehendak Tuhan , dengan
cara, tiap kali hendak tidur, memuja seperti tersebut di bawah ini :
Ada pujaan satu
Zatnya adalah Zatku, sifatnya adalah sifatku, namamnya adalah namaku, af’alnya adalah af’alku, kupuja dalam peretemuan tunggal karena “ada”ku sempurna dengan
kuasaku, disitu pikiran nenek, anak-isteri, cucu dan sebagainya. Apa yang dipusatkan dalam pikiran itu adalah bahwa mereka dipersatukan dengan dia dia alam yang
kekal.
Raden Ngabehi Ronggowarsito, 1935 : 45 Sepintas lalu uraian ini memberi kesan seolah - olah mengajarkan ajaran yang
ortodoks, karena disebutkan tentang pemujaan serta menyanyakan kehendak Tuhan, tetapi pentrapannya menunjukan bahwa tak ada gagasan sedikitpun yang ortodoks.
Pemujaan terdiri dari mengucapkan lafal sebagai mantera yang menghasilkan kesatuan dengan Allah serta mempersatukan nenek moyang dan keturunannya di zaman akhirat
Harun Hadiwidjono, 1975 : 50-51 Berarti disini telah ada bentuk sinktitisme antara kepercayaan asli dengan
penyebutan Allah yang dasarnya bukan penyebutan Tuhan dalam
Kepercayaan Kejawen
. Melihat proses islamisasi di Jawa agama Islam mulai masuk di pulau Jawa, diduga jauh sebelum abad XIII masehi. Pusat-pusat tertua penyebaran agama Islam
adalah didaerah Gresik dan Surabaya. Kesimpulan ini didasarkan pada kenyataan yang menuturkan bahwa di Gresik terdapat banyak sekali makam Islam yang tua sekali.
Melalui pintu gerbang daerah-daerah pesisir utara pulau Jawa, seperti Gresik, Tuban, Jepara, dahulu merupakan pelabuhan-pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh saudagar
-saudagar asing itulah agama Islam masuk ke daerah pesisir Jawa utara yang kemudian dengan berpusat di Demak, penyebarannya ke daerah-daerah lain bahkan di
pulau lain, semakin pesat. Ridin Sofan dkk 2000 : 229 – 230
Adapun yang berjasa menyebarkan Agama Islam ke Jawa adalah Sembilan pendakwah yang tergabung dalam satu dewan yang disebut Walisongo. Kata
Walisongo merupakan sebuah perkataan majemuk yang berasal dari kata
Wali
dan
Songo
. Kata wali berasal dari bahasa Arab, suatu bentuk singkatan dari
Waliyullah
yang berarti orang yang dicintai Allah. Sedangkan
Songo
berasal dari bahasa Jawa yang berarti Sembilan. Jadi, dengan demikian Walisongo berarti Wali Sembilan, yakni
orang yang mencintai dan dicintai Allah. Mereka dipandang sebagai ketua kelompok dari sejumlah besar mubaligh Islam yang bertugas mengadakan dakwah Islam di
daerah-daerah yang belum memeluk agama Islam di Jawa. Ridin Sofan dkk, 2000 : 1 - 7. Yang termasuk kelompok
Walisongo
Walisanga adalah sebagai berikut : 1.
Syekh Maulana Malik Ibrahim 2.
Sunan Ampel Raden Rahmat 3.
Sunan Giri Raden Paku 4.
Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah 5.
Sunan Bonang Makdum Ibrahim 6.
Sunan Drajat 7.
Sunan Kalijaga 8.
Sunan Kudus 9.
Sunan Muria Raden Prawata Agama islam bergabung dengan kepercayaan asli Jawa maka menghasilkan
Islam Kejawen
. Kedua budaya tersebut saling berjalan beriringan dengan budaya Islam tetapi masih melakukan tradisi Kejawen biasanya dengan upacara selamatan.
Perihal kematian juga dijelaskan dalam “Kitab Primbon” yang menjelaskan tentang kematian itu memuat empat perkara yaitu:
Lunga
Pergi,
Teka
Datang,
Mulih
Pulang,
Ilang
Hilang. Yang pulang dan hilang yakni ruhnya, dan yang dimaksud datang dan pergi yaitu jati dirinya. Kematian yang sebenarnya yaitu yang ber-pulang
itu adalah jasadnya, dan yang hilang itu sifatnya. Wejangan orang yang meninggal dalam kepercayaan
Kejawen
yang tertulis dalam
Primbon. Primbon
berasal dari kata
rimbu
atau
imbon
yang berarti simpan atau simpanan, maka primbon berisi bermacam- macam catatan oleh suatu generasi ysng diturunkan ke generasi berikutnya. Dalam
primbon perihal kematian dapat diibaratkan seperti di bawah ini :
Ana dene jenenge pati iku kaya srengenge, lawang pati iku kaya tanggal sapisan, wetuning pati iku kaya sagara banjir, lanjuting pati iku kaya lintang ngalih, bangeting
pati iku kaya angina,lungguhing pati iku kaya gunung, kubure pati iku kaya geni, paugerane pati iku kaya tunggal, belabare pati iku kaya rambut tinemune pati iku iya
suka lila,enggone pati iku eguh, pasrahe pati iku wedi eling.
Raden Ngabehi Ronggowarsito 61-62.
Serat Wirid dan wejangan yang berasal dari Kitab Primbon ini adalah hasil dari pujangga-pujangga Jawa yang memiliki kelebihan dalam melihat sesuatu hal yang
akan terjadi di dunia ini. Namun, semua kembali kepada siapa yang menciptakan kehidupan yaitu Tuhan yang Maha Esa. Manusia memang diberi kelebihan untuk bisa
meraskan kejadian termasuk pertanda jika kematian akan datang tetapi semua berada pada kehendak-nya. Manusia yaitu hanya menerima apa yang telah Tuhan tuliskan
atau dengan kata lain manusia hanya bisa menerima takdir. Tetapi manusia diberi kelebihan oleh Tuhan yakni bisa berfikir dan melakukan. Seperti apa tanda-tanda
kematian itu yang bisa merasakan hanya orang yang akan mengalaminya.
D. Petungan