1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masyarakat Maluku merupakan suatu masyarakat yang seluruh tatanan kehidupan sosialnya didasari oleh adat-istiadat atau tradisi yang terwariskan dari leluhur mereka.
Haria, yang merupakan salah satu desa adat di pulau Saparua–Maluku, dalam kehidupan masyarakatnya mengembangkan pola hidup kekeluargaan atau dengan kata lain tatanan
masyarakatnya didasarkan pada asas kekeluargaan. Pola hidup ini nampak dalam bentuk SOA kumpulan beberapa marga yang memiliki hubungan saudara.
1
Bagi masyarakat Haria, sikap hidup kekeluargaan ini dikenal dengan nama Lahatol yang berarti
“persekutuan yang terjalin berdasarkan hubungan darah atau garis keturunan” yang memiliki prinsip satu rasa sehingga kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompok lebih
banyak diletakan pada kepentingan bersama dalam satu matarumah. Lahatol muncul dan berkembang di desa Haria dilatarbelakangi oleh kehidupan
masyarakat yang serba kekurangan. Berdasarkan sejarah, awalnya masyarakat Haria bertempat tinggal di Ruhunyo ujung pulau yang tertinggi, kemudian berpindah ke Amano
tempat yang aman dan berpindah lagi ke suatu tempat yang bernama Amanohunyo ujung negeri yang aman. Sebagai sebuah masyarakat “nomaden”, keadaan hidup yang
berpindah-pindah tempat membuat hidup masyarakat menjadi susah, maka sistem lahatol diciptakan untuk menjaga kelangsungan hidup keluarga dalam sebuah matarumah agar
sistem kekeluargaan dapat terus terjaga dalam bentuk tolong-menolong–meringankan
1
Di desa Haria terdapat enam soa yaitu; Soa Lounussa, Soa Louhatu, Soa Tanarisa, Soa Peinimua Paimua, Soa Titasomi dan Soa Samalohy. Uraian lengkap tentang soa dapat dilihat di Bab III Tesis ini.
2 beban hidup keluarga. Saat peristiwa perang Pattimura masyarakat kembali lagi ke tempat
yang sekarang ini, yakni Haria.
2
Dalam prakteknya Lahatol tidak terbatas pada satu matarumah saja saja tetapi dapat melibatkan kepala keluarga dari matarumah lain. Namun pelibatan keluarga dari
matarumah dan soa lain tetap disadarkan pada pertimbangan hubungan darah akibat perkawinan antar individu dari soa yang berbeda. Karena itu, dalam lahatol kekeluargaan
yang diikat oleh hububungan darah menjadi ukuran penting bagi praktek budaya lahatol pada masyarakat Haria. Dalam keseharian hidup, masyarakat mengganggap lahatol
sebagai perisai dalam menyikapi sikap hidup masyarakat yang ingin menang sendiri, artinya dalam lahatol setiap individu keluarga memiliki kewajiban untuk membantu
sesama saudara mereka. Dengan model seperti ini, maka praktek lahatol dapat dimaknai sebagai kegiatan meringankan beban hidup orang sudara.
3
Sikap hidup kekeluargaan memberikan makna bagi hidup itu sendiri sekaligus merupakan potensi yang membangun dan menghidupkan tatanan sosial yang harmonis.
Dalam kehidupan bersama, lahatol lebih nampak pada saat pembangunan rumah dan acara perkawinan. Saat pembangunan rumah misalnya, diadakan kumpul orang basudara untuk
membicarakan hal-hal yang menyangkut pembangunan rumah. Masing-masing kepala keluarga diberikan tanggung jawab untuk menanggung bahan-bahan material pada saat
pembangunan, atau dengan kata lain memberikan sumbangan dalam bentuk materi dan
2
Hasil wawancara dengan bapak N. Hattu, seorang tua adat dari soa tanarisa, tanggal 20 oktober 2010
3
Hasil wawancara dengan bapak Empi Manuhutu, Ketua Saniri Negri Haria dan Mantan Sekretaris Negri Haria, tanggal 29 oktober 2010 Saniri adalah lembaga adat yang tugasnya menyusun peraturan,
pendapatan dan belanja negridesa bersama pemerintah negri sekaligus mengontrol penerapan kebijakan pemerintah negridesa.
3 tenaga. Sama halnya dalam acara perkawinan juga diadakan kumpul orang sudara untuk
membicarakan hal-hal yang terkait dengan acara perkawinan, dan menetapkan tanggungjawab setiap orang rumah tangga.
Berdasarkan uraian di atas, maka lahatol merupakan suatu bentuk praktek budaya kebudayaan, yang merupakan warisan dari nenek moyang dan yang kini masih diwarisi
oleh masyarakat. Budaya atau kebudayaan menurut Richard Nieburh adalah jumlah keseluruhan dari semua yang timbul secara spontan guna kemajuan hidup material dan
sebagai suatu ekspresi dari kehidupan spiritual dan moril, pergaulan sosial dan ilmu pengetahuan.
4
Ada pula definisi lain yang mengatakan bahwa kebudayaan sebagai suatu keseluruhan dari kelakuan manusia yang diatur oleh tata kelakuan yang harus diperoleh
dengan belajar dan semuanya tersusun serta tampak dalam perilaku manusianya.
5
Selanjutnya ditegaskan oleh Carles Kraf bahwa budaya adalah suatu sistem yang menyangkut seluruh cara berpikir sekelompok masyarakat sehingga mereka dipersatukan
dan memberi sekelompok masyarakat bertindak bersama agar bertahan dan dapat mengungkapkan rasa dan keyakinan mereka serta mewujudkan kesenangan hidupn
mereka. Sikap hidup kekeluargaan merupakan wujud dari adanya persekutuan hidup yang
didasarkan pada hubungan darah, marga, kelompok, suku, negeri, keturunan, dan matarumah.
6
Lahatol yang merupakan budaya masyarakat desa Haria mengkonfirmasikan pola keterikatan kekerabatan dalam marga dan dalam hubungan darah. Pola hidup dalam
4
Richard Nieburh, Kristus dan Kebudayaan, Jakarta: Petra Jaya, 1949, 36
5
Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002, 9
6
Ibid, 27
4 ikatan selalu diwarnai dengan saling memberi bagi keluarga yang mengalami kesusahan
atau kekurangan. Sikap dan keprihatinan terhadap kebutuhan yang dialami oleh setiap keluarga memikul beban bersama sangat nampak jelas dan hidup peranan adat dan tradisi
di Maluku, sehingga apapun keadaan suatu keluarga dengan segala kekurangannya dari segi materi, namun demi kepentingan persaudaraan maka saudaranya akan turut
mengambil bagian di dalam hal berusaha sekuat-kuatnya memikul tanggung jawab bersama. P. Tanamal berpendapat bahwa sikap hidup kekeluargaan dilihat sebagai sikap
hidup “toleransi” artinya sikap aktif memikul tanggung jawab bersama.
7
Hal tersebut mencerminkan eksistensi dari pribadi dan kebersamaan untuk mengambil bagian dalam kata dan perbuatan manusia. Disadari bahwa sikap hidup
kekeluargaan sangat diperlukan bagi pengembangan hidup besama. Itu berarti dalam mengembangkan pola hidup bersama solidaritas diakonal menjadi unsur penting sehingga
setiap orang tidak hanya mementingkan dirinya sendiri melainkan memiliki keberpihakan dan ikut serta memikirkan dan menanggung beban orang lain–saudaranya dalam wujud
kerja sama. Kerja sama merupakan penggabungan tenaga dan ketrampilan dalam penyelesaian pekerjaan yang tidak terjangkau oleh kekuasaan perorangan atau keluarga
dan dalam pelaksanaannya tidak terkait dengan adat.
8
Begitu pula lahatol dilaksanakan dalam bentuk persekutuan atau kelompok orang basudara yang selalu aktif memikul beban
bersama dalam suka maupun duka, didasarkan pada nilai-nilai adat yang diikat oleh hubungan darah. Sekalipun demikian, dalam prakteknya lahatol sedang mengalami proses
“dilupakan” oleh sebagian masyarakat.
7
P. Tanamal, Pengabdian dan Perjuangan, Ambon: OFFSET PNRI, 1985, 10
8
Frank F. Cooley, Mimbar dan Tahkta, Jakarta: Pustaka Seminar Harapan, 1987, 88
5 Dikatakan sebagain masyarakat, sebab dalam sejarah perkembangannya, lahatol
mulai mengalami proses “dilupakan” oleh sebagian masyarakat lainnya. Yang dimaksudkan dengan “dilupakan” adalah proses atau praktek lahatol tersebut dalam
kehidupan bersama, tetapi sebagai sebuah nilai, ‘dia’ masih terus diingat oleh para pewarisnya. Jadi ada kesan bahwa masyarakat sadar akan nilai kebersamaan, kekeluargaan,
tolong-menolong, dan kerjasama yang ada dalam lahatol, namun dalam prakteknya terkadang tidak dilakukan, akibat berbagai faktor. Misalnya saja karena secara ekonomi
sudah mapan sehingga lahatol terkadang tidak dilakukan ketika keluarga tersebut melakukan sebuah hajatan.
Bergulirnya zaman membuat keadaan dan suasana berubah dengan adanya perkembangan berbagai gagasan, nilai serta pandangan baru, seperti modernisasi,
materialisme dan individualisme. Perkembangan ini diduga berkontribusi pada lemahnya atau kurang berfingsinya praktek lahatol dalam kehidupan masyarakat Haria. Sebab
sebagian warga masyarakat cenderung hidup untuk dirinya, pola kerjasama lewat “kumpul sudara” menjadi tidak terlalu bermakna, karena setiap acara, kegiatan, pekerjaan, dan
tanggungan bersama digantikan oleh keputusan membayar tenaga orang lain. Terhadap kenyataan yang memprihatinkan ini maka peneliti merasa tertarik untuk mengkaji lebih
jauh pemahaman serta nilai-nilai yang terkandung dalam lahatol bagi masyarakat Haria dengan rumusan judul tesis, yakni :
“ LAHATOL ” Studi terhadap Pelaksanaan Budaya Lahatol
Di Desa Haria, Kecamatan Saparua, Kabupaten Maluku Tengah, Propinsi Maluku
6
B. Rumusan Masalah