mendapatkan pengakuan dari pihak yang lain sehingga nantinya mereka akan mendapatkan suatu persamaan sosial. Bahkan menurut
Laker dalam keadaan dimana individu ataupun kelompok merasa identitasnya sebagai anggota suatu kelompok kurang berharga maka
akan muncul
fenomena misidentification,
yaitu upaya
mengidentifikasi pada identitas atau kelompok lain yang dipandang lebih baik.
c. Sepak Bola sebagai Kajian Ilmiah
Sebuah catatan tua ditemukan di China dari masa Dinasti Tsin 255-206 SM menurut manuskrip itu, pada zaman Tsin, permainan
yang diberi nama
tsu chu
awalnya dipakai untuk melatih fisik para prajurit kerajaan, kemudian berkembang menjadi sebuah permainan
yang menyenangkan kendati sulit berkembang. Legenda menyebutkan bahwa para anggota kerajaan sangat menggemari permainan ini, raja
– raja sengaja membangun lapangan untuk bermain
tsu chu
dan mewajibkan sekolah mengajarkan olahraga ini Wahyudi, 2009:12.
Pada masa Dinasti Han 206 SM – 200 M, ketenaran
tsu chu
mencapai puncaknya. Dokumen dari tahun 50 SM melaporkan adanya pertandingan tim China melawan Jepang di Kyoto Wahyudi,
2009:13.
Di Yunani, bermain bola sudah dikenal pada tahun 800 SM dengan nama
episkyro
dan
harpatrum
. Pasukan Romawi yang menyerbu Yunani pada 146 SM kemudian mengadopsi permainan ini
dan menyebarkan seiring penaklukan wilayah – wilayah Eropa
Wahyudi, 2009:14. Sepak bola mulai modern dan tertib setelah Giovani Bardi dari Itali membukukan serentetan aturan ini pada 1580.
Di Italia, sepak bola di sebut
calcio
Wahyudi, 2009:15. Banyak cerita menarik bila kita berbicara tentang sepakbola.
Sepakbola yang begitu digemari oleh manusia dari berbagai penjuru du
nia, seakan telah menjadi “agama baru” di era modernisasi seperti saat ini. Sepak bola bukan hanya telah menjadi olahraga rakyat,
melainkan hiburan umat manusia. Sepak bola juga dunia para pahlawan. Dalam sepak bola, penonton diajak untuk menikmati para
pemain yang berupaya mengarahkan kehebatannya melampaui batas –
batas kemampuan kemanusiaannya. Lapangan hijau, teknik, taktik, kostum, dan berbagai aksesori telah menyulap para pahlawan itu
menjadi lebih mempesona. Oleh karena itu, sepak bola lebih dari sekedar olahraga biasa, melainkan pertunjukan yang disukai semua
orang. Dalam sepak bola pula, para pemain menjadi manusia yang
selalu bergulat dengan kerasnya kehidupan. Pergulatan itu tidak selalu
berakhir dengan kemenangan. Akan tetapi, tidak jarang pergulatan itu hanya mengantarkan pemain dan penonton yang terlibat dengan
mereka pada kegagalan. Itulah sebabnya, didalam permainan ini kita selalu melihat dan merasakan komedi, tragedi, serta ketabahan untuk
menerima kekalahan dan keberanian untuk bangkit meraih kemenangan. Sepak bola adalah permainan yang tidak hanya
membawa tawa, tetapi juga tragika Wahyudi, 2009: 11. Sepak bola bukan sekedar olahraga, sepak bola menjadi alat
untuk memahami seluk beluk dunia dengan segala masalahnya. Ajang kejuaraan tingkat dunia
World Cup
diadakan untuk meredam nafsu politik perang sejumlah negara dan diwujudkan dalam pertandingan
sepak bola. Tak heran secara emosional pertandingan sepak bola di
World Cup
sering berlangsung panas. Hingga saat ini, pertemuan Jerman dan Inggris selalu dipenuhi retorika Perang Dunia II. Begitu
pula pertemuan Argentina dan Inggris, dua negara yang berperang gara
– gara berebut Pulau Falklands Wahyudi, 2009 : 21.
Klub sepak bola juga menjadi ekspresi identitas perlawanan nasional. Warga Catalan yang sudah lama ingin melepaskan diri dari
Spanyol menjadikan tim Barcelona sebagai identitas dan harapan perlawanan terhadap pemerintah. Barcelona boleh kalah dari siapapun,
asal tidak kalah dari Real Madrid, klub yang dulu sangat didukung
oleh rezim fasis Franco. Sedangkan di Skotlandia, persaingan sepak bola menjadi simbol persaingan antar agama. Polisi selalu bersiaga
penuh jika klun Glasgow Rangers yang didukung warga Protestan berhadapan dengan Glasgow Celtics yang didukung warga Katolik.
Kini, sepak bola menjadi semacam sebuah keyakinan religius. Praktek realisasinya juga dilakukan mirip sebuah agama dan bentuk
kepercayaan. Praktek ini menjadi bentuk ritual yang secara perlahan membentuk sistem emosional dan fanatisme Wahyudi, 2009:28.
Melihat fanatisme para pendukung dan jangkauan pengaruhnya, tak heran jika sejumlah orang mengatakan sepak bola telah menjadi
agama di Amerika Latin. “Nabi – nabinya bernama Pele dan Maradona. Bahkan, di Argentina terdapat Iglesia Maradoniana Gereja
Maradona, sebuah agama parodi yang mendewakan sang bintang tersebut. Pengikut kultus ini berjumlah sekitar 15 ribu orang
Wahyudi, 2009:27. Di Ukraina, sepak bola adalah bagian dari apresiasi dari religiusitas masyarakat. Ketika tim nasional Ukraina
hendak bertanding, misalnya pemerintah secara khusus menggiring para pemain untuk berdoa khusuk di altar selama beberapa jam,
meminta kepada Tuhan agar diberi kemenangan. Di Iran, sepak bola dianggap sebagai gerak sekularisme. Imam Khoemeni adalah
penguasa yang bersikeras melarang perempuan masuk stadion, apalagi bermain bola Wahyudi, 2009:27.
Sepak bola telah mempertemukan manusia dari berbagai penjuru dunia. Sepak bola menjadi media pemersatu bagi manusia. Liga
– liga sepak bola lebih sukses dibandingkan serangkaian konfrensi yang
telah dilakukan untuk menyatukan seluruh umat beragama di dunia. Tidak ada lagi sekat etnis, suku, agama, maupun warna kulit di dalam
permainan sepak bola. Suporter menjadi kekuatan yang tidak bisa dipisahkan dari sepak bola, di Inggris, suporter sepak bola kerap
berlaku selayaknya pemilik klub, presiden klub, direktur, manajemen, atau pemain bisa kalah dengan mereka dalam hal “kepemilikan”.
Begitu pula di Italia dan negara – negara lainnya.
Sepak bola bukan perkara kalah dan menang dalam pertandingan, melainkan mengandung berbagai macam politik diluar
lapangan. Itulah sebabnya kaum Protestan di Jerman sering mengolok – olok klub Bayern Munchen karena dianggap sebagai klub warisan
Yahudi. Sama halnya dengan otoritas gereja di Inggris yang pernah berfatwa agar pertandingan sepok bola tidak dilangsungkan pada hari
Minggu supaya gereja tetap dikunjungi warga Wahyudi, 2009:57.
Namun, sepak bola juga memiliki kisahnya yang berhubungan dengan vandalisme, peristiwa
– peristiwa kekerasan dan aksi – aksi
hooliganisme
. Tragedi Heysel di Brusel membuktikan betapa fanatisme tanpa aturan justru menjadi pengkhianatan terhadap sasaran
utama. Fanatisme pendukung Liverpool telah mengkhianati sepak bola, juga olahraga pada umumnya. Peristiwa ini terjadi pada 29 Mei
1985 dalam pertandingan perempat final
Champions Cup
1985 di Stadion Heysel, Brussels, Belgia. Ketika itu, pertandingan belum
dimulai. Entah siapa yang mengawali, tiba – tiba terjadi kekacauan di
sektor Z stadion. Pagar penyekat yang memisahkan pendukung
Liverpool
dan
Juventus
ambruk. Penonton pun panik dan berhamburan untuk menyelamatkan diri. Beberapa orang tewas karena terinjak
– injak.
Menurut sosiolog David Robbins, sepak bola sebenarnya sangat ideal untuk tempat pelepasan kaum muda. Tekanan sosial dan
ekonomi yang
semakin menghimpit
perlu katup
untuk menyalurkannya. Saluran itu tersedia hanya pada sebuah tontonan
semacam sepak bola Wahyudi, 2009:65. Penonton sepak bola bisa melepas unek
– uneknya selama pertandingan berlangsung. Berteriak, bersorak, dan bernyanyi. Mereka bebas memaki pemain atau wasit.
Hanya saja, saluran pelepasan ini kini bukan tempatnya lagi bagi para
pelaku vandalisme. Sepak bola sebagai pertandingan sudah tidak enak lagi ditonton. Bukan karena permainannya, tetapi karena ulah
penontonnya yang brutal. Belanda adalah salah satu negara yang memiliki tradisi sepak
bola yang kuat. Suporter fanatik
Ajax
berkali – kali terlibat
perkelahian dengan pendukung
Feyenoord
. Uniknya , walaupun sering bertikai ketika mendukung klub,
hooligan
Belanda bisa bersatu dalam waktu tertentu. Misalnya, ketika tim nasional Belanda bertemu
Jerman, para hooligan itu tiba – tiba bersatu dan bersorak mendukung
tim kesayangan mereka Wahyudi, 2009:77 Dibelahan Amerika Latin
hooligan
memiliki sebutan lain,
Barrabravas
. Barrabravas paling ekstrem terdapat di Argentina. Barrabravas Boca terkenal ekstrem. Apalagi jika Boca bertanding
melawan rival utama mereka River Plate. Wahyudi, 2009:79 Argentina memiliki banyak kelompok
barrabravas
. Mereka terpecah menjadi berbagai faksi dan terkadang saling bentrok. Mereka bahkan
sering ikut campur dalam urusan intern klub. Pada september 2003, Liga Argentina nyaris dihentikan karena berbagai kekacauan dan
kerusuhan oleh barrabravas di dalam dan di luar stadion Wahyudi, 2009:82.
Di Indonesia, Bonek adalah suporter yang memiliki militansi tinggi dan fanatisme serta loyalitas yang tinggi terhadap Persebaya,
namun banyak stigma negatif tentang Bonek dan sangat identik dengan kekerasan yang terjadi pada sepakbola Indonesia, walaupun
tidak semua yang diberitakan adalah benar.
d. Budaya