1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan secara historis telah ikut menjadi landasan moral dan etik dalam proses pembentukan jati diri bangsa. Di samping itu pendidikan juga
merupakan variabel yang tidak dapat diabaikan dalam mentransformasi ilmu pengetahuan, keahlian dan nilai-nilai agama. Hal tersebut sesuai dengan fungsi
pendidikan nasional yaitu untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bemartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, yang ditujukan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab UU Sisdiknas, 2003: 5.
Secara menyeluruh program pendidikan di Indonesia pada berbagai jenjang dan jenis pendidikan dirancang untuk mencapai tujuan pendidikan
tersebut yang disusun sistematis dan terarah dalam suatu kerangka kurikulum pendidikan.
Kurikulum pendidikan adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar Hamalik, 2005:18, serta sebagai alat untuk membina dan mengembangkan potensi siswa menjadi manusia yang
2
berilmu dan berpegang teguh pada nilai-nilai dan norma-norma kehidupan, termasuk di dalamnya nilai-nilai ajaran agama.
Sehubungan dengan itu, pendidikan agama sebagai program pendidikan yang memiliki peranan sangat penting dalam kehidupan manusia sebagai tata
nilai, pedoman, pembimbing dan pendorong atau penggerak untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik, wajib diketahui, dipahami, diyakini dan
diamalkan, sehingga menjadi dasar kepribadian bangsa Indonesia. Amir Faisal 1995:27 berpendapat bahwa pendidikan agama Islam
memberikan motivasi hidup dan kehidupan serta merupakan sarana pengembangan dan pengendalian diri yang sangat penting. Ajaran agama
mengatur hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan dirinya, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam atau makhluk lainnya yang menjamin
keserasian dan keseimbangan dalam hidup manusia, baik sebagai anggota pribadi maupun sebagai anggota masyarakat dalam mencapai kualitas hidup lahir dan
bathin. Dengan kata lain hakikat pendidikan agama islam itu adalah pendidikan yang mementingkan terhadap perkembangan akal dan intuisinya, rohani dan
jasmaninya, akhlak dan keterampilannya, Abdul Qodir Jaelani 1990:3. Mata pelajaran Pendidikan Agama, termasuk Pendidikan Agama Islam,
baru dijadikan sebagai mata pelajaran wajib di sekolah dari mulai sekolah dasar sampai perguruan tinggi pada tahun 1973. Dasar hukum yang menjadi
landasannya adalah Ketetapan MPR Nomor IV tahun 1973 tentang GBHN bidang Agama dan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa berikut ini.
3
Diusahakan bertambahnya
sarana-sarana yang
diperlukan bagi
pengembangan kehidupan keagamaan dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, termasuk pendidikan agama yang dimasukkan ke dalam kurikulum
sekolah-sekolah mulai dari sekolah dasar sampai dengan universitas- universitas negeri Tafsir, 1992:3.
Ketetapan MPR tersebut, ternyata tidak hanya mengakibatkan pendidikan
agama diajarkan di sekolah-sekolah negeri dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi, tetapi juga menjadi dasar bagi sekolah-sekolah swasta untuk
mengajarkan pendidikan agama. Pada dasarnya Ketetapan MPR Nomor IV tahun 1973 inilah yang menjadi landasan pendidikan agama di sekolah-sekolah di
Indonesia sampai sekarang Tafsir, 1992:3. Berbagai usaha terus dilakukan agar setelah masuknya pelajaran agama ke
dalam kurikulum sekolah, mencapai tujuan yang diharapkan. Sebagai mata pelajaran yang dianggap dapat membentuk watak dan kepribadian siswa, fungsi
dan tugas mata pelajaran Pendidikan Agama Islam menjadi tidak ringan. Akan tetapi, harapan yang ingin dicapai melalui pembelajaran Agama Islam di sekolah
masih jauh dari kenyataan yang terjadi. Beberapa hasil penelitian tentang Pendidikan Agama Islam PAI
menggambarkan antara lain, penelitian Adiar, 2003 mengungkapkan bahwa komitmen siswa dalam menjalankan ajaran agama masih jauh dari ideal, sehingga
penampilan moral yang ditunjukkan siswa kecil kemungkinan dipengaruhi oleh pemahaman agamanya. Penelitian ini menunjukkan pula bahwa perubahan
perilaku moral siswa yang diperoleh melalui pembelajaran agama di sekolah ternyata dirasakan tidak tahan lama. Juga penelitian Sayuti 2002:142 di SMA 4
Bandung mengenai hasil evaluasi terhadap implementasi kurikulum PAI
4
menunjukkan bahwa penilaian ranah afektif atau sikap dan keterampilan psikomotor cenderung diabaikan. Padahal guru kontekstual menurut
Sukmadinata 2004:186 seharusnya melakukan evaluasi yang komprehensif, yang mencakup evaluasi proses; misalnya ketika siswa berdiskusi, mengerjakan
tugas, melakukan latihan, percobaan pengamatan, penelitian, pemecahan masalah dan penyelesaian soal. Hal inilah yang dimaksud evaluasi otentik, yaitu apa yang
secara nyata dilakukan dan dihasilkan siswa. Dalam upaya mengembangkan kurikulum, khususnya kurikulum mata
pelajaran PAI, guru tidak lagi hanya menekankan pada aspek kognitif atau intelektualnya saja, karena yang lebih penting adalah bagaimana melalui proses
pembelajaran itu dapat menciptakan seorang muslim sejati dengan menanamkan nilai-nilai keimanan, ibadah dan akhlaqul karimah pada diri siswa untuk
direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Di samping itu, guru tidak lagi menjadi satu-satunya sumber belajar bagi siswa, melainkan siswa dapat mencari
dan menemukan sendiri apa yang dipelajarinya, atau bisa juga mendapatkannya dari siswa yang lain melalui kegiatan belajar bersama.
Untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, guru perlu melakukan perbaikan atas praktek pembelajaran yang dilakukan. Kemampuan dan
ketepatan guru dalam memilih model pembelajaran yang menunjang pencapaian tujuan kurikulum dan sesuai dengan potensi siswa merupakan
bagian kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh seorang guru. Menurut Sukmadinata 2000: 87, ”Tugas guru adalah menciptakan situasi yang
permisif dan mendorong siswa untuk mencari dan mengembangkan pemecahan
5
sendiri. Dengan menjadikan siswa sebagai subjek belajar, maka paradigma yang dikembangkan dalam proses pembelajaran adalah terciptanya suasana
belajar yang lebih demokratis, kolaboratif dan konstruktif. Suasana belajar seperti ini akan menjadikan kelas sebagai miniatur masyarakat yang dinamis,
inovatif dan kreatif serta interaksi multi arah antara guru dan siswa atau antara siswa dengan siswa, makin intens, sehingga terjadi interaksi yang kondusif
akan menentukan efektivitas pembelajaran, dan pada akhirnya akan dapat meningkatkan kualitas belajar.
Penyampaian materi pendidikan Agama di sekolah sebagian besar masih dilakukan hanya sebatas teori, padahal yang lebih penting adalah menciptakan
suasana keagamaan bagi peserta didik yang membutuhkan dukungan kerjasama antara penanggung jawab pendidikan di lingkungan pendidikan.
Kenyataan ini memberikan suatu gambaran bahwa tuntutan kompetensi dasar peserta didik terhadap pelajaran PAI sangat diharapkan, sehingga peserta
didik dapat mencerminkannya dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu guru harus menguasai materi, terampil dan menguasai berbagai strategi atau metode
pengajaran yang sasarannya membantu peserta didik untuk mencapai tujuan. Untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, maka guru yang kompeten
harus mampu memilih model pembelajaran yang tepat. Salah satu model pembelajaran yang diharapkan dapat meningkatkan prestasi belajar peserta didik
dan untuk meningkatkan pemahaman agamanya, ialah model Contextual Teaching and Learning CTL, yaitu suatu pendekatan pembelajaran yang mengaitkan
suasana pembelajaran dengan konteks di mana siswa berada.
6
Pendekatan CTL yang dikembangkan dan telah disempurnakan melalui penyesuaian dengan situasi, kondisi dan kultur Indonesia. Pendekatan CTL yang
digagas pihak direktorat merupakan salah satu hasil inovasi dalam pembelajaran untuk meningkatkan mutu terutama yang berkaitan dengan tuntutan KTSP. CTL
dilaksanakan melalui penyesuaian dengan situasi, kondisi dan kultur Indonesia. Beberapa pendekatan yang secara substantif memiliki akar yang sama dengan
CTL, di beberapa negara maju kini sedang giat-giatnya diterapkan dalam pembelajaran di sekolah.
Pendekatan kontekstual merupakan pendekatan pembelajaran yang memfasilitasi kegiatan belajar siswa untuk mencari, mengolah dan menemukan
pengalaman belajar yang lebih bersifat konkrit terkait dengan kehidupan nyata melalui pelibatan aktivitas belajar siswa, mencoba melakukan dan mengalami
sendiri learning by doing. Dengan demikian pembelajaran tidak sekedar dilihat dari sisi produk, akan tetapi yang terpenting adalah proses. Oleh karena itu tugas
guru mata pelajaran PAI di SMA adalah mensiasati strategi pembelajaran yang bagaimana yang dipandang lebih efektif dalam membimbing kegiatan belajar
siswa agar tujuan pembelajaran dapat tercapai secara optimal. CTL sebagai suatu pendekatan pembelajaran, dalam implementasinya
tentu saja memerlukan perencanaan disain pembelajaran yang mencerminkan konsep dan prinsip CTL. Demikian pula dalam pelaksanaan pembelajarannya,
menuntut profesionalisme guru untuk melaksanakan proses pembelajaran sesuai dengan karakteristik CTL.
7
Guru yang profesional adalah guru yang mampu membuat rancangan persiapan mengajar sebagai pedoman umum yang siap untuk digunakan dalam
melakukan kegiatan belajar mengajar di kelas maupun di luar kelas. Demikian juga guru profesional yang memiliki kemampuan melaksanakan proses
pembelajaran yang dapat memfasilitasi belajar secara aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan. Oleh karena itu guru yang pofesional harus mampu menggunakan
multi metode pembelajaran yang mampu membuat siswa aktif. Berkaitan dengan CTL sebagai suatu pendekatan pembelajaran yang
dikembangkan dalam mata pelajaran Pendidikan Agama Islam di SMA, maka menuntut profesionalisme guru dalam hal bagaimana membuat perencanaan
pembelajaran persiapan sebagai pedoman prinsip pembelajaran CTL; bagaimana guru dengan profesionalismenya mampu memilih dan menggunakan multi metode
dan media serta sumber pembelajaran dalam melaksanakan proses pembelajaran yang berorientasi pada pendekatan CTL; bagaimana bentuk dan jenis evaluasi
yang harus dikembangkan untuk mendapatkan informasi yang akurat mengenai pengalaman belajar yang telah dimiliki siswa dari kegiatan pembelajaran berbasis
CTL; bagaimana dampak dari pendekatan CTL yang diterapkan terhadap aktivitas, kreativitas dan kebermaknaan belajar siswa.
Pengembangan model pembelajaran berbasis CTL ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas dan efektivitas mata pelajaran Pendidikan Agama Islam
dengan menelaah dan mengkaji tingkat partisipasi aktif peserta didik dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang lebih dinamis, komunikasi
pembelajaran yang menyenangkan, peningkatan penguasaan tehadap materi tema
8
oleh peserta didik serta memiliki dampak penggiring pada peningkatan tingkat kedisiplinan dalam belajar, tanggung jawab terhadap tugas, perkembangan sikap
toleransi dan sopan santun. Berkenaan dengan sistem pembelajaran melalui pendekatan kontekstual
ini, SMA Laboratorium-Percontohan UPI sebagai suatu lembaga pendidikan tingkat satuan pendidikan menengah atas yang memiliki visi keunggulan
akademis, sosial, dan religi dengan kualitas lulusan berdaya saing tinggi dan berakhlak mulia, sejalan dengan program pendidikan pemerintah yang
mengembangkan pendekatan
kontekstual telah
mencoba menerapkan
pembelajaran ini pada semua mata pelajaran, termasuk di dalamnya pembelajaran Pendidikan Agama Islam PAI.
Penerapan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran PAI di SMA Laboratorium-Percontohan UPI yang selama ini berlangsung, tampak dari
persiapan, pelaksanaan, maupun evaluasi terhadap proses pembelajaran tersebut. Dengan kualifikasi tenaga pengajar yang sebagian besar berpendidikan strata-1
dan selebihnya berpendidikan strata-2 program pendidikan, penerapan pembelajaran kontekstual khususnya dalam pembelajaran PAI di sekolah ini
dilakukan melalui tahap-tahap serta karakteristik pelaksanaan proses pembelajaran yang memfasilitasi kegiatan belajar siswa untuk memperoleh pengalaman belajar
yang lebih bersifat konkrit serta mencoba melakukan dan mengalami sendiri tentang materi-materi yang sedang dipelajarinya.
Berbagai persiapan yang dilakukan baik oleh guru maupun siswa dalam proses pembelajaran PAI telah dilaksanakan sebagai upaya memfokuskan
9
pembelajaran yang terarah, serta pelaksanaan pembelajaran yang lebih menekankan pada aktivitas dan produktivitas siswa agar siswa dapat memahami
secara mendalam tentang apa yang dipelajarinya. Sementara itu, evaluasi pembelajaran PAI di SMA Laboratorium-Percontohan UPI dilaksanakan secara
berkesinambungan mulai dari evaluasi proses pembelajaran hingga evaluasi hasil pembelajaraan, dimana siswa telah memperlihatkan suatu indikasi penerapan
sistem pembelajaran kontekstual. Namun
persoalannya sekarang
adalah sejauhmana
penerapan pembelajaran kontekstual dalam PAI serta bagaimana dampak pembelajaran
tersebut terhadap kreativitas, aktivitas, serta kebermaknaan belajar siswa di SMA Laboratorium-Percontohan UPI.
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka penulis
menemukan permasalahan yaitu “Bagaimana Pendekatan Pembelajaran Kontekstual Pada Pelajaran Pendidikan Agama Islam PAI di SMA
Laboratorium-Percontohan UPI?”.
B. Rumusan Masalah