Implementasi konsep pendidikan john dewey pada mata pelajaran agama islam (pendekatan kontekstual)

(1)

IMPLEMENTASI KONSEP PENDIDIKAN JOHN DEWEY

PADA MATA PELAJARAN AGAMA ISLAM (PENDEKATAN

KONTEKSTUAL)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk

Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)

Oleh

Ririn Eka Kartika

1110011000134

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2015


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep pendidikan John Dewey pada mata pelajaran pendidikan agama Islam (Pendekatan Kotekstual). Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2014 sampai bulan Desember 2014 yang digunakan untuk pengumpulan data mengenai sumber-sumber tertulis yang diperoleh dari teks book yang ada di perpustakaan, artikel, jurnal serta website yang ada hubungannya dengan konsep pendidikan John Dewey pada mata pelajaran agama Islam (Pendekatan Kontekstual). Jenis metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan library research. Sedangkan dalam memperoleh data, fakta dan informasi yang akan melengkapkan dan menjelaskan permasalahan dalam penulisan skripsi, penulis menggunakan metode deskriptif yang didukung oleh data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan.

Hasil yang ditemukan dalam penelitian ini bahwa ada keterkaitan antara kontekstual konsep pendidikan John Dewey dengan mata pelajaran agama Islam. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa kontekstual konsep pendidikan John Dewey dapat dipadankan dengan mata pelajaran agama Islam.


(7)

ABSTRACT

Ririn Kartika Eka (1110011000134). Implementation Concept of Education John Dewey on Religious Subjects (Contextual Approach). Thesis, Department of Islamic Education, Faculty of Science and Teaching UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

This study aims to determine the concept of education John Dewey on the subjects of Islamic religious education (Kotekstual approach). This research was conducted in August 2014 through December 2014 are used for collecting data on written sources obtained from the text book in the library, articles, journals and websites that have something to do with the concept of education John Dewey on the subjects of Islam (Contextual Approach). This type of method used in this study is a qualitative research method to approach research library. While in obtaining the data, facts and information that would complete and explain the problems in the writing, the author uses descriptive method that is supported by data obtained through library research.

The results found in this study that there is a correlation between contextual concept of education John Dewey with Islamic religious subjects. These results indicate that the contextual concept of education John Dewey can be paired with Islamic religious subjects.


(8)

i

Assalamu’alaikum wr, wb.

Alhamdulillahi Robbil’ alamin, segala puji hanya bagi Allah SWT pemilik

semesta di seluruh alam raya. Atas berkat dan rahmat serta ridho-Nya. Alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi tepat pada waktunya. Sholawat dan salam senantiasa tercurahkan untuk Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, para sahabat dan pengikut-pengikutnya hingga akhir zaman. Selama proses penyusunan skripsi ini penulis mendapatkan banyak dukungan dan bantuan dari berbagai pihak guna membantu lancarnya penelitian ini, baik secara langsung atau tidak oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA Selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah.

2. Dr. Abdul Majid Khon, MA selaku Ketua jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

3. Marhamah Saleh, MA selaku Sekertaris jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

4. Dr. Akhmad Sodiq, MA sebagai dosem pembimbing skripsi yang begitu teliti sabar dalam membimbing saya, memberikan pengarahan dan masukan dalam penulisan skripsi ini serta meluangkan banyak waktunya dalam proses penyusunan skripsi ini.

5. Dr. Zaimudin, MA selaku dosen penasihat akademik dan segenap dosen jurusan Pendidikan Agama Islam yang selalu memberikan motivasi untuk penulis.

6. Ayahku Entis Rosiawandi dan Ibunda Apiati Sopiah tercinta yang telah merawat


(9)

ii

moril dan materil sejak kecil hingga saat ini dan juga terimakasih kepada adikku satu-satunya Rizki Sulaeman yag banyak memberi dukungan selama ini.

7. Teman-teman MOLOSE C, KSR, The Community serta rekan seperjuangan jurusan Pendidikan Agama Islam 2010 yang selalu mensupport penulis.


(10)

iii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 4

C. Pembatasan Masalah ... 5

D. Perumusan Masalah ... 5

E. Tujuan Penelitian ……….. ... 5

F. Manfaat Penelitian ... 5

BAB II KAJIAN TEORITIK A. Pembelajaran Kontekstual ... 7

1. Pengertian Pendekatan Kontekstual ... 7

2. Peran Guru dalam Pendekatan Kontekstual ... 8

3. Karakteristik Pendekatan Kontekstual ... 9

4. Prinsip Pendekatan Kontekstual ... 10

5. Perbedaan Pendekatan Kontekstual dengan Pembelajaran Tradisional ... 11

6. Sejarah Kontekstual dan Keterkaitan dengan John Dewey ... 12

B. Konsep Pendidikan John Dewey ... 18

1. Biografi John Dewey ... 18

2. Karya-karya John Dewey ... 19

3. Pandangan Hidup (Falsafah) John Dewey ... 20

4. Konsep Pendidikan John Dewey ... 23

5. Sekolah Kerja John Dewey ... 25

C. Pendidikan Agama Islam ... 33

1. Pengertian Pendidikan Agama Islam ... 33

2. Tujuan Pendidikan Agama Islam ... 35


(11)

iv

D. Hasil Penelitian yang Relevan ... 36

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Objek dan Waktu Penelitian ... 39

B. Metode Penelitian ... 39

C. Fokus Penelitian ... 40

D. Prosedur Penelitian ... 40

E. Sumber Data ... 41

F. Analisis Data ... 42

G. Teknik Penulisan ... 42

BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kontekstual Pendidikan John Dewey pada Mata Pelajaran Agama Islam ... 43

B. Konsep Pendidikan John Dewey pada Mata Pelajaran Agama Islam (Pendekatan Kontekstual) ... 52

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 58

B. Saran ... 58


(12)

v


(13)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi manusia, karena melalui pendidikan manusia dapat memahami apa arti dan hakikat hidup, serta untuk apa dan bagaimana menjalankan tugas hidup dan kehidupan secara benar. Pendidikan juga berperan penuh dalam pembentukan kepribadian yang unggul dengan menitikberatkan pada proses pematangan kualitas logika, hati, akhlak dan keimanan.1 Tujuan pendidikan yang akan dicapai adalah tujuan yang sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, seperti yang tercantum dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 pada Bab II pasal 3, dijelaskan bahwa:

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.2

Berdasarkan tujuan tersebut pemerintah Indonesia memiliki tanggung jawab mewujudkan masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang berkualitas. Pendidikan nasional bukan hanya sebatas peningkatan kualitas kehidupan, namun pendidikan juga meningkatkan harkat dan martabat seseorang di mata Allah. Hal ini dijelaskan oleh Allah dalam surah al-Mujaadalah ayat 11:

1 Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), Cet. I, h. 10


(14)











“...niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Q.S. Al-Mujaadalah: 11) Ayat tersebut menjelaskan bahwa tujuan dari kepemilikan ilmu pengetahuan bukan semata-mata mencerdaskan akal pikiran, akan tetapi untuk meningkatkan keimanan dan keyakinan kepada Allah. Oleh karenanya maka perlu dirumuskan pandangan hidup Islam dapat mengarahkan tujuan dan sasaran pendidikan Islam.

Sebagai landasan pandangan seorang muslim disebutkan dalam ayat

al-Qur’an:









“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam”. (Q.S. Al-Imran: 19)

Seorang muslim wajib mentaati ajaran Islam dan menjaga agar rahmat Allah tetap bersama dirinya. Ia harus mampu memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-Nya yang didorong oeh iman sesuai dengan akidah Islamiah. Untuk itulah manusia harus dididik melalui proses pendidikan Islam.

Pengertian pendidikan Islam adalah suatu sistem kependidikan yang mencangkup seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh hamba Allah. Oleh karena Islam mempedomani seluruh aspek kehidupan manusia baik


(15)

3

duniawi maupun ukhrawi.3 Mengingat luasnya jangkauan yang harus digarap oleh pendidikan Islam, maka pendidikan Islam tidak menganut sistem tertutup melainkan terbuka terhadap tuntutan kesejahteraan umat manusia, baik tuntutan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi maupun tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup rohaniah. Kebutuhan itu semakin meluas sejalan dengan meluasnya tuntutan hidup manusia itu sendiri.

Namun perjalanan panjang pendidikan Islam di Indonesia hingga kini masih diliputi kendala yang cukup mendasar. Sebagai contoh, persoalan yang menyangkut kesejahteraan guru, ketersediaan guru baik dari segi kuantitas maupun kualitas, ketersediaan fasilitas belajar, manajemen kelembagaan, muatan kurikulum dan tumpukan persoalan lain yang masih terkait. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika kualitas hasil belajar siswa masih rendah. Proses belajar-mengajar dan hasil belajar siswa sebagian besar ditentukan oleh peranan dan kompetensi guru. Guru yang kompeten akan lebih mampu menciptakan lingkungan belajar yang efektif dan akan lebih mampu mengelola kelasnya sehingga hasil belajar siswa berada pada tingkat optimal. Akan tetapi kenyataannya menunjukan bahwa selama ini kebanyakan guru menggunakan pembelajaran yang kurang tepat.

Hal tersebut membuat kita mengambil kesimpulan bahwa pembelajaran agama Islam hanyalah bersumber dari materi yang dihafal oleh siswa. Guru agama Islam ketika proses belajar mengajar cenderung hanya memakai metode ceramah dan menganggap siswa sebagai objek, hal tersebut membuat siswa hanya mendapatkan informasi secara pasif serta tidak berperan aktif di dalam kelas.

Pembelajaran hanya berpusat pada peran guru menurunkan strategi pembelajaran langsung (direct insruction). Sedangkan pendekatan pembelajaran berpusat pada siswa menurunkan strategi pembelajaran discovery dan inkuiri serta strategi pembelajaran induktif.4 Berdasarkan kenyataan di atas, maka diperlukan sebuah strategi pembelajaran baru pada

3 Mahmud Yunus, Pendidikan dan Pengajaran, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1997), h. 9 4 Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Pt. Rineka Cipta, 2009), Cet. IV, h. 247


(16)

mata pelajaran agama Islam yang lebih memperdayakan siswa. Sebuah strategi belajar yang tidak mengharuskan siswa untuk menghapal fakta-fakta, tetapi sebuah strategi yang mendorong siswa untuk mengkonstruksi pengetahuan dalam benak mereka sendiri di antaranya dengan pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning).5

dalam masyarakat yang sesuai dengan bakatnya. Pengajaran ini dikenal dengan kerja proyek John Dewey.6

Pendidikan agama Islam tidak dipandang sebagai salah satu mata pelajaran yang hanya menekankan pada kemampuan kognitif saja, melainkan mencangkup afektif dan psikomotorik. Adapun yang pada awalnya materi pendidikan agama Islam yang cenderung berpusat pada peran guru (teacher sentered), kini dapat mendorong siswa untuk mengkonstruksi pengetahuan dalam benak mereka sendiri. Selain itu, setelah siswa dapat mengkonstrusikan pengetahuan sendiri, mata pelajaran agama Islam pun perlu dimplementasikan ke permasalahan lingkungan hidup dan dapat mengembangkan minatnya sendiri, hal tersebut merupakan konsep John Dewey.

Memperhatikan latar belakang masalah di atas, maka perlu dan penting dilakukan penelitian tentang, “Implementasi Konsep Pendidikan John Dewey Pada Mata Pelajaran Agama Islam Dengan Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching And Learning)”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat diidentifikasi beberapa masalah:

1. Pembelajaran agama Islam masih didominasi oleh guru (teacher centered)

2. Prestasi belajar pada mata pelajaran agama Islam siswa masih rendah

5 Soejono, Aliran Baru dalam Pendidikan, (Bandung: CV. Ilmu, 1997), h. 129


(17)

5

3. Siswa kurang mampu menerapkan mata pelajaran agama Islam dalam kehidupan sehari-hari

4. Konsep pendidikan John Dewey umumnya digunakan pada mata pelajaran eksakta (matematika, biolgi, kimia, fisika)

Pembatasan Masalah Penelitian

Mengingat luasnya permasalahan yang telah diungkapkan dan agar penelitian ini terarah dan operasional, maka masalah pokok yang akan diteliti dibatasi pada:

1. Pembahasan konsep Pendidikan John Dewey 2. Pembahasan mengenai mata pelajaran agama Islam

3. pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning).

C. Rumusan Masalah Penelitian

Dari pembatasan masalah di atas, maka permasalahan yang dibahas dalam penelitian dirumuskan sebagai berikut: “Bagaimana implementasi konsep pendidikan John Dewey pada mata pelajaran agama Islam dengan pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning)?”

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan, penelitian ini adalah sebagai berikut: Mengetahui implementasi konsep pendidikan John Dewey pada mata pelajaran pendidikan agama Islam dengan pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning).

E. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Bagi guru, hasil penelitian diharapkan dapat menjadi sumbangan pengetahuan dalam memilih strategi dan pendekatan pembelajaran yang efektif dalam proses belajar-mengajar khususnya di bidang studi agama islam.


(18)

2. Bagi Siswa, hasil penelitian ini dapat memudahkan siswa dalam memahami pelajaran agama islam.

3. Bagi Penulis, Hasil penelitian ini dapat menjadi tambahan bekal ilmu pengetahuan, bahwasanya konsep pendidikan John Dewey dapat diterapkan pada mata pelajaran agama islam dengan pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning). Dan dapat menerapkannya kelak dengan baik dalam proses kegiatan belajar-mengajar.


(19)

7

BAB II

KAJIAN TEORITIK

A. Pembelajaran Kontekstual

1. Pengertian Pendekatan Kontekstual

Menurut Wina Sanjaya Pertama, kontekstual menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi, artinya proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung. Proses belajar dalam konteks CTL tidak mengharapkan agar siswa hanya menerima pelajaran, akan tetapi proses mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran.

Kedua, CTL mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata, artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata, artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan hubungan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat mengaitkan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi itu akan bermakna secara fungsional, akan tetapi materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sehingga tidak akan mudah dilupakan.

Ketiga, CTL mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan, artinya CTL bukan hanya mengharapkan siswa dapat memahami materi yang dipelajarinya, akan tetapi bagaimana materi pelajaran itu dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Materi pelajaran dalam konteks CTL bukan untuk ditumpuk pada otak dan kemudian dilupakan, akan tetapi sebagai bekal mereka dalam mengarungi kehidupan nyata.1

1 Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta: Kencaana, 2008), h. 255


(20)

Pengertian tersebut disimpulkan oleh E. B. Johnson bahwa

kontekstual berarti “teralami” oleh siswa. pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami bukan mentransfer pengetahuan dari guru kepada siswa.2

Pada saatpendekatan kontekstual, guru harus mampu menerjemahkan keanekaragaman dalam proses belajar-mengajar, baik pemilihan materi, penggunaan metode maupun setting pembelajaran. Hal semacam ini akan lebih mengaktifkan siswa dan guru. Potensi dasar dari masing-masing akan terdorong dan berkembang ke arah kemampuan baru. Melalui pembelajaran ini, siswa menjadi tanggung jawab terhadap dunia mereka dan sekitarnya. Mereka akan menggunakannya di kehidupan nyata sehingga memiliki motivasi tinggi dalam belajar.3

Dengan demikian pendekatan kontekstual mengutamakan pada pengetahuan dan pengalaman atau dunia nyata (Real World Learning), berpikir tingkat tinggi, berpusat pada siswa, siswa aktif, kritis, kreatif, memecahkan masalah, siswa belajar menyenangkan, mengasikan, tidak membosankan (Joyfull and Quantum Learning), dan menggunakan berbagai sumber belajar. 4

2. Peran Guru dalam Pendekatan Kontekstual

Tugas guru dalam pendekatan kontekstual adalah membantu siswa dalam mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih berurusan dengan

2 Elaine B. Johnson, op. cit., h. 20

3 Abdurrahman, Meaningful Learning Re-Invensi Kebermaknaan Pembelajaran, (Yogyakarta), h. 92


(21)

9

strategi daripada memberi informasi. Guru hanya mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja sama untuk menemukan suatu yang baru bagi siswa. Proses belajar mengajar lebih diwarnai student centered daripada teacher centered. Maka guru harus melaksanakan beberapa hal sebagai berikut.

a. Mengkaji konsep atau teori yang akan dipelajari siswa

b. Memahami latar belakang dan pengalaman hidup siswa melalui proses pengkajian secara seksama.

c. Mempelajari lingkungan sekolah dan tempat tinggal siswa yang selanjutnya memilih dan mengaitkan dengan konsep atau teori yang akan dibahas dalam pendekatan kontekstual

d. Merancang pengajaran dengan mengaitkan konsep atau teori yang dipelajari dengan mempertimbangkan pengalaman yang dimiliki siswa dan lingkungan hidup mereka.

e. Melaksanakan penilaian terhadap pemahaman siswa, dimana hasilnya nanti dijadikan bahan refleksi terhadap rencana pembelajaran dan pelaksanaannya.5

3. Karakteristik Pendekatan Kontekstual

Dalam pembelajaran terdapat lima karakteristik penting dalam menggunakanKontekstual.

a. Dalam CTL, pembelajaran merupakan proses pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activiting knowledge), artinya apa yang akan dipelajari tidak terlepas dari pengetahuan yang sudah dipelajari, dengan demikian pengetahuan yang akan diperoleh siswa adalah pengetahuan yang utuh dan memiliki keterkaitan satu sama lain.

b. Pendekatan kontekstual adalah belajar dalam rangka memperoleh dan menambah pengetahuan baru (acquiring knowledge). Pengetahuan baru itu diperoleh dengan cara deduktif, artinya pembelajaran dimulai

5Ibid, h. 36


(22)

dengan mempelajari secara keseluruhan, kemudian memperhatikan detailnya.

c. Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge), artinya pengetahuan yang diperoleh bukan untuk dihafal tetapi untuk dipahami dan diyakini, misalnya dengan cara meminta tanggapan dari yang lain tentang pengetahuan yang diperolehnya dan berdasarkan tanggapan tersebut beru pengetahuan itu dikembangkan

d. Mempraktekan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge), artinya pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya harus dapat diaplikasikan dalam kehidupan siswa, sehingga tampak perubahan perilaku siswa.

e. Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan. Hal ini dilakukan sebagai umpan balik untuk proses perbaikan dan penyempurnaan strategi.6

4. Prinsip Pendekatan Kontekstual

Prinsip-prinsip (Contextual Teaching Learning) adalah sebagai berikut.

a. Berpusat pada siswa, artinya bahwa dalam kegiatan belajar-mengajar (KBM) harus berpusat pada siswa, dimana siswa yang dibiarkan untuk aktif menggali pengetahuan baru sedangkan guru hanyalah sebagai fasilitator yaitu bertugas mengarahkan para peserta didik.

b. Pengetahuan adalah pengalaman yang bermakna dalam kehidupan. Yaitu bahwa pengetahuan baru yang didapatkan peserta didik merupakan pengalaman yang dapat bermanfaat dalam kehidupan peserta didik sehari-hari.

c. Siswa praktek, bukan menghafal. Dalam hal ini, proses pembelajaran dilakukan dengan kegiatan peserta didik mempraktekan langsung terhadap pengetahuan baru yang didapatnya, bukan dengan cara menghafalkan pengetahuan yang sudah didapat.


(23)

11

d. Hasil belajar berupa hasil karya siswa dan perubahan perilaku, artinya bahwa dalam proses pembelajaran, diharapkan para peserta didik dapat menghasilkan sebuah karya, baik itu berupa gambar maupun artikel dan sebagainya. Selain itu, diharapkan setelah proses pembelajaran berlangsung, peserta didik mengalami perubahan perilaku yang lebih baik (positif).

e. Penilaian yang sebenarnya. Jadi pada intinya adalah yang dinilai dari proses pembelajaran yaitu apakah peserta didik itu belajar, bukan apa yang sudah diketahui peserta didik sehingga peserta didik dinilai kemampuannya dengan berbagai cara tidak melalui dari hasil ulangan tulis.

f. Model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik anak dan konteks lingkungan. Bahwasanya pendekatan kontekstual mampu menyesuaikan kondisi setempat dengan karakteristik peserta didik sehingga tercipta keselarasan di antara keduanya yang kemudian akan melahirkan lulusan yang mampu menghadapi dan memecahkan masalah kehidupan.7

5. Perbedaan Pendekatan Kontekstual dengan Pembelajaran Tradisional.8

No Pembelajaran Kontekstual Pembelajaran Tradisional

1 Menyadarkan pada pemahaman makna

Menyadarkan pada hafalan

2 Pemilihan informasi berdasarkan kebutuhan siswa

Pemilihan informasi ditentukan oleh guru

3

Siswa sebagai subjek belajar, artinya siswa terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran

Siswa sebagai objek belajar, siswa secara pasif menerima informasi

4 Pembelajaran dikaitkan dengan Pembelajaran sangat abstrak dan

7 Elin Rosalin, op. cit., 30-31 8 Wina Sanjaya, op. cit., h. 261-262


(24)

kehidupan nyata/masalah yang disimulasikan

teoritis

5

Selalu mengaitkan informasi dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa

Memberikan tumpukan informasi kepada siswa sampai saaatnya diperlukan

6 Cenderung mengintegrasikan beberapa bidang

Cenderung terfokus pada bidang (disiplin) tertentu.

7

Siswa menggunakan waktu belajarnya untuk mengaitkan, berdiskusi, berpikir kritis atau mengerjakan proyek dam pemahaman masalah (melalui kerja kelompok)

Waktu belajar siswa sebagian besar digunakan untuk mengerjakan buku tugas, mendengarkan ceramah dan mengisi latihan yang membosankan (melalui kerja individu)

8 Perilaku dibangun atas kesadaran diri

Perilaku dibangun atas dasar kebiasaan

9 Keterampilan dikembangkan atas dasar pemahamannya

Keterampilan dikembangkan atas dasar latihan

10 Hadiah dari perilaku baik adalah kepuasan diri

Hadiah dari perilaku baik adalah pujian atau nilai angka rapor

6. Sejarah Kontekstual dan Keterkaitan dengan John Dewey

Pendekatan kontekstual lahir dari paham konstruktivisme, yaitu paham yang berpendapat bahwa pembelajaran yang bermakna itu bermula dengan pengetahuan dan pengalaman yang ada pada peserta didik. Konstruktivisme berakar pada filsafat pragmatisme yang digagas oleh John Dewey pada tahun 1916. Dewey mengatakan bahwa pendidik yang cakap harus melaksanakan proses pembelajaran sebagai proses penyusun atau membina pengalaman secara berkesinambungan, serta menekankan pada keikutsertaan peserta didik pada setiap aktivitas pembelajaran. Konstruktivisme merupakan landasan filosofi CTL merupakan filosofi


(25)

13

belajar yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekadar menghafal, tetapi peserta didik harus mengonstruksikan pengetahuan dalam benak mereka sendiri, dimana pengetahuan tidak dapat dipisahkan menjadi sebuah fakta yang terpisah, tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan.

Melalui landasan konstruktivisme, pendekatan kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dengan mendorong siswa untuk membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupannya sehari-hari menjadi alternatif strategi belajar yang baru.

Kemampuan otak untuk menemukan makna dengan membuat hubungan-hubungan menjelaskan mengapa siswa yang didorong untuk menghubungkan tugas-tugas sekolah dengan kenyataan saat ini. Dengan konteks kehidupan keseharian maka mereka akan mampu memasangkan makna pada materi akademik mereka sehingga mereka dapat mengingat apa yang mereka pelajari.9

Maka Dewey menyarankan agar kurikulum dan metodologi pembelajaran dikaitkan langsung dengan minat dan pengalaman siswa. Kemudian model pembelajaran CTL dikembangkan oleh ahli-ahli pendidikan dan bukanlah hal yang baru. John dewey mengatakan bahwa model pembelajaran ini dikembangkannya pada tahun 1916 yang dikenal dengan sebutan Learning by Doing, kemudian tahun 1970-an konsep pembelajaran ini dikenal dengan Experiental Learning, pada tahun 1990 model pembelajaran ini dikenal dengan School to Work. Kemudian pada era tahun 2000-an, sebutan model kontekstual ini lebih efektif digunakan.10

9 Elin Rosalin, Gagasan Merancang Pembelajaran Kontekstual, (Bandung: PT. Karsa Mandiri Persada, 2008), h. 24

10 Education Mantap, Sejarah Pembelajaran Kontekstual, 2014, ( http://www.education-mantap.blogspot.com), diakses tanggal 17 Agustus 2014


(26)

Terdapat salah satu karyanya John Dewey yaitu Democracy and Education (1916) yang berkaitan dengan pendekatan kontekstual. Pertama, Pendidikan adalah suatu transmisi yang dilakukan melalui komunikasi. Komunikasi adalah proses dari penyatuan empiris dan proses modifikasi watak hingga menjadi suatu keadaan pribadi. Hal ini menggambarkan bahwa setiap rancangan sosial memiliki bagian penting dari sebuah kelompok, dari yang tua hingga yang termuda. Untuk itu, pentingnya komunikasi bagi anak ketika belajar karena hal itu berguna untukya kelak dalam masyarakat. Hendaknya siswa dilatih dengan menggunakan waktu belajarnya untuk mengaitkan, berdiskusi, berpikir kritis atau mengerjakan proyek dalam memahami masalah (melalui kerja kelompok). Kegiatan tersebut termasuk ciri dari pendekatan kontekstual. Kedua, Pendidikan sebagai fungsi sosial. Manusia harus dapat memecahkan permasalahannya sendiri, jika tidak bisa atau tidak mau berusaha maka manusia akan kehilangan identitas dirinya sebagai makhluk hidup. Maka anak-anak perlu pembelajaran yang dikaitkan dengan kehidupan nyata/masalah. Pembelajaran yang dikaitkan dengan permasalahan kehidupan yang berkembang di masyarakat, hal itu termasuk ciri dari pendekatan kontekstual. Karena hal itu berguna ketika anak-anak beranjak dewasa sehingga dapat memecahkan masalah dalam kehidupannya.

Ketiga, sekolah-sekolah merupakan kesempatan yang besar bagi penafsiran sebuah aktivitas di dalam pengajaran, dan mereka mungkin memperoleh sebuah perasaan sosial atas kekuatan mereka sendiri dari materi-materi serta peralatan-peralatan yang digunakan di sekolah. Maksudnya sekolah adalah sarana bagi anak mengetahui makna kegiatan dalam pembelajaran dan pengajaran. Melalui materi-materi serta peralatan-peralatan yang digunakan di sekolah memungkinkan mereka mengaplikasikannya di kehidupannya. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami,


(27)

15

bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Hal itu termasuk ciri dari pendekatan kontekstual11

Keempat, Pengetahuan adalah pengalaman yang bermakna dalam kehidupan. Belajar melalui pengalaman-pengalaman yang biasa dilakukannya. Pengalaman yang telah didapat bermanfaat dalam kehidupan peserta didik sehari-hari. Melalui kebiasaan tersebut akan memberikan pelajaran untuk lebih memanfaatkan lingkungan sesuai dengan keinginan manusia. Kebiasaan tersebut dapat menghasilkan pemikiran/riset dan membuat tujuan-tujuan yang baru. Potensi dasar dari masing-masing individu akan terdorong dan berkembang ke arah kemampuan baru. Hal tersebut selaras dengan prinsip pendekatan kontekstual.

Kelima, Pendidikan adalah mempersiapkan atau mendapat kesiapan untuk menjawab tugas atau tanggung jawab mendatang. Hendaknya dalam proses pembelajaran memberi pengetahuan, keterampilan dan kemampuan untuk bekal anak ketika dewasa. Hal ini sangatlah berguna agar anak kelak mengetahui tanggung jawab dan hak-hak kehidupan dewasa. Melalui pembelajaran ini, siswa menjadi tanggung jawab terhadap dunia mereka dan sekitarnya. Karena pada dasarnya pendidikan mempersiapkan anak dalam menghadapi tugas atau tanggung jawab di masa yang akan datang. Hal tersebut selaras dengan hakikat pengertian pendekatankontekstual.12 Pada era selanjutnya pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning) dikembangkan oleh The Washington State Consortium for Contextual Teaching and Learning, yang melibatkan 11 perguruan tinggi, 20 sekolah dan lembaga-lembaga yang bergerak dalam dunia pendidikan di Amerika Serikat.

Pada saat departemen pendidikan Amerika mendanai proyek yang dinamai Recruiting New Teacher yang bertujuan membangun tenaga kerja

11 John Dewey, Democracy and Education, EBook #852, 2010, h. 1, (http://www.gutenberg.org/files/852/852-h/852-h.htm), diakses tanggal 28 Januari 2014


(28)

guru untuk sekolah-sekolah perkotaan (U.S Departement of Education/DEO, n.d), kebanyakan sekolah Amerika terus mengikuti praktik-praktik tradisional, dan akibatnya mengecewakan bagi kemajuan para siswa. Kekurangan-kekurangan ini telah digambarkan dalam berbagai laporan pemerintah selama lebih dari 15 tahun. Berikut ini adalah beberapa cuplikan laporan mengenai keterbatasan yang ditimbulkan oleh pendidik tradisional di Amerika.13

a. Sekolah-sekolah Amerika tidak hanya mengecewakan bagi remaja-remaja berusia antara 16 dan 18 tahun yang meninggalkan sekolah, tetapi mereka juga merugikan orang-orang yang sudah 2 dan 4 tahun kuliah di akademi dan perguruan tinggi. Sudah bukan rahasia lagi bahwa sebagian besar mahasiswa tahun pertama di kampus tanpa persiapan melakukan perkuliahan. Biasanya para mahasiswa ini dibatasi oleh kosakata yang miskin sehingga mereka tidak mampu memahami teks yang lebih rumit ataupun menemukan hal-hal yang agak tersembunyi. Mereka sering melewatkan detail-detail penting dan jarang memahami logika dari suatu pendapat tertulis. Karena mereka sulit memahami bacaan, banyak mahasiswa tahun pertama yang mengalami kesulitan menghadapi tugas membaca yang biasanya diberikan di perkuliahan. Tak heran kebanyakan perguruan tinggi dan universitas Amerika menawarkan kelas-kelas perbaikan bahasa Inggris. Tak heran banyak mahasiswa yang drop out.

b. Para mahasiswa yang mengikuti program D-2 politeknik kerap kali tampil lebih baik daripada mahasiswa tahun pertama perguruan tinggi tradisional. Lagi pula, para mahasiswa politeknik belajar berbagai keterampilan praktis yang membuat mereka lebih siap kerja. Karena terlatih sebagai operator televisi, montir mobil, koki dan pekerja konstruksi, mereka dapat memperoleh pekerjaan. Namun, mereka menyelesaikan pendidikan kejuruan tanpa pengetahuan akademis yang

13 Elaine B. Johnson, Contextual Teaching and Learning: Menjadikan Kegiatan Belajar Mengajar Mengasyikan Dan Bermakna, (Terj. Ibnu Setiawan), (Bandung: Mizan Learning Center, 2007), h. 38-42


(29)

17

diharapkan oleh para pemberi kerja. Menjadi semakin jelas dapat dibuktikan dari iklan-iklan lowongan pekerjaan dan deskripsi pekerjaannya bahwa di dalam era tekhnologi yang cepat berubah ini, para pemberi pekerjaan menginginkan para pekerja mampu menghitung, membaca, mendengarkan dengan seksama, berbicara dengan jelas, menulis dengan baik dan benar, bertanggung jawab, membuat keputusan, memecahkan masalah, belajar sendiri dan bekerja kelompok. Singkatnya, mereka mengharapkan para pekerja memiliki keterampilan dan kompetensi dasar. Di samping situasi lain juga tidak membantu. Biasanya para pengajar terlalu sibuk mengajar kelas-kelas sepanjang hari hingga mereka tidak mempunyai waktu untuk mengenal, atau berbicara kepada setiap siswa. Tambahan lagi karena di dalam sistem tradisional kelas-kelas biasanya hanya berlangsung selama 45 sampai 50 menit, mereka tidak memberikan waktu untuk siswa bertanya, berdiskusi, berpikir kritis, mencari tahu atau bahkan terlibat dalam proyek kerja nyata dan pemecahan masalah. Waktu siswa hanya dihabiskan untuk mengisi buku tugas, mendengarkan pengajar, dan mengerjakan latihan-latihan yang membosankan. Akibatnya siswa mengikut ujian bukan karena pemahaman siswa melainkan mengukur kemampuan siswa menghafal fakta.

Menyadari bahwa sekolah kerap kali gagal maka desakan yang kuat untuk reformasi yang mengusung pembelajaran baru terhadap pendidikan yang kemudian dikenal sebagai CTL, CTL memiliki kemampuan untuk memperbaiki beberapa kekurangan yang paling serius dalam pendidikan tradisional. Desakan ini disuarakan pada tahun 1983 dalam sebuah makalah, A Nation A Risk: The Imperative for Educational Reform (Negara dalam Bahaya: Perlunya Dilakukan Reformasi Pendidikan). Kemudian diselenggarakannya pertemuan tingkat tinggi mengenai pendidikan pada tahun 1989 di Charlottesville, Virginia yang dihadiri oleh para gubernur negara bagian dan presiden Amerika Serikat. Mereka yang menghadiri pertemuan tersebut menginginkan sasaran-sasaran nasional


(30)

harus telah dicapai pada tahun 2000. Sasaran-sasaran yang harus dicapai pada tahun 2000 itu antara lain seperti berikut:

a. Semua anak Amerika akan memulai sekolah dalam keadaan siap belajar b. Tingkat kelulusan sekolah menengah ke atas akan meningkat hingga

setidaknya 90%

c. Siswa-siswa Amerika akan lulus dari kelas empat, delapan dan dua belas setelah menunjukkan prestasi menonjol dalam pelajaran-pelajaran yang menantang termasuk bahasa Inggris, matematika, ilmu pengetahuan, sejarah dan geografi dan setiap sekolah di Amerika dengan baik untuk mempersiapkan diri menjadi warga negara yang bertanggung jawab untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya dan agar bisa menjadi pekerja produktif dalam ekonomi modern.

d. Semua orang dewasa Amerika akan bisa baca tulis dan akan memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk bersaing dalam ekonomi global dan menjalankan hak serta tanggung jawab kewarganegaraan.

e. Semua sekolah di Amerika akan bebas narkoba dan bebas kekerasan serta akan memberikan lingkungan penuh disiplin dan kondusif untuk belajar.14

B. Konsep Pendidikan John Dewey 1. Biografi John Dewey

John Dewey dilahirkan di Burlington, Vermont pada tanggal 20 Oktober 1859 sebagai anak seorang pemilik toko. Seusai Dewey mendapat diploma ujian kandidat di Universitas Vermont (1879) ia menjadi guru selama 2 tahun. Tiga tahun kemudian ia menjadi mahasiswa lagi dan mendapatk

an gelar doktor filsafat (Ph.D) di Universitas John Hopkins (1884). Kemudian ia diangkat menjadi dosen, lalu asisten profesor dan kemudian


(31)

19

profesor di Michigan. Kemudian dia pergi ke Universitas Chicago dan mengajar di sana sebagai profesor filsafat (1894).15

Sebagai profesor filsafat di Chicago, ia juga memimpin bagian pedagogik dan mendirikan suatu sekolah untuk menguji dan mempraktekan teorinya. Sekolah yang didirikan Dewey bukanlah suatu sekolah model, melainkan sekolah percobaan yang digabungkan pada universitasnya di Chicago.

Sekitar tahun 1904 sampai 1931 dia meninggalkan universitas tersebut, lalu pergi ke Universitas Colombia di New York. Ketika mengajar di Universitas Colombia, ia mempunyai banyak waktu luang untuk melakukan penelitian dan melakukan perjalanan ke Eropa dan Asia. Dia mengunjungi Cina dan Jepang, pertemuan tersebut sangatlah penting terlebih ketika ia di Japan memberikan penyuluhan mengenai Reconstruction in philosophy (merekonstruksi filsafat). Pada tahun 1924 Dewey mengunjungi Turki, dimana ia membuat organisasi Turkish Educational System. Dua tahun kemudian saat musim panas dia bergabung dengan Universitas Mexico. Pada tahun 1928 dia mengunjungi Rusia dan melakukan perbaikan sistem pendidikan disana. Dewey tinggal di New York lebih dari 40 tahun sampai dia pensiun dari mengajar dalam tahun 1930. Dan akhirnya Dewey meninggal di kota ini pada tanggal 1 Juni 1952.16

2. Karya-karya John Dewey

Selama bergabung di Universitas Colombia ia aktif di bidang filsafat dan melanjutkan. Di sini terciptalah buku-bukunya yang termasyhur. Dalam bidang filsafat, buku John Dewey yang paling penting adalah Experience and Nature, The Quest for Certainty, Logic, Essays in Experimental Logic dan masih banyak yang lainnya. Dalam dunia

15 Hamdani Ali, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Kota Kembang, 2001), h. 149 16 Ibid., h. 150


(32)

pendidikan, School and Society, Democracy and Education keduanya merupakan buku John Dewey yang dikatakan spesial.

Dewey mengenalkan filsafat sosialnya dengan karyanya yang terbaik Character and Events, dan Freedom and Culture. Dia juga membahas tentang filsafat politik melalui karyanya The Public and its Problems. Dewey juga berkontribusi dalam bidang seni dan diungkapkannya dengan karyanya Art as Experience. Dalam bidang agama ada karyanya yang berjudul A common faith is most vital, namun jarang ditemui karya John Dewey yang membahas agama.17

3. Pandangan Hidup (Falsafah) John Dewey

Sebelum memahami pendirian Dewey mengenai pendidikan dan pengajaran, sebaiknya dibentangkan terlebih dahulu tentang dasar pokok dari pandangan hidupnya. Karena menurut pendapat Dewey bahwa filsafat serta pendidikan itu tidak dapat dipisahkan dan filsafat merupakan dasar dari teori pendidikan. Pandangan hidup John Dewey meliputi beberapa teori sebagai berikut:

a. Dasar pokok dari filsafatnya ialah teori evolusi dari Darwin, Dalam tahun lahir Dewey (1859) diterbitkan buku Ch. R. Darwin (1809-1882) On The Origin of Species by Means of Natural Selection tentang asal mula jenis disebabkan seleksi alam. Dalam pokoknya teori evolusi itu mengajarkan bahwa hidup di dunia ini merupakan suatu proses, dimulai dari tingkatan terendah dan selalu berkembang maju serta meningkat.18 Pandangan Darwin tentang manusia sebagai makhluk yang berubah dan berkembang di tengah-tengah suatu lingkungan yang melindungi dan sekaligus mengancam kehidupannya adalah sesuatu yang menentukan bagi Dewey. Makhluk hidup dan lingkungan, perkembangan dan perjuangan, kekhawatiran dan ketenangan merupakan unsur-unsur campuran dalam pemikirannya. Inilah

17 Fredrick Mayer, A History of Modern Philosophy, (California: University of Redlands, 2000), h. 537


(33)

21

konsepnya yang paling sentral yaitu memahami pengalaman dan hubungannya dengan alam tak lain dari memahami makna. Menjelaskan teori John Dewey tentang pengalaman berarti mulai memasuki konsepnya tentang manusia. Dewey menekankan bahwa manusia pada dasarnya adalah organisme yang berkembang dalam waktu, dan ciptaan yang kehidupannya dapat dilukiskan paling jelas dalam hubungan masyarakat.19 Maka tiap orang sebagai unsur masyarakat dan suatu mata rantai satu masa ke masa yang lain wajib ikut bekerja untuk kemajuan masyarakatnya. Begitulah kemajuan masyarakat itu hanya dapat dicapai dengan kerja dan kerjasama dalam filsafat Dewey.

b. John Dewey pula penganut teori pragmatisme atau dapat disebut dengan progressivisme. Teori ini secara garis besarnya mengatakan bahwa ukuran untuk segala perbuatan memiliki manfaat dalam setiap prakteknya dan hasil yang dapat memajukan hidup.20

Pandangan-pandangan penganut pragmatisme dianggap sebagai “The Liberal Road to Culture”. Liberal dimaksudkan sebagai fleksibel, berani, toleran dan bersikap terbuka. Penganut pragmatisme tidak hanya memegang sikap tersebut melainkan juga bersifat penjelajah, peneliti secara continue demi pengembangan pengalaman. Progressivisme menganggap pendidikan sebagai cultural transition. Progressivisme percaya bahwa pendidikan dapat menolong manusia dalam menghadapi priode transisi antara zaman tradisional yang segera berakhir, untuk siap memasuki zaman modern yang segera kita masuki.

Dewey berkata, filsafat klasik menggambarkan bahwa dalam alam terdapat tata tertib feodalisme keluarga, kekeluargaan. Kata hukum

“alam” menunjukan asal sosial dari kategori-kategori filsafat tersebut. Tiap masyarakat membentuk diri dengan gambarannya sendiri. Oleh karena itu, ilmu pendidikan John Dewey lebih condong untuk

19 John Smith, loc. cit. 20 Soejono, op. cit., h. 127


(34)

membentuk manusia yang dapat mengabdi pada masyarakat.

“pertumbuhan adalah satu-satunya tujuan dari moral.21

Ciri utama dari progressivisme yakni mempercayai manusia sebagai subjek yang memiliki kemampuan untuk menghadapi dunia dan lingkungan hidupnya yang multikompleks dengan kemampuan dan kekuatan sendiri. Dan dengan kemampuan itu manusia dapat memecahkan semua problemanya secara inteligen, dengan inteligensi aktif. Dan dalam makna ini, maka arti liberalisme di atas berarti menghormati martabat manusia, menghormati harga diri manusia sebagai subjek di dalam hidupnya. Dalam arti demokrasi, pandangan-pandangan progressivisme merupakan cara berpikir liberal yang memberi kemungkinan dan pra syarat bagi perkembangan tiap pribadi manusia sebagaimana potensi yang ada padanya.22

c. Dalam hal kejiwaan ia menganut teori behaviorisme (teori hal tingkah laku). Beberapa pengertian pokok mengenai behaviorisme diantaranya: 1) Kehidupan jiwa digerakkan dari luar, tidak dari dalam.

2) Tiap perbuatan atau tingkah laku manusia adalah reaksi atas perangsang (stimulus) dari luar. Stimulus-respons merupakan perangsang langsung yang menimbulkan reaksi.

3) Perbuatan manusia selalu menyesuaikan diri dengan lingkungan hidupnya. Lingkungan hidup ini terus menerus merupakan perangsang, dan perangsang dapat dilihat melaui kebiasaan. Begitulah perbuatan manusia merupakan deretan kebiasaan. Manusia adalah makhluk refleks atau makhluk kebiasaan.

Alam sekitar atau lingkungan hidup kita selalu mengandung bahaya dan menimbulkan berbagai kesulitan yang menghambat kemajuan, jika kita tidak dapat mengatasinya bahaya itu akan selalu ada dan berganti-ganti sifatnya sesuai dengan masyarakat yang selalu berubah pula. Zaman dahulu banjir dan binatang buas, lalu sekarang lalu lintas,

21 Rosjidi, Mencari Agama pada Abad XX Wasiat Filsafat, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1986), h. 121


(35)

23

perang total, udara dan air kotor, kepadatan penduduk dan sebagainya yang dapat membahayakan kehidupan manusia. Kita wajib bertindak guna mengatasi kesulitan dari luar dengan kerja badan atau rohani, terutama pikir. Kita harus berfikir dan bekerja, karena berpikir tidak lain adalah reaksi atau perangsang dari luar, yaitu kesulitan. Dengan ini jelaslah bahwa dasar ilmu kejiwaan dari John Dewey itu behaviorisme. Ternyata bahwa berbuat atau bekerja itu termasuk proses dalam evolusi. Dan barang siapa tidak dapat mengatasi kesulitan atau berbuat yang tidak bermanfaat guna menyesuaikan diri dengan alamnya, jadi kalah dalam perjuangan untuk hidup (The Struggle for Live) dan akan tenggelam atau lenyap dari masyarakat. Ia terseleksi oleh alam dan disingkirkan. Tinggallah yang kuat, artinya yang dapat bertahan menyesuaikan diri dengan alamnya atau lingkungan hidup maupun ekologinya (The Survival of The Fittest).23

4. Konsep Pendidikan John Dewey

Menurut Dewey tidak diutamakan pendidikan kecerdasan, tetapi pendidikan sosial dan kesusilaan. Kecerdasan penting tetapi bukanlah hal yang utama, tetapi pendidikan kemasyarakatan dan kesusilaan. Pendidikan kemasyarakatan dan pendidikan kesusilaan menurut Dewey amat erat kaitannya. Dan untuk mencapai pendidikan kemasyarakatan dan pendidikan kesusilaan, John Dewey menginginkan pendidikan untuk anak berdasarkan atas 2 segi yaitu psikologi dan sosiologi.

a. Dasar Psikologi. Cara memberi pengajaran wajib disesuaikan dengan tingkatan perkembangan, cara berfikir dan cara bekerja anak. Penentuan bahan pengajaran wajib disesuaikan dengan perhatian dan keperluan anak, sebagai akibat dari instingnya. Maka segala sesuatu


(36)

wajib disesuaikan dengan insting anak.24 Dewey mengenal 4 macam insting, yaitu:

1) Insting sosial. Insting sosial yang dimaksud oleh Dewey ialah keinginan anak mengadakan hubungan dengan orang di sekitarnya. Insting sosial sebagai proses pertumbuhan dan proses dimana anak didik dapat mengambil kejadian-kejadian dari pengalaman lingkungan sekitarnya. Kita amati ketika anak bermain bersama dengan temannya jika tidak ada teman, anak akan sulit bermain. Alat permainan saja belum cukup untuk anak, ia masih memerlukan temannya untuk bermain bersama. Ada alat penghubung sosial yang dipergunakan dalam pergaulan, yaitu bahasa. Bahasa tidak hanya menjadi alat penghubung dalam pergaulan anak, tetapi juga untuk generasi yang lampau 25

Anak adalah organisme yang mengalami satu proses pengalaman, sebab ia merupakan bagian integral dari lingkungannya dengan peristiwa-peristiwa, antar hubungan, perasaan pikiran dan benda-benda. Anak dalam lingkungannya selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Sehingga anak membutuhkan proses pendidikan untuk latihan dan penyempurnaan inteligensi. Sekolah merupakan lembaga pendidikan pembinaan anak yang paling efektif, jika sekolah tersebut didasarkan pada prinsip-prinsip pendidikan yang tepat.26

2) Insting menyelidiki. Bukti adanya insting menyelidiki ialah bahwa anak itu suka merusak segala sesuatu yang ia pegang. Alat permainan yang dibeli mahal oleh orang tua untuknya sebentar saja ia rusak, karena anak ingin menyelidiki seluk beluk. Ia ingin mengetahui apa sebabnya mobilnya dapat berjalan? apakah isi

24 Muis Sad Iman, Pendidikan Partisipatif Menimbang Konsep Fitrah dan Progresivisme John Dewey, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004), Cet. I, h. 71

25 Soejono, loc. cit.


(37)

25

perahunya? apakah bonekanya juga berdarah seperti dirinya apabila ditusuk pisau dan sebagainya.

3) Insting kesenian. Insting kesenian adalah kelanjutan dari insting membangun. Anak ingin menghias hasil perbuatannnya, agar menjadi lebih baik dipandang mata. Rumah-rumahan yang baru saja selesai tidak ditinggalkan begitu saja; rumah itu dihias dengan berbagai alat, bendera, daun, tanaman, gambaran,dan sebagainya. Kesukaan anak untuk menari, menyanyi, menggambar dengan warna menambah bukti bahwa pada anak ada insting kesenian itu. b. Dasar Sosiologi. Dewey berpendapat bahwa tujuan pendidikan dan

pengajaran adalah kepentingan kemajuan masyarakat. Tiap anggota masyarakat berkewajiban mengembangkannya dan anak wajib dibimbing ke arah itu. Bahan pengajaran perlu diambil dari problem masyarakat. Dewey pula menemukakan tentang gagasan pemikirannya, yaitu pendidikan seluruh rakyat, pendidikan suatu bangsa, dan melalui keduanya pendidikan suatu zaman. Hal ini merupakan usaha untuk mengarahkan kembali seluruh kebudayaan pada suatu taraf yang paling mendasar yakni transformasi sosial. Transformasi sosial yaitu perubahan kondisi sosial, ekonomi dan politik secara mendasar. Hal ini akan berhasil jika seluruh penduduk dilibatkan.27

5. Sekolah Kerja John Dewey

Sekolah yang dikehendaki John Dewey adalah sekolah kerja. Sekolah percobaan yang didirikan pada bulan Oktober tahun 1895 dan digabungkan pada Universitas Chicago itu berkembang baik.kira-kira 60 tahun sesudah didirikan sekolah itu sudah kurang lebih 800 orang muridnya. Dewey memberikan nama sekolah percobaannya dengan nama sekolah progressif. Maksud dengan nama itu hendak dikemukakan bahwa metode dan alat-alat pelajaran yang digunakan sekolah itu senantiasa


(38)

merupakan yang terbaik. Nilai dari setiap alat akhirnya akan ditentukan dari hasil yang diperoleh.

Metode yang digunakan pada sekolah progressif itu kadang-kadang memang agak ganjil tampaknya. Murid-murid disuruh belajar memecahkan soal-soal yang dihadapinya. Latihan-latihan wajib pula diberikan supaya anak dapat menaklukkan segala kesulitan yang mungkin dihadapinya kelak. Sekolah mengajarkan anak untuk berpikir perihal segala sesuatu yang mengandung nilai bagi hidup kita. Berpikir itu mungkin hanya sesudah anak menerima bekal pengetahuan yang cukup dari kita. Jadi, seharusnyalah kita memilih masalah-masalah yang tepat di sekolah percobaan. Masalah-masalah itu terdapat di berbagai lapangan. Sekolah percobaan selalu berikhtiar supaya anak menggunakan segala sesuatu yang dianugerahkan alam kepadanya ketika dilahirkan. Ia harus maju, karena itu anak harus bekerja bersungguh-sung

guh. Anak-anak di sekolah percobaan umumnya tak banyak menimbulkan kesulitan karena murid diajak mencapai tujuannya dengan jalan menggerakan perhatiannya. Selain itu, ditujukan kepadanya faedah belajar dan bekerja. Hal itu ditunjukkan kepadanya faedah belajar dan bekerja. Hal itu membangkitkan dan mengukuhkan perhatian pula. Karena itu guru perlu memahami arah perhatian murid-muridnya dan pandai menggunakan perhatian.28 Sebagaimana sekolah kerja John Dewey yang telah dipaparkan di atas, maka Dewey mengkritik sekolah tradisional mengenai: a. Bahan pengajaran. Di sekolah tradisional terlalu banyak mata pelajaran

yang diajarkan, karena tujuan sekolah tradisional ialah agar para siswa kelak dapat menduduki jabatan intelektual. Bahan materi pelajaran menjadi pusat (materi-sentris). Itu tidak sesuai dengan kenyataan, karena hanya sebagian kecil saja yang terdapat pada bahan materi pelajaran dibutuhkan untuk masa yang akan datang.

28 Siahaan, Prof. Dr. John Dewey, Penganut Filsafat Pragmatisme Penganjur Sekolah Karya, (Jakarta: KU, 1985), h. 67-68


(39)

27

Maka perlulah mata pengajaran yang banyak jumlahnya dan menimbulkan pendidikan intelektual itu dikurangi dan diganti dengan pengajaran dan latihan bekerja. Dewey berkata: Tidak hanya dengan berhitung orang dididik berfikir, melainkan juga dengan bekerja. Dengan bekerja berupa apapun, pikiran dan intelegensi orang dapat dididik.29

Pendidikan bukanlah hanya menyampaikan pengetahuan kepada anak didik saja, melainkan yang terpenting ialah melatih kemampuan berfikir secara ilmiah. Semua itu dilakukan agar orang dapat maju atau mengalami progress. Dengan demikian orang akan dapat bertindak dengan intelegen sesuai degan tuntutan dari lingkungan.30

Pengetahuan yang diberikan di sekolah tradisional kepada murid merupakan pengetahuan yang telah disiapkan dan telah terpecahkan kesulitannya terlebih dulu oleh orang dewasa, Anak tinggal mendengarkan, percaya dan menghafal saja. Itu tidak ada gunanya. Anak harus mengalami peroses berfikir sendiri dari permulaan hingga akhir, sesuai dengan tingkat kemajuannya sendiri. Karena itu janganlah guru berfikir dan memecahkan masalah untuknya. Hal ini menjadikan siswa lebih mempunyai potensi untuk mengerti, memecahhkan problem, komunikasi dan daya cipta.

Bahan pengajaran di sekolah tradisional diberikan secara terpisah. Mata pengajaran tidak memiliki hubungan dengan mata pengajaran yang lain. Bahan pengajaran yang diberikan di sekolah tidak ada hubungannya dengan kebutuhan anak dalam hidupnya di masyarakat. Karena itu pengalaman yang didapatkan anak di sekolah tidak dapat digunakan dalam masyarakat. Begitulah pengajaran teori di sekolah dengan praktek dalam kehidupan di masyarakat terpisah, sekolah diisolasikan. Keadaan itu wajib diubah. Mata pengajaran yang satu wajib dihubungkan denga mata pengajaran lain. Bahan pengajaran di

29 Soejono, op. cit., h. 133


(40)

sekolah wajib dapat dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat, sesuai dan memenuhi kebutuhannya.31

Murid perlu diberikan kesempatan untuk belajar dari pengalaman yang pernah dialaminya, kemudian diintegrasikan dengan teori yang anak dapati di sekolah. Siswa wajib disadarkan bahwa pengajaran di sekolah serta pengalaman yang ia alami akan diterapkan di dalam kehidupan yang selalu berubah.32

b. Guru dan cara mengajar. Di sekolah tradisional gurulah yang menentukan segala sesuatu. Gurulah yang memaksakan bahan pengajaran kepada anak, berfikir untuk anak, memecahkan masalah untuk anak, guru yang senantiasa aktif. Dengan begitu tidak mungkin anak mempunyai perhatian yang spontan atau minat langsung. Bahkan siswa hanya memperhatikan secara terpaksa karena guru menakuti siswa dengan berbagai hukuman.

Menurut Dewey, tidak perlu adanya minat paksaan, sebab kecuali minat tidak langsung ditimbulkan pada anak. Misalkan anak menyukai ilmu alam, tetapi untuk mendapatkan ilmu alam itu dengan baik perlulah ia berhitung. Berhitung yang tidak disukai anak. Untuk itu, guru wajib membangkitkan semangat anak untuk berhitung dengan menyadarkannya anak bahwa berhitung itu penting untuk ilmu alam. Maka bagaimanapun sulitnya berhitung, anak tersebut harus mempelajari berhitung dengan sebaik-baiknya demi ilmu alam yang ia sukai. Adanya integrasi antara ilmu pengetahuan alam dengan ilmu pengetahuan matematika. Guru di sekolah hanya berfungsi sebagai penunjuk jalan saja, pengamat tingkah laku anak untuk dapat mengetahui hal yang menarik minat anak.33

c. Murid dan cara belajar. John Dewey ingin mengubah bentuk pengajaran tradisional, dimana terdapat cara belajar DDCH (duduk, dengar, catat, hafal), murid bersifat reseptif dan pasif saja. Hanya menerima

31 Soejono, op. cit., h. 134

32 Jalaluddin dan Abdullah, loc. cit. 33 Soejono, op. cit., h. 135


(41)

29

pengetahuan sebanyak-banyaknya dari guru, tanpa melibatkan siswa secara aktif dalam kegiatan belajar-mengajar. Guru mendominasi kegiatan belajar. Murid tanpa diberikan kebebasan sama sekali untuk bersikap dan berbuat. Segala sesuatu terletak di luar minat anak.34

Keadaan semacam itu wajib diubah. Anak harus bekerja bersama-sama, menyelidiki dan mengamati sendiri, berpikir dan menarik kesimpulan sendiri, membangun sendiri sesuai dengan insting yang ada padanya. Dengan jalan ini anak belajar sambil bekerja dan bekerja sambil belajar. Learning by doing adalah hal yang dikehendaki John Dewey dalam sekolah.

Anak harus dididik kecerdasannya, agar padanya timbul hasrat untuk menyelidiki secara teratur dan akhirnya dapat berpikir secara keilmuan, obyektif dan logis. Yang diperhatikan adalah jalan berpikir, bukan yang dipikirkan. Jadi pendidikan formal bukan materil yang dialami sebagai pengalaman negatif haruslah disadari dan dijadikan suatu pengalaman positif dengan mengubah cara bertindak.

d. Penyelenggara sekolah. Alat pelajaran dan peraturan di sekolah tradisional seakan-akan memaksa anak untuk pasif, dari segi perbuatan di sekolah yang begitu kaku maupun bentuk bangunan sekolah, rencana pelajaran, dan metode pelajaran. Hal tersebut bersifat mengikat, tidak memberikan kebebasan kepada anak maupun guru. Karena itu, sekolah terpisah dari rumah, alam sekitar, lingkungan hidup, perindustrian, perdagangan dan sebagainya. Tidak ada kesempatan untuk mengadakan penyelidikan (survey) dan percobaan. Jumlah mata pelajaran terlalu banyak dan dalam kelas terlalu banyak murid.

Sekolah kerja harus menyelenggarakan dan mengatur sekolahnya agar anak dapat bekerja dengan bebas dan spontan. Gedung dan alat pengajaran wajib disesuaikan dengan tujuan itu antara berbagai tingkatan sekolah, dari sekolah rendah sampai sekolah tinggi harus ada


(42)

satu organisasi yang sama.35 Pendapat John Dewey tentang sekolah kerja ini sesuai dengan prinsip filsafat aliran progressivisme mengenai pendidikan, tertera dalam tabel berikut ini:

Teori Pendidikan menurut aliran progressivisme36

No Komponen Keterangan

1 Hakekat Pendidikan

 Menghendaki pendidikan yang pada hakekatnya progresif, tujuan pendidikan hendaknya diartikan sebagai rekonstruksi pengalaman yang terus menerus, agar peserta didik dapat berbuat sesuai inteligen dan mampu mengadakan penyesuaian dan penyesuaian kembali sesuai dengan tuntunan dari lingkungan

2 Tujuan Pendidikan

 Siswa memiliki keterampilan, alat dan pengalaman sosial (interaksi dengan lingkungan)

 Siswa memiliki kemampuan problem solving (personal maupun sosial).

 Tujuan pendidikan keseluruhan adalah melatih anak agar kelak dapat bekerja. Bekerja secara sistematis, mencintai kerja dan bekerja dengan otak dan hati. Untuk mencapai tujuan tersebut, pendidikan harusnya merupakan pengembangan sepenuhnya bakat dan minat setiap anak.

3 Kurikulum  Kurikulum dibangun dari pengalaman personal dan sosial siswa.

35 Soejono, op. cit., h. 137

36Basuki As’adi dan Miftahul Ulum, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Jakarta:Stain PO Press, 2010), Cet. I, h. 43-46


(43)

31

 Ilmu sosial sebagai bidang inti untuk problem solving

 Keterampilan komunikasi, proses matematika, scientific inquiry secara interdisipliner sebagai alat problem solving.

 Buku sebagai alat proses belajar, bukan sebagai pengetahuan pokok

 Kurikulum pendidikan progresif adalah kurikulum yang berisi dari Lester Dix adalah berisi studi tentang dirinya sendiri, studi tentang lingkungan sosial, studi tentang lingkngan alam dan studi tentang seni.

4 Metode

Metode belajar aktif. Metode pendidikan progresif lebih berupaya penyediaan lingkungan dan fasilitas yang memungkinkan berlangsungnya proses belajar secara bebas pada setiap anak untuk mengembangkan bakat dan minatnya.

Metode memonitor kegiatan belajar.

Mengikuti proses kegiatan-kegiatan anak belajar sendiri, sambil memberikan bantuan-bantuan tertentu apabila diperlukan yang sifatnya memperlancar proses berlangsungnya kegiatan-kegiatan belajar tersebut.

Metode penelitian ilmiah. Pendidikan progresif merintis digunakannya metode penelitian ilmiah yang tertuju pada penyusunan konsep, sedangkan metode pemecahan masalah lebih tertuju pada pemecahan masalah-masalah kritis.


(44)

Pemerintahan pelajar. Pendidikan progresif memperkenalkan pemerintahan pelajar dalam kehidupan sekolah (student goverment) dalam rangka demokratisasi dalam kehidupan sekolah, sehingga pelajar diberikan kesempatan untuk turut serta dalam penyelenggaraan kehidupan di sekolah.

5 Pelajar

Pendidikan berpusat pada anak. Anak merupakan pusat dari keseluruhan kegiatan-kegiatan pendidikan. Sebab mengajar yang bermutu berarti aktivitas siswa, pengembangan kepribadian siswa, studi ilmiah tentang pendidikan dan latihan guru sebagai seniman pendidikan.

Anak adalah unik. Pendidikan progresif sangat memuliakan harkat dan martabat anak dalam pendidikan. Anak bukanlah orang dewasa dalam bentuk kecil. Anak adalah anak yang sangat berbeda dengan orang dewasa. Setiap anak mempunyai individualitas sendiri; anak mempunyai alur pemikiran sendiri, mempunyai keinginan sendiri, mepunyai harapan-harapan dan kecemasan-kecemasan sendiri, yang berbeda dengan orang dewasa. Dengan demikian anak harus di perlakukan berbeda dari orang dewasa.

6 Pengajar

 Pembimbing dalam proyek dan aktivitas problem solving.

 Guru dalam melakukan tugasnya dalam praktek pendidikan berpusat pada anak


(45)

33

peranan-peranan sebagai (a) Fasilitator, atau orang yang menyediakan dirinya untuk memberikan jalan bagi kelancaran proses belajar sendiri siswa; (b) Motivator, atau orang yang mampu membangkitkan minat siswa untuk terus belajar sendiri. (c)

Konselor, atau orang yang dapat membantu siswa menemukan dan mengatasi sendiri masalah-masalah yang di hadapi setiap siswa dalam kegiatanya belajar sendiri. (d) guru mempunyai pemahaman yang baik tentang karakterristik siswa, dan teknik-teknik memimpin perkembangan siswa, serta kecintaan pada anak agar dapat melaksanakan peranan-peranan yang baik. Untuk itu guru harus sabar, fleksibel, interdisipliner, cerdas dan kreatif

C. Pendidikan Agama Islam

i. Pengertian Pendidikan Agama Islam

Pendidikan merupakan suatu kegiatan yang universal dalam

kehidupan manusia. Kata “Islam” dalam “pendidikan Islam” menunjukan warna pendidikan tertentu, yakni pendidikan yang berwarna islam, pendidikan yang Islami yaitu pendidikan yang berdasarkan Islam. Karena Islam merupakan agama yang menasibkan belajar sejak kecil, tanpa membedakan ilmu-ilmu syariat dan ilmu-ilmu alam, kecuali dari segi kebutuhan, kemampuan dan spesialisasi.

Pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju


(46)

terbentuknya kepribadian yang utama.37 Bilamana pendidikan diartikan sebagai latihan mental, moral dan fisik (jasmaniah) demi terbentuknya kepribadian yang utama. Maka makna dari pendidikan agama Islam adalah suatu sistem kependidikan yang mencangkup seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh hamba Allah. Oleh karena Islam mempedoman seluruh aspek kegiatan manusia muslim baik duniawi maupun ukhrawi. Mengingat luasnya jangkauan yang harus digarap oleh pendidikan agama Islam, maka pendidikan Islam tidak menganut sistem tertutup melainkan terbuka tehadap tuntutan kesejahteraan umat manusia, baik tuntutan bidang ilmu pengetahuan maupun teknologi maupun tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup rohaniah.

Oleh karena itu ditinjau dari aspek pengamalannya pendidikan Islam berwatak akomodatif kepada tuntutan kemajuan zaman yang ruang lingkupnya berada di dalam kerangka acuan norma-norma kehidupan Islam. Hal demikian akan nampak jelas dan teorisasi pendidikan Islam yang dikembangkan.38 Pendidikan agama Islam pada dasarnya merupakan salah satu mata pelajaran yang dikembangkan pada pendidikan dasar disamping mata pelajaran lainnya. Masing-masing mata pelajaran memuat pesan-pesan normative yang ditanamkan kepada peserta didik.39

Guru pendidikan agama Islam yang profesionalisme tercermin dalam segala aktivitasnya sebagai murabbi, mu’allim, mursyid, mu’addib dan muddaris. Sebagai murabbiy ia akan berusaha mengembangkan potensi minat, bakat serta kemampuan secara optimal melalui kegiatan-kegiatan penelitian dan eksperimen di laboraturium. Sebagai mu’allim, ia akan mentransfer ilmu pengetahua/nilai, serta melakukan penyerapan atau penghayatan ilmu ke dalam diri sendiri dan peserta didiknya, serta berusaha membangkitkan semangat dan motivasi mereka untuk

37 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), Cet. IX, h. 24

38 Nur Uhbiyati, op. cit., h. 12

39 Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam: Pemberdayaan Pengembangan Kurikulum, Hingga Redefinisi Islamisasi Pengetahuan, (Bandung: Nuansa: 2003), Cet. I, h. 66


(47)

35

mengamalkannya. Sebagai mursyid, ia akan melakukan transinternalisasi akhlak/kepribadian kepada peserta didik. Sebagai mu’addib, maka ia sadar eksistensinya sebagai guru agama Islam memiliki peran dan fungsi untuk membangun peradaban yang berkualitas di masa depan melalui pendidikan. Sebagai muddaris, ia berusaha mencerdaskan peserta didiknya, menghilangkan ketidaktahuan dan memberantas kebodohan mereka, serta melatih keterampilan mereka baik melalui kegiatan pendidikan, pengajaran maupun pelatihan.40

Dapat diketahui bahwa guru agama Islam tidak hanya sekedar untuk mengembangkan aspek-aspek individualisasi dan sosialisasi, melainkan juga mengarahkan perkembangan kemampuan dasar tersebut kepada pola hidup yang dihajatkan manusia dalam bidang duniawiyah dan ukhrawiyah, dalam bidang fisik dan mental yang harmonis. Oeh karena itu, keharusan pendidikan itu sebenarnya mengandung aspek-aspek kepentingan yang antara lain: 41

a. Aspek pedagogis b. Aspek psikologis

c. Aspek sosiologi dan kultural d. Aspek filosofis

e. Aspek agama

ii. Tujuan Pendidikan Agama Islam

a. Untuk menumbuhkan dan meningkatkan keimanan melalui pemberian dan pemupukan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia Muslim yang terus berkembang dalam hal keimanan, ketakwaannya kepada Allah SWT. Serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta untuk dapat melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

40 M. Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama Islam di Lingkungan Sekolah dan Keluarga, (Jakarta:Bulan Bintang, 1996), h. 21


(48)

b. Mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama dan berakhlak mulia yaitu manusia yang berpengetahuan, rajin beribadah, cerdas, produktif, jujur, adil, etis, berdisiplin, bertoleransi (tasamuh), menjaga keharmonisan secara personal dan sosial serta mengembangkan budaya agama dalam komunitas sekolah.

c. Untuk berkembangnya kemampuan perserta didik dalam mengembangkan, memahami dan mengamalkan nilai-nilai agama Islam, penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.

d. Untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut serta meningkatkan tata cara membaca al-Qur’an dan tajwid sampai kepada tata cara menerapkan hukum bacaan mad dan wakaf.

iii. Ruang Lingkup Pendidikan Agama Islam42

a. Hubungan manusia dengan Allah SWT. Program pengajarannya meliputi segi iman, Islam dan ihsan

b. Hubungan Manusia dengan sesama manusia. Program pengajarannya berkisar pada pengaturan dan kewajiban antara manusia yang satu dengan manusia yang lain dalam kehidupan bermasyarakat, dan mencakup segi kewajiban dan larangan dalam hubungan dengan sesama manusia.

c. Hubungan manusia dengan alam (makhluk selain manusia) dan lingkungan. Sebagai Khalifah di bumi manusia bertugas mengolah dan memanfaatkan alam yang telah dianugerahkan Allah menurut kepentingannya sesuai dengan garis-garis yang telah ditentukan agama.

D. Hasil Penelitian yang Relevan

Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis mendapatkan kajian yang relevan selama proses penelitian dan beberapa skripsi diantaranya:


(49)

37

1. Nanda Putri Pratiwi (167016100971), Pengaruh Pendekatan Contextual Teaching Learning (CTL) Terhadap Hasil Belajar Siswa pada Konsep Bioteknologi Sederhana, 2013. Penelitian ini menjelaskan bahwa terdapat pengaruh pendekatan kontekstual Contextual Teaching Learning terhadap hasil belajar siswa pada konsep bioteknologi sederhana. Rata-rata nilai posttest kelompok eksperimen lebih tinggi dari rata-rata posttest kelompok kontrol yakni 84,61> 53,31 dengan = 10,7 dan = 1,67.43

2. Eti sumiati (809018300028), Penerapan Model (CTL) Contextual Teaching Learning dalam Pembelajaran IPA pada Materi Energi dan Perubahannya Sebagai Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Siswa (PTK di Kelas IV MI Ghidaul Athfal Kota Sukabumi), 2012. Penelitian ini menjelaskan bahwa penerapan Model (CTL) Contextual Teaching Learning dalam pembelajaran IPA pada materi energi dan perubahannya terbukti dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas IV Ghidaul Athfal Kota Sukabumi. Peningkatan hasil belajar IPA siswa kelas IV Ghidaul Athfal Kota Sukabumi setelah dilaksanakan tindakan pembelajaran dengan menerapkan model CTL, dapat meningkatkan dari posttes akhir siklus I (70,83%) dengan penelitian akhir siklus II sebesar (84,17%).44

3. Isti Pramita (106017000496), Meningkatkan Kemampuan Penalaran Induktif Matematik Melalui Pendekatan Contextual Teaching Learning (PTK di SMKN 3 Bekasi), 2011. Penelitian ini menjelaskan bahwa penggunaaan pendekatan CTL dalam pembelajaran matematika dapat meningkatkan kemampuan penalaran induktif matematik siswa. Hal ini terlihat dari peningkatan rata-rata hasil tes kemampuan penalaran induktif sebesar 62,2 pada siklus I menjadi 75,3 pada siklus II. Kemampuan penalaran induktif yang meningkat dengan pendekatan CTL meliputi kemampuan menarik kesimpulan, kemampuan mengajukan dugaan, serta

43Nanda Putri Pratiwi, “Pengaruh Pendekatan Contextual Teaching Learning (CTL) Terhadap Hasil Belajar Siswa pada Konsep Bioteknologi Sederhana,” Skripsi pada Program Studi Pendidikan Biologi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (Jakarta: 2013), h. 62

44Isti Pramita, “Meningkatkan Kemampuan Penalaran Induktif Matematik Melalui Pendekatan

Contextual Teaching Learning (PTK di SMKN 3 Bekasi,” Skripsi pada Program Studi Pendidikan


(50)

kemampuan untuk menemukan pola/sifat umum untuk membuat generalisasi. Adapun peningkatan masing-masing indikator kemampuan penalaran induktif yang dilakukan peneliti, diantaranya: meningkatnya kemampuan siswa dalam menarik kesimpulan melalui pendekatan CTL. Hal ini terlihat dari kenaikan persentanse indikator dalam kemampuan menarik kesimpulan sebesar 69% (cukup) pada siklus I menjadi 73,5% (baik) pada siklus II dan meningkatnya kemampuan menyusun dugaan pada siswa diketahui pada saat siswa mampu menentukan suku selanjutnya dari suatu barisan bilangan atau gambar. Hal tersebut dapat dilihat dari peningkatan hasil presentase kemampuan mengajukan dugaan pada siswa yaitu sebesar 61% (cukup) pada siklus I menjadi 78,2% (baik) pada siklus II.45

4. Annike Suci Badriawan (1110011000094), Penerapan Metode Proyek Guna Meningkatkan Keaktifan Siswa dalam Pembelajaran PAI (PTK di Kelas XI SMK Islam Ruhama Cirendeu), 2014. Penelitian ini menjelaskan tentang penerapan metode proyek dapat meningkatkan keaktifan siswa dalam proses pembelajaran PAI hal ini dapat terlihat dari keaktifan siswa dalam pembelajaran tata cara pengurusan jenazah mengalami peningkatan setiap siklus I terdapat siswa yang sangat aktif 6,04%, aktif 63,19%, cukup aktif 24,11% dan kurang aktif 4,67%. Selain itu diperoleh hasil belajar siswa yang tuntas memenuhi nilai >75 adalah 52,94%. Siklus II terdapat siswa yang sangat aktif 19,75%, aktif 78,99% dan cukup aktif 1,26%. Selain itu diperoleh hasil belajar siswa yang tuntas memenuhi nilai >75 adalah 94,12%. Terdapat perbedaan peningkatan keaktifan siswa dalam belajar sebelum menggunakan metode proyek dan sesudah menggunakan metode proyek.46

45Eti sumiati, “Penerapan Model (CTL) Contextual Teaching Learning dalam Pembelajaran

IPA pada Materi Energi dan Perubahannya Sebagai Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Siswa”

(PTK di Kelas IV MI Ghidaul Athfal Kota Sukabumi), Skripsi pada Program Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (Jakarta: 2012), h. 103

46Anike Suci Badriawan, “Penerapan Metode Proyek Guna Meningkatkan Keaktifan Siswa

dalam Pembelajaran PAI”, Skripsi pada Program Studi Pendidikan Agama Islam di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (Jakarta: 2014), h. 142, dipublikasikan


(51)

39

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Objek dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2014 sampai bulan Desember 2014 digunakan untuk pengumpulan data mengenai sumber-sumber tertulis yang diperoleh dari teks book yang ada di perpustakaan, artikel, jurnal serta website yang ada hubungannya dengan konsep pendidikan John Dewey pada mata pelajaran agama Islam dengan pembelajaran kontekstual.

B. Metode Penelitian

Metode penelitian yang penulis menggunakan penelitian kualitatif.

Menurut Nana Syaodih Sukmadinata, “Penelitian kualitatif adalah suatu pembelajaran penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individual maupun kelompok”.1

Dalam memperoleh data, fakta dan informasi yang akan melengkapkan dan menjelaskan permasalahan dalam penulisan skripsi, penulis menggunakan metode deskriptif yang didukung oleh data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan library research. Penelitian library research yaitu suatu usaha untuk memperoleh data atau informasi yang diperlukan serta menganalisis suatu permasalahan melalui sumber-sumber kepustakaan. Penelitian kepustakaan merupakan jenis penelitian kualitatif yang pada umumnya tidak terjun ke lapangan dalam pencarian sumber datanya. penelitian kepustakaan adalah penelitian yang dilakukan hanya berdasarkan atas karya tertulis, termasuk hasil penelitian baik yang telah maupun yang belum dipublikasikan. Alasan penulis menggunakan study kepustakaan atau library research ini dimaksudkan untuk memperoleh dan menela’ah teori

1 Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007), cet ke-3, h. 60


(52)

teori yang berhubungan dengan topik dan sekaligus dijadikan sebagai landasan teori.2

Contoh-contoh penelitian semacam ini adalah penelitian sejarah, penelitian pemikiran tokoh, penelitian (bedah) buku dan berbagai contoh lain penelitian yang berkait dengan kepustakaan. Pada hakekatnya data yang diperoleh dengan penelitian perpustakaan dapat dijadikan landasan dasar dan alat utama bagi pelaksanaan penelitian lapangan.

C. Fokus Penelitian

Dalam penelitian kualitatif, penentuan fokus dalam proposal lebih di dasarkan pada tingkat informasi terbaru yang akan di peroleh dari situasi sosial. Informasi itu bisa berupa upaya untuk memahami secara lebih luas dan mendalam tentang situasi sosial, tetapi juga ada keinginan untuk menghasilkan ilmu baru dari situasi sosial yang di teliti.3 Maka dapat digaris bawahi bahwa fokus penelitian pada masalah ini adalah membermaknakan (kontekstual) konsep-konsep pendidikan tokoh John Dewey yang umumnya digunakan pada mata pelajaran eksakta kini dapat dgunakan pada mata pelajaran agama Islam.

D. Prosedur Penelitian

Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan, dalam hal ini akan selalu ada hubungan antara teknik pengumpulan data dengan masalah penelitian yang ingin di pecahkan. Pengumpulan data tak lain adalah suatu proses pengadaan data untuk keperluan penelitian.

Adapun cara pengumpulan data dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik dokumenter, teknik dokumenter merupakan cara mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis, seperti arsip-arsip, dalil

2 Sutrisno Hadi, Metodologi research, (Yogyakarta : Andi Ofset, 1997), cet. XXV, h. 82 3 Saifuddin Azwar, Metodologi Penelitian,… h. 92


(53)

41

atau hukum-hukum dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah penelitian.4

E. Sumber data

Jenis penelitian ini adalah library research (penelitian pustaka), maka untuk memperoleh data dan informasi yang berhubungan dengan tujuan penelitian sumber data primer

dan sumber data sekunder, yaitu sebagai berikut : 1. Sumber data primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari subjek penelitian dengan menggunakan alat pengambilan data langsung pada subjek informasi yang di cari sumber data primer dalam penelitian ini meliputi beberapa buku yakni: Democracy and Education karya John Dewey dan buku Contextual Teaching And Learning: Menjadikan Kegiatan Belajar Mengajar Mengasyikan Dan Bermakna karya Elaine B. Johnson,

2. Sumber data skunder

Data skunder adalah data yang di peroleh dari pihak lain, tidak langsung dari subjek penelitiannya, tetapi dapat mendukung atau berkaitan dengan tema yang diangkat.5 Dalam penelitian ini beberapa buku-buku yang berkaitan dengan tema yaitu:

a. Pengantar Filsafat Pendidikan karya Basuki As’adi dan Miftahul Ulum

b. Filsafat Pendidikan. karya Hamdani Ali

c. Filsafat Pendidikan karya Jalaluddin dan Abdullah d. Semangat Filsafat Amerika karya John Smith e. Aliran Baru Dalam Pendidikan karya Soejono

f. Meaningful Learning Re-Invensi Kebermaknaan karya Abdurrahman g. Gagasan Merancang Pembelajaran Kontekstual karya Elin Rosalin

4 Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode Tehnik ( Bandung : Transito, 1998), h. 139


(54)

h. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan karya Wina Sanjaya

F. Analisis data

Analisis data adalah kegiatan untuk memaparkan data, sehingga dapat diperoleh suatu kebenaran atau ketidakbenaran dari suatu hipotesis. Batasan ini diungkapkan bahwa analisis data adalah sebagai proses yang merinci usaha secara formal untuk merumuskan ide/konsep sebagai yang disarankan oleh data sebagai usaha untuk memberikan bantuan pada ide/konsep.6

Dalam penelitian kualitatif, analisis data dilakukan sejak awal penelitian dan selama proses penelitian dilaksanakan. Data diperoleh dan dikumpulkan untuk diolah secara sistematis. Reliabilitas penelitian kualitatif pada penelitian ini juga dipengaruhi oleh pendekatan analisis konsep. Analisis konsep merupakan suatu analisis tentang istilah (kata-kata) yang mewakili konsep atau gagasan.7

G. Teknik Penulisan

Teknik penulisan skripsi ini berpedoma pada buku “Pedoman Penulisan

Skripsi” yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahum 2013

6Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), h. 103


(55)

BAB

IY

TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Kontekstual Konsep Pendidikan John Dewey pada lVlata Pela.iaran Agama Islam

Pembahasan bab IV disini mengenai jawaban berdasarkan pertanyaan yang

terdapat dalam rumusan masalah, yaitu "Bagaimana Kontekstual konsep

pendidikan John Dewey pada mata pelajaran agama Islam?". Untuk

mengetahui bagaimana Kontekstual konsep pendidikan John Dewey pada mata

pelajaran agama Islam adalah dengan melihat terlebih dahulu konsep-konsep pendidikan Dewey secara umum yang diperoleh dari falsafah dan sekolah

percobaan Dewey yaitu sebagai berikut:

1. Tujuan pendidikan Dewey rrrenggunakan sekolah sebagai

alat

untuk

menernukan pembaharuan dan menjadikan siswa-siswa yang belajar di sekolah tersebut sebagai motor penggeraknya. Maksudnya siswa sebagai

subjek, dan sistem tugas guru pun harus diubah. Pada umumnya guru hanya

menyilmpaikan hal-hal yang telah diketahuinya, seharusnya guru berani mencari hal-hal baru bersama murid-muridnya. Anak-anak perlu diberi

kesempatan memperoleh pengalaman-pengalaman baru.

Guru dapat memberikan contoh adat istiadat yang telah melembaga

pada masa silam. Dapat

pula

menerangkan kepada

murid

tentang

pertumbuhan dan perkembangan tentang hal-hal yang guru suguhkan.

Dengaa demikian, hal-hal dari masa yang telah lampau itu terbukti sungguh

besar manfaatnya dan wajib menghargainya. Guru dapat menjelaskan bahwa

tanpa pengalaman orang-crang terdahulu tidak mungkin generasi sekarang

melaksanakan us aha-us aha p emb aharuan d al am hidup. I

Dewey sangat menganjurkan pembaharuan dalam hidup, hal tersebut

dikatakan Dewey dalam karyanya Democracy and Education bahwa

makhluk hidup mernbutuhkan pembaharuan. Makhluk hidup (manusia)

harus dapat memecahkan peffnasalahannya sendiri, jika tidak bisa berusaha

I

Siahaan, op. cit., h.37-38


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)