Analisis Kontrastif Sumimasen Bahasa Jepang Dengan Punten Bahasa Sunda Dari Segi Makna Dan Penggunaan

(1)

ANALISIS KONTRASTIF

SUMIMASEN

BAHASA JEPANG

DENGAN

PUNTEN

BAHASA SUNDA DARI SEGI MAKNA

DAN PENGGUNAAN

SKRIPSI

Diajukan untuk Menempuh Ujian Sarjana Program Studi Sastra Jepang Fakultas Sastra

Universitas Komputer Indonesia

HERU ERLANGGA

63807004

PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA

BANDUNG


(2)

i

ABSTRAK

Analisis Kontrastif Ungkapan Sumimasen Bahasa Jepang Dengan Ungkapan Punten Bahasa Sunda Dari Segi Makna dan Penggunaan

Antara Sunda dan Jepang tidak terdapat keterkaitan budaya namun terdapat kesamaan diantaranya keduanya, yaitu pada ungkapan sumimasen dan punten. Keduanya bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia memiliki makna yang sama. Namun tentunya terdapat perbedaan.

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian untuk mengetahui apa makna sumimasen dan punten dari segi makna dan penggunaannya, persamaan sumimasen dan punten, serta perbedaannya.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif, dan obyek penelitiannya adalah ungkapan sumimasen dan ungkapan punten dari segi makna dan penggunaannya. Sumber data diperoleh dari majalah, film, buku pelajaran, dan sebagainya. Penulis juga melakukan wawancara terhadap penutur asli bahasa Jepang maupun penutur asli bahasa Sunda untuk mendapatkan jitsurei dan mengecek sakurei yang penulis buat. Lalu data yang telah dip[eroleh dijadikan korpus kemudian dianalisis.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa Kata sumimasen dilihat dari pola kalimat yang menyertainya dan maupun dari konteksnya memiliki makna : a) “maaf “, b) “permisi”, dan c) “terima kasih”. sedangkan kata punten dilihat dari pola kalimat yang menyertainya dan konteks maknanya memiliki dari adalah a) “permisi”, b) “maaf”, c) “meminta tolong”, d) “penghalus bahasa”. Persamaannya kata sumimasen dengan kata punten jika dilihat dari maknanya adalah kata sumimasen dan kata punten sama-sama bermakna “maaf” dan “permisi. Sedangkan jika dilihat dari penggunaannya, persamaannya adalah a) Berfungsi sebagai penghalus bahasa, b) Dapat digunakan untuk meminta izin, bertanya, atau meminta bantuan, c) Dapat berfungsi sebagai ungkapan penolakan halus, d) Dalam konteks “permisi”, dapat digunakan terhadap lawan bicara yang tidak tergantung pada usia maupun kedudukannya, e) Keduanya merupakan interjeksi (kandoushi). Perbedaan kata sumimasen dengan kata punten jika dilihat dari maknanya adalah a) Sumimasen memiliki makna “terima kasih”, sedangkan punten tidak b) Makna “maaf”sumimasen lebih dalam daripada punten. Sedangkan jika dilihat dari penggunaannya, perbedaannya punten tidak memiliki makna “terima kasih”.

Berdasarkan hasil penelitian penulis memberikan saran, ateri mengenai ungkapan maaf (owabi hyougen) terutama ungkapan sumimasen harus ditambah, Tersedianya buku-buku mengenai ungkapan sehari-hari bahasa Jepang terutama yang berbahasa Indonesia agar mudah dipahami bukan hanya oleh mahasiswa jurusan Sastra Jepang Unikom tetapi oleh semua pihak yang ingin memperdalam bahasa Jepang. Pembelajar bahasa Jepang yang berbahasa ibu bahasa Sunda harus lebih menghargai dan bangga terhadap bahasa Sunda. Penulis berharap ada penelitian lain yang berhubungan dengan analisis kontrastif


(3)

ii

ABSTRACT

Contrastive Analysis of “Sumimasen” and “Punten” From the Aspect of Meaning and Use

Between Sunda and Japan has no linkage, but there are similarities among them, namely the expression “sumimasen” and “punten”. Both of them when translated into bahasa mean “permisi” and “maaf”. But, of course theres is a difference. Therefore, the writer is interested in doing research to find the meaning of “sumimasen” and “punten”, and of course its similarity and difference.

The method that used in this research is descriptive research method, and the object of the research is expression “sumimasen” and “punten” in term meaning and use. Data source obtained from magazines, films, textbooks, and etc. the writer also conducted interviews to native speaker of Japanese and Sundanese to get sakurei and jitsurei to check validity of data. Then, Obtained data sorted and arranged to be a corpus then analyzed.

Based on research that has been done, it is known that “sumimasen” seen for accompanying sentence pattern as well as from its context and meaning : a) “sorry“, b) “excuse me”, dan c) “thank you”, meanwhile “punten” seen for accompanying sentence pattern as well as from its context and meaning : a) “excuse me”, b) “sorry”, c) “expression to ask for help”, d) “polite expression”. The similarities between “sumimasen” and “punten” when viewed from the word meaning, both of them has meaning “sorry” and “excuse me”. Meanwhile, if viewed from its use, a) both of them is a polite expression, b) can be used to ask for permission or ask for help, c) can serve as a subtle expression of rejection, d) in the context of “excuse me”, can be used to everyone and doesn’t depend on age or position, e) both of them are interjection (kandoushi). Differences between a) “sumimasen” and “punten” are “sumimasen” can be translated “thank you”, but “punten” hasn’t, b) in the context “sorry”, “sumimasen” deeper than “punten”.

According to the result of this research, the writer suggest “owabi hyougen” (expression for apologize) should be learned more intensive, Textbooks about conversation especially “owabi hyougen” should be added. Japanese learners who speak Sundanese have to more appreciate and proud of their language. The writer hope there are another studies related to the contrastive analysis.


(4)

iii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas segala rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis Kontrastif Ungkapan Sumimasen bahasa Jepang dan Punten bahasa Sunda dari Segi Makna dan Penggunaan” ini dengan lancar dan tanpa hambatan.

Penulis menyadari dalam penyusunan laporan ini terdapat banyak kekurangan Oleh sebab itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan ini, yaitu:

1. Bapak Prof. Dr. H. Moh. Tajuddin, MA., selaku Dekan Fakultas Sastra, Universitas Komputer Indonesia.

2. Ibu Fenny Febrianty, SS., M.Pd., selaku ketua program studi Sastra Jepang, Universitas Komputer Indonesia.

3. Bapak Soni Mulyawan Setiana, M.Pd., selaku dosen wali.

4. Ibu Pitri Haryanti M.Pd., selaku dosen pembimbing utama yang selalu dengan sabar dan penuh perhatian membimbing penulis dalam penyusunan skripsi ini.

5. Ibu Juju Juangsih, M.Pd., selaku dosen pembimbing kedua yang tak bosan memberikan masukan dan arahannya dalam penyusunan skripsi ini.


(5)

iv

7.

Sekretariat Sastra Jepang, Teh Tyas yang telah memberikan banyak

bantuannya

8. Kepada Ibu Tanaka Minako yang telah banyak memberikan informasi yang penulis butuhkan selama pembuatan skripsi sekaligus memberikan arahannya dalam pengolahan data.

9. Kepada Bapak Kurahashi Shunsuke yang telah bersedia diwawancara. 10. Kepada Bapak Kosasih Riwayadhie S. selaku narasumber bahasa Sunda

yang telah banyak memberikan informasi dan arahannya terutama dalam pengumpulan data bahasa Sunda.

11. Kepada orang tua dan seluruh keluarga yang telah memberikan semangat dan doa dalam penyusunan skripsi ini.

12. Kepada teman-teman seperjuangan Program Studi Sastra Jepang angkatan 2007, Itang Zakaria, Bimo Haryo, Eri Dani, Fitriyah, Ryan Setiana.

13. Diny Indryani yang senantiasa memberikan bantuan, semangat, kasih sayang, dan motivasi dalam penyusunan skripsi ini.

14. Semua pihak yang telah banyak membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis sebutkan sau persatu. Semoga kebaikan Bapak, Ibu dan semua orang yang telah terlibat mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, Amin.

Bandung, Juli 2011


(6)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahasa erat kaitannya dengan kognisi manusia, karena bahasa adalah fungsi kognisi tertinggi yang tidak dimiliki oleh hewan. Menetapkan perbedaan utama antara bahasa manusia satu dan yang lainnya sangat sulit. Adakalanya terdapat persamaan antara bahasa satu dengan bahasa lainnya.

Begitu pula antara bahasa Jepang dengan bahasa Sunda. Bahasa Jepang dan bahasa Sunda pada dasarnya memiliki fungsi yang sama yaitu sebagai alat komunikasi. Jepang dengan suku Sunda yang terdapat di Indonesia tidak memiliki keterkaitan budaya, akan tetapi terdapat pola yang sama dalam tingkatan bahasanya.

Edizal (2001:iii) menyatakan, ungkapan dalam bahasa Jepang mengenal adanya tingkatan bahasa dan dalam penggunaanya kita harus mempertimbangkan banyak faktor seperti status sosial pembicara dan pendengar serta suasana yang mengiringinya. Sutedi (2007:153) mengemukakan bahwa terdapat tingkatan dalam Bahasa Jepang, mulai dari bahasa kasar, bahasa biasa, dan bahasa halus.

Begitu pula dengan ungkapan dalam bahasa Sunda. Bahasa Sunda memiliki tiga tingkatan tatakrama berbahasa yang disebut undak usuk bahasa sunda, yaitu basa lemes (bahasa halus), basa loma (bahasa sehari-hari) dan basa kasar, tatakrama berbahasa dalam bahasa Sunda disebut undak usuk basa sunda.


(7)

Tidak hanya itu, terdapat beberapa ungkapan dalam bahasa Jepang yang memiliki kesamaan dalam bahasa Sunda diantaranya adalah kata sumimasen dengan punten.

Kata sumimasen berasal dari kata 済 む /sumu/ yang berarti “selesai, berakhir”. Kata sumimasen bisa diartikan sebagai “suatu hal yang tidak selesai” dan “diri sendiri merasa tidak tenang karenanya”. Ungkapan ini digunakan pada waktu minta maaf, minta tolong, dan mengucapkan terima kasih (Edizal, 2001 : 118). Berikut contoh penggunaan kata sumimasen berdasarkan ketiga fungsi tersebut.

(1) 遅れて、すみませんでした。

(Okurete, sumimasen deshita) Maaf saya terlambat

(Edizal, 2001 : 116) (2) リー :すみません。この荷物をアメリカに送りたいんですが。

Lee :(Sumimasen. Kono nimotsu o Amerika ni okuritaindesuga.) Maaf, saya mau mengirim barang ini ke Amerika.

局員 :はい。航空便ですか、船便ですか。 Kyoukuin:(Hai. Koukuubin desuka, funabin desuka.) Baiklah. Pengiriman lewat udara atau lewat laut?

(Nihongo Shuchuu Toreeningu, 2003 : 66) (3) A : 何か落ちましたよ。

(Nanika ochimashita yo) Maaf. Ada (barang) yang jatuh B : あ、どうもすみません。

(A, Doumo sumimasen) A, terima kasih


(8)

Dengan melihat contoh-contoh di atas dapat disimpulkan bahwa ungkapan sumimasen memiliki fungsi yang berbeda tergantung konteksnya.

Seperti halnya kata sumimasen, kata punten juga memiliki banyak makna tergantung situasi pemakaiannya. Kata ini sering sekali diucapkan oleh orang Sunda, biasanya kata ini diucapkan saat lewat di depan seseorang, saat masuk ke rumah seseorang, meminta maaf, atau meminta tolong. Berdasarkan hasil observasi yang penulis peroleh baik melalui interview dengan penututr asli bahasa Sunda dan dari data literatur, penulis menemukan beberapa contoh penggunaan kata punten seperti berikut:

(4) Punten, badé ngiring ngalangkung! (permisi, saya ikut (mau) lewat)

(Cahara Basa XI-A, 2006 : 71) (5) Iklan Kehilangan : Parantos ical, murangkalih namina Ocad. Ciri-cirina: yuswa 10 taun, rambut galing nyere, ngangge acuk beureum sareng lancingan hideung, soca sipit sabeulah, dina pipi aya karang sami kaleci, sareng ngangge sandal tibalik. Ka sugri anu mendakan, punten panglereskeun.. sendalna! (sepuhna: Suryana sareng Ikoh)

(Iklan kehilangan : Telah hilang, seorang anak bernama Ocad. Ciri-cirinya: usia 10 tahun, rambutnya keriting sapu lidi, memakai baju merah dan celana hitam, mata sipit sebelah, di pipinya ada tahi lalat sebesar kelereng, dan memakai sendal terbalik. Kepada yang menemukan, maaf, tolong betulkan sendalnya! (orang tuanya : Suryana dan Ikoh))

(Majalah Cakakak nomor 7) (6) “...punten bisi Abah kasar teuing nyarita, sok ambek ari ka jalma anu

pipilueun nyambungan, padahal urusan manehna oge katélér-télér....”\ (...maaf kalau Bapak terlalu kasar dalam bercerita, saya suka jengkel sama orang-orang yang suka ikut campur urusan orang lain, padahal urusannya sendiri masih terbengkalai...)


(9)

Dari contoh-contoh kalimat di atas baik kata sumimasen dalam bahasa Jepang maupun kata punten dalam bahasa Sunda memiliki fungsi yang sama. Penulis menyadari bahwa di dunia ini terkadang suatu bahasa yang memiliki sinonim atau kemiripan dengan bahasa lainnya dan tidak menutup kemungkinan, bukan hanya makna tetapi penggunaannya juga. Tetapi, setiap ada persamaan tentu ada perbedaan. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti persamaan dan perbedaan antara kata sumimasen dengan kata punten, terutama sejauh mana persamaan dan perbedaannya baik dari segi makna dan penggunaannya.

1.2 Rumusan Masalah dan Batasan Masalah

Berdasarkan latarbelakang di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:

a. Apa makna kata sumimasen bahasa Jepang dari segi penggunaan? b. Apa makna kata punten bahasa Sunda dari segi penggunaan?

c. Apa persamaan makna kata sumimasen bahasa Jepang dengan punten bahasa Sunda dari segi penggunaannya?

d. Apa perbedaan makna kata sumimasen bahasa Jepang dengan punten dalam bahasa Sunda dari segi penggunaannya?

Penganalisisan dibatasi hanya terhadap karakteristik penggunaan, persamaan dan perbedaan antara sumimasen dan punten dari segi makna dan penggunaannya baik dalam kalimat maupun dalam kehidupan sehari-hari.


(10)

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui makna kata sumimasen bahasa Jepang dilihat dari pengunaannya.

2. Untuk makna kata punten bahasa Sunda dilihat dari penggunaannya. 3. Untuk mengetahui persamaan makna antara ungkapan sumimasen bahasa

Jepang dan punten bahasa Sunda dalam penggunaannya.

4. Untuk mengetahui perbedaan makna antara ungkapan sumimasen bahasa Jepang dan punten bahasa Sunda dalam penggunaannya

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini : 1. Penulis

Untuk menambah pemahaman dan pengetahuan mengenai persamaan dan perbedaan ungkapan maaf bahasa Jepang dengan bahasa Sunda dari segi makna dan penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari.

2. Pembaca

Memberikan informasi mengenai ungkapan maaf dalam bahasa Jepang dan bahasa Sunda dan sebagai bahan masukan untuk penelitian-penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan analisis kontrastif ungkapan dalam bahasa Jepang dengan bahasa daerah lainnya.

3. Pengajar

Dapat dijadikan referensi pada kuliah linguistik umum dan linguistik bahasa Jepang terutama dalam perbandingan bahasa, khususnya perbandingan bahasa Jepang dengan bahasa daerah di Indonesia.


(11)

1.5 Definisi Operasional

Definisi operasional digunakan untuk memperjelas serta memudahkan pembaca dalam memahami definisi yang digunakan dan untuk menjabarkan definisi-definisi yang digunakan agar tidak terjadi kesalahpahaman anatara penulis dan pembaca mengenai istilah-istilah yang digunakan dalam judul penelitian. Berikut ini adalah definisi dari istilah-istilah yang digunakan dalam judul penelitian ini :

Analisis Kontrastif Kata Sumimasen bahasa Jepang dengan Punten bahasa Sunda dari Segi Makna dan Penggunaan

Analisis kontrastif kata sumimasen bahasa Jepang dan punten bahasa sunda dari segi makna dan penggunaan adalah penelitian yang bertujuan untuk meneliti persamaan dan perbedaan antara ungkapan sumimasen dengan punten dari segi makna dan penggunaannya.

1.6 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari lima bab. Berikut ini adalah sistematika penulisan yang digunakan :

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini akan dibahas mengenai latar belakang masalah, rumusan dan batasan masalah, tujuan penelitian, definisi operasional, manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.

BAB II : LANDASAN TEORI

Dalam bab ini akan diuraikan mengenai teori-teori yang menunjang dalam penelitian dan membahas mengenai teori yang berhubungan dengan


(12)

permasalahan yang akan dibahas sebagai landasan dan sebagai teori pendukung dalam penelitian.

BAB III : METODOLOGI PENELITIAN

Pada bab ini dijelaskan metode yang digunakan dalam penelitian ini yang didalamnya mencakup bahan atau materi penelitian. Dalam bab ini juga dijelaskan mengenai teknik pengumpulan data, teknik pengolahan data, serta tahapan penelitian.

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini dijelaskan pembahasan dan penganalisisan kata sumimasen dan punten dari segi makna dan penggunaannya baik dalam kalimat maupun kehidupan sehari-hari.

BAB V : SIMPULAN DAN SARAN

Dalam bab ini akan dikemukakan mengenai kesimpulan dari seluruh hasil penelitian yang telah dilakukan, selanjutnya pada bagian saran penulis akan memberikan saran-saran serta rekomendasi untuk penelitian berikutnya yang berhubungan dengan analisis kontrastif.


(13)

BAB II

LANDASAN TEORI 2.1. Analisis Kontrastif

Analisis kontrastif disebut pula linguistik kontrastif yang dalam bahasa Jepangnya disebut taishou gengogaku, taishou bunseki, atau taishou kenyuu , yaitu salah satu cabang linguistik yang mengkaji dan mendeskripsikan persamaan dan perbedaan struktur atau aspek-aspek yang terdapat dalam dua bahasa atau lebih (Sutedi, 2009 : 116). Sejak akhir Perang Dunia II sampai pertengahan tahun 1960-an, Analisis Kontrastif (Anakon) mendominasi dunia pengajaran bahasa kedua (B2) dan pengajaran bahasa asing (Tarigan, 2009 : 2).

Analisis Kontrastif, berupa prosedur kerja, adalah aktivitas atau kegiatan yang mencoba membandingkan struktur B1 dengan struktur B2 untuk mengidentifikasi perbedaan-perbedaan antara kedua bahasa. Perbedaan-perbedaan antara dua bahasa yang diperoleh dan dihasilkan melalui Anakon, dapat digunakan sebagai landasan dalam meramalkan atau memprediksi kesulitan-kesulitan atau kendala-kendala belajar berbahasa yang akan dihadapi para siswa di sekolah, terlebih-lebih dalam belajar B2 (Tarigan, 2009 : 5).

Analisis Kontrastif dikembangkan dan dipraktekkan pada tahun 1950-an dan 1960-an, sebagai suatu aplikasi linguisik struktural pada pengajaran bahasa, dan didasarkan pada asumsi-asumsi berikut ini :

1) Kesukaran-kesukaran utama dalam mempelajari suatu bahsa baru disebabkan oleh inteferensi dari bahasa pertama.


(14)

2) Kesukaran-kesukaran tersebut dapat diprediksi atau diprakirakan oleh analisis kontrastif.

3) Materi atau bahan pengajaran dapat memanfaatkan analisis kontrastif untuk mengurangi efek-efek interferensi. (Richard [et al] 1987 : 63 dalam Tarigan 2009 : 5)

2.1.2. Hipotesis Analisis Kontrastif

Ellis (1986 : 23) dalam Tarigan (2009 : 6) menguraikan bahwa terdapat dua versi hipotesis Anakon, yaitu hipotesis bentuk kuat (strong form hypothesis) dan hipotesis bentuk lemah (weak form hypothesis). Hipotesis bentuk kuat menyatakan bahwa “semua kesalahan dalam B2 dapat diramalkan dengan mengidentifikasi perbedaan anatara B1 dan B2 yang dipelajari para “siswa”. Hipotesis bentuk lemah menyatakan bahwa Anakon dan Anakes (analisis kesalahan) harus saling melengkapi. Anakes mengidentifikasi kesalahan di dalam korpus bahasa siswa, lalu Anakon menetapkan kesalahan mana yang termasuk ke dalam kategori yang disebabkan oleh perbedaan B2 dan B1.

Menurut Tarigan (2009:7), biasanya ada tiga sumber yang digunakan sebagai penguat atau rasional hipotesis Anakon, yaitu :

1) pengalaman praktis guru bahasa asing;

2) telaah mengenai kontak bahasa di dalam situasi kedwibahasaan; 3) teori belajar

2.1.3. Tujuan Analisis Kontrastif

Dalam Sutedi (2009:117) tujuan dari analisis kontrastif yaitu mendeskripsikan berbagai persamaan dan perbedaan tentang struktur bahasa


(15)

(obyek-obyek kebahasaan) yang terdapat dalam dua bahasa yang berbeda atau lebih. Analisis kontrastif semula ditujukan untuk kepentingan dalam pengajaran bahasa II, tetapi mengalami perkembangan ke dua arah, yaitu: (1) analisis kontrastif yang menekankan pada kegiatan pendeskripsian tentang persamaan dan perbedaannya saja; dan (2) analisis kontrastif yang menekankan pada latar belakang dan kecenderungan yang menjadi penyebab timbulnya persamaan dan perbedaan diantara bahasa yang diteliti tersebut.

Pada arah pertama, biasanya yang dibandingkan hanya dua bahasa, yaitu bahasa sasaran (bahasa II) dan bahasa ibu pembelajar, karena hasilnya akan dimanfaatkan untuk kepentingan pembelajaran bahasa tersebut. Pada arah yang kedua, yang dibandingkan dua bahasa yang berbeda atau lebih, dengan maksud untuk mencari kesemestaan (keuniversalan/fuhensei) dari berbagai persamaan dan perbedaan yang dimiliki setiap bahasa yang ditelitinya (Sutedi, 2009:117).

2.2. Pragmatik

2.2.1. Definisi Pragmatik

Maknyun (2006) menguraikan para pakar pragmatik mendefinisikan istilah ini secara berbeda-beda. Yule (1996:3), misalnya menyebutkan empat definisi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji makna pembicara; (2) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang yang melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara; dan (4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu.


(16)

Thomas (1995: 2) menyebut dua kecenderungan dalam pragmatik terbagi menjadi dua bagian, pertama, dengan menggunakan sudut pandang sosial, menghubungkan pragmatik dengan makna pembicara (speaker meaning); dan kedua, dengan menggunakan sudut pandang kognitif, menghubungkan pragmatik dengan interpretasi ujaran (utterance interpretation). Selanjutnya Thomas (1995: 22), dengan mengandaikan bahwa pemaknaan merupakan proses dinamis yang melibatkan negosiasi antara pembicara dan pendengar serta antara konteks ujaran (fisik, sosial, dan linguistik) dan makna potensial yang mungkin dari sebuah ujaran ujaran, mendefinisikan pragmatik sebagai bidang yang mengkaji makna dalam interaksi (meaning in interaction).

Dalam komunikasi, satu maksud atau satu fungsi dapat diungkapkan dengan berbagai bentuk/struktur. Untuk maksud “menyuruh” orang lain, penutur dapat mengungkapkannya dengan kalimat imperatif, kalimat deklaratif, atau bahkan dengan kalimat interogatif. Dengan demikian, pragmatik lebih cenderung ke fungsionalisme daripada ke formalisme. Pragmatik berbeda dengan semantik dalam hal pragmatik mengkaji maksud ujaran dengan satuan analisisnya berupa tindak tutur (speech act), sedangkan semantik menelaah makna satuan lingual (kata atau kalimat) dengan satuan analisisnya berupa arti atau makna.

2.2.2. Perkembangan Pragmatik

Suswanto (2009) dalam Maknyun (2006) menjelaskan, bidang “pragmatik” dalam linguistik dewasa ini mulai mendapat perhatian para peneliti dan pakar bahasa di Indonesia. Bidang ini cenderung mengkaji fungsi ujaran atau fungsi bahasa daripada bentuk atau strukturnya. Dengan kata lain, pragmatik lebih


(17)

cenderung ke fungsionalisme daripada ke formalisme. Hal itu sesuai dengan pengertian pragmatik yang dikemukakan oleh Levinson (1987: 5 dan 7 dalam Maknyun, 2008), pragmatik adalah kajian mengenai penggunaan bahasa atau kajian bahasa dan perspektif fungsional. Artinya, kajian ini mencoba menjelaskan aspek-aspek struktur bahasa dengan mengacu ke pengaruh-pengaruh dan sebab-sebab nonbahasa.

2.2.3. Beberapa Topik Pembahasan dalam Pragmatik

a) Teori Tindak-Tutur

Melalui bukunya, How to Do Things with Words, Austin dapat dianggap sebagai pemicu minat yang paling utama dalam kajian pragmatik. Sebab, seperti diungkap oleh Marmaridou (2000:1) dalam Maknyun (2008), sejak itu bidang kajian ini telah berkembang jauh, sehingga kita dapat melihat sejumlah kecenderungan dalam pragmatik, yaitu pragmatik filosofis (Austin, Searle, dan Grice), pragmatik neo-Gricean (Cole), pragmatik kognitif (Sperber dan Wilson), dan pragmatik interaktif (Thomas).

Austin (dalam Thomas 1995: 31) berpendapat bahwa salah satu cara untuk membuat pembedaan yang baik bukanlah menurut kadar benar atau salahnya, melainkan melalui bagaimana bahasa dipakai sehari-hari. Melalui hipotesis performatifnya, yang menjadi landasan teori tindak-tutur (speech-act), Austin berpendapat bahwa dengan berbahasa kita tidak hanya mengatakan sesuatu (to make statements), melainkan juga melakukan sesuatu (perform actions). Ujaran yang bertujuan mendeskripsikan sesuatu disebut konstatif dan ujaran yang bertujuan melakukan sesuatu disebut performatif. Yang pertama tunduk pada


(18)

persyaratan kebenaran (truth condition) dan yang kedua tunduk pada persyaratan kesahihan (felicity condition) (Gunarwan 2004: 8 dalam Maknyun, 2008).

Contoh:

(1) Dengan ini, saya nikahkan kalian (performatif) (2) Rumah Joni terbakar (konstatif)

Selanjutnya Austin, seperti juga ditekankan lebih lanjut oleh Searle (dalam Gunarwan 2004: 9), memasukkan ujaran konstatif, karena memiliki struktur dalam yang mengandungi makna performatif, sebagai bagian dari performatif (Austin 1962: 52 dan Thomas 1995: 49). Dalam contoh (2), struktur dalam ujaran tersebut dapat saja berbunyi Saya katakan bahwa rumah Joni terbakar (Maknyun, 2008)

Tindakan yang dihasilkan dengan ujaran ini mengandung tiga tindakan lain yang berhubungan, yaitu lokusi (locutionary act), ilokusi (illocutionary act), dan perlokusi (perlocutionary act) (Yule 1996: 48). Tindak lokusioner berkaitan dengan produksi ujaran yang bermakna, tindak ilokusioner terutama berkaitan dengan intensi atau maksud pembicara, dan tindak perlokusioner berkaitan dengan efek pemahaman pendengar terhadap maksud pembicara yang terwujud dalam tindakan (Thomas 1995: 49). Tindak-tutur, seperti dikembangkan lebih jauh oleh Searle (dalam Gunarwan 2004: 9), dapat berupa tindak-tutur langsung (direct speech-act) dan tindak-tutur tidak langsung (indirect speech-act). Dalam direct speeh-act terdapat hubungan langsung antara struktur kalimat dengan fungsinya, sedangkan dalam indirect speech-act hubungannya tidak langsung atau menggunakan tindak-tutur lain (Maknyun, 2006).


(19)

Selain itu, Searle juga menyebut lima jenis fungsi tindak-tutur, yaitu asertif (assertive), direktif (directive), komisif (comissive), ekspresif (expressive), dan deklarasi (declaration) (Littlejohn 2002: 80; dan Yule 1996: 53-54). Asertif atau representatif merupakan tindak-tutur yang menyatakan tentang sesuatu yang dipercayai pembicaranya benar; direktif merupakan tindak-tutur yang menghendaki pendengarnya melakukan sesuatu; komisif merupakan tindak-tutur yang digunakan pembicaranya untuk menyatakan sesuatu yang akan dilakukannya; ekspresif merupakan tindak-tutur yang menyatakan perasaan pembicaranya; dan deklarasi merupakan tindak-tutur yang mengubah status sesuatu.

b) Prinsip Kerja Sama (Cooperative Principle)

Grice mengemukakan bahwa percakapan yang terjadi di dalam anggota masyarakat dilandasi oleh sebuah prinsip dasar, yaitu prinsip kerja sama (cooperative principle) (Yule 1996: 36-37 dan Thomas 1995: 61). Kerja sama yang terjalin dalam komunikasi ini terwujud dalam empat bidal (maxim), yaitu (1) bidal kuantitas (quantity maxim), memberi informasi sesuai yang diminta; (2) bidal kualitas (quality maxim), menyatakan hanya yang menurut kita benar atau cukup bukti kebenarannya; (3) bidal relasi (relation maxim), memberi sumbangan informasi yang relevan; dan (4) bidal cara (manner maxim), menghindari ketidakjelasan pengungkapan, menghindari ketaksaan, mengungkapkan secara singkat, mengungkapkan secara beraturan (Gunarwan 2004: 11 dan Thomas 1995: 63-64).


(20)

Berkaitan dengan prinsip kerja sama Grice di atas, pada kenyataannya, dalam komunikasi kadang kita tidak mematuhi prinsip tersebut. Hal ini, seperti diungkap oleh Gunarwan (2004:12-14 dalam Maknyun, 2006), didasarkan atas beberapa alasan, misalnya untuk memberikan informasi secara tersirat (implicature) dan menjaga muka lawan bicara (politeness).

c) Implikatur (Implicature)

Grice, seperti diungkap oleh Thomas (1995: 57) dalam Maknyun (2008), menyebut dua macam implikatur, yaitu implikatur konvensional dan implikatur konversasional. Implikatur konvensional merupakan implikatur yang dihasilkan dari penalaran logika, ujaran yang mengandung implikatur jenis ini, seperti diungkap oleh Gunarwan (2004: 14) dalam Maknyun (2006), dapat dicontohkan dengan penggunaan kata bahkan. Implikatur konversasional merupakan implikatur yang dihasilkan karena tuntutan konteks tertentu (Thomas 1995: 58 dalam Maknyun, 2006).

Contoh :

(3) Bahkan Bapak Menteri Agama menghadiri sunatan anak saya

(4) Saya kebetulan ke Inggris untuk studi selama dua tahun dan berangkat besok Contoh (3) di atas merupakan implikatur konvensional yang berarti Bapak Menteri Agama biasanya tidak menghadiri acara sunatan, sedangkan contoh (4) merupakan implikatur konversasional yang bermakna ‘tidak’ dan merupakan jawaban atas pertanyaan maukah Anda menghadiri selamatan sunatan anak saya?

Berbeda dengan Grice, menurut Gazdar, dengan menggunakan prinsip kerja sama Grice, implikatur dapat dibedakan menjadi implikatur khusus dan


(21)

implikatur umum. Yang pertama ada karena konteks ujaran, misalnya contoh (6) di atas, sedangkan yang kedua tidak, misalnya contoh (5) di atas.

d) Teori Relevansi

Teori relevansi yang dikembangkan oleh Sperber dan Wilson merupakan kritik terhadap empat maksim yang terdapat dalam prinsip kerja sama Grice. Menurut mereka, bidal yang terpenting dalam teori Grice adalah bidal relevansi, dan percakapan dapat terus berjalan meski hanya melalui bidal ini. Dalam teori relevansi dipelajari bagaimana sebuah muatan pesan dapat dipahami oleh penerimanya. Sperber dan Wilson (1995), seperti dikutip oleh Renkema (2004: 22) dalam Maknyun (2006), menyebutkan bahwa bahasa dalam penggunaannya (language in use) selalu dapat diidentifikasi melalui hal yang disebutnya

indeterminacy atau underspecification. Melalui hal tersebut, penerima pesan (addressee) hanya memilih sesuatu yang dianggapnya relevan dengan apa yang hendak disampaikan oleh pengirim pesan (addresser) dalam konteks komunikasi tertentu.

Contoh.

(5) Pastikan semua pintu terkunci jika meninggalkan ruangan ini.

Setiap pembaca dapat memahami bahwa pesan ini hanya berlaku jika ia akan meninggalkan ruangan tersebut untuk terakhir kalinya, bukan untuk setiap kali meninggalkan ruangan, misalnya untuk ke kamar mandi. Dengan kata lain, pesan ini berada dalam spesifikasi tertentu yang disepakati oleh addresser dan


(22)

Selanjutnya, untuk menjelaskan cara sebuah pesan dipahami penerimanya, Sperber dan Wilson (1995), seperti dikutip oleh Renkema (2004: 22), menetapkan tiga macam hubungan antara cue dan implicature, yaitu: pertama, ujaran merupakan sebentuk tindakan dari komunikasi ostensif, misalnya tindakan untuk membuat sesuatu menjadi jelas dan dapat dimengerti oleh penerima pesan; kedua, komunikasi tidak hanya memasukkan apa yang ada dalam pikiran pengirim pesan ke dalam pikiran penerima pesan, namun mencakup perluasan wilayah kognitif (cognitive environment) kedua belah pihak. Misalnya pada contoh (7) di atas, pengirim pesan dapat memperkirakan reaksi penerima pesan terhadap pesan yang disampaikannya, yaitu tidak perlu mengunci pintu jika keluar dalam batasan waktu dan situasi yang diperkirakan cukup aman; dan ketiga, explicature atau

degree of relevance, tahapan yang harus dilewati untuk memahami implikatur dalam percakapan.

e) Kesantunan (Politeness)

Konsep strategi kesantunan yang dikembangkan oleh Brown dan Levinson diadaptasi dari konsep face yang diperkenalkan oleh seorang sosiolog bernama Erving Goffman (1956) (Renkema 2004: 24-25). Menurut Goffman (1967: 5), yang dikutip oleh Jaszczolt (2002: 318), "face merupakan gambaran citra diri dalam atribut sosial yang telah disepakati". Dengan kata lain, face dapat diartikan kehormatan, harga diri (self-esteem), dan citra diri di depan umum (public self-image). Menurut Goffman (1956), seperti dikutip oleh Renkema (2004: 25), setiap partisipan memiliki dua kebutuhan dalam setiap proses sosial: yaitu kebutuhan


(23)

untuk diapresiasi dan kebutuhan untuk bebas (tidak terganggu). Kebutuhan yang pertama disebut positive face, sedangkan yang kedua disebut negative face.

Berdasarkan konsep face yang dikemukakan oleh Goffman ini, Brown dan Levinson (1978) membangun teori tentang hubungan intensitas FTA dengan kesantunan yang terrealisasi dalam bahasa (Renkema 2004: 25). Intensitas FTA diekspresikan dengan bobot atau weight (W) yang mencakup tiga parameter sosial, yaitu: pertama, tingkat gangguan atau rate of imposition (R), berkenaan dengan bobot mutlak (absolute weight) tindakan tertentu dalam kebudayaan tertentu, misalnya permintaan "May I borrow your car?" mempunyai bobot yang berbeda dengan permintaan "May I borrow your pen?"; kedua, jarak sosial atau social distance (D) antara pembicara dengan lawan bicaranya, misalnya bobot kedua permintaan di atas tidak terlalu besar jika kedua ungkapan tersebut ditujukan kepada saudara sendiri; dan ketiga, kekuasaan atau power (P) yang dimiliki lawan bicara (Renkema 2004: 26).

Contoh :

(6) a. Maaf, Pak, boleh tanya? b. Numpang tanya, Mas?

Dalam contoh di atas terlihat jelas, ujaran (6a) mungkin diucapkan pembicara yang secara sosial lebih rendah dari lawan bicaranya, misalnya mahasiswa kepada dosen atau yang muda kepada yang tua; sedangkan ujaran (6b) mungkin diucapkan kepada orang yang secara sosial jaraknya lebih dekat (6a).

Politeness (kesantunan) dalam hal ini dapat dipahami sebagai upaya pencegahan dan atau perbaikan dari kerusakan yang ditimbulkan oleh FTA;


(24)

semakin besar intensitas FTA mengancam stabilitas komunikasi, maka politeness strategy semakin dibutuhkan. Politeness, face work technique, yang bertujuan untuk mendapatkan positive face disebut solidarity politeness, dapat dilakukan, misalnya dengan pujian; sedangkan politeness yang dilakukan untuk tujuan sebaliknya disebut respect politeness, dapat dilakukan, misalnya dengan melakukan tindakan yang tidak kooperatif dalam komunikasi (Renkema 2004: 25).

Berkaitan dengan politeness strategy ini, Brown dan Levinson (1978), seperti diungkapkan oleh Renkema (2004: 26), dalam penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat banyak cara untuk menghindari FTA yang dapat direduksi menjadi lima macam cara. Kelima strategi tersebut diurut berdasarkan tingkat resiko "kehilangan muka"; semakin tinggi resiko kehilangan muka, maka semakin kecil kemungkinan pembicara melakukan FTA.

Teori kesantunan lain dibahas oleh Leech (1983). Pakar ini membahas teori kesantunan dalam kerangka retorika interpersonal (Eelen 2001: 6). Dalam hal ini, Leech (dalam Eelen 2001: 8) menyebutkan enam bidal kesantunan, yaitu bidal kebijaksanaan (tact maxim), bidal kedermawanan (generosity maxim), bidal pujian (approbation maxim), bidal kerendahhatian (modesty maxim), bidal kesetujuan (aggreement maxim), bidal simpati (sympathy maxim); dan, seperti diungkap oleh Gunarwan (2004: 19), ditambah bidal pertimbangan (consideration maxim).

2.3. Semantik

Semantik (Bahasa Yunani: semantikos, memberikan tanda, penting, dari kata sema, tanda) adalah cabang linguistik yang mempelajari makna yang


(25)

terkandung pada suatu bahasa, kode, atau jenis representasi lain. Semantik biasanya dikontraskan dengan dua aspek lain dari ekspresi makna: sintaksis, pembentukan simbol kompleks dari simbol yang lebih sederhana, serta pragmatika, penggunaan praktis simbol oleh agen atau komunitas pada suatu kondisi atau konteks tertentu (wikipedia.org).

Nurhadi (1995:326) menyatakan dalam bidang semantik dikenal dua golongan semantik yaitu semantik leksikal dan semantik gramatikal. Semantik leksikal mempelajari makna kata secara lepas, yaitu makna dalam kamus. Makna yang ditelaahnya adalah makna yang lepas dari penggunaanya atau konteksnya.

Beberapa ciri relasi makna dalam semantik leksikal diterangkan sebagai berikut ini.

1) Hiponim

Istilah hiponim berarti nama di bawah nama lain. Verhar (1988:137) dalam Nurhadi (1995:327) menyatakan bahwa “hiponim (Inggris hyponym) ialah ungkapan (kata, dapat juga frase atau kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna suatu ungkapn lain”. Istilah hiponim dalam bahasa Indonesia boleh dipakai sebagai kata benda, boleh juga kata sifat.

2) Homonim

Istilah homonim arti dasarnya adalah nama sama untuk benda lain. Verhar (1988:135) dalam Nurhadi (1995:327) menyatakan homonym ialah ungkapan (kata, atau frase, atau kalimat) yang bentuknya sama dengan suatu ungkapan lain, tetapi dengan perbedaan makna diantara kedua ungkapan tersebut.


(26)

3) Antonim

Istilah antonim makna harafiahnya adalah nama lain untuk benda yang lain. Verhar (1988:133) dalam Nurhadi (1995:328) menyatakan bahwa antonym ialah ungkapan yang dianggap bermakna kebalikan dari ungkapan lain. Dengan kata lain antonim adalah leksem-leksem yang berlawanan maknanya.

4) Sinonim

Istilah sinonim makna harafiahnya adalah nama lain untuk benda yang sama. Verhar (1988:132) dalam Nurhadi (1995:329) menyatakan, sinonim adalah ungkapan yang kurang lebih sama maknanya dengan suatu ungkapan yang lain.

2.3.1. Batasan dan Ruang Lingkup Semantik

Istilah semantik lebih umum digunakan dalam studi ingustik daripada istilah untuk ilmu makna lainnya, seperti semiotika, semiologi, semasiologi, sememik, dan semik. Ini dikarenakan istilah-istilah yang lainnya itu mempunyai cakupan objek yang cukup luas,yakni mencakup makna tanda atau lambang pada umumnya. Termasuk tanda lalulintas, morse, tanda matematika, dan juga tanda-tanda yang lain sedangkan batasan cakupan dari semantik adalah makna atau arti yang berkenaan dengan bahasa sebagai alat komunikasi verbal (www.scribd.com).

2.3.2. Hubungan Semantik dengan Tataran Ilmu Sosial lain

Berlainan dengan tataran analisis bahasa lain, semantik adalah cabang imu linguistik yang memiliki hubungan dengan Imu Sosial, seperti sosiologi dan antropologi. Bahkan juga dengan filsafat dan psikologi.


(27)

a) Semantik dan Sosiologi

Semantik berhubungan dengan sosiologi dikarenakan seringnya dijumpai kenyataan bahwa penggunaan kata tertentu untuk mengatakan sesuatu dapat menandai identitas kelompok penuturnya.

Contohnya :

Penggunaan / pemilihan kata ‘cewek’ atau ‘wanita’, akan dapat menunjukkan identitas kelompok penuturnya.Kata ‘cewek’ identik dengan kelompok anak muda, sedangkan kata ‘wanita’ terkesan lebih sopan, dan identik dengan kelompok orang tua yang mengedepankan kesopanan.

b) Semantik dan Antropologi.

Semantik dianggap berkepentingan dengan antropologi dikarenakan analisis makna pada sebuah bahasa, menalui pilihan kata yang dipakai penuturnya, akan dapat menjanjikan klasifikasi praktis tentang kehidupan budaya penuturnya. (www.scribd.com).

2.3.3. Analisis Semantik

Dalam analisis semantik, bahasa bersifat unik dan memiliki hubungan yang erat dengan budaya masyarakat penuturnya. Maka, suatu hasil analisis pada suatu bahasa, tidak dapat digunakan untuk menganalisi bahasa lain.

Contohnya penutur bahasa Inggris yang menggunakan kata ‘rice’ pada bahasa Inggris yang mewakili nasi, beras, gabah dan padi. Kata ‘rice’ akan memiliki makna yang berbeda dalam masing-masing konteks yang berbeda. Dapat bermakna nasi, beras, gabah, atau padi.Tentu saja penutur bahasa Inggris hanya mengenal ‘rice’ untuk menyebut nasi, beras, gabah, dan padi. Itu dikarenakan


(28)

mereka tidak memiliki budaya mengolah padi, gabah, beras dan nasi, seperti bangsa Indonesia.

Kesulitan lain dalam menganalisis makna adalah adanya kenyataan bahwa tidak selalu penanda dan referent-nya memiliki hubungan satu lawan satu. Yang artinya, setiap tanda lingustik tidak selalu hanya memiliki satu makna. Adakalanya, satu tanda lingustik memiliki dua acuan atau lebih. Sebaliknya, dua tanda lingustik, dapat memiliki satu acuan yang sama (www.scribd.com).

Hubungan tersebut dapat digambarkan dengan contoh-contoh berikut : Bisa ‘racun’

‘dapat’

buku ‘lembar kertas berjilid’ kitab

2.4. Sumimasen

Mizue dalam www.japaneseabout.com menjelaskan bahwa kata

sumimasen pada umumnya diucapkan pada saat seseorang melakukan kesalahan terhadap orang lain, ketidaksopanan, atau berlaku tidak baik. Sumimasen

diucapkan pula pada saat seseorang ingin bertanya, atau meminta orang lain melakukan sesuatu untuk dirinya sebagai ungkapan rasa hormat dan menghargai lawan bicara. Selain itu kata sumimasen bisa digunakan untuk menyatakan terima kasih karena telah merepotkan atau menyusahkan karena telah melakukan sesuatu untuk dirinya (Saleh, 2006:15).


(29)

2.4.1. Makna Sumimasen

Dalam Kamus Kanji Modern (Nelson, 2008) 済みません’sumimasen’

berarti “permisi”, “maafkan saya”. Edizal (2010:118) menjelaskan, kata

sumimasen berasal dari kata 済 む /sumu/ yang berarti “selesai, berakhir”.

Ungkapan sumimasen bisa diartikan sebagai “suatu hal yang tidak selesai” dan “diri sendiri merasa tidak tenang karenanya”.

Dalam situasi yang formal, ungkapan ini dapat digantikan dengan

moushiwake arimasen/moushiwake gozaimasen, biasa diucapkan kepada orang yang lebih tinggi kedudukannya seperti kepada atasan. Kata sumimasen ada kalanya diucapkan sumanai/suman dalam situasi yang lebih akrab. Kata ini juga ada kalanya digantikan dengan kata warui.

2.5. Punten

Dalam Kamus Umum Bahasa Sunda-Indonesia, punten berasal dari kata

pun yang berarti hampura ‘maaf’; pun sapun ka Sang Rumuhun (kalimat pantun dengan maksud meminta maaf kepada para nenek moyang). Punten (perubahan dari kata pangapunten) adalah bahasa sopan dari “maaf (bahasa Arab)”, “hampura”. Kata punten secara pragmatik memiliki banyak fungsi dan sering digunakan dalam berbagai situasi seperti ketika akan memasuki rumah seseorang, meminta izin, memohon maaf, lewat di depan seseorang, atau meminta tolong. Bentuk jamak dari punten adalah pupuntenan (menyebutkan punten berkali-kali)


(30)

2.6. Undak usuk bahasa Sunda

Djajasudarna et. al, (1994:7-11) dalam Rosmana (2009) menyatakan, istilah undak usuk ‘tingkat tutur’ ini menyangkut bidang sosiolinguistik. Unsur ini mengacu pada gagasan bahwa bahasa Sunda mengenal tingkat sosial lawan bicara (orang yang diajak bicara) dan tingkat social yang dibicarakan. Sistem ini mengakibatkan pilihan kata (diksi) kasar/lemes ‘halus’ sesuai dengan ukuran tingkat sosial lawan bicara atau yang dibicarakan. Secara pragmatis, dilihat dari segi pembicaraan pendengar yang dibicarakan tingkat tutur ini memiliki kosakata kasar bagi pembicara (persona I), pendengar (persona II), dan yang dibicarakan (persona III), dan kosakata lemes bagi persona I, persona II, dan persona III. Hal tersebut berlaku pula dalam karya tulisan (penulis - pembaca - yang dibicarakan).

Masalah diksi atau aturan pilihan kata di dalam bahasa Sunda sudah ditentukan oleh kolokasi (sanding kata). Djajasudarma (1988) dalam Rosmana (2009) membagi tingkat tutur sebagai berikut.

a) Ardiwinata (1916;1984)

Lemes pisan ‘halus sekali’

Lemes biasa ‘halus biasa’

Lemes keur sorangan ‘halus untuk diri sendiri’

Sedang ‘sedang’

Songong ‘kasar’

Songong paranti nyarekan ‘kasar untuk memarahi/menasehati’ b) Soeriadiradja (1929)


(31)

LemesSedangKasarKasar pisan

c) Adiwidjaja (1951)

Luhur ‘tinggi’

Lemes Sedeng Panengah Kasar Kasar pisan

d) Djajawiguna (1978)

Lemes Sedeng Panengah

Wajar (loma) ‘akrab’

Cohag (kasar pisan) (karena akrab)

Unsur undak usuk ‘tingkat tutur’ di dalam bahasa Sunda berdasarkan sejarah bahasa, masuk ke dalam bahasa Sunda dan menjadi unsur bahasa Sunda sejak abad ke-17 (Kata dan Soeriadiradja, 1982 dalam Rosmana, 2009). Hal tersebut terjadi karena hubungan sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan antara Sunda dan Jawa.


(32)

Tingkat tutur berkembang bersamaan dengan”macapat” bentuk sastra Babad, hasil kerajaan Mataram pada waktu Sultan Agung memerintah (Ajip Rosidi, 1986 dalam Rosmana, 2008). Fungsi tingkat tutur mengatur orang berbicara situasional atau pragmatis (dilihat dari segi para peserta ujaran – komunikasi)

2.7. Teori Konteks

Konsep teori ini ditokohi oleh antropolog Inggris Bronislaw Malinowski. Malinowski dalam Pateda (1994:104) berpendapat bahwa untuk memahami ujaran harus diperhatikan konteks situasi. Berdasarkan analisis konteks situasi itu, kita dapat memecahkan aspek-aspek bermakna bahasa sehingga aspek linguistik dan aspek non linguistik dapat dikorelasikan.

Teori konteks intinya adalah :

1. Makna tidak terdapat pada unsur-unsur lepas yang berwujud kata tapi terpadu pada ujaran secara keseluruhan.

2. Makna tidak boleh ditafsirkan secarqa dualis (kata dan acuan) atau secara trialis (kata, acuan, tafsiran), tetapi makna merupakan satu fungsi atau tugas yang terpadu dalam tutur yang dipengaruhi situasi.


(33)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Metode berasal dari kata methodos dalam bahasa latin yang terdiri dari kata meta dan hodos. Meta berarti menuju, melalui, mengikuti, sesudah, sedangkan hodos berarti jalan, cara, arah. Dalam pengertian yang lebih luas metode dianggap sebagai cara-cara, strategi untuk memahami realitas, langkah-langkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab akibat berikutnya.

Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif, yaitu metode yang membicarakan beberapa kemungkinan untuk memecahkan masalah aktual dengan jalan mengumpulkan data, menyusun atau mengklasifikasinya, menganalisis, dan menginterpretasikannya. Kutha (2010:53) dalam Gindarsyah (2010:30) menjelaskan, metode deskriptif analisis dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis, tidak semata-mata menguraikan, melainkan juga memberikan pemahaman dan penjelasan secukupnya.

Alasan penulis menggunakan metode ini adalah karena pada dasarnya penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Selain itu, metode ini dianggap cukup tepat untuk melakukan pendekatan terhadap masalah yang akan diteliti.

3.2 Obyek Penelitian dan Sumber Data

Obyek dalam penelitian ini adalah kata sumimasen dan punten segi makna dan penggunaanya dalam kehidupan sehari-hari. Adapun data yang diperoleh


(34)

bersumber dari buku pelajaran, majalah, anime, drama Jepang, artikel baik dalam bentuk jurnal maupun internet, facebook, dan sebagainya. Data tersebut berupa contoh-contoh kalimat, dialog, makna kata, dan sebagainya. Data tersebut merupakan data primer. Selain itu penulis juga mewawancara dengan penutur asli bahasa Jepang dan bahasa Sunda untuk mengumpulkan menguji keakuratan data primer serta sebagai data tambahan (sekunder).

3.3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang dilakukan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini diantaranya yaitu :

1. Studi kepustakaan

Studi kepustakaan merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan menghimpun dan menganalisis dokumen-dokumen, baik dokumen tertulis, gambar maupun elektronik. Berikut ini adalah bagan studi kepustakaan yang penulis lakukan dalam penelitian ini.

Bagan 1. Studi pustaka Dokumen

tertulis

Media Elektronik

Buku Majalah Kamus Jurnal Artikel

Anime Drama Internet Studi


(35)

2. Wawancara

Penulis melakukan wawancara dengan penutur asli baik bahasa Jepang maupun bahasa Sunda. Wawancara dengan penutur asli bahasa Jepang dilakukan melalui media jejaring sosial facebook, dengan pertimbangan selain faktor jarak dilihat juga dari segi efesiensi waktu. Sedangkan wawancara dengan penutur asli bahasa Sunda dilakukan secara langsung (tatap muka).

Wawancara dilakukan tidak hanya untuk memperoleh data tapi juga untuk menguji keakuratan data yang diperoleh dari sumber tertulis seperti buku, majalah, dan artikel dari internet.

3.4 Tahapan Penelitian 1. Tahap persiapan

Pada tahap ini penulis mengumpulkan dan mempelajari buku-buku literatur yang berhubungan dengan masalah yang sedang diteliti, melakukan pencarian data melalui media internet, mengumpulkan teori-teori yang menunjang penelitian.

2. Tahap pelaksanaan

Pada tahap ini, data yang telah dikumpulkan dijadikan korpus sebagai data mentah. Kemudian penulis melakukan wawancara dan studi media elektronik (internet, drama, anime) untuk menguji keakuratan korpus. Setelah tahapan pengujian selesai, hasilnya dijadikan data utama.


(36)

Tahap pelaksanaan penelitian yang penulis lakukan tergambar dalam bagan berikut.

Bagan 2. Tahap pelaksanaan penelitian

3. Tahap pengolahan data

Pada tahap ini, penulis menyusun dan mengolah data utama, kemudian mengklasifikasikannya bedasarkan makna dan penggunaannya. Setelah itu data dianalisis lebih lanjut dengan cara diterjemahkan ulang ke dalam bahasa Indonesia. Setelah tahap penerjemahan ulang ke dalam bahasa Indonesia selesai, kemudian data bahasa Jepang diterjemahkan ke dalam bahasa Sunda, begitu pula data bahasa Sunda diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang sehingga dapat ditarik kesimpulan. Tahap pengolahan data tergambar dalam bagan berikut

Bagan 3. Tahap pengolahan data Studi Literatur

Wawancara

DATA PENELITIAN KORPUS

(Data mentah)

Studi media elektronik

DATA

PENELITIAN Analisis KESIMPULAN

Punten


(37)

BAB IV

ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

4.1. Makna Ungkapan Sumimasen

Sumimasen mempunyai makna yang beragam tergantung dari konteksnya. Pada umumnya digunakan untuk meminta maaf karena melakukan kesalahan, tidak sopan, atau berlaku tidak baik. Sumimasen digunakan juga pada saat bertanya, atau meminta orang lain melakukan sesuatu. Selain itu kata sumimasen dapat digunakan untuk menyatakan terima kasih karena telah merepotkan atau menyusahkan karena telah melakukan sesuatu untuk dirinya. Berikut ini adalah hasil analisis makna ungkapan sumimasen dilihat dari susunan kalimat dan konteksnya.

4.1.1 Makna Sumimasen Dilihat dari Pola Kalimat yang Menyertainya Makna sumimasen berbeda-beda tergantung pola kalimat yang menyertainya. Berdasarkan pola kalimatnya, makna sumimasen dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Maaf

Kata sumimasen bermakna “maaf” jika kalimat yang menyertai ungkapan sumimasen berupa kalimat yang menyatakan alasan, penyesalan, atau ungkapanpenolakan, seperti pada contoh berikut.

a) Kalimat yang menyatakan alasan

Untuk menyatakan alasan dalam bahasa Jepang biasanya digunakan kata bantu kara, node, dan tame. Kata tanya yang digunakan yaitu


(38)

kata う doushite atau nazeyang keduanya berarti “mengapa” (Sutedi, 2007 : 144). Selain itu, bisa juga menggunakan pola “(kata kerja bentuk TE) / ~

yang berarti “karena….” (menyatakan alasan).

(9) A: う Doushite kimasen deshitaka? A: Naha teu sumping?

(Mengapa kau tidak datang?)

B: あ

1 2

Sumimasen. Jikan ga arimasen deshita. B: Punten, teu aya waktosna

(Maaf, saya tidak sempat)

(http://www.facebook.com/notes/minakotanitanaka/ )

Pada contoh (9) A bertanya B dengan menggunakan kata tanya う yang biasa digunakan untuk menanyakan suatu alasan. Kemudian B menyatakan alasannya “ あ Jikan ga arimasen deshita (saya tidak sempat/tidak ada waktu)”, kalimat yang menyatakan alasan tersebut diucapkan setelah kata sumimasen, sehingga makna sumimasen pada contoh (6) adalah maaf. Pada contoh (9), kata sumimasen sebagai pernyataan maaf diletakkan di awal kalimat dan alasannya di akhir kalimat.

(10) 明日 い

1 2

Ashita goissho dekinakute sumimasen.

(Punten, enjing (abdi) teu tiasa ngarencangan) Maaf, besok saya tidak bisa menemani anda.


(39)

Contoh (10) menggunakan pola “(kata kerja bentuk TE) / ~ yang berarti “karena….” (menyatakan alasan) ditambah ” sumimasen” sehingga diterjemahkan “maafkan saya karena….(alasan)”. Pada contoh (10), kalimat yang menyatakan alasan diletakkan di awal kalimat, sedangkan kata sumimasen sebagai pernyataan maaf diletakkan di akhir kalimat.

b) Kalimat yang menyatakan penyesalan (~ う~te shimau)

Dalam bahasa Jepang, terdapat pola ~ う(~te shimau). Kata kerja bentuk Te diikuti dengan Shimau mempunyai dua makna, 1) perbuatan yang dikerjakan sampai tuntas, 2) penyesalan terhadap suatu perbuatan (Sutedi, 2007 : 77).

(11) あ, 取 過 い ?

1 2

A, Sumimasen, torisugiteshimaimashita ka?

Aduh, punten, abdi nyandakna teu seueur teuing kitu? (Aduh, maaf, apa saya mengambilnya terlalu banyak? )

(http://www.facebook.com/notes/minakotanitanaka/ )

Contoh (11) merupakan kalimat yang menyatakan penyesalan akibat perbuatan yang tidak disengaja/tidak disadari karena menggunakan pola ~

~te shimau. Kata 取 過 torisugiru berarti “mengambil terlalu banyak”, karena perbuatan tersebut tidak disengaja maka diubah kedalam bentuk ~te shimau menjadi 取 過 うtorisugite shimau.


(40)

c. Kalimat yang menyatakan penolakan

(12) A : コンサー チ ッ い 一緒 行

Konsaato no chiketto wo moraimashita. Isshoni ikimasenka. A :Kamari abdi kenging tiket konser. Manawi bade ngiring? (Saya dapat tiket konser. Mau nonton sama-sama tidak?) B : い Itsu desuka.

B :iraha? (Kapan?)

A : 来 土曜日 Raishuu no doyoubi desu. A : Dinten Saptu minggon payun.

(Hari Sabtu minggu depan)

B : 来 土曜日 仕事 あ

1 2

Sumimasen. Raishuu no doyoubi wa shigoto ga arimasu kara. B : Punten, Saptu minggon payun mah abdi aya padamelan. (Maaf. Hari Sabtu minggu depan saya ada pekerjaan)

A : う 残念 Soudesu ne. Zannen desu ne. A : Oh, kitu nya…

(Begitu ya. Sayang sekali)

(Minna no Nihongo I, 2002 : 77) Contoh (12) merupakan contoh ungkapan sumimasen yang bermakna penolakan. Pada contoh (12) kata sumimasen diikuti kalimat 来 土曜日 仕

事 あ yang berpola ~ kara yang berarti “karena……(alasan subyektif)”. Sebenarnya setelah kalimat “来 土曜日 仕事 あ

” terdapat kata “行 ” ikemasen (saya tidak bisa ikut). Namun, saat B mengatakan “来 土曜日 仕事 あ ”, A mengerti kalau B

menolak ajakannya. Selain itu orang Jepang tidak akan secara langsung mengatakan “saya tidak bisa pergi” karena akan melukai perasaan lawan bicara. Oleh karena itu B mengucapkan sumimasen sebagai permohonan maaf karena tidak bisa ikut menonton dan kalimat alasan penolakannya tidak dilanjutkan. Selain itu, kalimat (12) susunannya dapat dibalik menjadi来 土曜日 仕事


(41)

Raishuu no doyoubi wa shigoto ga arimasu kara, Sumimasen atau diubah menjadi 来 土曜日 仕事 あ

Raishuu no doyoubi wa shigoto ga atte, sumimasen tanpa mengubah makna kalimatnya.

2. Permisi

Kata sumimasen bermakna “permisi” jika kalimat yang menyertai ungkapan sumimasen berupa kalimat yang menyatakan meminta izin, bertanya, atau meminta bantuan kepada seseorang, seperti pada contoh berikut.

a) Sumimasen yang diikuti kalimat meminta izin (~ い /

~ いい )

Kata kerja bentuk Te diikuti dengan Mo ii atau Mo Kamaimasen, berarti “boleh melakukan…” digunakan untuk menyatakan izin kepada seseorang untuk melakukan suatu perbuatan (Sutedi, 2007 : 78).

(13) い ?

Sumimasen, koko de tabako wo suttemo kamaimasenka? Punten, kenging ngaroko didieu teu?

(Permisi,Boleh saya merokok di sini?)

(http://www.facebook.com/notes/minakotanitanaka/ )

(14) 1 取 いい ?

Sumimasen, kore wo hitotsu totte ii desuka. Punten, tiasa nyuhunkeun hiji?

(Permisi,boleh saya ambil satu?)


(42)

Contoh (13) dan (14) merupakan kalimat yang menyatakan meminta izin, karena menggunakan pola ~ い ~te mo kamaimasen atau ~

いい ~te mo ii desu, Keduanya bermakna “boleh” namun jika kedua pola

kalimat tersebut diubah ke bentuk interogatif dengan menambahkan partikel ka, maka maknanya menjadi “bolehkah....”, sehingga dapat dikatakan kata sumimasen yang menyertai pola kalimat ~ い ~te mo kamaimasenka atau ~ いい ~te mo ii desuka yang menyatakan meminta izin, maknanya menjadi “permisi”.

b) Sumimasen yang diikuti oleh kalimat pertanyaan

Kalimat pertanyaan yang bisa diikuti sumimasen biasanya kalimat pertanyaan yang menyatakan 1) meminta izin (~ い ~te mo kamaimasenka atau ~ いい ~te mo ii desuka), 2) menanyakan lokasi suatu tempat atau alamat (menggunakan kata tanya doko yang berarti dimana), 3) menanyakan seseorang (menggunakan kata tanya ひ dono hito yang berarti “orangnya yang mana?”), atau 4) bertanya “siapa” (menggunakan kata tanya donata desukayang berarti “siapa”).

(15) A:あ う 田中 人

1 2

Anou, sumimasen, Tanaka-san tte dono hito desuka? A:Punten, Pa Tanaka teh nu mana nya?

(Permisi, Tanaka itu yang mana yah?)

B:田中 ?ほ あ 窓 立 い 人

Tanaka-san? Hora, Ano mado no tokoro ni tatteiru hito desu yo. B:Pa Tanaka? Tah anu nuju tatih caket jandela


(43)

A: あ あ あ 眼 鏡 い 人 Aa, Ano megane o kaketeiru hito desu ne.

A:(Oh, anu nganggo kacamata nya) (Oh, yang memakai kacamata itu yah)

(Shin Nihongo no Chuukyuu, 2000 : 71) Pada contoh (15) kata sumimasen diikuti kalimat interogatif/pertanyaan. A menanyakan yang manakah orang yang bernama Tanaka pada B, “あ う

田中 人 (Permisi, Tanaka itu yang mana yah?)”. Susunannya, kata sumimasen diletakkan di awal, kemudian kalimat interogatifnya diletakkan di akhir.

c) Sumimasen yang diikuti oleh kalimat yang menyatakan meminta

bantuan kepada seseorang dengan pola ~ い い う /

~ い

(16) 李 : 小 川 Ogawa-san, chotto

sumimasen

Lee : Pa Ogawa, punten sakedap (Pak Ogawa, permisi sebentar)

小川 : 何?Nani?

Ogawa : Kulan? (Ya?)

李 : 新 い ソ コ ン 使 い 方 分 い

Atarashii pasokon no tsukaikata ga yoku wakaranain desu.

教 え い い う

Sumimasenga, oshiete itadakenai deshouka.

Lee : Abdi kirang ngartos kumaha carana ngganggo komputer ieu. Punten,manawi tiasa ngawartosan abi?

(Saya tidak mengerti cara menggunakan komputer baru ini. Permisi, bisa tolong ajari saya?)


(44)

Pada contoh (16) ungkapan sumimasen yang digunakan menyatakan meminta bantuan kepada seseorang. Dalam contoh (16) kata

diikuti oleh 教 え い い う Sumimasenga, oshiete

itadakenai deshouka yaitu kalimat yang berpola “(kata kerja bentuk TE) い

い う ~te itadakenai deshouka”. Pola kalimat い い

う ~te itadakenai deshouka” dapat diterjemahkan “bisakah anda (membantu) saya…. (kegiatan)?”, biasa digunakan apabila kita ingin meminta bantuan kepada seseorang. Disamping itu kata sumimasen yang bermakna “permisi” dapat pula diikuti oleh partikel ga sebagai penghalus.

3. Terima Kasih

Sutedi (2007:89) menjelaskan, dalam bahasa Jepang ekspresi untuk menyatakan kegiatan memberi atau menerima sesuatu benda dinyatakan dengan kata kerja AGERU, KURERU, dan MORAU. Ungkapan yang berhubungan dengan kegiatan tersebut dikenal dengan sebutan yari-morai (aksi memberi dan menerima). Kata kerja AGERU dan KURERU dalam bahasa Indonesia diterjemahkan “memberi”, sedangkan kata kerja MORAU diterjemahkan “menerima”.

Masih dalam Sutedi (2007:95) kalimat yang diucapkan oleh seseorang dengan menggunakan kata kerja bentuk TE ditambah KURERU atau MORAU, di dalamnya tersirat ekspresi ucapan terima kasih kepada pelaku perbuatan tersebut.

Sumimasen dapat pula bermakna “terima kasih” jika kalimat yang menyertainya berupa ungkapan yari-morai atau disebut juga juju hyougen


(45)

(ungkapan memberi dan menerima). Berikut ini adalah contoh penggunaan sumimasenyang bermakna “terima kasih”.

(17) 出迎え い い Odemukae o itadaite sumimasen. Hatur nuhun tos kersa mapagkeun, punten ngarepotkeun

(Terima kasih sudah menjemput (menyambut) saya)

(http://www.facebook.com/notes/minakotanitanaka/ )

(18) 贈 物 い い Okurimono o itadaite sumimasen Hatur nuhun kana hadiahna. Punten tos ngarepotkeun

(Terima kasih atas pemberiannya (hadiahnya))

(http://www.facebook.com/notes/minakotanitanaka/ )

Sumimasen pada contoh (17) dan (18) bermakna “terima kasih”, karena kata kerja yang menyertainya adalah kata い itadaku yang merupakan bentuk sopan dari kata う morau. Kata い itadaku diubah ke bentuk TE menjadi い い itadaite kemudian diikuti ungkapan sumimasen.

4.1.2. Makna Sumimasen Dilihat dari Konteks

Makna ungkapan sumimasen tidak hanya dapat dipahami melalui pola kalimat yang mengikutinya saja tapi juga dapat dilihat dari konteks kalimat dan situasinya (bamen). Dilihat dari konteksnya, makna sumimasen terdiri atas :

1. Maaf

Dilihat dari konteks kalimatnya, Sumimasen dapat berarti “maaf”. Ungkapan ini merupakan ungkapan maaf yang sopan dan biasa diucapkan saat melakukan kesalahan, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Sumimasen dalam konteks “maaf” tidak hanya dapat digunakan untuk meminta


(46)

maaf, tapi juga digunakan sebagai ungkapan penolakan halus agar lawan bicara tidak tersinggung. Berikut ini contoh penggunaan kata sumimasen yang berarti “maaf”.

(19) A : メ 修理 い い 日曜日

Kono kamera, shuri shite moraitaindesu ga, nichiyoubi made ni dekimasuka.

A :Bade ngalereskeun kamera ieu, upami dugi ka dinten Minggu tiasa teu? (Saya ingin memperbaiki kamera ini, sampai hari Minggu bisa tidak?)

B : あい 今 店 部品 い

Sumimasen. Ainiku ima, mise ni buhin ga nai node, sugu ni dekimasen.

B : Punten, ayeuna nuju kosong onderdilna, janten teu tiasa.

(Kami mohon maaf. Untuk sementara onderdil kameranya tidak tersedia di toko kami jadi tidak bisa diperbaiki secepatnya)

(Shin Nihongo no Chuukyuu, 2000 : 28)

(20) 先日 う

Senjitsu wa doumo sumimasen deshita. Hapunten kalepatan abdi nu kamari

(Saya mohon maaf (atas kesalahan saya) kemarin)

(http://www.facebook.com/notes/minakotanitanaka/ )

Ungkapan sumimasen pada contoh (19) dan (20) konteksnya “meminta maaf”. Contoh (19) merupakan contoh percakapan antara tamu dan pelayan toko. A (tamu) meminta tolong kepada B (pelayan toko) untuk memperbaiki arlojinya dan berharap selesai sampai hari Minggu, namun karena persediaan onderdilnya tidak ada sehingga perbaikan tidak dapat dilakukan segera. Dengan alasan tersebut B meminta maaf kepada A dengan mengatakan “ あい 今 店

部品 い Sumimasen. Ainiku ima, mise ni buhin ga nai node, sugu ni dekimasen.( Kami mohon maaf. Untuk sementara


(47)

onderdil kameranya tidak tersedia di toko kami jadi tidak bisa diperbaiki secepatnya)”. Sama dengan contoh (19), contoh (20) merupakan pernyataan maaf atas kesalahan yang dilakukan kemarin (kinou), atau bisa juga dilakukan di masa lampau, karena itu ungkapan sumimasen yang digunakan diucapkan dalam bentuk lampau menjadi sumimasen deshita. Contoh (20) bukan hanya pernyataan maaf namun dapat pula bermakna “terima kasih atas bantuan anda kemarin”.

(21) A : コンサー チ ッ い 一緒 行

Konsaato no chiketto wo moraimashita. Isshoni ikimasenka. A : Kamari abdi kenging tiket konser.bade lalajo sasarengan teu?

Saya dapat tiket konser. Mau nonton sama-sama tidak? B : い Itsu desuka.

B : iraha? (Kapan?)

A : 来 土曜日 Raishuu no doyoubi desu. A : Dinten Saptu minggon payun.

(Hari Sabtu minggu depan)

B : 来 土曜日 仕事 あ

1 2

Sumimasen. Raishuu no doyoubi wa shigoto ga arimasu kara. B : Punten, Saptu minggon payun mah abdi aya padamelan

(Maaf. Hari Sabtu minggu depan saya ada pekerjaan) A : う 残念 Soudesu ne. Zannen desu ne. A : Oh, kitu nya…

(Begitu ya. Sayang sekali)

(Minna no Nihongo I, 2002 : 77)

Ungkapan sumimasen pada contoh (21) bermakna “maaf” sebagai ungkapan penolakan. A mengajak B pergi menonton konser yang akan diadakan hari Sabtu minggu depan, namun karena B ada pekerjaan pada hari itu, maka B menolak secara halus dengan mengatakan “ 来 土曜日 仕事


(48)

(Maaf. Hari Sabtu minggu depan saya ada pekerjaan)”. B menggunakan sumimasen tidak hanya untuk menolak ajakan A tapi sekaligus meminta maaf karena tidak dapat ikut menonton konser.

Jadi sumimasen bermakna “maaf” dalam apabila digunakan sebagai ungkapan maaf (owabi hyougen) seperti pada contoh (20) dan ungkapan penolakan halus seperti pada (21).

2. Permisi

Sumimasen bisa berarti “permisi”, yaitu ungkapan yang diucapkan saat bertanya kepada seseorang, meminta tolong, meminta izin, atau sebagai penghalus bahasa. Biasanya dibelakang kata sumimasen atau diakhir kalimat yang menggunakan ungkapan sumimasen diikuti partikel „ga‟ yang berfungsi sebagai penghalus agar menimbulkan kesan sopan. Berikut ini adalah contoh penggunaan sumimasendalam konteks “permisi”.

(22) 注文 い Sumimasen. Chuumon shitaino desuga.

Punten, abdi bade mesen (Permisi, saya mau pesan)

(http://www.facebook.com/notes/minakotanitanaka/ ) (23) イ Sumimasen. Toire wa doko

desuka.

Punten, dupi jamban teh palih mana nya? (Permisi, Toilet dimana ya?)


(49)

Sumimasen pada contoh (22) merupakan contoh penggunaan sumimasen sebagai ungkapan yang diucapkan saat meminta tolong kepada seseorang dan sumimasen pada contoh (23) merupakan ungkapan yang diucapkan saat bertanya pada seseorang. Kalimat “ 注文 い

Sumimasen. Chuumon shitaino desuga. (Permisi, saya mau pesan)” dalam contoh (22) merupakan kalimat yang biasa diucapkan tamu saat ingin memesan sesuatu di restoran. Dalam contoh (23) sebelum menanyakan dimana lokasi toilet pada seseorang terutama orang yang tidak kita kenal atau belum terlalu akrab, digunakan ungkapan sumimasen agar menimbulkan kesan sopan dan agar lawan bicara merasa dihargai, karena pada saat kita bertanya, bisa saja lawan bicara sedang sibuk.

(24) 馬 : 伊藤 今 い う Itou-san, ima yoroshii deshouka.

Ma : Pa Itou, punten tiasa ngaganggu sakedap? (Pak Itou, ada waktu bicara sebentar?)

伊藤 : あ 馬 う A, Ma-san, doushita no

Itou : Oh, Ibu Ma, aya naon Bu? (A, Ibu Ma, ada apa?)

馬 : 今朝 頭 痛 ... 早退

い い う

Kesa kara zutto atama ga itakute... Sumimasen ga, soutai sasete itadakenai deshouka.

Ma : Ti tadi enjing mastaka abdi nyeri, punten Pa, manawi kersa ngawidian abdi wangsul tipayun?

(Sejak pagi tadi kepala saya sakit… Maaf, boleh saya minta izin pulang lebih awal?)

伊藤 : う 風邪 ? 寒 Sou,

kaze kana? Kono goro samuku nattekita kara ne.

Itou : Oh, asup angin nya? kiwari mah cuacana emang tiris nya (Oh, masuk angin yah. Akhir-akhir ini memang dingin ya)

馬 :ええ 寒気 Ee. Chotto samuke mo

surun desu.


(50)

Ya, saya merasa sedikit kedinginan.

伊藤 : い 今日 無理 い 休

Sore wa ikan na. Ja, kyou wa muri shinaide, yukkuri yasuminasai.

Itou : Wah, eta mah teu kenging diantep. Upami kitu dinten ieu mangga Ibu istirahat di bumi we, ulah maksakeun.

(Wah, itu tidak bisa dibiarkan. Baiklah, hari ini jangan memaksakan diri, beristirahatlah)

馬 : う 失礼 Doumo

sumimasen. Sore dewa shitsurei shimasu. Ma : Hatur nuhun Pa, punten.

(Saya mohon maaf (Terima kasih banyak). Permisi)

(Shin Nihongo no Chuukyuu, 2000 : 56) Contoh (24) merupakan dialog antara atasan (Itou) dengan bawahannya (Ma). Ma merasa kurang enak badan sehingga meminta izin kepada Itou agar dapat pulang lebih awal. Saat meminta izin, Ma mengucapkan “今朝

頭 痛 ... 早退 い い う

Kesa kara zutto atama ga itakute... Sumimasen ga, soutai sasete itadakenai deshouka (Sejak pagi tadi kepala saya sakit… Maaf, boleh saya minta izin pulang lebih awal?)”. Ma menggunakan ungkapan (kata kerja bentuk menyuruh/shieki kei) sasete itadakenai deshouka yang merupakan ungkapan untuk meminta izin. Penambahan partikel ‟ga‟ pada ungkapan sumimasen bertujuan agar lebih sopan, karena situasinya Ma sebagai bawahan meminta izin pada Itou sebagai atasannya.

3. Terima Kasih

Sumimasenjuga memiliki makna “terima kasih”, biasa diucapkan saat kita menerima bantuan orang lain. Sumimasen dalam konteks “terima kasih” memiliki unsur rasa “meminta maaf” (ayamaru kimochi) didalamnya, karena itu dapat


(51)

diterjemahkan “maaf merepotkan”. Sumimasen sebagai ungkapan terima kasih lebih sering diucapkan oleh orang lanjut usia, sedangkan orang yang lebih muda cenderung menggunakan kata arigatou dibandingkan sumimasen. Berikut ini adalah contoh penggunaan sumimasen sebagai ungkapan terima kasih.

(25) A : あ う?Kore, anata no deshou? A: Manawi ieu kagungan Bapa/Ibu?

(Ini kepunyaan anda?)

B: い う Hai, soudesu. Sumimasen

B: Oh, muhun. Hatur nuhun. Punten ngarepotkeun

(Ya, benar. Terima kasih (sudah repot-repot mengembalikannya))

(http://www.facebook.com/notes/minakotanitanaka/ )

Pada contoh (25) situasinya B tidak sengaja menjatuhkan atau meninggalkan barangnya, lalu A bertanya pada B sekaligus memastikan apakah itu barang milik B atau bukan. Lalu B menjawab “ い う

Hai, soudesu. Sumimasen (Ya benar. Terima kasih). B menggunakan ungkapan sumimasen karena tidak hanya merasa berterima kasih karena telah diingatkan oleh B tetapi juga meminta maaf karena telah merepotkan A. Bisa saja kata sumimasen dalam contoh (25) diganti dengan kata arigatou, namun rasa yang ditimbulkan hanya rasa terima kasih saja.

Sebelumnya telah dijelaskan apabila kalimat yang menyertai kata sumimasen berupa kalimat dengan pola yari-morai maka maknanya menjadi “terima kasih”. Pada contoh (25) tidak terdapat ungkapan yari-morai tetapi kata sumimasen yang digunakan bermakna “terima kasih”. Itu karena perbuatan B yang mengingatkan A ada barang yang tertinggal atau jatuh dalam contoh (22)


(52)

bukan merupakan kewajiban si B sehingga ketika si B mengingatkannya, A merasa telah merepotkan. Oleh karena itu yang digunakan adalah kata sumimasen.

(26) A: 荷物 運 あ う Nimotsu wo hakonde agemashou. A: Mangga ku abdi pangnyandakkeun

(Mari saya bawakan barang bawaannya) B: う Doumo sumimasen. B: Hatur nuhun. Punten nya tos ngarepotkeun.

(Terima kasih banyak (Maaf merepotkan))

(http://www.facebook.com/notes/minakotanitanaka/ )

Contoh (26) situasinya sama dengan contoh (25), A menawarkan bantuan kepada B untuk membawakan barang bawaannya. Karena telah dibantu, B

mengucapkan う Doumo sumimasen.

Sebenarnya kata sumimasen pada contoh (25) dan (26) dapat diganti dengan arigatou, namun akan menimbulkan kesan orang yang menolong memang berkewajiban melakukan hal tesebut. Jadi, selain makna “terima kasih”, tersirat juga makna “meminta maaf” karena telah merepotkan.

4.2. Makna Ungkapan Punten

Punten mempunyai makna yang beragam tergantung dari konteksnya. Kata punten sering digunakan dalam berbagai situasi, pada umumnya diucapkan ketika akan memasuki rumah seseorang, meminta izin, memohon maaf, ketika lewat di depan seseorang, atau saat meminta tolong pada seseorang. Berikut ini adalah hasil analisis makna ungkapan punten dilihat dari susunan kalimat dan konteksnya.


(53)

4.2.1. Makna Punten Dilihat dari Pola Kalimat yang Menyertainya

Makna punten berbeda-beda tergantung pola kalimat yang menyertainya. Makna kata punten dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Permisi

Kata punten bermakna “permisi” jika kalimat yang menyertainya berupa kalimat yang menyatakan meminta tolong (menyuruh secara halus), atau meminta izin, bertanya seperti pada contoh berikut.

a. Punten diikuti oleh kalimat yang menyatakan minta tolong

Ruhimat (1994:40) menjelaskan, dalam bahasa Sunda terdapat kalimat perintah atau dalam bahasa Sunda kalimah parentah yaitu kalimat yang fungsinya menyuruh seseorang untuk mengikuti perintah kita. Kalimat perintah sering diakhiri dengan tanda seru (!). Jika dilihat dari konteksnya, kalimat perintah dalam bahasa Sunda mempunyai lima bagian yaitu

1) nitah (menyuruh), misalnya cing pangmupusken heula borna! (coba tolong hapus dulu papan tulisnya!)

2) ngajak (mengajak), misalnya mangga linggih Bu! (silakan duduk Bu!) 3) nyaram (memarahi/melarang), misalnya ulah tataekan bisi ragrag! (jangan

naik-naik nanti jatuh!)

4) ngajurung (memberi izin/menyuruh kasar) misalnya, jung bae rek balik ti heula mah! (silakan kalau mau pulang lebih dulu!)

5) ngarep-ngarep (berharap) misalnya, pek didungakeun sing lulus! (saya doakan semoga lulus!)


(54)

Perhatikan contoh berikut!

(27) “Mang, punten pangnaékkeun beas kana beca!

1 2

米袋 べチャッ 乗

Pak, tolong naikkan berasnya ke becak!

(Pangjejer Basa, 1994 : 40) Kalimat (27) termasuk kalimat perintah yang konteksnya “menyuruh” (kalimah parentah nu eusina nitah). Dalam kalimat (27) terdapat kata pangnaékkeun (naikkan) yang terbentuk dari kata taék (naik) yang diberi imbuhan -keun yang fungsinya untuk membentuk kata kerja yang maknanya menyuruh orang lain melakukan sesuatu untuk kita. Namun, kata taék pada contoh (24) tidak hanya diberi imbuhan –keun tapi disertai juga dengan imbuhan pang-. Imbuhan pang- berfungsi untuk membentuk kata kerja yang bermakna menyuruh namun secara halus, dan didalamnya tersirat makna “tolong”. Maka pangnaékkeun pada contoh (27) diterjemahkan “tolong naikkan”. Kalimat (27) jika tidak diawali dengan kata punten pun maknanya tetap menyuruh secara halus, namun agar lebih halus diawali dengan kata punten. Susunan kalimat pada contoh (27) dapat diubah urutannya menjadi “Mang, pangnaékkeun beas kana beca, punten” (Pak, naikkan berasnya ke becak! tolong) tanpa mengubah makna kalimatnya.


(55)

b. Punten yang diikuti oleh kalimat yang menyatakan meminta izin atau maksud/keinginan

Kalimat yang menyatakan meminta izin biasanya berpola “punten

bade… (permisi, saya mau (kegiatan…)” dan kalimat yang keinginan/maksud biasanya diawali oleh kata hoyong (ingin) lalu diikuti kata kerja misalnya, hoyong eueut (ingin minum)

(28) Punten sakedap, sim kuring bade ngadugikeun bewara.

1 2

知 知 い ...

Permisi sebentar, saya mau menyampaikan pengumuman.

(Cahara Basa XI-A, 2006 : 86) Dalam contoh (28), setelah kata punten sakedap (1), terdapat kalimat sim kuring bade ngadugikeun bewara (2) yang menyatakan maksud atau keinginan. Dalam kalimat tersebut terdapat kata ngadugikeun (menyampaikan) yang terbentuk dari kata dugi (sampai) yang diberi imbuhan nga- dan -keun. Kata ngadugikeun pada contoh (28) menyatakan maksud sim kuring (saya) yang ingin menyatakan suatu pengumuman. Kata ngadugikeun sendiri tidak dapat diubah menjadi dugikeun atau ngadugi karena maknanya akan berubah. Begitu pula susunan kalimat (28) tidak dapat diubah menjadi Sim kuring bade ngadugikeun bewara, punten sakedap karena selain maknanya berubah, kalimatnya menjadi rancu. Kata punten pada contoh (28) tidak hanya bermakna “permisi” namun berfungsi juga sebagai penarik perhatian.


(1)

4 banyak persamaan antara bahasa Jepang dengan bahasa Sunda terutama dalam hal ungkapan sehari-hari sehingga akan memudahkan untuk memahami bahasa Jepang khususnya ungkapan sumimasen.

d. Bagi penelitian selanjutnya

Penelitian analisis kontrastif masih terbilang sangat baru di Universitas Komputer Indonesia khususnya jurusan Sastra Jepang sehingga penulis berharap ada penelitian lain yang berhubungan dengan analisis kontrastif.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Austin, John L. 1962. How to Do Things with Word (edisi kedua). Oxford: Oxfod University Press.

Brown, Penelope., dan Stephen C. Levinson. 1978. Politeness: Some Universal in Language Usage. Cambridge: Cambridge University Press.

Edizal. (2001). Tutur Kata Manusia Jepang. Padang: Penerbit Kayu Pasak

Eelen, Gino. 2001. A Critique of Politeness Theories. Manchester, UK: St. Jerome Publishing

Gindarsyah, Yogi. (2010). Analisis Kontrastif Penggunaan Ragam Hormat Bahasa Jepang dengan Bahasa Sunda. Skripsi Sarjana pada Fakultas Sastra Universitas Komputer Indonesia. Bandung: tidak diterbitkan.

Gunarwan, Asim. 2004. Dari Pragmatik ke Pengajaran Bahasa (Makalah Seminar Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah). IKIP Singaraja. Hoshino, Keiko dan Endo, Ranko. (2004). Nihongo Shuuchuu Toreeningu.

Tokyo : Aruku

Jaszczolt, K.M. 2002. Semantics and Pragmatics: Meaning in Language and Discourse. Edinburgh: Pearson Education.

Maknyun, Subuki (2006). Mengapa Pragmatik Perlu Dipelajari dalam Program

Studi Linguistik? [Online]. Tersedia:

http://tulisanmakyun.blogspot.com/2007/07/linguistik-pragmatik.html. [16 Maret 2011]

Minako, Tanaka. (2011) [Online] Tersedia:

http://www.facebook.com/notes/minakotanitanaka/す せん [4 Maret 2011]

Nenji, Kameyama et.al. 2000. Minna no Nihongo I. Tokyo : Surie Netto waku. Pateda, Mansoer. 1994. Linguistik : Sebuah Pengantar. Bandung : Angkasa. Rachman Saleh, Dicky. (2006). Analisis Kemampuan Mahasiswa Dalam

Penggunaan Ungkapan “Sumimasen” dan “Chotto” Dari Segi Fungsi dan Makna. Skripsi Sarjana pada Fakultas Sastra Universitas Komputer Indonesia. Bandung: tidak diterbitkan.


(3)

Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Renkema, Jan. 2004. Introduction to Discourse Studies. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company.

Rosmana, Iyos. (2009). Undak Usuk Bahasa Sunda [Online]. Tersedia: http://iyosrosmana.wordpress.com/2009/05/20/undak-usuk-bahasa-sunda. [19 Januari 2011]

Ruhimat, Asep. 1994. Pangjejer Basa. Bandung : Epsilon Grup.

Sudjianto dan Dahidi, Ahmad. 2004. Pengantar Linguistik Bahasa Jepang. Jakarta: Kesaint Blanc.

Suryalaga, Hidayat. 1986. Gapura Basa. Bandung : Geger Sunten.

Sutedi, Dedi. 2003. Dasar-dasar Linguistik Bahasa Jepang. Bandung: Humaniora.

Sutedi, Dedi. 2009. Penelitian Pendidikan Bahasa Jepang. Bandung: Humaniora.

Sutedi, Dedi. 2007. Nihongo no Bunpou, Tata bahasa Jepang Tingkat Dasar. Bandung : Humaniora.

Tamsyah, et.al. 2006. Cahara Basa XI-A. Bandung: Geger Sunten.

Tarigan, Henry Guntur. 2009. Pengajaran Analisis Kontrastif Bahasa. Bandung : Angkasa.

Thomas. Jenny. 1995. Meaning in Interaction: an Introduction to Pragmatics. London/New York: Longman.


(4)

Daftar Kamus Acuan

Nelson, Andrew N. 2001. Kamus Kanji Modern Jepang-Indonesia. Jakarta : Kesaint Blanc.

Kenji, Matsuura. 2005. Kamus Jepang-Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Tamsyah, Budi Rahayu. 1994. Kamus Basa Sunda (Sunda-Sunda-Indonesia): pangdeudeul pangajaran basa Sunda di sakola-sakola. Bandung: Geger Sunten.

Sumantri, Maman. 1994. Kamus Bahasa Sunda-Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.


(5)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Heru Erlangga

Tempat dan Tanggal Lahir : Bandung, 7 Mei 1989 Nomor Induk Mahasiswa : 63807004

Program Studi : Sastra Jepang Jenis Kelamin : Laki-laki Kewarganegaraan : Indonesia

Agama : Islam

Alamat : Jalan Sukagalih Gg. Sukabakti I RT 10 RW 06 Bandung 40162

Berat Badan : 70 Kg

Tinggi Badan : 178 Cm

Status Marital : Belum menikah Orang Tua

Nama Ayah : Sarno Supriyanto Pekerjaan : Karyawan Swasta

Alamat : Jalan Sukagalih Gg. Sukabakti I RT 10 RW 06 Bandung 40162

Nama Ibu : Tusirah

Pekerjaan : Pembantu Rumah Tangga

Alamat : Jalan Sukagalih Gg. Sukabakti I RT 10 RW 06 Bandung 40162

Pendidikan Formal

SD Negeri Sukagalih VI Bandung 1995-2001

SMP Negeri 9 Bandung 2001-2004

SMA Negeri 15 Bandung 2004-2007


(6)