Perubahan Makna Pertunjukan Jaran Kepang pada Masyarakat Jawa di Kelurahan Tanjung Sari, Medan

9

Artikel
Perubahan Makna Pertunjukan Jaran Kepang pada
Masyarakat Jawa di Kelurahan Tanjung Sari, Medan
Heristina Dewi
Staf Pengajar Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra USU
Based on a preliminary survey, the researcher noticed that the traditional performance
jaran kepang was a very famous show among Jawa community in Tanjung Sari, Medan. At
present, it was presumed that the meaning of the performance has been changed. This study
was aimed at disclosing the change of meaning of the jaran kepang performance among
Jawa community in Tanjung Sari Medan.
A qualitative approach as suggested by Spradley was utilized to accomplish the the
objective of the study. The key informants began with the actors and were expanded to
audiences and persons who organized the performance by using the snowball technique.
The data were collected through observation, interviews and the field notes. To improve the
data validity such as credibility, transferability, dependability and confirmability, the
researcher used triangulation method.
The findings of the study indicate that the religious elements in jaran kepang performance,
the actors, and the performance equipments have been changed in their meaning. In the
meantime, the purpose of the performance becomes the traditional art performance and

shows the Jawa community identity. Several factors influence the change, among others,
the improvement of community education, specially in religion, and the culture of the
sorrounding community. The improvement of their knowledge in Islamic religion was also
contributed to the change of jaran kepang performance. There is also a tendency that
people use the modern music instead of inviting the jaran kepang. Therefore, the youth
generation does not laki anymore with the performance using the aliens.

Pendahuluan
Setiap suku bangsa memiliki
kebudayaan dan tradisi masing-masing,
yang merupakan ciri khas masyarakatnya.
Kebudayaan dalam suatu masyarakat
memiliki makna tersendiri bagi anggotanya
serta diwariskan secara turun temurun di
lingkungan keluarga ataupun dalam
komunitasnya. Salah satu
bagian dari
kebudayaan yang telah diwariskan secara
turun temurun di lingkungan masyarakat
Jawa adalah pertunjukan jaran kepang.

Jaran kepang1 adalah suatu bentuk
seni pertunjukan tradisional Jawa yang di
dalam pertunjukannya ada unsur seni dan
religi. Ciri khasnya menggunakan kuda
yang terbuat dari anyaman bambu sebagai
perlengkapan pertunjukan dan ada peristiwa
kesurupan.2 Pertunjukan jaran kepang

1
Nama lain dari jaran kepang adalah
kuda kepang, kuda lumping, jathilan dan ebeg
2
Menurut bahasa Jawa “jaran” berarti
kuda, “kepang” berarti anyaman. Dinamakan jaran

HISTORISME

didukung oleh para anggota, terdiri dari
pawang (sebagai pimpinan pertunjukan dan
pengendali pertunjukan), pemain musik,

penari, dan penonton. Peralatan yang
digunakan berupa seperangkat alat musik,
terdiri dari: kendhang, saron, demung, gong
dan ketuk kenong. Perlengkapan penari, terdiri
dari seperangkat pakaian, kuda kepang,
cambuk, dan topeng. Sebagai perlengkapan
pawang, terdiri dari sesaji berupa bunga,
minuman, minyak wangi, dan kemenyan.
Topeng digunakan penari dalam
pertunjukan
jaran
kepang
untuk
melakonkan karakter tertentu, seperti lucu
dan seram. Rasers (1982: 56) menjelaskan
pertunjukan seperti lakon-lakon adalah
peninggalan seremoni lengkap yang sudah
punah. Pertunjukan tersebut, dewasa ini
dipakai dalam upacara sunat, perkawinan,
dan simbolis berkaitan dengan dualisme di

dalam alam semesta yang masih muncul
atau masih bisa dilihat di dalamnya.
kepang karena di dalam pertunjukan menggunakan
anyaman berbentuk kuda.

HERISTINA DEWI
Edisi No. 23/Tahun XI/Januari 2007
Universitas Sumatera Utara

10

Artikel
Soedarsono (1983: 143) menjelaskan
pertunjukan jaran kepang pada sebelum Islam
berkembang abad XV dilaksanakan dalam
upacara pemujaan (ritual worship). Kuda secara
metaforik dalam pertunjukan jaran kepang
berfungsi untuk melanjutkan hubungan antara
masyarakat pendukung dengan roh orang
yang sudah meninggal. Perkembangan

selanjutnya, jaran kepang ditampilkan dalam
upacara bersih desa, yang berfungsi untuk
menghalau roh-roh jahat penyebab penyakit
dan malapetaka lainnya. Dewasa ini
pertunjukan jaran kepang masih ada unsur
religinya yang ditandai masih adanya
peristiwa kesurupan (kemasukan roh halus)
pada para pemain pertunjukan.
Jaran kepang yang pada awalnya
hidup pada masyarakat Jawa di Pulau Jawa,
telah menyebar ke berbagai wilayah
Nusantara. Hal tersebut berlangsung
bersamaan dengan kepindahan orang Jawa
dari suatu daerah ke daerah lain. Salah satu
daerah penyebaran budaya Jawa yaitu di
daerah-daerah pemukiman sektor perkebunan
dan pertanian, seperti di pinggiran Kota
Medan dan sekitarnya.
Kedatangan masyarakat Jawa sebagai
pekerja perkebunan secara besar-besaran ke

Propinsi Sumatera Utara- Medan
sudah
berlangsung sejak masa kolonial Belanda.
Bekas daerah perkebunan Belanda tersebut
hingga kini didiami oleh masyarakat Jawa
(Mohammad Said, 1990: 20). Etnis Jawa di
Medan dewasa ini berjumlah 628.898 jiwa atau
33% dari total jumlah penduduk kota Medan
1.904.272 (BPS Kota Medan 2003). Di daerah
perkebunan tersebut, buruh-buruh berlatar
belakang budaya Jawa tetap mempertahankan
tradisi daerah asal, di antaranya melakukan
pertunjukan kesenian: Ludruk, wayang, dan
Jaran Kepang (Edi Sedyawati, 1984: 64).
Salah satu wilayah pemukiman
masyarakat
Jawa
tersebut
adalah
Kelurahan Tanjung Sari Medan. Di daerah

ini juga terdapat suku bangsa lain, seperti
Melayu,
Karo,
Batak,
Mandailing,
Minangkabau, Pakpak, Simalungun, dan
Aceh. Walaupun mereka sudah berbaur
dengan berbagai suku bangsa lain, tetapi
tradisi Jawa masih dipertahankan. Hal ini
terlihat dari seni budaya dan bahasa yang
mereka gunakan sehari-hari.

HISTORISME

Hildred Geertz (1982) menjelaskan
orang Jawa di dalam kehidupan sehari-hari
sangat kuat memegang tradisi leluhurnya,
baik dari tutur kata, kekerabatan, hubungan
sosial maupun seni budayanya. Keluarga
inti merupakan orang-orang yang terpenting

di dalam meneruskan suatu tradisi. Mereka
itulah yang memberi bimbingan moral dan
mengajari nilai-nilai budaya Jawa kepada
kerabat-kerabat terdekat. Di dalam siklus
kehidupan mereka tidak lepas dari masalah
kekuatan-kekuatan gaib (makhluk-makhluk
halus) dan sesaji (sajen), sehingga selalu
ada upacara-upacara untuk terhindar dari
makhluk-makhluk halus.
Salah satu pertunjukan yang
digunakan dalam upacara dalam siklus
kehidupan, seperti perkawinan dan sunatan
pada masyarakat Jawa di Kelurahan Tanjung
Sari adalah pertunjukan jaran kepang yang
sampai saat ini masih hidup dan bertahan.
Masyarakat Jawa di daerah ini berpandangan,
pertunjukan jaran kepang dilaksanakan
supaya terhindar dari gangguan makhlukmakhluk halus dan hiburan. Mulder (1999: 3)
menjelaskan, bahwa di dalam kehidupannya
orang Jawa mencampurkan antara kehidupan

beragama dengan kepercayaan lama nenek
moyangnya.
Pertunjukan jaran kepang dikenal
masyarakat Medan secara luas, karena
adanya kelompok jaran kepang yang
mengadakan pertunjukan keliling. Dewasa
ini, pertunjukan jaran kepang keliling
jarang ditemukan, karena semakin sedikit
lapangan terbuka yang dapat dimanfaatkan
untuk pertunjukan tersebut secara bebas. Di
sisi lain, pertunjukan tersebut tidak dapat
dilakukan secara bebas setelah keluar
peraturan pemerintah.3 Undang-undang
menggariskan membuat keramaian harus
ada izin dari pemerintah terkait, seperti
polisi dan kelurahan. Setelah pemberlakuan
Undang Undang tersebut, pemain jarang
kepang mengalami kesulitan mengurus izin
pertunjukan, dikarenakan keterbatasan
pengetahuan dan dana dalam pengurusan

izin.
3
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia.

HERISTINA DEWI
Edisi No. 23/Tahun XI/Januari 2007
Universitas Sumatera Utara

11

Artikel
Berdasarkan
pengamatan
di
Kelurahan Tanjung Sari terdapat dua
kelompok jaran kepang yang bernama
Tunggal Wargo dan Darma Kusuma.
Kelompok tersebut jarang main di Kelurahan

Tanjung Sari, apakah mulai berubah makna
dan pandangan masyarakat terhadap
pertunjukan? Kelihatannya lebih mengarah
sebagai pertunjukan seni biasa atau sebagai
hiburan. Anggotanya pun sudah ada yang
tidak mau kesurupan dan pertunjukan jaran
kepang tampil berdasarkan pesanan, seperti:
acara perkawinan, sunatan dan Hari
Kemerdekaan (tanggal 17 Agustus), sudah
jarang tampil secara sukarela (ngamen).
Selain hal tersebut, peralatan yang
dipergunakan sudah mulai usang.
Sardono (2004: 3) menjelaskan
kesenian yang bermuara dari produk budaya
lokal sedang menghadapi tantangan zaman,
antara lain karena semangat modernisasi
merebak di segala belahan dunia. Ruang
religiusitas yang terkandung di dalam
kesenian semakin tidak berkembang.
Kesenian hanya menjadi objek yang dikemas
tanpa bermuara pada proses budaya
masyarakat dan memperlemah budaya itu
sendiri, akhirnya tersingkirkan.
Berpedoman dari pernyataan di atas,
tentu amat penting diteliti makna dan
perubahan jaran kepang agar seni pertunjukan
tersebut dapat terus berkembang sesuai
dengan kebutuhan pendukungnya tanpa
mengorbankan unsur-unsur dasar jaran
kepang. Bertitik tolak dari fenomena tersebut
menarik unsur religi dan seni yang terdapat
dalam pertunjukan jaran kepang ditelusuri
lebih lanjut melalui penelitian ini, bagaimana
masyarakat Jawa di Kelurahan Tanjung Sari
Medan memaknai dan memajukan serta
mempertahankan pertunjukan jaran kepang.
Pengungkapan
permasalahan
tersebut
bermanfaat dalam pemahaman kebudayaan
etnis Jawa pada lingkungan yang berbeda
dalam upaya memahami keberagaman budaya
Indonesia secara keseluruhan.

Metode Penelitan
Jaran kepang merupakan salah
satu kesenian yang terdapat di tengahtengah masyarakat Jawa di Medan, sehingga
penelitian ini lebih tepat menggunakan
HISTORISME

metode
kualitatif.
Spradley
(1997)
mengemukakan bahwa penelitian kualitatif
lebih tepat digunakan pada penelitian
budaya/perilaku dalam situasi sosial yakni
berusaha mengungkapkan makna perilaku
dan tindakan orang-orang dalam berbagai
situasi sosial di masyarakat.
Pendekatan kualitatif bertitik tolak
dari
pandangan
fenomenologis
yang
menekankan pentingnya yaitu pemahaman
makna tingkah laku manusia sebagaimana
yang dimaksudkan oleh pelakunya sendiri, dan
bagi peneliti sendiri sifatnya interpretative
(Weber, dalam Bogdan dan Taylor, 1975).
Artinya pandangan fenomenologis tidak
mengakui bahwa peneliti tahu apa makna
sesungguhnya tindakan yang dilakukan oleh
orang-orang yang sedang diteliti. Dengan kata
lain, pendekatan kualitatif ingin mengetahui
makna suatu fenomena menurut si pelakunya
sendiri.

Hasil dan Pembahasan
Pertunjukan jaran kepang bermula
dari pertunjukan yang mengandung makna
religi, dipercaya dengan mengadakan
pertunjukan jaran kepang dapat terhindari
dari gangguan makhluk-makhluk halus.
Pertunjukan jaran kepang merupakan media
yang bisa menghubungkan masyarakat
dengan makhluk halus atau roh nenek
moyang. Hal ini adalah inti utama dari
makna
pertunjukan
jaran
kepang,
ditemukan pada acara perkawinan, sunatan,
panen dan Hari Kemerdekaan 17 Agustus.
Namun kini pertunjukan jaran kepang
sudah menjadi seni pertunjukan tradisional
yang lebih mengutamakan seni hiburan.
Walaupun di dalam pertunjukan masih ada
peristiwa kesurupan dan ada unsur religi
tetapi tidak dimaknai agar terjauhi dari
gangguan makhluk-makhluk halus, hanya
merupakan seni pertunjukan yang melakukan
atraksi-atraksi yang jarang dimiliki oleh
kebanyakan orang. Walaupun masih ada
orang yang mempercayainya tetapi bagi
orang Jawa yang tinggal di Kelurahan
Tanjung Sari sudah berbeda memaknainya.
Makna pertunjukan jaran kepang lebih
merupakan sebagai identitas orang Jawa yang
masih menjaga kelestarian keseniannya dan
sebagai hiburan masyarakat. Hal ini
HERISTINA DEWI
Edisi No. 23/Tahun XI/Januari 2007
Universitas Sumatera Utara

12

Artikel
ditemukan pada acara perkawinan, sunatan,
perayaan Hari Kemerdekaan tanggal 17
Agustus dan pelantikan.
Hal di atas sejalan dengan Usman
Pelly (1994: 162) menjelaskan, kebudayaan
itu dinamis, bagaimanapun juga kebudayaan
itu akan berubah, hanya kecepatan
perubahannya yang berbeda. Lebih lanjut
Edi Sedyawati (1987) mengungkapkan
perubahan-perubahan
terjadi
karena
manusia-manusia pendukung kebudayaan
daerah itu sendiri telah berubah, karena
perubahan cara hidup, dan pergantian
generasi.
Perubahan dalam hal memaknai
unsur religi yang menghadirkan makhlukmakhluk halus dalam pertunjukan dipengaruhi
oleh perkembangan ilmu pengetahuan yang
dimiliki pendukungnya. Hal ini terjadi pada
generasi penerusnya dan orang-orang tuanya,
sehingga para pembina kelompok jaran
kepang mengizinkan anak yang tidak mau
berhubungan dengan makhluk halus untuk
menjadi anggota. Selain hal tersebut,
pertunjukan tanpa menghadirkan makhluk
halus pun dapat mereka tampilkan. Umar
Kayam (1981: 5) kesenian adalah salah satu
unsur yang menyangga kebudayaan, dengan
demikian kesenian harus dimengerti pada
situasi masyarakat yang akan menikmatinya.
Perkembangan ilmu pengetahuan
tersebut membuat para orang tua ingin
anaknya dapat sekolah lebih maju. Ada
kekhawatiran dengan berhubungan dengan
makhluk halus dapat mengganggu pikiran
anaknya. Hal ini sudah sangat berbeda
dengan orang-orang tua terdahulu yang
mendukung jaran kepang, di mana mereka
berpandangan dengan menjadi anggota
jaran kepang mereka dapat lebih
terlindungi dari marabahaya.
Budiono (1984: 127) menjelaskan,
bahwa perkembangan ilmu pengetahuan
teknologi modern berpengaruh terhadap
pandangan hidup orang Jawa dalam
melanjutkan tradisi nenek moyangnya.
Penghayatan akan makna simbolis tradisional
dan religius sudah berubah, sekarang lebih
rasional dan daya simboliknya sudah berubah
makna.
Masyarakat Jawa di Kelurahan
Tanjung Sari mulai berubah pandangan

HISTORISME

terhadap makhluk-makhluk halus. Dahulu,
mereka masih percaya pada anak yang
disunat dengan menghadirkan jaran kepang
dapat terhindar dari gangguan makhluk
halus, tetapi saat ini mereka memohon
perlindungan kepada Allah saja dan
mengobati anak tersebut ke dokter. Hal ini
menunjukkan pengaruh pengetahuan agama
yang mereka dapat di dalam lingkungan
masyarakat Medan telah menggeser
kedudukan kesenian tersebut. Kesenian
jaran kepang, apabila diundang tidak lebih
hanya sebagai hiburan dan identitas budaya
saja.
Teknologi dan informasi yang
dapat diterima dengan cepat melalui
berbagai media cetak dan elektronik,
hampir dapat menyeragamkan selera pasar
khususnya dalam hal seni hiburan seperti
musik. Secara tidak langsung berdampak
pada suguhan hiburan pada acara selamatan
di Kelurahan Tanjung Sari, lebih cenderung
mengundang organ tunggal atau band. Hal
ini tentu menggeser hiburan seni tradisional
seperti jaran kepang.
Kemajuan
keadaan
tingkat
ekonomi anggota pendukung jaran kepang
memberi pengaruh kepada minat menjadi
anggota pemain jaran kepang. Biasanya
mereka tidak ingin lagi manjadi pemain.
Perubahan keadaan tingkat ekonomi
seseorang dapat merubah kehidupan sosialnya.
Wilbert Moore (dalam Lauer, 1979: 4)
kebudayaan selalu berkaitan dengan perubahan
sosial masyarakat.
Pertunjukan jaran kepang dibina
dan dikembangkan oleh masyarakat
terutama oleh para pekerja seni melalui
pembinaan dan pengembangan. Anggota
pemain baru direkrut meskipun ada di
antaranya yang tidak mau turut kesurupan.
Hal ini sesuai dengan penjelasan Umar
Kayam (1981: 48), sudah waktunya
kreativitas kesenian dipahami dalam
konteks perkembangan masyarakat, agar
strategi pengembangan kesenian mengacu
kepada perkembangan masyarakat.
Pertunjukan jaran kepang di
Kelurahan Tanjung Sari dikelola secara
mandiri oleh kelompok tersebut, baik
menyediakan peralatan yang dibutuhkan
dan dalam hal melatih para anggotanya,

HERISTINA DEWI
Edisi No. 23/Tahun XI/Januari 2007
Universitas Sumatera Utara

13

Artikel
serta dalam hal mencari dana untuk dapat
menjalankan
kesenian
tersebut. Sri
Hastanto (2002: 7) mengungkapkan bahwa
kesenian daerah itu telah menjadi milik
masyarakat dan kehidupannya diserahkan
sepenuhnya kepada masyarakat. Ada yang
berpendapat sebaliknya, perlu dikelola
secara terencana, maka konsep pengelolaan
kesenian harus ditangani dengan cermat.
Untuk itu kita harus paham benar dasar
sebuah bentuk kesenian daerah dan tahu
peruntukkannya. Juga harus tahu betul akan
dibawa kemana kesenian tersebut, agar
kehidupannya lebih baik dan mempunyai
daya guna bagi masyarakat pendukungnya.
Unsur religi yang menghadirkan
makhluk-makhluk halus pada jaran kepang
dapat disikapi dengan bijaksana oleh para
pembina. Pertunjukan tanpa menghadirkan
makhluk halus jika diinginkan pemesan
dapat diterima, begitu juga dengan masalah
anggotanya, jika tidak ingin berhubungan
dengan makhluk halus pun dapat diterima.

Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan pembahasan di atas
dapat dikemukakan beberapa simpulan.
Pertama, jaran kepang yang terdapat pada
masyarakat Jawa di Kelurahan Tanjung Sari
Medan hingga kini masih tetap bermakna
dan ditampilkan pada acara selamatan
seperti perkawinan, sunat dan perayaan
Hari Kemerdekaan tanggal 17 Agustus,
walaupun sudah di luar daerah budaya
asalnya. Unsur religi yang terdapat pada
aktivitas pertunjukan, pendukung dan
peralatan pertunjukan mulai berubah
maknanya. Perubahan makna terjadi pada
unsur religi yang menghadirkan makhluk
halus di mana sebelumnya dipercaya dapat
melindungi dari gangguan yang tidak
diinginkan, tetapi saat ini sudah mulai
berubah ke arah seni pertunjukkan yang
dimaknai sebagai hiburan dan merupakan
identitas budaya Jawa. Kedua, faktor-faktor
yang mempengaruhi perubahan makna
pertunjukan jaran kepang pada masyarakat
Jawa di Kelurahan Tanjung Sari di antaranya
dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan, teknologi
dan informasi, pergantian generasi, serta
kondisi lingkungan di mana kebudayaan itu
HISTORISME

berada. Hal tersebut terlihat pada generasi
penerus yang duduk dibangku sekolah tidak
mau berhubungan dengan makhluk halus
atau kesurupan. Pengaruh pengetahuan
agama terlihat sudah mulai berkurangnya
pada
acara
selamatan
mengundang
pertunjukan jaran kepang, dan para
pemainnya
tidak
menyerahkan
diri
sepenuhnya kepada makhluk halus. Kondisi
keadaan ekonomi pemain memberi
pengaruh kepada daya dukung pertunjukan,
apabila pemain kehidupannya sudah
termasuk
dalam kategori
sejahtera,
kebanyakan sudah tidak mau diajak
bermain jaran kepang. Mereka hanya
sebagai pendukung di luar arena
pertunjukan jaran kepang. Lebih lanjut,
kemajuan informasi dan teknologi secara
perlahan turut menggeser keberadaan
kesenian tradisional. Masyarakat lebih
cenderung mengundang musik organ
tunggal pada acara selamatan. Ketiga, Para
pekerja seni maupun pembina berupaya
tetap mempertahankan seni pertunjukan
jaran kepang dengan cara membina para
anggota dan mengembangkan pertunjukan
dalam bentuk perekrutan anggota dan
memperkenalkannya ke tengah masyarakat.
Berdasarkan hasil temuan penelitian
yang telah dikemukakan di atas, maka diajukan
beberapa saran: pertama, mempertahankan
unsur religi (kesurupan) dalam pertunjukan
jaran kepang bukanlahlah hal yang mudah.
Agar kesenian ini tidak punah, maka kesenian
ini perlu dibina dan dikembangkan oleh
pendukungnya, tetapi tetap mempertahankan
bentuk alat musik yang digunakan, unsur dasar
musik dan tariannya, agar identitas jaran
kepang tetap tampak. Kedua, pekerja seni
yang terlibat dalam pembinaan jaran kepang
sebaiknya bekerjasama dengan kelompok
Jaran Kepang di daerah lain agar arah
pengembangan dapat didiskusikan secara
bersama-sama. Ketiga, Pemerintah diharapkan
turut membina kesenian jaran kepang dalam
hal memfasilitasi kesempatan kelompok jaran
kepang dapat mengadakan pertunjukan, agar
mereka dapat memiliki dana di dalam
membina dan mengembangkan kesenian
tersebut.

HERISTINA DEWI
Edisi No. 23/Tahun XI/Januari 2007
Universitas Sumatera Utara

14

Artikel
Daftar Pustaka

Abdulsyani. 1994. Skematika, Teori dan
Terapan. Jakarta: Bumi Aksara.
Bogdan, Robert dan Steven J. Taylor. 1993.
Kualitatif: Dasar-Dasar Penelitian.
(terj. A. Khozin Fandi), Surabaya:
Usaha Nasional.
Budiono Herusatoto. 1984. Simbolisme
dalam Budaya Jawa. Yogyakarta:
Hanindita.
Karim, W.J. 1989. Emotions of Culture: A
Malay
Perspective.
Singapore:
Oxford University Press.
Kartomi, Margaret. 1973. “Music And
Trance In Java”, di dalam Journal
Ethno- musikologi vol. 17: 163-208.
Keesing, M. Roger. 1993. Antropologi
Budaya Suatu Perspektif Kontemporer.
Jakarta: Erlangga.
Koentjaraningrat. 1971. Manusia dan Kebudayaan
di Indonesia Jakarta: Jambatan.
............, 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta:
Balai Pustaka.
.......... ., 1985. Ritus Peralihan di Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Laur, Robert H. 1989. Perspektif tentang
Perubahan Sosial. Jakarta: Bina
Aksara.
Lincoln, Y. S. & Guba. 1983. Naturalistic
Inquiry. Beverly Hills: California
Sage Publications.
Lombard, Denys. 1996. Nusa Jawa Silang
Budaya. Jakarta: Gramedia.
Merriam,A.P.1964. The Anthropology of
Music. Evanston: Northwestern
University Press.
Mestika Zed, 1995. “Analisis Kualitatif
dalam Ilmu-Ilmu Sosial: Beberapa
Catatan
Tentang
Klasifikasi,
Tipologi dan Indeks. Di dalam
Jurnal Forum Pendidikan No.1,
tahun XX, hlm.19-46, Padang: IKIP
Padang.
Mohammad H. Said. 1990. Koeli
Koentrak Tempo Doeloe: dengan
Derita dan Kemarahannya. Medan:
Waspada.
Muhammad
Nasuruddin.
G.
1990.
“Dancing to Estasy on the Hobby
Horse” di dalam Karim, W.J. (ed.)
Emotion of Culture: A Malay
Perspective. Singapore: Oxford
University Press.

HISTORISME

Mulder, Neils. 1999. Agama, Hidup
Sehari-hari dan Perubahan Budaya.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
M.Yunus Melalatoa, 1999. Sistem Budaya
Indonesia.
Jakarta:
Universitas
Indonesia.
Nurmalinda. 2000. Makna Seni Musik
Gendang Ketobung dalam Upacara
Belian di Suku Terasing Propinsi
Riau. Tesis UNP- Padang.
Paloma, Margaret M. 1994. Sosiologi
Kontemporer. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Rassers, W. H. 1982. Panji, The Culture
Hero: A Structural Study of Religion
In Java. The Haque: Martinus
Nijhoff.
Remy Sylado. 1983. Menuju Apresiasi
Musik. Bandung: Angkasa.
Rouget, G. 1985. Music and Trance: A
General Theory of the Relations
between Music and Possession,
Chicago: The University of Chicago
Press.
Salmurgianto. 1995. “Cakrawala Pertunjukan
Budaya, Mengkaji Batas dan Arti
Pertunjukan “dalam Seni Pertunjukan
Indonesia. Yogyakarta: MSPI
Sardono. 2004. “Seni dan Tantangan
Zaman”. (Online) http//www. Seni.
PL diakses Oktober 2004.
Soedarsono. 1972. Jawa dan Bali: Dua Pusat
Perkembangan Drama Tari Tradisional
di Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Soekarno, 1983. Pertunjukan Rakyat Kuda
Lumping di Jawa Tengah. Jakarta:
Departemen
Pendidikan
dan
Kebudayaan.
Sperber, Dan. 1979. Rethinking Symbolism,
Cambridge: Cambridg University
Press.
Spradley, James P (1997). Metode
Etnografi. Jakarta: Tiara Wacana.
Sujarwa. 1999. Manusia dan Fenomena
Budaya.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Umar Kayam. 1981. Seni, Tradisi, Masyarakat.
Jakarta: Sinar harapan.

HERISTINA DEWI
Edisi No. 23/Tahun XI/Januari 2007
Universitas Sumatera Utara

15

Artikel
Usman Pelly. 1994. Teori-Teori Sosial
Budaya. Jakarta: Depdikbud.

HISTORISME

Yasraf A. Piliang. 2000. Global/Lokal:
Mempertimbangkan Masa Depan.
Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan
Indonesia.

HERISTINA DEWI
Edisi No. 23/Tahun XI/Januari 2007
Universitas Sumatera Utara