Kajian Terhadap Struktur Musik Dan Pertunjukan Jaran Kepang Kelompok Brawujaya Di Binjai

(1)

KAJIAN TERHADAP STRUKTUR MUSIK DAN

PERTUNJUKAN JARAN KEPANG KELOMPOK

BRAWUJAYA DI BINJAI

SKRIPSI SARJANA

Dikerjakan O

l e h

NAMA: AGUS FREDDY SIMAMORA NIM : 050707014

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI

PROGRAM STUDI ETNOMUSIKOLOGI

MEDAN

2010


(2)

KAJIAN TERHADAP STRUKTUR MUSIK DAN

PERTUNJUKAN JARAN KEPANG KELOMPOK

BRAWUJAYA DI BINJAI

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O

L E H

NAMA: AGYS FREDDY SIMAMORA NIM : 050707014

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. Muhammad Takari, M.Hum. Dra. Heristina Dewi, M.Pd. NIP 196512211991031001 NIP 196605271994032010 Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan, untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Seni dalam bidang Etnomusikologi.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI

PROGRAM STUDI ETNOMUSIKOLOGI

MEDAN


(3)

Disetujui oleh:

Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara

Medan

Medan, 10 Juni 2010

Departemen Etnomusikologi

Ketua,

Dra. Frida Deliana, M.Si.


(4)

PENGESAHAN

Diterima oleh :

Panitia ujian Fakutas Satra Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi

salah satu syarat ujian Sarjana Seni dalam bidang Etnomusikologi pada

Fakultas Sastra USU Medan.

Pada tanggal :

Hari

:

Fakultas Sastra USU

Dekan,

Prof.Syaifuddin, M.A, Ph.D.

NIP 196509091994031004

Panitia Ujian :

No. Nama

Tanda Tangan

1. Dra. Frida Deliana, M.Si.

( )

2.

Dra.

Heristina

Dewi,

M.Pd.

( )

3.

Dr.

Muhammad

Takari,

M.Hum.

( )

4.

.

(

)


(5)

KATA PENGANTAR

Pertama-tama saya panjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus karena Kasih dan Karunia yang telah diberikan kepada penulis sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini.

Kemudian saya ingin mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua saya yang telah memberikan kasih sayangnya kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi dan juga kuliah saya dan juga kepada kedua abang saya yaitu : Simon Erikson dan Ferryanto yang juga telah memberikan dorongan dan semangat kepada saya selama saya kuliah.

Kepada Dekan Fakultas Sastra, dosen-dosen, staf pengajar serta pegawai di lingkungan Departemen Etnomusikologi USU Fakultas Sastra saya mengucapkan terima kasih karena telah memberikan ilmu-ilmu kepada saya di dalam perkuliahan, juga mebantu saya dalam menyelesaikan urusan administrasi. Juga kepada dosen pembimbing saya Bapak Takari dan Ibu Heristina yang telah memberikan bimbingan kepada saya untuk dapat menulis skripsi.

Juga kepada teman-teman kuliah saya di Etnomusikologi yang telah menjadi teman diskusi, yang juga telah banyak membantu saya di dalam menyelesaikan kuliah serta skripsi saya. Juga kepada teman-teman saya pada saat sekolah dulu yang juga telah banyak memberikan semangat dan dorongan kepada saya untuk menyelesaikan skripsi ini.

Terakhir saya ingin mengucapkan terima kasih kepada para informan saya di grup kuda kepang Brawijaya yang telah membantu saya menyelesaikan tulisan ini, yang tidak lelah menjawab pertanyaan saya mengenai kuda kepang, tidak bosan melihat saya merekam ketika sedang melakukan pertunjukan, selalu menerima saya ketika saya


(6)

berkunjung ke rumah, tidak lelah berulang-ulang untuk merekam musik untuk saya transkripsi. Juga telah banyak memberikan nasehat-nasehat kepada saya.Kepada Pak Trisno, Pak Wage, Bang Tongat, Ade serta pemain kuda kepang di grup Brawijaya yang lain.

Demikianlah ucapan terima kasih saya kepada semua pihak yang telah membantu saya untuk menyelesaikan skripsi ini, mungkin tidak semua saya sebutkan semua tetapi saya ucapkan terima kasih dan mohon maaf jika saya ada kesalahan. Terima kasih.


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang. 1

1.2. Pokok permasalahan. 15

1.3. Tujuan penelitian. 16

1.4. Manfaat Penelitian. 16

1.5. Konsep dan Teori yang Digunakan 17

1.5.1 Konsep. 17

1.5.2 Teori. 20

1.6. Metode Penelitian. 24

1.7.1 Pemilihan Lokasi Penelitian. 24

1.7.2 Pemilihan Informan. 25

1.7.3. Kerja Lapangan. 26

1.7.4. Studi Kepustakaan. 26

1.7.5. Kerja Laboratorium. 29

BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT JAWA DALAM WILAYAH BINJAI YANG MENDUKUNG KEBERADAAN JARAN KEPANG

2.1. Daerah Kebudayaan Jawa 30

2.2. Sistem Kekerabatan 35

2.3. Upacara-upacara 37


(8)

2.4.2. Upacara Perkawinan Adat Jawa 39

2.5. Kesenian 41

2.5.1. Reog Ponorogo 41

2.5.2. Teater Ludruk 42

2.5.3. Teater Ketoprak 44

2.5.4. Tari Gambyong 46

2.5.5. Tari Bedhoyo Ketawan 48

2.5.6. Wayang Wong 54

2.5.7. Wayang Kulit 60

2.5.8. Musik atau Karawitan 62

2.6. Gambaran Umum Kesenian Jawa di Sumatera Utara 63

2.6.1. Sumatera Utara 63

2.7. Kota Binjai 74

2.7.1. Lokasi Penelitian Kota Binjai 74

2.7.2. Sejarah Kota Binjai 74

2.7.3. Batas-batas wilayah administratif Kota Binjai. 78

2.7.4. Iklim 78

2.7.5. Keadaan Penduduk 79

2.7.6. Tenaga kerja 80

2.7.7. Fasilitas Untuk Masyarakat 80

2.7.8. Kesenian 81

BAB III JARAN KEPANG DALAM KEBUDAYAAN JAWA DAN GAMBARAN KELOMPOK JARAN KEPANG BRAWIJAYA BINJAI

3.1 Jaran Kepang dalam Kebudayaan Jawa 82

3.2. Sejarah 82

3.3. Variasi Jaran Kepang di Beberapa Daerah 84


(9)

3.5. Persebaran jaran Kepang 87 3.6. Jaran Kepang sebagai Seni Pertunjukan 94 3.7. Unsur Seni dalam Pertunjukan Jaran Kepang. 95 3.8. Unsur Religi dalam Pertunjukan Jaran Kepang. 98

3.9. Kesurupan (Trance) 100

3.10. Selamatan. 101

3.11. Simbolisme dan Makna 102

3.12. Perubahan Kebudayaan. 103

3.13. Awal Terbentuknya Kelompok Jaran Kepang Brawijaya 107 3.14. Manajemen Kelompok Jaran Kepang Brawijaya. 110 3.15. Struktur Kelompok Jaran Kepang Brawijaya. 111

3.16. Seleksi Penerimaan Anggota. 112

3.17. Penentuan Jadwal Latihan. 113

3.18. Pembagian Honor 114

3.19. Proses Kesepakatan Mengundang Kelompok

Jaran Kepang Brawijaya 115

BAB IV ANALISIS SENI PERTUNJUKAN KELOMPOK JARAN KEPANG BRAWIJAYA.

4.1. Jaran Kepang. 115

4.2. Tempat dan Waktu Pelaksanaan Pertunjukan. 116

4.2.1. Tempat Pertunjukan. 116

4.2.2. Waktu Pelaksanaan Pertunjukan. 116

4.3. Pendukung Pertunjukan. 117

4.3.1. Penari. 117

4.3.2. Pemain Musik. 117

4.3.3. Pawang. 119


(10)

4.3.4.a. Penonton Biasa. 119 4.3.4.b. Penonton Dari Kelompok Jaran Kepang yang Lain. 120

4.3.5. Pengeras Suara. 120

4.4. Perlengkapan Pertunjukan. 121

4.4.1. Panggung. 121

4.4.2. Kostum. 121

4.4.3. Tata Rias. 122

4.4.4. Jaran Kepang. 122

4.4.5. Barongan. 122

4.4.6. Pecut. 123

4.4.7. Pentul atau Topeng. 123

4.4.8. Tungku Membakar Kemeyan. 124

4.5. Bahan Pertunjukan. 124

4.5.1. Macam-macam Bunga. 124

4.5.2. Kemeyan. 124

4.5.3. Minyak Wangi. 125

4.5.4. Arang. 125

4.6. Alat Musik yang Dimiliki Kelompok Jaran Kepang Brawijaya. 125

4.6.1. Saron. 125

4.6.2. Demung. 126

4.6.3. Gong. 126

4.6.4. Kendang. 127

4.6.5. Slenthem. 128

4.7. Deskripsi pertunjukan. 128

4.8. Analisis Pertunjukan Jaran Kepang Grup Brawijaya. 132

BAB V ANALISIS STRUKTUR MUSIK


(11)

5.1 Lagu-lagu yang Digunakan 143

5.3 Struktur Melodi Lagu Jatilan 144

5.4 Struktur Melodi Lagu Es Lilin 155

5.5. Struktur Melodi Lagu Ijo-ijo 165

5.6. Struktur Melodi Lagu Reog Ponoragan. 174

5.7. Struktur Melodi Lagu Waru Doyong. 183

BAB VI PENUTUP

6.1. Kesimpulan 193


(12)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sumatera Utara adalah sebuah provinsi dari 33 provinsi yang terdapat di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Secara historis, Sumatera Utara merupakan daerah tempat tujuan berbagai kelompok etnik merantau atau bermigrasi. Misalnya orang Minangkabau, Aceh, Banjar, dan Jawa.

Sumatera Utara sejak zaman Belanda, tepatnya di abad ke-19 adalah sebuah kawasan yang terkenal akan perkebunan, terutama tembakau yang dikenal sebagai tembakau Deli. Perkebunan ini dibuka oleh seorang pengusaha (maskapiij) Belanda yang bernama Yakobus Nienhuys. Perkebunan-perkebunan milik Belanda ini melibatkan masyarakat setempat seperti Melayu, Karo, dan Simalungun. Namun karena kurang cepatnya perkembangan perkebunan, maka Belanda mendatangkan tenaga kerja (koeli kontrak) terutama dari Pulau Jawa. Begitu pula mereka mengambil tenaga kerja yaitu orang-orang Tionghoa maupun keturunan India baik dari Pulau Pinang Malaya, maupun dari Pulau Jawa sendiri (lihat Karl J. Pelzer 1978).

Sejak dibukanya perkebunan ini di abad ke-19 maka perkembangan Sumatera Utara sebagai pusat ekonomi di Nusantara begitu pesat. Banyak perantau yang datang ke kawasan ini. Akhirnya sejak saat itu, Sumatera Utara dihuni oleh tiga kategori kelompok etnik, yaitu etnik setempat, etnik pendatang Nusantara, dan etnik pendatang dunia. Yang pertama, etnik setempat terdiri dari: Melayu, Karo, Pakpak-Dairi, Simalungun, Batak Toba, Mandailing-Angkola, Pesisir (Tapanuli Tengah dan Sibolga), dan Nias. Kadang-kadang dimasukkan pula etnik Lubu dan Siladang di Tapanuli bahagian Selatan. Yang kedua adalah etnik pendatang Nusantara, seperti: Aceh, Minangkabau, Banjar, Sunda,


(13)

Jawa, Ambon, dan lain-lain. Yang ketiga, adalah etnik-etnik pendatang dunia seperti Hokkian, Khek, Kwong Fu, Hakka, yang lazim disebut keturunan China. Begitu juga dengan Tamil, Benggali, Hindustani, dan lainnya yang lazim disebut keturunan India, serta Arab dan beberapa etnik Eropa. Dengan komposisi yang demikian, Sumatera Utara merupakan tempat bertemunya berbagai budaya setempat, Nusantara, dan Dunia, dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pada masa sekarang ini, etnik yang jumlahnya mayoritas di Sumatera Utara adalah etnik Jawa, yang berkisar lebih dari 30% dari sekitar 13 juta jiwa. Jumlah etnik-etnik lain adalah di bawah jumlah tersebut. Namun demikian, etnik-etnik Jawa di Sumatera Utara ini dapat diterima oleh etnik lainnya, karena faktor mudahnya orang jawa beradaptasi dengan lingkungan sosiobudaya masyarakat Sumatera Utara yang heterogen.

Orang Jawa sangat menjunjung harmoni sosial, dan cenderung menghindari konflik terbuka. Orang Jawa yang datang ke Sumatera Utara bukanlah golongan priyayi yang harus merasa dihormati dan harus memerintah. Ini juga didukung oleh kebudayaan Jawa, untuk menjaga harmoni sosial di mana pun mereka berada. Mereka sebahagian besar adalah golongan abangan, dan sesampainya di Sumatera Utara, mereka tidak lagi menerapkan tiga strata sosial seperti di Pulau Jawa, yang terdiri dari golongan santri (golongan alim ulama), priyayi (bangsawan), dan abangan (rakyat biasa).

Di Sumatera Utara, akhirnya orang-orang Jawa ini menerapkan strategi budaya adaptasi. Orang Jawa di Sumatera Utara, menyebut dan disebut sebagai Pujakesuma, yaitu Putra Jawa Kelahiran Sumatera. Mereka tetap memelihara kebudayaan yang dibawa dari Jawa, termasuk kesenian. Di antara kesenian Jawa di Sumatera Utara yang terus hidup dan berkembang hingga sekarang ini adalah: ketoprak, ronggeng Jawa atau tayub, ludruk, ketoprak dor, reyog Ponorogo, terbangan, kasidah, dan yang paling terkenal adalah jaran kepang.


(14)

Menurut penjelasan informan Pak Slamet (wawancara Juli 2009) dalam sejarah kebudayaan Jawa, jaran kepang atau yang lazim juga disebut dengan kuda kepang, kuda lumping, jathilan, atau ebeg, merupakan salah satu bentuk seni pertunjukan masyarakat Jawa. Asal-usulnya, menurut cerita rakyat Jawa, kesenian jaran kepang merupakan bentuk apresiasi dan dukungan rakyat jelata terhadap pasukan berkuda Pangeran Diponegoro dalam menghadapi penjajah Belanda, dalam Perang Diponegoro tahun 1825-1830. Versi cerita yang lain menyebutkan, bahwa kesenian jaran kepang menggambarkan kisah perjuangan Raden Patah, yang dibantu oleh Sunan Kalijaga, melawan penjajah Belanda. Cerita lain menyebutkan bahwa, kesenian jaran kepang ini mengisahkan tentang latihan perang pasukan Mataram yang dipimpin Sultan Hamengku Buwono I, Raja Mataram, untuk menghadapi pasukan Belanda.

Ketiga versi cerita rakyat itu berkaitan erat dengan perang rakyat Jawa menentang penjajah Belanda di masa Mataram Islam. Terlepas dari asal usul dan nilai historisnya, jaran kepang merefleksikan semangat kepahlawanan dan aspek kemiliteran sebuah pasukan berkuda atau kavaleri. Hal ini terlihat dari gerakan-gerakan ritmik, dinamis, dan agresif, melalui kibasan anyaman bambu, menirukan gerakan layaknya seekor kuda di tengah peperangan.

Seringkali dalam pertunjukan jaran kepang, juga menampilkan atraksi yang mempertontonkan kekuatan supranatural yang bersuasana magis, seperti atraksi mengunyah kaca, menyayat lengan dengan golok, membakar diri, berjalan di atas pecahan kaca, dan lain-lain.Atraksi seni ini mengekspresikan kekuatan supranatural yang pada zaman dahulu berkembang di lingkungan kerajaan-kerajaan Jawa, dan merupakan aspek bukan militer yang dipergunakan untuk melawan pasukan Belanda.

Selain itu, dalam rangka hubungan antara bangsawan dan rakyat kebanyakan, lahirnya jaran kepang tidak terlepas dari perbedaan kesenjangan yang cukup besar


(15)

antara golongan kaum kraton atau kelas atas yang mempunyai kebudayaan adi luhung (super culture, high culture) yang berkembang di kerajaan, dengan golongan kaum bawah yang mempunyai kebudayaan rakyat (folk culture) yang umumnya berkembang di desa-desa. Akibat kesenjangan ini, timbullah perselisihan antara dua golongan tersebut, yang tentu saja golongan kelas bawah yang banyak mendapat kerugian. Kemudian timbullah perasaan tertekan yang semakin lama semakin mendalam, yang akhirnya timbul keputusasaan dan pasrah karena tidak dapat berbuat apa-apa sehingga menimbulkan kompensasi dan timbul ketegangan-ketegangan. Untuk melepaskan atau sekedar melupakan perasaan tertekan tersebut, walaupun hanya sesaat, maka rakyat kebanyakan menciptakan seni sebagai wujud ketertekanan sosial yang dilakukan pihak bangsawan, yaitu melalui seni jaran kepang.

Lahirnya jaran kepang mendapat pertentangan dari golongan kaum yang lain. Salah satunya adalah kaum santri yang mengatakan bahwa kesenian ini bertentangan dengan nilai-nilai religius karena adanya pengendalian syaitan (roh halus) . Pertentangan tidak hanya didapat dari kaum santri saja, kaum priayi juga menganggap kesenian ini kasar dan cabul (Syarbaini 1996:34).

Di zaman perjuangan kemerdekaan, awal abad ke-20 sampai tahun 1940-an, jaran kepang berubah menjadi alat perjuangan oleh para pejuang kemerdekaan. Pada saat pertunjukan jaran kepang dilakukan yang ditonton oleh masyarakat sekitar, maka tempat pertunjukannya sengaja dibuat di dekat benteng penjajah. Sehingga pada saat pertunjukan berlangsung, salah satu anggota jaran kepang memasuki benteng tersebut tanpa dicurigai untuk mengetahui kekuatan musuh. Setelah itu mereka menyampaikannya kepada para pejuang kemerdekaan. Mereka juga menyebarkan semangat juang dengan bahasa daerah yang disampaikan sebagai alur cerita, karena penyampaian cerita dilakukan


(16)

menggunakan bahasa daerah sehingga kaum penjajah tidak mengetahui maksud dan artinya (Syarbaini 1996:35).

Di dalam masyarakat Jawa sendiri, menurut penjelasan informan di Binjai yaitu Pak Slamet, Pak Ponomin, Pak Ngatino, Pak Ngoweh, Pak Trisno, Bang Adi dan Bang Tongat, jaran kepang juga dikenal dengan nama yang lain salah satunya adalah Banyumasan. Dikatakan demikian karena jaran kepang dulunya sangat terkenal dari daerah Banyumas sehingga banyak mengidentikkan bentuk kesenian ini dengan daerah tersebut (hasil wawancara dengan para informan yaitu Pak Ngoweh, Pak Trisno, Pak Slamet, Pak Ngatino, Pak Adi, Juli 2008). Selain dari keterangan itu ada penyebutan yang lain dari jaran kepang yaitu jathilan. Disebut demikian karena ada salah satu penyebutan irama sekaligus nama repertoar yang selalu dimainkan setiap pertunjukan jaran kepang, jadi boleh dikatakan tanpa ada reperoar Jatilan maka jaran kepang kurang rasanya penampilan mereka. Para informan mengatakan tanpa Jatilan akan sulit memasukkan endang yaitu roh dalam sistem kosmologi Jawa, ke dalam tubuh anak wayang atau penari dalam jaran kepang. Memang menurut keterangan Pak Trisno dan Pak Wage dahulu bukan lagu jathilan yang digunakan untuk mengiringi anak wayang untuk menari (penari) melainkan lagu waru doyong namun dikarenakan lagu ini bersifat lambat dan halus sehingga tarian yang tercipta dari lagu ini sangat lamban dan halus bertolak belakng sekali dengan jaran kepang yang menggambarkan kasar , keras dan cepat. Menurut Pak Trisno dan Pak Wage karena sebab itulah lagu waru doyong tidak lagi digunakan untuk mengiringi tarian dan lagu jathilan dipilih mejadi lagu untuk menngiringi tarian kuda kepang.

Berikutnya ada penyebutan lain yaitu ebeg, yaitu penyebutan jaran kepang dari daerah Jawa Tengah (hasil wawancara dengan Wahyu, Paklek Dut, Pak Ngoweh, Pak Trisno, Juli 2008), yang merupakan berasal dari bahasa daerah yang mempunyai arti


(17)

sama dengan kuda kepang. Menurut Paklek Dut yang merupakan seorang pemain kendhang kuda kepang di grup yang lain, mengatakan bahwa kata ebeg merupakan pengucapan halus terhadap kuda kepang. Menurut Paklek Dut karena asal oarang jawa adalah di Pulau Jawa dan bermigrasi ke daerah Sumatera Utara memang banyak membawa kebudayaan jawa, tetapi dalam hal bahasa banyak yang mereka lupakan, sebab menurutnya jika mengikuti tutur kata jawa yang halus sangat sulit, jadi kami menggunakan bahasa jawa yang kami bisa pahami atau yang biasa kami sebut dengan bahasa jawa kasar. Memang bahasa jawa kasar masih sering digunakan leh masyarakat jawa tetapi sejauh ini selama melakuka penelitian hampir seluruh informan mengatakan kalau bahasa jawa halus sudahsangat jarang digunakan karena banyak kosakata yang sudah dilupakan.

Penyebaran jaran kepang ke luar daerah terjadi ketika zaman yang disebut dengan koeli koentrak. Pada saat itu beberapa masyarakat Jawa ada yang berharap ingin merubah kehidupannya. Harapan tersebut tercapai ketika kolonial Belanda beserta para pengusaha-pengusaha Belanda datang ke Indonesia dan membuka lahan perkebunan di Pulau Sumatera. Karena tergiur dengan angan-angan muluk akan janji kehidupan yang lebih baik yang nantinya dapat mewujudkan kehidupan yang lebih mapan daripada kondisi mereka di pulau Jawa maka dengan sukarela mereka mengikuti arus imigrasi ke daerah Nusantara termasuk Sumatera dalam jumlah yang besar.

Namun yang terjadi setelah sampai di daerah imigrasi adalah jauh dari harapan mereka ketika masih ada di pulau Jawa. Karena sebenarnya semua biaya keberangkatan dari daerah asal sampai di tempat imigrasi dibebankan kepada mereka semua ditambah lagi dengan adanya judi, madat, pelacuran, serta sistem feodal Belanda yang menambah beban hutang yang melilit mereka. (Syarbaini 1996).


(18)

Jaran kepang menggabungkan unsur musik, tari, dan ilmu gaib (supranatural). Hal ini terlihat pada saat pertunjukan berlangsung. Unsur musik pada jaran kepang diwakili oleh keberadaan alat-alat musik seperti saron, demung, kendang, dan gong serta di beberapa grup ada yang menggunakan penyanyi atau sering disebut sindhen.

Musik yang dihasilkan, digunakan untuk mengiringi tarian yang dilakukan beberapa penari yang disebut anak wayang. Jumlah mereka selalu ganjil, dengan pakaian menari seperti celana pendek sepanjang lutut, yang menggunakan rompi. Di kepala mereka ada hiasan yang terikat disebut ira-ira. Pada saat menari, anak wayang menyelipkan di bagian selangkangan mereka kuda-kudaan yang terbuat dari bambu atau plastik. Dipegang dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanan memegang selendang yang terikat di pinggang yang digerak-gerakkan sedemikian rupa mengikuti irama musik. Namun berbeda halnya dengan pemimpin anak wayang yang disebut dengan pemayung. Di tangan kanannya dia memegang cambuk atau sering disebut pecut. Pecut adalah sejenis tali yang terbuat dari plastik atau bahan lainnya yang digunakan untuk memancing anak wayang trance atau mabok atau jeplak. Masyarakat Jawa di daerah penelitian lebih sering menyebutnya dengan cambuk. Warna kuda yang digunakannya berbeda dari penari yang lain , biasanya warna kudanya putih.

Dalam beberapa grup ada penambahan penari yang tidak memegang kuda-kudaan tetapi memakai topeng yang berkarakter wajah manusia. Jumlah mereka tergantung dari keseluruhan jumlah anggota dalam grup jaran kepang. Juga ada penambahan penari yang membawa benda yang berbentuk wajah singa yang di bagian belakangnya ada lembaran kain, panjangnya kira-kira dua sampai tiga meter. Benda ini biasanya dibawakan oleh dua atau tiga orang. Benda tersebut adalah barongan. Namun ada penamaan yang lain untuk benda ini, yaitu: singo barong. Penamaan ini ternyata merujuk


(19)

kepada nama roh halus atau yang biasa disebut oleh mereka endang. Jadi singo barong adalah nama roh halus yang ada di barongan.

Ilmu gaib digunakan pada saat klimaks dari pertunjukan jaran kepang. Anak wayang menari tanpa ada kemauan dari dirinya sendiri, tetapi ada kekuatan yang berasal dari dalam dirinya yang menggerakkan tubuhnya untuk menari dan bertingkah laku yang tidak sesuai dengan keadaan sehari-harinya. Hal ini terjadi karena tubuh mereka telah dimasuki roh halus yang disebut endang. Proses ini terjadi dengan bantuan seseorang yang mempunyai pengetahuan khusus dan berpengalaman tentang roh halus yang disebut pawang atau gambuh. Pada masa sekarang, kepercayaan tentang makhluk halus ini juga terdapat dalam aliran kepercayaan Kejawen.

Bentuk pertunjukan jaran kepang dimulai dengan tarian persembahan, Para penari menari diiringi musik yang di selangkangan mereka membawa kuda-kudaan yang dipegang tangan kiri. Tujuan dari tari persembahan ini adalah meminta izin dari penguasa (alam gaib) yang ada di bawah dan di atas bumi--di tempat mereka melakukan pertunjukan. Sekaligus memberitahu tujuan mereka di tempat tersebut adalah untuk menghibur, bukan untuk mengganggu (wawancara dengan Pak Trisno Mei 2008).

Setelah itu, dilanjutkan dengan pembakaran kemenyan oleh pengendali pertunjukan atau yang disebut dengan pawang. Tujuannya adalah untuk memanggil arwah-arwah yang akan memasuki tubuh penari. Setelah berganti kostum, para penari mulai menari yang tujuannya untuk memasukkan arwah atau disebut endang ke dalam tubuh mereka. Pergantian kostum ini terjadi tergantung dari keadaan masing-masing kelompok jaran kepang. Jika mempunyai uang yang cukup, maka pengadaan dua buah kostum sangat mungkin untuk dilakukan, tetapi jika tidak mempunyai dana yang cukup maka kostum yang digunakan pada saat melakukan tarian persembahan dengan pada saat penari (anak wayang) trance atau mabok sama. Untuk memasukkan arwah tersebut,


(20)

mereka melakukan tarian berputar-putar. Ketika arwah tersebut memasuki tubuh mereka maka mereka tidak sadarkan diri. Gerakan putaran yang mereka lakukan itu disebut dengan kiteran yang diambil dari bahasa Jawa yang berarti berputar-putar. Pada saat inilah klimaks dari pertunjukan jaran kepang.

Kemudian ketika dirasa cukup, maka pawang menyuruh pulang para arwah ke alamnya. Hal ini pun dilakukan dengan iringan musik. Proses ini terjadi dengan berbagai macam bentuk. Ada penari yang harus dibopong ke atas oleh beberapa orang dan di atasnya diletakkan anak kecil dan dibawa berputar-putar. Ada yang menyembah kendhang . Ada yang harus menaiki kendang . Yang paling sering, pawang hanya menyentuh kepala maka pulanglah arwah tersebut ke alamnya.

Jaran kepang dipertunjukkan pada saat khitanan, pernikahan, ulang tahun, perayaan kemerdekaan, penyambutan tamu, dan lain-lain. Mereka biasanya diundang secara khusus oleh yang melaksanakan hajatan untuk pertunjukan. Proses ini terjadi ketika ada kesepakatan antara pemimpin jaran kepang dengan yang ingin menanggap . Menanggap adalah suatu istilah dalam jaran kepang yang maksudnya adalah permintaan pertunjukan atau penampilan grup jaran kepang oleh beberapa orang atau satu orang saja untuk alasan tertentu biasanya saat hajatan, khitanan, serta perayaan kemerdekaan.

Penontonnya tergantung dimana tempat pertunjukan tersebut berlangsung. Misalnya pada saat khitanan, maka otomatis penontonnya adalah masyarakat di sekitar tempat tersebut. Jika jaran kepang diminta tampil untuk menyambut tamu, maka penontonnya juga orang tertentu dan tempat mereka menontonnya di bawah tenda yang mereka sediakan. Tidak seperti saat khitanan, masyarakat menonoton tanpa ada yang melindungi kepala mereka dari serangan terik matahari.


(21)

Pada awalnya, alat musik yang dipergunakan pada jaran kepang hanya saron, demung, kendhang yang semuanya berjumlah satu buah dan gong yang berjumlah dua buah. Sedangkan pada saat ini, khususnya pada grup Brawijaya mereka menggunakan saron, demung, slenthem, bonang sebanyak satu buah, kendang sebanyak tiga buah dan gong sebanyak enam buah. Adapun alasan yang dikemukakan oleh Pak Trisno yang merupakan pemimpin grup Brawijaya, adalah agar orang yang melihatnya terasa lebih mewah. Mengingat masyarakat menganggap kesenian ini adalah kesenian kelas bawah. Selain itu, menjadi daya tarik bagi masyarakat. Dengan besarnya ensambel, maka semakin banyak masyarakat dalam hajatannya mengundang grup jaran kepang. Perlu juga diketahui istilah dalam pemanggilan atau mengundang grup jaran kepang tersebut biasanya disebut dengan menganggap, selain alasan tersebut Pak Trisno juga mengatakan alasan lainnya yaitu agar suara yang dihasilkan lebih rame (banyak). Pandangan seperti ini memang ada dalam pelaku jaran kepang. Ketika penulis menjumpai grup jaran kepang yang lainnya, hal yang sama juga mereka katakan. Contohnya grup Langen Setio Budoyo Utomo, jumlah alat musik yang mereka miliki tak kalah jumlahnya dengan grup Brawijaya. Menurut Pak Slamet yang merupakan pemimpin grup Langen Setio Budoyo Utomo banyaknya jumlah alat musik yang mereka miliki agar kelihatan mewah ketika sedang mengadakan penampilan.

Perlu diketahui juga penambahan alat musik dalam pertunjukan jaran kepang akibat berkurangnya minat masyarakat terhadap bentuk kesenian ini sehingga mengakibatkan jumlah penontonnya berkurang. Hal ini dikatakan juga oleh pak Ngoweh:

“Pada waktu Bapak masih umur belasan tahun, Bapak sudah bisa menari dan punya endang di dalam tubuh Bapak. Sudah ikut grup jaran kepang pimpinan bapak saya. Pada waktu itu, kami sering melakukan pertunjukan keliling (atau sering disebut dengan ngamen). Pada waktu itu jumlah penonton sangat banyak, sehingga saweran yang merupakan suatu bentuk pengutipan uang yang dilakukan grup jaran kepang pada saat pertunjukan berlanggsung. Uang yang diberikan bervariasi karena semuanya


(22)

tergantung keikhlasan, yang kami dapatkan sangat banyak. Karena itu juga kami sering melakukan pertunjukan keliling, karena jumlah uang yang dikeluarkan dengan uang yang didapatkan dari saweran jumlah uang saweran yang lebih banyak.” (Transkripsi wawancara penulis dengan Pak Ngoweh Agustus 2009).

Walaupun demikian tidak semua grup jaran kepang yang saya temui mengatakan hal yang sama. Seperti grup Wahyu Satrio Putro, alat musik yang mereka pergunakan hanya saron, demung, kendhang sebanyak satu buah serta gong sebanyak dua buah. Alasan yang dikemukakan oleh Pak Ngoweh adalah jumlah dana yang mereka miliki sangat terbatas. Ditambah lagi kebanyakan pemain musik yang mereka miliki yang biasanya disebut dengan panjak atau gamel atau wiyogo, adalah pemain musik dari grup lainnya, sehingga boleh dikatakan jumlah pemain yang juga terbatas. Akibatnya menghambat mereka untuk mengadakan alat musik yang banyak seperti yang dimiliki oleh grup Brawijaya.

Selain hal tersebut, ditambah lagi dengan pembagian honor yang tidak merata, bisa menyebabkan rasa sakit hati sehingga menimbulkan perpecahan di antara mereka. Hal itulah yang dikhawatirkan oleh Pak Ngoweh sebagai pemimpin grup tersebut yang juga sekaligus pawang. Ditambah lagi perpecahan sering terjadi di grup ini sehingga jika ada seseatu yang ingin dilakukan di dalam grup ini maka akan sulit sekali untuk merealisasikannya. Walaupun demikian grup ini banyak mempunyai prestasi juga karena setiap festival jaran kepang atau kompetisi jaran kepang yang dilakukan di Kota Binjai. Mereka sering menjadi juara. Mulai dari tahun 2005, 2006, 2007, 2008 dan 2009. Sehingga jika pemerintahan Kota Binjai melakukan kegiatan dan membutuhkan hiburan, maka grup mereka yang sering dipanggil (ditanggap).

Selain itu, hal yang menarik yang diperoleh dari penelitian di lapangan, penulis menemukan bahwa alat musik yang mereka pergunakan dalam pertunjukan jaran kepang


(23)

bukan didatangkan dari Pulau Jawa, tetapi adalah buatan penduduk setempat. Dari hasil penelusuran yang dilakukan oleh penulis, kesemua grup yang dijumpai khususnya yang ada di Kota Binjai, mengatakan bahwa alat musik yang mereka miliki ternyata adalah buatan Bapak Ponomin. Beliau dikenal sebagai dalang wayang sekaligus orang yang pandai membuat gamelan juga sering dipanggil orang lain. untuk melaras gamelan yang dimilikinya. Contohnya saja grup Wahyu Satrio Putro, gamelan yang mereka miliki bukan barang baru namun barang bekas pakai yang mereka beli dari grup jaran kepang yang lain. Ketika dibeli gamelan tersebut tuningannya sudah tidak bagus lagi, sehingga mereka memanggil Pak Ponimin untuk melaras gamelan tersebut.

Sebahagian besar grup jaran kepang kota Binjai yang penulis jumpai mengatakan kalau alat musik/gamelan yang mereka miliki adalah buatan Pak Ponimin. Atau paling tidak jika mereka membeli alat gamelan itu sebagai barang bekas, tetapi sudah pernah dilaras oleh Pak Ponimin.

Penulis juga sempat mewawancarai Pak Ponimin dan datang ke rumahnya untuk langsung bertemu dan bertanya bagaimana dia membuat gamelan. Untuk membuat gamelan ia menggunakan logam yang biasanya ia mengatakannya dengan besi plat. Besi plat merupakan benda logam yang biasanya digunakan untuk alas kaki kendaraan bermotor roda empat. Kemahiran ini didapatkannya dari ayahnya. Ditambah lagi dia hidup di lingkungan para pemain musik tradisi Jawa.

Selain penambahan alat musik, dalam pertunjukan jaran kepang grup Brawijaya mereka juga menambahkan salah satu bentuk atau genre kesenian lainnya yaitu Sintren. Sintren merupakan bentuk kesenian masyarakat Jawa yang masih menggunakan roh halus serta ilmu gaib. Cara pertunjukannya adalah penari yang mabok (dimasuki roh halus-roh halus mereka sebut dengan endang) dimasukkan ke dalam keranjang bambu yang ditutupi oleh selembar kain dalam keadaan terikat kedua tangannya. Dalam


(24)

beberapa saat kemudian, anak wayang tersebut dapat berganti bajunya, tetapi ia masih dalam keadaan terikat. Kemudian ditutup lagi, dan beberapa saat dibuka akhirnya ia berdandan lengkap dengan pakaian dan tidak terikat. Kemudian ia menari-nari dalam keadaan trance.

Alasan penambahan kesenian ini dalam jaran kepang menurut Pak Trisno juga untuk membuat grupnya lebih menarik ketika sedang melakukan pertunjukan. Menurut beliau, sangat jarang grup jaran kepang yang menggabungkan hal tersebut (Wawancara Juli 2008). Ini juga salah satu faktor menarik bagi penulis untuk meneliti dan mengkaji keberadaan kelompok jaran kepang ini.

Perlu diketahui sejauh penulis melaukan penelitian keseluruhan anggota grup jaran kepang yang penulis jumpai berasal dari kelas ekonomi menengah ke bawah. Namun demikian, mereka sudah memikirkan bagaimana cara untuk mempertahankan kelangsungan jaran kepang tanpa didukung pengetahuan yang tinggi karena keseluruhan anggota jaran kepang tidak ada yang sampai mengecap pendidikan tinggi bahkan ada yang tidak pernah bersekolah.

Seperti terurai di atas, jaran kepang sangatlah kompleks permasalahannya untuk diteliti melalui berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Untuk itu, supaya penelitiaan ini mengarah kepada penelitian etnomusikologis, maka penulis akan mengkaji hal-hal yang berdimensi etnomusikologi.

Untuk menempatkan penelitian jaran kepang kelompok Brawijaya ini sebagai penelitian etnomusikologis, maka penulis meletakkan dasar keilmuan, yaitu penelitian ini adalah kajian musik (dan pertunjukan) dalam konteks kebudayaan masyarakat Jawa dan etnik lainnya di Binjai, Sumatera Utara. Penelitian ini juga akan memfokuskan kajian pada struktur musiknya, yang mencakup instrumentasi, gendhing atau lagu, frase, motif,


(25)

bentuk melodi lagu, pola ritme, durasi, aksentuasi, dan seterusnya dengan menggunakan teori dalam etnomusikologi.

Karena pertunjukan jaran kepang ini sangat luas wilayahnya, maka penulis melihat arahan Merriam tentang wilayah kajian etnomusikologi. Merriam mengemukakan bahwa secara garis besar terdapat enam wilayah kajian etnomusikologi, seperti yang diuraikannya sebagai berikut.

Diantara wilayah kajian itu salah satunya adalah kebudayaan material musik. Wilayah ini meliputi kajian terhadap alat musik yang disusun oleh peneliti dengan

klasifikasi yang biasa digunakan, yaitu: idiofon, membranofon, aerofon, dan kordofon.1

Selain itu, setiap alat musik diukur, dideskripsikan, dan digambar dengan skala atau difoto; prinsip-prinsip pembuatan, bahan yang digunakan, motif dekorasi, metode dan teknik pertunjukan, menentukan nada-nada yang dihasilkan, dan masalah-masalah teoretis perlu pula dicatat.

Penelitian ini akan mendeskripsikan musik dan pertunjukan jaran kepang kelompok Brawijaya di Binjai, maka akan dilakukan kajian alat-alat musik yang digunakan dalam ensambel musik jaran kepang. Adapun kajian ini mencakup deskripsi alat-alat musik menurut sistem klasifikasi Sachs dan Hornbostel. Selain itu, alat-alat musik gamelan dalam pertunjukan jaran kepang juga mencerminkan perubahan musik dari asalnya di Jawa sampai ke Sumatera Utara. Seperti alat musik ini diproduksi sendiri oleh pengrajin alat musik, yang terutama dibuat oleh Bapak Ponimin. Alat musik yang lazim digunakan dan berubah adalah gong yang biasanya digantung di sini menjadi gong       

1

Setelah ditemukannya alat-alat musik (musical instrument) yang sinyal utamanya adalah bersumber dari listrik yang kemudian diubah menjadi suara, maka muncul pula sebuah klasisikasi lanjutan yang disebut dengen elektrofon. Namun perlu dipahami pula, bahwa setiap masyarakat pendukung musik tertentu memiliki sistem klasifikasinya sendiri. Misalnya masyarakat China mengklasifikasikan alat musik berdasarkan jenis bahan yang digunakan. Masyarakat Jawa mengklasifikasikan alat musik berdasarkan teknik memainkannya. Masyarakat Mandailing mengklasifikasi-kan alat musiknya berdasarkan ensambel dan fungsi musikalnya.


(26)

pelat yang digantung dengan tali di sebuah kotak resonator yang menurut Pak Ponimin disebut dengan gong duduk. Demikian juga bahan yang digunakan membuat alat-alat musik gamelan terbuat dari besi pelat mobil, bukan campuran tembaga (gangsa) seperti di Jawa.

Kajian tentang aktivitas kreatif ini dalam rangka penelitian ini adalah mencakup hal-hal seperti berikut. Pertama, para pemusik Jawa di kawasan ini membuat alat musiknya sendiri, sebahagian mengacu pada alat-alat musik tradisional Jawa, sebahagiannya dimodifikasi sendiri. Mereka juga melakukan akulturasi dengan berbagai lagu etnik di kawasan Sumatera Utara, untuk mengiringi pertunjukan jaran kepang. Kratifitas lainnya kelompok Brawijaya memasukkan satu genre tarian sintren, yang juga melibatkan hipnotis dan alam gaib. Jadi para seniman musik dan tari jaran kepang Brawijaya dan kelompok lain di kawasan ini melakukan kreativitas-kreativitas seni: musik, tari, dan pertunjukan lain, disesuaikan dengan konteks dan penerimaan masyarakat pendukungnya.

Dilatarbelakangi oleh pertunjukan jaran kepang Brawijaya seperti uraian di atas cukup menarik, maka penulis menentukan judul penelitian ini sebagai berikut: Kajian terhadap Struktuir Musik dan Pertunjukan Jaran Kepang Kelompok Brawijaya di Binjai.

1.2 Pokok Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang seperti di atas, untuk mefokukan kajian dan perhatian penelitian dan penulisan skripsi, maka penulis menentukan pokok permasalah atau pertanyaan penelitian, yaitu sebagai berikut.

(1) Bagaimana proses pertunjukan kelompok jaran kepang Brawijaya?


(27)

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan penentuan dua pokok permasalahan di atas, maka tujuan dilakukannya penelitian ini adalah dilandasi oleh alasan-alasan sebagai berikut.

1. Untuk mengetahui proses pertunjukan kelompok jaran kepang Brawijaya ?

2. Untuk mengetahui struktur musik yang digunakan kelompok jaran kepang

Brawijaya ?

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari dilakukannya penelitian ini adalah mencakup aspek-aspek berikut ini.

1. Sebagai bahan referensi peneliti atau pihak-pihak tertentu atau masyarakat

yang ingin mengetahui keberadaan jaran kepang.

2. Sebagai bahan dokumentasi kesenian jaran kepang untuk masa yang akan

datang jikalau kesenian ini sudah jarang atau bahkan tidak ada lagi.

3. Mengetahui perilaku seniman jaran kepang yang melakukan berbagai cara

untuk bertahan yang mungkin bisa ditiru oleh para seniman tradisional lainnya.

4. Penelitian ini bermanfaat untuk pengembangan teori dan metode dalam

disiplin etnomusikologi, yaitu bagaimana strategi adaptasi kaum pendatang di tengah-tengah masyarakat setempat.

5. Penelitian ini bermanfaat untuk membantu pihak-pihak terkait dalam

membuat kebijakan di dalam rangka integrasi sosial masyarakat Indonesia yang majemuk dan plural.


(28)

6. Penelitian ini juga bermanfaat sebagai contoh meredakan konflik-konflik sosial oleh masyarakat sendiri, yang dipicu oleh perbedaan-perbedaan etnik, agama, atau golongan.

7. Penelitian ini bermanfaat untuk tujuan ilmu sejarah, yakni bagaimana

datangnya orang Jawa ke Sumatera Utara, dan bagaimana proses perkembangan kesenian jaran kepang yang turut bersama-sama mereka pertahankan, seperti halnya mempertahankan kehidupan dan keberlangsungan generasi mereka di kawasan barunya.

1.5 Konsep dan Teori yang Digunakan 1.5.1 Konsep yang Digunakan

Konsep yang akan diuraikan pada subbab ini adalah yang terkait dengan judul penelitian, yaitu: Musik dan Pertunjukan Jaran Kepang Kelompok Brawijaya di Binjai Tulisan ini pada dasarnya diuraikan secara deskriptif dan analisis. Maka perlu dikemukakan pengertian deskripsi, kajian atau analisis . Lebih jauh tulisan ini akan didukung oleh konsep: struktur musik, dan pertunjukan. Khusus tentang konsep jaran kepang dan Brawijaya akan dibahas secara khusus pada Bab III.

Konsep merupakan suatu definisi secara singkat dari kelompok fakta atau gejala (Mely Tan dalam Koentjaraningrat 1991:21). Konsep ini dalam rangka penelitian etnomusikologi boleh diambil dari kamus, para ahli di bidangnya maupun dari masyarakat yang kita teliti. Dalam konteks tulisan ini, konsep yang digunakan mencakup yang dikemukakan oleh para ahli maupun menurut para informan kunci dalam penelitian ini.

Yang dimaksud dengan deskripsi adalah unsur serapan dari bahasa Inggris description, adalah termasuk kepada kata benda abstrak yang artinya adalah gambaran,


(29)

atau lukisan. Misalnya kata-kata beyond description artinya tak terlukiskan. Kemudian kata-kata to answer to description artinya sesuai dengan yang digambarkan (Echols dan Hasan Shadily 1978:175). Kata deskripsi ini ditujukan untuk menggambarkan kebudayaan suku Jawa, sejarah masuknya mereka ke Sumatera Timur, dan juga deskripsi keberadaan jaran kepang kelompok Brawijaya dalam masyarakat.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991:496) kata analisis diartikan sebagai penyelidikan atau penguraian terhadap suatu masalah untuk mengetahui keadaan yang sebenar-benarnya serta proses pemecahan masalah yang dimulai dengan dugaan akan sebenarnya.

Kata yang sepadan dengan analisis, yang memang berasal dari bahasa Indonesia, dan bukan unsur serapan, adalah kajian. Kata ini menjadi pilihan untuk tajuk skripsi penulis. Yang dimaksud dengan kajian adalah pemeriksaan atau penguraian yang teliti (Kamus Besar Bahasa Indonesia 1991:24).

Jadi analisis yang dimaksud dalam tulisan ini adalah suatu proses pengamatan untuk mengetahui struktur musik dan pertunjukan jaran kepang Brawijaya dengan cara melihat langsung pertunjukan mereka, ketika grup tersebut sedang ditanggap ataupun melalui wawancara dengan para pemain jaran kepang, atau dengan penonoton dan dengan orang-orang lain yang mempunyai pemahaman tentang jaran kepang. Kemudian menguraikannya secara mendalam berdasarkan fakta-fakta yang ada serta menarik kesimpulaan dari kajian atau analisis dimaksud.

Stuktur musik dapat dikonsepkan sebagai bagian-bagian suatu komposisi musik yang terintegrasi menjadi satu bentuk yang estetik (lihat Kamus Besar Bahasa Indonesis 1998). Struktur musik yang penulis maksudkan di sini adalah mencakup aspek melodi dan ritme. Kedua masalah pokok ini didukung oleh tangga nada, nada dasar, wilayah


(30)

nada, persebaran nada-nada, interval, pola-pola kadensa, kontur, dan lainnya (Malm 1997).

Menurut Murgianto, seni pertunjukan atau pertunjukan budaya merupakan tontonan bernilai seni drama, tari, dan musik yang disajikan sebagai pertunjukan di depan penonton (Murgianto 1996:156). Seni pertunjukan merupakan sesuatu yang berlaku dalam waktu, dengan maksud peristiwa ini memiliki arti hanya pada saat pengungkapan seni itu berlangsung. Sementara hakikat seni pertunjukan adalah gerak, perubahan keadaan dengan substansi terletak pada imajinasi serta prosesnya sekaligus, dengan daya rangkum sebagai sarana, cengkeraman rasa sebagai tujuan seninya dan keterampilan teknis sebagai bahan. Ada beberapa pembagian seni pertunjukan yaitu:

1. Seni pertunjukan yang memiliki kegunaan sebagai tontonan, dimana ada

pemisah yang jelas antara penyaji dan penonton.

2. Seni pertunjukan dengan kegunaan sebagai pengalaman bersama, dimana

antara penyaji dan penonton saling berhubungan (Sedyawaty 1981:58-60). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ( 1990 ; 459-460 ) kata Jaran berarti kuda. Sedangkan kata Kepang berarti jalinan ( ayaman ) , tali ( rambut ) ( hal 546 ). Dalam tulisan ini kata jaran kepang bisa mengartikan dua hal yaitu : salah satu bentuk kesenian jawa yang menggunakan musik dan ilmu gaib dalam pertunjukannya dan yang berikutnya adalah kuda-kudaan atau benda yang bentuknya menyerupai kuda dibentuk sedemikian rupa dari bahan bambu atau plastik dan dipergunakan dalam pertunjukan jaran kepang.

Dari uraian di atas dapat diartikan bahwa yang dimaksud dengan Kajian Struktur Musik dan Pertunjukan Jaran Kepang Kelompok Brawijaya di Binjai, adalah suatu kajian tentang suatu seni pertunjukan jaran kepang yang saat ini tetap bertahan. Dalam


(31)

pertunjukan menambah alat musik serta bentuk kesenian yang lain, yang merupakan gagasan kreatif dari para pelaku jaran kepang. Berdasar stratifikasi sosial mereka berada pada kelas ekonomi menengah ke bawah. Walau tingkat pendidikan yang tidak tinggi. mereka bisa mempunyai gagasan agar jaran kepang tetap bertahan dan tentunya tetap diminati oleh masyarakat.

1.5.2 Teori yang Digunakan

Teori dalam pembahasan ini digunakan sebagai landasan kerangka berpikir dalam membahas permasalahan. Penulis menggunakan dua teori utama untuk mengkaji dua pokok permasalahan. Untuk mengkaji pertunjukan jaran kepang, dari mulai proses persiapan, sampai pertunjukan, dan akhir pertunjukan, penulis menggunakan teori semiotika pertunjukan. Untuk mengkaji struktur musik (khususnya melodi dan ritme) yang digunakan dalam mengiringi pertunjukan jaran kepang digunakan teori weighted scale (bobot tangga nada). Untuk mendeskripsikan struktur musik seperti instrumentasi atau alat-alat musik yang digunakan dalam pertunjukan digunakan sistem klasifikasi Sachs dan Hornbostel serta etnoklasifikasi. Untuk menganalisis unsur-unsur pertunjukan digunakan metode dekripsi pertunjukan oleh Milton Singer.

Teori semiotika pertunjukan. Pendekatan seni salah satunya mengambil teori semiotika dalam usaha untuk memahami bagaimana makna diciptakan dan dikomunikasikan melalui sistem simbol yang membangun sebuah peristiwa seni. Dua tokoh perintis semiotika adalah Ferdinand de Saussure seorang ahli bahasa dari Swiss dan Charles Sanders Pierce, seorang filosof dari Amerika Serikat. Saussure melihat bahasa sebagai sistem yang membuat lambang bahasa itu terdiri dari sebuah imaji bunyi


(32)

(sound image) atau signifier yang berhubungan dengan konsep (signified). Setiap bahasa mempunyai lambang bunyi tersendiri.

Dengan mengikuti pendekatan semiotika, maka dua pakar pertunjukan budaya, Tadeuz Kowzan dan Patrice Pavis dari Perancis, mengaplikasikannya dalam pertunjukan. Kowzan menawarkan 13 sistem lambang dari sebuah pertunjukan teater--8 berkaitan langsung dengan pemain dan 5 berada di luarnya. Ketiga belas lambang itu adalah:

(1) kata-kata,

(2) nada bicara,

(3) mimik,

(4) gestur,

(5) gerak,

(6) make-up,

(7) gaya rambut,

(8) kostum,

(9) properti,

(10) setting,

(11) lighting,

(12) musik, dan

(13) efek suara.

Ketiga belas unsur pertunjukan ini akan penulis gunakan untuk menganalisis pertunjukan jaran kepang Brawijaya di kawasan Binjai dalam berbagai kegunaan dan fungsi sosialnya. Khusus untuk unsur kedua belas, yaitu musik, akan dianalisis strukturnya secara rinci dan mendalam pada Bab V, dengan menggunakan teori weighted scale.


(33)

Teori weighted scale. Teori weighted scale adalah sebuah teori yang mengkaji keberadaan melodi berdasarkan kepada delapan unsurnya. teori ini dikemukakan oleh William P. Malm (1977:15). Kedelapan unsur melodi itu menurut Malm adalah:

(1) tangga nada;

(2) nada pusat atau nada dasar; (3) wilayah nada [ambitus]; (4) jumlah nada;

(5) penggunaan interval; (6) pola kadensa;

(7) formula melodi; dan (8) kontur.

Teori ini dipergunakan untuk menganalisis melodi lagu yang dipergunakan dalam pertunjukan jaran kepang Brawijaya, tentunya dengan melihat beberapa kali pertunjukan jaran kepang Brawijaya kemudian mencatat lagu-lagu yang sering dimainkan dalam pertunjukan , mencatat pada saat kapan saja lagu tersebut dimainkan, kemudian merekam lagu-lagu yang sering dimainkan.

Kedua teori di atas akan dibantu oleh beberapa cara atau kaidah dalam menganalisis pertunjukan budaya. Milton Siger pernah mengeluarkan pendapatnya yang bisa dipergunakan untuk menganalisis seni pertunjukan. Bahwa seni pertunjukan memiliki ciri-ciri sebagai berikut.

1. waktu pertunjukan yang terbatas,


(34)

3. acara kegiatan yang terorganisir,

4. sekelompok pemain,

5. sekelompok penonton,

6. tempat pertunjukan, dan

7. kesempatan untuk mempertunjukkan. ( dalam Sal Murgiyanto 1996:164-165)

Ditambah lagi dengan pendapat Edi Setiawati yang mengatakan analisis pertunjukan sebaiknya selalu dikaitkan dengan kondisi lingkungan di mana seni pertunjukan tersebut dilaksanakan atau di dukung masyarakatnya, pergeseran-pergeseran yang terdapat di dalam pertunjukan dan kemungkinan yang muncul dari interaksi setiap orang (penyaji dan penyaji), (penyaji dan penonton) diantara variable-vriabel wilayah yang berbeda (1981: 48-66).

Qureshi juga pernah mengeluarkan pendapatnya tentang menganalisis pertunjukan yang mana dalam proses pertunjukan aspek yang mendasar terdiri dari ketegasan perilaku dari semua partisipan, musisi dan penonton, yang semua bersama-sama berinteraksi dalam pertunjukan (1988:135-136).

Lebih lanjut Maran (2005) mengatakan, tidak ada kebudayaan yang bersifat statis, setiap individu dan setiap generasi melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan semua desain kehidupan sesuai kepribadian mereka dan sesuai dengan tuntutan zaman. Begitu pulalah dengan pertunjukan jaran kepang yang menambahkan alat musik serta bentuk kesenian yang lainnya karena penyesuaian dengan zaman.

Teori dan kaidah seperti terurai di atas digunakan dalam penelitian ini, dalam rangka mendapat jawaban pokok permasalahan yang telah ditentukan pada bagian pokok permasalahan tulisan ini.


(35)

1.7 Metode Penelitian

Metode di sini diartikan sebagai suatu cara atau teknis yang dilakukan dalam proses penelitian. Sedangkan penelitian diartikan sebagai upaya dalam bidang ilmu pengetahuan yang dijalankan untuk memperoleh fakta-fakta dan prinsip-prinsip dengan sabar dan hati-hati serta sistematis untuk mewujudkan kebenaran (Mardalis 2003:24).

Metode penelitian yang penulis gunakan adalah metode penelitian kualitatif. Menurut Nawawi dan Martini (1995:209) penelitian kualitatif adalah rangkaian atau proses menjaring data (informasi) yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam kondisi aspek atau bidang kehidupan tertentu pada objeknya. Selanjutnya Moleong juga menambahkan bahwa penelitian kualitatif dibagi dalam empat tahap, yaitu: tahap sebelum ke lapangan (pra lapangan), tahap kerja lapangan, analisis data dan penulisan laporan.

Dalam penelitian ini penulis juga menggunakan metode deskriptif yang bersifat kualitatif. Menurut Koentjaraningrat (1990:29) mengatakan bahwa penelitian yang bersifat deskriptif adalah bertujuan untuk memaparkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu untuk menentukan frekuensi atau penyebaran dari suatu gejala ke gejala lain dalam suatu masyarakat.

1.8 Pemilihan Lokasi Penelitian

Adapun yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah grup jaran kepang yang bernama Brawijaya. Alasannya karena grup ini yang banyak membuat perubahan dalam pertunjukan Jaran Kepang seperti yang penulis kemukakan sebelumnya. Disamping itu dengan keseluruhan anggota grup Jaran kepang penulis telah membina hubungan yang


(36)

baik sehingga memudahkan dalam berinteraksi dengan mereka untuk mencari data-data yang perlu.

Agar nantinya data-data yang ditulis banyak untuk sebagai perbandingan maka penulis mengambil data dari grup jaran kepang yang lain seperti yang semua berada di Kota Binjai karena jumlah keseluruhan grup jaran kepang yang ada di kota Binjai termasuk Brawijaya sebanyak dua belas grup.

Dalam hal lokasi penelitian, penulis menetapkan di kota Binjai . Kota Binjai dipilih karena penulis adalah penduduk di kota Binjai sehingga memudahkan dalam melakukan kerja lapangan. Walaupun masyarakat Kota Binjai tidak mayoritas suku Jawa sebab masyarakat yang bertempat tinggal di Kota Binjai beragam sukunya. Walaupun demikian pertunjukan Jaran Kepang masih tetap ada dan ini ditunjukkan bahwa di kota Binjai menurut hasil kerja lapangan penulis ada dua belas grup yang tersebar di kota Binjai.

1.9 Pemilihan Informan

Dalam pemilihan informan penulis pertama-tama mencari tahu keberadaan jaran kepang di Kota Binjai. Hal ini dilakukan dengan mengunjungi beberapa daerah di Kota Binjai dan bertanya kepada masyarakat yang ada di daerah tersebut. Dan biasanya setelah bertemu dengan pemimpin jaran kepang merekalah yang kemudian memberitahu siapa yang lebih banyak mengetahui tentang jaran kepang dalam grup Brawijaya kebetulan yang menjadi pemimpin Jaran Kepang yaitu pak Trisno juga yang paling banyak mengetahui tentang Jaran Kepang dibandingkan anggota lainnya. Walaupun demikian penulis banyak menggunakan data-data yang di dapat dari informan yang lainnya dengan tujuan untuk mendapatkan keterangan yang lebih lengkap.


(37)

1.10 Kerja Lapangan

Dalam kerja lapangan penulis melakukan wawancara untuk mendapatkan informasi yang akurat tentang tulisan ini. Sebelum melakukan wawancara terlebih dahulu penulis menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan di dalam melakukan wawancara, yaitu: menyusun pertanyaan, mempersiapkan alat-alat tulis, menyediakan alat perekam untuk merekam wawacara penulis dengan informan.

Selain itu penulis juga mengikuti dan menyaksikan ketika grup Brawijaya melakukan pertunjukan serta merekam, memfoto serta mengambil data-data yang diperlukan dalam penelitian.

1.11 Studi Kepustakaan

Sebagai landasan penulis dalam melakukan penelitian, sebelum melakukan kerja lapangan penulis terlebih dahulu melakukan studi kepustakaan, baik dari artikel, skripsi, buku-buku yang yang berkaitan dengan objek penelitian. Studi ini bertujuan untuk memperoleh konsep-konsep serta teori-teori yang relevan untuk membahas permasalahan dalam tulisan ini.

Dalam studi kepustakaan ini, penulis mencari dan membaca buku-buku yang berkaitan dengan topik penelitian ini. Di antara bidang ilmu yang dikandungi buku-buku yang penulis baca adalah bidang etnomusikologi, antropologi, kajian seni pertunjukan, budaya Jawa dan Nusantara secara umum, sosiologi seni, mengenai trance, tema-tema adaptasi dan migrasi, perkebunan, koeli kontrak, dan lain-lain. Isi buku-buku yang relevan penulis kutip menurut kaidah tulisan ilmiah.


(38)

Untuk memperjelas arah penelitian, dan mengeksplorasi hal-hal yang perlu dikaji, maka di bawah ini akan diuraikan secara ringkas alangkah baiknya di sini diuraikan secara ringkas penelitian yang dituang dalam bentuk tulisan-tulisan yang telah dilakukan oleh peneliti terdahulu. Di antaranya adalah seperti diuraikan berikut ini.

Seorang peneliti yang berlatarbelakang etnomusikologi, yaitu Margareth J. Kartomi dari Australia, menulis sebuah buku mengenai jaran kepang yang bertajuk Music and Trance in Central Java (1973). Dalam tulisannya ini beliau mengemukakan tentang hubungan musik dan trance yang terjadi dalam praktik pertunjukan jaran kepang. Salah satu deskripsi tulisannya adalah mengenai ebeg (jaran kepang) di daerah Banyumas. Ia menjelaskan bahwa musik gamelan dapat menjadi dasar terciptanya kesurupan pada pertunjukan jaran kepang di daerah penelitiannya tersebut. Melalui tulisannya itu, Margareth Kartomi juga. Mendeskripsikan keberadaan alat-alat musik yang dipergunakan dalam pertunjukan jaran kepang, yaitu gong, saron (peking), (saron) demung, dan kendhang. Secara dasar, tulisan ini mendeskripsikan aspek kesurupan yang terjadi karena komunikasi antara dunia manusia dengan alam gaib, yang dibantu oleh bunyi-bunyian dari alat musik gamalen Jawa. Musik berperan penting dalam trance.

Masih tentang jaran kepang di daerah Jawa, seorang penulis setempat yang bernama Soekarno (1983) menulis sebuah buku yang bertajuk Pertunjukan Kuda Lumping di Jawa Tengah. Dari hasil pengamatan dan penelitiannya ia menjelaskan bahwa pertunjukan jaran kepang digunakan untuk upacara bersih desa, untuk menghalau. roh-roh jahat yang menyebabkan penyakit dan malapetaka lainnya. Upacara semacam ini sangat umum dilakukan di kawasan budaya Jawa. Bahkan setiap keluarga di Jawa juga dapat mengadakan upacara menolak bala yang disebut dengan ruwaran.

Di kawasan Nusantara lainnya, tepatnya di Negara Malaysia, seorang penulisnya yaitu Nasuruddin (1990), menulis tentang jaran kepang di Malaysia, khususnya wilayah


(39)

perantauan Jawa, yaitu Johor dan Shah Alam. Nasuruddin juga mengkaitkannya dengan jaran kepang di Pulau Jawa sebagai daerah asal-usulmya pertunjukan jaran kepang di Semenanjung Malaysia. Ia juga menjelaskan bahwa jaran lepang dibuat di Jawa sebagai bentuk penyembahan ritual yang terjadi pada masa animisme. Islam juga turut mengembangkan ajarannya melalui seni-seni pertunjukan seperti halnya jaran kepang ini. Di dalam pertunjukannya biasa menggunakan makna-makna metaforik.

Untuk kajian mengenai jaran kepang di Sumatera Utara, seorang penulis insider, yaitu Heristina Dewi (1992) dalam rangka menyelesaikan studi sarjana seninya di Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara, meneliti keberadaan jaran kepang di salah satu desa di Sumatera Utara, dengan tajuk Jaran Kepang pada Masyarakat Desa Cengkeh Turi, Binjai, Sumatera Utara: Suatu Studi Kasus Musik Dan Trance Dalam Konteks Sosio-Budaya. Dalam skripsi ini, Heristina Dewi mendeskripsikan pertunjukan jaran kepang di daerah pedesaan dan sekaligus perkebunan, sebagai kawasan umum orang-orang Jawa di Sumatera Utara. Selanjutnya beliau menganalisis hubungan musik dengan peristiwa kesurupan (trance). Tulisan ini menjadi acuan utama penulis dalam melakukan penelitian ini. Adapun alasannya adalah kawasan yang diteliti adalah relatif sama, yaitu masyarakat Jawa di Binjai, Sumatera Utara, dan fenomenanya juga hampir sama. Yang membedakannya dengan penelitian yang penulis lakukan adalah kelompok jaran kepangnya dan selain itu adalah fenomena seperti masuknya sintren dalam kelompok yang penulis teliti. Selain itu karena rentang waktu antara Heristina Dewi melakukan penelitian dan kajian yaitu tahun 1992 dengan penulis tahun 2010, yaitu 18 tahun, maka tentu saja sudah banyak perkembangan- perkembangan baru dalam pertunjukan jaran kepang ini. Untuk itulah dilakukan penelitian ini.


(40)

Tulisan berikutnya yang ada di sumatera utara adalah Syarbaini. Tulisan yang dibuatnyadalam rangka meraih gelar sarjana di Universitas Sumatera Utara Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Jurusan Sosiologi, dengan judul “ Fungsi Humor Sebagai Rite Dalam Kuda Kepang “. Di dalam tulisan tersebut Syarbaini lebih menitikberatkan kajiannya pada humor yang ada dalam pertunjukan Jaran kepang.

1.12 Kerja Laboratorium

Seluruh data yang diperoleh penulis dari lapangan dan studi kepustakaan, diproses didalam kerja laboratorium. Proses analisa data penelitian di mulai dengan menelaah keseluruhan data yang diperoleh. Analisa data dilakukan mulai awal penelitian dan berlangsung sampai pada saat proses penulisan laporan penelitian. Keterangan yang didapat dari informan dicocokkan dengan kejadian yang ada di lapangan dengan mengikuti pertunjukan grup Brawijaya. Selain itu penulis juga berkunjung ke salah satu anggota grup brawijaya tujuannya agar mencari keterangan yang lebih banyak lagi serta membina hubungan yang lebih dekat agar memudahkan proses penelitian.


(41)

BAB II

GAMBARAN UMUM MASYARAKAT JAWA DALAM WILAYAH BINJAI

YANG MENDUKUNG KEBERADAAN JARAN KEPANG

2.1 Daerah Kebudayaan Jawa

Masyarakat Jawa adalah suku yang terbesar jumlahnya di Indonesia. Hampir setengah dari sekitar 240 juta jiwa penduduk Indonesia merupakan suku Jawa. Wilayah kebudayaan mereka adalah di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Namun pada masa sekarang ini, orang-orang Jawa menetap di berbagai kawasan di seluruh pulau di Indonesia, bahkan sampai ke Malaysia. Begitu juga penyebarannya sampai ke Afrika Selatan, Suriname, dan Madagaskar.

Di Indonesia sendiri selain di Pulau Jawa, suku Jawa ini tersebar ke berbagai kawasan, dengan tujuan meningkatkan taraf hidup melalui transmigrasi yang dilakukan sejak zaman belanda sampai sekarang. Di antara kawasan-kawasan yang menjadi tempat tinggal baru suku Jawa adalah Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi lampung, Provinsi Bengkulu, Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Bangka Belitung, Propinsi Kalimantan Selatan, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Kalimantan Tengah, Provinsi Papua Barat, Provinsi Riau, Provinsi Sumatera Utara, dan lain-lainnya. Di antara provinsi yang suku Jawanya berjumlah menonjol adalah Provinsi Sumatera Utara.

Seperti sudah dijelaskan pada Bab I, bahwa Sumatera Utara (dahulu Sumatera Timur) adalah sebuah provinsi yang mayoritas dihuni oleh suku Jawa sebagai suku pendatang. Mereka selain bermigrasi atau transmigrasi juga membawa kesenian-keseniannya. Di antara kesenian itu yang paling menonjol adalah eksistensi jaran kepang. Kesenian ini dijumpai merata hampir di sebahagian besar desa-desa yang


(42)

mayoritas dihuni oleh suku Jawa di Sumatera Utara. Termasuk suku Jawa yang ada di kota Binjai. Seperti di desa yang menjadi tempat penelitian penulis ini. Kesemua faktor tersebut di atas menjadi bahagian yang tidak terpisahkan dari kesenian jaran kepang di wilayah ini. Untuk itu perlu dideskripsikan tentang gambaran umum masyarakat Jawa dalam konteks wilayah Sumatera Utara, khususnya Binjai yang mendukung keberadaan seni jaran kepang ini.

Daerah kebudayaan Jawa dapat dikatakan sangat luas, yang meliputi bagian tengah dan timur Pulau Jawa. Walaupun demikian, ada daerah-daerah yang secara kolektif sering disebut daerah Kejawen. Sebelum ada perubahan status wilayah seperti sekarang ini, daerah itu meliputi Banyumas Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang, dan Kediri. Daerah di luar tersebut dinamakan daerah pesisir dan ujung timur.

Kebudayaan Jawa semula berpusat di Surakarta, tetapi dengan terjadinya Perjanjian Giyanti 1755, antara raja Surakarta dan Yogyakarta, pusat kebudayaan Jawa juga terdapat di Yogyakarta. Di berbagai daerah tempat kediaman orang Jawa terdapat variasi dan perbedaan-perbedaan yang bersifat lokal dalam beberapa unsur kebudayaan, seperti perbedaan mengenai berbagai istilah teknis, dialek, bahasa, dan lain sebagainya. Namun kalau diteliti lebih jauh hal-hal itu masih merupakan suatu pola atau satu sistem dalam satu kebudayaan Jawa.

Agama yang dianut mayoritas, penduduknya adalah agama Islam, kemudian agama Kristen Katolik, Protestan, Hindu, dan Budha. Orang santri adalah mereka yang secara patuh dan teratur menjalankan ajaran-ajaran Islam. Sedangkan orang Islam Kejawen biasanya tidak menjalankan shalat, puasa, dan tidak bercita-cita naik haji, tetapi mereka mengakui ajaran-ajaran agama Islam pada umumnya. Orang Jawa mempunyai kepercayaan adanya suatu kekuatan yang melebihi segala kekuatan di mana saja yang


(43)

pernah mereka kenal, yakni kesakten, kemudian arwah atau roh leluhur dan mahluk-makhluk halus seperti memedi, lelembut, tuyul, demit, jin, dan lain sebagainya. Mahluk-mahluk tersebut bertempat tinggal di sekitar kediaman mereka. Menurut kepercayaan masing-masing mahluk-mahluk tersebut dapat mendatangkan kebahagiaan, ketentraman, dan keselamatan--tetapi juga dapat menimbulkan gangguan pemikiran, kesehatan bahkan dapat menyebabkan kematian. Bila seseorang ingin hidup tanpa menderita ganguan, ia harus berbuat sesuatu untuk mernpengaruhi alam semesta dengan berprihatin, berpuasa, berpantang melakukan perbuatan serta makan-makanan tertentu, berselamatan, dan bersaji. Kedua cara terakhir ini kerap kali dijalankan oleh masyarakat Jawa di desa-desa pada waktu tertentu dalam peristiwa kehidupan sehari-hari. Selama masa penelitian kedua cara ini pernah penulis sendiri saksikan. Cara pertama yaitu berselamatan atau selamatan. Dalam cara ini banyak yang mengundang jaran kepang untuk memeriahkan dan lebih memantapkan keinginan mereka agar tercapai. Peristiwa yang pernah penulis saksikan sendiri adalah ketikaada seorang kakek yang cucunya sakit selama berbulan-bulan kemudian dia berjanji jika nanti cucunya sembuh maka akan mengadakan selamatan dengan mengundang orang-orang di sekitar kampung untuk makan dan mengundang grup jaran kepang. Peristiwa ini terjadi di desa selesai kabupaten langkat. Selain peristiwa itu penulis juga pernah melihat ketika pertunjukan grup kuda kepang yang lain sedang mengamen di tengah-tengah pertunjukannya ada seorang ibu yang meminta anaknya disembuhkan karena sudah hampir seminggu badan anaknya panas ketika itu ada seorang anak wayang yang sedang trance dan kemudian memanggil ibu itu sambil mengendong bayinya, tentunya hal ini terjadi setelah ada komunikasi antara pawang dengan anak wayang yang sedang trance tersebut. Setelah mendekat si anak wayang tersebut memegang badan si anak kecil kemudian meminta segelas air putih , dengan membaca mantra-mantra tertentu maka dia menyuruh ibunya untuk meminum


(44)

air di dalam gelas tersebut. Setelah itu maka selesailah acara pengobatan tersebut. Selain itu ada juga acara selamatan ketika ada sebuah grup kuda kepang yang baru membentuk grup yang baru. Ketika itu ada grup sebelumnya yang sudah bubar karena perselisihan anggota kemudian ada salah satu pemimpin di kelompok itu masih berkeinginan untuk membentuk grup kuda kepang yang baru, karena keterbatasan dana maka ia membeli alat gamelan yang bekas dari grup kuda kepang yang lain. Pada saat membeli alat-alat gamelan itu Pak Surat sudah diberitahu untuk melakukan beberapa hal agar endang yang telah ada di gamelan itu tidak mengganggunya tetapi pak Surat tidak melakukan hal tersebut dan akhirnya ia sakit sampai beberapa hari. Awalnya dia mengetahui penyebab kenapa dia sakit sampai suatu malam ia bermimpi dan endang yang di gamelan itu menemuinya dan mengatakan kalau dia tidak melakukan hal yang seharusnya dilakukannya yaitu membuat sesaji kepada endang itu. Setelah mengetahui penyebab sakitnya pak Surat memutuskan untuk melakukan selamatan agar endang dalam gamelan itu tenang dan sekaligus persemian nama baru grup kuda kepang yang dibentuknya. Dalam selamatan itu pak Surat mengatakan harus menyediakan nasi urap dan bubur merah putih kalau tidak ada maka selamatan itu tidak baik menurut tradisi yang dianutnya. Selamatan juga terjadi ketika akan mulai bulan puasa. Menurut keterangan Pak Trisno sebelum memasuki bulan puasa grupnya akan melakukan pertujukan penutupan. Artinya adalah agar endang yang ada di gamelan, jaran kepang , anak wayang dan seluruh peralatan grup kuda kepang agar tenang selama bulan puasa, ditambah lagi oleh pak Trisno kalau dalam selamatan itu harus ada nasi urap dan bubur merah putih dan sebelum melakukan pertunjukan maka mereka harus makan bersama terlebih dahulu.

Cara kedua yaitu bersaji. Cara ini ketika tahun baru agama Islam. Pada waktu ini biasanya para pemain kuda kepang akan melakukan upacara selamatan sekaligus bersaji sebagai ungkapan terima kasih kepada Tuhan dan pembersihan diri agar terhindar dari


(45)

mara bahaya. Penulis pernah melihat salah satu pawang kuda kepang yag bernama pak Legi melakukan upacara bersaji ketika tahun baru Islam. Pak legi melakukan pembersihan barang-barang keramatnya dengan membakar kemenyan dan menyiapkan sebaskom air yang sudah dicampur dengan air jeruk purut untuk mencuci alat-alat pusaka yang dimilikinya. Menurut pak Legi sehari sebelum melakukan pembersihan alat pusaka miliknya itu maka harus berpuasa terlebih dahulu agar doa-doa dan keinginannya tercapai dan terhindar dari mara bahaya. Sedang kan bagi grup jaran kepang mereka akan melakukan pertunjukan tanpa ada yang mengundang dengan tujuan pembersihan diri serta ucapan syujur kepada tuhan karena sampai saat itu mereka tetap bermain kuda kepang. Dalam acara ini biasaanya didahului dengan acara makan bersama dengan menu nasi urap dan bubur merah putih setelah itu maka dilakukan pembersihan alat-alat kuda kepang dengan mencucinya menggunakan air yang telah dicampur dengan minyak wangi cap ikan duyung dan jeruk purut.

Orang Jawa meskipun pada umumnya diketahui sebagai penghuni daerah agraris, mereka sejak zaman dahulu melakukan perpindahan dalam berbagai bentuk seperti perdagangan, pendudukan kerajaan-kerajaan Jawa, migrasi secara spontan, dan sebagainya. Sebagai pedagang, umpamanya, mereka terkenal bergerak antar pulau-pulau di Nusantara, terutama membawa beras dan tekstil (Sartono Kartodirdjo 1988:10). Kerajaan-kerajaan yang muncul di pulau Sumatera di antaranya banyak yang silsilah raja-raja atau golongan bangsawannya merupakan keturunan orang-orang Jawa atau yang menjalin hubungan perkawinan dengan pihak Kerajaan Jawa. Begitu juga Kerajaan Malaka. Kampung Jawa di sana-sini dibangun sejak zaman dahulu, seperti di Daerah Deli terdapat pemukiman orang Jawa kira-kira 500 orang yang disebut Kota Jawa (Luckman Sinar 1985:6), dan daerah Asahan sekitar Pasir Putih dikatakan sebagai pemukiman orang Jawa beberapa abad sebelum kunjungan John Anderson


(46)

(Anderson 1971:136). Di Semenanjung Malaya juga terdapat sejumlah migran orang Jawa yang kini sudah turun-temurun dan menetap di situ.

Di samping itu, perpindahan orang Jawa secara besar-besaran dan mencolok dalam sejarah Indonesia adalah yang didatangkan oleh pihak perkebunan sebagai tenaga kerja di Sumatera Timur. Sejak tahun 1880, dengan menggantikan kuli orang Tionghoa mereka mulai dibawa ke Sumatera Timur dan setelah tahun 1910 kedatangan mereka bertambah banyak. Mereka awalnya terikat dengan sebuah kontrak dengan disertai peraturan-peraturan tentang hukuman atas mereka yang disebut Penale Sanctie. Namun demikian, sejak tahun 1911 dengan tiba-tiba kontrak kerja tersebut didasarkan pada kontrak yang merugikan para buruh (Reid 1987:82-83).

Pada masa kini, perpindahan orang Jawa dilaksanakan dalam rangka kebijakan transmigrasi yang disponsori oleh pemerintah. Transmigrasi ini dilakukan karena alasan pemerataan penduduk dan padatnya penduduk di pulau Jawa, kekurangan lahan pertanian, dan kemiskinan di pedesaan Jawa pada umumnya. Orang Jawa pada hakekatnya mempunyai watak yang senantiasa berusaha menyesuaikan diri dengan orang di lingkungannya, dan mementingkan keharmonisan. Meskipun orang-orang Jawa yang lahir di Sumatera sering disebut Pujakesuma, watak dan kebiasaan yang berdasarkan budaya mereka sendiri tetap disampaikan daripada orang tuanya. Mereka mengatasi ego dan nafsu demi ketenangan hidup dan kebijaksanaan, dan sukarela bekerja untuk umum dengan cara gotong-royong. Para migran orang Jawa yang umumnya terdiri dari petani kecil hidup sederhana, dan menerima kesengsaraan dengan menganggap hidupnya memang begitu. Namun tak lupa mempertahankan nama dan harga dirinya (Sadarmo dan R. Suyono 1985:2).


(47)

Orang-orang Jawa memiliki sistem kekerabatan, yang disebut bebrayat. Menurut informasi Bapak Subanindyo Hadiluwih, seorang tokoh masyarakat Jawa di Sumatera Utara, bebrayat berasal dari kata brayat yang berarti keluarga--mendapat suku kata awalan (prefik) be. Dalam budaya Jawa brayat berarti sistem bekeluarga dalam arti luas, yaitu keluarga inti, batih, atau keluarga budaya. Sistem kekerabatan ini dilandasi oleh sikap bergotong-royong, dengan konsep sepi ing pamrih, rame ing gawe, artinya tidak mengharapkan balasan pamrih, dan mengutamakan kerja bersama-sama. Dengan menggunakan sistem ini, mereka meyakini bahwa semua manusia adalah keluarga, namun dalam penjabaran tanggung jawab selalu dikonsepkan dengan paseduluran: sedulur tunggal kringkel merupakan saudara lahir daripada ibu dan ayah yang sama; sedulur kuwalon yaitu saudara lain ayah tetapi ibunya sama, atau sebaliknya saudara lain ibu namun ayahnya sama, dan saudara tiri; sedulur misanan merupakan saudara satu nenek atau satu kakek, yang mencakup kandung atau tiri; sedulur mindoan adalah saudara satu buyut (orang atau kakek atau nenek) berlaku baik untuk saudara kandung atau tiri, sedulur mentelu yaitu saudara satu canggah (buyutnya ayah dan ibu) baik saudara kandung atau tiri; bala yaitu yang menurut anggapan mereka masih saudara, namun dari silsilah sudah tidak terlacak kedudukannya, dan disebabkan oleh interaksi mereka, karena kebutuhan yang erat, misalnya jenis pekerjaan sama, sering berkomunikasi, dan sejenisnya; tangga yang konsepnya tidak terbatas pada letak rumah yang berdekatan saja, tetapi dalam

kepentingan tertentu mereka saling membutuhkan.2

      

2

Orang-orang Jawa yang ada di Sumatera Timur (Sumatera Utara sekarang), secara umum mengalami transformasi-transformasi budaya. Di satu sisi mereka ingin mempertahankan budaya leluhurnya yang berasal daripada pulau Jawa, di sisi lain mereka juga harus berinteraksi dengan berbagai etnik setempat dan pendatang lainnya di Sumatera Timur yang pesat perkembangan ekonominya. Orang-orang Jawa ini mata pencaharian utamanya secara umum adalah petani dengan menggarap lahan untuk perkebunan kelapa sawit, geta, koko atau juga kelapa. Di antara tokoh-tokoh masyarakat Jawa yang terkenal di Sumatera


(48)

Sistem kekerabatan masyarakat Jawa berdasarkan prinsip keturunan bilateral. Semua kakak laki-laki serta kakak perempuan ayah dan ibu, beserta istri dan suami mereka masing-masing diklasifikasikan menjadi satu, yaitu dengan istilah siwa atau uwa. Sedangkan adik-adik dari ayah dan ibu diklasifikasikan ke dalam dua golongan yang berbeda menurut jenis kelamin, yaitu paman bagi adik laki-laki dan bibi bagi adik perempuan.

Pada masyarakat berlaku adat-adat yang menentukan bahwa dua orang tidak boleh saling menikah apabila: saudara kandung, yaitu anak dari dua orang saudara sekandung laki-laki, pancer lanang, yaitu : pihak laki-laki lebih muda menurut ibunya dari pada pihak perempuan. Adapun perkawinan yang diperbolehkan adalah perkawinan antara dua orang yang tidak terikat karena hubungan-hubungan kekerabatan seperti tersebut diatas. Dalam perkawinan masyarakat Jawa dikenal beberapa istilah sebagai berikut: ngarang wulu, yaitu perkawinan seorang duda dengan seorang wanita salah satu adik dari almarhum istrinya, wayuh, yaitu perkawinan lebih dari seorang istri (poligami), kumpul kebo, yaitu laki-laki dan perempuan yang tinggal dalam satu rumah, sudah atau belum mempunyai anak dalam kurun waktu tertentu akan tetapi belum menikah. Hal ini merupakan suatu bentuk perkawinan yang menyimpang dari tradisi dan ajaran agama, pisah kebo, yaitu berpisahnya suami-istri tetapi tidak diikuti oleh perceraian secara resmi.

        Utara di antaranya adalah Drs. Kasim Siyo, M.Si., sebagai presiden Pujakesuma Sumatera Utara, kemudian Wagirin Arman seorang tokoh politik dan ahli parlemen di Kabupaten Deli Serang, Djati Oetomo, manejer radio Pasopati Medan yang menyiarkan khas budaya Jawa, Dr. Subanindyo Hadiluwih, S.H., seniman, dosen, dan penulis terkemuka mengenai kebudayaan Jawa di Sumatera Utara, dan banyak lagi yang lainnya. Di bidang kesenian, umumnya kebudayaan Melayu di kawasan ini paling banyak didukung oleh seniman beretnik Jawa ini, di samping seniman Melayu itu sendiri. Di antara seniman-seniman seni Melayu yang berasal daripada etnik Jawa adalah: Sirtoyono yang bergabung dengan kumpulan kesenian Patria, ia seniman serba boleh, pemusik, penari, koreografer, pelakon, dan penulis drama sekaligus. Seterusnya adalah Sumardi, sebagai pemain akordion Melayu yang handal. Di sisi lain ada pula Retno Ayumi, seorang penulis tari dan penari Melayu terkemuka di Sumatera Utara.


(49)

2.3 Upacara-upacara. 2.3.1 Selametan.

Selamatan adalah suatu upacara makan bersama yang telah dibagikan doa sebelum dibagi-bagikan. Selamatan itu tidak terpisah dari pandangan alam pikiran partisipasi tersebut di atas, dan erat hubungannya dengan kepercayaan kepada unsur-unsur kekuatan sakti maupun makhluk-makhluk halus tadi. Hampir semua selamatan ditujukan untuk memperoleh keselamatan hidup dengan tidak ada

gangguan-gangguan apapun. Hal itu juga terlihat pada nama upacara sendiri, yakni kata selamat. Upacara ini biasa dipimpin oleh modin, yakni salah seorang pegawai masjid yang antara lain berkewajiban mengumandangkan adzan. la dipanggil karena dianggap mahir membaca doa keselarnatan yang intinya berasal dari ayat-ayat Al Qur'an.

Upacara selamatan dapat digolongkan kedalam enam macam sesuai dengan peristiwa atau kejadian dalarn kehidupan manusia, sehari-hari yaitu: Selamatan dalam. rangka lingkaran hidup seseorang, seperti hamil tujuh bulan (mitoni), kelahiran, upacara potong rambut pertama, upacara menyentuh tanah untuk pertama kali (tedak siten), upacara menusuk telinga (tindik), sunat (khinatan), kematian, serta saat-saat setelah kematian. Selamatan yang bertalian dengan bersih desa, penggarapan tanah pertanian, dan setelah panen padi. Selarnatan yang berhubungan dengan hari-hari serta

bulan-bulan besar Islam. Selamatan pada saat-saat yang tidak tertentu berkenaan dengan kejadian-kejadian, seperti membuat perjalanan jauh, menempati rumah kediaman baru, menolak bahaya (ngruwat), janji kalau sembuh dari sakit (kaul), dan


(50)

lain-lain. Di antara keempat macam golongan upacara selamatan tadi, maka upacara selamatan dalam rangka lingkaran hidup seseorang, khususnya yang berhubungan dengan kematian serta sesudahnya, adalah suatu adat kebiasaan yang amat

diperhatikan dan kerap kali dilakukan di salah satu tempat dalam lingkungan istana (ratawijaya), secara terbuka. Oleh kalangan masyarakat orang Jawa, terutama yang datang dari kalangan pedesaan, air bekas siraman tersebut dapat membawa berkah. Sedangkan tokoh raksasa Batara Kala adalah raksasa yang mempunyai yang dapat mendatangkan bencana pada benda-benda ataupun manusia. Misalnya seorang anak tunggal (bocah ontang-anting) dianggap hidupnya senantiasa diancam oleh raksasa ini. Maka untuk menghidari bahaya tersebut, orang tua dari si anak mengadakan ruwatan, biasanya disertai dengan pertunjukan wayang kulit sehari semalam, dengan mengambil cerita sekitar tokoh raksasa Batara Kala.

Sejauh ini selama penelitian , kuda kepang diundang masyarakat yang melakukan selamatan ini, jadi dapat diperhatikan kalau jaran kepang sampai saat ini tetap hidup karena masyarakat jawa sendiri masih idup dengan adat istiadat dari leluhurnya.

2.3.2 Upacara Perkawinan Adat Jawa

Sebelum dilangsungkan upacara perkawinan, biasanya terdapat beberapa pendahuluan, di antaranya: Nakokake, yaitu ketika seorang pria ingin meminang kekasihnya harus menanyakan dahulu kepada orang tua (wali) si gadis apakah masih legan (belum ada yang meminang). Paningsetan, yaitu apabila sudah mendapat jawaban bahwa si gadis masih belum ada yang melamar, dan kehendaknya mempersunting tadi diterima, maka akan segera ditetapkan kapan diselenggarakan paningsetan, yaitu upacara pemberian harta benda kepada calon istri berupa sepotong kain dan kebaya, yang semua itu disebut pakaian sakpengadek. Kadang-kadang disertai cincin kawin, inilah yang


(51)

sekarang sering disebut pertunangan, yang berarti si gadis telah terikat untuk melangsungkan pemikahan atau wis dipacangke. Asok tukon, yaitu suatu tanda penyerahan harta kekayaan dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan secara simbolis. Hal ini biasanya dilakukan dua atau tiga hari sebelum upacara pernikahan dilangsungkan. Harta itu berupa sejumlah uang, bahan pangan, perkakas rumah tangga, ternak, dan sebagainya. Asok tukon juga disebut srakah atau sasrahan yang sebenarnya tidak lain berupa mas kawin. Sehari menjelang saat upacara pernikahan, pada pagi hari pihak anggota keluarga berkunjung ke makam para leluhumya untuk meminta doa restu. Sedangkan pada sore hari diadakan upacara selamatan berkahan yang dilanjutkan dengan leklekan (berjaga malam). Dalam hal ini para kerabat pengantin perempuan serta tetangga dekat dan kenal-kenalannya berada di rumahnya hingga larut malam bahkan sampai pagi hari. Malam ini disebut malam tirakatan atau malam midadareni. Karena pada malam itu bidadari turun dari kayangan memberi restu pada perkawinan tersebut. Setelah tiba hari perkawinan, pengantin laki-laki dengan diiringkan oleh orang tua atau walinya serta handai taulannya dan juga para tetangga atau sedukuh atau sedesa, pergi ke kelurahan desa untuk melaporkan kepada kaum, yaitu salah seorang perangkat desa yang bertugas mengurus pernikahan, talak, dan rujuk. Sesudah selesai menuju kantor urusan agama di kecamatan menghadap penghulu, yaitu salah seorang yang bertugas untuk melangsungkan ijab kabul atau akad nikah. Upacara disaksikan oleh wali kedua belah pihak.

Setelah pengantin laki-laki menyerahkan sejumlah uang sebagai tanda mas kawin hukum perkawinan Islam. Ijab kabul atau akad nikah dapat dilakukan di rumah pengantin wanita, yaitu dengan memanggil penghulu. Setelah upacara ini berakhir lalu dilakukan upacara pertemuan (temon) antara kedua mempelai yang akhimya dipersandingkan di atas pelaminan. Apabila mempelai laki-laki berkehendak membawa


(52)

istrinya, hal ini dapat dilaksanakan sesudah sepasar atau lima hari sesudah upacara perkawinan. Pemboyongan yang disertai pesta upacara lagi ditempat kediaman mempelai laki-laki ini disebut ngunduh temanten. Demikian sekilas struktrur masyarakat dan budaya Jawa, termasuk dalam bidang pengantin.

2.4 Kesenian

2.4.1 Reyog Ponorogo

Kapan pastinya reyog Ponorogo dilahirkan, sampai sekarang orang masih meraba-raba. Sudah semestinya kalau orang belum tahu juga bagaimana bentuk kesenian reyog tersebut ketika ia menampakkan diri pertama kali. Menurut Prasasti Diyono tahun 682 Saka atau 760 Masehi Prabu Gajayana raja Kanyuruhan (daerah Malang) adalah raja yang telah mengupas kebenaran sejarah adanya reyog Ponorogo. Jika berpegang pada prasasti tersebut, maka ada tanda-tanda bahwa reyog memang sudah tua betul usianya. Namun jika mendasarkan pada legenda, yang bersumber dari zaman Kediri atau Jenggala (tahun 1045-1222), maka kelahiran reyog ponorogo tergolong masih muda.

Reyog dilahirkan dan menjadi besar di Kota Ponorogo, namun akhirnya berkembang di berbagai wilayah di Nusantara, termasuk Johor Malaysia. Reyog biasanya disajikan dalam bentuk sendratari, yang terdiri dari empat babak, yang menggambarkan perjalanan prajurit berkuda dari Ponorogo menuju Kerajaan Kediri ketika beberapa pembesar Ponorogo mempersunting putra-putri raja Kediri. Dalam prosesi ini pertunjukan reyog terdiri dari pemeran: kelompok pengawal, kelompok pendamping, kelompok pemain (penari), kelompok pemusik, dan kelompok pengiring. Ada satu ciri khusus pada kesenian reyog yang sekarang sudah mengalami degradasi yaitu ilmu mistik. Mereka menganggap bila reyog tidak didukung oleh ilmu mistik, maka maka tidak lengkap. Reyog juga memiliki lagu-lagu khusus dari daerah Ponorogo seperti: Ijo-ijo, Patrojayan, Sampak, Iling-iling, dan lainnya. Alat-alat musik pengiring


(1)

Hartono, 1980. Reyog Ponorogo. Jakarta; Depdikbud.

Hood, Mantle, 1954. Patet in Javanese Music. Groningen: Wolters.

Hood, Mantle, 1971. The Ethnomusicologist. New York: McGraw-Hill Book Company. Kunst, Jaap, 1949. Music in Java. The Hague: Martinus Nijhoff.

R.M. Soedarsono, 1983. Wayang Wong: The State Dance Drama in the Court of

Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Soedarso, Sp. (ed.), 1991. Beberapa Catatan tentang Perkembangan Kesenian Kita. Yogyakarta: B.P. ISI Yogyakarta.

Wardiman Jayakusuma, 1992. Seni Tari Jawa. Surabaya: Penerbit Sinar Ilmu. Achmad A., 1997. Kesenian Nusantara. Surabaya: Rineka Cipta.


(2)

Lampiran I

DAFTAR INFORMAN

1. Nama : Pak trisno Umur : 50 tahun

Pekerjaan : Wiraswasta / Pawang Brawijaya Alamat : Jln. Samanhudi, Binjai

2. Nama : Pak Wage Umur : 45 tahun

Pekerjaan : Wiraswasta / Pemain Saron Alamat : Jln. Samanhudi. Binjai 3. Nama : Bang Tongat

Umur : 30 tahun

Pekerjaan : Wiraswasta / Pwang Brawijaya Alamat : Jln. Samnhudi, Binjai.

4. Nama : Pak Subur Umur : 42 tahun

Pekerjaan : Wiraswasta / Pemain Saron Alamat : Jln Samanhudi, Binjai 5. Nama : Pak Simen

Umur : 50 tahun

Pekerjaan : Wiraswasta / Pemain Saron Alamat : Jln Samanhudi, Binjai

6. Nama : Pak Marzuki Umur : 45 tahun

Pekerjaan : Wiraswasta / Pemain Demung Alamat : Jln. Gunung Sinabung, Binjai.


(3)

7. Nama : Pak Pardi Umur : 60 tahun

Pekerjaan : Tukang Becak / Pemain Kendang Alamat : Jln. Gunung Sibayak, Binjai

8. Nama : Pak Pariatno Umur : 55 tahun

Pekerjaan : Wiraswasta / Pemain kethuk Kenong Alamat : Jln. Samanhudi, Binjai.

9. Nama : Pak Budi Umur : 40 tahun

Pekerjaan : Wiraswasta / Pemain Gong Alamat : Jln. Samanhudi, Binjai. 10. Nama : Harum

Umur : 18 tahun

Pekerjaan : Pelajar / Penari grup Barawijaya Alamat : Jln Samanhudi, Binjai.

11. Nama : Ayu Umur : 17 tahun

Pekerjaan : Pelajar / Penari grup Brawijaya Alamat : Jln. Samanhudi, Binjai

12. Nama : Winda Umur : 15 tahun

Pekerjaan : Pelajar / Penari Grup Brawijaya Alamat : Jln. Samanhudi. Binjai

13. Nama : Winda Umur : 16 tahun


(4)

Pekerjaan : Pelajar / Penari Grup Brawijaya Alamat : Jln. Samanhudi, Binjai.

14. Nama : Sari Umur : 14 tahun

Pekerjaan : Pelajar / Penari Grup Brawijaya Alamat : Jln Samanhudi, Binjai

15. Nama : Erni Umur : 17 tahun

Pekerjaan : Pelajar / Penari Grup Brawijaya Alamat : Jln Samanhudi, Binjai

16. Nama : Imam Umur : 19 tahun

Pekerjaan : Wiraswasta / enari Grup Brawijaya Alamat : Jln. Gunung Sinabung, Binjai. 17. Nama : Amat

Umur : 20 tahun

Pekerjaan : Wiraswasta / Penari Grup Brawijaya Alamat : Jln. Gunung Sibayak, Binjai

18. Nama : Ade Umur : 26 tahun

Pekerjaan : Mahasiswa / Penari Grup Jaran kepang Alamat : Jln. Samanhudi, Binjai.

19. Nama : Riki Umur : 18 tahun

Pekerjaan : Wiraswasta / Penari Grup Brawijaya Alamat : Jln. Samanhudi, Binjai.


(5)

10. Nama : Sandy Umur : 18 tahun

Pekerjaan : Pelajar / Penari grup Barawijaya Alamat : Jln Samanhudi, Binjai.

20. Nama : Dian Umur : 18 tahun

Pekerjaan : Pelajar / Penari grup Barawijaya Alamat : Jln Samanhudi, Binjai.

21. Nama : Pariadi Umur : 25 tahun

Pekerjaan : Wiraswasta / Penari grup Brawijaya Alamat : Jln. Samanhudi, Binjai

22. Nama : Dedi Umur : 24 tahun

Pekerjaan : Peternak lembu / Penari Grup Brawijaya Alamat : Jln. Samanhudi. Binjai

23. Nama : Iqbal Umur : 19 tahun

Pekerjaan : Wiraswasta / Penari Grup Brawijaya Alamat : Jln. Samanhudi, Binjai.

24. Nama : Pak Ngoweh Umur : 60 tahun

Pekerjaan : Wiraswasta / Pawang Grup Wahyu Satrio Putro Alamat : Jln Samanhudi, Binjai

25. Nama : Pak Ngatino Umur : 45 tahun

Pekerjaan : Tukang Becak / Penari Grup Langen Suro Joyo Alamat : Jln Kantil, desa Padang Brahrang, Selesai.


(6)

26. Nama : Pak Legi Umur : 65 tahun

Pekerjaan : Wiraswasta / Pawang Grup Langen Suro Joyo Alamat : Jln. Mawar, desa Padang Brahrang, Selesai. 27. Nama : Wahyu

Umur : 26 tahun

Pekerjaan : Tukang pangkas / Penari Grup Wahyu Satrio Putro Alamat : Jln. Gunung Merapi, Binjai

28. Nama : Bu War Umur : 45 tahun

Pekerjaan : Petani / Sindhen Grup Kuda Kepang Kwala Begumit Alamat : Jln. Gunugn Simeru, Binjai.

29. Nama : Bu Srintil Umur : 50 tahun

Pekerjaan : Wiraswasta / Sindhen Grup Langen Setio Budoyo Utomo Alamat : Jln. Binjai-Stabat, Tandem hulu, pasar 5.

30. Nama : Pak Adi Umur : 60 tahun

Pekerjaan : Wiraswasta / Pawang Grup Langen Bodoyo Utomo. Alamat : Jln Samanhudi, Binjai.