Konsep Kerangka Kerja Peraturan Perundangan

B. Konsep Kerangka Kerja Peraturan Perundangan

5. Kajian terhadap rancangan Perda oleh Untuk merancang peraturan perundangan yang masyarakat. Proses konsultasi ini dilakukan agar berbeda untuk setiap keadaan, dapat dilakukan dua terjadi aliran informasi dua arah: DPRD harus pendekatan umum. Yang pertama, Pemda dapat memberitahu masyarakat tentang peraturan yang segera mulai menyusun Perda mengenai topik atau diusulkannya dengan alasan-alasan, penilaian, dan

sektor-sektor tertentu, dengan rincian penyelesaian konsekuensi aturan tersebut; dan pada saat yang masalah untuk masing-masing sektor; dan yang sama, masyarakat harus memberikan komentar dan kedua, penyusunan Perda dapat dimulai dengan kepeduliannya kepada DPRD. Karena itu, kedua pihak

membuat serangkaian aturan administratif umum, ini memiliki tanggung jawab masing-masing. Kajian yang membentuk kerangka kerja kelembagaan untuk oleh masyarakat dapat berlangsung dalam beberapa Perda sektoral berikutnya. Secara umum, makalah tahap. Pertama, penyebaran informasi tentang ini merekomendasikan pendekatan yang kedua. rancangan Perda ke desa-desa dan masyarakat di

Memang lebih masuk akal untuk menyiapkan kabupaten atau provinsi. Kemudian dilanjutkan oleh

sebuah Perda yang berisikan kerangka aturan-aturan serangkaian pertemuan terbuka dengan masyarakat dasar sebagai landasan, atau kerangka kerja untuk

Jason M. Patlis Pedoman Umum Penyusunan Peraturan Daerah Pengelolaan Hutan

penyusunan Perda yang lainnya. Sebuah kerangka Perda akan menyebutkan tujuan-tujuan dasar, berbagai prinsip, proses, dan standar untuk suatu bidang yang akan ditatakelolakan —seperti kehutanan. Kerangka kerja ini akan meletakkan dasar-dasar mekanisme tata kelola, yaitu: menentukan agenda kegiatan; melakukan koordinasi; membentuk berbagai kelembagaan yang penting; memastikan penyediaan dana yang diperlukan; dan mungkin menangani beberapa elemen substansi dasar seperti pendidikan dan penyuluhan. Kerangka kerja dapat juga mengatur jalannya proses untuk memperoleh informasi dan penyebarluasannya, seperti Undang-Undang Kebebasan Pers, atau mungkin membuat mekanisme pengkajian administratif dan tanggung gugat seperti Undang- Undang Prosedur Administratif (Andreen, 2000). Secara khusus, kerangka kerja untuk penyusunan Perda yang efektif akan mencapai beberapa sasaran: (1) menetapkan agenda pengelolaan sumber daya alam termasuk tujuan, visi, dan prioritas kegiatan konservasi dan pengelolaan sumber daya; (2) menggariskan peran dan tanggung jawab masing- masing institusi yang ikut serta dalam pengelolaan sumber daya alam (mungkin termasuk membuat atau merubah institusi-institusi pemerintah dan LSM); (3) membuat daftar kebutuhan informasi untuk berbagai inisiatif pengelolaan di masa mendatang; (4) menjamin ketersediaan sumber dana untuk pengelolaan sumber daya alam; dan (5) jika memungkinkan dan dapat dilaksanakan, membuat beberapa program dan kegiatan sebagai agenda pengelolaan.

Beberapa hal yang tidak kalah pentingnya, namun tidak termasuk dalam kerangka dasar Perda adalah: tidak berusaha mengelola berbagai kegiatan dengan pengalaman pengetahuan yang sangat terbatas— pengelolaan seperti ini dapat ditampung dalam Perda lain. Di sebuah kabupaten yang kemampuannya tidak memadai atau pengalamannya sedikit, mungkin sulit untuk menyusun Perda yang sangat rinci dan teknis. Meskipun kabupaten tersebut berhasil dalam menyusun Perda baru (seringkali melalui proyek bantuan luar negeri atau LSM internasional), Pemda yang bersangkutan mungkin tidak memiliki cukup kemampuan untuk melaksanakan atau menegakkan peraturan yang dibuatnya. Sebuah kerangka kerja Perda sebenarnya merupakan cara untuk mengembangkan kapasitas secara bertahap. Pengembangan suatu peraturan mungkin memerlukan waktu beberapa generasi: Perda ‘generasi pertama’ membuat kerangka kerjanya, kemudian diikuti oleh Perda ‘generasi kedua’ yang benar-benar membuat berbagai peraturan yang sesungguhnya.

Karena sifatnya politis, sebuah kerangka kerja Perda memiliki beberapa keuntungan tambahan. Kerangka kerja ini tidak untuk mengatur para pihak yang berkepentingan secara berlebihan, sehingga tidak ada satu pun pihak yang merasa ditinggalkan , dan akhirnya hanya akan menimbulkan perselisihan dan mengurangi kegunaannya. Sebaliknya, kerangka kerja seperti ini bermanfaat untuk meningkatkan jumlah konstituen untuk masalah tertentu, seperti pentingnya meningkatkan pengelolaan sumber daya alam untuk kepentingan semua pihak. Masalah- masalah politis yang sulit, seperti peraturan-

Kerangka kerja penyusunan Perda

Proses

Institusi

Informasi Pendanaan

Kerangka kerja pengambilan keputusan

Perda Kehutanan

Perda Pertambangan

Perda Pariwisata

Perda Perikanan

Perda lainnya

Gambar 2. Menyusun Kerangka Kerja Peraturan Daerah (Perda)

Pedoman Umum Penyusunan Peraturan Daerah Pengelolaan Hutan Jason M. Patlis

peraturan khusus, dapat ditangani kemudian, setelah skenario yang kedua —lemahnya penegakan—yang landasan politik dan masyarakat madani yang lebih sering terjadi. Karena itu, Perda-perda yang berpendidikan terbentuk.

lebih menekankan kewajiban dan nampak memiliki kekuatan di atas kertas, dalam kenyataannya

C. Kerangka Hukum yang Bersifat

seringkali lemah dan diabaikan di lapangan.

Tipe Perda lainnya adalah yang didasarkan atas Peraturan perundangan adalah sebuah perangkat insentif, yang berusaha untuk mendorong pola-pola untuk membentuk berbagai pola perilaku. Peraturan perilaku tanpa memaksakannya. Perda ‘sukarela’ dapat berperan sebagai salah satu dari dua cara semacam ini tidak membutuhkan aparat berikut: mendorong pola-pola perilaku tertentu, atau pemerintahan yang kuat. Namun dalam mewajibkan untuk berperilaku seperti yang kenyataannya, Perda seperti ini relatif sering tidak diinginkan. Sebuah Perda yang isinya preskriptif dipatuhi, karena insentif-insentif untuk umumnya bersifat memerintah, dan membutuhkan mempertahankan status quo sering jauh lebih aparat pemerintahan yang kuat untuk melaksanakan dipentingkan daripada insentif untuk mengikuti dan menegakkannya. Sebaliknya, Perda yang program baru. deskriptif merefleksikan pola-pola perilaku yang ada

Sukarela dan Wajib

Pendekatan yang optimal adalah dengan di masyarakat, dan tidak akan memaksa untuk menggabungkan kedua tipe aturan: sesuatu yang mengubah perilaku; karena itu, tidak memerlukan didasarkan pada pola-pola perilaku deskriptif tetapi aparat pemerintahan yang kuat.

bergerak menuju ke sesuatu yang preskriptif. Tipe Pada umumnya sebuah Perda berisi sejumlah

Perda ini dapat dibuat berdasarkan model sukarela aturan yang sifatnya wajib untuk ditaati oleh yang berbasis insentif. Insentif akan diberikan jika masyarakat. Peraturan yang sifatnya memerintah syarat-syarat yang diperlukan dipenuhi—Pemda perlu biasanya merupakan pemaksaan kemauan penguasa menyusun berbagai Perda dan program sesuai dengan atas sekelompok masyarakat (Hart 1961). Peraturan standar dan petunjuk tertentu untuk memastikan semacam ini bisa jadi atau tidak merefleksikan bahwa mereka akan mengikutinya dengan baik. Perda kemauan kelompok masyarakat tersebut; dan seperti ini menghindari harapan-harapan yang tidak mungkin atau tidak mungkin menunjukkan realistis, yang sering menyertai sebuah Perda yang kemampuan golongan masyarakat tersebut. bersifat preskriptif, yang memerintahkan berbagai Peraturan seperti ini sangat sulit ditegakkan, dan larangan dan persyaratan, dan kemungkinan umumnya memerlukan investasi sumber daya yang penegakkannya sangat kecil. Perda yang berdasarkan besar—manusia, dana, dan pelatihan—yang mungkin insentif dapat membangkitkan pola-pola perilaku tidak dimiliki oleh Pemda. Jika Perda itu dengan arah tertentu tanpa perlu memaksakan pola- merefleksikan kemauan masyarakat, atau jika Pemda

pola perilaku tersebut. Memang benar, program dapat menegakkan peraturan dengan baik, maka sukarela berbasis insentif seperti ini memiliki banyak Perda ini akan berhasil. Namun, jika Perda tersebut

keterbatasan. Perilaku mungkin tidak berubah karena tidak merefleksikan kemauan masyarakat, atau jika perubahan tidak diperlukan. Namun, pendekatan ini Perda tersebut tidak menunjukkan kemampuan tetap lebih menjanjikan daripada aturan yang masyarakat, serta penegakkannya lemah, maka Perda

sifatnya memerintah, yang pada kenyataannya sama tersebut akan gagal. Dalam banyak hal, dan ini sekali tidak dijalankan.

Pengelolaan hutan dan tata kelola di Indonesia telah mengalami perubahan signifikan yang sangat pesat sejak tahun 1998, terutama perubahan kewenangan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah. Selain itu, sistem pembuatan Undang-Undang dan peraturan, yang biasanya dilakukan oleh lembaga administratif, sekarang oleh lembaga legislatif. Kebijakan otonomi daerah juga telah menyebabkan banyak kabupaten baru yang muncul di negeri ini. Karena itu banyak berdiri instansi-instansi pemerintah yang baru, terutama badan legislatif di daerah, yang memiliki peluang-peluang baru dan tanggung jawab dalam mengelola sumber daya hutan. Namun, banyak Pemda baru saat ini mengalami serba kekurangan dalam hal pengalaman, pegawai, ketrampilan, dana, dan sumber daya lainnya untuk menyusun dan melaksanakan Perda baru yang akan mendorong pengelolaan hutan lestari.

Dua aspek yang sangat penting untuk diperhatikan dalam menyusun Perda baru dalam pengelolaan hutan lestari adalah: prinsip-prinsip yang digunakan, dan mekanisme pembuatannya. Para pakar dan praktisi mengidentifikasi sejumlah prinsip yang terkait dengan penguasaan sumber daya hutan untuk mencapai kelestariannya. Sementara banyak prinsip yang terfokus pada akses dan partisipasi, informasi dan keadilan, prinsip-prinsip penting lainnya juga diperlukan untuk mencapai kelestarian—prinsip-prinsip yang berkaitan dengan koordinasi dan integrasi, tanggung gugat, kepastian hukum, kejelasan, dan fleksibilitas administratif. Prinsip-prinsip tata kelola yang baik ini dapat dikelompokkan menjadi tiga aspek, yaitu: proses (bagaimana Perda disusun); substansi (apa yang tertuang dalam Perda tersebut); dan keadilan (bagaimana Perda ini dilaksanakan). Hanya sedikit sekali contoh-contoh yang memperlihatkan bagaimana prinsip-prinsip ini dapat diterapkan secara praktis, khususnya di tingkat Pemda yang memiliki sumber daya yang terbatas. Peraturan daerah mungkin mengenali beberapa prinsip secara umum, dengan ungkapan yang umum, tetapi tanpa penjelasan yang spesifik atau petunjuk pelaksanaannya. Dalam beberapa kasus, kekurangan ini disengaja karena kurangnya kemauan politik; namun dalam kasus-kasus lain, kekurangan ini terjadi karena keterbatasan sumber daya.