LANGKAH-LANGKAH PERUMUSAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE
LANGKAH-LANGKAH PERUMUSAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE
Kebijakan Terkait Pengelolaan Hutan
proporsional dengan bentuk dan kondisi
Mangrove
pantai, minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.
Dalam sejarahnya, kebijakan terkait pengelolaan mangrove yang cukup penting
Selain ketetapan tersebut di atas, berdasarkan dimulai dengan dikeluarkannya Surat
hasil kajian ekologis disarankan lebar sabuk Keputusan Bersama Menteri Pertanian dan
hijau pada kawasan pantai berhutan Menteri
mangrove minimal selebar 130 dikalikan KB.555/264/Kpts/4/1984 dan Nomor
Kehutanan
Nomor
nilai rata-rata perbedaan antara air pasang 082/Kpts-II/1984, tanggal 30 April 1984.
tertinggi dan terendah tahunan diukur dari Di dalam surat keputusan terebut di
air surut terndah ke arah darat. Misalnya antaranya disebutkan bahwa lebar sabuk hijau
pada suatu kawasan pantai berhutan hutan mangrove adalah 200 m. Surat
mangrove, nilai rata-rata selisih antara Keputusan Bersama ini dibuat selain dengan
pasang tertinggi dan surut terrendah tahunan tujuan utamanya untuk memberikan
sebesar 1,5 meter, maka lebar sabuk hijau legitimasi terhadap perlindungan hutan
yang harus dipertahankan (sempadan pantai) mangrove, juga dibuat untuk men yelaraskan
adalah 130 x 1,5 meter = 195 meter. peraturan mengenai areal perlindungan
Peraturan berikutnya dikeluarkan oleh hutan mangrove di antara instansi -instansi
Kementerian (LH dan Kehutanan ), yakni yang terkait. Surat Keputusan Bersama ini
dalam bentuk Surat Keputusan Nomor lebih lanjut dijabarkan oleh Departement
677/1999 (direvisi tahun 2001 sbg. SK Kehutanan dengan mengeluarkan Surat 31/2001) yang isinya antara lain tentang Edaran Nomor 507/IV-BPHH/1990 yang di koperasi masyarakat yang bisa mengontrak antaranya berisi penentuan lebar sabuk hijau hutan selama 25 tahun dengan persetujuan pada hutan mangrove, yaitu selebar 200 m di pihak pemerintah yang berkewenangan sepanjang pantai dan 50 m di sepanjang tepi sesudan rencana pengelolaan disepakati sungai. Penentuan lebar sabuk hijau bersama. Dengan demikian, menjadi jelas sebagaimana disebutkan di atas lebih bahawa masyarakat sesungguhnya secara dikuatkan lagi dengan Keputusan Presiden bersama bisa mengelola sebuah kawasan No. 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan mangrove untuk tujuan meningkatkan Kawasan Lindung. Dalam Keppres tersebut kesejahteraan mereka. ditetapkan bahwa perlindungan terhadap
sempadan pantai dilakukan untuk melindungi
tertinggi terkait dengan wilayah pantai dari kegiatan yang menggangu
Kebijakan
pengelolaan mangrove diatur dalam Undang kelestarian fungsi pantai, di mana kriteria
Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang sempadan pantai yang dimaksud adalah
Kehutanan. Di dalam Undang Undang daratan sepanjang tepian yang lebarnya
tersebut disebutkan bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dan oleh karena tersebut disebutkan bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dan oleh karena
berbasis pemerintah dalam pengelolaan yang berasaskan manfaat
3. Pengelolaan
pengelolaan berbasis dan
menjadi
multistakeholders dan atau berbasis kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan
lestari, kerakyatan,
keadilan,
masyarakat lokal.
(Pasal 2). Landasan hukum ini sebenarnya
4. Pelayanan pemerintah dari birokratis sudah cukup kuat bagi pemerintah untuk
normatif menjadi profesional-responsif- segera bertindak menangani degradasi yang
fleksibel-netral; tata pemerintahan dari terjadi pada hutan mangrove. Terlebih lagi,
sentralistik menjadi disentralistik; serta Pemerintah Indonesia dengan Undang- peran pemerintah dari provider menjadi undang No. 5 Tahun 1994 telah meratifikasi enabler dan fasilitator. Konvensi
Keanekaragaman
Hayati
(Convention on Biological Biodivercity) yang
5. Beban pengelolaan yang semula mana salah satu pasalnya mensyaratkan
ditanggung pemerintah menjadi beban bahwa setiap negara yang meratifikasi
bersama antara pemerintah dan konvensi ini wajib membentuk/membangun
penerima manfaat. sistem
Itikad baik pemerintah dalam menggeser keanekaragaman hayati (pasal 8). Dalam
paradigma pengelolaan hutan sudah tampak pasal itu juga disebutkan bahwa setiap negara
antara lain dari dikeluarkannya Peraturan yang meratifikasi harus mengakui,
Menteri Kehutanan Nomor P. 19/Menhut- menghormati, melestarikan dan memelihara
II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan pengetahuan, inovasi dan kegiatan -kegiatan
Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan asli masyarakat setempat, yang terkandung di
Pelestarian Alam (KPA). Dalam peraturan dalam kehidupan mereka yang relevan
tersebut ditegaskan bahwa Kolaborasi dengan upaya konservasi dan pemanfaatan
Pengelolaan KSA dan KPA merupakan keanekaragaman hayati secara lestari;
kegiatan atau penanganan suatu masalah mempromosikan aplikasinya secara lebih luas
dalam rangka membantu meningkatkan dan meningkatkan peranserta para pihak;
efektivitas pengelolaan KSA dan KPA secara serta mendorong terwujudnya kesetaraan
bersama dan sinergis oleh para pihak atas dalam berbagi manfaat/keuntungan dari
dasar kesepahaman dan kesepakatan bersama pemanfaatan kawasan konservasi. Dengan
sesuai dengan peraturan perundang- demikian, Pemerintah Indonesia harus
undangan yang berlaku (pasal 1). Adapun menggeser paradigma dalam mengelola
yang dimaksud dengan para pihak adalah sumber daya alam sebagai konsekuensi logis
mereka yang memiliki minat, kepedulian, diratifikasinya Konvensi Keanekaragaman
atau kepentingan dengan upaya konservasi Hayati. Pergeseran paradigma tersebut
KPA dan KSA, antara lain lembaga antara lain meliputi hal-hal sebagai berikut.
pemerintah pusat dan lokal, masyarakat
1. Memandang kawasan yang dilindungi setempat, LSM, BUMN, BUMD, swasta yang semula semata-mata sebagai
nasional, perorangan maupun masyarakat kawasan perlindungan keanekaragaman
internasional, perguruan tinggi, lembaga hayati menjadi kawasan perlindungan
pendidikan, dan lembaga ilmiah. Maksud keanekaragaman hayati yang mempunyai
dari kolaborasi pengelolaan KSA dan KPA fungsi sosial-ekonomi jangka panjang
adalah untuk membantu meningkatkan yang
efektivitas dan kemanfaatan KSA dan KPA masyarakat secara berkelanjutan.
mendukung
pembangunan
bagi kesejahteraan masyarakat (pasal 2); sedangkan tujuannya adalah terwujudnya
2. Penentuan kebijakan yang semula top- visi, misi, dan langkah-langkah strategis
down menjadi bottom-up. dalam mendukung, memperkuat, dan down menjadi bottom-up. dalam mendukung, memperkuat, dan
praktik-praktik kehutanan dan aspirasi setempat.
dengan
partisipatoris. Banyak negara bergerak menuju
arah ini, namun Dalam melaksanakan pengelolaan kawasan perkembangannya secara umum berjalan mangrove perlu meletakkan perspektif atau
ke
dengan lamban.
paradigma yang nantinya akan dijadikan pijakan dalam berpikir dan bertindak.
Indonesia mengatur pengelolaan hutan Adapun perspektif pengelolaan kolaboratif
dengan memberikan tanggung jawab dapat dirumuskan sebagai berikut.
pengelolaan pada agen-agen pemerintah dan berusaha untuk menerapkan kontrol yang
1. Pengelolaan hutan mangrove pada tegas pada akses hutan. Jumlah populasi
tingkat lokal dengan cara-cara yang pesisir di Indonesia yang besar, serta sistem
sesuai dengan cara-cara lokal. tradisional yang bergantung pada akses
2. Melibatkan sejumlah
umum ke hutan, sering bersinggungan keputusan pemerintah yang berkenaan
keputusan-
dengan kebijakan. Secara garis besar, hal ini dengan pelibatan masyarakat lokal dalam
yang mengarahkan pada kegagalan untuk pengelolaan hutan mangrove.
berhadapan dengan tujuan pengelolaan hutan
3. Pengelolaan sumberdaya hutan yang oleh pemerintah, tentunya pada pihak-pihak melibatkan berbagai pihak yang
yang berhubungan dengan konservasi dan berkepentingan dalam kawasan yang
keberlangsungan programnya. Meskipun sama.
katanya
telah memulai bereksperimen dengan sistem partisipatoris,
Indonesia
4. Pengelolaan hutan mangrove yang daerah masih menggunakan pendekatan mengkaitkan secara simultan tuj uan-
paternalistik yang kuat dalam pengelolaan tujuan lingkungan, ekonomi, dan sosial -
hutan. Sebagian besar pengelolaan hutan budaya.
daerah di Indonesia didominasi oleh agen- agen pemerintah dan pegawai pemerintah, seperti yang terjadi di Segara Anakan. Hal ini
Strategi dan Mekanisme untuk
menunjukkan derajat tinggi akan skeptisisme
Implemenatasi Kebijakan Pengelolaan
terhadap masyarakat di daerah dalam
Mangrove
pengelolaan hutan secara berkelanjutan, Meskipun Indonesia telah mengartikulasikan
meskipun terdapat banyak bukti bahwa kebijakan kehutanan yang terancang baik,
masyarakat lokal adalah pengelola yang tantangan yang substansial masih terdapat
terbaik untuk hutan mangrove. Dalam hal ini dalam implementasinya. Kelangkaan sumber
kita bisa belajar dari Jaring Halus di Sumatera daya, minimnya kepentingan politik,
Utara.
lemahnya ketegasan hukum, korupsi, Selain itu pemahaman yang utuh pada nilai- kelemahan kelembagaan, minimnya staf yang
nilai ekonomi dan ekologi yang berperan berkemampuan sesuai bidangnya, kurangnya
pada hutan mangrove, yang merupakan aset penerimaan kebutuhan untuk partisipasi
pesisir yang benar-benar vital, masih kurang. masyarakat,
Kesadaran yang kurang akan nilai implisit masyarakat, dan ketidakcukupan struktur
kurangnya
pengalaman
hutan mangrove telah menggiring pada operasional menjadikan halangan bagi
maraknya konversi mangrove untuk tambak impelementasi kebijakan secara efektif.
udang, pabrik arang, dan belakangan untuk Selama dekade terakhir, perubahan utama
perkebunan kelapa sawit. Usaha ekonomi dalam strategi implementasi di seluruh Asia-
berjangka pendek ini membutuhkan biaya Pasifik
berpusat pada penggantian berpusat pada penggantian
menunujukkan kegagalan pemerintah dalam kesejahteraan masyarakat setempat dan
mengelola kawasan mangrove. Minat negara. Hanya segelintir orang saja yang
pemerintah terhadap Segara Anakan diawali diuntungkan. Seharusnya Departemen
dengan kasus kiriman tanah dari Pulau Jawa Keuangan didesak untuk menghitung dan
yang dibawa sungai-sungai yang bermuara di membuat laporan ringkas tentang kerugian
Segara Anakan sejak tahun 1980-an. ekonomis akibat konversi hutan mangrove
Sedimentasi ini membuat ekosistem Segara pada penggunaan yang lain. Departemen ini
Anakan mengalami perubahan menjadi juga selayaknya dilibatkan pada pembuatan
bentuk ekosistem lain. Masyarakat kebijakan pengelolaan kawasan mangrove di
membutuhkan alternatif penghidupan yang masa mendatang.
lain, akan tetapi kebijakan yang diterapkan pemerintah untuk mengelola kawasan
Hutan mangrove, sebagaimana halnya mangrove di Segara Anakan tidak
sumber daya alam lainnya, sedang mengalami mendukung keinginan masyarakat.
tekanan akibat pengaruh globalisasi ekonomi dan industri. Mangrove di Indonesia yang
Bengkalis adalah salah satu contoh menarik di dapat dikatakan sebagai mangrove terluas di
mana warga desa mendapat legitimasi dari dunia kini sedang sakit akibat dikonversi
Bupati untuk mengelola hutan mangrove menjadi tambak. Pola peng-konversi-an
secara mandiri dan berkelanjutan. Pada tersebut bermula dari Jawa, lalu Sumatera,
bagian dua telah diceritakan bagaimana Papua, Kalimantan, dan Sulawesi. Nyaris
proses itu berlangsung dan aksi-aksi apa saja tidak ada satu pun kawasan mangrove yang
yang sudah dilakukan oleh masyarakat di selamat dari terjangan tambak. Hanya
dalam kawasan kelola, seperti rehabilitasi beberapa saja, salah satunya di Desa Jaring
pengembangan matapencaharian Halus Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.
dan
alternatif.
Masyarakat desa tersebut memiliki hutan Dari Sulawesi Utara kita bisa belajar
desa yang ditumbuhi mangro ve seluas bagaimana inisiatif pemerintah mampu
57,789 hektar. Hutan desa yang ditumbuhi mendorong masyarakat dan stakeholders lain tidak kurang dari 19 spesies mangrove itu untuk berupaya mengelola mangrove secara
dikelola dengan sangat baik melalui berkelanjutan. Pada awal tahun 2002
peraturan adat yang disepakati bersama oleh Kabupaten Minahasa telah mensahkan Perda
warga desa; sedangkan ribuan hektar No.2 tentang Pengelolaan Sumberdaya mangrove di sekitarnya yang dikelola negara
Terpadu Berbasis justru rusak karena tambak dan perusahaan
Wilayah
Pesisir
Masyarakat. Perda ini telah mendorong arang. Jaring Halus adalah contoh
berbagai pihak untuk melakukan aksi-aksi pengelolaan kawasan mangrove yang murni
mangrove yang melibatkan partisipasi dikelola oleh masyarakat. Indonesia masyarakat, salah satunya di Desa Tiwoho. nampaknya harus belajar dari desa kecil ini Pelaksanaan aksi tersebut ternyata tidak dalam mengelola mangrove. Secara terlepas dari campur tangan pihak asing. kebetulan, perangkat perundangan yang Selain dampak positif, ada juga beberapa dimiliki republik ini sangat mendukung bagi dampak negatif yang muncul lebih karena upaya-upaya kolaborasi pengelolaan hutan. kurangnya komonikasi antar pihak-pihak Dalam situasi ini, sangat strategis bila cara-
yang terlibat.
cara pengelolaan lokal (Hutan Desa Jaring Halus) diadaptasi untuk mengelola hutan
Demikianlah beberapa contoh kasus yang negara yang rusak.
menunjukkan pada kita tentang berbagai tingkat partisipasi masyarakat dalam menunjukkan pada kita tentang berbagai tingkat partisipasi masyarakat dalam
khususnya Bengkalis, kita bisa belajar proses hingga yang partisipasinya tinggi (seperti
pengelolaan mangrove yang berbasis Jaring Halus). Adapun Tiwoho dan Bengkalis
masyarakat.
Berdasarkan hasil kajian kasus dan kebijakan yang ada di Indonesia, maka dapat dirumuskan model perumusan kebijakan sebagai berikut.
Zonasi lintas batas
Membuat wadah bersama
Aksi-aksi kolaboratif: rehabilitasi, pengembangan
matapencaharian alternatif, dll
Membenahi Evaluasi penguasaan
dampak dan akses
P engelolaan
perspektif/ Refleksi paradigma
Merumuskan Kajian situasi dan naskah
masalah akademis
Identifikasi stakeholders
Demikianlah, model perumusan kebijakan Dalam studi kasus dalam buku ini, juga merupakan sebuah proses analisis – strategi –
dengan membaca beberapa kasus di tempat tindakan – evaluasi. Daur tersebut
lain, LSM cukup strategis dalam mengambil merupakan tahap-tahap permusuan kebijakan
peran membentuk media atau forum yang yang dapat diterapkan dalam tingkat mana
representatif di tingkat masyarakat yang pun, mulai dari tingkat desa hingga nasional.
dapat menjamin tersalurkannya aspirasi Tahap-tahap tersebut bukan harga mati dan
masyarakat lokal, seperti yang di lakukan tidak selalu harus menunggu tahap
Yayasan Kelola di Tiwoho dan ESP-USAID sebelumnya selesai. Beberapa tahap bisa
di Jaring Halus. Berikut ini adalah bagan dari berjalan bersamaan mengikuti situasi dan
proses koordinasi untuk pembentukan wadah kondisi di lapangan.
bersama.
Pemerintah Pusat
Pemerintah Provinsi
Pemerintah Kabupaten
Dinas