Kebijakan untuk peningkatan kualitas layanan MANGROVE

Kebijakan untuk MANGROVE

Mengkaji Kasus & Merumuskan Kebijakan

IUCN - The World Cons ervation Union

iii

Rehabilitasi Ekosistem Pesisir Pasca Tsunami:Tahap Konsolidasi

Proyek ini ditujukan untuk menanggulangi ancaman jangka panjang yang dihadapai mangrove di negara-negara yang terkena dampak tsunami, serta untuk merestorasi, merehabilitasi dan melindungi eksositem penting ini. Pendanaan disediakan oleh Organismo Autónomo Parques Nacionales (OAPN), Kementerian Lingkungan Hidup Spanyol. Antara bulan Sepetember 2005 sampai Desember 2006 OAPN menyalurkan dana hibah untuk

membantu rehabilitasi mangrove di daerah yang terkena dampak tsunami di Sri Lanka dan Thailand. OAPN memberikan dana hibah tahap ke dua antara Januari dan Desember 2007 untuk konsolidasi dan berbagi pengetahuan dan pengalaman dari pelaksanaan rehabilitasi mangrove yang dilakukan pada tahap pertama proyek ini. Tahap konsolidasi difokuskan pada penggunaan pengetahuan yang diperoleh pada tahap pertama untuk meningkatkan kesadaran dan membangun kapasitas pihak-pihak yang terlibat dalam restorasi mangrove, terutama para pengelola Kawasan Lindung. Tahap dimaksudkan untuk menyebarluaskan dan berbagi informasi serta belajar dari lokasi dan kelompok lain di Sri Lanka dan Thailand sebagai negara yang ikut serta dalam tahap pertama proyek, juga untuk memperluas pembelajaran dengan negara lain yang juga terkena dampak tsunami

yakni Indonesia.

Mangrove Action Project

Mangrove Action Project adalah lembaga non profit yang mendedikasikan diri pada perbaikan kerusakan dan pengembalian ekosistem hutan mangrove di seluruh dunia. Tujuan utama Map adalah mengedepankan hak masyarakat tradisional setempat, termasuk nelayan dan petani dalam mengelola lingkungan secara berkelanjutan. Melalui jaringan global dan perwakilan di Amerika Serikat (kantor pusat), Thailand (kantor regional Asia), Indonesia dan Amerika Latin, MAP memfasilitasi pertukaran ide -ide dan informasi dalam hal konservasi dan restorasi hutan mangrove sekaligus pemanfaatan hutan mangrove secara berkelanjutan oleh masyarakat pesisir.

iv

KATA PENGANTAR

Banyak-banyaklah berj alan dan melihat, niscaya Anda akan lebih bijaksana dalam berpikir dan bertindak. Prinsip inilah yang mendorong penulisan buku ini. Dengan menelusuri beberapa hutan mangrove di Indone sia,

pembaca diajak untuk lebih mengerti dan memahami pesoalan yang terjadi pada hutan mangrove di Indonesia yang sedangmengalami tekanan akibat pengaruh globalisasi ekonomi dan industri. Mangrove di Indonesia yang dapat dikatakan sebagai mangrove terluas di dunia kini sedang sakit akibat dikonversi menjadi tambak, lahan ekspolari arang, dan dikonversi untuk perkebunan kelapa sawit.

Indonesia nampaknya harus belajar dari beberapa kawasan mangrove yang diangkat dalam studi kasus buku ini. Kasus pertama mengangkat isue di Segara Anakan yang dikelola secara ketat oleh pemerintah. Masyarakat membutuhkan alternatif penghidupan yang lain, akan tetapi kebijakan yang diterapkan pemerintah untuk mengelola kawasan mangrove di Segara Anakan tidak mendukung keinginan masyarakat. Berkebalikan dengan Segara Anakan, masyarakat Jaring Halus adalah contoh pengelolaan kawasan mangrove yang murni dikelola oleh masyarakat. Desa Jaring Halus memiliki hutan desa yang ditumbuhi mangrove seluas 57,789 hektar. Hutan desa yang tidak kurang dari 19 spesies mangrove itu dikelola dengan sangat baik melalui peraturan adat yang disepakati bersama oleh warga desa; sedangkan ribuan hektar mangrove di sekitarnya yang dikelola negara justru rusak karena tambak dan perusahaan arang. Di antara dua tingakt partisipasi masyarakat tersebut, terdapat kasus Bengkalis dan Tiwoho yang berada di tengah-tengah. Dari kawasan ini kita bisa belajar mengenai proses pelibatan masyarakat dalam pengelolaan mangrove dan strategi perumusan kebijakan.

Dalam kesempatan ini penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam proses penulisan dan proyek-proyek yang diangkat menjadi kasus dalam buku ini . Mereka antara lain IUCN, Ministerio De Medio Ambiente, BKSDA SUMUT I, ESP-USAID, JALA, MAP-Indodenia/YARL, Yayasan Kelola, Yayasan Laksamana Samudera, Yayasan Konservasi Laut, dan Kalster Humaniora UGM.

Akhir kata, semoga buku ini bermanfaat. Yang pasti buku ini bukanlah sebuah akhir, sehingga kritik dan saran kami harapkan untuk menghasilkan karya yang jauh lebih baik.

Yogyakarta, Okrober 2007

Tim Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR__v

DAFTAR ISI __vi

Bagian Satu: OVERVIEW KEBIJAKAN SEPUTAR PENGELOLAAN SUMBER DAYA PESISIR Pengelolaan Sumber Daya Pesisir__1 Ada Apa dengan Mangrove di Indonesia?__2 Bagaimana Peran Kebijakan? __3 Kebijakan Negara__5 Kebijakan Negara dan Kebijakan Kehutanan__5 Kebijakan yang Saling Bertentangan__6 Konflik Antartingkat Pemerintah yang Berbeda__7 Kebijakan dan Konvensi Internasional__7

Bagian Dua: STUDI KASUS PENGELOLAAN MANGROVE DI INDONESIA Belajar dari Segara Anakan__9

Belajar dari Tiwoho__18 Belajar dari Jaring Halus__22 Belajar dari Bengkalis__32

Bagian Tiga: TINGKAT PARTISIPASI MASYARAKAT DAN LANGKAH-LANGKAH PERUMUSAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE

Kebijakan Terkait Pengelolaan Hutan Mangrove__38 Strategi dan Mekanisme untuk Implemenatasi Kebijakan Pengelolaan Mangrove__40

REFERENSI__44

vi

Bagian Satu OVERVIEW KEBIJAKAN SEPUTAR

PENGELOLAAN SUMBER DAYA PESISIR

Pengelolaan Sumber Daya Pesisir

kerusakan sumberdaya pesisir telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan, terutama

Wilayah pesisir memiliki arti strategis karena pada ekosistem mangrove terumbu karang

merupakan wilayah peralihan antara dan estuari (muara sungai).

ekosistem darat dan laut, serta memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa

Di wilayah pesisir juga berdiam para nelayan lingkungan yang sangat kaya. Kekayaan

yang sebagian besar masih prasejahtera. sumberdaya tersebut menimbulkan daya

Mempertimbangkan karakteristik masyarakat tarik bagi berbagai pihak untuk

pesisir, khususnya nelayan sebagai komponen memanfaatkan sumberdayanya dan berbagai

yang paling banyak, serta cakupan atau instansi untuk meregulasi pemanfaatannya.

batasan pengelolaan, maka sudah tentu Kekayaan sumberdaya pesisir, meliputi

pengelolaan sumber daya pesisir patut pulau-pulau besar dan kecil sekitar 17.500

dilakukan secara komprehensif yang pulau, yang dikelilingi ekosistem pesisir

memiliki ciri-ciri (1) berbasis lokal; (2) tropis, seperti hutan mangrove, terumbu

berorientasi pada peningkatan kesejahteraan; karang, padang lamun, berikut sumberdaya

(3) berbasis kemitraan; (4) secara holistik; hayati dan non-hayati yang terkandung di

dan (5) berkelanjutan. Menurut Menteri dalamnya.Akan tetapi kekayaan sumberdaya

Kelautan dan Perikanan, Dr. Rokhmin pesisir tersebut mulai mengalami kerusakan.

Dahuri, pengelolaan dengan ciri seperti ini Sejak awal tahun 1990-an phenomena

dikenal dengan istilah Pengelolaan Pesisir degradasi biogeofisik sumberdaya pesisir

(Integrated Coastal semakin berkembang dan meluas. Laju

Terpadu

Management/ICM).

Keterkaitan masyarakat dan mangrove

Ada Apa dengan Mangrove di Indonesia?

Indonesia memiliki hutan mangrove yang luas dibandingkan dengan negara lain. Hutan-hutan ini dapat menempati bantaran sungai-sungai besar hingga 100 km masuk ke pedalaman seperti yang dijumpai di sepanjang sungai Mahakam dan Sungai Musi. Keanekaragaman juga tertinggi di dunia dengan jumlah spesies sebanyak 89, terdiri dari 35 spesies tanaman, 9 spesies perdu, 9 spesies liana, 29 spesies epifit, dan 2 spesies parasitik (Dahuri, 2001).

Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan yang penting di wilayah pesisir. Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan bagi bermacam biota, penahan abrasi, penahan amukan angin taufan, dan tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut, dan lain sebagainya, hutan mangrove juga mempunyai fungsi ekonomis seperti penyedia kayu, daun-daunan sebagai bahan baku obat obatan, dan lain-lain. Mengingat nilai ekonomis pantai dan hutan mangrove yang tidak sedikit, maka kawasan ini menjadi sasaran berbagai aktivitas yang bersifat eksploitatif. Lahan mangrove dibabat untuk tambak, dimulai dari pantai utara Jawa, lalu merambat ke Papua, Sumatera, dan Kalimantan. Hutan mangrove di utara Pulau Jawa nyaris tidak tersisa akibat dikonversi menjadi lahan tambak. Padahal tambak- tambak tersebut berproduksi secara optimal hanya dalam periode lima tahun pertama. Setelah itu, tambak-tambak tersebut sudah tidak lagi produktif dan akhirnya cenderung dibiarkan terbengkalai menjadi lahan kritis. Setelah mangrove di Jawa habis, para investor pun lalu mencari daerah baru di Papua, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Selain karena tambak, kerusakan hutan mangrove makin diperparah dengan munculnya pabrik bubur kertas di beberapa daerah yang menggunakan pohon mangrove

sebagai bahan bakunya, pabrik arang, dan penebangan untuk keperluan rumah tangga.

Luas hutan mangrove kian berkurang dari waktu ke waktu, dan ini berakibat pada kian berkurangnya keanekaragaman hayati serta musnahnya habitat dan satwa-satwa tertentu. Berkurangnya luasan hutan mangrove di Indonesia diperkirakan 1,1% per tahun. Berdasarkan perkembangan data kawasan hutan mangrove yang terakhir (Proyek Inventarisasi Hutan Nasional, 1993), luas hutan mangrove pada tahun 1982 kurang lebih 4,25 juta hektar, dan pada tahun 1993, luas hutan mangrove tersebut tinggal 3,7 juta hektar. Masyarakat yang hidup di sekitar hutan mangrove yang telah terdegradasi mengalami kemunduran tingkat ekonomi dan kesejahteraannya, seperti yang terjadi di Segara Anakan, Delta Mahakam, dan Delta Berau. Degradasi hutan mangrove dan rusaknya lingkungan kawasan pantai mengakibatkan menurunnya hasil tangkapan ikan dan berkurangnya pendapatan para nelayan kecil di desa-desa pantai.

Sebagai aki bat dari adanya kerusakan hutan tersebut, banyak kalangan di Indonesia dan di negara-negara berkembang lainnya yang kemudian mengajukan konsep pengelolaan hutan yang berbasiskan masyarakat atau yang sering disebut dengan community-based forest management (Mirsa, 1982; Webb, 1982; Wiersum, 1990). Konsep tersebut kemudian lebih populer di kalangan rimbawan dan ilmuan sosial-humaniora sebagai community forestry (kehutanan masyarakat) atau social forestry (hutan kemasyarakatan). Konsep kehutanan masyarakat merupakan salah satu wujud kesadaran dari beberapa pihak yang peduli terhadap nasib kehutanan setelah berbagai masalah muncul akibat eksploitasi hutan (termasuk mangrove) yang berlebihan. Namun kesadaran tersebut nampaknya belum diikuti perasaan insyaf sehingga belum bisa memperlakukan hutan mangrove secara arif dan bijaksana. Buktinya, setelah hampir satu dasawarsa konsep hutan kemasyarakatan Sebagai aki bat dari adanya kerusakan hutan tersebut, banyak kalangan di Indonesia dan di negara-negara berkembang lainnya yang kemudian mengajukan konsep pengelolaan hutan yang berbasiskan masyarakat atau yang sering disebut dengan community-based forest management (Mirsa, 1982; Webb, 1982; Wiersum, 1990). Konsep tersebut kemudian lebih populer di kalangan rimbawan dan ilmuan sosial-humaniora sebagai community forestry (kehutanan masyarakat) atau social forestry (hutan kemasyarakatan). Konsep kehutanan masyarakat merupakan salah satu wujud kesadaran dari beberapa pihak yang peduli terhadap nasib kehutanan setelah berbagai masalah muncul akibat eksploitasi hutan (termasuk mangrove) yang berlebihan. Namun kesadaran tersebut nampaknya belum diikuti perasaan insyaf sehingga belum bisa memperlakukan hutan mangrove secara arif dan bijaksana. Buktinya, setelah hampir satu dasawarsa konsep hutan kemasyarakatan

kepentingan pelatihan, penyusunan dan Sementara itu, masyarakat di sekitar hutan

sebagai pusat informasi. Untuk ke depan kehidupan dan perekonomiannya kian

sedang dikembangkan Sub Centre Informasi terpuruk.

Mangrove di Pemalang – Jawa Tengah (untuk wilayah Pulau Jawa), di Sinjai –

Semangat kehutanan masyarakat dan Sulawesi Selatan (untuk wilayah Sulawesi,

kolaborasi pengelolaan kawasan mangrove Maluku dan Irian Jaya), di Langkat –

sudah mulai dirintis oleh Departemen Sumatera Utara (untuk wilayah Sumatera Kehutanan

dan Kalimantan).

mengembangkan Pusat

Rehabilitasi

Mangrove (Mangrove Centre) di Denpasar – Bali (untuk wilayah Bali dan Nusa Tenggara)

Lahan mangrove yang telah dikonversi menjadi tambak

keterlibatan masyarakat dalam pemanfaatan dan perlindungan sumber daya alam. Selain

Bagaimana Peran Kebijakan?

itu juga memberikan keuntungan ganda. Keberhasilan pengembangan masyarakat

Pertama, dengan mengakomodasi aspirasi sebagai bagian dari pengelolaan pesisir dan

masyarakat maka pengelolaan pesisir dan laut laut sangat tergantung pada ketepatan

akan menarik masyarakat sehingga akan kebijakan yang diambil. Kebijakan yang

mempermudah proses penataan. Kedua, dikembangkan dengan melibatkan dan

memberikan peluang bagi masyarakat untuk memperhatikan kepentingan masyarakat dan

ikut bertanggung jawab atas keamanan pesisir menjamin keberhasilan pengelolaan sumber

dan laut. Selain itu yang lebih penting lagi daya alam dan wilayah. Keterlibatan

adalah adanya upaya untuk meningkatkan masyarakat sangat diperlukan karena akan

kepentingan hakiki masyarakat yaitu menghasilkan kebijakan yang disesuaikan

kesejahteraan.

dengan potensi, aspirasi dan kepentingan Pelibatan masyarakat dalam pengambilan masyarakat. Kebijakan yang berbasis pada kebijakan, dapat dilakukan dengan potensi masyarakat akan mendorong pendekatan yang menggabungkan bottom up dengan potensi, aspirasi dan kepentingan Pelibatan masyarakat dalam pengambilan masyarakat. Kebijakan yang berbasis pada kebijakan, dapat dilakukan dengan potensi masyarakat akan mendorong pendekatan yang menggabungkan bottom up

sumber daya alam.

dalam penyusunan tata ruang untuk Dalam konteks epistemologi pembangunan,

menyerap informasi dan aspirasi masyarakat. termasuk arah kebijakan pembangunan Hal tersebut akan memberikan manfaat bagi sektor kelautan sebenarnya masih didominasi

proses pengembangan zona yang akan oleh terminologi pemikiran Michael Redclif

dijadikan sebagai pola dasar penyusunan tentang konsep pembangunan berkelanjutan.

rencana pengelolaannya. Informasi dan Pemikiran ini kemudian diperjelas dan aspirasi masyarakat tersebut juga akan dikritisi oleh seorang pakar ekonomi

bermanfaat untuk menggali potensi pembangunan yaitu Feyereban. Menurutnya

masyarakat terutama dalam rangka

Redclif tentang konsep mengembangkan sistem

pemikiran

perlindungan

berkelanjutan, secara kawasan yang berbasis pada masyarakat.

pembangunan

pembangunan terlalu Dilain pihak, top down planning diperlukan

epistemology

didominasi oleh pemikiran barat. Oleh untuk memberikan peluang bagi pemerintah

karena itu menurut Feyereban diperlukan untuk merancang pola pengelolaan wilayah

suatu multiple epistemology dalam memahami bagi kepentingan yang lebih luas.

pembangunan yakni Kebijakan

pemikiran

menggabungkan tradisi abstrak yang pengelolaan sumber daya pesisir, khususnya

berperan

penting dalam

didominasi pemikiran barat dengan tradisi mangrove. Meskipun tidak mungkin untu k

historis yang menjadi ciri utama negara- selalu menggunakan mekanisme kebijakan

negara sedang berkembang. Namun, karena untuk memecahkan semua permasalahan

posisi epistemologi lokal ini semakin kerusakan atau konflik dalam penggunaan

melemah dan tersingkir, meskipun telah sumber daya, namun hukum dan peraturan

terbukti mampu menjamin keberlanjutan yang berlaku merupakan bagian penting dari

penghidupan masyarakatnya, maka perlu proses. Rencana untuk mengkonservasi dan

ditemukan metode atau upaya untuk mengelola sumber daya pesisir harus sesuai

memperkuat posisinya dalam perkembangan dengan kebijakan yang berada pada semua

pengetahuan, khususnya yang berkaitan tingkat pemerintahan: mulai tradisional,

pembangunan termasuk lokal, propinsi, dan nasional. Terlebih lagi,

dengan

pembangunan sektor kelautan. Penguatan banyak

pengetahuan lokal mensyaratkan redefenisi mempertimbangkan kebijakan, perjanjian,

dari pembangunan sektor kelautan sebagai dan konvensi internasional atau regional.

sebuah epistemologi baru guna menunjang Penting untuk diketahui bahwa kita bisa

otonomi daerah di wilayah pesisir dan lautan. menggunakan kebijakan internasional atau

Pembangunan sektor kelautan yang semacam regional untuk mendukung rencana bagi

ini di mana pengetahuan lokal menjadi konservasi pesisir, misalnya konvensi

landasan utama mensyaratkan adanya cirri - kenakaragaman hayati. Para pengelola

ciri endogen dari pembangunan tersebut. sumber daya, aktivis lingkungan, dan

Ciri-ciri endogen tersebut dijelaskan oleh pemimpin masyarakat mutlak harus

Friberg dan Hettne dalam Kusumastanto mengetahui, mengerti, dan memahami

(2002), yaitu (1) bahwa unit sosial dari beragam kebijakan dari berbagai tingkat.

pembangunan itu haruslah suatu komunitas Kebijakan negara biasanya yang menjadi

yang dibatasi oleh suatu ikatan budaya, dan paling penting, namun kebijakan dan

pembangunan itu harus berakar pada nilai- konvensi internasional yang dianut oleh

nilai dan pranatanya; (2) adanya sebuah negara, juga menyediakan dukungan

kemandirian, yakni setiap komunitas bergantung

pada

kekuatan dan kekuatan dan

bisa membuat saran-saran bagaimana masyarakat dan (4) keseimbangan ekologis,

kebijakan bisa diubah untuk meningkatkan yang menyangkut kesadaran akan potensi

pengelolaan sumber daya yang dapat ekosistem lokal dan batas-batasnya pada

diperbarui demi keberlangsungan sumber- tingkat lokal dan global.

sumber daya tersebut,.

Kebijakan Negara Kebijakan Negara dan Kebijakan Kehutanan

Di Indonesia,

negara

terkadang

bersinggungan dengan peraturan provinsi Pengembangan kebijakan kehutanan nasional atau tingkat pemerintahan di bawahnya.

secara umum terpusat pada kebutuhan dan Oleh karena itu, para pengelola harus

persyaratan bagi implementasi pengelolaan mengerti kebijakan-kebijakan negara yang

hutan secara berkesinambungan. Indonesia mengatur penggunaan dan perlindungan

menyadari kebutuhan bagi pengelolaan hutan daerah dan sumber daya pesisir. Bahkan hal

berkesinambungan, untuk memberikan paling sepele, yang terkait dengan definisi

kontribusi bagi pembangunan nasional dan kawasan, misalnya, sangat menggangu proses

keuntungan bagi penduduk lokal. Ada pengelolaan yang melibatkan banyak pihak.

beberapa permasalahan penting dalam Apakah batasan pesisisr didasarkan pada

kebijakan pembangunan kehutanan antara kontrol nasional berawal dari air pasang atau

lain penebangan hutan, degradasi hutan, surut, sedang atau rata-rata?; Apakah saran

illegal logging, pembukaan lahan perkebunan, nasional tentang lebar sabuk hijau

devolusi dan desentralisasi pengelolaan mempunyai substansi?; Di mana kekuasaan

hutan, keterlibatan masyarakat dalam kontrol negara atau daerah berawal?; Apakah

pengelolaan kehutanan, dan konservasi. kredibilitas kebijakan tradisional dapat diakui

Sebuah contoh dari pengutamaan kebijakan jika dilihat melalui sudut pandang kebijakan

kehutanan nasioanl adalah ‘proses program negara? Itu adalah beberapa pertanyaan dasar

hutan nasional’ yang dilaksanakan melalui yang membutuhkan pemahaman bersama.

Keputusan Presiden No 80/2000. Pada Juli Setelah masalah definisi, berikutnya adalah

2007 berlangsung dialog antarstakeholder maslaah kuasa. Para pengelola harus

yang beragam dalam dukungan proses menentukan departemen pemerintah yang

tersebut yang diadakan di tiga daerah terlibat dan mempunyai kekuasaan atas zona

(Sumatra, Kalimantan, dan Nusa Tenggara). pesisir.

Kunci penting dari program hutan nasional mungkin memiliki banyak peraturan yang

Departemen-departemen

ini

Indonesia adalah perlindungan, produksi, mempunyai kendali atas sumber daya pesisir,

dan partisipasi. Isu-isu utama yang diangkat meskipun tidak disebutkan secara jelas.

antara lain memerangi illegal logging, Misalnya,

pencegahan kebakaran dan perusakan hutan, mungkin memiliki kekuasaan untuk

Departemen

Perhubungan

industri berbasis membangun sebuah bandara atau pelabuhan

merestrukturisasi

kehutanan, penanaman hutan kembali dan di mana saja yang dianggap sebagai

reboisasi, dan desentralisasi sektor kepentingan nasional. Kewenangan ini

kehutanan.

mungkin meliputi sumber daya pesisir yang penting, seperti hutan bakau atau terumbu karang. Untuk mempermudah pekerjaan, para pengelola harusnya mengerti dengan baik akan kebijakan-kebijakan yang

Kebijakan yang Saling Bertentangan

besar daripada kehutanan dan perikanan. Pariwisata adalah industri yang berkembang

Pada umumnya banyak pihak yang terlibat paling cepat di berbagai negara.

dalam pengelolaan sumber daya seperti satu atau lebih departemen pemerintah (nasional,

Departemen Kelautan dan Perikanan juga negara, dan lokal), masyarakat adat, dan

dapat terkena dampak besar dengan pihak-pihak yang memiliki izin legal dalam

terjadinya pendangkalan air yang dialami pengelolaan sumber daya. Konflik kebutuhan

ekosistem pesisir berdataran tinggi. biasa terjadi pada agen-agen yang berbeda

Kebijakan yang ada sering berdampak pada dalam satu pemerintah. Agen-agen

muara dan pantai, dan undang-undang lingkungan dan taman-taman nasional

penangkapan serta keberadaan ‘environmental mencoba untuk melindungi lingkungan dan

flows’ (tempat dimana perairan secara bebas spesies yang terancam kelestariannya.

diberikan untuk membantu perikanan), Departemen Kehutanan, Pertanian, dan

membutuhkan pertimbangan. Demikian Perikanan mencoba mendapatkan dana untuk

juga, pengelolaan kehutanan dataran tinggi menjalankan program-program tersebut.

yang dapat berdampak luas pada kelestarian Kerjasama antar berbagai pihak tersebut,

hutan bakau, karena hutan bakau sangat dapat mencegah adanya konflik yang

bergantung pada pasokan air tawar. disebabkan oleh pengelolaan sumber daya.

Perindsutrian memiliki Konsorsium, forum, kelompok-kelompok

Departemen

kebijakan yang mempengaruhi polusi industri penasihat, komite atau wadah-wadah apa pun

dan pembuangan limbah yang penting bagi namanya mungkin diperlukan untuk

pengelola pesisir.

menemukan cara yang terbaik dalam Departemen yang lain seperti Pertambangan

pengelolaan sumber daya dengan memilah dan Energi, Departemen Transportasi,

kebijakan-kebijakan yang berbeda.

Pertahanan (khususnya Secara ekologis, pertanian di hulu dan

Departemen

Angkatan Laut), Departemen Kesehatan, perikanan di muara saling tergantung.

serta Sekretarian Negara seringkali Kesehatan terumbu karang, tanaman bakau,

mempunyai peranan koordinatif. Apabila dan rumput laut saling berhubungan satu

memungkinkan, disarankan untuk bekerja sama lain. Penangkapan ikan secara liar dapat

melalui Sekretariat Negara pada area merusak terumbu karang. Kerusakan

pengelolaan yang lebih luas. Departemen terumbu karang dan hutan bakau juga

yang penting lainya adalah departemen yang mengurangi perikanan. Konsultasi antara

berhubungan dengan hak-hak masyarakat agen-agen kehutanan dan perikanan dapat

pribumi. Negara Kamboja, misalnya, telah memberikan jalan melalui metode-metode

membuat sebuah departemen yang kehutanan yang dapat mengurangi jumlah

mengurusi masalah koordinasi partisipasi erosi dan sedimentasi di sungai-sungai yang

masyarakat dalam pengelolaan perikanan mengalir ke laguna, muara, dan terumbu

(PMCR-Participatory Management of karang.

Coastal Resources Agency). Konflik antara agen-agen yang berbeda

Koordinasi antardepartemen dan antarpihak sering menjadi permasalahan utama bagi

diharapkan dapat menghindari terjadinya pihak pengelola sumber daya. Itulah

disefisiensi dan konflik sehingga pengelolaan sebabnya mengapa beberapa rencana

sumber daya dapat mencapai tujuan pengelolaan gagal. Departemen Pariwisata

pemanfaatan yang maksimal secara memiliki kepentingan kuat pada lingkungan

Sebagai contoh, yang belum rusak, dengan pendapatan yang

berkesinambungan.

Departemen Pertanian dan Departemen didapat dari pariwisata yang sering lebih

Perikanan mestinya berkoordinasi berupaya Perikanan mestinya berkoordinasi berupaya

hukuman tinggi tetapi masih terjadi untuk mengurangi pengikisan sedimen.

perusakan lingkungan yang antara lain dilakukan masyarakat sendiri, dan bagaimana sebagainya pembangunan itu disempurnakan.

Konflik Antartingkat Pemerintah

Dalam Sidang Umum PBB 1983 disepakati

yang Berbeda

membentuk suatu komisi untuk mempelajari Kebijakan nasional berlaku di seluruh negeri,

tantangan lingkungan dan pembangunan namun peraturan yang dibuat oleh

serta cara-cara menanggulanginya. Sekjen pemerintah daerah sesungguhnya lebih

PBB di tahun 1984 mengangkat Nyonya Gro efektif dalam mengendalikan kegiatan yang

Harlem Brundtland (Perdana Menteri sifatnya merusak sumber daya pesisir.

Norwegia) sebagai Ketua Komisi Dunia Peraturan

untuk Lingkungan dan Pembangunan (the memudahkan untuk menentukan batas-batas

World Commission on Environment and pengelolaan dan menunjuk pihak yang

Development); salah seorang anggotanya, Prof. berwenang atas pengelolaan sumber daya.

Emil Salim. Sidang kerja pertama Komisi ini Pemerintah yang bijak akan menyadari nilai

justru dilakukan di Jakarta (Maret 1985) peraturan

berupa dialog langsung dengan pemerintah, pemerintah daerah serta masyarakat untuk

pengusaha dan lembaga-lembaga swadaya mengawasi sumber daya lokal mereka. Di

masyarakat.

Tahun 1987, Komisi membuat laporan yang memberikan kesempatan utnuk membuat

Indonesia, otonomi

daerah

telah

berjudul Our Common Future (Hari Depan dan

Kita Bersama), yang juga dikenal sebagai The program atas inisiatif pemerintah lokal, dan

mengimplementasikan

program-

Brundtland Report. Komisi menyimpulkan, juga menjamin pertisipasi masyarakat dalam

a.l. dalam praktek tidak adanya keterpaduan legal drafting dan proses implementasinya.

antara pertimbangan pembangunan dengan Dalam hal kebijakan dalam konteks banyak

pertimbangan ekologi, tidak adanya kepentingan seperti ini yang harus diingat

keterpaduan antar instansi, dan hukum yang adalah bahwa seberapa pun kuatnya sistem

ada pada umumnya merupakan hukum yang kebijakan, konflik akan tetap selalu ada.

tidak didukung oleh masyarakat. Untuk Tidak ada sistem kebijakan yang sempurna.

mendapatkan dukungan masyarakat, Komisi Karenanya peraturan sekuat apa pun

merekomendasikan pembaharuan hukum di hendaknya cukup fleksibel agar bisa

mana cara yang paling baik menurut Komisi mengakomodasi banyak kepentingan. Sebagai

adalah melalui desentralisasi pengelolaan catatan, kebijakan-kebijakan yang benar-

sumberdaya yang menjadi penopang hidup benar kuat dan bermanfaat adalah yang

masyarakat setempat; dan melalui pemberian didukung oleh masyarakat dari mayoritas

suara yang efektif pada masyarakat itu stakeholder.

mengenai penggunaan sumberdaya tersebut. Jadi, peraturan dan konvensi internasional

awalnya berasal dari agen-agen PBB,

Kebijakan dan Konvensi Internasional

selanjutnya berasal dari kerjasama regional Pada tahun 1980-an, negara-negara di dunia

(antara satu atau dua negara). Pemerintah ini telah menyadari fakta bahwa di samping

bisa menandatangani perjanjian dan kemajuan pembangunan juga terjadi

mengesahkannya, kecuali hal tersebut degradasi lingkungan hidup. Pertanyaan-

merupakan legislasi internasional pada pertanyaan yang muncul waktu itu, mengapa merupakan legislasi internasional pada pertanyaan yang muncul waktu itu, mengapa

termasuk Indonesia, tidak bersifat mengikat.

negara,

menandatangani konvensi ini untuk mendukung penggunaan lahan basah

Kebijakan internasional dan konvensi (berlumpur) yang dikenal dengan

merupakan kekuatan penting dalam sustainable use, termasuk di dalamnya membantu menjaga kelestarian ekosistem hutan Mangrove. Ada dua situs Ramsar dan

pemanfaatannya

secara

yang terletak di Indonesia, yaitu Danau berkesinambungan. Agen-agen internasional

Sentarum di Kalimantan (tidak terdapat sering menyebarkan informasi yang baik dan tanaman bakau) dan sebuah kawasan ratifikasi, yang mengindikasikan keinginan

mangrove di Sumatera Selatan. pemerintah untuk memberikan pengaruh

Dibandingkan dengan negara lain, pada pengelola sumber daya, publik, dan

seperti Kanada, Indonesia hanya Lembaga Sosial Masyarakat (LSM). Berikut memiliki sedikit lahan basah yang daftar kebijakan dan konvensi internasional

dirancang sebagai Situs Ramsar, padahal yang dapat digunakan oleh pengelola

Kanada mempunyai 143 Situs Ramsar. mangrove di Indonesia:

Ini satu indikasi bahwa kurangnya  United Nations Conference on

perhatian pemerintah Indonesia untuk Environment

menominasikan dan mengajukan lokasi- (UNCED): Konferensi internasional di

and

Development

lokasi penting lahan basah untuk Rio de Janeiro pada tahun 1992

berdasarkan Konvensi memberikan resolusi untuk melindungi

dilindungi

Ramsar.

lingkungan yang disebut Agenda 21. Bab  The Convention on Biological Diversity:

17 dokumen ini mengupas sceara spesifik konvensi ini nmendukung integrasi

tentang lingkungan kelautan. konservasi keanekaragaman hayati

 World Heritage Convention: konvensi dengan kegiatan sektoral seperti untuk perlindungan warisan budaya dan

perikanan dan penggunaan sumber daya alam dunia pada tahun 1972 didesain

lainnya. Hal ini bertujuan untuk untuk melindungi warisan budaya

sumber daya (seperti Candi Borobudur) dan situs-

melindungi

keanekaragaman hayati yang besar. situs khusus alam yang bernilai tinggi

Terumbu karang adalah salah satunya. (seperti Great Barrier Reef-Australia

Yang harus kita lakukan dalam merespon atau Ha Long Bai-Vietnam). Konvensi

Konvensi Internasional adalah menjalin ini adalah perlindungan tertinggi duni a

hubungan dengan orang-orang dan yang melindungi situs kelautan dan

departemen yang berkemampuan baik di hanya digunakan bagi situs-situs yang

bidang hukum. Orang-orang ini dapat bernilai besar dengan persetujuan penuh

membantu mempersiapkan urusan mereka dari pemerintah nasional.

untuk konservasi sumber daya sehingga  The International Convention on

dapat memasukkan bahasa hukum yang biasa Wetlands (Ramsar): konvensi ini

digunakan pemerintah

diadakan di Ramsar, Iran pada tahun 1971 dan umumnya dikenal dengan Konvensi Ramsar. Lebih dari 100

Bagian Dua STUDI KASUS PENGELOLAAN MANGROVE

DI INDONESIA BELAJAR DARI SEGARA ANAKAN

Segara Anakan terletak di antara 7°35'- karena sedimentasi. Kawasan yang 7°46'S, l08°45'-109°01'E, di sebelah selatan

berketinggian mulai 0 sampai 4 meter di atas Pulau Jawa, perbatasan antara Jawa Barat dan

muka air laut tersebut dimanfaatkan oleh Jawa Tengah. Luas keseluruhan Kawasan

masyarakat Kampunglaut yang tinggal di Segara Anakan adalah 24.000 hektar,

Segara Anakan antara lain untuk meliputi perairan, hutan mangrove, dan

kenelayanan, pertanian, tambak, dan daratan-daratan lumpur yang terbentuk

penebangan kayu.

Pulau Nusakambangan, yang membujur dari tiga jenis api-api yaitu Avicenia alba, Avicenia timur ke barat sepanjang 36 km dengan lebar

marina, dan Avicenia oficinalis), bogem

4 – 6 km, melindungi kawasan Segara (Sonneratia alba), bakau (Rizophora mucronata Anakan dari Samudera Hindia. Meskipun

dan Rizophora apiculata), tancang (Bruguirea demikian, perairan Segara Anakan masih

sp), nyirih (Xylocarpus granatum dan terhubung dengan Samudera Hindia melalui

Xylocarpus molluccensis) dan nipah (Nypa dua kanal, yaitu kanal timur dan kanal barat.

fruticans). Beberapa tumbuhanlain yang Kanal timur berupa celah sempit, panjang,

berasosiasi dengan tumbuhan mangrove dan dangkal yang memisahkan ujung timur

antara lain Acrostichum aureum, jerujon Nusakambangan dengan Kota Cilacap. Kanal

(Acanthus ilicifolius) dan gadelan (Derris barat berukuran lebih panjang, lebar, dan

heterophylla).

dalam yang memisahkan ujung barat Kawasan Segara Anakan juga merupakan Nusakambangan

dengan

Kecamatan

habitat dari berbagai jenis satwa liar, seperti Kalipucang, Kabupaten Ciamis, sehingga

monyet, linsang, beragam burung dan juga kanal barat lebih berperan dalam interaksi

ikan, udang, serta kepiting. Secara spesifik, pasang surut air laut di Segara Anakan.

Segara Anakan juga merupakan suatu Aliran air tawar di Segara Anakan terutama ekosistem akuatik yang kaya akan jenis berasal dari empat sungai, yaitu Sungai plankton dan komunitas benthic yang Citanduy, Sungai Cibeureum, Sungai mendukung produktivitas primer yang Cikonde,

dan Sungai

Cimeneng.

tinggi. Karenanya, Segara Anakan menjadi Nusakambangan dan Segara Anakan beriklim daerah asuhan (nursery ground) sekaligus humid tropical maritime dengan curah hujan merupakan daerah 45 jenis ikan Peruaya maksimum 3,720 mm per tahun. Suhu rata- (migratory species) dan menjadi juga sebagai rata 27°C. tempat mencari makan ikan -ikan yang

Segara Anakan merupakan kawasan lahan berasal dari sekitar Cilacap dan Samudera basah yang sebagian besar lahannya tertutup

Hindia. Fauna di Segara Anakan banyak yang oleh hutan mangrove. Meskipun hutan

memiliki nilai komersial, antara lain Luijanus tersebut sudah rusak, namun dapat dikatakan

spp, Formio niger, Pampus spp, Anus spp, sebagai kawasan mangrove terluas dan

Trichiurus spp, Priacanthus spp, Chorinemus sp, terlengkap di Jawa yang masih tersisa.

Epinephalus spp, Pomadacys spp, Nemipterus spp, Vegetasi hutan mangrove tersusun oleh jenis

Saurida spp, Johnius sp, Eutherapon sp, Upeneus tertentu dan zonasinya sangat jelas dengan

spp, Gerres kapas, Leognathus spp, Anguilla spp, tinggi pohonnya yang hampir seragam.

Psettodes sp, Cygnoglossus sp, Himantura spp and Frekuensi dan periode pasang surut sangat

Carchaninus spp.

penting di dalam menentukan zonasi dan Berkurangnya jumlah ikan di Segara Anakan

komposisi spesies hutan mangrove. Sebagai sebenarnya tidak saja karena penggunaan alat ekosistem pasang surut, ekosistem hutan tangkap modern dan perilaku nelayan yang

mangrove ketika air pasang didominasi oleh destruktif, melainkan pula karena luas

air laut dan ketika air surut yang dominan perairan Segara Anakan kian hari kian

adalah air tawar. Dengan demikian, menyusut. Dalam duapuluh tahun terakhir, komunitas hutan mangrove mempunyai terjadi sedimentasi yang hebat di Segara

toleransi yang lebar terhadap perubahan Anakan. Sungai-sungai besar dan kecil yang

salinitas. bermuara di Segara Anakan membawa

Di rawa payau tersebut terdapat sekitar 30 lumpur berupa lanau akibat tingkat erosi spesies tumbuhan. Beberapa tumbuhan

tinggi di bagian hulu. Akibatnya, Segara mangrove tersebut adalah api-api (terdapat

Anakan sekarang menjadi suatu laguna yang Anakan sekarang menjadi suatu laguna yang

pendangkalan yang sangat hebat, tetapi juga tanah timbul. Kini Segara Anakan tidak lagi

mengganggu jumlah dan lamanya pasang merupakan sebuah segara yang luas,

surut. Tabel di bawah ini menunjukkan kian melainkan tinggal sungai-sungai yang

menurunnya luas perairan Segara Anakan memisahkan tanah-tanah timbul. Laju

akibat adanya sedimentasi. sedimentasi yang sangat tinggi dari tahun ke

Sedimentasi di Segara Anakan membuat luas perairan makin menyusut. Kondisi ini justru melahirkan strategi penangkapan ikan yang sangat destruktif, seperti penggunaan wide dan jaring apong yang bisa menguras ikan-ikan di perairan yang tersisa

Tahun Luas 1978

Di samping masalah sedimentasi, sejak tahun sangat menyedihkan, tambak udang tersebut 1996 sampai saat ini, ekosistem hutan

juga mengalami kegagalan dan meninyisakan mangrove Segara Anakan juga mengalami

lahan terbuka dengan tumbuhan mangrove stress lingkungan yang sangat tinggi akibat

yang tidak sehat.

penebangan hutan mangrove yang tidak Beberapa upaya telah dilakukan untuk

terkontrol menjadi tambak udang. Yang memperbaiki hutan mangrove yang rusak terkontrol menjadi tambak udang. Yang memperbaiki hutan mangrove yang rusak

Degradasi lingkungan di kawasan tersebut berdampak pada kehidupan masyarakat yang kesehariannya bergantung pada sumber daya hutan mangrove dan perairan. Luas perairan Segara Anakan kian berkurang, sedangkan jumlah penduduknya kian bertambah. Bisa dibayangkan bagaimana perairan Segara Anakan yang luasnya tinggal 400 hektar bisa menghidupi 14.000 jiwa yang sebagian besar hidupnya tergantung dari kenelayanan.

Sejak tahun 1980-an, berbagai permasalahan lingkungan Segara Anakan telah menjadi buah bibir media massa, baik lokal, nasional, maupun internasional. Media massa cukup berperan dalam menarik perhatian p ihak luar, sehingga sejak tahun itu perhatian pada nasib Segara Anakan pun terus bermunculan, termasuk pemerintah yang mendapat pinjaman lunak dari Asian Development Bank.

Bagi orang-orang luar Kampunglaut, Segara Anakan tempo dulu adalah tempat yang eksotik karena keindahannya. Bagi para peneliti, Segara Anakan sudah lama menjadi objek studi, meskipun hasil studinya itu jarang yang dipublikasikan. Bagi mahasiswa, Segara Anakan adalah lokasi praktik yang unik, baik dari segi ekologis maupun kemasyarakatannya. Bagi missionaris, orang Kampunglaut yang tinggal di kawasan Segara Anakan dan Nusakambangan merupakan anak-anak manusia yang harus diberi pencerahan karena sebagian besar masih memeluk agama tradisional, yakni Kejawen.

Bagi pemerintah, Kampunglaut adalah tempat sampah untuk membuang para pegawainya yang melanggar aturan main. Selain itu, Kampunglaut juga dikategorikan daerah miskin sehingga menjadi salah satu tujuan proyek-proyek bantuan. Bagi beberapa lembaga swadaya masyarakat, orang Kampunglaut dianggap kurang berdaya sehingga perlu pendampingan dan membuat mereka menjadi lebih berdaya.

Banyak sekali pihak yang berkepentingan dengan Segara Anakan dan Kampunglaut sehingga ragam intervensi pihak luar di kawasan ini tidak terhitung jumlah dan kualitasnya. Pada tahun 1981, Yayasan Sosial Bina Sejahtera (YSBS) membantu masyarakat Kampunglaut dengan membangun tanggul dari mulai Klaces di sebelah barat hingga Pasuruhan di sebelah timur sejauh kurang lebih 6 km. Masyarakat mendukung dan senang terhadap kiprah yayasan berbasis agama yang berkantor di Cilacap ini. Pada tahun yang sama orang Budhis tidak mau ketinggalan untuk menyebarkan ajarannya di Kampunglaut, namun usahanya tidak sesukses YSBS

Pada tahun 1997, Lembaga Bangun Desa Sejahtera (LBDS) masuk ke Kampunglaut melakukan beberapa kegiatan yang terkait dengan pembangunan di desa. Akan tetapi, upaya mereka yang datang sebentar tersebut tidak terlalu dimengerti oleh masyarakat. Pada tahun 1997 juga terjadi proses penting kaitannya dengan okupasi mangrove ol eh para pengusaha tambak dari luar Kampunglaut. Setelah para pengusaha tambak kehabisan lahan di pantai utara Jawa, mereka pun mengincar lokasi-lokasi lain, termasuk

Segara Anakan.

Mereka kebanyakan orang-orang Cina yang datang dari Pangandaran, Jakarta, Lampung, Karawang, dan Pekalongan. Tanah timbul yang menempel pada lereng Nusakambangan menjadi rebutan karena tanahnya memadai dan agak tinggi sehingga aman pasang besar (banjir).

Setelah beberapa pengusaha berhasil panen, orang Kampunglaut dengan dukungan dari banyak warga yang mengikuti jejak itu

pemerintah dan tentara. Gubuk-gubuk menjadi petambak. Sayangnya mereka gagal,

mereka dibakar. Sebagian besar dari mereka karena lokasi mereka yang berada di tanah

pulang ke Jawa Barat dan sebagian kecil timbul bagian tengah Segara Anakan

lainnya menetap di Lempong Pucung dan tanahnya masih sangat labil sehingga tanggul

Klaces menjadi buruh tani. sering jebol. Tidak hanya masyarakat, pihak Lembaga Permasyarakatan Nusakambangan pun tertarik untuk membuka lahan tambak

Intervensi Pemerintah: PMO-SACDP

bekerjasama dengan sebuah perseroan Pemerintah sangat perhatian dengan Segara terbatas. Menurut cacatan di Desa

Anakan dan Kampunglaut. Ini terbukti Ujungalang, luas lahan yang dibuka untuk

dengan banyaknya proyek pembangunan tambak adalah 187 hektar. Semua tambak

yang masuk ke kawasan Segara Anakan. gagal, selain sistem hidrologi di Segara

Proyek-proyek tersebut antara lain PPK, Anakan sudah terganggu, juga karena adanya

P2MPD, pemberantasan malaria, dan penjarahan yang terjadi pada tahun 1998.

pembangunan sekolah. Hampir setiap tahun, Pada tahun 1997 – 1998, sebuah proyek

sejak diberlakukannya undang undang perkebunan pisang cavendish masuk ke Segara

tentang desa, desa-desa di Kampunglaut Anakan dan Nusakambangan. Perusahaan

menjadi sasaran pembanguan desa tertinggal. perkebunan tersebut, konon menurut cerita

Proyek terbesar dimulai tahun 1997, bertitel dari mulut ke mulut, adalah milik Mbak

Conservation and Tutut. Berhektar-hektar lahan di tanah

Segara

Anakan

Development Project. Untuk menjalankan timbul dan lereng nusakambangan, dari

proyek tersebut, maka di Cilacap dibuat Pesuruhan

kantor bernama Project Management Office menggunakan buldoser.

sehingga disingkat menjadi PMO-SACDP. perkebunan pisang ini menyedot tenaga kerja

Pembukaan

Di kalangan masyarakat lebih dikenal dengan perkebunan yang cukup banyak. Anehnya,

nama PMO.

para pekerja itu tidak diambil d ari Proposal proyek SACDP mulai dirumuskan Kampunglaut, melainkan dari daerah Jawa

oleh pemerintah pada tahun 1995 dan Barat. Mereka mendirikan gubuk-gubuk di

diusulkan pada Asian Development Bank perkebunan untuk tinggal sekaligus menjaga

pada tanggal 19 Juni 1995 sebagai lembaga pohon pisang dari hama binatang.

yang bersedia memberikan pinjaman lunak Belum juga menghasilkan, pada tahun 1998

(baca: utang) untuk proyek tersebut. Setelah perkebunan ditutup. Para pekerjanya belum

melalui proses negosiasi selama satu tahun, sempat dibayar sebagaimana mestinya.

akhirnya usulan utang tersebut disetujui oleh Mereka memutuskan tetap tinggal di lahan

ADB pada tanggal 6 November 1996. ADB perkebunan meskipun perusahaan sudah

memberikan utang untuk SACDP sebesar tutup. Untuk melangsungkan kehidupannya,

22,8 juta dollar AS atau sekitar 200 milyar mereka melakukan kegiatan pertanian di

rupiah (kurs Rp. 9.000,00). Peminjam utang Nusakambangan. Keberadaan mereka sangat

tersebut adalah pemerintah RI melalui mencolok mata. Di satu sisi orang

Direktorat Jenderal Pembangunan Regional Kampunglaut dilarang naik Nusakambangan,

Departemen Dalam Negeri dan Direktorat sedangkan di sisi lain orang luar boleh

Jenderal Semberdaya Air Departemen melakukan

Pekerjaan Umum. Jangka waktu proyek yang Nusakambangan. Pada tahun 1999 akhirnya

disepakati adalah 6 Januari 1997 hingga 30 terjadi pengusiran para pendatang itu oleh

September 2002. Meski proyek dimulai September 2002. Meski proyek dimulai

ruas jalan dengan pavling dan pagar, pembangunan dermaga, café turis, balai

SACDP melakukan kegiatan konservasi, desa, sekolah, pemugaran rumah-rumah,

pembangunan, dan pengelolaan ekosist em pembuatan saluran irigasi (kalen) dan Segara Anakan untuk melindungi nilai sosial pipanisasi air bersih. Dari pembangunan dan ekonominya secara berkelanjutan. sarana fisik itu, yang dirasa kurang berhasil Proyek tersebut meliputi tiga bagian sebagai hanya proyek air bersih dan bangunan untuk berikut. fasilitas pariwisata. Rumah singgah turis di

1. Bagian A adalah manajemen sumberdaya Pelabuhan Motean runtuh begitu saja tanpa air dan kontrol sedimentasi yang

sempat digunakan untuk pariwisata. meliputi pengerukan tanah timbul,

Demikian pula cafe di Klaces menunggu saluran air, dan anak sungai serta

roboh karena tidak ada wisatawan yang peningkatan

perlindungan terhadap banjir dan Pada tahun 2001, PMO-SACDP mendapat

pembangunan infrastruktur lain yang sorotan kurang baik dari masyarakat, terkait

berhubungan. dengan proyek penanaman hutan mangrove.

2. Bagian B adalah pengembangan Setahun sebelumnya, yaitu tahun 2000, masyarakat yang meliputi rehabilitasi dan

PMO-SACDP menanami tanah timbul dan pengelolaan

hutan mangrove yang telah rusak seluas 250 pengembangan akuakultu r, menata

kawasan

mangrove,

hektar dengan pohon-pohon tancang. infrastruktur dasar desa-desa di Kawasan

Program ini melibatkan tiga kelompok Segara Anakan, serta konservasi tanah

masyarakat, di mana masing-masing dan kontrol erosi.

kelompok terdiri atas 30 orang, termasuk

3. Bagian C adalah manajemen proyek dan ada beberapa orang perempuan. Tenaga pengembangan kapasitas yang meliputi

mereka terutama digunakan untuk pengelolaan

menanam. Perharinya mereka dibayar Rp. lingkungan, program pelaksanaan dan

proyek,

pengelolaan

17.500,00 per orang dan memakan waktu perawatan sarana prasarana proyek, dan

Program penanaman perbaikan anggaran untuk menjamin

berbulan-bulan.

mangrove itu tidak ditindaklanjuti dengan kelangsungan program.

pemeliharaannya, sehingga bibit yang baru ditanam tidak bisa tumbuh, karena kalah oleh

Proyek PMO-SACDP sangat besar dan gadelan dan jerujon. Program ini pun gagal holistik. Dalam tulisan terbatas ini saya tidak

total, padahal telah memakan biaya yang mungkin menguraikan secara rinci pekerjaan

sangat besar. Pada tahun 2001, orang-orang PMO-SACDP. Saya juga sama sekali tidak

lapangan PMO-SACDP menjadi sasaran bermaksud menilai PMO-SACDP, karena

kemarahan masyarakat karena sebagian upah saya tidak mempunyai kompetensi apa pun

mereka belum dibayar. dengan hal itu. Saya hanya ingin menyajikan

perspektif dan respon masyarakat terhadap Selain pembangunan sarana fisik, PMO- PMO-SACDP yang terekam dalam catatan

berusaha untuk dan ingatan saya selama bekerja di Segara

SACDP

juga

mengembangkan sumber daya manusia Anakan dari tahun 2001 hingga sekarang.

Kampunglaut, termasuk Desa Ujungalang. Pada tanggal 23 – 28 April 2000, misalnya,

Hal yang paling dirasakan manfaatnya oleh

mengadakan pelatihan masyarakat atas kehadiran PMO-SACDP

PMO-SACDP

Participatory Rural Appraisal (PRA) bagi aparat adalah pembangunan yang bersifat fisik. Di

desa dan tokoh masyarakat di Kawasan Ujungalang, pembangunan fisik yang telah

Segara Anakan dalam rangka Program Diseminasi Proyek Tahun Anggaran 1999/2000. Maksud proyek tersebut adalah untuk memberikan masukan kepada masyarakat, baik selaku subjek maupun objek, berbagai kegiatan PMO-SACDP. Adapun

meningkatkan partisipasi aktif masyarakat desa sebagai sasaran proyek, sehingga terwujud kesamaan pandang dalam mewujudkan berbagai kepentingan proyek PMO-SACDP. Jumlah peserta yang dilibatkan dalam kegiatan ini adalah 27 orang yang berasal dari Ujungalang enam orang, Ujung Gagak enam orang, Panikel enam orang, Pamotan enam orang, dan organisasi kemasyarakatan tiga orang. Dari 27 orang tersebut, 21 laki-laki (77,78%) dan hanya enam orang perempuan (22,22%).

Pemberdayaan masyarakat juga dilakukan melalui pelatihan ekowisata bagi beberapa anggota masyarakat yang berlangsung pada tanggal 5 – 8 Juli 2001. Pelatihan ini bertujuan untuk mengimplementasikan rencana pengembangan wisata di Segara Anakan yang telah didahului dengan pembangunan sarana fisik penunjang wisata seperti rumah singgah dan cafe. Hasil penelatihan ini kemudian disosialisasikan lagi pada bulan November 2001. Namun aksi nyatanya belum tampak hingga fasilitas pariwisata yang telah dibangun hancur.

Salah satu bentuk kegiatan PMO-SACDP dalam pemberdayaan kenelayanan adalah mengembangkan usaha tambak dengan cara memanfaatkan bekas-bekas tambak yang terbengkalai. Beberapa orang Motean, yang semuanya laki-laki, dipilih untuk dilatih menjadi petambak, dengan cara studi banding ke daerah-daerah tambak yang tersohor, seperti Pekalongan. Usaha ini tidak berhasil, karena lahan yang dibuka untuk tambak adalah tanah timbul, sehingga ku rang memenuhi persyaratan. Selain itu, orang - orang yang dipilih mengikuti pelatihan,

menurut beberapa sumber, bukan orang- orang yang tepat.

Kegiatan PMO-SACDP yang sangat terkenal dan kontroversial di masyarakat adalah penyodetan Sungai Citanduy. Menurut penuturan Kepala Kecamatan Pembantu Kampunglaut periode 2000 - 2003, Sadmoko, penyodetan Citanduy bertujuan untuk mengendalikan sedimen yang masuk ke Segara Anakan, yang mengancam laguna tersebut menjadi sebuah daratan. Sungai Citanduy yang merupakan sungai terbesar di Jawa Barat itu, alirannya akan diluruskan, yang semula bermuara di Segara Anakan akan dipindahkan ke perairan Nusawere di wilayah Ciamis. Rencana penyodetan alur Sungai Citanduy tersebut ternyata ditentang oleh DPRD Kabupaten Ciamis dan kalangan LSM. Mereka khawatir, pemindahan muara itu akan merusak dan mencemari lingkungan kawasan Pantai Pangandaran yang menjadi kawasan wisata andalan Kabupaten Ciamis.

Beberapa ahli juga berpendapat, bahwa penyodetan

Citanduy

tidak akan memecahkan masalah, malah sifatnya hanya memindahkan masalah dari Segara Anakan ke Pangandaran. Akibat dari pertentangan ini, ditambah dengan masalah pembebasan tanah, proyek penyodetan Citanduy dikaji ulang. Bahkan, menurut berita di salah satu surat kabar nasional tanggal 13 Maret 2002, ADB sebagai penyandang dana mengancam akan menarik kembali dana yang dikucurkan untuk proyek tersebut bila permasalahan itu tidak segera diselesaikan. Ancaman ADB ini sangat beralasan, karena penyodetan Citanduy

menjadi prasyarat bagi dijalankannya pekerjaan PMO-SACDP yang lain.

Sampai habis tempo proyek, penyodetan Citanduy ternyata tidak bisa dilaksanakan. Untuk itu, PMO-SACDP mengajukan perpanjangan waktu proyek pada ADB. Stelah melalui debat yang cukup alot, ahirnya perpanjangan dikabulkan. ADB setuju untuk memperpanjang proyek dengan catatan Sampai habis tempo proyek, penyodetan Citanduy ternyata tidak bisa dilaksanakan. Untuk itu, PMO-SACDP mengajukan perpanjangan waktu proyek pada ADB. Stelah melalui debat yang cukup alot, ahirnya perpanjangan dikabulkan. ADB setuju untuk memperpanjang proyek dengan catatan

baik dan logis, namun karena tidak dilakukan 100%, mulai tahun 2002 hanya 60% dan

secara partisipatoris, maka praktiknya sering sisanya ditanggung oleh APBN/APBD.

ditentang oleh masyarakat. Seiring dengan perubahan kebijakan

Contohnya adalah dalam hal pengerukan pendanaan SACDP, maka PMO berubah

Untuk mengatasi nama menjadi Badan Pengelola Kawasan

Segara

Anakan.

sedimentasi, selain penyodetan Citanduy, Segara Anakan (BPKSA), yang mana lembaga

salah satu kegiatan SACDP adalah ini diharapkan bisa mandiri setelah ADB pengerukan Segara Anakan. Beberapa kapal menghentikan utang pada tahun 2005. pengeruk didatangkan ke Segara Anakan.