BELAJAR DARI TIWOHO

BELAJAR DARI TIWOHO

Tiwoho adalah sebuah desa kecil di umum kurang-lebih 45 menit. Desa Tiwoho Kecamatan Wori Kabupaten Minahasa

berbatasan dengan Desa Tongkeina (desa Utara, Sulawesi Utara. Jarak Desa Tiwoho

paling ujung Utara Manado) di sebelah Barat, dari ibukota provinsi sekitar 18 km, dapat

sebelah Selatan berbatasan dengan Gunung ditempuh dengan mengendarai angkutan

Tumpa, sebelah Timur berbatasan dengan

Desa Wori dan sebelah Utara adalah pesisir keluhan-keluhan negatif akibat konversi pantai Taman Nasional Bunaken. Desa

tersebut, seperti Tiwoho dihuni oleh 312 kepala keluarga atau

hutan

mangrove

berkurangnya jumlah ikan, kerang, dan sekitar 1.212 jiwa dengan beragam suku.

kepiting karena kehilangan tempat bertelur Suku yang mendominasi adalah Sangir,

dan memijah, tidak adanya penahan ombak sedangkan suku lainnya dengan jumlah tidak

dan angin.

terlalu banyak antara lain Talaud, Minahasa, Hampir bersamaan dengan itu, pada tahun

Gorontalo, Bolaang Mongondow, Jawa, dan 1991 pemerintah melalui Departemen Bugis. Matapencaharian di desa ini beragam, Kehutanan menetapkan wilayah hutan

yaitu petani, nelayan, pegawai negeri, guru, mangrove Desa Tiwoho masuk ke dalam

pedagang, serta tibo-tibo (pengepul) dan wilayah Taman Nasional Bunaken (TNB).

pengrajin. Sebagai bagian yang tak terpisahkan dari

Tiwoho terletak di wilayah pesisir pantai wilayah TNB, Tiwoho harus tunduk pada dengan luas hutan mangrove 62,72 hektar

aturan-aturan TNB. Pada tahun yang sama yang ditumbuhi sekitar 33 spesies mangrove

pula, beberapa masyarakat Tiwoho yang sejati dan mangrove assosiate. Sejak dulu

tergabung dalam Kelompok Swadaya masyarakat Tiwoho terbiasa memanfaatkan

menginisisasi penanaman hutan

Masyarakat

mangrove, dibantu oleh Yayasan Kelola penghidupan, di antaranya: tempat mencari

(sebuah NGO lokal yang bergerak di wilayah kayu bakar, tempat mencari ikan, katang

pesisir). Penanaman dilakukan pada bagian (kepiting), biak (sejenis kerang), tempat

garis pantai untuk menghindari terjadinya mencari biawak, burung, sumber makanan

abrasi. Jenis mangrove yang ditanam adalah ternak kambing, tiang rumah, bahan baku

Sonneratia sp dan Avicennia alba dengan pembuatan atap rumah, dan sumber obat-

mangambil benih dari hutan mangrove obatan tradisional. Kebiasaan ini telah

sekitar yang masih sehat. Empat tahun berlangsung turun-temurun hingga pada

kemudian kelompok masyarakat ini yang suatu ketika di akhir 1989 sebuah perusahaan

masih dibantu oleh Yayasan Kelola yang mengusung panji “Wori Mas” datang

melakukan penanaman kembali pada lahan untuk membuat sebuah usaha di bidang

bekas tambak yang luasnya 25 hektar dengan perikanan, yakni usaha tambak udang dan

pertimbangan keberhasilan penanaman bandeng. Sekitar 25 hektar hutan mangrove

sebelumnya. Saat ini masih terjadi dualisme dikonversi

di tingkatan masyarakat, ada yang pembudidayaan udang dan bandeng.

menjadi

kolam-kolam

mengatakan lahan bekas tambak masih Sebagian masyarakat mendukung kegiatan ini

menjadi milik perusahaan Wori Mas, di lain tapi sebagian meragukan keberhasilannya.

pihak masyarakat lain menganggap lahan Mereka yang masih merasa ragu tidak bisa

tersebut di bawah pengawasan Departemen berbuat banyak karena perusahaan tersebut

Kehutanan. Walaupun demikian penanaman telah mendapatkan lampu hijau dari

tetap dilakukan.

pemerintah desa dan kecamatan. Menurut Pada tahun 1998 dan 1999, tidak kurang dari

seorang warga Desa Tiwoho yang peduli

4 hektar lahan bekas tambak tersebut terhadap wilayah pesisir pantai yang juga ditanami kembali. Kali ini penanaman ketua Forum Masyarakat Peduli Taman mangrove melibatkan anak- anak sekolah Nasional Bunaken (FMPTNB), Lorens Loho, dasar yang berada di Desa Tiwoho. Jenis perusahaan ini hanya beroperasi selama 3 mangrove yang ditanam juga lebih banyak tahun, dan setelah itu perusahaan pergi seperti Bruguiera sp, Rhizophora sp dan Ceriops meninggalkan hutan mangrove dalam tagal. Benih yang ditanam masih mengambil keadaan terbengkalai. Saat itu mulai muncul 4 hektar lahan bekas tambak tersebut terhadap wilayah pesisir pantai yang juga ditanami kembali. Kali ini penanaman ketua Forum Masyarakat Peduli Taman mangrove melibatkan anak- anak sekolah Nasional Bunaken (FMPTNB), Lorens Loho, dasar yang berada di Desa Tiwoho. Jenis perusahaan ini hanya beroperasi selama 3 mangrove yang ditanam juga lebih banyak tahun, dan setelah itu perusahaan pergi seperti Bruguiera sp, Rhizophora sp dan Ceriops meninggalkan hutan mangrove dalam tagal. Benih yang ditanam masih mengambil keadaan terbengkalai. Saat itu mulai muncul

Masih pada tahun 1999, diadakan sebuah pertemuan untuk mengevaluasi keberhasilan penanaman hutan mangrove terse but. Pertemuan ini diadakan di Desa Tiwoho yang dihadiri oleh masyarakat, Yayasan Kelola, dan pihak pemerintah. Dari pertemuan ini terungkap tiga keinginan masyarakat mengenai pemanfaatan hutan mengrove. Pertama, masyarakat menginginkan adanya manfaat ekonomi dari hutan mangrove yang ditandai dengan terjadinya peningkatan hasil tangkapan ikan. Kedua, masyarakat dibebaskan melakukan aktivitas kenelayanan di wilayah tersebut. Ketiga, pengelolaannya tidak diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat Tiwoho karena mereka lebih banyak bergelut pada kegiatan pertanian. Penanaman mangrove ini masih terus dilakukan hingga tahun 2003 yang difasilitasi oleh Mangrove Action Project (MAP) dan Yayasan Kelola.

Rehabilitasi mangrove di Desa Tiwoho dapat dikatakan

pertumbuhan mangrovenya cepat dan saat ini sebagian bekas tambak udang telah dipenuhi oleh mangrove, walaupun masih ada beberapa tempat yang mangrovenya masih kecil-kecil. Saat ini tidak ada lagi penanaman mangrove di Tiwoho dengan alasan jumlah mangrove yang menghasilkan bibit sudah

mencukupi untuk distribusi ke lahan -lahan yan sesuai untuk pertumbuhan mangrove . Yang perlu dicatat di sini adalah bahwa hutan mangrove akan lebih cepat pertumbuhannya jika dibiarkan tumbuh secara alami.

Sebelum bergabung dengan TNB, pengelolaan mangrove di Tiwoho dikelola langsung oleh masyarakat dengan cara mereka sendiri. Pengelolaannya pun lebih bebas, misalnya masyarakat bisa mengambil kayu bakar, mancari makanan untuk ternak, bahkan ternak dibiarkan bebas mencari makanan sendiri di kawasan hutan mangrove. Kondisi ini menyebabkan kawasan mangrove di Tiwoho agak memprihatinkan. Tapi semenjak bergabung dalam kawasan TNB, mangrove di Tiwoho mengalami perbaikan. Aturan mengenai pelarangan masyarakat untuk menebang pohon mangrove membawa dampak baik bagi kondisi mangrove di Tiwoho. Perlahan tapi pasti, ekosistem mangrove mengalami perubahan ke arah yang lebih baik. Hal ini juga dibarengi dengan kesadaran masyarakat untuk lebih menjaga hutan mangrove mereka. Bukan hanya hal itu yang menjadi keuntungan bagi masyarakat Tiwoho, dengan terjaganya lestarinya ekosistem mangrove mereka secara langsung jumlah ikan, kepiting, dan kerang juga ikut meningakat. Selain itu, Tiwoho juga sempat kecipratan dana dari TNB sebanyak tiga kali berturut-turut yang jumlahnya rata-rata Rp. 10.000.000,00 untuk pembangunan desa sebagai kompensasi bergabung dengan TNB, walaupun seharusnya dana seperti itu rutin diterima setiap tahunnya oleh masing- masing desa yang tergabung dalam TNB. Masyarakat juga diberi kepercayaan dengan mengangkat warganya menjadi petugas patroli keamanan untuk TNB.

Selain dampak positif, warga juga terkena dampak negatif dengan bergabung dalam kawasan TNB. Pemicunya terutama karena Dewan Pengelola Taman Nasional Bunaken (DPTNB) dan Balai Pengelolaan Taman

Nasional Bunaken (BPTNB) selaku badan MAP bekerja sama dengan Yayasan Kelola yang bertanggungjawab mengelola TNB

membuat sebuah pusat belajar masyarakat seringkali melakukan kegiatan yang tidak

pesisir yang disebut Daseng Lolaro. Daseng dikomunikasikan dengan masyarakat. Semua

Lolaro didirikan dengan tujuan sebagai pusat keputusan hanya datang dari pihak

kegiatan yang berkaitan daerah pesisir, pemerintah tanpa melibatkan masyarakat

khususnya mangrove. Untuk memaksimalkan yang sebenarnya punya hak untuk campur

fungsi Daseng Lolaro tersebut, sejak 2004, tangan mengelola sumber daya mereka.

MAP dan Kelola membuat berbagai pelatihan Karenanya masyarakat Tiwoho saat ini

guna peningkatan kapasitas masyarakat. sedang menggodok sebuah peraturan desa

Selain berbagai pelatihan, kegiatan lain yang mengenai pengelolaan hutan mangrove agar

telah dilakukan yang berhubungan dengan masyarakat mempunyai kekuatan hukum

pemanfaatan ekosistem mangrove adalah dalam mengelola sumber daya mereka

pendidikan lingkungan hidup buat anak-anak sendiri. Hal ini penting mengingat kawasan

SD dan SMP, yang menjadikan ekosistem mangrove Tiwoho merupakan salah satu situs

mangrove sebagai laboratorium alam yang rehabilitasi mangrove yang berhasil dan

Selain itu juga menjadi percontohan baik tingkat lokal,

sangat lengkap.

pengembangan nasional bahkan internasional. Saat ini sudah

diselenggarakan

matapencaharian alternatif dari mangrove banyak mahasiswa, peneliti, aktivis lembaga

sebagai bentuk pemanfaatan mangrove yang swadaya masyarakat, dan staf dari instansi

ramah lingkungan dan berkelanjutan. Semua pemerintah yang datang berkunjung atau

kegiatan itu bertujuan untuk menumbuhkan melakukan riset di kawasan mangrove

rasa peduli masyarakat terhadap mangrove, Tiwoho.

karena pengelolaan mangrove tidak sekedar berurusan dengan masalah teknis melainkan

Sebagai tempat yang telah menjadi pula terkait dengan masalah kultural. percontohan, maka sudah selayakya Tiwoho

mempunyai kelebihan lain. Pada tahun 2002,

Rehabilitasi mangrove di Tiwoho yang melibatkan anak-anak sekolah