BEBERAPA KETENTUAN TENTANG AKAD NIKAH DALAM HUKUM PERKAWINAN ISLAM

BAB II BEBERAPA KETENTUAN TENTANG AKAD NIKAH DALAM HUKUM PERKAWINAN ISLAM

A. Pengertian Akad Nikah Akad Nikah merupakan dua kata yang memiliki makna

tersendiri. Oleh karena itu sebelum dua kata tersebut dikombinasi dalam satu pengertian terlebih dahulu dikemukakan makna masing- masing. Kata akad dapat diartikan sebagai sebuah ikatan perjanjian. Apabila dihubungkan dengan pernikahan, maka akad tersebut merupakan ikatan batin antara suami istri untuk hidup bersama dan menjalani masa-masa perkawinan secara bersama, sehingga akad ini pun diartikan sebagai janji atau ikatan yang kuat.

Kata nikah berasal dari bahasa Arab yaitu اح – حي – ح . Dilihat dari arti secara bahasa kata nikah ini diartikan sebagai “ ّم ا

عجا” 38 atau disebut “menyatukan dan mengumpulkan”. Pengertian lain menyatakan bahwa nikah adalah 39 ( خادت ا) atau disebut “saling memasukkan”. Dikatakan dalam bahasa lain bahwa nikah adalah

38 Muh}ammad ibn Muh}ammad ibn Muh}ammad al-Ghaza>li>, al- Wasi>t} fi> al- Maz\ hab, Jilid V, t.tp: Da>r as-Sala>m, 1997, h. 3. Lihat pula Abi> Muh}ammad

Mah}mu>d ibn Ah}mad al- „Aini>, al-Bina>yah fi> Syarh} al-Hida>yah , Juz. IV, Beirut- Lebanon: Da>r al-Fikr, 1990, h. 469.

39 Syiha>b ad-Di>n Ah}mad ibn Idri>s al-Qara>fi>, az \-Z\akhi>rah , Juz IV, Beirut- Lebanon: Da>r al-Gharb al-Isla>mi>, 1994, h. 188.

دقع ا ء ا ع ا ع 40 yaitu suatu ungkapan tentang jimak (hubungan badan) dan akad.

Menurut syarak, kata nikah digunakan untuk menunjukkan pada suatu akad yang diucapkan dalam pernikahan. 41 Dalam

pengertian lain disebutkan bahwa nikah adalah suatu akad yang dinyatakan untuk mendapatkan legalitas kepemilikan agar dapat

melakukan hubungan badan dengan istrinya. 42 Dengan akad tersebut seseorang dibolehkan untuk bersenang-senang, bercumbu dan

melakukan hubungan badan dengan istrinya. Hal ini merupakan ketentuan Tuhan untuk menghalalkan hubungan seorang laki-laki dengan perempuan yang telah diakadkannya, sehingga ia pun dapat

memiliki seutuhnya tubuh istrinya tersebut. 43 Di antara para pakar hukum Islam ada pula yang mengartikan

nikah sebagai wat 44 } ’u atau disebut “hubungan badan”. Hal tersebut disebabkan adanya pemaknaan nikah ini secara bahasa yaitu ّم ا

yang diartik an penyatuan yang lebih cenderung ke arti “hubungan badan”. 45 Selain itu, adanya keinginan seorang laki-laki menikahi

seorang perempuan disebabkan karena adanya kecenderungan ingin melakukan hubungan badan. Oleh karena itu nikah diartikan sebagai wat ’u. }

40 Wahbah az-Zuh}aili>, al-Fiqh al-Isla mi > > wa adillatuhu > , Juz VII, Damaskus: Da>r al-Fikr, 1985, h. 29.

41 Abi> Muh} ammad „Abdulla>h ibn Ah}mad ibn Muh}ammad ibn Quda>mah, al- Mughni > , Juz IX, Riya>d}: Da> r „A<lam al-Kutub, 1997, h. 339.

42 Muh}ammad ibn Muh}ammad ibn Muh}ammad al-Ghaza>li>, al-Wasi >t} fi> al- Maz\hab , Jilid V, t.tp: Da>r as-Sala>m, t.th, h. 3.

43 Wahbah az-Zuh}aili>, al-Fiqh al- Isla>mi> , Juz VII, h. 29. 44 Abi> Ish}a>q Burha>n ad-Di>n Ibra>hi>m ibn Muh}a mmad ibn „Abdulla>h ibn Muh}ammad ibn Muflih} al-H}anbali>, al- Mubdi’ Syar h} al- Muqni‘, Juz VI, Beirut- Lebanon: Da>r al-Kutub al- ‘Ilmi>yah, 1997, h. 81. Lihat pula dalam Syiha>b ad-Di>n Ah}mad ibn Idri>s al-Qara>fi>, az\-Z\akhi>rah , Juz IV, h. 188.

45 Abi> Muh}ammad Mah}mu>d ibn Ah}mad al- ‘Aini>, al- Bina>yah fi> Syarh} al- Hida> yah, Juz IV, Beirut-Libanon: Da>r al-Fikr, 1990, h. 469.

Timbulnya perbedaan para pakar hukum Islam mengartikan kata nikah di atas, tampaknya disadari oleh para pakar tersebut bahwa kata nikah sebenarnya bermakna ganda (musyratak) antara

akad dan wat 46 } ’u. Para pakar H}anafi>yah menyatakan bahwa kata nikah pada hak ikatnya untuk menunjukkan ke makna “wat}’u” dan

secara metapora (maja >z ) bermakna “akad”. Sebaliknya para pakar Sya> fi‟i>yah menyatakan bahwa kata nikah pada hakikatnya untuk menunjukkan ke makna “akad” dan secara metapora (maja>z) bermakna “wat}’u”. Berbeda dengan dua pendapat di atas, pakar hukum Imam Malik dan Ahmad menyatakan bahwa kata nikah hakikatnya untuk menunjukkan makna “wat}’u” dan “akad” secara bersamaan. 47

Berdasarkan beberapa pengertian nikah beserta adanya perbedaan pendapat di atas, tampaknya dapat diketahui bahwa nikah adalah suatu akad yang diucapkan oleh mempelai laki-laki dan wali perempuan ketika melangsungkan pernikahan. Akad tersebut bertujuan agar pergaulan antara laki-laki dan pihak perempuan yang melakukan akad tidak terbatas dan menjadi halal dalam pandangan agama Islam.

46 Muh}ammad ibn Muh}ammad ibn Muh}ammad al-Ghaza>li>, al- Waji>z fi> Fiqh al-Ima >m asy-Sya> fi‘i>, Juz II, Beirut-Lebanon: Da>r al-Arqa>m, 1997, h. 3.

47 Abi> Muh}ammad Mah}mu>d ibn Ah}mad al- „Aini>, al- Bina>yah fi> , Juz IV, h. 469. Lihat pula dalam Muh}ammad ibn Muh}ammad ibn Muh}ammad al-Ghaza>li>,

al-Wasi>t} fi> al-Maz\hab , Jilid V, h. 3.

B. Kedudukan Akad dalam Pernikahan Akad dalam suatu pernikahan merupakan rukun yang paling

penting dan harus dilaksanakan dalam pernikahan. Sebab, hakikat akad dalam pernikahan adalah kerelaan (rida) kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) serta kesediaan keduanya untuk mengikat dirinya untuk hidup berumah tangga. Diakui, kerelaan dan kesediaan tersebut sebenarnya berkaitan dengan perasaan di dalam diri masing- masing dan hal ini pada dasarnya tidak dapat dilihat kasat mata. Kerelaan dan kesediaan ini hanya dapat diukur dan diidentifikasi melalui indikasi-indikasi dari gerak gerik kedua belah pihak atau salah satu di antaranya yang dibuktikan pula melalui perkataan yaitu

akad atau disebut i 48 >ja>b dan qabu>l. Akad yang menyatakan kemauan untuk membentuk hubungan

suami istri atau disebut penyerahan pihak perempuan kepada pihak laki-laki yang biasanya diwakilkan oleh wali atas anak perempuannya disebut i >ja>b, sedangkan akad yang menyatakan rasa ridha dan setujunya terhadap keinginan untuk membentuk hubungan suami istri disebut qabūl. Pentingnya perbuatan yang menunjukkan keinginan atau rasa ridha tersebut dan didukung dengan perkataan berupa akad yang penting pula dinyatakan di hadapan wali dan saksi serta orang banyak, karena melalui hal seperti inilah dapat diketahuinya setuju, ridha atau tidaknya seseorang dengan ikatan

tersebut. 49 Oleh karena itu, satu hal yang mesti dilakukan dan

diperhatikan setiap calon pasangan adalah memikirkan terlebih dahulu secara maksimal tentang besarnya konsekuensi akad sebelum melakukan akad pernikahan. Sebab, akad tersebut bukan sekedar

48 Sayyid Sa>biq, Fiqh as-Sunnah, Jilid II, Kairo: al-Fath} li I‘la>m al- „Arabi>, 1995, h. 124.

49 Ibid., h. 124.

perjanjian yang bersifat keperdataan. Namun sebenarnya akad pernikahan adalah akad yang dinyatakan Alquran secara langsung bahkan disebut sebagai akad atau perjanjian yang sangat kuat. Hal ini dapat dilihat dalam firman Allah Q.S. an-Nisa> [4]: 21 yang tertulis sebagai berikut :

…dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. 50

Para pakar tafsir menyatakan bahwa ayat di atas atau lebih spesifik pada dua kata اظي غ اقاثيم adalah suatu akad atau perjanjian yang diambil oleh orang tua pihak perempuan dari calon suami

anaknya. 51 Dikatakan dalam bahasa lain, bahwa dua kata di atas merupakan penyerahan kehormatan anak perempuannya kepada

calon suami yang dicintai oleh anaknya. Sebaliknya suami pun juga menyambut penyerahan ini dan menjadikan perempuan tersebut sebagai istri yang dicintainya untuk hidup bersama dalam

membangun dan membina rumah tangga dengan rukun dan damai. 52 Rasulullah juga melakukan hal ini ketika menikahkan putrinya

Fatimah dengan calon suaminya „Ali> ibn Abi> T}a>lib. Ketika itu Rasulullah berkata kepada „Ali> bahwa Fa>t}imah ini untuk „Ali> dan berharap kepada „Ali> agar ia dapat bergaul dengan Fa>t}imah secara baik. 53

50 Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, Jakarta: Nala Indah, 2006, h. 572.

51 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishba > h: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-

52 Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz IV, Cet. III, Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002, Qur’an, Vol. 2, Jakarta: Lentera Hati, 2000, h. 368. h. 305.

53 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al- Mishba> h, Vol. 2, h. 368.

Dengan demikian akad atau perjanjian dalam pernikahan merupakan akad atau perjanjian yang sangat kokoh, bahkan akad ini

juga menjadi dasar untuk hidup bersama sebagai suami istri. 54 Oleh karena itu perjanjian ini pun sebenarnya tidak dapat diubah atau pun

dirusak dan ia merupakan fitrah yang dijadikan istri sebagai pegangan ketika meninggalkan orang tuanya dan saudara-saudara serta keluarganya yang lain untuk hidup bersama dengan suami yang dicintainya. Suami pun mesti bergaul dengan istrinya secara baik dan seandainya terjadi pula perceraian ketika masih hidup yang sebelumnya telah dicari solusi yang terbaik di antara yang baik,

mesti pula dilakukan dengan baik. 55 Sampai di sini, akhirnya dapat dikatakan bahwa kedudukan

akad atau perjanjian dalam pernikahan adalah hal yang sangat krusial dalam membina keteraturan dan kedamaian dalam kehidupan rumah tangga. Akad atau perjanjian ini bukan sebuah akad trial and error, uji coba, permainan (game), bahkan sebagai akad atau perjanjian seperti dalam dunia kerja dan bisnis. Sebaliknya akad dalam pernikahan merupakan akad yang sakral dan suci. Masing- masing suami istri mesti menjaga, memelihara dan memupuk akad pernikahannya dalam lingkungan dan iklim petunjuk Q.S [30:21] yang menghendaki adanya rasa tenteram (saki >nah), saling mencintai (mawaddah) dan saling mengasihi (rah 56 }mah) dan memandang

bahwa rumah tangganya adalah laksana taman dan bangunan

54 Ibid. 55 T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir al- Qur’anul Majid: An-Nu > r, Jilid 1

(surat 1-4), Semarang: Pustaka Rizki, 2000, h. 814. 56 LM. Syarifie, Bekal Pengantin Muslim Menuju Kebahagiaan, Gresik:

Putra Pelajar, 1999, h. 26. Lihat pula dalam Ahmad Rofik, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995, h. 183.

surga. 57 Seandainya pun cinta (mawaddah) telah pupus di antara suami dan istri, tetapi dengan adanya rasa saling mengasihi

(rah 58 }mah) hubungan rumah tangga masih dapat dipertahankan. Dengan demikian dapat pula dikatakan bahwa akad atau

perjanjian yang sangat kuat seperti yang diungkapkan di atas sebenarnya juga menunjukkan bahwa pernikahan dilakukan bukan hanya untuk sementara waktu ataupun dalam jangka waktu tertentu. Sebaliknya akad atau perjanjian dalam pernikahan merupakan akad atau perjanjian untuk seumur hidup dan tidak dibolehkan memutuskan pernikahan tanpa adanya alasan yang dibenarkan menurut agama maupun menurut undang-undang hukum positif Islam khususnya di Indonesia. Bahkan apabila suami istri ini dapat hidup bersama, saling berbagi dan menyayangi baik dalam suka maupun dalam duka, hingga akhirnya mereka pun harus dipisahkan oleh ajal, tetapi dengan bermodal kokohnya perjanjian yang telah dilakukan maka di kehidupan akhirat kelak mereka pun masih bisa

bergabung dan hidup bersama. 59

C. Tujuan Melakukan Akad Pernikahan dalam Islam Pernikahan dilakukan bukan hanya untuk sementara waktu

ataupun dalam jangka waktu tertentu, namun pernikahan sebenarnya untuk seumur hidup dan tidak dibolehkan memutuskan pernikahan tanpa adanya alasan yang dibenarkan menurut agama maupun menurut undang-undang hukum positif Islam khususnya di Indonesia. Menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan

57 Ramlan Mardjoned, Keluarga Sakinah: Rumahku Syurgaku, Jakarta: Media Da‟wah, 2003, h. 223.

58 Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Alquran, Bandung: Mizan,1998, h. 208.

59 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishba > h, Vol. 2, h. 368.

sebagaimana yang disebutkan di atas, Islam memberikan kesempatan kepada laki-laki dan perempuan untuk melakukan khiya >r terhadap calon pasangannya sekiranya ditemukan aib dan hal- hal lain yang melahirkan ketidaksenangan salah satu pasangan terhadap pasanganya. Semua ini dilakukan agar suatu saat salah satu di antara keduanya tidak mengalami penyesalan setelah hidup

berumah tangga. 60 Pentingnya menjaga kualitas pernikahan ini, sebenarnya

didasari dari sakralnya tujuan pernikahan itu sendiri. Dalam pandangan Islam tujuan melakukan pernikahan adalah karena pada dasarnya manusia memiliki naluri seks yang kuat, sehingga dengan pernikahan naluri tersebut dapat disalurkan secara sehat dan halal

sehingga badan pun menjadi segar. 61 Tujuan lain yang dapat dicapai dengan melakukan pernikahan ini adalah memelihara jatuhnya ke

dalam hal-hal yang diharamkan Allah seperti melakukan hubungan di luar nikah, free seks dan sebagainya. Oleh karena itu melakukan pernikahan bagi seorang laki-laki dan perempuan adalah hal yang

dianjurkan bahkan merupakan perintah dalam agama. 62 Begitu juga dengan melakukan pernikahan setiap manusia dapat melestarikan

keturunan 63 yang di dalamnya akan terbentuk naluri kebapakan dan

60 Abi> Ish}a>q Ibra>hi>m ibn ‘Ali> ibn Yu>suf al-Fairuzzaba>di> asy-Syaira>zi>, al- Muhaz\z\ab fi> Fiqh al-Ima>m asy- Sya>fi‘i> , Juz II, Beirut-Lebanon: Da>r al-Kutub al-

‘Ilmi>yah, 1995, h. 449. Lihat pula dalam Syams ad-Di>n Muh}amamd ibn al-Kha>t}ib asy-Syarbi>ni>, Mughni> al-Muhta>j ila> Ma‘rifah Ma‘a > ni > al- Fa>z} al- Minha>j, Juz III, Beirut-Lebanon: Da>r al- Ma„rifah, 1997, h. 267-268.

61 Sayyid Sa>biq, Fiqh as-Sunnah, Jilid II, h. 108. 62 Abi> Ibra>hi>m Isma>‘i>l ibn Yah}ya> ibn Isma>‘i>l al-Mis}ri> al-Muzni>, Mukhtas}ar

al- Muzni> fi> Furu>‘ asy-Sya>fi‘i>yah , Beirut-Lebanon: Da>r al-Kutub al- ‘Ilmi>yah, 1998, h. 219. Lihat pula dalam Abi> Muh}ammad ‘Abdulla>h ibn Ah}mad ibn Muh}ammad ibn Quda>mah, al-Mughni> , Juz IX, h. 341.

63 Wahbah az-Zuh}aili>, al-Fiqh al-Isla>mi> , Juz VII, h. 29.

keibuan untuk memelihara serta membesarkan anak-anaknya dengan penuh ramah, cinta dan sayang. 64

Selain hal-hal yang disebutkan di atas, pernikahan juga bertujuan untuk memperkokoh ikatan dalam keluarga. 65 Ikatan ini

akan menimbulkan rasa tanggung jawab untuk melaksanakan kewajibannya masing-masing sehingga suami giat bekerja dan istri pun semangat mengatur serta mengurusi urusan rumah tangga. Hal ini baik dalam mendidik anak-anaknya atau pun untuk menyiapkan suasana yang damai bagi suaminya dalam beristirahat setelah lelah

bekerja memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga. 66 Menyadari kewajiban masing-masing ini maka tujuan

pernikahan tersebut sebenarnya termasuk pula menciptakan suasana saling tolong menolong di antara suami dan istri dalam menghadapi

aneka macam rintangan kehidupan. 67 Dengan demikian rumah tangga yang dibangun pun berjalan dengan damai dan teratur. 68

Dalam hukum Positif Indonesia juga mengatur tentang tujuan melakukan pernikahan. Hal ini dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 1 bahwa :

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 69

64 Sayyid Sa>biq, Fiqh as-Sunnah, Jilid II, h. 109. 65 Wahbah az-Zuh}aili>, al-Fiqh al-Isla>mi> , Juz VII, h. 29. 66 Sayyid Sa>biq, Fiqh as-Sunnah, Jilid II, h. 109. 67 Wahbah az-Zuh}aili>, al-Fiqh al-Isla>mi> , Juz VII, h. 29.

68 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2002, h. 26.

69 Departemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum, Jakarta: Dirjen Bimbagais, 1996/1997, h. 210.

Tujuan dalam Undang-undang di atas, ditegaskan kembali dalam hukum positif Islam Indonesia (fikih Indonesia) Kompilasi Hukum Islam. Dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Pasal 3 disebutkan bahwa “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah”. 70

Bunyi pasal 3 Kompilasi Hukum Islam di atas, merupakan generalisasi dari beberapa deskripsi tujuan melakukan pernikahan di atas dan merupakan aplikasi dari Q.S ar-Ru>m [30]: 21 yang tertulis sebagai berikut :

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat

tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. 71

Jelasnya dengan menggunakan kaca mata firman Allah di atas, disyariatkannya pernikahan dalam Islam dipastikan memiliki tujuan dan hikmah serta manfaat atau maslahat yang sangat banyak. Satu hal yang merupakan substansi pernikahan ini bahwa manusia- manusia yang dilahirkan dari suatu pernikahan dan tentunya sebagai manusia, siapa pun orangnya berhak mendapat gelar kehormatan sebagai khalifah diharapkan dapat memperbaiki bumi Allah ini,

70 Departemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum, Jakarta: Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2004, h. 167.

71 Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, h. 572.

berjalan di atas garis-garis yang telah ditetapkan Allah serta dapat pula menegakkan syariat-syariat yang telah ditentukan Allah dengan

sebaik-baiknya. 72

D. Ketentuan tentang Sebelum, di Saat dan Sesudah Pelaksanaan Akad Nikah

Dalam Islam telah diatur beberapa ketentuan baik yang berkaitan dengan sebelum pelaksanaan akad nikah atau pun ketika pelaksanaan akad tersebut, bahkan setelah pengucapan akad nikah. Ketentuan yang berkaitan dengan sebelum pelaksanaan akad nikah, dalam Islam diatur adanya peminangan (khit }bah). Peminangan tersebut adalah permintaan seorang laki-laki kepada seorang perempuan atau kepada walinya agar perempuan ini menjadi istrinya.

Apabila perempuan dan walinya menyetujui (menerima) permintaan tersebut, maka selesailah proses peminangan. 73 Satu hal

yang mesti diperhatikan bahwa Islam melarang keras meminang perempuan yang telah dipinang orang lain secara sah dan adanya halangan-halangan lain yang melarang dilangsungkannya

perkawinan. 74 Ketentuan lainnya adalah kewajiban calon suami memberikan

mahar kepada calon istri. 75 Mahar diartikan sebagai “perasaan jujur dan putih hati”. 76 Maksudnya adalah harta yang diberikan itu adalah

72 Muh}ammad ibn Muh}ammad ibn Muh}ammad al-Ghaza>li>, al-Waji>z fi> Fiqh, Juz II, h. 5.

73 Wahbah az-Zuh}aili>, al-Fiqh al-Isla>mi> , Juz VII, h. 10. 74 Syams ad-Di>n Muh}amamd ibn al-Kha>t}ib asy-Syarbi>ni>, Mughni> al- Muhta>j , Juz III, h. 33. 75 Lihat Q.S. an-Nisa [4]: 4 dan 25. 76 Hamka, Tafsir al-Azhar, Cet. VIII, Jakarta: Pustaka Panjimas, 2004, h.

diberikan secara tulus dan putih hati kepada calon istri yang akan

77 dinikahi, 78 baik berupa uang atau barang sekalipun dari cincin besi. 79

Selanjutnya ketentuan ketika pelaksanaan akad nikah adalah berkaitan dengan unsur-unsur (syarat dan rukun) akad nikah. Seberapa banyak dan apa-apa serta siapa yang menjadi syarat dan rukun perikatan perkawinan, para pakar ushul fikih memiliki pandangan yang berbeda-beda. Namun yang pasti para pakar ini memiliki kesepakatan bahwa sah atau tidaknya perikatan perkawinan tergantung terpenuhi atau tidaknya syarat dan rukun

perikatan perkawinan tersebut. 80 Apabila berpedoman pada fikih Indonesia (KHI) unsur-unsur yang wajib dipenuhi dalam perikatan

perkawinan adalah adanya calon mempelai laki-laki dan perempuan, adanya wali calon mempelai perempuan, adanya dua orang saksi dan

diakhiri dengan mengucapkan i 81 >ja>b qabu>l.

77 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishba>h : Pesan, Kesan dan Keserasian Al- Qur’an, Vol. 1, Jakarta: Lentera Hati, 2000, h. 346.

78 Tim Penulis, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003, h. 1042.

79 Lihat hadis Nabi yang menyatakan demikian dalam Abu> ‘Abdulla>h Muh}ammad ibn Yazi>d al-Qazwi>ni>, Sunan Ibnu Ma>jah , Jilid I, t.tp: Da>r Ih}ya> al-

Kutub al- ‘Arabi>yah, t.th, h. 608. 80 Sayyid Sa>biq, Fiqh as-Sunnah, Jilid II, h. 142. Lihat Ibn Rusyd, Bida>yah

al-Mujtahid wa Niha>yah al-Muqtas } id , Surabaya: al-Hida>yah, t.th., h. 3. Pakar hukum Islam Indonesia juga mengatakan hal yang sama. Pendapat tersebut dapat dilihat dalam Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2006, h. 59. Begitu juga Ahmad Rofik, Hukum Islam, h. 72.

81 Lihat pasal 14 tentang rukun dan pasal 15-29 tentang syarat perikatan perkawinan pada Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi

Hukum Islam Perkawinan dalam Departemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum, Jakarta: Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2004, h. 169-171.

Adapun ketentuan setelah mengadakan i >ja>b qabu>l adalah pengucapan perjanjian yang sebenarnya sebelum melaksanakan akad, kedua calon mempelai telah membuat dan menyepakati perjanjian dalam perkawinan keduanya. Sepanjang tidak bertentangan dengan agama, Islam membolehkan keduanya membuat perjanjian tersebut, termasuk pula perjanjian dalam bentuk

ta‘līq t}ala>q 82 yang dibacakan setelah pengucapan i >ja>b qabu>l di tengah-tengah orang yang hadir pada saat itu.

Hal berikutnya yang diatur dalam hukum perkawinan Islam adalah mengadakan resepsi perkawinan (wali >mah al- ‘urs). Resepsi perkawinan ini merupakan suatu acara yang diselenggarakan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan, karena telah bersatunya dua jenis manusia yang berbeda dalam ikatan suci untuk membina rumah tangga. Selain itu resepsi perkawinan ini merupakan media untuk menyatakan bahwa kedua mempelai yang mengadakan ikatan suci ini resmi sebagai suami istri. Bahkan sesuai dengan makna wali >mah itu sendiri, resepsi perkawinan merupakan acara yang diselenggarakan untuk menjamu kerabat, sahabat dan masyarakat muslim yang datang menyaksikan ikatan suci tersebut.

Berdasarkan eksistensi resepsi perkawinan ini menyelenggara- kan resepsi perkawinan tidak hanya mengandung kebaikan, bahkan menurut mayoritas para pakar ushul fikih status hukum resepsi

perkawinan ini termasuk sunnah 83 mu’akkadah. Hal ini dapat dibuktikan melalui praktik Nabi Muhammad sendiri yang

menyelenggarakan resepsi tersebut dan menganjurkan pula kepada

82 Lihat pasal 45-52 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Perkawinan, Ibid., h. 174-176.

83 Sayyid Sa>biq, Fiqh as-Sunnah, Jilid II, h. 273. Slamet Abidin, et.al., Fiqih Munakahat 1, Bandung: Pustaka Setia, 1999, h. 149.

masyarakat muslim untuk menyelenggarakannya kendati pun dengan acara yang sangat sederhana. 84

Dari beberapa hal yang disebutkan, tampaknya hal yang paling esensi dalam perkawinan adalah kerelaan (rida) kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) serta kesediaan keduanya untuk mengikat dirinya untuk hidup berumah tangga. Diakui, kerelaan dan kesediaan tersebut sebenarnya berkaitan dengan perasaan di dalam diri masing- masing dan hal ini pada dasarnya tidak dapat dilihat kasat mata. Kerelaan dan kesediaan ini hanya dapat diukur dan diidentifikasi melalui indikasi-indikasi dari gerak gerik kedua belah pihak atau salah satu di antaranya yang dibuktikan pula melalui perkataan yaitu

akad atau disebut i 85 >ja>b dan qabu>l. Hal ini telah dijelaskan pada bahasan sebelumnya pada bagian kedudukan akad nikah dalam

Hukum Perkawinan Islam.

E. Syarat dan Rukun Akad Nikah Syarat dan rukun akad nikah ini sebenarnya telah diulas secara

sekilas pada bahasan sebelumnya, tetapi karena hal ini berkaitan erat dengan penelitian ini maka syarat dan rukun akad nikah dipandang penting diuraikan pada bahasan tersendiri. Sebagaimana diketahui bahwa syarat adalah segala sesuatu yang mesti dipenuhi sebelum

84 Lihat hadis Nabi yang menganjurkan untuk mengadakan resepsi perkawinan, walaupun jamuan yang dihidangkan hanya dari seekor kambing

sebagaimana dalam hadis Nabi. Lihat dalam Abu> ‘Abdulla>h Muh}ammad ibn Isma>‘il al-Bukha>ri>, S } ah}i>h} al-Bukha>ri> , Juz V, Beirut-Lebanon: Da>r Ibn Kas\i>r, t.th,

h. 1983. Seekor kambing kala itu mungkin harganya tidak seberapa mahal dan sangat jauh apabila dibandingkan dengan harga di zaman sekarang. Apabila dapat diinterpretasikan secara kontekstual, seekor kambing dalam hadis Nabi itu mungkin sama dengan beberapa ekor ayam ras di zaman sekarang atau dalam interpretasi lain bahwa jamuan yang diselenggarakan tersebut adalah sesuai dengan kemampuan.

85 Sayyid Sa>biq, Fiqh as-Sunnah, Jilid II, h. 124.

melaksanakan suatu kegiatan, dan dengan tidak terpenuhinya salah satu syarat menyebabkan tidak dapat dilaksanakannya suatu kegiatan. Artinya suatu pekerjaan tidak dapat diteruskan apabila di antara salah satu syarat ada yang belum terpenuhi. Adapun rukun adalah sesuatu yang harus dipenuhi ketika melaksanakan kegiatan dan jika rukun tersebut tertinggal menyebabkan tidak sahnya suatu kegiatan.

1. Rukun Akad Nikah

Dalam Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI-fikih Indonesia) Bab IV Rukun dan Syarat Perkawinan pasal 14 disebutkan bahwa :

Untuk melakukan perkawinan harus ada:

a. Calon suami

b. Calon istri

c. Wali nikah

d. Dua orang saksi, dan

e. Ijab dan Kabul 86

Lima rukun di atas wajib dipenuhi ketika menyelenggakaran akad nikah. Sebagaimana disebutkan sebelumnya apabila salah satu rukun akad nikah ini ditinggalkan atau tertinggal, maka akad nikah yang dilakukan dipandang tidak sah atau disebut pula sebagai akad

nikah yang fa 87 >sid (rusak) yang mesti dilakukan faskh.

2. Syarat-Syarat Akad Nikah

a. Calon Mempelai

Dalam Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam bahwa syarat-syarat yang harus dipenuhi

86 Departemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum, h. 169. 87 „Abdurrah}ma>n al-Jazi>ri>, Kita>b al- Fiqh ‘ala> , Juz IV, h. 118.

bagi calon mempelai adalah seperti yang diatur dalam pasal 15 sampai pasal 18 KHI yakni : 88

Pasal 15 (1) Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.

(2) Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Ayat (2), (3), (4), dan (5) UU No. 1 Tahun 1974.

Pasal 16 (1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai. (2) Bentuk persetujuan calon mempelai wanita dapat berupa

pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan, atau isyarat tetapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas.

Pasal 17 (1) Sebelum berlangsung perkawinan, Pegawai Pencatat Nikah menanyakan lebih dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua saksi nikah.

(2) Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan.

88 Departemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum, h. 169.

(3) Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti.

Pasal 18 Bagi calon suami dan calon istri yang akan melangsungkan pernikahan tidak terdapat halangan perkawinan sebagaimana diatur dalam Bab VI.

Halangan perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 18 di atas adalah berkaitan dengan larangan perkawinan yang

diatur dalam pasal 39 sampai pasal 44, yakni : 89

Pasal 39 Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan :

1. Karena pertalian nasab:

a. dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya;

b. dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu;

c. dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya.

2. Karena pertalian kerabat semenda;

a. dengan seorang wanita yang melahirkan istrinya atau bekas istrinya;

b. dengan seorang wanita bekas istri orang yang menurunkannya;

c. dengan seorang wanita keturunan istri atau bekas istrinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas istrinya itu qabla ad-dukhul;

89 Ibid., h. 173-174.

d. dengan seorang wanita bekas istri keturunannya.

3. Karena pertalian sesusuan;

a. dengan wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis lurus ke atas;

b. dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah;

c. dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemenakan sesusuan ke bawah;

d. dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas;

e. dengan anak yang disusui oleh istrinya dan keturunannya.

Pasal 40 Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu;

a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain,

b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;

c. seorang wanita yang tidak beragama Islam.

Pasal 41 (1) Seorang pria dilarang memadu istrinya dengan seorang

wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau susuan dengan istrinya:

a. saudara kandung, seayah atau seibu serta keturunannya;

b. wanita dengan bibinya atau kemenakannya.

(2) Larangan tersebut pada Ayat (1) tetap berlaku meskipun istri- istrinya telah ditalak raj„i, tetapi masih dalam masa iddah.

Pasal 42 Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4 (empat) orang istri yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj„i.

Pasal 43 (1) Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria:

a. dengan seorang wanita bekas istrinya yang ditalak tiga

b. dengan seorang wanita bekas istrinya yang di- li„an. (2) Larangan tersebut pada Ayat (1) Huruf a gugur, kalau bekas istri tadi telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba‘da ad-dukhul dan telah habis masa iddahnya.

Pasal 44 Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.

b. Wali Akad Nikah

Dalam Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam bahwa syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi wali akad nikah adalah seperti yang diatur dalam pasal 19

sampai pasal 23 KHI yakni : 90

90 Ibid., h. 170-171.

Pasal 19 Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.

Pasal 20 Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim dan akil baligh. Wali nikah terdiri dari:

a. Wali nasab;

b. Wali hakim.

Pasal 21 (1) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan

kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat-tidaknya sususan kekerabatan dengan calon mempelai wanita. Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas

yakni ayah, kakek dari pihak ayah, dan seterusnya.

Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka.

Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki- laki kandung ayah, saudara seayah, dan keturunan laki-laki mereka.

Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek, dan keturunan laki-laki mereka.

(2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.

(3) Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatannya maka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah kera-bat kandung dari kerabat yang hanya seayah.

(4) Apabila dalam satu kelompok derajat kekerabatannya sama, yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama derajat kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.

Pasal 22 Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu, atau sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.

Pasal 23 (1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah

apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan.

(2) Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut.

c. Dua Orang Saksi

Dalam Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam bahwa syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi dua orang saksi akad nikah adalah seperti yang diatur dalam

pasal 24 sampai pasal 26 KHI yakni : 91

Pasal 24 (1) Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah. (2) Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi.

Pasal 25 Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, akil baligh, tidak terganggu ingatan, dan tidak tuna rungu atau tuli.

Pasal 26 Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani akta nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan.

d. Ijab dan Kabul

Dalam Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam bahwa syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam mengucapkan ijab kabul adalah seperti yang diatur dalam

pasal 27 sampai pasal 29 KHI yakni : 92

91 Ibid., h. 171. 92 Ibid.

Pasal 27 Ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu.

Pasal 28 Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Wali nikah dapat mewakilkan kepada orang lain.

Pasal 29 (1) Yang berhak mengucapkan kabul ialah calon mempelai pria secara pribadi. (2) Dalam hal-hal tertentu ucapan kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria.

(3) Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan

Itulah beberapa syarat yang ditentukan baik yang didasarkan kepada nas ataupun hasil dari pendapat para pakar hukum Islam klasik yang kemudian diunifikasi dan selanjutnya dikodifikasi yang akhirnya menjadi pedoman umat Islam Indonesia dalam melaksanakan akad nikah. Ketinggalan atau ditinggalkannya salah satu syarat yang ditentukan di atas, menyebabkan tidak dapat dilaksanakannya akad nikah. Apabila akad nikah diteruskan tanpa memenuhi syarat-syarat tersebut, maka akad nikah ini disebut Itulah beberapa syarat yang ditentukan baik yang didasarkan kepada nas ataupun hasil dari pendapat para pakar hukum Islam klasik yang kemudian diunifikasi dan selanjutnya dikodifikasi yang akhirnya menjadi pedoman umat Islam Indonesia dalam melaksanakan akad nikah. Ketinggalan atau ditinggalkannya salah satu syarat yang ditentukan di atas, menyebabkan tidak dapat dilaksanakannya akad nikah. Apabila akad nikah diteruskan tanpa memenuhi syarat-syarat tersebut, maka akad nikah ini disebut

difaskh melalui pembatalan hubungan pernikahan suami istri.

F. Memelihara Akad Pernikahan Mempertimbangkan kembali kedudukan akad dalam

pernikahan yang begitu krusial dan tujuan melakukan akad tersebut untuk mendapatkan kehidupan rumah tangga yang saki >nah, mawaddah dan rah }mah di antara suami dan istri maka hal yang mesti pula dipahami, disadari dan bahkan diterapkan baik oleh suami atau pun istri adalah terpenuhinya hak dan kewajiban masing- masing. Secara umum baik dalam legislasi (tasyri ‘) yang dimuat > pada literatur-literatur ilmiah hukum (fikih) perkawinan Islam atau pun legislasi (tasyri > ‘) dalam Undang-undang positif Islam hak dan kewajiban ini dirumuskan ke dalam tiga bentuk yaitu hak dan kewajiban suami istri secara umum, hak dan kewajiban suami terhadap istri serta hak dan kewajiban istri terhadap suami.

Adanya hak dan kewajiban ini disebabkan hubungan suami dan istri sebenarnya berpijak pada hubungan timbal balik. Hubungan ini tidak hanya berbentuk hubungan menerima tetapi dalam waktu yang bersamaan juga merupakan hubungan memberi. Oleh karena itu hubungan tersebut dapat disebut bahwa hak istri merupakan kewajiban suami dan sebaliknya hak suami merupakan kewajiban

istri. 94 Kompilasi Hukum Islam atau disebut pula fikih Indonesia

yang merupakan hasil ijtihad dan ijma > ‘ suku>ti> para pakar hukum Islam (fikih) di negara ini menguraikan secara rinci dan sistematis

93 „Abdurrah}ma>n al-Jazi>ri>, Kita>b al- Fiqh ‘ala> , Juz IV, h. 118. 94 Anshari Thayib, Struktur Rumah Tangga Muslim, Surabaya: Risalah Gusti,

2000, h. 2.

terhadap ketiga bentuk hak dan kewajiban ini. Dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam pada Bab XII Hak dan Kewajiban Suami Istri adalah sebagai berikut :

Bagian Kesatu Umum

Pasal 77 (1) Suami istri memikul kewajiban luhur untuk menegakkan

rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dari susunan masyarakat;

(2) Suami istri wajib saling cinta-mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir dan batin yang satu kepada yang lain;

(3) Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak

mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya;

(4) Suami istri wajib memelihara kehormatannya; (5) Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-

masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama. 95

Pasal 78 (1) Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang

tetap; (2) Rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat (1), ditentukan oleh suami istri bersama. 96

95 Departemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum, h. 181.

Bagian Kedua Kedudukan Suami Istri

Pasal 79 (1) Suami adalah kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah

tangga; (2) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat;

(3) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. 97

Adapun berkaitan dengan spesifikasi kewajiban suami terhadap istri disebutkan dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam pada Bab XII Hak dan Kewajiban Suami Istri sebagai berikut :

Bagian Ketiga Kewajiban Suami

Pasal 80 (1) Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah

tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami istri bersama;

(2) Suami melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya;

96 Ibid., h. 182. 97 Ibid.

(3) Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada istrinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa;

(4) Sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung :

a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri;

b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak;

c. biaya pendidikan anak. (5) Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari istrinya;

(6) Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf

a dan b; (7) Kewajiban suami sebagaimana yang dimaksud ayat (5)

gugur apabila istri nusyuz. 98

Bagian Keempat Tempat Kediaman

Pasal 81 (1) Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan

anak-anaknya atau bekas istri yang masih dalam idah; (2) Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk istri selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam idah talak atau idah wafat;

(3) Tempat kediaman disediakan untuk melindungi istri dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka

98 Ibid.

merasa aman dan tenteram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga;

(4) Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat-alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang

lainnya. 99

Bagian Kelima Kewajiban Suami yang Beristri Lebih dari Seorang

Pasal 82 (1) Suami yang mempunyai istri lebih dari seorang

berkewajiban memberi tempat tinggal dan biaya hidup kepada masing-masing istri secara berimbang menurut besar kecilnya jumlah keluarga yang ditanggung masing- masing istri, kecuali jika ada perjanjian perkawinan;

(2) Dalam hal para istri rela dan ikhlas, suami dapat menempatkan istrinya dalam satu tempat kediaman. 100

99 Ibid., h. 182-183. 100 Ibid., h. 183.

Bagian Keenam Kewajiban Istri

Pasal 83 (1) Kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti lahir

dan batin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam;

(2) Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya. 101

Pasal 84 (1) Istri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau

dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah;

(2) Selama istri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap

istrinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya;

(3) Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesudah istri tidak nusyuz; (4) Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari istri

harus didasarkan atas bukti yang sah. 102