Perhitungan Fungsi Grand Partisi

3.3 Perhitungan Fungsi Grand Partisi

Selanjutnya kita akan menghitung fungsi grand partisi untuk beberapa macam assembli.

Tinjau assembli yang memiliki energi E i dan jumlah sistem N i . Jumlah sistem pada masing-masing kelompok energi dalam assembli tersebut adalah n 1 ,n 2 ,n 3 , … dan energi kelompok-kelompok tersebut adalah  1 ,  2 ,  3 , …. Dengan demikian energi total asembli dan jumlah total sistem dalam assembli ke-i adalah

Fungsi grand partisi menjadi

dengan W i adalah bobot konfigurasi assembli ke-i (jumlah cara penyusunan system-sistem dalam assembli ke-i). Untuk sistem semiklasik kita sudah dapatkan

 s n s !  i

sehingga n  s g

 i

 i  s n

Sebelum kita lanjutkan penyederhanaan persamaan (3.36), mari kita lihat aturan berikut ini. Kita memiliki hubungan matematis berikut ini

 2  ...  N  s n s !  2  ...  N  s n s !

n 1  n  2  ...  N s n s ! N !   s 

  x s  (3.37)

Selanjutnya ruans kiri dan kanan kita jumlahkan terhadap N dari N = 0 sampai N =  sehingga diperoleh

N   0 n 1  n 2  ...  N s n s ! N   0 N !  s 

(    s ) / kT

Jika kita mengganti x s  g s e maka

 g s e   (3.39)

(    s ) / kT n s

 N  0 N !

(    s ) / kT 

N  0 n 1  n 2  ...  N s

Ruas kiri persamaan (3.29) dapat ditulis ulang menjadi

 N  0 n 1  n 2  ...  N s n s !

(    s ) / kT n g s

(    s ) / kT n s

 N  0  s n s !  

Dengan demikian persaman (3.39) menjadi

(    s ) /  kT  

 N  0  s n s ! 

(  g  e  s ) / kT n s

N   0 N !  s

Ruas kiri persamaan (3.40) persis sama dengan ungkapan fungsi grand partisi pada persamaan (3.36). Dengan demikian kita dapatkan ungkapan lain untuk grand partisi adalah

N 

( Z  g e   s ) / kT 

1  / kT  N 

N   0 !    s  N exp Ze  /  kT   (3.41)

  s / kT 

kT

Tampak bahwa fungsi grand partisi untuk assembli semiklasik menjadi sangat sederhana. Besaran Z dalam persamaan (3.41) adalah fungsi partisi sari sistem. Jadi fungsi grand partisi dapat ditentukan dari fungsi partikel satu sistem. Dengan kata lain, untuk mencari fungsi grandpartisi assembli semiklasik kita cukup mencari fungsi partisi untuk satu sistem kemudian menggunakan persamaan (3.41) untuk mencari fungsi grad partisi.

Dengan menggunakan fungsi grand partisi pada persaman (3.41) maka jumlah rata-rata sistem dalam assembli adalah

  ln Z G 

N  kT    

 Ze

/ Ze kT   (3.42)

Contoh 3.1

Kita ingin mencari fungsi grand partisi assembli momen magnetik yang berada dalam medan magnet. Momen tersebut memiliki tiga kemungkinan arah orientasi: searah, tegak lurus, atau berlawanan arah medan magnet.

Jawab Gambar di bawah ini adalah kemungkinan arah orientasi tiap momen magnetik dan energi yang dimiliki untuk tiap arah orientasi tersebut.

E 1 =- B

E 2 =0

E 3 = B

Pada gambar di atas  adalah besar momen magnetik. Fungsi partisi satu sistem adalah

 B / Z kT  e  e  e  e 3 e   1    e 

Fungsi grand partisi menjadi

G  exp  Ze   exp  e  1  e  e  

Persamaan keadaan assembli tersebut adalah

Dengan menggunakan persamaan (3.14) kita dapatkan rata-rata sistem dalam assembli adalah

Dengan membandingkan dengan persamaan PV/kT kita simpulkan bahwa

PV  N kT

Jika n adalah jumlah rata-rata sistem pada kelompok energi ke-s dalam suatu s

assembli maka jumlah rata-rata sistem dalam suatu assembli dapat ditulis

N  n s . (3.43)

  s / Karena fungsi partisi satu partikel memenuhi persamaan kT Z  g s e maka

berdasarkan persamaan (3.43) kita dapat menulis

Jika kita bandingkan persamaan (3.43) dan (3.44) kita simpulkan bahwa jumlah rata-rata sitem dalam kelompok energi ke-s dalam suatu assembli di dalam ensembel grand kanonik adalah

(    s ) / kT

n s  g s e (3.45)

Persamaan (3.45) cukup menarik untuk dicermati. Pada assembli mikrokanonik (jumlah energi dan sistem tetap), jumlah sistem yang menempati keadaan dengan energi  s adalah n s = g s exp[ - s /kT]. Namun pada assembli grand kanonik (jumlah energi maupun sistem dalam assembli selalu berubah-ubah) maka jumlah sistem yang menempati keadaan dengan energi  s selalu berubah-ubah. Tetapi nilai rata-rata sistem yang menempati keadaan dengan energi  s memenuhi persamaan (3.45). Jadi, pada assembli grand kanonik, yang dapat kita definisikan adalah harga rata-rata, karena harga sesaat selalu berubah. Dan harga rata-rata tersebut sama dengan harga sesaat untuk assembli mikrokanonik.

Untuk mencari bentuk integral dari fungsi grand partisi partikel semi klasik

mari kita mulai dari persamaan (3.24) Z G 

 N i

(  N  E i , N ) / kT

e . Kita mentransformasi

penjumlahan ke bentuk integral dengan cara sebagai berikut

.....  .....  N d  6 N , dengan  N  adalah kerapatan keadaan. Untuk assembli

3 semiklasik kerapatan keadaan memenuhi N  N  1 / N ! h . Dengan demikian bentuk integral dari fungsi grand partisi semiklasik mengambil bentuk

1 [  N  E ( N )] / kT

1  N / kT  E ( N ) /  kT

3 N e e d  6 N  (3.46)

Kasus khusus. Untuk kasus khusus di mana interaksi antar partikel diabaikan maka E(N) hanya mengandung energi kinetik dan memenuhi persamaan

ix  p iy  p iz

Dengan demikian

6 N  e dx i  dy i dz i dp ix dp iy dp iz  

E ( N ) / kT

E ( N ) / e kT  d  

 p ix  p iy   p iz  i 

 dx i dy i dz i exp  

 dp ix dp iy dp iz 

2 mkT

 dp iz  i 

p   V exp 

p ix   

 2  mkT        2 mkT    N V 2  mkT 2 mkT 2 mkT 

2  mkT 

Untuk kasus khusus ini fungsi grand partisi memiliki bentuk

3 N e V 2 mkT    

exp Ze  /  kT  N N !  

1  / kT N Ze

3 3 / Yang tidak lain merupakan persamaan (3.40). Pada hasil di atas, 2 Z  [( V / h ) 2  mkT ] adalah fungsi partisi satu partikel.

Untuk menentukan fungsi grand partisi bose-einstein mari kita mulai dengan meninjau deret ukur berikut ini

 1  x j  x j  x j  ...  x j 1  x j

  x j   x j  ...  x j  

n 1 , n  2 , n 3 ,...

j x j x j ...

 x j (3.47)

n 1 , n  2 , n 3 ,...  j 

(    j ) / kT

Selanjutnya kita misalkan x j  e sehingga kita dapat menulis (3.47) menjadi

 2 , n 3 ,... j 

 exp  n j (    j ) / kT  (3.48)

n 1 , n  2 , n 3 ,...  j

Telah didefinisikan bahwa fungsi grand partisi adalah

n s (    s ) / kT 

di mana s adalah indeks kelompok energi. Tetapi penjumlahan

terhadap kelompok-kelompok energi memberikan hasil yang persis sama dengan penjumlahan

n i (   i ) / kT  terhadap keadaan individual. Perbedaan hanya pada 

jumlah suku yang dijumlahkan. Jumlah suku pada penjumlahan yang terakhir lebih banyak daripada jumlah suku penjumlahan pada yang pertama (lihat Gambar 3.1). Jadi

n s (    s ) / kT  n i (    i ) / kT 

/ kT

kT

Gambar 3.1 Pada bagian kiri keadaan dikelompokkan. Penjumlahan di sebelah kiri adalah penjumlahan per kelompok sedangkan penjumlah di sebelah kanan adalah penjumlahan per tingkat energi. Hasilnya sama saja. Pada gambat kiri, n s menyatakan jumlah sistem dalam satu kelompok (yang mencakup sejumlah keadaan). Pada gambar kanan, n i adalah jumlah sistem pada satu keadaan.

Lebih lanjut, karena boson merupakan partikel tak terbedakan maka jumlah cara penyusununan boson-boson pada keadaan ke-i hanya satu, berapa pun jumlah boson yang menempati keadaan tersebut. Dengan demikian, untuk boson W i  1 . Dengan demikian untuk sistem boson fungsi grand partisi pada persaman (3.35) dapat ditulis menjadi Lebih lanjut, karena boson merupakan partikel tak terbedakan maka jumlah cara penyusununan boson-boson pada keadaan ke-i hanya satu, berapa pun jumlah boson yang menempati keadaan tersebut. Dengan demikian, untuk boson W i  1 . Dengan demikian untuk sistem boson fungsi grand partisi pada persaman (3.35) dapat ditulis menjadi

 exp n i (    i ) / kT (3.49)

n 1  , n 2 ,...   i

Ingat, penjumlahan yang semula dilakukan terhadap indeks-i diubah menjadi penjumlahan terhadap indeks n karena tiap i n berkorelasi dengan satu nilai i. i

Bandingkan persamaan (3.48) dan (3.49). Dari sini kita dapat simpulkan bahwa fungsi grand patisi untuk boson dapat ditulis sebagai

(    j ) / kT   (3.50)

Tampak dari persamaan (3.50) bahwa fungsi grand partisi boson cukup sederhana. Untuk mencari fungsi grand partisi kita awali dengan menjadi tingkat-tingkat energi dalam asembli tersebut (  j ). Tingkat energi inilah yang digunakan untuk menentukan fungsi grandpartisi. Untuk assembli mikrokanonik, fungsi partisi

memenuhi persamaan standar Z  e  . Tetapi pesan umum yang dapat diperoleh

  j / kT

di sini adalah, apapun jenis assembli yang kita miliki, mencari fungsi partisi atau grand partisi diawali dengan mencari tingkat-tingkat energi. Setelah tingkat energi diketahui maka fungsi partisi maupun grand partisi dapat dihitung dengan mudah.

Pada persamaan (3.50) ada parameter  sedangkan pada fungsi partisi mikrokanonik tidak ada. Penyebabnya adalah karena adanya pertukaran partikel pada assembli grand kanonik. Pertukaran partikel melahirkan perubahan energi sebesar  dikali jumlah partikel yang keluar/masuk. Pada assembli mikrokanonik, tidak ada Pada persamaan (3.50) ada parameter  sedangkan pada fungsi partisi mikrokanonik tidak ada. Penyebabnya adalah karena adanya pertukaran partikel pada assembli grand kanonik. Pertukaran partikel melahirkan perubahan energi sebesar  dikali jumlah partikel yang keluar/masuk. Pada assembli mikrokanonik, tidak ada

   ln 1   e  

 (    j ) / kT  

1 kT

     (    j ) / kT      e

Tetapi kita dapat juga menulis

N  n  (3.32) j

Dengan n j adalah jumlah rata-rata sistem yang menempati keadaan energi ke-j dalam suatu assembli. Dengan membandingkan persamaan (3.51) dan (3.32) kita simpulkan

bahwa jumlah rata-rata sistem pada keadaan ke-j adalah

1 n j  (  j   ) / kT (3.52)

Persamaan (3.52) juga cukup menarik untuk dicermati. Pada assembli mikrokanonik (jumlah energi dan sistem tetap), jumlah sistem yang menempati satu Persamaan (3.52) juga cukup menarik untuk dicermati. Pada assembli mikrokanonik (jumlah energi dan sistem tetap), jumlah sistem yang menempati satu

assembli grand kanonik (jumlah energi maupun sistem dalam assembli selalu berubah-ubah) maka jumlah sistem yang menempati keadaan dengan energi  j selalu berubah-ubah. Tetapi nilai rata-rata sistem yang menempati keadaan dengan energi  j memenuhi persamaan (3.52). Pada assembli grand kanonik, yang dapat kita definisikan adalah harga rata-rata, karena harga sesaat selalu berubah. Dan harga rata-rata tersebut sama dengan harga sesaat untuk assembli mikrokanonik.

Terakhir kita mencari fungsi partisi Fermi-Dirac. Kita sudah mendapatkan bentuk fungsi grand partisi sistem kuantum yaitu persamaa (3.49). Untuk fermion, satu keadaan energi hanya boleh kosong atau ditempati satu sistem saja karena memenuhi prinsip ekslusi Pauli. Jadi untuk fermion n j hanya boleh 0 atau 1. Sekarng kita lihat relasi berikut ini

x j x  x m  ...  (3.53)

 j  j   j

 j   jm  

Mengingat n 1 , n 2 , n 3 , … untuk fermion hanya bisa mengambil nilai 0 atau 1 maka bagian kanan persamaan (3.53) dapat disederhanaklan menjadi

n 1 , n 2 ,  n 3 ,....( 0 , 1 )  j 

Sebagai contoh

Dengan demikian persamaan (3.53) dapat ditulis ulang menjadi

n 1 , n 2 , n  3 ,....( 0 , 1 )  j 

(    j ) / kT

Jika kita mensubstitusi x j  e pada persamaan (3.54) maka

  n 1 , n 2 ,  n 3 ,....( 0 , 1 ) j 

n 1 , n 2 ,  n 3 ,....( 0 , 1 )  j

n   / kT   exp  j (  j ) (3.55)

Perhatikan bagian kanan persamaan (3.55). Kita dapat menulis ulang sebagai berikut

n 1 , n 2 , n 3 ,....( 0 , 1 )

n 1 , n 2 ,  n 3 ,....( 0 , 1 )  kT 

  N i  E exp i 

Substitusi ke dalam persmaan (3.55) kita peroleh

 n 1 , n 2 ,  n 3 ,....( 0 , 1 )

Jika kita perhatikan persamaan (3.56) tampak jelas bahwa bagian kanan persamaan (3.56) adalah fungsi grand partisi. Akhirnya kita simpulkan bahwa fungsi grand partisi fermion dapat ditulis dalam bentuk

(    j ) / kT

1 e (3.57)

Sekarang kita hitung jumlah rata-rata sistem yang menemptai keadaan ke-j. Kita mulai dengan menghitung jumlah rata-rata sistem dalam suatu assembli, yaitu

   ln 1   e

    (    j ) / kT     e

 j    1  e   kT  

(    j ) / kT

e  1  (    j ) / kT   (  j   ) / kT (3.58)

Tetapi kita dapat juga menulis

N  n j  (3.32)

Dengan membandingkan persamaan (3.32) dan (3.58) kita simpulkan bahwa jumlah rata-rata sistem pada keadan ke-j adalah

1 n j  (  j   ) / kT (3.59)

Ingat, karena jumlah sistem dalam satu keadaan hanya boleh 0 atau 1 maka akan

terpenuhi 0  n j  1 .

Persamaan (3.59) juga cukup menarik untuk dicermati. Pada assembli mikrokanonik (jumlah energi dan sistem tetap), jumlah sistem yang menempati satu

keadaan (keadaan ke-j) dengan energi  j adalah n j  (  j   kT ) / kT . Namun pada e  1

assembli grand kanonik (jumlah energi maupun sistem dalam assembli selalu berubah-ubah) maka jumlah sistem yang menempati keadaan dengan energi  j selalu berubah-ubah. Tetapi nilai rata-rata sistem yang menempati keadaan dengan energi  j memenuhi persamaan (3.59). Pada assembli grand kanonik, yang dapat kita definisikan adalah harga rata-rata, karena harga sesaat selalu berubah. Dan harga rata-rata tersebut sama dengan harga sesaat untuk assembli mikrokanonik.

Hal menarik lainnya yang perlu kita cermati adalah mengapa fungsi grand partisi diungkapkan dalam bentuk perkalian

? Apakah tidak mempersulit?

Mengapa bukan dalam tanda penjumlahan (sigma)? Jawabannnya tegas tidak. Karena yang sering kita gunakan dalam mencari besaran termodinamika bukan fungsi partisi itu sendiri, tetapi logaritma fungsi partisi. Kita tahu semua bahwa logaritma perkalian sama dengan jumlah logaritma. Jasi, ketika fungsi grand partisi yang kita miliki berbentuk

, namun ketika kita gunakan dalam mencari besaran termodinamika kita akan

dapatkan bentuk penjumlahan (setelah dilogaritma).

Seperti dijelaskan sebelumnya, ensembel grand kanonik mengijinkan terjadinya perubahan jumlah sistem dalam suatu assembli. Dengan kata lain ensembel ini menginjinkan terjadinya fluktuasi jumlah sistem. Pada assembli kanonik yang kita bahas pada bab terdahulu, fluktuasi energi yang dimiliki asembli diijinkan. Berikut ini kita akan merumuskan fluktuasi jumlah sistem dalam assembli ensembel grand kanonik (lihat Gambar 3.2).

Gambar 3.2 Ilustrasi fluktusi jumlah partikel dalam assembli. Sumbu datar menyatakan assembli ke-i sedangkan sumbu vertikan adalah jumlah partikel yang dimiliki masing-masing assembli. Garis mendatar adalah jumlah rata-rata partikel pada assembli.

Fluktuasi jumlah sistem dalam assembli didefinisikan sebagai

N  N  N (3.60) Untuk mencari bentuk eksplisit persamaan (3.60) kita berangkat dari definisi

  ln Z G 

N  kT  (3.60)   

(  N i  E i ) / e kT 1

( N i  E i ) / N kT  N i p i  N i

Dengan demikian

Z G  (3.62) 

  kT  kT

   Z G    kT  

Fungsi grand partisi untuk sistem klasik memenuhi persamaan (3.40), Z

G  exp  Ze  . Dengan menggunakan persamaan (3.60) kita dapatkan

 / kT

Ze    

/ N kT  kT ln Z

Dengan  demikian,     /  kT N /    ( 1 / kT ) Ze  N / kT . Akhirnya kita dapatkan

G  kT

Ze 

/ kT

N  N (3.63)

Fluktuasi jumlah sistem dalam assembli didefinisikan sebagai

2   N (3.64)

 N 

Tampak bahwa fluktuasi berbanding lurus dengan kebalikan akar rata-rata jumlah sistem dalam assembli.

Sekarang kita coba membahas penurunan dengan metode alternatif. Fungsi grand partisi boson dan fermion yang telah kita turunkan di atas dapat dinyatakan dalam bentuk umum

dengan    = -1/kT, z e ,  = +1 untuk fermion dan  = -1 untuk boson. Dengan mengambil logaritma dua ruas persamaan (3.65) kita dapatkan,

Kita ingat kembali definisi berikut ini yang dipelajadi di kuliah Kalkulus,

ln( 1  x ) 

dx

Selanjutnya kita uraikan 1/(1+x) dalam deret Taylor sebagai berikut

1  x  x  x  ...  (  1 ) x  ...  (  1 ) x

Dengan demikian kita dapat menulis dx n

ln( 1  x ) 

x dx  (  1 )

Dengan mensubstitusi x   ze maka diperoleh ungkapan untuk fungsi grand partisi sebagai berikut

 j n  1 n

n  j

n  1 n  1  z (  1 )  q ( n ) (3.67)

di mana

q ( n )  e  (3.68)

n  j

Pada bagian awal kita sudah turunkan persamaan yang menghubungan perkalian tekanan dan volum dengan fungsi grand partisi sebagai   PV  ln Z G .

Dengan demikian bentuk perkalian tekanan dan volum memenuhi

q ( n  )  (3.69)

PV  (  1 ) 

Dan jumlah rata-rata partikel dalam assembli memenuhi

N  z ln Z G  z

n  1 n  1  n (  1 )  z q ( n  )  (3.70)

Energi rata-rata assembli dapat ditulis dalam bentuk

ln Z G 

Dari persamaan jumlah rata-rata sistem dalam assembli kita dapat menentukan jumlah rata-rata sistem dalam tiap tingkat energi sebagai berikut,

 j   

 j 1   ze

 j 1   ze

 j

Persamaan (3.72) dapat ditulis sebagai

Sehingga jumlah rata-rata partikel pada tingkat energi ke-j memenuhi

Dari persamaan (3.73) kita dapat ungkapkan jumlar rata-rata sistem pada assembli boson dan fermion. Untuk boson (  = -1) persamaan (3.73) menjadi

 j

e   e 1

n j     j    (  j   ) (3.74)

Untuk fermion (  = +1) maka persamaan (3.73) menjadi

   e j e 1

n j     j    (  j   ) (3.75)

Sekarang kita menyelidiki satu sifat yang menarik untuk boson dan fermion. Kita pisahkan partikel yang berada di keadaan dasar dan keadaan di atasnya (kita sebut keadaan terkesitasi). Untuk maksud tersebut kita uraikanm

q (  )  g 0  q e (  ) (3.76)

di mana g 0 adalah kontribusi keadaan dasar dan q e adalah kontribusi keadaan lainnya (keadaan terkesitasi). Dengan definisi ini maka kita dapat menulis jumlah rata-rata sistem dalam assembli sebagai

 (  1 )  z q e ( n  ) (3.77)

Dengan demikian, untuk boson (  = -1) persamaan (3.77) menghasilkan

 z q e ( n  ) (3.78)

Dari persamaan (3.78) kita dapatkan jumlah partikel yang berada pada keadaan dasar adalah

g 0 z N 0  (3.79) 1  z

Tampak dari persamaan (3.79) bahwa jika z  1 maka N 0   . Ini berarti banyak sekali partikel yang berada pada keadaan dasar. Kondisi ini disebut kondensasi bose

–einstein. Untuk fermion (  = +1) persamaan (3.77) menghasilkan

 (  1 ) z q e ( n  ) (3.80)

Dengan demikian jumlah partikel yang berada pada keadaan dasar pada assembli fermion adalah Dengan demikian jumlah partikel yang berada pada keadaan dasar pada assembli fermion adalah

Karena z <1+z maka N 0  g 0 . g 0 itu sendiri adalah degenerasi keadaan dasar. Jadi jumlah fermion di keadaan dasar selalu lebih kecil daripada degerasi keadaan dasar tersebut. Jumlah fermion di keadaan dasar selalu terbatas. Ini adalah implikasi dari prinsip ekslusi Pauli. Oleh karena itulah fermion tidak pernah menunjukkan gejala kondensasi atau kita tidak pernah mendapatkan kondensasi fermi-dirac.

Untuk assembli boson dalam ensembel grand kanonik kita memiliki persamaan

kT  

       ( e j   ) / kT  

 ln  1  b j  (3.82)

di mana kita telah memperkenalkan bentuk altenatif

  ( e j   ) / kT

b j  e  1 (3.82)

Jumlah rata-rata partikel dalam assembli adalah

 b j  (3.83)

  ( e j   ) / kT

Dengan demikian kita dapatkan selisih antara P dengan NkT/V sebagai

kT kT P  N 

 ln  1  b j  b j  V (3.84) V  j

Kita akan mengecek apakah tanda yang dimiliki persamaan selisih (3.84). Untuk maksud tersebut mari kita perhatikan fungsi berikut ini

Karena x> 0 maka df / dx  0 untuk semua x > 0. Untuk x  0 kita dapat uraikan f(x) dalam deret Taylor dan diperoleh sebagai berikut

f ( x )  x    ...  x     ... 

Dengan demikian f 2 ( x )  x / 2

lim x  0 lim x  0

Tampak bahwa f(0) < 0 dan fungsi f(x) bersifat monoton turun. Jadi f(x) selalu

kT negatif untuk semua x > 0. Ini berimplikasi P  N  0 atau P  N . Untuk gas

kT

V V kT

ideal klasik P  N . Dengan demikian, tekana gas boson ideal lebih kecil daripada V

tekanan gas ideal klasik. Ini disebabkan oleh adanya tarikan antar partikel boson. Tarikan inilah yang menyebabkan terjadinya kondensasi bose-einstein.

Untuk assembli fermion dalam ensembel grand kanonik kita mendapatkan hubungan Untuk assembli fermion dalam ensembel grand kanonik kita mendapatkan hubungan

  ln  1  f j  (3.85)

di mana

  ( e j   ) / kT

Jumlah rata-rata partikel dalam assembli adalah

N     ( e j   ) / kT  f j (3.87)

Dengan demikian kita dapatkan selisih antara P dengan NkT/V sebagai

kT

kT

ln  1  f j  f j (3.88)

Di sini juga kita akan mengecek apakah tanda yang dimiliki persamaan selisih (3.84). Untuk maksud tersebut mari kita perhatikan fungsi berikut ini

1 Mengingat x    ( e j   ) / kT

maka 0 < x < 1. Dengan demikian 1/(1-x) > 1. Oleh

karena itu  1   0 . Jadi, fungsi f(x) bersifat monoton turun. dx

df 1

Untuk x  0 kita dapat uraikan f(x) dalam deret Taylor dan diperoleh sebagai berikut

f ( x )   x    ...  x     ... 

2 3 

Jelas di sini bahwa untuk x  0, f(x) < 0. Karena f(x) monoton turun maka f(x) negatif kT

untuk semua 0 < x < 1. Dengan demikian, untuk fermion P  N  0 . Ini artinya V

tekanan gas fermion ideal lebih besar daripada tekanan gas ideal klasik. Ini hanya mungkin disebabkan oleh adanya tolakan antar partikel fermion akibat perinsip ekslusi Pauli.

Setelah cukup banyak membahas stasistik yang berbasis pada formulasi klasik, sekarang kita membangun statsitik yang berangkat dari postulat kuantum. Walaupun kita telah mempelajasi assembli boson dan fermion yang merupakan prtikel kuantum, namun”interpretasi” statsitik yang kita gunakan masih berbasis pada interpretasi klasik. Salah satu ciri khas sistem kuantum yang direpresentasikan oleh fungsi gelombang belum muncul pada pembahasan sebelumnya. Pada bagian ini kita mempelajasi statistik yang berangkat dari postulat kuantum.

Kita berangkat dari konsep gelombang dari partikel-partikel. Pada sembarang waktu, fungsi gelombang  suatu sistem terisolasi dapat diungkapkan sebagai superposisi linier dari kumpulan ortonormal lengkap dari fungsi gelombang stasioner

  , yaitu n

  c n  n (4.1)

dengan n c adalah bilangan kompleks. Secara umum n c merupakan fungsi waktu. Kebergantungan  pada waktu ditentukan oleh kebergantungan n c pada waktu karena

  bersifat stasionel. Indeks n adalah bilangan kuantum untuk keadaan-keadaan yang n

dimiliki assembli. Interpretasi dari 2 n c adalah nilai c n menyatakan probabilitas bahwa

Pengukuran dilakukan pada saat tertentu menemukan sistem pada keadaan kuntum n

Dalam mekanika statistik, yang kita bahas bukan assembli yang terisolasi melainkan assembli yang berinteraksi denga lingkungan (dunia luar). Dengan demikian,

ASSEMBLI + LINGKUNGAN = ASSEMBLI TERISOLASI BARU

Dengan trik demikian maka ungkapan fungsi gelombang pada persaman (4.1) tetap dapat digunakan, namun dengan melakukan sedikit reinterpretasi. Di sini fungsi gelombang tersebut tidak lagi bergantung pada koordinat assembli tetapi juga bergantung pada koordinal lingkungan.

Untuk kasus ini kita akan lakukan berbagai asumsi berikut ini. Jika   n

menyatakan kumpulan lengkap fungsi gelombang stasioner yang dimiliki assembli maka

fungsi gelombang assembli + lingkungan tetap berbeentuk   c n  , dengan  n

menafsirkan  c n sebagai fungsi gelombang lingkungan.  Hinpunan   bergantung pada koordinat assembli dan n

 Himpunan  c n bergantung pada koordinat lingkungan dan waktu.

Dengan demikian, fungsi gelombang total merupakan superposisi dari perkalian fungsi gelombang assembli dengan fungsi gelombang lingkugan.

Dalam teori kuantum kita sering berhadapat dengan operator. Nilai suatu besaran fisis sama dengan nilai ekspektasi dari operator terkait. Jika O adalah sebuah operator yang berkaitan dengan sebuah observable (besaran yang dapat diamati) yang dimiliki assembli maka nilai besaran tersebut yang terukur pada suatu saat adalah

 m  (4.2) 

( c n , c m )  n   m

Karena   adalah himpunan fungsi gelombang ortonormal maka n  n  m   nm sehingga

   n m

 m

)  nm

 n

 m (4.3)

Proses pengukuran biasanya memerlukan waktu yang cukup lama ditinjau dari waktu ”proses molekuler/atomik” tetapi jauh lebih pendek dari ”waktu resolusi alat ukur”.

Dengan demikian, besaran sebenarnya yang diperoleh dari hasil pengukuran adalah perata-rataan besaran di atas terhadap selang waktu yang lebih lama dari waktu proses molekuler dan lebih pendek dari waktu resolusi alat. Jadi, besaran yang didapat dari hasil pengukuran sebenarnya bukan (4.3) itu sendiri, melainkan perata-rataan (4.3) terhadap waktu, yaitu

O   (4.4)

Karena variabel waktu hanya tertuang dalam fungsi c n maka kita dapat menulis ulang persamaan (4.4) menjadi

O m  (4.5)

Sekarang kita tinjau suatu assembli yang memiliki volum V. Assembli tersebut dianggap berinteraksi cukup lemah dengan lingkungan sehingga energinya hanya

bervariasi antara E sampai E+  di mana  << E. Kita pilih   sebagai himpunan fungsi n

eigen ortonormal dari hamiltonian H assembli tersebut, yaitu

H  n E n  n (4.5)

Ada dua postulat yang melandasi mekanika statistik kuantum, yaitu

1. Postulate of equal a priori probability

( c n , c n )   (4.6a)

 0 , E n  E atau E n  E  

Postulat di atas menyatakan bahwa semua keadaan kuantum memiliki peluang yang sama untuk muncul. Kemudian, tidak ada keadaan yang memiliki energi kurang dari E atau

lebih dari E+ E karena energi assembli hanya ada dalam rentang E sampai E+E.

2. Postulat fase random

( c n , c m ) , 0 n  m (4.6b) Postulat ini menyatakan bahwa kemunculan satu keadaan tidak mempengaruhi oleh

kemunculan keadaan lainnya. Artinya tiap keadaan muncul secara random dari tidak mempengaruhi atau dipengaruhi oleh keadaan lainnya. Jikan munculnya satu keadaan

dipengaruhi oleh keadaan lainnya maka ( c n , c m )  0 .

Dengan dua postulat di atas maka secara umum dapat kita tulis

( c n , c )  m    (4.7)

nm b n ,

E n  E atau E n  E  

Dengan demikian persamaan (4.5) dapat ditulis menjadi

nm b   O  n n  m

nm

Sebuah operator terdefinisi secara lengkap jika semua elemen matriksnya terhadap suatu himpunan keadaan yang lengkap telah terdefinisi. Jika ini diketahui maka elemen matriks terhadap himpunan keadaan lengkap lainnya dapat diketahui melalui transformasi yang dibahas di mekanika kuantum. Kita dapat menentukan matriks kerapatan dengan terlebih dahulu mendefinisikan nilai-nilai elemen matriksnya pada

himpunan fungsi eigen dan hamiltonian H, yaitu   . Karena dengan mengetahui nilai n

elemen matrik pada huimpunan keadaan tersebut maka elemen pada himpuyna keadaan lainnya dapat ditentukan dengan mudah.

Untuk mudahnya kita definisikan matariks kerapatan  di mana elemen- elemennya memenuhi

 2 mn   m   n   mn b n (4.9)

Ini artinya matriks  dalam himpunan   adalah matriks diagonal, atau n

Jika kita memilih himpunan lengkap yang lain, misalnya   maka kita selalu n

dapat memperoleh elemen matrik kerapatan dalam himpunan lengkap ini melalui

transformasi berikut ini. Karena   adalah himpunan yang lengkap maka kita selalu n

dapat menulis

 n  a nm  m  (4.10)

di mana a nm   m  n . Elemen matriks kerapatan dalam himpunan   adalah n

 ' mn   m   n

 * a mp a nq

a mp nq

 pq (4.11)

Tampak bahwa  dapat diperoleh dari ' mn  melalui perkalian matriks sederhana. mn

Dalam notasi matriks kerapatan, nilai rata-rata hasil pengukuran suatu observabel adalah

 nm  n  O  m

nm b n  n O  m

 n m

nm

  nn

 m    n  n  O   m     

 n  1 maka kita dapat menulis

Tr (  O )

 nn

Tr (

Cara lain mengungkapkan operator  sebagai berikut

   n  n   m  m

nm

  n  nm  m (4.13)

 n m

Dalam representasi   yang merupakan himpunan lengkap fungsi eigen n

Hamiltonian, elemen matriks kerapatan assembli dalam ensembel mikrokanonik adalah

 2 nm   nm b n di mana

b n   (4.14)

 0 , E n  E atau E n  E  

Dengan demikian operator matriks kerapatan dapat ditulis

2  2    n  nm  m    n  nm b n  m    n b n  n

nm

nn

  n  n (4.15)

 m E  E n  E  

 nm  nm  1   ( E )  (4.16)

Di mana  (E ) adalah jumlah keadaan yang berada dalam selang energi antara E sampai E+ . Entropi dapat disefinisikan sebagai

S  k ln  ( E ) (4.17)

Elemen matriks kerapatan ensembel kanonik diturunkan dari probalilitas menemukan assembli dalam ensembel kanonik, yaitu

 E n /  kT mn   mn e (4.8)

Dengan demikian operator matriks kerapatan

 E n /  kT    n  nm  m    n  nm e  m   n e  n

 E n / kT

nm

 H /  kT e  

 E n / kT

 H / kT

 H /  kT e (4.19)

Fungsi partisi kanonik adalah

 H Z / kT N  Tr (  )  Tr ( e ) (4.20)

Dan nilai rata-rata pengukuran observable O memenuhi

H / Tr kT ( Oe  ) O N 

(4.21) Z N

Fungsi partisi grand kanonik adalah

(  N  E i ) / Z kT G 

 N i

 E i /  kT e e 

 N / kT

e  N /  kT Z N (4.22)

Nilai rata-rata pengukuran observable O dapat diperoleh sebagai berikut. Perhatikan persamaan (4.20) dan (4.21) untuk ensembel kanonik. Bagian dalam tanda Tr(..) pada peda persamaan (4.21) tidak lain dari observablen O dakalikan dengan bagian dalam tanda Tr(...) dalam persamaan (4.20). Bagian dalam tanda Tr(...) pada persamaan (4.20) tidak lain daripada operator untuk mencari fungsi partisi Z N . Dengan pola pemikiran yang sama, maka kita dapat menentukan nilai rata-rata observabel O dalam ensembel grand kanonik dengan menggunakan persamaan yang mirip dengan persamaan (4.21) dengan mengganti operator fungsi partisi kanonik pada persamaan (4.21) dengan operator fungsi partisi grand kanonik. Berdasarkan persamaan (4.22), operator fungsi partisi grand

H kanonik diperoleh dengan mengganti Z kT  / N di dalam penjumlahan dengan e . Dengan demikian, nilai rata-rata observabel dalam ensembel grand kanonik adalah

 H / e kT  Tr  Oe

 N / kT

 (4.23) Z G

Pada bagian berikut ini kita akan menganalisis persamaan gerak untuk matriks kerapatan. Kembali ke bentuk matriks kerapatan

   n  nm  m (4.24)

 nm

Jika waktu berubah maka keadaan yang diijinkan bagi sistem juga berubah. Secara umum kita dapat menulis kebergantungan matriks kerapatan pada waktu sebagai berikut

 ( t )   n ( t )  nm  m ( t )  (4.25)

nm

Untuk mencari persamaan gerak bagi matrik kerapatan sehingga kebergantungan matriks kerapatan pada waktu dapat ditentukan, mari kita tinjau cara berikut ini. Misalkan

{ E n } adalah kumpulan fungsi eigen dari Hamiltonian H dan { n E } adalah nilai-nilai eigen yang bersesuaian maka

H E n  E n E n (4.26)

Keadaan sembarang  n ( 0 ) pada saat t=0 selalu dapat diuraikan atas fungsi eigen { E n } sebagai berikut

dengan C n '  E n '  n . Dengan menggunakan koefisien tersebut maka persamaan (4.27) dapat ditulis

E n ' E n '  n ( 0 )  (4.28)

Setelah kita mengetahui keadaan-keadaan  pada saat t=0 maka kita dapat n

menentukan keadaan-keadaan  pada saat sembarang melalui hubungan n

 iHt /   e  n ( 0 ) (4.29)

Dengan demikian, matriks kerapatan pada saat t adalah

n ( 0 )  nm  m ( 0 ) e 

 e   n ( 0 )  nm m ( 0  )   e

 nm

 iHt / 

iHt /   e  ( 0 ) e (4.30)

Pada penurunan persamaan (4.30) kita sudah menggunakan sifat hermitian dari operator Hamiltonian, yaitu H + = H. Lakukan diferensial persamaan (4.30) terhadap waktu

sehingga diperoleh

H    H  (4.31)

Dari persamaan (4.30) kita juga mendapatkan

 e  ( 0 ) e   Tr e e  ( 0 ) 

Formulasi untuk assembli kanonik

Untuk assembli kanonik ungkapan untuk matriks kerapatan dapat e / H kT

 H e    . Dengan demikian

  He H    H  (4.33)

Dalam representasi posisi maka persamaan (4.33) mengambil bentuk

 H x  ( xx ' ;  ) (4.34)

di mana operator H x hanya bekerja pada variable x, bukan variable x ’. Berikut ini kita akan menurunkan matriks kerapatan untuk beberapa kasus sederhana. Pertama kita bahas partikel bebas yang bergerak dalam ruang satu dimensi x. Hamiltonian adalah

Dengan menggunakan Hamiltonian (4.35) makapersamaan matriks kerapatan (4.34) menjadi

2  2    ( xx ' ;  )  

2  ( xx ' ;  ) (4.36)  

Untuk menyelesaikan persamaan diferensial (4.36), kita kenalkan variabel baru berikut ini

2 (4.37)  2   / m

Elemen matriks kerapatan menjadi fungsi dua variabel,  dan x’, atau (,x’). Dengan permisalan tersebut maka

 (4.38a)     

2  (4.38b) x    x    2   / m

2  2 2   2 2 (4.38c)  x

Substitusi persamaan (4.38a) – (4.38c) ke dalam persamaan (4.36) maka diperoleh

Untuk mencari solusi persamaan (4.39) kita mulai dengan permisalan berikut ini,

Dengan permisalan ini maka persamaan (4.39) dapat ditulis menjadi

Solusi persamaan (4.41) sangat standar, yaitu

 2 (  ) C 1 exp(   ) (4.42)

Dari persamaan (4.40) dan (4.42) kita peroleh persamaan diferensial berikut

1 exp(   )  

yang memiliki solusi umum

1 exp(   ' ) d  '  C 2  (4.43)

Untuk menentukan konstanta C 1 dan C 2 kita menerapkan syarat awal. Salah satu syarat awal adalah

 ( xx ' ;  )   ( x  x ' ) (4.44) lim   0

Dengan syarat awal (4.44) maka persamaan (4.43) dapat ditulis

1 exp(   ' ) d  '  C 2

C 1 exp  ( x  x ' ) /( 2   / m )

lim   0  0 2   2   / m

dx C 2

2 exp  ( x  x ' ) /( 2   / m lim )

 dx  C 2

Dari hubungan ini kita dapatkan

(4.45)  2   / m

2 dan C 2 =0

Akhirnya solusi umum matriks kerapatan menjadi

 2 ( xx ' ;  ) 

2 exp(   ' ) d  '

2 exp(   ' ) d  ' 

 2 erf

2 ( x  x ' ) (4.46)  8  

Berikutnya kita tinjau kasus lain, yaitu osilator harmonik. Hamiltonian osilator harmonik adalah

x (4.47)

Dengan demikian persamaan matriks kerapatan menjadi

x  (4.48)  

Untuk menyederhakan penyelesaian, sekarang kita misalkan variable sebagai berikut

Dengan variable baru tersebut maka persamaan (4.48) menjadi

2    (4.51)  f 2 m  

Syarat batas untuk  adalah    ( x  x ' ) jika f  0 , atau

 (    ' ) (4.52) 

jika f  0 . Syarat kedua diperoleh setelah kita menggunakan hubungan yang berlaku

bagi fungsi delta Dirac, yaitu  ( x  x o ) 

 ( f ] x ]  f [ x o ]) .

Pada suhu tinggi, atau f kecil maka kelakuan partikel akan mendekati kelakukan partikel bebas. Dengan demikian, aproksimasi untuk matrik kerapatan pada suhu tinggi haruslah sama dengan persamaan (4.52). Dengan demikian kita dapat menulis

Untuk mencari fungsi  pada berbagai nilai suhu, mari kita misalkan

   a ( f )   b ( f )   c ( f )   (4.54)

 2  exp

dengan a, b, dan c adalah konstanta. Substitusi fungsi coba-coba di atas ke dalam persaman (4.51), kita peroleh

2 2 2 a 2 '   b '   c '  ( 1  4 a )   4 ab   2 a  b (4.55)

Samakan koefisien yang mengandung pangkat  yang sama di ruas kiri dan kanan, maka kita peroleh persaman berikut ini

a 2 '  1  4 a (4.56a)

b '   4 ab (4.56b)

c 2 '  2 a  b (4.56c)

Solusi umum persamaan (4.56a) adalah

a  coth 2 ( f  f o ) (4.57) 2

Dengan menerapkan syarat batas bahwa    ( x  x ' ) jika f  0 dan melihat approksimasi untuk  pada suhu tinggi (persamaan (4.53)) maka kita harus mengambil

f o  0 sehingga

Subsitusi persamaan (4.58) ke dalam persaman (4.56b) kita peroleh solusi untuk b

b  (4.50) sinh 2 f

Substitusi persamaan (4.58) dan (4.59) ke dalam persamaan (4.56c) kita dapatkan solusi untuk c sebagai berikut

c  ln  sinh 2 f   coth 2 f  ln B (4.60)

Pada persamaan (4.59) dan (4.60), A dan B adalah konstanta. Substitusi a, b, dan c ke dalam persmaaan (4.54) kita peroleh ungkpatan untuk matriks kerapatan sebagai berikut

exp    coth 2 f 

coth 2 f   (4.61)

sinh 2 f   2 sinh 2 f 2  

Jika diambil f  0 maka  akan mendekati

  exp    (4.62)

Dengan membandingkan persamaan (4.62) dengan (4.53) maka kita simpulkan bahwa

Akhirnya kita dapatkan bentuk final untuk matriks kerapatan sebagai berikut

2 2   ( xx ' ;  ) 

2   sinh 2 f   2  sin 2 f 

exp 

( x  x ' ) coth 2 f  2 xx ' (4.63)

Kita mulai pembahasan tentang teori klasik yang diterapkan pada bintang. Bintang dianggap sebagai sebuah bola gas. Bintang yang memiliki massa M dan jari-jari R mempunyai energi potensial gravitasi yang memenuhi persamaan

3 2 GM U   (5.57)

2 dengan G = 6,67 2  10 N m /kg (konstanta gravitasi universal). Penggunaan persamaan di atas menyaratkan bahwa massa jenis bintang tersebar secara homogen

(rapat massa di mana-maan konstan). Namun, realitasnya tidak demikian. Massa jenis umumnya makin besar ketika menuju ke pusat bintang. Pusat bintang memiliki massa jenis paling besar. Tetapi sebagai aproksimasi awal (tentu dengan sejumlah kesalahan) kita asumsikan bahwa massa bintang terdistribusi secara homogen.

Tampak dari persamaan (6.34) bahwa makin kecil ukuran bintang maka energi potensial gravitasinya makin kecil. Karena kondisi stabil adalah kondisi dengan energi yang makin kecil maka energi potensial gravitasi cenderung makin memperkecil ukuran bintang (bintang makin mengkerut). Namun, kecenderungan bintang untuk mengkerut dilawan oleh tekanan dari dalam. Dengan asumsi bahwa gas penyusun bintang besifat menyerupai gas ideal maka tekanan gas dalam bintang memenuhi persamaan gas ideal

P  NkT / V (5.48)

dengan N adalah jumlah atom penyusun bintang. Jika massa satu atom adalah m maka N  M / m . Dengan demikian dengan N adalah jumlah atom penyusun bintang. Jika massa satu atom adalah m maka N  M / m . Dengan demikian

Gambar 5.2 Permukaan Gauss untuk menentukan percepatan gravitasi pada jarak r dari pusat bintang.

Tekanan gravitasi yang dihasilkan di pusat bintang dianggap sama dengan hidrostatis gas (fluida) penyusun bintang. Tekanan hidrostatis pada jarak r dari pusat bintang memenuhi persamaan

dP  

g (r ) (5.50) dr

dengan g(r) adalah percepatan gravitasi pada jarak r dari pusat bintang. Percepatan tersebut dapat dihitung dengan hukum Gauss sebagai berikut

g ( r )  d A   4  G dM (5.51) g ( r )  d A   4  G dM (5.51)

g ( r )( 4  r )   4  G    r   

atau 4

g ( r )    G  r (5.52) 3

Dengan demikian, persamaan tekanan hidrostatis menjadi

dP

dr 3 atau

P    G  r  C (5.53) 6

Kita ambil syarat batas bahwa tekanan gas di permukaan bintang (r = R) adalah

nol sehingga diperoleh C    G  R . Akhirnya, tekanan gas pada berbagai posisi di

dalam bintang memenuhi

P ( r )   G   R  r  (5.54)

Kita bermaksud mencari tekanan gas di pusat bintang akibat gravitasi. Dengan Kita bermaksud mencari tekanan gas di pusat bintang akibat gravitasi. Dengan

P ( 0 )   G  R   G   R    G (5.55)

Jika tekanan ini disamakan dengan tekana gas ideal (dalam kondisi seimbang) maka

 kT 1  GM  m

2 R atau 1 GMm

kT  (5.56) 2 R

Dari persamaan ini maka kita peroleh jari-jari setimbang bintang kira-kira memenuhi

1 GMm R  (5.57) 2 kT

Dengan menggunakan persamaan (5.56) maka energi termal semua atom penyusun bintang sekitar

E ( T )  NkT  GMNm / R  GM / R   U (5.58)

Tampak bahwa energi termal semua atom penyusun bintang kira-kira sama dengan energi potensial gravitasi.

Pada Bab 6 akan kita bahas tekanan yang dilakukan oleh radiasi. Reaksi nuklir Pada Bab 6 akan kita bahas tekanan yang dilakukan oleh radiasi. Reaksi nuklir

Samakan tekanan ini dengan tekanan di pusat bintang (persamaan (5.55)) maka diperoleh

2  4 ( kT ) 1 GM

45 (  c )

atau jari-jari setimbang bintang memenuhi

Sekarang kita fokuskan pembahasan pada binatng katai putih. Bintang katai putih adalah bintang yang sudah kehabisan bahan bakar hidrogen. Tidak ada reaksi fusi lebih lanjut. Materi penyusun bintang hanyalah helium. Sumber energi bintang semata-mata karena energi gravitasi yang berasal dari kontraksi bintang secara perlahan-lahan. Energi yang dipancarkan sangat sedikit sehingga bintang tampak putih remang-remang. Contoh bintang ini adalah pengiring Sirius. Bintang ini tidak tampak oleh mata karena terlalu redup tetapi secara periodic menutup Sirius. Bintang ini dan Sirius berotasi mengelilingi pusat massa keduanya.

Perkiraan besaran-besaran fisis bintang katai putih adalah

10 3 Kerapatan 7  10 kg/m  10 

Massa 30  10 kg M

Suhu pusat 7  10 K T

Suhu sebesar 10 3 K berkaitan dengan energi termal sebesar kT  1,3  10 J  10 eV. Pada suhu ini semua atom helium terionisasi. Bintang katai putih dapat dipandang

7 -16

sebagai kumpulan inti helium dan electron-elektron yang berberak bebas. Berdasarkan data kerapatan bintang kita dapat memperkirakan jumlah atom

helium per satuan volum. Massa atom helium adalah 4 -27  (1,67  10 kg)  6  10 kg. Jumlah atom helium per satuan volum adalah

N He 

 27   10 atom/m .

Satu atom helium menyumbang dua elektron. Dengan demikian, kerapatan electron adalah

n  2 N He   10 electron/m

Kerapatan ini melahirkan energi fermi sebesar

Tampak bahwa  F  energi termal. Dengan demikian dapat dikatakan Tampak bahwa  F  energi termal. Dengan demikian dapat dikatakan

a) Bintang katai putih adalah assembli N elektron pada keadaan dasar dengan kerapatan sangat tinggi sehingga dinamika electron harus dijelaskan secara relativistic.

b) Elektron bergerak dalam background N/2 buah inti helium yang melakukan gaya gravitasi sehingga seluruh system menyatu membentuk bintang.

Mari kita membahas fenomena bintang katai putih dengan teori yang sederhana. Karena massa elektron sangat kecil dibandingkan dengan massa proton atau netron maka energi kinetik dalam bintang yang menghasilkan tekanan didominasi oleh energi yang dimiliki elektron. Karena suhu bintang sangat tinggi maka laju elektron sangat besar sehingga energi kinetik harus dinyatakan dalam formula relativistik, yaitu

 m 0 c  p c   m 0 c (5.61)

Kita asumsikan bahwa momentum elektron mendekati momentum fermi yaitu 1 /  3 3 N

 h   (5.62)  8  V 

Dengan momentum sebesar ini maka energi kinetik elektron jauh melebihi energi diam ( 2 m

0 c ). Dengan demikian kita dapat melakukan aproksimasi

Energi kinetik total elektron memenuhi

Jika digabung dengan energi potensial gravitasi maka diperoleh energi total bintang sebagai

Pada persamaan (5.65) N e adalah jumlah elektron. Jumlah elektron persis sama dengan jumlah proton. Misalkan jumlah nukleon (proton + netron) penyusun bintang berjumlah N maka jumlah elektron adalah N e  xN dengan 0 < x < 1. Massa bintang

memenuhi M  Nm p jika diasumsikan massa proton kira-kira sama dengan massa neutron. Persamaan energi total menjadi

E ( xNhc )  3 xN 

tot 

3 GN m p

8   V 

Mengingat 3 V  ( 4  / 3 ) R maka

1 / 3 2 3 2 xNhc 9 3 GN m

Berdasarkan persamaan (5.67) E tot makin berharga negatif dengan

mengecilnya R jika GN m p  ( xNhc )  2 xN  . Makin kecil R maka makin

mengecil energi sehingga bintang terus-menerus mengerut tanpa henti. Pengerutan makin cepat jika N makin besar (atau massa bintang makin besar). Pengkerutan akan berhenti jika ada batas bawah untuk N. Kita sebut batas bawah tersebut adalan N cr . Saat pengkerutan berhenti maka terpenuhi

Sebagai contoh, saat bintang kehabisan hidrogen, nukleon yang ada pada bintang hanya inti helium. Jumlah proton persis sama dengan setengah jumlah nukleon. Dengan demikian jumlah elektron persis sama dengan setengah jumlah nukleon, atau x

= 1/2. Dengan menggunakan m 8 p = 1,67  10 kg, h = 6,625  10 dan c = 3  10 maka perkiraan jumlah kritis nukleon agar bintang stabil adalah 57 N

cr  2  10 nukleon. Dengan demikian, massa kritis bintang agar tidak terus mengkerut adalah

30 M 30 cr  N cr m p  3 , 4  10 kg. Massa matahari adalah 2  10 kg. Dengan demikian massa kritis bitang sekitar 1,7 kali massa matahari. Perhitungan lebih seksama oleh

Changrasekhar menghasilkan massa kritis 1,4 kali massa matahari. Nilai ini disebut limit Chadrasekhar.

Sekarang kita akan membahasa teori bintang katai putih berangkat dari konsep ensembel grand kanonik untuk fermion. Ada tiga mekanisme yang harus diperhitungkan secara bersamaan pada bintang katai putih, yaitu

a) Tekanan electron akibat ekslusi Pauli

b) Hukum gravitasi

c) Dinamika relativistik

Gambar 5.2 adalah komponen-komponen tekana yang berperan dalam bintang normal dan bintang katai putih.

Gaya oleh radiasi Gaya oleh gravitasi

Gaya oleh eksklusi Pauli

Gaya oleh gravitasi

Gambar 5.2 (kiri) Pada bintang normal ukuran bintang dihasilkan dari kompetisi antara gaya gravitasi dan gaya radiasi dan (kanan) pada bintang katai putih dkuran bintang dihasilkan dari kompetisi antara gaya gravitasi dan gaya ekslusi Pauli (globe-views.com, www.astronomiamo.it).

Energi total relativistik yang dimiliki elektron yang memiliki momentum p adalah

2 2  2 p  ( m e c )  ( pc ) (5.69)

dengan m adalah massa diam electron. Kita menggunakan persamaan relativistik e dengan m adalah massa diam electron. Kita menggunakan persamaan relativistik e

E  2  p (5.70)

Faktor 2 dimasukkan karena tiap tingkat energi ditempati oleh dua electron dengan arah spin berlawanan. Penjumlahan dia atas dapat diganti dengan integral dengan terlebih dahulu melakukan transformasi sebagai berikut

Dengan transformasi tersebut maka persamaan (5.69) menjadi p 8 P V

2 2 2 E 2   3 ( m e c )  ( pc ) p dp (5.71)

Untuk menyelesaikan integral (5.71) kita ganti vasiabel berikut ini pc 2 / m

e c  x . Dengan penggantian variabel tersebut kita dapatkan p  m e cx , dp  m e cdx , dan p F  m e cx F . Dengan permisalan di atas maka persamaan (5.71)

3 m e c 1  x  m e cx  m e cdx 

3 m e c x 1  x dx (5.72)

Energi rata-rata yang tiap elektron adalah x E F 8 

3 f ( x F )  2 3 f ( x F ) (5.73)

dengan

F )  x 1  x dx (5.74)

Sekarang kita eksplorasi dua kasus ekstrim yaitu untuk x F  1 dan x F  1 .

a) Jika x F  1 maka pada semua daerah integrasi kita dapat melakukan aproksimasi

1  x  1  x  ...

  x  ...  dx   x  x  ...  dx  x F  x F  ... 

1 3 3  2 x  F  1  x F  ...   (5.75)

b) Sebaliknya, jika x F  1 maka nilai integral f ( x F ) didominasi oleh integral di sekitar x  , yaitu pada nilai x yang besar-besar. Nilai x di sekitar 0 tidak memberi x F

kontribusi yang berarti pada hasil akhir integral. Dengan demikian kita dapat melakukan pendekatan sebagai berikut hanya dengan mempertimbangkan x yang besar-besar saja,

F )  x 1  x dx 

 2 dx  x  1  2  ...  dx   x   ...  dx 

4 4 4  x F 

 x F  x F  ...  x F 1  2  ... (5.76)

Sebagai rangkuman kita dapatkan aproksimasi untuk f ( x F ) sebagai betikut

Misalkan massa total bintang M dan jari-jarinya R maka

M  Nm e  m He  Nm e  ( 2 m p  2 m n ) (5.78)

Karena m n  m p dan m e  m p maka

M  2 Nm p (5.79)

atau

R  V   3 (5.80)   4 

(5.82) m e c  v 

R R  (5.84)  / m e c

Dari energi assembli kita dapat menghitung tekanan yang dilakukan oleh gas fermi sebagai berikut

  m e c Nv

vf ( x F ) 

Dengan menggunakan (5.77) maka

m e c  

m e c  v

3 m e c 

3 v m  e c 3 v

Jadi 4 m 5

F F  f ( x F ) (5.86)

Untuk kasus nonrelativistik di mana x F  1 kita gunakan f ( x F ) pada persamaan (5.75) dan diperoleh

5 / 4 3  M K 5 (5.87)

Untuk kasus relativistik di mana x F  1 kita gunakan f ( x F ) pada persamaan (5.76) dan diperoleh

4  2  (5.88) R

R 

dengan

K  2   (5.89)

Kita akan mencari kondisii kesetimbang sebagai berikut. Kondisi setimbang terjadi jika gaya dari arah dalam yang berasal dari tekanan fermion sama dengan gaya dari arah luar akibat gravitasi. Kita lakukan proses berikut ini.

Misalkan tidak ada interaksi gravitasi. Kerapatan materi bintang akan homogen dan materi bintang akan tersebar dalam ruang yang tak berhingga. Gravitasilah yang memyebabkan kerapatan materi makin besar ketika menuju ke pusat bintang. Gravitasilah yang menyebabkan bintang memiliki batas terluar, yaitu tidak tersebar dalam ruang tak berhingga. Apabila gravitasi tidak ada maka agar bintang memiliki batas terluar yang jelas diperlukan dinding pembatas untuk menahan materi. Kerja yang diperlukan untuk mengkompresi materi bintang ke bentuk yang memiliki massa dan jari-jari tertentu sehingga memiliki tekanan P o adalah

o 4  r ) dr  (5.90)

Sekarang bayangkan interaksi gravitasi tiba-tiba di-ON-kan. Bagian-bagian bintang akan saling tarik menarik sehingga menghasilkan penurunan energi. Jumlah penurunan energi tersebut disebut “gravitational self energy”. Besarnya energi tersebut dapat diperkirakan sebagai berikut.

Energi potensial gravitasi (gravitation self energy) bintang diberikan oleh persamaan (5.47). Karena ukuran bintang tidak lagi berubah maka gaya yang dilakukan oleh “gravitational self energy” harus tepat sama gaya yang dilakukan “oleh dinding bintang ”. Dengan kata lain, gaya oleh dinding artificial tersebut berasal dari gaya gravitasi. Gaya oleh dinding bintang adalah

dW R d F 2 dinding  

dR dR  

P o ( 4  r ) dr

 2 4  P o R (5.91)

Gaya oleh “gravitional self energy” adalah

F self     G 2 (5.92) dR

dU 2 3 M

Kedua gaya tersebut sama besarnya sehingga,

F dinding  F self

atau

20  R

20   9   h  R

M  M K ' 4 (5.93)

R dengan

20   9   h 

Bintang katai putih memiliki kerapatan sangat tinggi sehingga memenuhi persamaan relativistic ( x F  1 ). Tekanan gas fermi, P fermi , pada kondisi ini memenuhi

persamaan (5.88). Samakan P o pada persamaan (5.93) dengan P fermi pada persamaan (5.88) maka diperoleh

R  R

R 

yang akhirnya memberikan ungkapan jari-jari bintang katai putih

Gambar 5.5 adalah plot jari-jari bintang karai putih sebagai fungsi massa menurut persamaan (5.95).

M /M 0

Gambar 5.3 Plot jari-jari bintang karai putih sebagai fungsi massa yang dihitung menggunaan persamaan (5.95). satuan jari-jari masih sembarang.

Dengan memasukkan nilai konstanta yang sudah baku maka diperoleh

M 30

0  7 . 3  10 . Atau dalam satuan kilogram diperoleh M o  M o  3 , 43  10 kg.

Karena massa matahari adalah 2 30  10 kg maka M

0  1,7 massa matahari. Dari persamaan (5.95) tampak bahwa tidak ada solusi jika M  M o . Hasil ini

mengindikasikan bahwa tidak mungkin bintang katai putih memiliki massa lebih besar daripada massa matahari. Ada batas terbesar massa bintang agar menjadi katai putih.

Gambar 5.4 Kebergantungan jari-jari bintang katai putih terhadap massa awal bintang berdasarkan teori yang lebih teliti. Massa pada sumbu datar dinyatakan dalam satuan massa matahari sedangkan jari-jari pada sumbu vertikal dinyatakan dalam satuan jari-jari matahari (cpp.edu).

Teori yang lebih teliti yang dibangun para ahli memberikan kurva yang berbeda dengan kurva pada Gambar 5.3. Sebagai contoh ditunjukkan bahwa jari-jari bintang katai putih adalah fungsi monoton turun terhadap massa bintang dan mencapai nilai kritis ketika massa bintang sekitar limit Chandrasekhar. Gambar 5.4 adalah kurva teoretik dan sejumlah data eksperimen tentang bintang katai putih.

Dengan menggunakan mekanika statistik klasik, fenomena diamagnetisme tidak muncul. Fenomena ini muncul ketika atom-atom dipandang secara mekanika kuantum. Diamagnetisme muncul akibat kuantisasi orbital atom-atom. Dalam mekanika klasik, kuantisasi orbital atom tidak ada. Elektron-elektron dianggap mengelilingi inti dalam orbit sembarang sehingga meniadakan efek diamagnetisasi. Pada bagian ini kita akan jelaskan fenomena diamagnestisme dalam konsp ensembel grand kanonik untuk fermion.

Kita mulai dari definisi susseptibilitas magnetic yang memenuhi persamaan

 (5.97) B

dengan M adalah magnetisasi. Jika M adalah magnetisasi assembli ke-i maka momen i

magnetik total assembli ke-i adalah  tot , i  M i V . Dengan demikian, energi magnetik

assembli ke-i adalah E i    tot , i B   M i VB . Magnetisasi rata-rata assembli dalam formulasi kanonik memenuhi

i VB

 M i VB e e  

e   M i  VB 

e  M i VB 

i   V   B 1  B  i

Z N (5.98) V  B

Suatu assembli disebut diamagnet jika   0 dan paramagnetic jika   0 . Tabel 5.1 adalah susseptibilitas sejumlah bahan diamagnetik.

Tabel 5.1 Susseptibilitas sejumlah bahan diamagnetik (dari berbagai sumber) Bahan 3 Susseptibilitas (m /kg)

Bismuth -5 -1,66  10 Tembaga -6 -9,8  10 Intan -5 -2,2  10 Emas -5 -3,6  10 Timbal -5 -1,7  10 Air raksa -5 -2,9  10 Nitrogen -9 -5,0  10 Perak -5 -2,6  10 Silikon -6 -4,2  10

Sifat magnetik suatu zat secara dominan dipengaruhi oleh electron dalam zat tersebut, baik electron bebas atau electron yang terikat pada atom. Di bawah pengaruh medan magnetic luar electron akan bergerak dalam orbit yang terkuantisasi dan spin electron mengambil arah sejajar dengan arah medan. Inti atom memberi kontribusi yang sangat kecil pada sifat magnetic bahan sehingga sering diabaikan. Penyearahan spin yang sejajar medan magnetic luar memberi kontribusi pada efek paramagnetic. Sedangkan gerak electron dalam orbital terkuantisasi memberi efek pada fenomena diamagnetisme.

Sekarang kita fokuskan pembahasan pada fenomena diamagnetisme. Elektron dianggap tidak berspin (keberadaan spin diabaikan). Hal ini dapat dilakukan karena efek yang akan kita pelajari bukan penyearahan spin oleh medan luar tetapi kuantisasi orbit elektron oleh medan luar. Misalkan terdapat N electron yang berada dalam ruang bervolum V. Ruang di sini bisa saja berupa potongan logam. Jadi tidak harus assembli yang isinya hanya gas elektron. Di dalam ruang tersebut diterapkan medan magnetik

 luar B . Menurut teori kuantum lama, partikel bermuatan yang berada dalam medan

magnetic akan bergerak dalam orbit terkuantisasi yang memenuhi persaman kuantisasi orbital

p  d r  ( j  1 / 2 ) h  (5.99)

dengan j = 0, 1, 2, … merupakan bilangan kuantum orbital. Antara satu elektron dengan elektron lain dianggap tidak ada interaksi. Dengan demikian, ketika membangun hamiltonian yang menjelaskan gerak elektron, kita cukup membangun hamiltonian elektron tunggal. Hamiltonian electron tunggal dalam medan magnetic memenuhi persamaan

  p A 

(5.100) 2 m 

 dengan A adalah vector potensial. Sudah sering kita pelajari bahwa vektor potensial

memenuhi persamaan 

B    A (5.101)

Jika tidak ada gerakan elektron sejajar medan magnet maka bentuk orbit electron berupa lingkaran dengan jari-jari a . Gaya yang dialami electron adalah gaya Lorentz yang arahnya tegak lurus kecepatan (menuju ke pusat lingkaran). Gaya ini kita kenal dengan gaya sentripetal. Gaya tersebut tidak mengubah laju electron tetapi hanya mengubah arah menjadi lingkaran. Laju electron selalu konstant dan memenuhi,

a c atau

 eaB v  (5.102) mc

Partikel bermuatan yang bergerak dalam medan magnet memiliki dua komponen momentum. Komponen pertama disumbang oleh kecepatannya sendiri dan komponen kedua disumbang oleh vektor potensial medan. Momentum total (kanonik) elektron dalam medan magnet memenuhi

  e  p  m v  A (5.103) c

Dengan menggunakan momentum pada persamaan (5.103) maka persamaan kuantisasi (5.99) dapat ditulis menjadi

Karena v menyinggung lingkaran d r adalah perpindahan posisi elektron

(juga menyinggung lingkaran) maka v dan d r selalu sejajar. Oleh karena itu suku pertama di ruas kiri persamaan di atas menjadi

m v  d r  m v dr  m v ( 2  a )  

Integral kedua di ruas kiri diselesaikan dengan menggnakan hukum Stokes berikut ini

A 2  d r  (   A )  d S  B  d S  B (  a )   

Dengan demikian persamaan kuantisasi orbital dapat ditulis menjadi 

c eaB

 mc 

c atau 2 c

a  ( j  1 / 2 ) h (5.104)  eB

Persamaan (5.104) dengan jelas memperlihatkan kuantisasi jari-jari orbital. Besar jari-jari orbital memenuhi a j  1 / 2 . Jari-jari orbital makin kecil jika medan yang diterapkan makin besar. Jika medan yang diterapkan mendekati nol maka jari-jari

orbitak menuju tak berhingga. Jari-jari tak berhingga tidak lain menyatakan lintasan orbitak menuju tak berhingga. Jari-jari tak berhingga tidak lain menyatakan lintasan

Namun, jika elektron memiliki juga komponen kecepatan yang sejajar medan magnetik maka komponen kecepatan yang sejajar medan tidak terkuantisasi. Energi kinetik total electron sama dengan jumklah energi terkuantisasi dalam arah x dan y (dalam bidang tegak lurus medan) serta energi kinetik dalam arah z (bersifat kontinu), yaitu

eB 2  p

(5.106) mc

di mana p adalah momentum dalam arah z (sejajar medan magnet). z

Selanjutnya kita akan mencari degenerasi  ( p z , j ) . Degenerasi tersebut dapat ditentukan dengan membandingkan ungkapan energi kinetik dalam bidang yang tegak

 p x  p y  2 dengan ungkapan energi kinetik pada persamaan m

lurus medan, yaitu

(5.106). Dengan adanya medan magnet maka gerak bebas (gerak yang bersifat kontinu) (5.106). Dengan adanya medan magnet maka gerak bebas (gerak yang bersifat kontinu)

eB

mc

magnet, electron tidak bisa lagi memiliki momentum arah x dan y sembarang. Momentum arah x dan y harus tertentu sehingga energi kinetiknya sama dengan (5.105).

Ini berarti, dalam diagram p x dan p y lintasan electron akan berupa lingkaran dengan jari-jari R . Jari-jari R tersebut adalah momentum total elektron dalam bidang (x,y).

2 2 Dengan demikian jari-jari tersebut memenuhi 2 R  p x  p y . Karena energi kinetik total dalam bidang (x,y) memenuhi persamaan (5.105) maka haruslah

eB  

2 m mc atau 2 2 eB 

R j  ( j  1 / 2 ) (5.107) c

Perhatikan Gambar 5.3. Luas daerah antara dua lintasan berurutan, yaitu lintasan ke-j dan dan ke-j+1 adalah

2  2 A   R j  1   R j 2 eB 

2 eB    

([ j  1 ]  1 / 2 )   

2  eB 

(5.108) c

Gambar 5.3 Kuantisasi orbit electron dalam bidang (x,y). Momentum dalam arah x dan

2 2 y terikat oleh persamaan 2 R  p x  p y . Dengan demikian energi kin etik total dalam

bidang (x,y) adalah 2 R / 2 m .

Tampak dari persamaan (5.108) bahwa luas daerah antara dua lintasan energi berdekatan selalu konstan, tidak bergantung pada bilangan kuantum j. Ini beraimplikasi bahwa makin ke arah luar maka lingkaran orbital makin rapat untuk menjamin luas daeah antar lingkaran tetap sama.

Saat medan magnet tidak ada, keadaan-keadaan dalam ruang fase tersebar secara merata dalam bidang p x dan p y . Namun, ketika medan magnet diberikan, keadaan-keadaan dari daerah seluas  A sesuai dengan persamaan (5.108) terkumpul pada lintasan kuantisasi saja. Jadi, penerapan medan magnet menyebabkan keadaan

yang tersebar dalam daerah seluas  A ditempelkan ke lintasan kuantisasi. Berapa degenerasi keadaan tersebut? Misalkan kita memiliki sebuah silinder berongga dengan panjang  . Sisi p z

dalam silinder dibatasi oleh orbital dengan bilangan kuantum j dan sisi luarnya dibatasi dalam silinder dibatasi oleh orbital dengan bilangan kuantum j dan sisi luarnya dibatasi

2  eB  adalah  A 

. Volum silinder dalam ruang momentum adalah

2  eB 

 V p   A  p z   p z (5.109)

Volum silinder dalam ruang fasa tiga dimensi adalah perkalian antara volume dalam ruang momentum dengan volume spasial yaitu

2  eB  V

 p  V  V p   p z (5.110)

Volum terkecil ruang fasa tiga dimensi adalah 3 h . Jumlah keadaan di dalam silinder di atas adalah

 p 2  eB  V

3  p z (5.111)

h ch

Ukuran terkecil ruang fasa dalam arah sumbu momentum p adalah h . z

Volume ruang fasa dalam arah sumbu z saja sama dengan perkalian panjang momentum dalam arah sumbu z dan panjang spasial dalam sumbu z. Panjang momentum dalam arah sumbu z adalah  . Jika dianggap ukuran assembli dalam arah x, y, dan z sama p z

maka terpenuhi 3 V  L . Oleh karena itu panjang spasial dalam arah sumbu z adalah

1 / L 3  V . Akhirnya, volum ruang fasa dalam arah sumbu z adalah  p z V . Kerapatan

1 / keadaan ruang fasa diukur dalam arah sumbu z saja menjadi 3 G '  V  p z / h . Dari sini kita dapatkan bahwa kerapatan keadaan ruang fasa dalam bidang (x,y) adalah 1 / keadaan ruang fasa diukur dalam arah sumbu z saja menjadi 3 G '  V  p z / h . Dari sini kita dapatkan bahwa kerapatan keadaan ruang fasa dalam bidang (x,y) adalah

eB  V  p z / ch 2  eB  V

V  p z / h ch

2 / eBV  eBV (5.112)

ch

Tiap titik dalam ruang fasa mewakili satu keadaan dan semua keadaan tersebut memiliki energi yang sama. Ini berarti, keberadaan medan magnetic menyebabkan degenerasi g keadaan energi. Dengan adanya degereasi tersebut, energi electron dapat ditulis dalam bentuk umum

dengan    p z ,j ,   , j = 0, 1, 2, …, dan  = 1, 2, 3, …, g. Dalam persamaan (5.113) kita perkenalkan indeks  untuk memperhitungkan degenerasi energi electron pada orbital-orbital.

Fungsi grand partisi fermion adalah

( 1   ze  ) 

atau

  ln( 1  ze  ) 

ln Z G  ln ( 1  ze   )

  (5.114)   1  j  0  p x

 1  ze

 [ p z , j ln ,   ]

Seperti sudah disebutkan di atas, untuk semua nilai  besarnya energi elektron sama. Dengan demikian penjumlahan terhadap indeks  pada persamaan (5.114) dapat diganti dengan perkalian tiap suku dengan bilangan degenerasi g. Jadi kita dapatkan

G  g ln 1    ze   (5.115)

[ p z , j ln ] Z

Untuk menyelesaikan (5.115) kita ganti pejumlahan terhadap p dengan integral z

1 / V 3 dengan terlebih dahulu melakukan transformasi berikut ini

(...) dp z .

Dengan demikian persamaan (5.115) menjadi

1 / 3 gV  

ln  1  ze   dp z (5.116)

[ p z , j ln ] Z G 

Dari persamaan (5.116) kita dapat mencari jumlah rata-rata electron dalam assembli sebagai berikut

1 / 3   gV 

N  z ln Z G 

  1   [ p z , j ]

dp z  (5.117) z

Sekarang kita akan mengecek apa persyaratan yang harus dipenuhi oleh z. Pada suhu yang sangat tinggi, yaitu  T maka e  e  /  kT    1 . Dengan demikian

1 / 3 gV  

N   1 dp z (5.118)

Agar hasil penjumlahan (5.118) tidak tak berhingga (karena N harus berhingga) maka  haruslah 1 z jauh lebih besar daripada satu. Ini berarti nilai z harus jauh lebih kecil

daripada satu. Karena nilai z jauh lebih kecil daripada satu maka kita dapat mengaproksimasi

  ze   ze

ln 1  [ p z , j ]

 [ p z , j ]

Dengan demikian kembali ke persamaan (5.116) yang dapat diapkroksimasi sebagai

h     j  0   2 m mc

h   2 m     j  0   mc

 2 mc   j  0  mc 

1 / zgV 3  m

exp   

 2 mc 

1 exp 

mc 

1 / zgV 3  m  1 

e   B

exp

 2 mc 

 exp

 2 mc 

1 / zgV 3  m

h   exp  x  exp   x

dengan  e  B

x   (5.120) 2 mc

Dalam kondisi di mana medan magnet yang diterapkan cukup lemah diperoleh x << 1 sehingga

  x / ln 6 Z G 2  

1 2 zeB  m 1 

V ch  

Suseptibilitas magnetic akhirnya menjadi

Tampak jelas bahwa susseptibilitas magnetik bernilai negatif yang menunjukkan fenomena diamagnetik.

Sekarang kita tinjau kelakuan gas fermi ideal pada suhu mendekati nol mutlak. Salah satu fenomena yang menarik adalah efek de Hass-Van Alphen. Energi assembli pada suhu nol mutlak adalah

E o    B   MVB (5.123)

sehingga kita dapat menulis magnetisasi sebagai

Susseptibilitas magnetic adalah

Dengan keberadaan medan magnetic searah sumbu z maka eleketron akan bergerak secara bebas dalam arah sumbu z dan gerakannya terkuantisasi dalam bidang x dan y. Sekarang kita melihat kasus sederhana di maka gerakan dalam arah sumbu z tidak ada. Elektron hanya bergerak dalam bidang x dan y, yaiutu tegak lurus medan magnetic. Tingkat-tingkat energi electron menjadi terkuantisasi yang memenuhi

e   B j  ( j  1 / 2 ) (5.125) mc

Tiap tingkat energi memiliki degenerasi

2 / 3 V 2 eB L eB

dengan asumsi bahwa assembli berbentuk kubus dengan sisi L sengga 3 V  L .

E sama dengan jumlah  pada semua N keadaan partikel tunggal terendah. Karena degenerasi i

Karena suhu assembli adalah nol mutlak maka energi assembli o

g bergantung pada medan magnet B maka tingkat energi tertinggi yang ditempati electron juga akan bergantung pada B.

a) Jika g  N maka semua electron hanya menempati satu tingkat energi terendah. Tidak ada electron yang menempati tingkat energi kedua, ketiga, dan seterusnya. Dalam kondisi ini, energi total yang dimiliki electron hanyalah

E o  N  (5.127)

2 mc

b) Jika B cukup kecil sehingga g  B maka electron akan menempati sejumlah tingkat energi. Tingkat energi terendah terisi g electron dan sisanya electron akan menempati tingkat energi berikutnya. Sampai tingkat energi berapa yang ditempati electron akan sangat bergantung pada nilai B.

E sebagai fungsi B, perhatikan ilustrasi tingkat-tingkat energi pada Gambar 5.4.

Untuk menentukan ungkapan umum energi o

Kosong Kosong

j+2 j+2

Terisi Terisi

j+1 j+1

sebagian sebagian

Terisi Terisi penuh penuh

j=1 j=1 j=0 j=0

Gambar 5.4 Ilustrasi tingkat-tingkat energi yang ditempati electron yang terisi penuh dan terisi sebagian

Setiap tingkat energi menampung g electron. Tiungkat energi dengan j = 0 berisi penuh g electron. Misalkan sampai tingkat energi ke-j telah penuh ditempati electron. Berada ada sebanyak (j+1) buah tingkat energi yang masing-masing berisi g electron (dari indeks 0 sampai indeks j). Jumlah electron tersebut yang menempati tingkat energi penuh tersebut adalah

( j  1 ) g (5.128)

Sisa electron sebanyak N  ( j  1 ) g akan mengisi tingkat energi ke-(j+1) dan tidak penuh, yaitu jumlahnya kurang dari g. Dengan demikian kita dapatkan ketidaksamaan

Energi keadaan dasar yang dimiliki assembli dengan kehadiran medan magnetic menjadi

 NB o  ( j  3 / 2 )  ( j  1 )( j  2 )  (5.131)

mc B o 

Akhirnya kita dapatkan ungkapan umum energi keadaan dasar pada berbagai medan Akhirnya kita dapatkan ungkapan umum energi keadaan dasar pada berbagai medan

E o    (5.132) N

dengan x  B / B o

Magnetisasi dan suseptibilitas menjadi

M  v 2  mc 

2 ( j  1 )( j  2 ) x  ( 2 j  3 )  ,

Plot magnetisasi dan susseptibilitas sebagai fungsi x  B / B o tampak pada Gambar

M/(e/vmc) M/(e/vmc) 1 1

-1 -1

/(e/vB /(e/vB o o mc) mc)

Gambar 5.5 Plot magnetisasi dan susseptibilitas sebagai fungsi medan magnet luar

Gambar 5.5 adalah contoh hasil pengamatan magnetisasi bahan sebagai fungsi kuat medan magnetik. Pengamatan dilakukan pada suhu 2,2 K. Tampak muncul pola magnetisasi yang serupa dengan ramalan teori yang ditunjukkan pada Gambar 5.6. Ini menunjukkan teramatinya efek de Haas van Aplhen pada bahan tersebut.

3 T = 2,2 K

2 J/T)

12 1 (10

-1

0 5 10 15

Gambar 5.6 Magnetisasi bahan yang diamati pada suhu 2,2 K. Termatati kemunculan efek de Hass van Alphen (e10.ph.tum.de).

Kita sudah membahas tentang diamagnetisme Landau yang dapat dijelaskan dengan menggunakan konsep kuantum di mana electron bergerak dalam orbit-orbit yang terkauntisasi. Sekarang kita membahas fenomena paramagnetisme yang muncul akibat sumbangan spin electron.

Hamiltonian electron bebas yang berada dalam mmedan magnetic dapat ditulis

A        B (5.135) 2 m 

 Dengan  adalah operator magnetic intrinsik electron yang memenuhi     

dan  adalah matriks Pauli (operator spin). Feromegntisme muncul dari suku kedua dalam hamiltonian. Kita fokuskan perhatian

pada efek yang dihasilkan bagian tersebut. Hamiltonian kita sederhanakan menjadi

    B (5.138)

Fungsi eigen dari   B adalah sB dengan s   1 . Dengan emikian tingkat energy electron tunggal yang merupakan solusi eigen hamiltoanian di atas adalah

p  p ( p , s )   s  B (5.139)

Energi assembli menjadi

 s  B  n p  ,   1   B  n p ,  1   B (5.140)

 di mana n p , s = 0, 1

n p , s  N 

ps

Sekarang kita menulis symbol lebih singkat lagi n 

Dengan notasi di atas maka energy total dapat ditulis  2  p

  B ( N  N )  (5.141) p 

Fungsi partisi menjadi

exp    n p  n p    B ( N  N )  (5.142)

    p

Untuk mlakukan penjumlahan di atas kita gunakan langkah berikut ini

 n p dan  n p yang memenuhi n p  N dan  p

b)  Lakukan penjumlahan terhadap semua

c)  Lakukan penjumlahan terhadap N dari 0 sampai N

Dengan unrutan penjumlahan ini kita dapat menulis fungsi partisi menjadi

exp    B ( N  N )  exp   n p

exp    B ( 2 N  N )

 exp

N   0   n p 

Misalkan Z N ( 0 ) adalah fungsi partisi N fermion yang tidak memiliki spin di mana massa tiap system adalah m. Kita dapat menulis

exp   n p   exp   A ( N )   (5.144)

Dengan demikian kiuta dapat menulis

Z N  exp

   BN  exp  2  BN Z

atau

ln Z N   B  ln exp 2 BN       A ( N  )   A ( N  N  )  (5.145)

Dalam penjumlahan di atas akan ada saku suku yang memberi kontirubusi terbesar. Nilai total penjumlahan kira-kira sama dengan nilai suku dengan kontribusi terbesar tersebut. Misalkankan yang memberikan kontribusi terbesar adalah N 

N  maka

ln Z  B N    ln exp   2  B N   A ( N  )   A ( N  N  )

 2 B   N   A ( N

B  )   A ( N  N   )   (5.146)

Setelah mengetahui  N maka magnetisisai per satuan volum adalah (  2 N  N )

M   (5.147)

V Agar  N merupakan nilai yang member kontribusi terbesar maka harus dipenuhi

Sekarang kita definisikan  A ( N )

kTv ( N )   (5.149)

Maka

kTv ( N ) 

Dengan demikian

 2  B  kTv ( N  )  kTv ( N  N  )  0

atau

kT  v ( N  )  v ( N  N  )   2  B (5.150)

Energi Fermi N system yang tidak memiliki spin pada suhu 0 K adalah 2 2 / 3  2

V  2 m

Pada suhu T yang memenuhi kT   F (N ) , bentuk aproksimasi untuk energy Fermi adalah

kT  

 12   F ( N , 0  )   

Untuk fermion yang memiliki spin maka kita dapat melakukan pendekatan kTv ( N )   F ( 2 N , T ) . Dengan demikian,

kT  v ( N  )  v ( N  N  )    F ( 2 N  , T )   F ( 2 N  2 N  , T )

12    F ( 2 N  , 0 )  F ( 2 N  2 N  , 0 )  (5.151)

2 / Karena 3 

F ( N , 0 )   N maka

2 / 3 2 / 3 2 /  3  N 

F ( N , 0 ) 1    r  1  r  (5.152)

F ( 2 N  , 0 )  F ( 2 N  2 N  , 0 )   2 N    2 N  2 N  

N  1  r  N  1  r

F ( N , 0 )  1  r  F ( N , 0 )  1  r (5.153)

Substitusi persamaan (5.152) dan (5.153) ke dalam (5.151) maka

 v ( N  )  v ( N  N  )    F ( N , 0 )  1  r  1  r  

2 / 3 2 / kT 3

 ( kT )

  F ( N , 0 )  1  r  F ( N , 0 )  1  r 

atau

2 / 3 2 / 3   kT 

 ( N , 0 ) (5.154)

  F 

12 ( N , 0 )

Sekarang kita tinjau beberapa kasus khusus

Pada suhu T = 0 maka

2 / 3 2 / 3 2  B

 F ( N , 0 ) (5.155)

Untuk 2   B  F ( N , 0 ) maka r  1 sehingga

Dengan demikian

3  F ( N , 0 ) atau

2  (5.156) F ( N , 0 )

Tetapi

 N  N   N   2 N   N  ( 1  r ) N  N  rN

Momen magnetic total

   dB 2 ( N , 0 ) v  (5.157) F

Untuk kasus khusus berikutnya kita lihat kondisi 0  kT   F ( N , 0 ) dan   B  F (N , 0 ) . Kita mulai dari persamaan (5.154) yang dapat diaproksimasi menjadi

2 2 kT

  1 r     1 r  

 3   3  12   F ( N , 0 )    3   3    F ( N , 0 )

 r 

2 4 2  kT  4 2 B

3 12   F ( N , 0 )   3   F ( N , 0 )

4 r 1   kT  

3  12   F ( N , 0 )

 kT  

  F   

12 ( N , 0 )

Mengingat  N  rN maka: Momen magnetic total

 tot   N   rN  Magnetisasi  tot rN  r 

Untuk kasus ini kita mulai dengan hubungan (5.29). Kita ambil aproksimasi pertama, yaitu

3  3 N z   v

v ( N )  ln  (5.160)

V 

Dengan demikian persamaan (5.120) dapat ditulis 1

ln   kT r     2  B

 2 exp B   

1  r  kT 

178

tanh   B   (5.162)  kT 

Kalau kT   F (N , 0 ) maka kT   B sehingga tanh dapat diaproksimasi sebagai berikut

  r B   B  tanh

 (5.163) kT  kT

Mengingat  N  rN maka Momen magnetic total

 tot   N   rN  Magnetisasi  tot rN  r 

Susseptibilitas dM 2 

dB kTv

Tampak bahwa susseptibilitas memiliki harga positif yang menunjukkan sifat paramagnetisme.

Untuk melihat salah satu aplikasi mekanika statistik mari kita membahas gas fermi ideal. Gas fermi ideal adalah kumpulan fermion bebas. Tidak ada interaksi antar fermion. Contoh gas fermi ideal adalah gas elektron. Walaupun ada gaya tolak-menolak antar elektron (gaya coulumb) yang menghasilkan energi potensial listrik, namun jika gas elektron berada pada suhu sangat tinggi sehingga energi kinetik yang dimiliki jauh lebih besar daripada energi potential maka energi potensial (energi interaksi) dapat diabaikan. Dalam kondisi demikian seolah-olah tidak ada interaksi antar elektron. Kalian dapat membandingkan dengan gas ideal klasik di mana antar partikel gas tidak ada interaksi.

Kita mulai dari ungkapan fungsi grand partisi untuk fermion, yaitu

 1  ze   (5.1)

Z   i G 

dengan  / z kT  e (5.2)

Fungsi grand partisi memiliki hubungan langsung dengan perkalian tekanan dan volum, PV / yaitu kT Z

G  e sehingga

PV

G  ln  1  ze

  i  ln  1  ze  (5.3)

Tampak di sini betapa bergunanya pernyataan fungsi partisi sebagai bentuk perkalian semua suku. Karena pada akhirnya yang kita butuhkan adalah logaritma fungsi partisi yang menjudai penjumlahan semua suku.

Untuk menentukan secara eksplisit fungsi grand partisi pada persamaan (5.3) kita mengganti tanda penjumlahan dengan integral terhadap variable momentum. Untuk maksud tersebut, terlebih dahulu kita ubah ungkapan diskrit menjadi kontinu sebagai berikut

(...)  (...)  4 3  p dp (5.4)

Dengan menggunakan (5.4) maka (5.3) menjadi

PV 4  V 2   p 2 / 2 m

dp (5.5) kT

 3 p ln 1  ze

Jumlah rata-rata sistem seperti dinyatakan dalam persamaan (3.62) menjadi 

N  kT ln Z G

    PV 

   kT    kT 

Dengan mengacu pada persamaan (5.2) kita dapat menulis

1 / kT 

 (5.7)     z kT

 z kT  z

Dengan demikian, jumlah rata-rata system dapat ditulis sebagai  

 3 p dp (5.8)

Dari semua penjelesan di atas kita merangkum dua persamaan utama, yaitu

P 4  2 p ln 1 ze   p 2 / 2  m 3  dp (5.5)

kT h  

  3 p 1 p 2 / 2 m dp (5.8)

Dua persamaan di atas merupakan persamaan dasar untuk assembli fermion dalam ensembel grand kanonik. Persamaan inilah yang akan kita eksplore untuk mencari sifat termodinamika assembli fermion seperti yang akan dibahas di bagian akhir bab ini.

Agar lebih sederhana, kita definisikan besaran berikut yang dapat diaproksimasi sebagai panjang gelombang termal partikel

(5.9) mkT

Panjang gelombang termal adalah panjang gelombang de Broglie berdasarkan momentum partikel yang dihasilkan oleh getaran termal. Panjang gelombang de Broglie memenuhi persamaan   h/ p . Berdasarkan teori ekipartisi energi, gerakan termal

partikel dalam ruang tiga dimensi memiliki energi rata-rata K  ( 3 / 2 ) kT . Jika momentum rata-rata partikel adalah p maka kita dapat mengaproksimasi

K 2  p / 2 m . Dengan demikian kita aproksimasi ( 3 / 2 ) kT  p / 2 m atau p  3 mkT .

Panjang gelombang de Broglie kira-kira menjadi 2   h / p  h / 3 mkT = h / 3 mkT .

2 2 Mengingat 2   h / 2  maka   4   / 3 mkT  4   / mkT . Pada persamaan terakhir kita sudah aproksimasi  / 3  1 . Panjang gelombang terakhir yang kita

turunkan tidak berbeda jauh dengan persamaan (5.9).

2 Dari persamaan (5.5) kita definsikan 2  p / 2 m  x . Dengan demikian,

2 p 2  2 mx /  , p  2 m /  x , dan dp  2 m /  dx . Substitusi ke dalam persamaan

(5.5) dipeoleh

P 2 4   2 mx   x 2 2  m

kT h 

3 x ln 1  ze  dx    2  x ln 1 ze dx

3 x ln 1  ze  dx (5.10) 

Kita definisikan fungsi fermi f 5/2 sebagai berikut,

f 5 / 2 ( z )  x ln 1  ze  dx (5.11)

Dengan definisi tersebut maka persamaan (5.10) dapat ditulis menjadi

3 f 5 / 2 ( z ) (5.12) kT 

Dengan cara serupa, persamaan (5.8) dapat ditulis

1 2 4   2 mx 

v h  0    z e  1 

Kita definisikan fungsi fermi f 3/2 sebagai berikut

 1 x 2 dx  (5.14) 

Dengan definisi tersebut maka persamaan (5.13) dapat ditulis menjadi

3 f 3 / 2 ( z ) (5.15) v 

Perhatikan persamaan (5.11). Jika kita lakukan diferensial terhapat z maka

ln 1 ze   dx

 0 1  ze   0 e  z z  0  z e  1

Dengan demikian kita dapatkan hubungan berikut ini

z f 5 / 2 ( z )  x  1 x 2 dx  f 3 / 2 ( z ) (5.16)  z

Baik f 3 / 2 ( z ) maupun f 5 / 2 (z) sulit diselesaikan secara analitik untuk semua z. Namun kita dapat menguraikan kedua fungsi tersebut dalam bentuk deret. Mari kita

perhatikan uraian berikut ini  1  y  y  y   ... . Dengan demikian

2 ln( 3 1  y )   ( 1  y  y  y   ...) dy 

dy

y     ...  (  1 )

Kita substitusi  x y 2  ze sehingga

ln 1  ze

 x 2   1 ze

Dengan demikian kita dapatkan urainan deret untuk fungsi fermi sebagai berikut

f 5 / 2 ( z ) ( 1 )    x e  dx (5.17)

Mari kita selesaikan bagia integral pada persamaan (5.17). Kita substitusi

2 2 2 2 1 1 / 2 y   x atau y   x sehingga x  y / 

dan  dx  y dy . Substitusi ke

dalam integral dalam persamaan (5.17) maka diperoleh

2 4  Jadi persamaan (5.11) dapat diubah menjadi

Fungsi f 3/2 diperoleh dengan mendiferensil f 5/2 yaitu

dz

f 3/2 (z)

Sekarang kita coba melihat aproksimasi dari f 3/2 (z) pada nilai z yang sangat kecil dan sangat besar. Kita mulai dengan aproksimasi pada daerah dengan z sangat kecil (mendekati nol). Pada daerah tersebut kita dapat menguraian f 3 / 2 ( z ) dalam deret Taylor di sekitar z = 0. Uraian tersebut adalah

 z  0 2  z

2 f 3 / 2 ( z )  z  ...

z  ... (5.20) m !  z

Jelas dari persamaan (5.14) bahwa

x 2 dx 

dx  0 (5.21)

Dari persamaan (5.14) kita dapatkan turunan berikut ini

x 2 dx  

2  dx 

0  e  z 

2 2 dx x  x

0 e  z   0  e   z

2 3 dx  (5.23) z

2 2 dx  

   0  e  z 

e 24 2 e

dx  (5.24) z

dx

Dengan demikian Dengan demikian

  0 e 0    0 

2 2 dx 

Untuk menyelesaikan persamaan (5.25) mari kita perhatikan integral berikut.

Dengan memasukkan  = 1 maka

2 x x 2 e  dx

Dengan demikian persamaan (5.25) menjadi 

Selanjutnya kita lihat turunan kedua dan ketiga.

0 e 0    0 

0 e 0     0

x e dx 6  z

2 4 dx 

Dengan cara serupa maka kita dapatkan rumus rekursif berikut ini

Jadi untuk z yang sangat kecil uraian fungsi fermi f 3/2 (z) adalah

f 3 / 2 ( z )  z  3 / 2  3 / 2  3 / 2  ...  (  1 )

3 / 2 z  .. (5.26)

Selanjutnya kita tinjau kasus ekstrim lainnya, yaitu untuk z yang besar. Dalam konduisi ini kita lakukan proses sebagai berikut. Kita definisikan    / kT sehingga

/ z kT  e   e  (5.27)

Dengan demikian f 3 / 2 ( z ) dapat ditulis sebagai

f 3 / 2 ( z )  dx x 2 (5.28)

2 1  1 / 2 Selanjutnya kita ganti variable x  y sehingga x  y dan dx  y dy . Dengan 2

demikian persamaan (5.28) mengambil bentuk

 y dy  y    y dy  y  

Untuk menyelesaikan integral pada persamaan (5.29) kita lakukan integrasi secara parsial sebagai berikut

y dy  

Suku pertama di ruas kanan persamaan (5.30) adalah nol sehingga

2 dy (5.31)

3 / Selanjutnya kita uraikan 2 y dalam deret Taylor di sekitar v dan didapat

y     ( y   )   ( y   )  ... (5.32)

Dengan demikian

dy y

2     ( y   )   ( y   )  ... 

Kita definisikan lagi variabel baru, x sebagai berikut: y    x sehingga dy  dx dan batas integral menjadi dari x    sampai x   . Jadi

 ...  dx

2     x   x  ...  dx

 e  1 

x ...   x 2         dx

 e  1 

2     x   x  ...  dx (5.33)

Hasil integral suku kedua persamaan (5.33) memiliki nilai kira-kira  e  dikali suku pertama. Hal ini teralihat dari eksponen pada penyebut memiliki pangkat 2 sedangkan

eksponen pada penyebut suku pertama memiliki pangkat 1. Dengan demikian, suku kedua persamaan (5.33) kita akabikan. Akhirnya kita dapatkan bentuk aproksimasi sebagai berikut

2     x   x  ...  dx

 e  1 

dengan

    e  1

2 dx (5.35)

n x x e Fungsi

2  merupakan fungsi genap untuk n genap dan merupakan

fungsi ganjil untuk n ganjil. Oleh karena itu, untuk n ganjil, I n  0 dan kita hanya perlu memperhitungkan n genap. Untuk n = 0 maka

    e  1  0  e  1  0  e  1  e  1  0

Substitusi kembali v  ln z ke dalam persamaan (5.34) maka diperoleh

f 3  / 2 ( z )    ln z  I 2  ln z  ...  (5.37)

Grafik f 3 / 2 ( z ) sebagai fungsi z diiliustrasikan pafa Gambar 5.1 berikut ini.

f f 3/2 3/2 (z) (z)

Gambar 5.1 Grafik f 3/2 (z) sebagai fungsi z

Sekarang kita tinjau sifat assembli fermion pada beberapa kondisi ekstrim.

Pada suhu tinggi laju partikel sangat besar sehingga panjang gelombang de Broglie sangat kecil (  sangan kecil). Pada kerapatan rendah jarak antar partikel sangat besar sehingga volum yang ditempati per partikel besar (  sangat besar). Akibatnya

pada kondisi suhu tinggi dan kerapatan fermion rendah terpenuhi

 3 Tetapi

 f 3 / 2 ( z ) sehingga pada kondisi sini f 3 / 2 ( z )  0 . Berdasarkan Gambar 5.1, v

f 3 / 2 ( z )  0 manandakan z  0 . Dengan demikian, berdasarkan persamaan (5.26)

kita dapat melakukan aproksimasi f 3 / 2 ( z ) pada z  0 , yaitu

atau

3  2 z  z  3 / 2 (5.38)

Untuk mencari z kita lakukan operasi rekursif sebagai berikut. Dari persamaan (5.38),

3 z 2 z   3 / 2 (5.38a) v 2

Pendekatan pertama untuk z adalah hanya mengambil suku pertama saja, yaitu  3

Nilai z disubstitusikan pada z dalam persamaan (5.38a) untuk mendapatkan 1

pendekatan yang lebih teliti untuk z, yaitu

3 z 2 z 1  

3 3 ( 2  / v )   3 / 2 (5.39) v

Selanjutnya kita mendapatkan jumlah rata-rata sistem pada keadaan energi ke-i, yaitu

ze  i n i 

1 ze  i  (5.40)

Mengingat   i   1 / kT dan ketika T   terjadi ze  1 maka

e  i (5.41)

yang merupakan distribusi Maxwell-Boltmann (partikel klasik). Ini berarti pada suhu tinggi dan kerapatan rendah fermion berperilaku sebagai partikel klasik. Ketika membahas fermion pada suhu tinggi dan kerapatan rendah sebenarnya kita dapat langsung menggunakan statsitik klasik, yaitu Maxwell-Boltzmann, untuk menghindari kerumitan statistik Fermi-dirac.

Persamaan keadaan dapat diperoleh sebagai berikut

kT 

 3 z  1  1 / 2  1 / 2  ...

 3  z  1 / 2  1 / 2  ...

atau

3 2 3 Pv 3 v 

 3  / v )  1 / 2  1 / 2  ... 

kT  

Suku kedua di sebalah kanan sangat kecil sehingga praktis  1 yang merupakan

Pv

kT

persamaan keadaan gas ideal klasik.

Untuk kondisi ini berlaku 3  / v  1 sehingga kita dapat menggunakan aproksimasi persamaan (5.37). Ambil satu suku saja di ruas kanan sebagai aproksimasi

dan samakan dengan 3  / v , sehingga

 ln z

v 3  atau

Mengingat  z e  e   F  maka

  F   (5.44)

4 v 

1 /  2 2   Tetapi

sehingga

 mkT 

kT  4 v 

 4 v   mkT 

atau

 F    (5.45)

 m   4 v 

Jumlah sistem yang menempati keadaan energi ke-i adalah

(5.46) z  e  1 e      1

Jika  i   F maka ketika T  0 atau    terjadi n i  1 . Sebaliknya jika

 i   F maka ketika T  0 atau    terjadi n i  0 . Berikutnya kita akan bahas beberapa aplikasi statistik Fermi-Dirac.

Bab ini berisi diskusi tentang gas bose ideal dalam konstruksi grand kanonik serta sejumlah aplikasinya. Tujuan bab ini adalah mahasiswa memahami beberapa aplikasi ensembel grand kanonik boson. Tiga contoh yang dibahas adalah kondensasi bose-einstein, tekanan radiasi, dan sifat termal kristal. Kita akan melakukan penurunan persamaan lebih detail yang jarang ditemui di buku-buku yang sudah terbit. Kurang detail penurunan persamaan pada seumlah buku yang ada menyebabkan materi yang disampaikan sering sulit diikuti.

Kita akan membahas gas bose ideal yang merupakan kumpulan boson bebas atau tidak ada interaksi antar boson. Contoh gas boson ideal adalah assembli foton dan fonon. Kita mulai dari ungkapan fungsi grand partisi untuk boson, yaitu

  i  (6.1)

1  ze

Fungsi grand partisi memiliki hubungan langsung dengan perkalian tekanan dan volum, yaitu

PV

 kT (6.2) 

 ln

 1  ze

  ln Z ln ze 

Untuk menentukan secara eksplisit fungsi grand partisi pada persamaan (6.2) Untuk menentukan secara eksplisit fungsi grand partisi pada persamaan (6.2)

(...)  (...) 3 4  p dp  (6.3)

Tetapi sebelum mengganti dengan integral, kita pisahkan suku yang memiliki energi nol (momentum nol) sebagai berikut

PV    

ln 1  i  ze   ln( 1  z )

kT

atau P

  ln( 1  z ) kT (6.4) V i ( 

ln 1 ze i

Mungkin kalian bertanya, mengapa pemisahan seperti pada persamaan (6.4) tidak kita lakukan pada saat membahas fermion? Kalau kita pisahkan pada saat membahas fermion maka suku dengan energi nol adalah ln( 1  z/ ) V . Untuk z yang bernilai sekitar satu maka ( 1 / V ) ln( 1 z )  0 ketika V   . Oleh karena itulah suku dengan energi nol pada fermion tidak ada gunanya untuk dipisahkan. Namun, untuk boson kondisinya sangat berbeda. Jika z  1 maka ln( 1 ) z   . Dengan demikian suku  ( 1 / V ) ln( 1  z ) (suku kedua pada persamaan (6.4)) bisa memiliki nilai berhingga meskipun V   . Dengan kata lain, suku dengan energi nol pada boson tidak boleh diabaikan. Dengan menggunakan (6.3) maka (6.4) menjadi

3 p ln 1   ze dp  ln( 1  z ) (6.5)

kT

Selanjutnya kita mencari ungkapan untuk jumlah rata-arata sistem (partikel) boson dalam assembli. Jumlah rata-rata sistem seperti dinyatakan dalam persamaan (3.34) menjadi

dp  ln( 1  z )  (6.6)  

Mengingat z  / kT  e maka kita dapat menulis

Dengan demikian persamaan (6.6) dapat ditulis menjadi

N  kT 

   3 p ln 1  ze

dp  ln( 1  z ) 

 kT  z 

4  Vz 2 

ln 1 ze   p 2 / 2 m

dp 

Dari semua penjelesan di atas kita merangkum dua persamaan utama, yaitu

  ln(  z ) (6.5)

Persamaan (6.5) dan (6.7) merupakan persamaan dasar untuk assembli boson dalam ensembel grand kanonik. Sama dengan sebelumnya, agar lebih sederhana, kita definisikan panjang gelombang termal partikel 2  2   / mkT . Dari persamaan (6.5)

2 2 2 kita definsikan 2  p / 2 m  x . Dengan demikian, p  2 mx /  , p  2 m /  x , dan

dp  2 m /  dx . Substitusi ke dalam persamaan (6.5) dipeoleh

P 2 4   2 mx 

3 ln 1  ze

dx  ln( 1  z )

kT kT

   dx  ln( 1  z )

3 x ln 1    ze dx   ln( 1  z ) (6.8)

Kita definisikan fungsi boson-5/2 berikut ini

g 5  / 2 ( z )   x ln 1 ze dx  (6.9)

Dengan menggunakan persamaan (6.9) maka persamaan (6.5) dapat ditulis menjadi

3 g 5 / 2 ( z )  ln( 1  z ) (6.10) kT 

Dengan cara serupa, persamaan (6.7) dapat ditulis

Kita definisikan fungsi boson-3/2 sebagai berikut

 1 x 2 dx  (6.12) 

Substitusi persamaan (6.12) ke dalam persamaan (6.11) kita peroleh

1 1 1  z 3 g 3 / 2 ( z )  (6.13)

Perhatikan persamaan (6.9). Jika kita lakukan diferensial terhapat z maka kita peroleh  

ln 1  ze  dx

1 ze 

Dengan memperhatikan persamaan (6.12) maka tampak jelas bahwa

 z g 5 / 2 ( z )  g 3 / 2 ( z ) (6.14)

Baik f 3 / 2 ( z ) maupun f 5 / 2 (z) sulit diselesaikan secara analitik untuk semua z. Namun kita dapat menguraikan kedua fungsi tersebut dalam bentuk deret. Mari kita

perhatikan uraian berikut ini  1  y  y  y  ... . Dengan demikian

2  3 ln( 1  y )   ( 1  y  y  y  ...) dy 

dy

2 3 y  y  y  y    ... 

Kita substitusi x y  2  ze sehingga

Dengan demikian kita dapat menguraikan persamaan (6.9) sebagai berikut Dengan demikian kita dapat menguraikan persamaan (6.9) sebagai berikut

Dengan menggunakan hasil yang diperoleh pada bab sebelumnya (persamaan (***)) maka persamaan (6.16) menjadi

Fungsi g 3 / 2 ( z ) diperoleh dengan mendiferensialkan g 5 / 2 ( z ) yaitu

g 3 / 2 ( z )  z g 5 / 2 ( z )  z  5 /   2 3 / 2 (6.18)

dz

Kita akan menggunakan persamaan (6.10), (6.11), (6.17), dan (6.18) untuk menbahas sifat-sifat bosong. Kita akan bahas tiga topik khusus secara detail yaitu kondensasi bose-einstein, tekanan radiasi, dan sifat termal kristal.

Mari kita perhatikan ungkapan deret untuk g 3 / 2 ( z ) . Jika kita diferensial terhadap z diperoleh

dz    1     1     1 

1 / 2 (6.19) dz

Tampak jelas dari persamaan (6.19) bahwa turunan g 3 / 2 ( z ) selalu positif sehingga

g 3 / 2 ( z ) adalah fungsi monoton naik. Dari persamaan (6.13) tampak jelas bahwa ruas kiri memiliki nilai berhingga. Oleh karena itu ruas kanan juga harus memuliki nilai berhingga. Ini berimplikasi bahwa

g 3 / 2 ( z ) juga harus berhingga. Dengan melihat bentuk fungsi g 3 / 2 ( z ) seperti diungkapkan dalam persamaan (6.18) maka g 3 / 2 ( z ) hanya berhingga untuk 0 z  1 . Karena g 3 / 2 ( z ) adalah fungsi monoton naik maka g 3 / 2 ( z )  g 3 / 2 ( 1 ) untuk

0 z  1 . Dari deret (6.18) kita dapatkan

Di mana  (x ) adalah fungsi zeta Riemann. Nilai fungsi zetta Riemann untuk beberapa bilangan spesifik sudah ditabulasi. Khusus untuk x = 3/2 nilainya adalah 2,612…. Jadi

g 3 / 2 ( 1 ) = 2,612 dan untuk semua 0 z  1 berlaku g 3 / 2 ( z )  2,612… Misalkan N 0 adalah jumlah boson yang menempati keadaan dasar maka jelas dari persamaan (6.7)

z N 0  (6.21) 1  z

Persamaan (6.13) selanjutnya dapat ditulis

atau

3  3 N 0   g 3 / 2 ( z ) (6.22)

Karena g 3 / 2 ( z )  g 3 / 2 ( 1 ) maka

3  3 N 0   g 3 / 2 ( 1 ) (6.23)

Mengingat N 0 menyatakan jumlah boson yang berada di keadaan dasar maka di  3

keadaan dasar (momentum = 0) ada dijumpai boson jika terpenuhi N 0  0 , atau

Kondisi ketika boson mulai ada di keadaan dasar kita sebut sebagai keadaan kritis. Pada

kondisi kritis ini    c dan terpenuhi hubungan

3 / 2 ( 1 ) (6.24) v

Dengan mengingat bentuk explisit dari  kita dapat menulis

di mana T c disebut suhu kritis atau suhu transisi di mana mulai terjadi penempatan keadaan dengan momentum nol oleh boson. Dari persaman di atas maka ungkapan suhu di mana T c disebut suhu kritis atau suhu transisi di mana mulai terjadi penempatan keadaan dengan momentum nol oleh boson. Dari persaman di atas maka ungkapan suhu

mkv  g 3 / 2 ( 1 ) 

Suhu T c disebut suhu kondensasi Bose-Einstein. Tampak jelas bahwa suhu transisi bergantung pada massa partikel boson dan volum rata-rata yang ditempati satu partikel boson. Makin besar massa partikel boson atau makin besar volume rata-rata yang ditempati partikel boson maka suhu transisi makin kecil. Dengan memasukkan sejumlah nilai massa maupun volum rata-rata yang ditempati partikel boson dapat dihitung susu transisi memiliki nilai di bawah ratusan nano kelvin.

Kondensasi Bose-Einstein sudah diamati dalam percobaan pada suhu sangat rendah. Kumpulan atom didinginkan dan ditembakkan dengan cahaya koheren. Cahaya transmisi dideteksi. Boson yang berada pada keadaan eksitasi dan keadaan konsensasi meneruskan cahaya dengan sifat yang berbeda. Dengan mengamati perubahan sifat cahaya transmisi ketika melewati kumpulan boson yang didinginkan maka dapat diamati terjadinya perubahan populasi boson yang berada pada keadaan dasar. Gambar

6.1 adalah skema percobaan pengamatan kondensasi bose-einstein (atas) dan perubahan polupasi boson ketika suhu diturunkan (bawah). Warna biru menyatakan boson yang berada pada keadaan dasar (boson yang mengalami kondensasi).

Gambar 6.1 (atas) skema percobaan deteksi peristiwa kondensasi Bose-Einstein. Kumpulan atom yang didingin pada seuhu mendekati 0 K disinari dengan cahaya koheren. Cahaya yang melewati kum pulan atom tersebut dideteksi dengan detektor yang sangat sensitif. Pola intensitas cahaya yang lolos diamati. Ketika suhu mendekati 0 K terjadi pertumbuhan pola yang berbeda dan makin besar ketika suhu makin diturunkan. Bagian yanbg tumbuh tersebut dihasilkan oleh boson yang mengalami konsensasi. (bawah) Contoh pertumbuhan boson yang mengalami konsensasi. Pada suhu 200 nK mulai ada boson yang mengalami konsensasi dan makin banyak (intensitas

makin tinggi) ketika suhu masin menuju 0 K (physicsworld.com, hyperphysics.phy-astr.gsu.edu).

Matahari atau bintang adalah massa yang berbentuk gas yang memiliki suhu sangat tinggi. Massa matahari dan bintang-bintang sangat besar. Matahari kita memiliki

massa 2 24  10 kg. Bumi sendiri memiliki massa 5,96  10 kg. Dengan demikian massa matahari sekitar 336.000 kali massa bumi. Dengan massa yang sangat besar

tersebut maka matahari melakukan gaya gravitasi yang sangat tinggi pada material penyusunnya. Dengan wujud yang berbentuk gas maha harusnya material penyusun matahari tertarik ke pusat matahari atau runtuh ke pusat matahari. Tetapi mengapa hal tersebut tidak terjadi? Mengapa material penyusun matahari tetap stabil tidak tumpah ke matarahi?

Material penyusun matahariu tidak tumpah ke pusat karena dari dalam matahari ihasilkan tekanan. Tekanan tersebut dihasilkan oleh radiasi yang drpoduksi dari dalam matahari. Dengan suhu yang sangat tinggi matahari memancarkan radiasi ke segala arah dalam jumlah yang sangat besar. Radiasi tersebut membawa momentum sehingga dapat menghasilkan gaya. Gaya tersebutlah yang mengimbangi gaya gravitasi sehingga bentuk matahari atau bintang-bintang tetap stabil (Gambar 6.2).

Gaya oleh tekanan radiasi

Gaya oleh gravitasi

Gambar 6.2. Ukuran bintang ditentukan oleh kompetisi antara gaya akibat tekanan radiasi yang berasal dari dalam ke arah luar dan gaya akibat gravitasi pada material bintang yang berarah dari luar ke dalam (www4.nau.edu)

Radiasi matahari tetap dihasilkan selama di pusat matahari masih berlangsung reaksi fusi nuklir (pegambungan inti hidrogen menjadi inti helium). Masalah akan muncul ketika hidrogen sebagai bahan bakar fusi nuklir habis. Reaksi nuklir akan berhenti sehingga matahari pun berhenti memproduksi radiasi. Akibatnya, tidak ada lagi gaya radiasi yang mengimbangi gaya gravitasi. Material penyusun matahari atau bintang akan runtuh sehingga ukuran bintang mengecil.

Pada bagian ini kita akan menghitung tekanan yang dihasilkan oleh radiasi. Kita mulai dari fungsi grand partisi untuk boson pada persamaan (6.1). Ketika kita menurunkan fungsi distribusi untuk boson parameter  adalah pengali Lagrange yang Pada bagian ini kita akan menghitung tekanan yang dihasilkan oleh radiasi. Kita mulai dari fungsi grand partisi untuk boson pada persamaan (6.1). Ketika kita menurunkan fungsi distribusi untuk boson parameter  adalah pengali Lagrange yang

  j j 1  e

atau

ln Z G   1  e  (6.26)

 j

Lebih lanjut, karena foton memiliki dua arah polarisasi maka penjumlahan terhadap indeks j meliputi penjumlahan terhadap polarisasi dan penjumlahan terhadap tingkat energi. Penjumlahan terhadap polarisasi dapat dilakukan langsung dan menghasilkan dua kali penjumlahan terhadap energi saja. Jadi kita dapat menulis persamaan (6.26) menjadi

2 ln 1 e  G k       (6.27)

ln Z

Sudah kita turunkan di bab sebelumnya bahwa ada hubungan antara perkalian tekanan dan volum dengan fungsi grand partisi, yaitu PV  kT ln Z G . Tekanan yang

dihasilkan memenuhi persamaan

  ( pV p )   

 kT ln Z G   kT ln Z G (6.28)

Misalkan assembli foton berada dalam kotak dengan dimensi L. Volume

3  1 / assembli adalah 3 V  L atau panjang sisi kotak adalah L V . Bilangan gelombang berdiri yang dapat terjadi dalam kotak memenuhi

2   1 / k 3  n  2  nV (6.29)

Dengan demikian, energi foton di dalam kotak dapat ditulis

k      ck  2   cnV

Substitusi persamaan (6.30) ke dalam persamaan (6.28) dan (6.27) diperoleh

  2   cnV  1 / p 3   2 kT ln 1  e (6.31)

Untuk menyelesaikan persamaan (6.31), mari kita gunakan hubungan berikut

1   my ) 

ini ln( 1 e  y

e . Jika disubstitusi ke dalam persamaan (6.31) kita peroleh

 V  k m  1 m

 2   cnV  1 / 3 p )   2 kT e

m 2       cnV 

 1 m ( 2  cnV  1 / 3 ) 1 4 / 3

  2 kT

 1  2 kT

V     k /

e 

  k  

  k

2 kT   k e 

 k 3 (6.32) V 

Terlebih dahulu mari kita hitung penjumlahan berikut ini

e  k  k

 k 1 e   k

Kita ganti penjumlahan dengan integral dengan terlebih dahulu melakukan tnasformasi sebagai berikut

3 4  k dk  2 (  / c ) d (  / c )   2 3  d  (6.33)

Dengan transformasi tersebut maka

 k

 k  k 

2  c  0 m  1 2  c  m  10 2  c  m  1 ( m   )

4 5  4 6  1  6  4  ( kT )

2  c   m   1 m 2  c   90 15 ( hc )

Akhirnya dengan substitusi persamaan (6.34) ke dalam persamaan (6.32) kita dapatkan

Persamaan (6.35) adalah tekanan radiasi yang dihasilkan oleh benda yang memiliki suhu T.

Untuk foton dengan dua arah polarisasi, energi total foton memenuhi

Dengan mengacu pada persamaan (6.32) kita dapatkan

Dengan membandingkan persamaan (6.35) dan (6.37) kita dapatkan

1 U P  (6.38) 3 V

Dari sejumlah penjelasan di atas kita sudah emmbuktikan bahwa radiasi elektromagnetik menghasilkan tekanan. Tekaan yang dihasilkan merupakan fungsi pangkat 4 dari suhu. Dengan suhu ratusan juta kelvin maka dapat diprediksi bahwa tekanan radiadsi di bintang sangat besar. Tekanan itulah yang melawan gaya gravitasi Dari sejumlah penjelasan di atas kita sudah emmbuktikan bahwa radiasi elektromagnetik menghasilkan tekanan. Tekaan yang dihasilkan merupakan fungsi pangkat 4 dari suhu. Dengan suhu ratusan juta kelvin maka dapat diprediksi bahwa tekanan radiadsi di bintang sangat besar. Tekanan itulah yang melawan gaya gravitasi

P  u / 3 dengan u = U/V adalah energi per satuan volum.

Sama dengan foton, fonon mengalami produksi dan penghilangan secara terus menerus di dalam assembli kristal. Dengan demikian jumlah fonon dalam assembli tidak konstan. Tidak ada potensial kimia yang berkaitan dengan produksi atau pemusnahan fonon sehingga  = 0 atau z = 1. Fungsi grand partisi fonon menjadi persis sama dengan persamaan (6.26).

Penjumlahan terhadap j meliputi penjumlahan terhadap tingkat energi dan polarisasi. Fonon memiliki tiga arah polarisasi (vibrasi dalam arah sumbu x, sumbu y, dan sumbu z) (Gambar 6.3). Misalkan kristal bersifat isotropik maka tiga arah polarisasi bersifat identik dan kita dapat langsung mengganti

 3  dengan k adalah indeks

untuk tingkat energi saja. Jadi persamaan (6.26) menjadi

G   3 ln  1  e   (6.39)

ln  Z  k

Gambar 6.3. Secara umum atom-atom dalam kristal memiliki tiga arah vibrasi. (memiliki tiga polarisasi) (www1.aps.anl.gov)

Fonon dapat dipandang sebagai gelombang, serupa dengan gelombang elektromagnetik. Hubungan antara bilangan gelombang dan frekuensi yang berlaku pada gelombang elektromagnetik juga berlaku pada fonon. Dengan demikian, energi fonon dapat ditulis dalam bentuk  k    (k ) dan hubungan antara frekusnasi dan panjang gelombang memenuhi

  v g k (6.40) dengan v g adalah kecepatan grup.

Seperti yang telah kita lakukan pada gelombang elektromagnetik, kita dapat mengganti penjumlahan pada persamaan dengan integral sebagai berikut

2 4 2  k dk 4  (  / v

3 3 (...)  d  

Dengan transformasi tersebut maka persamaan (6.39) menjadi

2 ln  Z  

3 3  ln 1  e d  (6.41)

Berbeda dengan gelombang elektromagnetik yang dapat memiliki frekuensi dari 0 sampai tak berhingga, menurut Debye fonon hanya diijinkan memiliki frekuensi dari nol hingga frekuensi maksimum tertentu. Frekuensi maksimum tersebut bergantung pada jenis material. Misalkan frekuensi maksimum kita tandai dengan  maka m

bentuk lengkap dari persamaan (6.41) adalah

1  e  d  (6.42)

ln  Z  

G   2 3  ln

Energi assembli memenuhi persamaan

d  (6.43)  

U  ln Z G  2 3 

Untuk menyelesaikan persamaan (6.43) kita misalkan  x /(    ) . Dengan demikian d   dx /(    ) dan  m  x m /(    ) . Substitusi ke dalam persamaan (6.43) kita peroleh

Mari definisikan fungsi berikut ini

x  x ( y )  x dx (6.45)

Dengan fungsi yang didefinisikan tersebut maka persamaan (6.44) dapat ditulis

3 4 ( kT ) U 

2 3  ( x m ) (6.46)

Fungsi  (y ) sulit untuk dihitung langsung. Yang dapat kita lakukan adalah mencari aprokasi pada kondisi ekstrim di mana y << 1 atau y >> 1. Jika y << 1 maka semua x dalam integral (6.45) memenuhi x <<1. Dengan demikian kita dapat melakukan aproksimasi berikut ini

Dengan demikian persamaan (6.45) terapkrokasimasi menjadi

2 1  2 ( y )  dx  x ( 1  x / 2 )  dx  x ( 1  x / 2 ) dx 

2 3 1 3 1  4 ( x  x / 2 ) dx  y  y (6.47)

Sebaliknya, jika y >> 1 maka hanya nilai-nilai x yang besar yang memberi kontribusi pada integral. Nilai-nilai x yang kecil memberi kontribusi yang tidak signifikan. Dengan demikian, untuk kondisi ini kita dapat melakukan langkah berikut ini

 x  1  e  e  ...   e  e  e  ...  e

 nx x

sehingga

3   nx  dx  x e dx 

e  nx

0 n  1  n  10

Mari kita perhatikan integral berikut ini

e nx  d x

 n  10 dn  0

Untuk y yang sangat besar kita bisa ambil y   sehingga

3 e dx   3  4 

x  nx

d nx

n  10 dn  0 dn n n

e dx

Dengan demikian aproksimasi  (y ) pada y yang sangat besar adalah

Dari persamaan (6.46), (6.47), dan (6.48) kita dapatkan ungkapan untuk energi dalam pada dua kondisi ektrem sebagai berikut

Karena x m     m   maka kita dapat menulis ulang persamaan (6.49) sebagai

Dari ungkapan energi dapat kita tentukan kapasitas kalor sebagai berikut

dU C v  dT

 3 k

Kita definisikan suhu Debye sebagai berikut T D    m / k . Dai definisii tersebut maka kapasitas kalor memenuhi persamaan

C v 3  2 3   4 (6.52)

2  ( v g )

T D = 215 K

Gambar 6.4. Kapasitas kalor perak. Simbol adalah eksperimen dan garis adalah teori Debye dengan menggunakan suhu Debye 215 K (hyperphysics.phy-astr.gsu.edu)

Tampak dari persamaan (6.52) bahwa pada suhu sangat tinggi kapasitas kalor kristal tidak bergantung pada suhu. Inis esuai dengan hukum Dulong-Petit yang Tampak dari persamaan (6.52) bahwa pada suhu sangat tinggi kapasitas kalor kristal tidak bergantung pada suhu. Inis esuai dengan hukum Dulong-Petit yang

Gambar 6.4 adalah contoh hasil pengukuran kapasitas perak dan kurva Debye yang dibuat dengan menggunakan TD = 215 K. Tampak jelas kesesuaian yang luar biasa antara hjasil eksperimen dengan teori Debye.

Pada bab ini kita akan mempelajari salah satu metode ekspansi dalam mekanika statistik. Metode ekspansi yang sangat populer adalah ekspansi kluster yang diperkenalkan oleh Meyer. Topik ini cukup sulit dipahami karena sangat abstrak. Kita akan membahas secara lebih rinci sehingga dapat dipahami lebih mudah daripada pembahasan yang dikemukakan di sejumlah buku yang telah ada.

Metode ekspansi kluster digunakan untuk mencari persamaan keadaan assembli yang mengandung partikel-partikel yang saling berinteraksi satu dengan lainnya. Dengan adanya interaksi ini maka energi total tidak hanya berupa energi kinetik tetapi juga mengandung komponen energi potensial yang merupakan fungsi jarak antar partikel. Energi interaksi antar

partikel ke-i dan ke-j kita nyatakan sebahai u ( r ij ) di mana r ij  r  i r j . Energi total yang dimiliki assembli menjadi

p N E i   u ( r ij ) (7.1)

 i  1 2 m  i  1 j  i

Pada penjumlahan dobel di atas kita batasi i > j untuk menghindari perhitungan double mengingat u ( r ij )  u ( r ji ) . Kita juga meniadakan suku dengan i = j karena tidak ada interkasi

partikel dengan dirinya sendiri.

Kita juka akan membatasi pada interaksi yang tidak terlalu besar. Karena umumnya metode ekspansi dapat diterapkan jika ekspansi dilakukan terhadap suku yang ordenya kecil (lebih kecil dari satu) untuk mencapai konvergensi. Interkasi yang tidak terlalu besar sering ditemui pada assembli gas. Meskipun ada interaksi antar pertikel gas namun atom atau molekul gas masih dapat bergerak dengan bebas. Ini menunjukkan bahwa tarikan atau tolakan antara atom atau molekul tersebut sangat kecil.

Dengan menggunakan energi interkasi pada persamaan (7.1) maka fungsi partisi kanonik untuk partikel yang bersigat semiklasik dapat ditulis

 i j  i 

u ( r ij ) 

N ! h 

... d r 1 d r 2 ... d r N d p 1 d p

2 ... d p N e (7.2)

Komponen energi kinetik dan energi potensial masing-masing merupakan variabel bebas (tidak terkait satu sama lainnya) sehingga integral dapat dilakukan masing-masing. Jadi kita dapat menulis

3   i j  i

u ( r ij 1 )

... d p 1 d p 2 ... d p N e ... d r 1 d r 2 ... d r N e (7.3)

Mari kita lakukan integral terhadap momentum dulu. Antara momentum satu dengan lainnya tidak tekait satu dengan lainnya. Dengan demikian variabel momentum untuk masing- masing partikel merupakan variabel bebas. Oleh karena itu integral tersebut dapat dipisah sebagai berikut

... d p 1 d p 2 ... d p N e  e d p 1 e d p 2 ... e d p N  (7.4)    

Kita gunakan hubungan yang sudah sangat dikenal berikut ini

Dengan memasukkan persamaan (7.5) ke dalam (7.4) kita mendapatkan

1 d p 2 ... d p N e   2  mkT  2  mkT  ... 2  mkT    2  mkT   

3 / 2 3 / 2 3 / 2 3 N / ... 2 d p

Oleh karena itu fungsi partisi kanonik menjadi

3 N  2  mkT  ... d r 1 d r

... d r 1 d r 2 ... d r N e (7.6)

Selanjutya dengan medefinisikan 2   h / 2  mkT kita dapat menulis persamaan (7.6) menjadi

ij

... d r 1 d r 2 ... d r N e (7.7)

Setelah kita dapat menentukan fungsi partisi kanonik maka kita dapat menentukan fungsi partisi grand kanonik menurut hunungan berikut ini

Z N G  z Z N (7.8)

 / dengan kT z  e

Mari terlebih dahulu kita tentukan fungsi partisi kanonik lebih rinci dengan metode ekspansi kluster. Kita kembali menulis sebagai berikut

  u ( r ij )

 i j  i

 u ( r ij )

e (7.9)

Untuk mempermudah pembahasan kita kembali definisikan fungsi f ( r ij ) sebagai berikut

 u ( r ij )

e  1  f ( r ij ) (7.10)

Dengan menggunakan persamaan (7.9) dan (7.10) kita mendapatkan hubungan berikut ini

 1  f ( r ij )   i j

 u ( r ij )

 i j  i

Akibatnya, bagian integral pada persamaan (7.10) menjadi

... d r 1 ... d r N  1  f ( r ij  )  

3  3    ij i j  i

... d r 1 ... d r N e 

... d r 1 ... d r N  1  f 12  f 13  ...  f 12 f 13  ...  f  f  .. f    ...  (7.11)

dengan , , …,  adalah pasangan dua angka yang berbeda. Misal  = 12,  = 24, dan seterusnya.

Tugas kita berikutnya adalah menyelesaikan integral pada tiap suku persamaan (7.11). Suku pertama dalam tanda kurung hanya angka satu sehingga integralnya dapat dilakukan

ij yang berupa satu unit atau perkalian sejumlah f ij sehingga integral yang dilakukan lebih sulit.

dengan mudah dan hasilnya adalah N V . Suku-suku lainnya mengandung f

Beberapa integral yang dapat dilakukan dengan mudah adalah

1 ... d r N  d r 1 d r 2 ... d r N  V  (7.12)   

... N d r

... f 12 d r 1 d r 2 ... d r N  d r 1 d r 2 f 12 d r 3 d r 4 ... d r N  V d r 1 d r 2 f 12  (7.13)     

Kita kembali ingat bahwa f 12 ( r 12 )  f  r  2 r 1  . Untuk menyelesaikan integral di atas

masri kita definisikan variabel baru berikut ini   

   Dengan definisi tersebut maka f ( r 12 )  f ( r ) , r 1  R  r / 2 dan r 2  R  r / 2 . Transformasi

elemen volume ke dalam variabel baru memenuhi persamaan

Dengan J adalah Jacobian yang memenuhi  

Jadi d r 1 d r 2  d R d r  . Persamaan (7.13) selanjutnya dapat ditulis 

... f 12 d r 1 d r 2 ... d r N  V d R d r f ( r )  V d R d r f ( r )  V d r f ( r )     

Tampak bahwa hasil integral tidak bergantung pada indeks. Jadi, berapa pun indeks yang muncul pada fungsi f maka nilai integral selalu sama. Jadi, secara umum

... f ij d r 1 d r 2 ... d r N  V d r f ( r )  (7.14) 

Yang sulit kita hitung adalah integral yang memuat perkalian f ij yang saling terkopel (tidak dapat diuraikan atas integral terpisah).

Perhatikan kembali uraian suku-suku dalam persamaan (7.11). Angka-angka yang muncul pada indeks maksimal berjumlah N angka. Sebagian suku hanya mengandung angka yang jumlahnya lebih sedikit daripada N. Sebagai contoh, jika dalam suku tersebut hanya ada

f 12 f 34 f 56 f 59 maka jumlah angka yang muncul hanya 7 angka.

Sebagai bahan pembahasan mari kita lihat suku yang mengandung perkalian berikut ini 

f 12 f 34 f 35 f 56 f 78 f 79 . Koordinat yang tidak saling bebas dalam suku tersebut adalah r 1 dan r 2

   (muncul dalam f ( r 12 ) ), r 3 , r 4 , r 5 dan r 6 (muncul dalam f ( r 34 ) f ( r 35 ) f ( r 56 ) ), dan r 7 , r 8 dan r 9

(muncul dalam f ( r 78 ) f ( r 79 ) ). Jadi, terdapat 9 koodinat posisi yang tidak saling bebas. Nilai integralnya dapat ditulis menjadi

... f 12 f 34 f 35 f 56 f 78 f 79 d r 1 d r 2 ... d r N

V ... f 12 f 34 f 35 f 56 f 78 f 79 d r 1 d r 2 d r 3 d r 4 d r 5 d r 6 d r 7 d r 8 d r 9

V f 12 d r 1 d r 2 ... f 34 f 35 f 56 d r 3 d r 4 d r 5 d r 6 ... f 78 f 79 d r 7 d r 8 d r 9

Sekarang mari kita mendefinisikan besaran yang dinamakan grafik. Grafik adalah representasi lain dari bentuk integral. Gambar 7.1 adalah contoh integral dan bentuk grafiknya. Grafik adalah kumpulan lingkaran-lingkaran yang terhubung oleh garis-garis. Tiap lingkaran diberi nomor dengan angka antara 1 sampai N. Tampak dalam Gambar 7.1 bahwa jika dalam integral terdapat fij, maka dalam grafik lingkaran yang diberi angka i dan angka j terhubung dengan garis.

Selanjutnya, jika suku-suku dalam persamaan (7.11) ada indeks yang tidak muncul maka grafik definisikan sebagai sebuah lingkaran yang memiliki angka yang tidak muncul tersebut. Contohnya dapat dilihat pada Gambar 7.2. Pada persamaan yang pertama dan kedua dalam Gambar 7.2 tidak ada f yang muncul sehingga grafik hanya berupa satu lingkaran. Lingkaran

tersebut diberi angka sama dengan indeks pada d r . Pada persamaan ketiga hanya f 12 yang

f 12 d r 1 d r 2 1 2

3 3 3  ... f 12 f 13 d r 1 d r 2 d r 3

... f 12 f 23 d r 1 d r 2 d r 3

... f 12 f 13 f 14 f 23 f 34 d r 1 d r 2 d r 3

Gambar 7.1 Contoh integral dan representasinya dalam bentuk grafik.

3  3  3  ... d r 1 d r d r

... f 12 d r d r

Gambar 7.2 Jika anda angka yang tidak muncul dalam f maka grafiknya didimbolkan sebagai sebuah lingkaran saja yang memiliki nomor angka yang tidak muncul tersebut.

Dari penjelasan di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa suku-suku dalam persamaan (7.11) sekalu dapat dinyakan sebagai perkalian sejumlah grafik yang terdiri dari satu lingkaran, 2

lingkaran, tiga lingkaran, dan setersunya. Grafik yang mengandung  lingkaran yang terhubung kita sebut kluster-. Dalam satu suku penjumlahan pada persamaan (7.11) bisa terjadi kluster-1, kluster-10 atau kluster lainnya muncul beberapa kali. Sebaliknya bisa jadi kluster lainnya tidak

pernah muncul. Sebagai contoh dapat dilihat pada ilustrasi berikut ini.

1 2 3 …  N

3  ... f 12 d r 1 d r 2 ... d r N

Paga ilustrasi di atas kluster-1 muncul sebanyak N kali sedangkan kluster-kluster lainnya tidak pernah muncul.

Misalkan pada satu suku dalam persamaan (7.11)

Kluster-1 muncul sebanyak m 1 kali Kluster-2 muncul sebanyak m 2 kali

. . . Kluster  muncul sebanyak m  kali. Dan seterusnya

di mana m  dapat memiliki nilai antara 0 sampai N. Karena tiap lingkaran tidak boleh memiliki angka yang sama maka jumlah total lingkaran memenuhi persamaan

N (7.15)

Misalkan salah satu suku dalam persamaan (7.11) mengandung komposisi kluster sebagai berikut {m 1 ,m 2 ,…m  ,…m N } = {m  }. Simbol ini menyatakan bahwa ada m 1 kluster-1, ada m 2 kluster 2, dan seterusnya. Tetapi, untuk kluster- tertentu, terdapat banyak sekali cara mengubungkan lingkaran-lingakaran dalam kluster tersebut. Sebagai contoh, untuk kluster-3, cara-cara menghubungkan lingkaran-lingkaran diilustrasikan pada Gambar 7.3.

Gambar 7.3 Empat cara menghubungkan lingkaran-lingkaran pada kluster-3.

Jadi untuk kluster-3 terdapat 4 cara menghubungkan lingkaran-lingkaran penyusunnya. Dengan demikian, jika jumlah kluster-3 ada 6 (m 3 = 6) maka kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi diilustrasikan pada Gambar 7.4.

3 9 33 45 85 99 Gambar 7.4 Contoh kemungkinan-kemungkinan munculnya kluster-3 pada suku persamaan

Tampak dari Gambar 7.4 bahwa dapat terjadi sejumlah cara hubungan antar lingkaran yang muncul berkali-kali. Sebaliknta, dapat terjadi pula ada cara hubungan antar lingkaran yang tidak pernah muncul.

Yang perlu kita tentukan selanjutnya adalah jumlah cara mengubungkan semua kemungkinan kluster-kluster tersebut. Jumlah cara tersebutlah yang akan menentukan fungsi partisi yang selanjutnya akan digunakan untuk menurunkan besaran-besaran termodinamika.

Sekarang mari kita fokuskan pada satu susunan kluster yang disimbolkan dengan {m  }. Dapat dibuktikan dengan mudah bahwa

1 = 2 = 3 =…= j

karena d r 1  d r 2  ...  d r j . Dengan demikian jika terdapat m 1  buah kluster-1 maka suku  

dalam persamaan (7.11) hanya menghasilkan m [ ] 1  . Selanjutnya, perhatikan kluster-2. Contonhya

3 4 = ... f ( r 34 ) d r 3 d r 4  d R f ( r ) d r V f r d  r  (  ) 

j = ... f ( r ij ) d r i d r j  d R f ( r ) d r  V f ( r ) d  r  

Artinya, berapa pun angka yang ada dalam dua lingkaran yang terhubung maka hasilnya selalu sama. Oleh karena itu jika di dalam salah satu suku dalam persaman (7.11) terdapat m 2 kluster-2

maka perkaliannya menghasilkan m [ 2    ] .

Untuk kluster-3 terdapat 4 jenis grafik yang muncul. Untuk sementara mari kita simbolkan grafik-graik tersebut dengan a, b, c, dan d seperti pada Gambar 7.5.

Gambar 7.5 Kita simbolkan grafik-grafik pada kluster-3 dengan huruf untuk mempermudah pemahaman.

Dengan demikian, grafik-grafik (kombinasi antar huruf) yang dapat muncul dalam m 3 buah kluster-3 adalah

aaaa…aa + aaaa…ab + … + ab…bbbb + bbbb…bb

m 3 kali

m 3 kali

m 3 kali

m 3 kali

Penjumlahan semua kombinasi di atas persis sama dengan m ( a  3 b  c  d ) . Jadi kontribusi kluster-3 ke dalam suku penjumlahan pada persamaa (7.11) adalah

Sekarang mari kita perhatikan angka-angka yang diisn pada lingkaran-lingkaran grafik. Angka-angka yang menomori lingkaran pada tiap suku dapat dipertukarkan maka jumlah kemungkinan menjadi lebih banyak lagi. Akibatnya salah satu suku dalam persamaan (7.11) dapat ditulis sebagai jumlah suku-suku yang diperoleh dari hasil permutasi suku lainnya. Jadi jumlah tiap suku sama namun, satu suku adalah hasil permutasi nomor pada suku lainnya. Persamaan yang diperoleh adalah

sampai N). Selanutnya kita perlu menentukan S { m  } secara eksplisit. Karena yang kita permutasi

ada N partikel maka jumlah suku pada persamaan (7.16) adalan N! buah. Tetapi perlu diingat bahwa tidak semua permutasi menghasilkan susunan yang berbeda. Contohnya kita lihat kluster-

1 yang terditi dari m 1 buah. Misalkan kluster-kluster tersebut sebagai berikut.

Tetapi, karena

3 =…= m 1

Maka permutasi terhadap m 1 buah angka pada lingkaran-lingaran tersebut tidak memberikan konfigurasi yang berbeda (karena angka yang dipertukarkan merupakan konstanta yang persis sama). Jumlah cara mempertukarkan m 1 angka adalah m 1 ! cara. Jadi pada jumlah N! harus dibagi dengan m 1 ! untuk menghidari pengulangan permutasi yang tidak menghasilkan konfigirasi berbeda.

Alasan yang sama pun kita terapkan ketika akan membahas permutasi m  kluster-. Untuk menghindari pengulangan permutasi yang tidak menghasilkan konfigurasi berbeda maka N! harus dibagi dengan m  !. Jadi jumlah cara berbeda setelah membuang permutasi yang ditak menghasilkan konfigurasi berbeda akibat pertukaran kluster yang memiliki lingkaran yang sama jumlahnya menjadi

N ! (7.17)

m 1 ! m 2 !... m  !... m N !

Salanjutnya perhatikan kluster yang mengandung beberapa lingkaran (misalnya kluster-3). Misalkan anggota kluster tersebut sebagai berikut.

m 3 buah

Jika kita menukarkan angka-angka dalam satu grafik maka kita tidak menghasilkan konfigurasi yang berbeda. Penyebabnya adalah ketika dilakukan integral maka angka-angka tersebut akan hilang. Jadi, konfigurasi di bawah ini tidak berbeda dengan konfigurasi dia atas. Pada konfigurasi di bawah angka-angka pada grafik pertama dipertukarkan antar mereka, angka-angka pada grafik kedua dipertukarkan pada mereka, dan seterusnya.

m 3 buah

Ketika kita permutasi angka 1, 2, dan 3 pada grafik pertama maka kita tidak menghasilkan konfigurasi baru. Jumlah cara permutasi 3 angka tersebut adalah 3!. Ketika kita permutasi angka 5, 8, dan 9 pada grafik kedua maka kita pun tidak mendapatkan konfigurasi baru. Jumlah cara permutasi tersebut adalah 3!. Dengan demikian total cara permutasi semua

angka dalam kluster-3 adalah m ( 3 ! ) 3 . Karena permutasi tersebut tidak menghasilkan konfigurasi baru maka pada jumlah cara yang dinyatakan dalam ungkapan (7.17) harus dibagi dengan m ( 3 ! ) 3 untuk membuang pengulangan yang sama. Hal yang sama berlaku pada kluster-kluster lainnya.

Untuk kluster- jumlah cara permutasi yang harus dihilangkan adalah m (  ! )  . Akhirnya, jumlah suku yang benar-benar hanya menghasilkan konfigurasi berbeda hanyalah

m 1 ! m 2 !... m  !... m N ! ( 1 ! ) ( 2 ! ) ...(  ! )  ...( N ! )

Jumlah yang diungkapkan (7.18) adalah jumlah suku penjumlahan yang berbeda dalam persamaan (7.16). Karena tiap grafik sejenis selalu menghasilkan nilai yang sama (berapa pun

angka yang terkandung di dalamnya) maka nilai S { m  } persis sama dengan jumlah suku yang berbeda dikalikalikan dengan perkalian semua grafik yang muncul dalam persamaan (7.16).

Akhirnya kita dapat simpulkan

m 1 ! m 2 !... m  !... m N ! ( 1 ! ) ( 2 ! ) ...(  ! ) ...( N ! )

Tiap suku dalam persamaan (7.11) mengandung satu set {m  }. Oleh karena itu jumlah untuk semua set {m  } yang mungkin adalah

Akhirnya kita dapatkan fungsi partisi kanonik sebagai

S { m  } (7.20)

Seperti yang umum dilakukan hingga saat ini, mari kita definisikan integral kluster sebagai berikut

(7.21)   V Sebagai contoh

3 !   3  (jumlah semua kemungkinan kluster-)

2 !  V 2 !  V 

3 f ( r 12 ) d r 1 d r 2

2 !  V 

3 d R f ( r ) d r 

Dengan definisi (7.21) maka kita dapat menulis

N !  { m  } m 1 ! m 2 !... m N ! ( 1 ! ) 1 ( 2 ! ) 2 ...( N ! ) N

 b 1 1 !  V  b 2 2 !  V  ... b N N !  V 

 3 N   3    3   ...  3   ...  3  

{  m  }       {    m  }    

{  m  }    

{  m  }    

Dari fungsi partisk kanonik kita mendapatkan fungsi grand partisi sebagai berikut

N    0 { m  }    

 m Selanjutnya, karena  N  m

sehingga persamaan (7.23) dapat ditulis ulang menjadi

maka z  z

  3 N   0 { m  } 

Kita ingin lebih menyederhakan lagi persamaan (7.24). Karena N dapat meniliki nilai dari

0 sampai tak berhingga maka semua m  dapat memiliki nilai dari 0 sampai tak berhingga. Dengan demikian, fungsi grand partisi dapat ditulis ulang menjadi

3 z  ...  3 z  ...  3  z  

 b  V    exp 3 z exp

3 z  exp  3 z (7.25)

Dari persamaan (7.25) dengan mudah kita mendapatkan

3 z  3 b  z  (7.26)

ln Z

Akhirnya kita dapatkan persamaan berikut ini

P 1 1   ln Z G  3 b  z (7.27)

kT V   

 kT 3  b  z  z / kT   3 z b  atau

Persamaan (7.27) dan (7.28) merupakan landasan untuk mencari persamaan keadaan dalam metode spekpansi kluster. Yang dilakukan adalah mencari konstanta b pada deret persamaan (7.27) dan (7.28). Konstanta tersebut dihitung dari integral fungsi potensial. Nilai konstanta sangat bergantung pada jenis interaksi antar atom/molekul gas.

Pada bab ini kita akan bahas salah satu topik yang sering dijumpai pada mekanika statistik, yaitu model Ising. Model ini pertama kali dikembangkan oleh Ising untuk menjelaskan sifat magnetik bahan dengan memandang bahan tersusun atas momen-momen magnetik yang tersusu secara teratur. Dalam perkembangan selanjutnya model ini diterapkan untuk sejumlah kasus yang kadang tidak ada hubungannya dengan kemagnetan.

Dalam model Ising, assembli dipandang sebagai sebagai susunan teratur dari N system pada posisi tetap. Penyusunan system-sistem tersebut membentuk kisi-kisi Kristal. Bentuk kisi bisa berupa kisi linier (1D), bujur sangkar, persegi panjang, atau segitiga (2D), simple cubic, face centered cubic, hexagonal, dll (3D). Tiap titik kisi berkaitan dengan salah satu dari dua keadaan

yang disimbolkan dengan +1 dan -1. Jika variable yang menyatakan keadaan kisi ke-i asalah s i

maka s hanya boleh miliki nilai -1 atau +1. Dalam bahan feromagneti, keadaan dengan i s =+1 i

berkaitan dengan spin up dan keadaan dengan s =-1 berkaitan dengan spin down. Kumpulan i

 s menentukn keadaan assembli. i

Misalkan energy interaksi keadaan ke-I dank e-j adalah  dan energy interaksi antara  ij

keadaan ke-I dengan medan magnetic

B adalah   Bs i maka energy assembli pada konfigurasi memenuhi

E  s i    ij s i s i   B s i

 ij

E  s i    ij s i s i   B s i

 ij

Di mana symbol menyetakan penjumlahan dilakukan hanya dengan memperhitungkan

tetangga terdekat saja.

b) Jika dianggap bahwa interaksi antara dua tetangga terdekat sama, tidak bergantung pada lokasi di mana dua system terdekat berada maka  ij  untuk semua I dan j. Dengan demikian

kita bisa sederhakan lebih lanjut

 ij

E  s i    s i s i   B s i

Berapakah jumlah suku dalam penjumlahan di sebelah kiri persamaan (8.3)? Misalkan jumlah tetangga terdekat adalah . Untuk setiap nilai i ada sebanyak  buah nilai j yang merupakan tetangga terdekat. Karena ada N buah indeks i maka jumlah indeks j yang menjadi

tetangga terdekat adalah  . Tetapi perhitungan semacam ini akan menyebabkan dua kali N conting sehingga jumlah suku sebenarnya dalam penjumlahan di atas hanyalah  N / 2 .

Contog nilai  untuk beberapa penyusunan adalah Kisi bujur sangkar,  =4

Kisi simple cubic,  =6 Kisi body centered cubic,  =8 Kisi hexagonal closed packing ,  =12

Sekarang kita tinjau kasus khusu, yaitu untuk   0 yang berkaitan dengan bahan ferromagnetic. Fungsi partisi adalah

Z  B , T 

  E  s i 

... exp

(8.4) Pada persamaan (8.4) tiap variable s mengambil nilai -1 dan +1. Karena ada N buah tanda i

sumasi maka jumlah suku dalam penjumlahan fungsi partisi adalah N 2 buah. Energi bebas Helmholtz adalah

A ( B , T )   kT ln Z ( B , T ) (8.5)

Ada cara lain untuk menentukan fungsi partisi secara lebih mudah. Misalkan N  = jumlkah spin up

N   N  N  = jumlkah spin down Akan muncul tiga jenis pasangan antar spin, yaitu up-up (++), down-down (--) and up-down(+-).

Pasangan (--) dan (++) menyumbang energy yang sama besarnya, sedangna pasangan (-+) menyumbang energy yang berlawanan tanda. Energi total assembli dapat ditentukan dengan menenentukan jumlah pasangan (--), (++), dan (+-). Misalkan jumlah pasangan-pasangan yang adalah

Pasangan (++): N   Pasangan (--): N  

Pasangan (+-): N  

Untuk menentukan jumlah masing-masing pasangan tersebut, mari kita lihat skema pada Gambar 8.1. Tiap ketemu satu spin up, kita tarik garis ke tetangga terdekat.

a) Tiap ketemu satu spin down kita tidak membuat garis ke tetangga terdekatnya

b) Akibatnya, pasangan up-up akan dihubungkan oleh dua garis

c) Pasangan up-down dihubungkan oleh satu garis

d) Pasangan down-down tidak dihubungkan oleh garis

e) Karena tiap satu spin up menghasilkan  buah garis (jumlah tetangga terdekat) maka jumlah garis yang dibuat adalah  . Garis tersebut akan terbagi menjadi dua buah penghubungn N  up-up dan satu buah penghubung up-down. Jadi akan terpenuhi hubungan

 N   2 N    N   (8.6)

Gambar 8.1 Skema menentukan jumlahan pasangan spin up dan down dengan menarik satu garis keluar dari spin up dan tidak menarik garis keluar dari spin down.

Selanjutnya kita balik aturan penggambaran di atas dengan aturan seperti diilustrasikan pada Gambar 8.2.

a) Tiap ketemu satu spin down, kita tarik garis ke tetangga terdekat.

b) Tiap ketemu satu spin up kita tidak membuat garis ke tetangga terdekatnya

c) Akibatnya, pasangan down-down akan dihubungkan oleh dua garis

d) Pasangan up-down dihubungkan oleh satu garis

e) Pasangan up-up tidak dihubungkan oleh garis

f) Karena tiap satu spin down menghasilkan  buah garis (jumlah tetangga terdekat) maka jumlah garis yang dibuat adalah  . Garis tersebut akan terbagi menjadi dua buah N  penghubungn down-down dan satu buah penghubung up-down. Jadi akan terpenuhi hubungan

228

Gambar 8.2 Skema menentukan jumlahan pasangan spin up dan down dengan menarik satu garis keluar dari spin down dan tidak menarik garis keluar dari spin up.

 N   2 N    N   (8.7) Di samping itu karena jumlah total spin adalah N maka N   N   N (8.8)

Dari tiga persamaan di atas kita dapatkan persamaan berikut ini N     N   2 N   (8.9)

N   N  N  (8.10)

(8.13) Dengan demikian, energy assembli dapat ditulis

E ( N  , N   )   4  N    2      B  N       B   N

 2  (8.14) Fungsi partisi selanjutnya dapat ditulis

(8.15) Dengan g ( N  , N   ) adalah jumlah konfigurasi yang berkaitan dengan N  dan N   tertentu. Penjumlahan di atas sangat sulit untuk dikerjakan. Penjumlahan baru dapat dilakukan jika

kita mengetahui bentuk eksplisit dari g ( N  , N   ) .Yang dapat dilakukan sekarang adalah melakukan sejumlah pendekatan. Kita akan membahas sejumlah aproksimasi yang sudah

diperkenalkan orang sejak lama.

Tampak pada fungsi partisi pada persamaan (6.15), energy assembli tidak bergantung secara eksplisit pada distrubusi spin up dan spin down, tetapi hanya bergwnatung pada berapa jumlah spin up dan berapa pasangan spin up-up. Di mana letak spin up tersebut tidak

menentukan energy konfigurasi. Di sini kita perkenalkan dua buah besaran, yaitu N/  N dan N   /( N  / 2 ) . Perhitungan besaran pertama akan memperhatikan seluruh lokasi dalam assembli,

yaitu menghitung semua spin up dalam seluruh ruang assembli. Besaran tersebut mengukur keteraturan munculnya spin up pada seluruh ruang assembli. Besaran tersebut sering dinamakan

“long-range order”. Sebalinya, besaran kedua hanya mempertingangkan pasangan-pasangan tetanga terdekar. Besaran tersebut merepresentesikan keteraturan local, yaitu bagaimana

terbentuknya spin up-spin up pada wilayah yang sangat kecil, yaitu tatangga terdekat. Oleh karena itu besaran tersebut dinamakan “short-range order”.

Kita definisikan parameter “long-range order”, L dan “short-range order”,  , sebagai berikut

( L 1    1 )

N 2 (8.16) N  

(  / 2 ) N 2 (8.17) Dengan pengenalan parameter ini maka kita peroleh s i s j (

ij

(8.17) s i  NL

(8.18) Energi per spin menjadi E  

(  / 2 )( 2   2 L  1 )   BL

N (8.19)

Menurut aproksimasi Bragg- Williams, terbentunya “short-range order” adalah akibat dari “long-range order”. Ada hubungan langsung antara short-range order dan long-range order.

Hungungan tersebur adalah N 2

N / 2  N  (8.20)

Dengan aproksimasi ini maka

2 (8.21) Energy per spin menjadi

E  2  (  / 2 ) L   BL N

(8.22) Fungsi partisi akhirnya menjadi   N (  L 2 / Z 2 ( B , T ) e   BL  )

  s i

Penjumlahan terhadap  s dapat diganti dengan penjumlahan terhadap L dari -1 sampai i

+1. Nilai L ditentukan oleh N  . Jumlah kedanaan yang berkaitan dengan satu nilai L sama dengan jumlah cara mengambil N  dari sejumlah N spin yang tersedia. Jumlah cara tersebut adalah

N  ! ( N  N  )! [ N ( 1  L ) / 2 ]! [ N ( 1  L ) / 2 ]!

Dengan demikian,

L    1 [ N ( 1  L ) / 2 ]! [ N ( 1  L ) / 2 ]!

N ( L 2 / 2 BL Z ) ( B , T )       e

(8.24) Pada penjumlahan di atas, ada satu suku yang sangat dominan. Misalkan suhu dominan tersebut

berkaitan dengan L  , maka L

N ( L 2 / 2 B L Z ) ( B , T ) e      

[ N ( 1  L ) / 2 ]! [ N ( 1  L ) / 2 ]!

 N ( L 2 / 2  B L ln ) Z ( B , T )  ln e   

[ N ( 1  L ) / 2 ]! [ N ( 1  L ) / 2 ]!

(8.25) Dengan pendekatan Stirling kita peroleh

Karena L memberikan nilai kmaksimum pada fungsi partisi maka

 1  L  1 L  1  L  1 L   ln Z ( B , T ) 

2  2   yang memberikan solusi

1  L Atau

L  tanh  B    (8.27) kT kT 

Jika medan yang direpakan nol maka   L 

L  tanh  (8.28) kT  Yang memiliki solusi  0 ,  1

L   kT (8.29)  L

kT

Dengan mendefinisikan  / k  T c yang dinamakan suhu kritis maka

(8.30)   L o , T  T c

Salah satu langkah yang cukup drastis dalam aplroksimasi Bragg-Williams adalah melakukan pendekatan

Pendekatan ini menyatakan bahwa terbentuknya pasangan spin up-up ditentukan oleh jumlah titik yang memiliki keadaan spin up. Pendekatan ini cukup kasar, seperti dapat dilihat pada Gambar 6.3. Pada gambar kiri dan kanan 2 N sama banyaknya sehingga  ( N  / N ) juga sama.

Tetapi N   pada gambar kiri lebih banyak daripada pada gambar kanan sehingga ( N   /  N / 2 ) pada gambar kiri lebih besar nilainya. Ini menunjukkan bahwa aproksimasi Bragg-Williams

masih sangat kasar.

Gambar 6.3 Ilustrasi yang memperlihatkan bahwa aproksimasi Bragg-Willims masih kurang teliti.

Aproksimasi Bethe-Pierls memperbaiki ketelitian aprokasimasi Bragg-Williams. Langkah yang diterapkan sebagai berikut.

a. Mengambil satu bagian kecil saja dari kisi besar untuk dianalisa lebih detail.

b. Menghitung secara eksak pembentukan pasangan spin dalam bagian kecil tersebut.

c. Sisa kisi lainnya (sebagian besar) dipandang sebagai latar belakang.

Bagian kisi yang dihitung dengan teliti

Latar bela kang

Langkah ini sangat mirip dengan saat menghitung medan listrik polarisasi dalam bahan dielektrik dengan menggunakan metode Lorentz.

Bagian kisi yang dihitung dengan teliti. Moden dipol dianggap tersebar secara

diskrit

Latar bela kang dianggap kontinu

Sebagian kecil bahan dielektrik dipilih. Momen dipol dalam bagian yang dipilih tersebut dipandang tersusun secara diskrit. Sisanya adalah latar belakang yang dipandang sebagai media kontinu.

Untuk memudahkan penerapan aproksimasi Bethe-Pierls, kita tinjau kasus khusus di mana medan magnet luar nol. Untuk memulai perumusan tersebut, mari kita lihat sebuah titik kisi dengan keadaan spin s. Keadaan spin s memiliki dua kemungkinan nilai, yaitu s = +1 untuk

spin up dan s = -1 untuk spin down. Titik kisi tersebut dihubungkan dengan  tetangga terdekat.

Misalkan dari  tetangga terdekat ada n buah yang memiliki spin up dan -n buah yang memiliki spin down. Selanjutnya kita definisikan

P (n s , ) = probabilitas menemukan n tetangga terdekat dengan spin up dan -n buah tetangga terdekat dengan spin down jika keadaan kisi di pusat adalah s.

Jadi,

a. P (  1 , n ) = probabilitas menemukan n pasangan (++) dan   n pasangan (+-)

b. P (  1 , n ) = probabilitas menemukan n pasangan (-+)dan   n pasangan (--)

c. Pada kondisi P (  1 , n ) energy material adalah

E (  1 , n )   n    (   n )  (   )   ( 2 n   )  (8.31)

d. Pada kondisi P (  1 , n ) energy material adalah

E (  1 , n )   n  (   )  (   n )  (   )   (   2 n )  (8.32)

e. Jumlah cara menemukan n spin up dari  tetangga terdekat adalah

 !     n ! (   n )!  n 

f. Dengan demikian, kita dapat menulis probabilitas P (  1 , n ) dan P (  1 , n ) sebagai berikut

    E (  1 , n ) / kT

e  n  (8.34)

    E (  1 , n ) / kT

e  n  (8.35)

g. n Dengan memperkenalkan factor penormal z / q maka z n   

q  n  (8.36)

q  n  (8.37)

Pada hubungan di atas n q adalah bilangan penormalisasi sedangan z adalah parameter yang memperhitungkan efek latar belakang.

Perhatikan