Mekanika Statistik Mikrajuddin Abdullah. PDF

Program Studi Fisika

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Institut Teknologi Bandung

Pengalaman selama sekitar 10 tahun memberikan kuliah Mekanika Statistik untuk Mahasiswa Magister dan Doktor di Institut Teknologi Bandung bahwa mata ini yang merupakan mata kuliah wajib termasuk yang paling sulit dipahami para mahasiswa. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena memang materi yang terkandung di dalamnya lebih banyak yang bersifat abstrak. Diperlukan abstraksi yang tinggi untuk dapat memahami bab-bab yang ada dalam kuliah tersebut.

Kesulitan makin bertambah akibat cara pembahasan di sejumlah buku yang ada terlalu global sehingga ada beberapa bagian yang memerlukan pemikiran ekstra untuk dapat memahaminya. Buku acuan utama kuliah ini di antaranya Statistical Mechanics tulisan K. Huang atau buku klasik Statistical Mechanics tulisan J.E. Mayer dan M.G. Mayer. Namun, materi yang dipaparkan dalam buku tersebut perlu dicermati dan direnungi secara mendalam agar dapat memahaminya. Tidak saja mahasiswa, tetapi dosen juga perlu kerja keras untuk memahami mater-materi tersebut.

Atas pengalaman mengajar sekitar 10 tahun saya mencoba menyusun draft sedikit-demi sedikit dan dicobakan ke mahasiswa tiap semester. Penambahan, koreksi, dan penyesuaian dengan cara tangkap mahasiswa menghasilkan naskah seperti ini. Beberapa bagian yang tidak dijelaskan detail di buku-buku yang ada akan dipaparkan secara detail di buku ini sehingga mudah dipahami mahasiswa. Beberapa ilustrasi yang tidak dijumpai pada buku-buku sebelumnya dimasukkan dalam buku ini untuk memeprmudah pemahaman. Versi awal draft ini telah muncul dalam bentuk diktat kuliah yang diterbitkan Penerbit ITB dan menjadi salah satu pegangan utama mahasiswa magister dan doktor fisika ITB.

Semoga buku ini menjadi salah satu acuan yang berguna bagi mahasiswa magister maupun doktor fisika di Indonesia. Tentu kekurangan masih banyak dijumpai. Perbaikan terus menerus akan tetap diperlukan. Oleh karena itu masukan dan sarat dari para mahasiswa, rekan dosen, atau pembaca lainnya sangat diharapkan.

Bandung Mei 2015

Mikrajuddin Abdullah

Bab 1 Pengenalan Ensembel

1.1 Pendahuluan

1.2 Dinding Assembli yang Transparan Terhadap Energi

1.3 Konsep Ensembel

1.4 Assembli Terbuka

9 Bab 2 Ensembel Kanonik

1.4 Jenis-Jenis Ensembel

2.1 Probabilitas Kemunculan Assembli

2.2 Sifat-Sifat Termodinamika

2.3 Energi Bebas Helmholtz

2.4 Ungkapan lain Entropi

2.5 Fungsi Partisi Total

2.6 Penerapan Ensembel Kanonik untuk Gas Tidak Ideal

2.7 Persamaan Keadaan

49 Bab 3 Ensembel Grand Kanonik

2.8 Fluktuasi Energi Assembli

3.1 Termodinamikan Sistem Terbuka

3.2 Fungsi Grand Partisi

3.3 Perhitungan Fungsi Grand Partisi

3.4 Fluktuasi Jumlah Sistem dalam Assembli

3.5 Formulasi Alternatif

87 Bab 4 Mekanika Statistik Kuantum

3.6 Tekanan Gas Kuantum Ideal

ii

4.1 Fungsi Gelombang Sistem dan Liungkungan

4.2 Nilai Rata-Rata

4.3 Matriks Kerapatan (Density Matrix)

4.4 Ensembel Mikrokanonik

4.5 Ensembel Kanonik dan Grand Kanonik

4.6 Persaman Gerak Matriks Kerapatan 100 Bab 5 Gas Fermi Ideal

5.1 Persamaan Keadaan 110

5.2 Aproksimasi f 3/2 (z) 116

5.3 Teori Bintang Katai Putih (White Dwarf) 127

5.4 Diamagnetisme Landau 148

5.5 Efek de Hass-Van Alphen 162

5.6 Paramagnetisme Pauli 169 Bab 6 Gas Bose Ideal

6.1 Persamaan Keadaan Boson 181

6.2 Kondensasi Bose-Einstein 187

6.3 Tekanan Radiasi 192

6.3 Sifat Termal Fonon 198 Bab 7 Ekspansi Kluster

7.1 Pendahuluan 206

7.2 Penurunan Fungsi Partisi 209 Bab 8 Model Ising

8.1 Formulasi Ising 224

8.2 Aproksimasi Bragg-Williams 230

8.3 Aproksimasi Bethe-Pierls 234

iii

8.4 Model Ising Satu Dimensi 244 Bab 9 Teori Kinetik

259 Baftar Pustaka

290 Indeks

iv

Bab ini berisi penjelasan tentang ensembel sebagai kumpulan dari sejumah assembli. Ensembel dapat dipandang sebagai super assembli yang anggotanya adalah assembli-assembli. Sedangkan assembli sendiri beranggotan sistem-sistem. Tujuan bab ini adalah mahasiswa memahami definisi ensembel, mengapa konsep ensembel diperlukan, dan mengenal ciri tiga macam ensembel: mikrokanonik, kanonik, dan grand kanonik. Namun demikian, bab ini tidak terlalu sulit untuk dipahami, karena hanya berisi pengenalan tentang konsep ensembel itu sendiri. Jadi tidak ada kemampuan awal khusus yang diperlukan untuk memahami penjelasan dalam bab ini.

Assembli yang telah kita bahas sejauh ini memiliki kriteria yang sangat ketat, yaitu energi yang dimiliki assembli maupun jumlah sistem dalam assembli selalu tetap. Dalam dunia riil mungkin assembli demikian sulit diwujudkan. Assembli semacam ini dapat didekati oleh satu wadah yang terisolasi rapat dari bahan isolator panas yang sangat tebal, tidak ada medan magnet, medan listrik, atau bahkan medan gravitasi yang dirasakan sistem-sistem dalam assembli. Jadi, pada prinsipnya, asembli yang telah kita bahas selama ini merupakan sebuah pendekatan untuk kondisi riil. Pendekatan tersebut tentu saja mengandung sejumlah bias. Namun untuk dinding assembli yang merupakan bahan isolator yang baik, bias yang dihasilkan tidak terlalu signifikan.

Apabila kita ingin masuk ke kondisi yang lebih mendekati keadaan nyata, maka pembatasan yang sangat ketat harus sedikit demi sedikit diperlonggar. Kalau kita menempatkan sistem-sistem dalam wadah tertutup maka peluang sistem untuk keluar dari dan masuk ke dalam wadah dapat dihindari. Dengan demikian pembatasan jumlah sistem yang konstan bukan merupakan asumsi yang dibuat-buat. Tetapi untuk energi total yang dimiliki assembli, Apabila kita ingin masuk ke kondisi yang lebih mendekati keadaan nyata, maka pembatasan yang sangat ketat harus sedikit demi sedikit diperlonggar. Kalau kita menempatkan sistem-sistem dalam wadah tertutup maka peluang sistem untuk keluar dari dan masuk ke dalam wadah dapat dihindari. Dengan demikian pembatasan jumlah sistem yang konstan bukan merupakan asumsi yang dibuat-buat. Tetapi untuk energi total yang dimiliki assembli,

Bahkan kasus yang lebih umum lagi adalah untuk assembli terbuka seperti udara yang ada di sekitar kita. Kita bahkan tidak memiliki wadah sama sekali. Kondisi ini dapat diasumsikan sebagai assembli yang dibatasi wadah yang dapat ditembus oleh sistem maupun oleh energi. Implikasinya adalah jumlah sistem maupun energi total yang dimiliki asembli tidak tetap.

Sejauh ini kita telah merumuskan panjang lebar tentang assembli yang dibatasi dinding yang tidak transparan terhadap sistem maupun energi. Pertanyaanya adalah bagaimana bentuk perumusan untuk assembli yang dibatasi dinding yang sifatnya lebih longgar, yaitu dapat ditembus energi namun tidak dapat ditembus sistem?

at at as as ap ap

N konstan N konstan

id id an an

E tidak konstan E tidak konstan erg erg ar d ar d

En En elu elu k k

Gambar 1.1 Dinding assembli transparan terhadap energi tetapi tidak transparan terhadap sistem.Sistem tidak dapat keluar atau masuk dari/ke dalam assembli sehingga jumlah sistem dalam assembli selalu konstan. Namun energi dapat menembus dinding asembli. Energi dapat keluar atau masuk dari/ke dalam assembli sehingga energi assembli tidak tetap.

Perhatikan sebuah assembli di mana jumlah sistem dalam assembli tetap tetapi energi yang dimilikinya dapat berubah-ubah (Gambar. 1.1). Assembli tersebut memiliki dinding yang transparan terhadap energi tetapi tidak transparan terhadap sistem. Contoh dinding tersebut adalah logam. Karena dinding dapat ditembus energi maka pada saat yang berbeda, energi yang dimiliki assembli mungkin berbeda. Misalkan energi yang dimiliki assembli pada saat yang berbeda-beda diilustrasikan pada Tabel 1.1.

Tabel 1.1 Energi assembli berbeda-beda pada saat yang berbeda. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa pada saat berbeda nilai energi sama (energi yang semula telah dimiliki muncul kembali).

Saat

Energi yang dimiliki

Untuk kondisi dengan energi yang dimiliki assembli berubah-ubah bagaimana cara mendapatkan persamaan keadaan assembli? Kita lakukan strategi sebagai berikut:

1) Bisa saja terjadi bahwa pada saat yang berbeda, energi yang dimiliki assembli kembali sama. Contohnya, bisa saja terjadi bahwa pada saat t 1 dan t 7 energi yang dimiliki assembli

sama, yaitu E 1 =E 7 .

2) Untuk mudahnya kita urutkan energi yang dapat dimiliki assembli dari nilai terkecil

hingga terbesar sebagai berikut E 1 ,E 2 ,E 3 , …, E  .

3) Assembli akan memiliki energi yang berbeda-beda tersebut dalam durasi waktu yang berbeda-beda pula. Misalkan lama assembli memiliki energi E 1 adalah t 1 , lama assembli

memiliki energi E 2 adalah t 2 , dan seterusnya.

4) Dengan demikian, probabilitas assembli memiliki energi-energi di atas menjadi

Probabilitas memiliki energi E 1 : p ( E )

t 1   t 2  ...   t 

Probabilitas memiliki energi E 2 : p ( E 2 ) 

t 1   t 2  ...   t 

dan seterusnya

Probabilitas memiliki energi E  : p ( E )

t 1   t 2  ...   t 

5) Karena kita tidak dapat mengetahui dengan pasti berapa t 1 , t 2 , dan seterusnya maka diasumsikan bahwa p(E i )  exp[-E i /kT]. Asumsi ini diinspirasi oleh fungsi distribusi Maxwell-Boltzmann bahwa peluang mendapatkan sistem pada tingkat energi ke  i sebanding dengan exp[-  i /kT]. Asumsi ini dapat diterima secara logis bahwa makin besar energi yang dimiliki assembli maka makin sedikit peluang menemukan assembli tersebut. Jika energi assembli tak berhingga maka peluang menemukan assembli nol (tidak ada assembli yang memiliki energi tak berhingga).

6) Probabilitas dia atas didukung juga oleh alasan berikut ini. Jika ada dua assembi dengan energi Ei dan Ej. Peluang mendapatkan masing-masing assembli adalah p(E i )  exp[-

E i /kT] dan p(E j )  exp[-E j /kT]. Jika dua assembli digabung menjadi satu assembli yang besar maka peluang menemukan assembli tersebut menjadi p(E i )p(E j ). Tetapi, saat dua assembli digabung maka energinya menjadi E i +E j . Dengan demikian peluang menemukan assembli dengan energi gabungan tersebut adalah p(E i +E j )  exp[- (E i +E j )/kT]  exp[-E i /kT] exp[-E j /kT] = p(E i )p(E j ), sesuai dengan perkalian probabilitas yang sudah kita sebutkan di atas.

Apa yang kita bahas di atas adalah satu assembli saja yang memiliki sejumlah kemungkinan energi. Energi yang berbeda dapat muncul pada saat yang berbeda. Tetapi kita dapat juga melihat dari sudut pandang yang berbeda tetapi memiliki hasil akhir yang setara. Kita seolah-olah memiliki sejumlah besar assembli di mana jumlah sistem pada semua assembli sama tetapi energi yang dimiliki satu assembli dengan assembli lain dapat berbeda. Untuk satu assembli tertentu, jumlah sistem dan energi yang dimilikinya selalu tetap. Lebih tegas lagi, seolah-olah kita memiliki sejumlah besar assembli di mana jumlah sistem dalam tiap-tiap assembli sama, yaitu N tetapi energinya bisa berbeda-beda. Semua konfigurasi yang mungkin dilakukan bagi penyusunan sistem-sistem dalam assembli ada wakilnya dalam kelompok assembli tersebut. Apa yang kita miliki dapat diilustrasikan pada Gambar. 1.2.

Assembli 1 Assembli 1

Assembli 2 Assembli 2

Konfigurasi W Konfigurasi W 1 1 Konfigurasi W Konfigurasi W 2 2 Energi E Energi E 1 1 Energi E Energi E 2 2

Gambar 1.2 Ensembel adalah kumpulan assembli. Tiap assembli memiliki jumlah sistem dan energi yang tetap. Tetapi jumlah sistem yang dimiliki masing-masing assembli sama sedangkan besar energi berbeda antara satu assembli dengan assembli lain.

Semua assembli tersebut dikelompokkan dalam satu wadah besar (super assembli). Jumlah assembli dalam super assembli tetap dan energi total super assembli juga tetap. Super assembli semacam ini dinamakan ensembel.

Sebagai ilustrasi, kampus dapat kita analogikan sebagai ensembel. Kelas-kelas dalam kampus dianalogikan sebagai assembli. Mahasiswa yang duduk dalam kelas-kelas dapat dianalogikan sebagai sistem. Jumlah mahasiswa pada tiap kelas semuanya sama. Namun, energi total yang dimiliki mahasiswa berbeda antara satu kelas den gan kelas lainnya. Untuk mencari sifat rata-rata satu kelas kita dapat lakukan dengan dua cara. Cara pertama adalalah mengukur sifat satu kelas dalam jangka waktu yang lama lalu merata-ratakan hasil yang diperoleh. Cara kedua adalah mengukur sifat semua assembli secara serentak lalu merata-ratakan sifat tersebut. Cara pertama hanya memperhatikan satu assembli kemudian melakukan perata-rataan terhadap waktu. Cara kedua memperhatikan seluruh assembli kemudian merata-ratakan terhadap jumlah. Secara statistik, hasil yang diperoleh sama.

Dalam ensembel dalam Gambar 1.3, konfigurasi yang berbeda dalam menyusun sistem- sistem dalam assembli dapat menghasilkan energi yang berbeda dan dapat pula memiliki energi yang sama. Sebagai ilustrasi, tinjau kasus di bawah ini dan kita misalkan E 1 = 0, E 3 = 2E 2 .

Gambar 1.3 Tiga konfigurasi di atas semuanya berbeda. Namun energi yang dimiliki adalah: (kiri) E 3 = 2E 2 , (tengah) 2E 2 , dan (kanan) 2E 2 + E 3 = 4E 2 . Tampak bahwa konfigurasi yang berbeda dapat memiliki energi yang sama.

Konfigurasi penyusunan sistem dalam tiga assembli di atas berbeda. Tetapi energi assembli 1 sama dengan energi assembli 2 dan berbeda dengan energi assembli 3. Peluang munculnya assembli dengan energi yang berbeda tentu saja berbeda. Kita kemukakan hipotesis bahwa peluang mendapatkan asembli dengan energi E i diberikan oleh

E e  p E ( ) i / kT i  (1.1)

Jika kita melihat udara atau atmosfer di sekitar kita maka tampak bahwa tidak ada wadah pembatas seperti yang kita bahas pada bab-bab sebelumnya. Bagaimana kita dapat menggunakan statistik untuk menjelaskan sifat-sifat gas di udara?

Kita dapat mengansumsikan bahwa di udara sekitar kita terdapat sejumlah besar wadah (assembli) tetapi wadah tersebut dapat ditembus energi maupun sistem. Jadi jumlah energi maupun jumlah sistem yang dimiliki assembli tersebut dapat berubah-ubah. Untuk menjelaskan sifat-sifat assembli semacam ini, kita bangun sebuah ensemble yang mengandung sejumlah besar assembli di mana assembli yang berbeda dapat memiliki jumlah sistem yang berbeda maupun jumlah energi yang berbeda pula (Gambar. 1.4).

Untuk ensemble semacam ini, peluang mendapatkan assembli dengan energi tertentu (E i ) tidak hanya ditentukan E i , tetapi juga ditentukan oleh N i . Meskipun energi dua assembli sama tetapi jumlah sistemnya berbeda maka probabilitas kemunculan dua assembli tersebut dapat berbeda. Bagaimana bentuk probablitas tersebut?

Dalam kuliah termodinamika kita mempelajari bahwa penambahan/pengurangan satu partikel dalam sistem termodinamika yang kita tinjau melahirkan penambahan/pengurangan energi sebesar , di mana  disebut potensial kimia. Penambahan/pengurangan sebanyak N partikel menghasilkan penembahan/pengurangan energi sebesar N (Gambar 1.5). Dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa jumlah sistem yang terdapat dalam assembli akan mempengaruhi energi yang dimiliki assembli tersebut yang pada akhirnya menentukan peluang Dalam kuliah termodinamika kita mempelajari bahwa penambahan/pengurangan satu partikel dalam sistem termodinamika yang kita tinjau melahirkan penambahan/pengurangan energi sebesar , di mana  disebut potensial kimia. Penambahan/pengurangan sebanyak N partikel menghasilkan penembahan/pengurangan energi sebesar N (Gambar 1.5). Dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa jumlah sistem yang terdapat dalam assembli akan mempengaruhi energi yang dimiliki assembli tersebut yang pada akhirnya menentukan peluang

Assembli 1 Assembli 1

Assembli 2 Assembli 2

Jumlah sistem N Jumlah sistem N 1 1 Jumlah sistem N Jumlah sistem N 2 2 Konfigurasi W Konfigurasi W 1 1 Konfigurasi W Konfigurasi W 2 2 Energi E Energi E 1 1 Energi E Energi E 2 2

Gambar 1.4 Sebuah ensembel mengandung anggota berupa assembli terbuka. Tiap assembli tidak memiliki sekat (pembatas) sehingga sistem maupun energi dapat berpindah dari satu assembli ke assembli lainnya.

 ( E i   N i   ) / kT

p ( N i , E i )  e (1.2)

dengan  dan  adalah parameter-parameter yang harus ditentukan.

N

N- N

E E- N

N

N+ N

E E+ N

Gambar 1.5 (atas) Jika ada N sistem yang keluar dari assembli maka energi assembli berkurang sebesar N. (bawah) Jika ada N sistem yang masuk ke dalam assembli maka energi assembli bertambah sebesar N.

Dari semua pembahasan di atas kita akhirnya dapat membedakan tiga jenis ensemble berdasarkan sifat dinding assembli-assembli penyusun ensemble tersebut.

Jika assembli-assembli penyusun ensemble tersebut memiliki dinding yang tidak dapat ditembus sistem tetapi dapat ditembus energi maka ensemble yang dibentuk dinamakan ensemble kanonik. Dalam ensemble ini jumlah sistem dalam semua assembli sama banyaknya tetapi energi yang dimiliki assembli dapat berbeda-beda. Namun jumlah total assembli dalam ensembel dan jumlah total energi yang dimiliki ensemble adalah konstan.

Jika assmebli-assembli penyusun ensemble memiliki dinding yang dapat ditembus sistem maupun energi maka ensemble yang dibentuk dinamakan ensemble grand kanonik. Pada ensemble ini jumlah sistem maupun jumlah energi yang dimiliki satu assembli dapat berbeda dengan yang dimiliki assembli lainnya. Namun jumlah total assembli dalam ensembel dan jumlah total energi yang dimiliki ensemble adalah konstan.

Jika assembli-assembli penyusun ensembel tidak dapat ditembus sistem maupun energi dan jumlah energi maupun jumlah sistem dalam tiap assembli semua sama maka ensemble yang dibetuk dinamakan ensemble mikrokanonik. Karena semua assembli identik maka untuk mempermudah pembahasan kita cukup meninjau satu assembli saja dan menentukan konfigurasi penyusunan sistem-sistem dalam satu assembli seperti yang kita bahas paba bab-bab awal. Karena sifatnya yang demikian maka penurunan fungsi keadaan untuk assembli ini umumnya tidak dilakukan melalui konsep ensemble, tetapi cukup pada level assembli saja. Dengan kata lain, kita umumnya tidak mengenalkan konsep ensemble untuk membahas assembli mikrokanonik.

Bab ini berisi diskusi tentang ensembel dan dikhususkan pada ensembel kanonik. Selama ini statistik yang kita bahas hanya dibatasi pada statsitik sebuah assembli yang memiliki syarat batas bahwa jumlah partikel dan energi konstan. Kita memperlonggar persyaratan ini dengan memperkenalkan konsep ensembel. Pada bagian ini kita akan bahas ensemble kanonik di mana persyaratan energi assembli yang constant tidak diterapkan. Kita hanya menerapkan persyaratan bahwa jumlah partikel yang dimiliki assembli konstan.

Tujuan bab ini adalah mahasiswa memahami konsep ensembel, khususnya ensembel yang dibentuk oleh assembli-assembli klasik yang memenuhi statistik Maxwell-Boltzmann. Pembahasan difokuskan pada ensemble kanonik di mana energi assembli tidak constant. Kemudian menggunakan konsep tersebut untuk menurunkan parameter termodinamika gas klasik.

Seperti disebutkan sebelumnya bahwa ensembel kanonik disusun oleh sejumlah assembli dengan energi yang bermacam-macam. Mari kita tinjau assembli ke-i yang merupakan salah satu elemen dari ensembel kanonik yang akan kita bahas. Misalkan energi assembli tersebut adalah i E . Probabilitas kemunculan assembli dengan energi E i tersebut dapat ditulis

 E i / p kT

 E i / kT

i  e atau p i  Ce (2.1)

dengan C adalah konstanta normalisasi yang bergantung pada suhu. Karena jumlah total probabilitas kemunculan semua assembli adalah 1 atau

p i  1  , maka

i  E / kT

 E / Ce kT i e  i C  1 , yang memberikan bentuk ungkapan untuk C  sebagai

berikut

E i / kT  (2.2)

Berdasarkan persamaan (2.1) dan (2.2) kita dapatkan ungkapan lengkap untuk p i

sebagai berikut

 E i / e kT p i 

(2.3) Z C

Perlu dicermati bahwa pada persamaan (2.3) E i adalah energi total semua partikel dalam sebuah assembli dan p i adalah peluang kemunculan assembli tersebut. Bentuk serupa juga dijumpai pada partikel dalam assembli. Probabilitas munculnya

partikel dengan energi  j di dalam suatu assembli memenuhi p j  exp[   j / kT ] .

Setelah kita formulasikan probabilitas kemunculan assembli dalam ensembel Setelah kita formulasikan probabilitas kemunculan assembli dalam ensembel

1  E i / kT

ln Z C  (2.4) 

di mana    1 / kT . Dari definisi  maka kita dapat menulis T   1 / k  sehingga

Dengan demikian energi rata-rata assembli pada persamaan (2.4) dapat ditulis menjadi

2  E  kT

ln Z C  (2.5) T

Perlu diperhatikan bahwa pada persamaan (2.5), parameter Z dihitung pada energi C

assembli, bukan pada energi partikel.

Contoh 2.1

Sebuah assembli yang disusun oleh N momen magnetik identik berada dalam medan magnet. Energi interaksi momen dengan medan magnet memenuhi

 persamaan    B . Misalkan momen hanya dapat memiliki dua arah orientasi yaitu searah dan berlawanan arah medan magnet. Berapakan energi rata-rata

assembli momen tersebut?

Jawab Tiap momen hanya dapat memiliki salah satu energi interaksi berikut ini: - B (searah medan magnet) atau B (berlawanan arah medan magnet). Perhatikan gambar berikut ini. Misalkan terdapat n momen yang berlawanan dengan arah medan magnet (energi n B) dan N-n momen yang searah dengan medan magnet (energi -(N-n) B). Energi total assembli tersebut adalah nB – (N-n)B = 2n B - NB. Jumlah cara penyusunan n buah momen arah bawah dan N-n

buah momen arah atas adalah . Dengan demikian, besaran Z

2  B  n e  e n n ! ( N  n 

 N  B N !

N-n

Kita gunakan kesamaan berikut ini n ( 1  x )  x sehingga kita 

n n ! ( N  n )! dapat menulis

 N  B 2 B Z N  e

  e

Energi rata-rata assembli dihitung dengan persamaan (2.4), yaitu 

  N  B  N ln  1

 N  B    B  B  1   N  B    B B  N  B tanh(  B )

 e  e 

Gambar di bawah adalah kurva energi sebagai fungsi kuat medan magnet luar pada berbagai suhu. Satuan medan magnet maupun satuan suhu digunakan sembarang. Tujuan di sini adalah menampilkan bentuk kurva saja sehingga pola perubahan energi dapat diketahui. Tambak bahwa makin besar suhu maka energi magnetik makin kecil.

Energi bebas Helmholtz didefinisikan sebagai F = E – TS. Energi bebas Helmholtz memiliki peranan yang sangat strategis dalam termodinamika. Semua sistem termodinamika berada pada keadaan setimbang dengan energi Helmholtz paling kecil. Tampak dari definisi energi Helmholtz di atas bahwa nilai terkecil dicapai jika energi yang dimiliki sekecil mungkin dan entropi sebesar mungkin. Itulah sebabnya, proses termodinamika dapat terjadi secara spontan menuju ke kondisi dengan entropi makin besar.

Dengan melakukan diferensial pada dua ruas ungkapan energi Helmholzt kita dapatkan

dF  dE  TdS  SdT (2.6)

Mari kita melihat hukum I termodinamika, yang juga merupakan hukum kekekalan energi, Mari kita melihat hukum I termodinamika, yang juga merupakan hukum kekekalan energi,

Di sini kita mendefinisikan dW   pdV . Untuk proses yang reversibel maka berlaku

dQ  TdS (2.8)

Substitusi (2.8) ke dalam (2.7) diperoleh

dE  TdS  pdV (2.9)

Selanjutnya kita substitusi persamaan (2.9) ke dalam persamaan (2.7) sehingga diperoleh bentuk diferensial dari energi bebas sebagai berikut

dF  ( TdS  pdV )  TdS  SdT   pdV  SdT (2.10)

Jika F dinyatakan dalam fungsi V dan T maka diferensial dari F memenuhi bentuk umum

  dF F dV 

      dT (2.11)   V  T

Apabila kita bandingkan bentuk persamaan (2.10) dan (2.11) maka kita simpulkan bahwa

  F   S    (2.13)

Substitusi S dari persamaan (2.13) ke dalam ungkapan energi Helmholtz

F  E  TS maka kita dapat menulis

TT

 2    (2.14) T

Masukkan ungkapan E dari persamaan (2.5) ke dalam persamaan (2.14) didapat

k ln Z

yang akhirnya memberikan ungkapan sederhana untuk energi bebas Helmholtz berupa

F   kT ln Z C (2.15)

Selanjutnya dari persamaan (2.13) dan (2.15) kita dapat menulis bentuk ungkapan untuk entropy sebagai

 k ln Z C  kT ln Z C  (2.16)

Satu yang luar biasa kita amati dari persamaan (2.5) dan (2.15). Jika kita mengetahui fungsi Z C maka energi rata-rata assembli dapat dihitung dengan mudah menggunakan persamaan (2.5) dan energi Helmholtz assembli dapat dihitung dengan mudah menggunakan persamaan (2.15). Setelah mengetahui energi bebas Helmholzt

(ditentukan dengan mudah dari fungsi Z C ) maka tekanan dan entropi dapat ditentukan dengan mudah dengan bantuan persamaan (2.12) dan (2.13). Sekali kita mengetahui Z C maka hampir semua besaran termodinamika dapat ditentukan dengan operasi matematika yang cukup sederhana. Oleh karena itulah, ketika berkutat dengan mekanika statistik, langkah pertama yang dilakukan para peneliti adalah mencari ungkapan untuk

fungsi Z C . Boleh dikatakan bahwa inti dari statistik adalah mencari fungsi Z C . Boleh dikatakan bahwa fungsi Z C merupakan jembatan penghubung antara dunia mikroskopik (sifat partikel atomik) dan dunia makroskopik (persamaan termodinamika). Hal ini dapat diilustrasikan pada Gambar 2.1.

Dunia Dunia

Makroskopik Mikroskopik

Fungsi

(termodinamika) (sifat atomik)

Gambar 2.1. Peranan fungsi Z dalam statistik sebagai jembatan penghubung sifat makroskopik dengan sifat makroskopik (termodinamika).

Contoh 2.2

Tentukan energi bebas Helmholtz dan entropi assembli pada Contoh 2.1.

Jawab

 . Dengan menggunakan

  e

Kita sudah menentukan fungsi N Z e   B 2 B N

persamaan (2.15) kita dapatkan energi bebas Helmholtz

C   kT   N  B  N ln  1  e  

2 F B   kT ln Z 

 2  B /  kT  N  B  NkT ln

Dengan menggunakan persamaan (2.13) maka entropi assembli adalah

 Nk ln  1  e

F 2 N B e  2  B /  kT  2 B / kT 

 2 B / kT

Dari ungkapan energi bebas Helmholtz F  E  TS kita dapat menulis

(2.17) T

Kita selanjunya menggunakan definisi awal untuk energi, yaitu E  p i E i  .

p i  1  maka

Mengingat F adalah besaran tanpa indeks dan mengingat kesamaan

kita dapat menulis

F  F p i  p i F (2.18)

Substitusi E  p i E i  dan persamaan (2.18) ke dalam persamaan (2.17) diperoleh

(2.19) T

Dari persamaan (2.15) kita dapat menulis

 F / Z kT

C  e (2.20)

Substitusi persamaan (2.20) ke dalam persamaan (2.2) kita peroleh

Substitusi persamaan (2.21) ke dalam persamaan (2.19) diperoleh ungkapan lain untuk entropi, yaitu

p i (  k ln p i ) 

  k p i ln p i (2.22)

Kita akan berangkat dari asumsi bahwa energi yang dimiliki sistem-sistem dalam dianggap terdiri atas tingkat-tingkat energi. Tingkat-tingkat energi tersebut berada dalam rentangan dari nol sampai tak berhingga. Gambar 2.2 adalah ilustrasi tingkat-tingkat energi yang dimiliki assembli. Untuk sistem klasik, seperti atom gas,

perbedaan energi dua tingkat berdekatan mendekati nol, atau  i+1 -  i  0. Perbedaan energi yang mendekati nol memiliki makna bahwa tingkat energi sistem klasik bersifat kontinu. Sistem menempati salah satu dari tingkat energi di atas. Dalam sistem klasik tidak ada batasan jumlah sistem yang dapat menempati satu keadaan energi. Satu keadaan energi dapat saja kosong, atau ditempati oleh satu sistem, oleh dua sistem, dan seterusnya. Bahkan semua sistem berada pada satu keadaan energi pun tidak dilarang.

Gambar 2.2. Tingkat-tingkat energi yang dimiliki assembli.

Agar sifat fisis dari assembli dapat ditentukan maka kita harus mengetahui bagaimana penyusunan sistem pada tingkat-tingkat energi yang ada serta probabilitas kemunculan masing-masing cara penyusunan tersebut. Pemahaman ini perlu karena nilai terukur dari besaran yang dimiliki assembli sama dengan perata-rataan besaran tersebut terhadap semua kemungkinan penyusunan sistem pada tingkat-tingkat energi yang ada.

Cara menghitung berbagai kemungkinan penyusunan sistem serta probabilitas kemunculannya menjadi mudah bila tingkat-tingkat energi yang dimiliki assembli dibagi atas beberapa kelompok, seperti diilustrasikan pada Gambar 2.3. Di sini kita membagi atas M kelompok. Tiap kelompok memiliki jangkauan energi yang cukup kecil sebagai berikut.

 Kelompok pertama memiliki jangkauan energi :  sampai d  Kelompok kedua memiliki jangkauan energi : d  sampai 2d  Kelompok ketiga memiliki jangkauan energi : 2d  sampai 3d

 Kelompok ke-s memiliki jangkauan energi : (s-1)d  sampai sd

 Kelompok ke-M memiliki jangkauan energi : (M-1)d  sampai Md

Gambar 2.3. Kelompok-kelompok energi dalam assembli. Satu garis mewakili satu tingkat energi dalam assembli. Tingkat-tingkat energi (garis-garis) dikelompokkan lagi. Satu kelompok mengandung sejumlah tingkat energi di mana jumlahnya bisa berbeda antara satu kelompok dengan keompok lainnya. Namun, nilai-nilai energi dalam satu kelompok diwakili oleh satu nilai energi saja (energi raat-rata). Hal ini dapat dilakukan karena selisih energi tingkat-tingkat energi satu kelompok tidak besar.

Satu kelompok energi mengandung sejumlah keadaan energi. Jumlah keadaan energi pada kelompok yang berbeda bisa sama dan bisa berbeda. Misalkan jumlah keadaan energi pada tiap-tiap kelompok tersebut sebagai berikut:

 Jumlah keadaan pada kelompok pertama : g 1  Jumlah keadaan pada kelompok kedua : g 2  Jumlah keadaan pada kelompok ketiga : g 3

 Jumlah keadaan pada kelompok ke-s : g s

 Jumlah keadaan pada kelompok ke-M : g M

Energi keadaan yang berbeda dalam satu kelompok umumnya berbeda. Tetapi karena perbedaan energi keadaan yang berbeda dalam satu kelompok sangat kecil (mendekati nol) maka kita dapat mengasumsi bahwa energi dalam satu kelompok diwakili oleh satu nilai energi saja. Energi tersebut dianggap sebagai energi rata-rata keadaan dalam kelompok yang bersangkutan. Jadi,

 Energi rata-rata kelompok pertama : E 1  Energi rata-rata kelompok kedua : E 2  Energi rata-rata kelompok ketiga : E 3

 Energi rata-rata kelompok ke-s : E s

 Energi rata-rata kelompok ke-M : E M

Misalkan pada konfigurasi tertentu tiap-tiap kelompok energi telah ditempati oleh sistem-sistem dengan distribusi jumlah sebagai berikut:

 Jumlah sistem pada kelompok energi pertama : n 1  Jumlah sistem pada kelompok energi kedua : n 2  Jumlah sistem pada kelompok energi ketiga : n 3

 Jumlah sistem pada kelompok energi ke-s : n s

 Jumlah sistem pada kelompok energi ke-M : n M

Sekarang kita menghitung fungsi partisi total. Untuk maksud tersebut kita tinjau sebuah as9sembli, sebut saja assembli ke-i, yang merupakan komponen dari ensembel kanonik. Misalkan jumlah partikel dalam assembli tersebut adalah N i dan partikel-partikel penyusun assembli bersifat terbedakan (partikel klasik). Jumlah partikel dalam assembli tersebut memenuhi

N i  n s  (2.23)

dan energi yang dimiliki assembli adalah

E i  n s s (2.24)

Untuk assembli kanonik, N selalu tetap tetapi E i tidak selalu tetap. Jumlah cara penyusunan partikel-partikel dalam assembli dengan energi total E i adalah

Setelah mengathui W i dan E i maka kita mendapatkan ungkapan untuk fungsi partisi kanonik adalah

 E / Z kT C  W e

di mana indeks

i bergerak pada semua assembli dalam ensembel. Satu assembli dalam i bergerak pada semua assembli dalam ensembel. Satu assembli dalam

Perlu diingat kembali bahwa ensembel itu tidak ada secara fisik. Yang ada hanyalah satu assembli. Tetapi satu asembli tersebut dapat memiliki sejumlah konfigurasi yang berbeda-benda dan memiliki energi yang berbeda-beda. Nah, semua kemungkinan konfigurasi dan energi yang dimiliki assembli dikumpulkan, dan itulah ensembel. Jadi, ensembel adalah kumpulan virtual dari assembli. Satu assembli dalam ensembel mewakili keadaan yang mungkin dimiliki oleh sebuah assembli.

Penjumlahan terhadap semua konfigurasi yang mungkin ekivalen dengan penjumlahan pada semua kombinasi n yang mungkin yang kita nyatakan dengan s

symbol { n . Jadi kita dapat menulis s }

 E  n s / kT

Z C  W   n s e

  exp  !     

 kT  

 n s  s n s !   s

n   e   n s  s s !    s   

  s / kT n s 

   s / kT n  s  

Untuk mencari hasil penjumlahan pada persamaan (2.26), mari kita tinjau Untuk mencari hasil penjumlahan pada persamaan (2.26), mari kita tinjau

Dengan melihat pola di atas maka secara akan kita dapatkan

 n ( N  n )! n !

1 x 2 (2.27)

Dengan cara serupa akan kita dapatkan bentuk penjumlahan yang sama untuk penjumlahan tiga variable, yaitu

  n s n 1 ! n 2 ! n 3 !

Dan hasil ini bisa diperumum lagi untuk penjumlahan banyak suku, yaitu

  n s s n s !

Dengan membandingkan persamaan (2.26) dengan persamaan (2.29) maka kita

simpulkan bahwa pada persamaan (2.29), x tidak lain daripada s g s e s / . Dengan kesamaan ini maka kita simpulkan bahwa fungsi partisi pada persamaan (2.26) dapat

  kT

ditulis menjadi

 N / E s kT Z 

 N Z (2.30)

Apa yang menarik dari persamaan (2.30)? Pada persamaan (2.30), Z adalah fungsi partisi satu partikel. Dari persamaan tersebut tampak bahwa fungsi partisi assembli kanonik sama dengan fungsi partisi satu partikel dipangkatkan jumlah partikel dalam assembli tersebut. Jadi, walaupun pada assembli tersebut energi bisa keluar masuk, namun perhitungan fungsi partisi tidak sulit. Kita cukup menghitung tingkat-tingkat energi partikel lalu menghitung fungsi partisi satu partikel. Dari situ dapat dihitung fungsi partisi assembli dengan sangat mudah.

Contoh 2.3

Asembli osilator harmonik yang memiliki jumlah partikel N memiliki dinding Asembli osilator harmonik yang memiliki jumlah partikel N memiliki dinding

Jawab Langkah pertama adalah mencari fungsi assembli satu sistem. Untuk maksud tersebut kita perlu mengetahui tingkat-tingkat energi sistem di dalam assembli. Sudah dibahas sebelumnya bahwa energi osilator harmonik terkuantisasi

menurut persamaan  s s (  1 / 2 )   . Dengan demikian, fungsi partisi satu partikel adalah

 ( s  1 / 2 )  Z / e e   kT  

  s / kT

    / 2 kT   / 2 kT

e   e       / kT     / kT

 s  / kT

  / 2 kT

Fungsi partisi kanonik adalah

Selesaikan kembali Contoh 2.1 dengan menggunakan fungsi partisi kanonik pada persamaan (2.30)

Jawab

Untuk momen magnetik dengan dua arah orientasi, energi yang mungkin dimiliki momen adalah - B dan B. Dengan demikian, fungsi partisi satu sistem adalah

Fungsi partikel kanonik menjadi

Z N Z e   B  B N

Energi rata-rata assembli

 N  B tanh(  B ) 

e   B  B

 e 

Hasil ini persis sama dengan yang diperoleh di Contoh 2.1.

Untuk sistem semiklasik di mana partikel dianggap tidak dapat dibedakan maka jumlah cara penyusunan partikel-partikel adalah

Dengan melakukan langkah yang sama maka kita sampai pada kesmipulan bentuk fungsi partisi kanonik adalah

Z N Z ' C  (2.31) N !

Contoh 2.5

Sebuah sumur potensial persegi memiliki lebar L. Dasar sumur memiliki energi potensial nol dan dua dinding sumur memiliki energi potensial tak berhingga. N buah sistem berada dalam sumur. Tentukan fungsi partisi kanonik assembli partikel tersebut.

Jawab Gambar sumur potensial sebagai berikut

V= 

V= 

V=0

x=0

x=L

Kita mulai dengan menghitung tingkat-tingak energi sistem dalam sumur. Kita berangkat dari persamaan Schrodinger. Untuk lohasi di dalam sumur, persamaan Schrodinger adalah

2  2  d 

2 m dx Persamaan di atas dapat ditulis ulang dalam bentuk

dx

2 dengan 2  

2 m  /  . Solusi umum fungsi gelombang adalah

 ( x )  A cos  x  B sin  x . Selanjutnya kita masukkan syarat batas bahwa pada x = 0 nilai fungsi gelombang nol, atau 0  A cos 0  B sin 0 . Kesamaan ini mengharuskan A = 0. Dengan demikian, fungsi yang dipenuhi menjadi

 ( x )  B sin  x . Kemudian kita masukkan syarat batas kedua bahwa paba x = L fungsi gelombang juga nol, atau 0  B sin  L . Kesamaan ini dipenuhi oleh  L  n  . Dengan menggunakan definisi sebelumnya maka kita dapatkan

L 2 2 m  /   n  , atau

2    n n

2mL Fungsi partisi satu partikel adalah

  n / kT

2  2  dengan 

2 mL kT Penjumlahan pada fungsi partisi di atas sama dengan luas semua persegi

panjang pada gambar di bawah ini. Penjumlahan luas tersebut sulit dihitung langsung. Namun kita aprokasimasi luas tersebut dengan luas daerah di bawah

 x kurva 2 e  .

12 34 5 x

Jadi,

dx e   Z 1 e dx e dx e e  e         

2  Fungsi partisi kanonik menjadi

Hingga saat ini gas yang kita bahas adalah gas ideal. Kita tidak pernah memasukan interaksi antar partikel gas. Memang persamaan yang dihasilkan dapat menjelaskan banyak pengamatan tentang sifat-sifat gas seperti hukum Boyle, Gay-Lussac dan persamaan gas ideal secara umum. Namun, karena tidak adanya interaksi antar molekul/atom gas maka gas ideal tidak pernah bisa berubah wujud menjadi cair. Karena pencairan disebabkan adanya gaya tarik antar molekul gas yang lebih besar daripada energi termal (karena suhu rendah) (Gambar 2.4). Jika kita ingin membahas fenomena pencairan gas maka kita harus keluar dari batasan gas ideal dan mulai memperkenalkan konsep interaksi antar molekul/atom gas.

Interaksi antar atom/molekul gas

Fasa gas

Fasa cair

Gambar 2.4. Antar atom/molekul gas selalu terdapat gaya tarik menarik meskipun sangat kecil. Gaya tarik tersebut menjadi dominan ketika suhu cukup rendah. Gaya tersebut dapat menyatukan atom/molekul gas dalam fase baru, yaitu fase cair. Tanpa adanya interaksi antara atom/molekul gas maka tidak akan terjadi proses pencairan gas. Untuk membahas mekanisme ini maka kita tidak dapat menggunakan teori gas ideal (employees.csbsju.edu/).

Dengan menggunakan konsep ensembel kanonik, kita diperbolehkan untuk memperkenalkan interaksi antar partikel gas dalam assembli. Misalkan energi yang dimiliki partikel gas hanya energi kinetik maka fungsi partisi hanya mengandung energi tersebut. Namun jika ada interaksi antar partikel gas maka fungsi partisi dibangun dari energi total assembli berikut ini

E  ( p xj  p yj  p zj )  U j  (2.32)

 j   j

Suku pertama adalah jumlah energi kinetik semua partikel gas dan suku kedua adalah jumlah interaksi total partikel-partikel gas. Penjumlahan suku kedua dilakukan

pada semua pasangan molekul gas. Pada penjumlahan U j  kita mensyaratkan   j untuk menghindari perhitungan ganda. Contohnya U 19 =U 91 sehingga kita hanya boleh

menghitung satu kali dan mewakilkan kepada U 19 saja (j = 1 dan  = 9). Suku dengan   j juga tidak disertakan karena tidak ada interaksi antara partikel dengan dirinya

sendiri. Kita akan menghitung fungsi partisi dengan metode integral. Untuk maksud tersebut kita harus menggunakan karapatan kedaan untuk mengganti tanda penjumlahan menjadi tanda integral. Untuk sistem semi kuantum, kerapatan keadaan adalah

6 N / h dengan d  6 N  dx j dy j dz j dp xj dp yj dp zj . Dengan demikian fungsi partisi 

dapat ditulis menjadi

xj  p yj  p zj ) / 2 m 

 j   j

(2.33) Mari kita fokuskan pada bagian integral persamaan (2.33) yaitu

   j  j   j

Integral terhadap momentum dan terhadap posisi dapat dipisahkan karena masing-masing merupakan variabel bebas. Momentum tidak bergantung pada posisi, Integral terhadap momentum dan terhadap posisi dapat dipisahkan karena masing-masing merupakan variabel bebas. Momentum tidak bergantung pada posisi,

xj  p yj  p zj ) 

 j   exp j 

mkT j kT  

  2 mkT   2 mkT   

 xj yj 2 zj mkT  j

exp

exp

dp dp dp (2.34)

di mana kita telah mendefinisikan

U j     I j   j 

N  exp 

dx j dy j dz j  (2.35)

kT   j

Persamaan (2.34) dapat ditulis secara lebih sederhana dalam bentuk perkalian berikut ini

 j  2 mkT    j 2     mkT   j  2 mkT  

   j  2 mkT 

2      mkT   j 2 mkT 

 j 

  j

  j

e dp zj (2.36)

Dengan menggunakan integral yang sudah umum (sering juga kita gunakan)

 yaitu 2 e  x dx   /  maka kita mendapatkan hubungan berikut ini

 p xj 2 / 2 mkT

e dp xj  e dp yj  e dp zj  2  mkT  (2.37) 

 p 2 yj / 2 mkT

 p zj 2 / 2 mkT

Karena ada N buah perkalian dalam tanda maka persamaan (2.36) memberikan

hasil sebagai berikut

  j        j j 

I N  2  mkT  2  mkT  2  mkT 

2  mkT  I N (2.38)

Substitusi persamaan (2.38) ke dalam persamaan (2.33) didapatkan ungkapan untuk fungsi partisi kanonik menjadi

3 N  2  mkT  I N (2.39)

Selanjutya kita mencari I N yang didefinisikan pada persamaan (2.35). Mari

2 kita lakukan prosedur berikut ini. Karena 2 e  1  x  x / 2 !  x / 3 !  ... maka kita dapat

2 menulis 2 e  1  g ( x ) dengan g ( x )  x  x / 2 !  x / 3 !  ... Dengan cara yang sama kita dapat menulis

 U j  / kT

e  1  f ( r j  ) (2.40)

di mana f ( r j  )  

kT 2  kT  3 !  kT 

 ... . Dengan penulisan tersebut maka

kita memperoleh hubungan berikut ini

  U j  / kT

 j   j

 U j / kT

 1  f ( r j  )   (2.41)

Jika terpenuhi kondisi f ( r j  )  1 maka kita dapat melakukan aproksimasi

 1  f ( r j  )   1  f ( r j  )  (2.42)

 j   j

Aproksimasi tersebut memiliki makna bahwa energi interaksi antar molekul jauh lebih kecil daripada energi termak molekul. Dengan melakukan substitusi persamaan (2.41)

dan (2.42) ke dalam persaman (2.35) kita dapatkan bentuk aproksimasi untuk I N sebagai berikut

 j

 j 

) dx j dy j dz j

 dx j dy j dz j 

 j

 j   j   j

f ( r j  ) dx j dy j dz j (2.43)

Mengingat integral dx j dy j dz j  V dan

mengandung N buah suku perkalian

maka persaman (2.43) memberikan hasil

 j   j   j

f ( r j  ) dx j dy j dz j (2.44)

Langkah selanjutnya adalah menyelesaikan sisa integral pada persamaan (2.44).

2 2 Jarak antar partikel j dan 2  memenuhi r j   ( x   x j )  ( y   y j )  ( z   z j ) . Dengan demikian, f ( r j  ) hanya mengandung enam variable, yaitu x,  y  , x,  x j , y j , dan z j . Oleh karena itu, dalam perkalian elemen diferensial

dx j dy j dz j , hanya

enam elemen diferensial saja yang bekerja pada f ( r j  ) sedangkan sebanyak 3 N  6

buah elemen lainnya tidak bekerja pada f ( r j  ) . Dengan sifat demikian kita dapat menulis

j   j  k  j

dx k dy k dz k f ( r j  ) dx j dy j dz j dx

 dy  dz 

 k  j

Perhatikan bagian integral dx k dy k dz k yang menghasilkan volume pangkat sekian.

Tetapi hasil yang diperoleh bukan V N karena dx j dy j dz j dx l dy l dz l tidak termasuk dalam integral tersebut. Kalau dx 2

j dy j dz j dx l dy l dz l diintegral maka hasilnya V . Dengan demikian, integral N-2 dx

 k  j

k dy k dz k saja menghasilnan V . Akhirnya kita dapat menulis I N

sebagai

  j   j

V f ( r j  ) dx j dy j dz j dx  dy  dz 

 j   j

j  ) dx j dy j dz j dx  dy  dz  (2.45)

Perlu diingat bahwa setelah kita melakukan integral maka

f ( r j  ) dx j dy j dz j dx  dy  dz  tidak lagi mengandung indeks j maupun   karena

variable tersebut habis diintegral. Integral tersebut menghasilkan angka yang tidak lagi bergantung pada variabel maupun indeks. Akibatnya, penjumlahan pada ruas kanan menjadi penjumlahan dari angka-angka yang nilainya sama, di mana nilai

masing-masing suku tersebut adalah

f ( r j ) dx j dy j dz j dx dy dz . Hasil dari

penjumlahan tersebut sama dengan nilai suku kali banyaknya suku penjumlahan. Banyaknya suku pada dobel penjumlahan adalah N ( N  1 ) / 2 . Dengan demikian kita

dapat menulis

I N  V  V f ( r j  ) dx j dy j dz j dx  dy  dz  (2.46)

Untuk menyelesaikan integral dalam persamaan (2.46), kita perkenalkan variabel relatif r  r j  . Dengan memperkenalkan variabel relatif ini maka kita dapat

melakukan transformasi berikut ini

f ( r j  ) dx j dy j dz j dx  dy  dz   f ( r ) d r dx  dy  dz   

dx  dy  dz  f ( r ) d r  V f ( r ) d r   

 aV (2.47) 3 

di mana d r adalah elemen volum dalam ruang relatif dan a  f ( r ) d r  . Akhirnya

kita dapatkan

I N  V  V aV

V (2.48) 2

Misalnya energi interaksi antar partikel sangat kecil sehingga berlaku U j  / kT  1 . Dengan asumsi ini maka kita dapat menulis

 U j kT

e j  / U   1  (2.49)

kT

Dengan membandingkan persamaan (2.40) dan aproksimasi (2.49) kita simpulkan

f ( r j  )   U j  / kT (2.50)

sehingga

a    U ( r ) / kT  d r   U ( r ) d r / kT  a ' / kT .

Substitusi persamaan (2.51) ke dalam persaman (2.48) diperoleh

V (2.52)

2 kT

Akhirnya fungsi partisi kanonik menjadi

Dengan menggunakan persamaan (2.39) maka energi bebas Helmholtz dapat ditulis

 ln I N  (2.53) 

Dari energi bebas Helmholtz ini kita akan turunkan sejumlah persamaan termodinamika untuk gas tidak ideal tersebut.

Sebagai contoh kita ingin menghitung I N untuk potensial seperti pada Gambar

2.5. Potensial pada gambar tersebut memenui persamaan berikut ini

0   (2.54) u 0   r 0  r   

U(r)

Gambar 2.5 Contoh potensial interaksi antar atom/molekul gas.

Karena potensial tersebut memiliki simetri bola maka

Dengan memasukkan persamaan (2.54) ke dalam persamaan (2.55) maka kita dapat menulis

 e  1  r dr  4  e  1 r dr 

  kT

2 u 0 ( r 0 / r ) m / kT

r 0  4  e  1 r dr 

2 u 0 ( r 0 / r ) m / kT

2 4 3 u 0 ( r 0 / r ) m / kT  2  4  r dr  4  e  1 r dr

Selanjutnya kita misalkan m u

0 ( r 0 / r ) / kT  1 sehingga 0 ( r 0 / r ) / kT  1 sehingga

kT  r 

Dengan demikian, integral di ruas kanan dapat didekati dengan

r  0 kT  r  kT  r 0 kT  ( m  3 ) r  r 0

Akhirnya kita peroleh

2 2  m  3 kT 

V (2.56)

Misalkan volume total kira-kira sama dengan jumlah volume bola yang berjari-jari r 3

0 maka V  N ( 4  r 0 / 3 ) . Mengingat N >> 1 maka N – 1  N. Jadi kita peroleh aproksikasi merikut ini

Untuk gas ideal kita sudah memiliki persamaan keadaan yang sederhana, yaitu pV  NkT . Sekarang kita ingin mencari persamaan keadaan untuk gas yang tidak ideal Untuk gas ideal kita sudah memiliki persamaan keadaan yang sederhana, yaitu pV  NkT . Sekarang kita ingin mencari persamaan keadaan untuk gas yang tidak ideal

F pada persamaan (2.53) ke dalam persamaan (2.12). Dari ungkapan energi bebas

hanya I N yang mengandung besaran volum. Oleh karena itu kita dapat menulis

 1  ( N  1 ) a ' / 2 kTV   1  N ( N  1 ) a ' / 2 kTV  V (2.58)

Dengan menggunakan pendekatan binomal (1 + x) -n  1 – nx, dengan asumsi x  1

kita dapatkan bentuk aproksimasi berikut ini

NkT p 2 

 1  ( N  1 ) a ' / 2 kTV   1  N ( N  1 ) a ' / 2 kTV  V

NkT  2

 1  ( N  1 ) a ' / 2 kTV  N ( N  1 ) a ' / 2 V kTV 

NkT  ( N  1 ) a '  NkT N ( N  1 ) a '

2 kTV  2 kTV 

2 (2.59) V V

di mana kita definisikan parameter baru a” = N(N-1)a’/2. Persamaan (2.59) dapat direorganisasi menjadi

a ''  NkT   p 2  

a ''    p

2  V  NkT (2.60) 

Persamaan (2.60) sangat mirip dengan persamaan van der Walls. Persamaan van der Walls yang lengkap dapat diperoleh dengan melakukan koreksi pada volum yaitu mengurangi volum total dengan jumlah volum yang dimiliki molekul-molekul gas. Misalkan volum total semua molekul gas adalah b . Persaman van der Walls dapat

diperoleh dengan mengganti V dengan V  b yaitu

 a ''  p 

2 ( V  b )  NkT  (2.61) ( V  b ) 

Dengan menganggap bahwa b sangat kecil dibandingkan dengan V maka kita dapat mengabaikan b terhadap V pada penyebut persamaan (2.60). Sedangkan pada pembilang,

b kita pertahankan karena walaupun nilainya lebih kecil dari b tetapi tetap memberi perubahan nilai yang signifikan pada persamaan. Dengan demikian kita diperoleh

a ''    p

2  ( V  b )  NkT (2.62) 

Persamaan (2.62) merupakan persamaan van der Walls yang selam ini kita kenal. Persamaan (2.62) dapat juga ditulis dalam bentuk berikut ini

n 2 a ~   ~ p

2 ( V  n b )  nRT  (2.63)

V 