Integritas Skeptisisme Profesional Landasan Teori

20

2.1.7 Integritas

Integritas diatur dalam Kode Etik dan Standar Audit 2008 yang menyatakan integritas adalah “suatu elemen karakter yang mendasari timbulnya pengakuan profesional. Integritas dapat menerima kesalahan yang tidak disengaja dan perbedaan pendapat yang jujur tetapi tidak dapat menerima kecurangan atau peniadaan prinsip”. Dalam menghadapi aturan, standar, panduan khusus atau menghadapi pendapat yang bertentangan, anggota harus menguji keputusan atau perbuatannya dengan bertanya apakah anggota telah melakukan apa yang seharusnya dilakukan dan apakah angggota telah menjaga integritas dirinya. Dimana integritas mengharuskan anggotanya untuk menaati standar teknis dan etika. Selain itu juga mengharuskan anggota untuk mengikuti prinsip objektivitas dan kehati-hatian profesional. Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa integritas adalah suatu elemen karakter yang mendasari timbulnya pengakuan dimana auditor harus menaati bentuk standar teknis dan etika,bersikap jujur dan transparan, bijaksana dan bertanggung jawab dalam melaksanakan audit serta tidak dapat menerima kecurangan atau peniadaan prinsip untuk membangun kepercayaan dan memberikan dasar bagi pengambilan keputusan yang berkualitas. Integritas merupakan kualitas yang melandasi kepercayaan publik dan merupakan patokan bagi anggota dalam menguji semua keputusan yang diambil. “Integritas mengharuskan seorang auditor untuk bersikap 21 jujur dan transparan, berani, bijaksana dan bertanggung jawab dalam melaksanakan audit. Keempat unsur itu diperlukan untuk membangun kepercayaan dan memberikan dasar bagi pengambilan keputusan yang andal.” Ayuningtias, 2012.

2.1.8 Skeptisisme Profesional

International Federation Of Accountants IFAC mendefinisikan professional skepticism dalam konteks evidence assessment atau penilaian atas bukti. Menurut IFAC : “skepticism means the auditor makes a critical assessment, with a questioning mind, of the validity of audit evidence obtained and is allert to audit evidence that contradicts or brings into the reliability of documents and responses to inquiries and other information obtained from management and those charged with governance” ISA 200.16. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Skeptisisme yang berasal dari kata skeptis, berarti sikap meragukan, mencurigai, dan tidak memercayai kebenaran suatu hal, teori, ataupun pernyataan. Sedangkan profesional, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sesuatu yang bersangkutan dengan profesi, yang membutuhkan keahlian khusus untuk menerapkannya. Skeptisisme profesional sendiri belum memiliki definisi yang pasti, namun dari definisi kata skeptisisme dan profesional tersebut, dapat disimpulkan bahwa skeptisisme profesional auditor adalah sikap auditor yang selalu meragukan dan mempertanyakan segala sesuatu, dan 22 menilai secara kritis bukti audit serta mengambil keputusan audit berlandaskan keahlian auditing yang dimilikinya. “Skeptisisme bukan berarti tidak percaya, tapi mencari pembuktian sebelum dapat memercayai suatu pernyataan.” Center for Audit Quality, 2010. “Untuk menerapkan skeptisisme profesional yang efektif, perlu dibentuk persepsi bahwa bahkan sistem pengendalian internal yang paling baik memiliki celah dan memungkinkan terjadinya fraud” Center for Audit Quality, 2010. Hanya saja, dalam menerapkan skeptisisme profesional, auditor tidak boleh mengasumsikan bahwa manajemen klien melakukan praktik yang bersih, namun tidak juga berprasangka bahwa manajemen klien melakukan fraud. Dalam hal ini, auditor yang memiliki skeptisisme profesional akan menerapkan sikap skeptisnya hanya sebatas melaksanakan tugas profesinya saja, tanpa sepenuhnya menjadi skeptis. Oleh karena itu, dengan adanya skeptisisme profesional dalam diri auditor akan mengakibatkan, sebagai contoh, auditor memberikan pertanyaan lebih dari yang biasa yang bersifat investigatif, menganalisa jawaban-jawaban dengan kritis dan secara hati-hati membandingkan hasil analisisnya dengan bukti- bukti yang diperoleh. “Skeptisme profesional seorang auditor dibutuhkan untuk mengambil keputusan-keputusan tentang seberapa banyak serta tipe bukti audit seperti apa yang harus dikumpulkan” Arens 2008:48. Sementara, frase-frase dalam proses auditing dalam Arens 2008:15 yaitu “yang pertama, terdapat informasi dan kriteria yang telah ditetapkan. Kedua, 23 pengumpulan serta pengevaluasian bukti. Ketiga, ditangani oleh auditor yang kompeten dan independen. Terkahir, baru lah mempersiapkan laporan audit”. Dapat dijelaskan dari sini bahwa auditor yang skeptis akan terus mancari dan menggali bahan bukti yang ada sehingga cukup bagi auditor tersebut untuk melaksanakan pekerjaannya untuk mengaudit, tidak mudah percaya dan cepat puas dengan apa yang yang telah terlihat dan tersajikan secara kasat mata, sehingga dapat menemukan kesalahan-kesalahan atau kecurangan-kecurangan yang bersifat material, dan pada akhirnya dapat memberikan hasil opini audit yang tepat sesuai gambaran keadaan suatu perusahaan yang sebenarnya. Setelah meneliti berbagai standar dan riset di berbagai bidang profesi dan akademis yang berkaitan dengan skeptisisme profesional, Hurtt 2003 mengembangkan sebuah model skeptisisme profesional dan memetakan karakteristik yang dimiliki seseorang yang memiliki skeptisisme profesional. Karakteristik tersebut terdiri dari enam, yakni “pola pikir yang selalu bertanyatanya questioning mind, penundaan pengambilan keputusan suspension of judgment, mencari pengetahuan search for knowledge, kemampuan pemahaman interpersonal interpersonal understanding, percaya diri self-confidence, dan determinasi diri self-determination. Karakteristik pertama, pola pikir yang selalu bertanya-tanya questioning mind, mencerminkan sikap keragu-raguan seperti yang terdapat dalam definisi skeptisisme profesional secara umum maupun khusus dalam auditing. Karakteristik kedua, penundaan pengambilan 24 keputusan suspension of judgment, mencerminkan sikap yang tidak tergesa-gesa dalam melakukan suatu hal. Orang yang skeptis tetap akan mengambil suatu keputusan, namun tidak segera, karena mereka membutuhkan informasi-informasi pendukung lainnya untuk mengambil keputusan tersebut Hurtt, 2003. Karakteristik ketiga, mencari pengetahuan search for knowledge, menunjukkan bahwa orang yang skeptis memiliki sikap keingintahuan akan suatu hal. Berbeda dengan sikap bertanya-tanya, yang didasari keraguan atau ketidakpercayaan, karakteristik ketiga ini didasari karena keinginan untuk menambah pengetahuan Hurtt, 2003. Karakteristik keempat, pemahaman interpersonal interpersonal understanding, memberikan pemahaman bahwa orang yang skeptis akan mempelajari dan memahami individu lain yang memiliki pandangan dan persepsi yang berbeda mengenai suatu hal Hurtt, 2003. Dengan memahami persepsi orang lain, orang yang skeptis akan mengambil kesimpulan dan beragumentasi untuk mengoreksi pendapat orang lain. Karakteristik kelima, percaya diri self-confidence, diperlukan oleh auditor untuk dapat menilai buktibukti audit, selain itu, percaya diri diperlukan oleh auditor untuk dapat berhadapan dengan berinteraksi dengan orang lain atau klien, termasuk juga beradu argumentasi dan mengambil tindakan audit yang diperlukan berdasarkan keraguan atau pertanyaan yang timbul dalam dirinya Hurtt, 2003. Karakteristik keenam, determinasi diri self-determination, diperlukan oleh auditor untuk mendukung pengambilan keputusan, yakni 25 menentukan tingkat kecukupan bukti-bukti audit yang sudah diperolehnya Hurtt, 2003.

2.2 Review Penelitian Terdahulu

Pada penelitian terdahulu akan diuraikan mengenai hasil-hasil penelitian yang didapat oleh peneliti terdahulu yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menguji pengaruh variabel- variabel yang mempengaruhi kualitas hasil audit. Mardisar dan Sari 2007 meneliti pengaruh akuntabilitas dan pengetahuan terhadap kualitas hasil kerja auditor. Penelitian menunjukan: akuntabilitas memiliki hubungan positif dengan kualitas hasil kerja dengan komplekitas tugas yang rendah. Hasil pengujian kedua menunjukan bahwa untuk kompleksitas pekerjaan tinggi, akuntabilitas tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap kualitas hasil kerja. Hasil pengujian ketiga menunjukan bahwa pada tingkat kompleksitas pekerjaan yang rendah, interaksi akuntabilitas dengan pengetahuan berpengaruh signifikan terhadap kualitas hasil kerja. Hasil pengujian keempat menunjukan bahwa untuk kompleksitas pekerjaan tinggi, interaksi akuntabilitas dengan pengetahuan berpengaruh signifikan terhadap kualitas hasil kerja auditor. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa untuk kompleksitas pekerjaan rendah, baik aspek akuntabilitas dan interaksi akuntabilitas dengan pengetahuan memiliki pengaruh signifikan terhadap kualitas hasil kerja auditor. Penelitian yang dilakukan oleh Sukriah, dkk 2009 menganalisis pengaruh pengalaman kerja, independensi, objektivitas, integritas dan kompetensi