Bentuk Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan Secara Preventif
Tabel 6 Bentuk Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan Secara Preventif
No Bentuk Perlindungan
Pasal
Bentuk
Market Conduct, keterbukaan informasi penyampaian layanan dan juga pembuatan
1 Pasal 4 Kewajiban perjanjian sebagai dokumen sarana alat
bukti. Updating information , kemudahan dalam
2 Pasal 5 Kewajiban
Reason of rejection, adanya informasi
3 mengenai penundaan atau penolakan Pasal 6 Kewajiban permohonan produk dan/atau layanan. Penggunaan bahasa dan istilah dalam
4 Pasal 7 Kewajiban setiap dokumen.
Penyediaan ringkasan produk yang berisi manfaat, resiko, dan biaya produk dan/atau
5 Pasal 8 Kewajiban layanan dan syarat dan ketentuannya
(brosur). Memberikan
6 Pasal 9 Kewajiban kewajiban Konsumen.
Keterbukaan informasi tentang biaya. Kewajiban
7 Pasal 10 dan Larangan
Kewajiban menyampaikan isi syarat dan
8 ketentuan
Pasal 11 Kewajiban penandatanganan perjanjian.
produk
sebelum
Informasi perubahan manfaat, biaya,
9 resiko, syarat dan ketentuan dalam Pasal 12 kewajiban dokumen perjanjian.
Penyediaan pedoman penetapan harga dan
10 Pasal 13 kewajiban biaya produk/layanan.
Penyelenggaraan edukasi literasi keuangan
11 Pasal 14 kewajiban kepada masyarakat.
Pemberian akses yang setara kepada setiap
12 Pasal 15 kewajiban konsumen sesuai klasifikasi.
Memperhatikan kesesuaian produk dengan
13 Pasal 16 kewajiban konsumen.
Strategi pemasaran produk dan layanan
14 Pasal 17 Larangan dengan cara yang baik.
15 Kebebasan memilih produk layanan. Pasal 18 Larangan Pelarangan penawaran produk melalui
16 sarana komunikasi
Pasal 19 Larangan persetujuan konsumen. Pencantuman identitas dan status Pelaku
pribadi
tanpa
17 Pasal 20 kewajiban Usaha Jasa Keuangan.
Keseimbangan, keadilan, dan kewajaran
18 Pasal 21 kewajiban perjanjian.
19 Pengaturan tentang perjanjian baku Pasal 22 Larangan Penyediaan informasi tentang indikasi
20 Pasal 23 kewajiban benturan kepentingan.
Layanan bagi konsumen berkebutuhan
21 Pasal 24 kewajiban khusus.
keamanan simpanan, dana, aset konsumen
22 Pasal 25 kewajiban yang berada pada pelaku usaha keuangan.
Pemberian tanda bukti kepemilikan produk
23 Pasal 26 kewajiban layanan tepat waktu.
24 Laporan keuangan tepat waktu. Pasal 27 kewajiban
Pelaksanaan instruksi konsumen sesuai
25 Pasal 28 kewajiban perjanjian.
26 Pasal 30 kewajiban terafiliasi.
27 Informasi Rahasia. Pasal 31 kewajiban Penyediaan mekanisme pelayanan dan
28 Pasal 32 kewajiban penyelesaian pengaduan bagi konsumen.
29 Bebas biaya pengaduan konsumen. Pasal 33 kewajiban Penyediaan unit kerja penyelesaian
30 Pasal 36 kewajiban pengaduan konsumen.
Pertanggungjawaban Direksi atas ketaatan
31 Pasal 47 kewajiban terhadap peraturan OJK.
32 Sistem pengawasan Direksi. Pasal 48 kewajiban Pelaku usaha jasa keuangan wajib memiliki
33 dan menerapkan kebijakan prosedur tertulis Pasal 49 kewajiban perlindungan konsumen.
34 Sistem pengendalian internal. Pasal 50 kewajiban OJK mengawasi kepatuhan Pelaku Usaha
35 Jasa Keuangan terhadap
Pasal 51 kewajiban perlindungan konsumen. OJK meminta informasi dan laporan
peraturan
36 Pasal 52 kewajiban perlindungan konsumen.
Sumber: bahan hukum primer, diolah, 2015 Apabila dilihat dari segi bentuk norma nya, Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 1/POJK. 07/2013 ini merupakan bentuk peraturan pelaksana Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Menurut cara perolehannya, kewenangan ada tiga yaitu atribusi, mandat dan delegasi. Sedangkan peraturan ini merupakan suatu bentuk peraturan yang dibuat karena kewenangan atribusi, yaitu pemberian kewenangan pengaturan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Artinya, ketika suatu badan atau institusi memperoleh atribusi kewenangan pengaturan, kewenangan itu melekat pada institusi itu sampai dengan dicabut atau tidak diberlakukan lagi
peraturan perundang-undangan yang memberikan atribusian. 71
Dalam peraturan OJK tentang Perlindunga n Konsumen memberikan bentuk perlindungan yang sifatnya preventif atau mencegah, dimana dalam pasal- pasal yang mengaturnya dapat berisi suatu kewajiban yang harus dipenuhi atau dilakukan oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan dan juga berupa pasal larangan tentang hal- hal yang tidak boleh dilakukan oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan. Semua bentuk kewajiban dan juga larangan tersebut dituangkan dalam bentuk aturan konkrit dan juga jelas dalam tiap pasalnya.
4.1.3. Analisis Bentuk Perlindungan Hukum Nasabah KPR Terhadap Kenaikan Tingkat Suku Bunga yang Tidak Terduga Secara Preventif dalam Peraturan OJK tentang Perlindungan Kons umen.
Untuk memberikan penjelasan dan juga analisis terhadap bentuk perlindungan hukum bagi nasabah yang telah dituangkan ke dalam Peraturan OJK No.1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, penulis mendeskripsikannya sebagai berikut:
1. Informasi secara akurat, jujur, jelas dan tidak me nyesatkan tentang produk layanan dan atau jasa keuangan Bank (Pasal 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10,
11, 12, dan 20)
Jika dikaitkan dengan bentuk perlindungan hukum yang dapat diperoleh nasabah peminjam dana dalam hal ini adalah Nasabah Kredit Pemilikan Rumah mampu mendapatkan perlindungan hukum yang tegas dan jelas dari adanya indikasi kesewenang-wenangan Pelaku Usaha Sektor Jasa Keuangan dalam hal ini adalah Bank. Dalam Pasal 4 Peraturan OJK tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan telah menyebutkan bahwa pelaku usaha wajib menyediakan dan menyampaikan informasi secara akurat, jujur, jelas dan tidak menyesatkan Jika dikaitkan dengan bentuk perlindungan hukum yang dapat diperoleh nasabah peminjam dana dalam hal ini adalah Nasabah Kredit Pemilikan Rumah mampu mendapatkan perlindungan hukum yang tegas dan jelas dari adanya indikasi kesewenang-wenangan Pelaku Usaha Sektor Jasa Keuangan dalam hal ini adalah Bank. Dalam Pasal 4 Peraturan OJK tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan telah menyebutkan bahwa pelaku usaha wajib menyediakan dan menyampaikan informasi secara akurat, jujur, jelas dan tidak menyesatkan
Untuk Kredit Kepemilikan rumah sederhana sehat terdapat beberapa macamnya yaitu meliputi: 72
1) Kredit Pemilikan Rumah Sejahtera (KPR Sejahtera);
2) Kredit Pemilikan Rumah Sejahtera Murah (KPR Sejahtera Murah);
3) Kredit Pembangunan atau Perbaikan Rumah Swadaya Sejahtera (KPRS Sejahtera);
4) Kredit Konstruksi Rumah Sejahtera (KK Rumah Sejahtera) dan;
5) Kredit Konstruksi Rumah Sejahtera Murah (KK Rumah Sejahtera Murah); Dan untuk KPR Sejahtera sendiri juga memiliki beberapa macam dan jenisnya masing- masing yaitu:
1) KPR Sejahtera Tapak;
2) KPR Sejahtera Syariah Tapak;
3) KPR Sejahtera Susun; dan
4) KPR Sejahtera Syariah Susun.
72 Lihat pasal 3 dan 4 Peraturan Menteri Perumahan Ra kyat Nomo r 27 Tahun 2012 tentang
Nasabah juga berhak untuk memperoleh informasi yang update tentang segala sesuatu yang terkait dengan Kredit Pemilikan Rumah sesuai dengan Pasal
5. Apabila terdapat peraturan-peraturan baru tentang kebijakan tingkat suku bunga maupun penundaan ataupun penolakan permohonan yang diajukan oleh Nasabah, bank berkewajiban untuk menyampaikan informasi kepada nasabah tanpa terkecuali (Pasal 6). Dalam penyampaian informasi yang disampaikan kepada nasabah haruslah juga menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan dimengerti oleh nasabah yaitu menggunakan bahasa Indonesia dan juga memberikan istilah- istilah yang mudah dimengerti oleh nasabah (Pasal 7).
Bank berkewajiban untuk memberikan penjelasan mengenai manfaat, resiko, syarat ketentuan dan juga setiap biaya yang harus ditanggung oleh calon debitur terhadap masing- masing produk atau layanan yang ditawarkan dalam bentuk ringkasan biasanya berupa brosur atau informasi lain yang digunakan. Sesuai dengan ketentuan Pasal 8 Peraturan OJK Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, Pasal ini memberikan akses kemudahan bagi Debitur untuk dapat memilih KPR mana yang diinginkan dan juga disesuaikan dengan kondisi serta kebutuhannya. Kemudian dilanjutkan dalam Pasal 9 Bank diwajibkan untuk memberikan pemahaman kepada Debitur mengenai hak dan kewajibannya itu. Karena dengan diberikan pemahaman terlebih dahulu kepada Debitur maka akan membuka akses bagi debitur untuk mempertimbangkan kemampuannya itu sehingga terjadi kesesuaian antara produk KPR yang ditawarkan oleh Bank dan juga Debitur.
Dalam hal Kredit Pemilikan Rumah yang notabene ini diberikan kepada Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) maka masalah transparansi biaya Dalam hal Kredit Pemilikan Rumah yang notabene ini diberikan kepada Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) maka masalah transparansi biaya
Usaha Jasa Keuangan wajib memberikan informasi mengenai biaya yang harus ditanggung konsumen untuk setiap produk dan/atau layanan yang disediakan oleh
Pelaku Usaha Jasa Keuangan”. Ini memberikan gambaran perlindungan bagi nasabah secara preventif (mencegah) terhadap adanya tindakan curang yang
dilakukan oleh Bank demi memperoleh keuntungan dan juga memanfaatkan posisi Debitur yang lemah dengan memberlakukan biaya atau bahkan bunga yang tidak terduga sehingga Debitur harus membayar angsuran tagihan KPR lebih tinggi daripada yang seharusnya.
Kemudian dalam Pasal 10 ayat (2) juga menegaskan bahwa “Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang memberikan fasilitas secara otomatis yang
mengakibatkan tambahan biaya tanpa persetujuan tertulis dari Konsumen”. Meskipun Bank berdalih memberlakukan tambahan biaya dengan adanya perbaikan atau peningkatan fasilitas layanan, namun apabila hal tersebut dilakukan secara tidak terduga atau tanpa persetujuan dari Debitur terlebih dahulu, maka tetap saja itu merupakan suatu bentuk pelanggaran dan merugikan Debitur. Bunyi Pasal 10 ayat (2) ini apabila dicermati secara seksama hanya melarang Pelaku Usaha untuk memberikan fasilitas tambahan yang mengakibatkan tambahan beban biaya tanpa persetujuan konsumen. Apabila Pasal ini diinterpretasikan bahwa tambahan biaya itu merupakan kenaikan tingkat suku bunga yang dibebankan oleh Bank kepada Nasabah, apakah juga dilarang dan dapat dikenakan pasal ini. Mengingat kenaikan tingkat suku bunga itu sendiri tidak diiringi dengan pemberian fasilitas tambahan yang diberikan Bank kepada
Nasabah, sehingga timbul suatu kekaburan hukum, bahwa tidak terdapat kejelasan pengaturan yang melarang Bank untuk menetapkan suku bunga yang dapat terus meningkat kepada nasabahnya tanpa diketahui oleh nasabah sebelumnya. Karena tingkat suku bunga itu jenisnya ada yang sifatnya majemuk dan terus meningkat, selain itu karena faktor sumber dana yang digunakan oleh Bank untuk KPR adalah menggunakan Pembiayaan Sekunder Perumahan yang didapatkan dari dana investor, sehingga Bank juga memilik i kewajiban untuk membayar bunga kepada investor pula. Tidak dapat dipungkiri Bank untuk mencapai kestabilan keuangan harus memikirkan pendapatan yang diperolehnya melalui tingkat suku bunga kredit yang diterapkan kepada debitur.
Kemudian pengaturan perlindungan terhadap kenaikan biaya yang tidak terduga tersebut kembali dipertegas melalui Pasal 12 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menginformasikan kepada Konsumen setiap perubahan manfaat, biaya, resiko, syarat, dan ketentuan yang tercantum dalam dokumen dan/atau perjanjian mengenai produk dan/atau layanan Pelaku Usaha Jasa Keuangan”. Bentuk pengaturan dalam Pasal 10 ayat (2) adalah berupa
larangan sedangkan dalam pasal 12 ayat (1) ini berupa kewajiban yang dibebankan kepada pelaku usaha yang harus menyampaikan segala informasi tentang perubahan-perubahan yang terjadi. Apabila dianalisis menggunakan pendekatan logika berfikir secara runtut, apakah mungkin dalam hal ini Bank yang dengan sengaja memberlakukan kenaikan biaya tambahan atau suku bunga yang berlipat dengan tujuan mencari keuntungan akan memberikan informasi secara terbuka kepada nasabahnya yang merupakan ladang keuntungan bagi Bank tersebut dari adanya bunga dan juga biaya-biaya yang menjadi pemasukan bagi
Bank. Pasal 12 ini menjelaskan adanya kewajiban untuk menyampaikan informasi tentang adanya perubahan manfaat, biaya, resiko, syarat dan ketentuan demi kepentingan Nasabah agar tidak dirugikan dengan adanya keputusan sepihak yang dilakukan oleh Bank. Sehingga dalam Pasal 12 ayat (2) diberikan ketentuan batas waktu pemberitahuan oleh pihak Bank adalah paling lambat 30 hari sebelum perubahan tersebut terjadi. Dan konsumen memiliki hak untuk menolak atau menerima adanya perubahan tersebut dan memutuskan produk layanan tanpa dikenakan biaya apapun.
Adanya pengaturan perlindungan terhadap Nasabah KPR yang memberikan peluang untuk dapat meninggalkan produk layanan tanpa harus membayar biaya apapun apabila terdapat perubahan yang tidak dikehendaki tersebut juga sebenarnya memberikan celah kepada Nasabah debitur untuk tidak memenuhi kewajibannya atau mangkir dengan memanfaatkan alasan perubahan biaya dan sebagainya. Jika perjanjian tersebut adalah KPR yang dimana kredit harus dibayar tepat waktu dalam kurun waktu tertentu de ngan bunga yang telah ditentukan, jika ada perubahan yang tidak disetujui oleh debitur maka debitur dapat meninggalkan atau menghentikan KPR tanpa dikenakan ganti rugi apapun, namun dengan syarat rumah yang menjadi objek KPR tersebut haruslah dikembalikan kepada Bank atau menjadi hak bank.
2. Pemberian layanan pedoman penetapan biaya dan edukasi literasi keuangan kepada masyarakat (Pasal 13 dan Pasal 14)
Sangat penting artinya bagi masyarakat untuk mengetahui tentang biaya dan juga harga produk yang ia gunakan dalam lembaga perbankan. Dengan adanya pedoman penetapan biaya tersebut, maka akan dapat diketahui tentang Sangat penting artinya bagi masyarakat untuk mengetahui tentang biaya dan juga harga produk yang ia gunakan dalam lembaga perbankan. Dengan adanya pedoman penetapan biaya tersebut, maka akan dapat diketahui tentang
setiap periode pembayarannya. 73 Dengan adanya aspek kewajaran penghitungan tersebut, nasabah akan memperoleh perlindungan yang sifatnya mencegah
apabila suatu hari Bank melakukan perbuatan yang menaikkan harga dan atau biaya di luar kewajaran, sehingga masyarakat akan mengetahui. 74
Perhitungan bunga kredit sangat penting keberadaannya, karena perhitungan tersebut digunakan oleh bank untuk menentukan tingkat besar kecilnya angsuran pokok dan bunga yang harus dibayar oleh deb itur atas kredit yang diterimanya dari Bank. Dengan adanya pemahaman dari nasabah debitur tentang penghitungan bunga kredit tersebut akan menjadi dasar pertimbangan nasabah debitur apakah ia akan mengambil kredit yang ditawarkan oleh bank ataukah tidak. Penghitungan bunga memang lumayan rumit apabila dilakukan oleh masyarakat awam yang tidak menguasai dasar-dasar ekonomi maupun matematika. Mengingat metode penghitungan tingkat suku bunga kredit dapat menggunakan flat rate, (efektif) sliding rate dan anuitas. Flat rate itu sendiri
73 Lihat Pasal 13 dan Pasal 14 Penje lasan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
74 Beberapa perbankan telah mencantumkan informasi kredt dan juga ciciclan yang dapat dia mbil oleh nasabah. Contohnya Bank Tabungan Negara sebagai bank yang dibentuk oleh
pemerintah untuk menyalurkan Kredit Pe milikan Ru mah mela lui likuidasi Pe mbiayaan Sekund er Peru mahan telah cukup menerap kan informasi dan literasi keuangan kepada masyarakat. Dengan me mbe rikan aplikasi kalkulator kredit yang dapat mena mpilkan ju mlah pin ja man beserta jangka pemerintah untuk menyalurkan Kredit Pe milikan Ru mah mela lui likuidasi Pe mbiayaan Sekund er Peru mahan telah cukup menerap kan informasi dan literasi keuangan kepada masyarakat. Dengan me mbe rikan aplikasi kalkulator kredit yang dapat mena mpilkan ju mlah pin ja man beserta jangka
Berikut akan disajikan contoh tabel dari masing- masing angsuran yang harus dibayar oleh debitur dengan menggunakan flat rate, sliding rate, dan juga anuitas dengan contoh Bank A memberikan kredit sebesar Rp 6.000.000,- selama
6 bulan ke depan kepada seorang kreditur dengan tingkat bunga 12% per tahun (flat rate, sliding rate, dan anuitas).
Tabel 7 Tabel Angsuran Debitur – Flat Rate
Bulan
Saldo
Angs uran
Angs uran Jumlah
Pokok
Bunga
Angs uran
360.000 6.360.000 Sumber: Bank Indonesia
Sedangkan perhitungan dengan cara Efektif (sliding rate) merupakan perhitungan yang dilakukan setiap akhir periode pembayaran angsuran. Dimana pada perhitungan ini bunga kredit selalu dihitung dari saldo akhir setiap bulannya sehingga bunga yang dibayar oleh debitur pada setiap bulannya dapat semakin menurun, sehingga nilai angsuran yang dibayar oleh debitur setiap bulan dapat semakin mengecil.
Tabel 8 Tabel Angsuran Debitur – Sliding Rate
Bulan
Saldo
Angs uran
Angs uran Jumlah
pokok
Bunga Angs uran
210.000 6.210.000 Sumber: Bank Indonesia
Sedangkan Anuitas adalah jumlah angsuran setiap bulan yang dibayar oleh debitur yang tidak berubah selama jangka waktu kredit. Tetapi komposisi besarnya angsuran pokok maupun angsuran bunga pada setiap bulannya akan mengalami perubahan dimana angsuran bunga akan semakin me ngecil sedangkan
angsuran pokoknya akan semakin besar . 75
Tabel 9 Tabel Angsuran Debitur – Anuitas
Bulan
Saldo
Angs uran
Angs uran Jumlah
Pokok
Bunga Angs uran
Dari ketiga contoh perhitungan bunga yang telah disajikan diatas dapat disimpulkan bahwa besarnya bunga kredit yang harus dibayar oleh debitur akan berbeda-beda meskipun tingkat suku bunga yang ditetapkan adalah sama yaitu
75 Ba mbang & M ieke , Leaflet ini dter bi tkan oleh B ank Indonesia sebagai sal ah satu
12%. Sehingga penggunaan penghitungan bunga yang digunakan sangat mempengaruhi jumlah besar kecilnya angsuran yang dibayar oleh debitur. Dengan adanya perhitungan tersebut haruslah diberitahukan tentang pedoman penetapan biaya yang ditetapkan oleh bank kepada debitur. Sehingga debitur aka n paham dan mengetahui berapa angsuran yang ia bayar dan berasal dari mana besaran tersebut.
Selain dari adanya penghitungan suku bunga, bank juga haruslah menyampaikan tentang suku bunga yang digunakan, dimana bentuk suku bunga yang biasa diterapkan yaitu suku bunga tetap (fixed rate) maupun suku bunga mengambang (floating rate). Debitur haruslah diberikan edukasi dan pemahaman tentang kelebihan dan kelemahan dari masing- masing tingkat suku bunga tersebut. meskipun sesuai dengan Peraturan Menteri Perumahan Rakyat telah menentukan dalam bahasan sebelumnya bahwa untuk Fasilitas Liquiditas Pembiayaan Kredit Pemilikan Rumah, bank pengusul haruslah menerapkan suku bunga tetap (fixed
rate) 76 dan menggunakan metode penghitungan bunga tahunan (annuity). Untuk suku bunga tetap (fixed rate) itu sendiri memiliki kelebihan bahwa
debitur memiliki kepastian terhadap besarnya bunga yang akan di bayar, serta tidak terdapat perubahan tingkat suku bunga meskipun tingkat suku bunga pasar telah mengalami kenaikan. Berbeda dengan tingkat suku bunga mengambang yang apabila terjadi penurunan tingkat suku bunga pasar maka tingkat suku bunga kredit akan ikut turun juga. Namun untuk suku bunga tetap (fixed rate) juga memiliki kerugiannya sendiri yaitu ketika suku bunga pasar berada di bawah suku
76 Lihat Pasal 6, 7, 8, 9 ayat (4) huruf d Peraturan Menteri Peru mahan Rakyat No mor 27 76 Lihat Pasal 6, 7, 8, 9 ayat (4) huruf d Peraturan Menteri Peru mahan Rakyat No mor 27
3. Pemberian akses yang setara dan kesesuaian produk yang ditawarkan terhadap klasifikasi Nasabah (Pasal 15 dan Pasal 16)
Pemberian akses yang setara terhadap nasabah adalah hal yang sangat penting untuk memperhatikan asas non diskriminasi. Pasal 15 ayat (1) telah
memberikan pengaturan yang jelas bahwa “Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib memberikan akses yang setara kepada setiap konsumen sesuai klasifikasi
konsumen atas produk dan/atau layanan Pelaku Usaha Jasa Keuangan”. Dimana untuk klasifikasi dari konsumen (nasabah) telah dijelaskan dalam ayat selanjutnya, yaitu ayat (2) yang menyatakan bahwa klasifikasi konsumen dapat dilakukan oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan (bank) berdasarkan 78 :
a) latar belakang nasabah;
b) keterangan mengenai pekerjaan nasabah;
c) rata-rata penghasilan yang dihasilkan oleh nasabah;
d) maksud dan tujuan menggunakan produk dan/atau layanan Bank;
e) informasi lain yang digunakan untuk menentukan klasifikasi nasabah.
Untuk pemberian Kredit Pemilikan Rumah yang ditawarkan oleh bank, haruslah juga memperhatikan tentang jenis KPR mana yang akan diambil dan dapat diberikan kepada calon debitur. Mengingat KPR memiliki jenis-jenisnya antara lain meliputi, untuk Kredit Kepemilikan rumah sederhana sehat terdapat
beberapa macamnya yaitu meliputi: 79
1) Kredit Pemilikan Rumah Sejahtera (KPR Sejahtera);
77 Ba mbang & Mie ke, Op-cit, h lm. 7. 78 Lihat Pasal 15 Peraturan OJK No mor 1/ POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen
Sektor Jasa Keuangan. 79 Lihat pasal 3 dan 4 Peraturan Menteri Perumahan Ra kyat Nomo r 27 Tahun 2012 tentang
2) Kredit Pemilikan Rumah Sejahtera Murah (KPR Sejahtera Murah);
3) Kredit Pembangunan atau Perbaikan Rumah Swadaya Sejahtera (KPRS Sejahtera);
4) Kredit Konstruksi Rumah Sejahtera (KK Rumah Sejahtera) dan;
5) Kredit Konstruksi Rumah Sejahtera Murah (KK Rumah Sejahtera Murah); Dan untuk KPR Sejahtera sendiri juga memiliki beberapa macam dan jenisnya masing- masing yaitu:
1) KPR Sejahtera Tapak;
2) KPR Sejahtera Syariah Tapak;
3) KPR Sejahtera Susun; dan
4) KPR Sejahtera Syariah Susun. Bank memiliki standar untuk menentukan kualifikasi dari nasabahnya sendiri, untuk menentukan jenis dan kualitas dari kredit yang akan diberikan kepada nasabah baik itu yang jenisnya premium maupun platinum, tergantung jumlah kredit dan kondisi ekonomi nasabah. Bank tentunya akan menerapkan prinsip kehati- hatian di dalamnya. Sebelum memberikan kredit bank akan menempuh beberapa tahapan pemberian kredit yang meliputi:
a. Tahap pengajuan dan permohonan/aplikasi kredit Pada tahap ini, calon debitur akan mengisi formulir pendaftaran kredit beserta melengkapi segala dokumen-dokumen yang dibutuhkan nantinya.
b. Penelitian berkas kredit dan analisis Dalam tahapan ini, bank akan dalam melakukan analisis terhadap calon debitur tentang segala aspek yang terdapat padanya dengan b. Penelitian berkas kredit dan analisis Dalam tahapan ini, bank akan dalam melakukan analisis terhadap calon debitur tentang segala aspek yang terdapat padanya dengan
c. Keputusan kredit Dalam proses ini bank akan memberikan keputusan bahwa bank akan menerima permohonan kredit ataukah menolak permohonan kredit. Apabila bank memutuskan menerima permohonan kredit maka di situ bank telah melakukan analisis dan menyesuaikan terhadap aspek-aspek yang dimiliki oleh calon debitur terhadap permohonan kredit yang telah diajukan.
d. Perjanjian Kredit Pada tahapan ini, perjanjian kredit dibuat sesuai dengan kesepakatan pihak bank dan kreditur. Dimana isi dari suatu perjanjian kredit haruslah memenuhi semua kebutuhan dan kepentingan kedua bela pihak. Selama ini, bentuk perjanjian kredit adalah perjanjian baku yang telah disiapkan oleh bank dan debitur hanya perlu untuk menandatangani nya saja. Dalam perjanjian kredit semua ketentuan akan dicantumkan termasuk jenis kredit, pembayaran pokok dan juga bunga yang timbul, yang akan diambil dan akan dibayar oleh debitur haruslah telah disetujui oleh debitur sepenuhnya.
e. Tahap Pengikatan jaminan
Jaminan sanat penting keberadaannya bagi bank selaku kreditur, sebab jaminan ini yang akan menjadi penentu bahwa debitur akan melakukan pembayaran atas kredit yang telah disepakatinya. Dalam Kredit Pemilikan Rumah, yang menjadi jaminan adalah objek rumah itu sendiri, sehingga selama jangka waktu kredit sampai akhir pelunasan kredit semua sertipikat rumah berada pada pihak bank. Selain itu, untuk motif kehati- hatian nasabah debitur diwajibkan untuk mengambil asuransi perumahan sebagai salah satu bentuk antisipasi terhadap resiko.
f. Dropping kredit Pada tahap ini, nasabah d debitur diberikan opsi untuk menentukan apakah yang melakukan pembayaran dan memilih rumah adalah debitur sendiri ataukah dilakukan oleh bank. Kebanyakan pada tahap ini, nasabah debitur sendiri yang diberikan wewenang untuk melakukan pembayaran kepada developer dan juga memilih rumah sesuai yang diinginkan dengan menggunakan pembayaran KPR dari bank.
g. Pengawasan kredit Dalam tahap ini merupakan selama jangka waktu pembayaran kredit sesuai jumlah dan jangka waktu yang telah disepakati. Debitur harus memenuhi kewajibannya untuk melakukan pembayaran kredit beserta bunga dan biaya yang timbul sesuai dengan kesepakatan sebelumnya. Dalam masa ini, bank tidak tidak diperkenankan melakukan perbuatan yang merugikan nasabah debitur dengan menentukan kenaikan suku bunga ataupun meningkatkan biaya tertentu yang dapat membebani g. Pengawasan kredit Dalam tahap ini merupakan selama jangka waktu pembayaran kredit sesuai jumlah dan jangka waktu yang telah disepakati. Debitur harus memenuhi kewajibannya untuk melakukan pembayaran kredit beserta bunga dan biaya yang timbul sesuai dengan kesepakatan sebelumnya. Dalam masa ini, bank tidak tidak diperkenankan melakukan perbuatan yang merugikan nasabah debitur dengan menentukan kenaikan suku bunga ataupun meningkatkan biaya tertentu yang dapat membebani
h. Pelunasan kredit Kredit akan dianggap lunas apabila seluruh hutang kredit telah terbayar secara keseluruhan beserta bunga dan juga biaya yang timbul sesuai jangka waktu yang telah disepakati. Apabila sebelum jatuh tempo debitur dapat melakukan pelunasan dini, debitur harus terlebih dahulu melakukan pemberitahuan kepada bank. Sehingga tidak terjadi miskomunikasi antara bank dan juga debitur. Apabila semua pelunasan telah dipenuhi oleh debitur, bank haruslah menyerahkan sertipikat rumah kepada debitur dan melepaskan segala jaminan yang melekat pada kredit.
4. Strategi pe masaran yang tidak merugikan Nasabah (Pasal 17, 18, 19, dan Pasal 20)
Selain itu, dalam Pasal 17 juga telah menegaskan bahwa “Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang menggunakan strategi pemasaran produk dan/atau layanan yang merugikan konsumen dengan memanfaatkan kondisi konsumen yang tidak memiliki pilihan lain dalam mengambil keputusan”. Bentuk dari pasal ini adalah jelas mengenai adanya larangan bagi pelaku Usaha untuk memanfaatkan kondisi nasabah yang tengah berada dalam kesulitan atau berada
pada titik yang lemah dalam pengambilan keputusan sehingga memiliki kecenderungan untuk mengikuti saja seluruh aturan main yang ditetapkan oleh Bank misalnya. Dalam kondisi yang dialami oleh Nasabah KPR sebagai pihak yang membutuhkan dana pinjaman untuk Kredit Pemilikan Rumah maupun pembiayaan pemilikan rumah, memiliki kecenderungan untuk mengikuti dan menuruti seluruh ketentuan yang ditetapkan oleh Bank sebagai penyalur dana. Sehingga nasabah akan menganggap semua aturan yang ditetapkan oleh Bank itu merupakan cara agar pemberian kredit bank kepadanya dapat segera dilakukan. Dan kebutuhan nasabah tersebut dapat diperoleh untuk segera memiliki rumah. Namun, dalam kondisi yang demikian ini memang sangatlah rentan untuk terjadi penyalahgunaan, dimana untuk melancarkan strategi pemasaran dan upaya Bank untuk memperoleh keuntungan dari bunga kredit, maka bank melakukan tindakan- tindakan yang dapat merugikan Nasabah seperti halnya penetapan biaya ataupun bunga diluar batasan kewajaran. Pasal 17 Peraturan OJK tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan ini memberikan larangan yang tegas disampaikan untuk melindungi Nasabah dari tindakan Bank yang merugikan nasabah.
5. Keseimbangan Perjanjian antara Bank dan Nasabah (Pasal 21 dan Pasal 22)
Pasal 21 dan Pasal 22 telah memberikan perlindungan yang sangat tegas kepada nasabah terhadap keberadaan perjanjian yang selama ini kebanyakan dipraktekkan untuk perjanjian kredit adalah perjanjian baku. Dimana dalam Pasal
21 telah menegaskan bahwa suatu perjanjian yang dibuat itu haruslah memenuhi keseimbangan, keadilan, dan kewajaran. Mengingat berdasarka n Pasal 1320 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata telah memberikan dasar yang kuat bahwa dalam pembuatan suatu perjanjian itu haruslah dibuat berdasarkan adanya kesepakatan para pihak, kecakapan, adanya objek tertentu, dan kausa yang halal. Dengan demikian, suatu perjanjian kredit itu haruslah dibuat oleh kedua belah pihak tanpa adanya paksaan dari salah satu pihaknya. Untuk memberikan gambaran tentang interpretasi keseimbangan yang disampaikan oleh Pasal 21 Peraturan OJK tersebut adalah suat bentuk kesetaraan antara kedua belah pihak, baik itu merupakan pihak bank maupun pihak nasabah debitur. Karena dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 23 juga telah menjelaskan bahwa suatu perjanjian yang dibuat karena adanya suatu paksaan maka perjanjian tersebut
dapatlah dibatalkan. 80 Sedangkan dalam Pasal 22 Peraturan OJK ini memberikan gambaran
yang jelas terhadap bentuk-bentuk perjanjian baku yang dilarang untuk dibuat oleh Bank kepada Nasabah debitur. Dalam penjelasannya, Pelaku Usaha Jasa Keuangan (bank) dilarang untuk membuat suatu klausula baku yang menyatakan bahwa produk yang telah ditawarkan kepada nasabah apabila timbul suatu permasalahan bukanlah merupakan suatu tanggungjawab dari bank. Atau dengan kata lain, bank dilarang untuk membuat klausul yang mengalihkan tanggungjawab
kepada nasabah debitur untuk menanggungnya. 81
6. Keamanan, kenyamanan, dan kepercayaan Nasabah terhadap pelayanan Bank (Pasal 24, 25, 26, 27, 28, 30, dan Pasal 31)
Bentuk pemberian pelayanan bank terhadap keamanan, kenyamanan, dan juga kepercayaan dari nasabah adalah tiang utama dari lembaga keuangan bank.
80 Lihat Pasal 1320 – 1323 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek.)
Karena prinsip utama dari bank adalah pemberian jasa berdasarkan atas kepercayaan. Menurut Prof. G. M. Verryn Stuart dalam bukunya Bank Politik, berpendapat bahwa bank adalah suatu badan yang bertujuan untuk memuaskan kebutuhan kredit, baik dengan alat-alat pembayarannya sendiri maupun dengan uang yang diperolehnya dari orang lain, maupun dengan jalan mengedarkan alat-
alat penukar baru yang berupa uang giral. 82 Pasal 24 Peraturan OJK ini memberikan kepastian bahwa semua nasabah
dapat memperoleh pelayanan dari bank, termasuk bagi nasabah yang memerlukan kebutuhan khusus. Kemudian dalam Pasal 25 juga menyebutkan adanya suatu bentuk kewajiban yang harus dipenuhi oleh bank sebagai bentuk pelayana n yang memberikan kepastian pelayanan dan juga perlindungan terhadap semua nasabahnya dengan “menjaga keamanan simpanan, dana, atau aset Konsumen yang berada dalam tanggung jawab Pelaku Usaha jasa Keuangan”.
Adanya keterbukaan yang diberikan oleh bank terhadap nasabah dalam setiap laporan keuangan dan juga segala keadaan keuangan merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan. Pasal 26 dan Pasal 27 memberikan perlindungan kepada nasabah dari adanya kemungkinan disembunyikannya keadaan keuangan yang tidak diinginkan. Dengan adanya keterbukaan terhadap segala “laporan keuangan tentang posisi saldo, dan mutasi simpanan, dana, aset, atau kewajiban konsumen secara akurat, tepat waktu dan dengan cara atau sarana sesuai dengan
perjanjian dengan konsumen”. 83 Dengan adanya ketentuan dari Pasal 27 ini maka setiap keadaan dan perubahan yang terjadi akan selalu diberitahukan oleh bank.
Apabila terdapat kebijakan yang baru tentang kenaikan tingkat suku bunga
82 He rmansyah. Loc-Cit. hlm. 8.
misalnya, maka bank harus memberitahukan kepada debitur denga n cara-cara yang baik.
7. Penyediaan mekanis me penyelesaian pengaduan bagi Nasabah (Pasal 32,
33, dan Pasal 36)
Peraturan OJK tentang Perlindungan Konsumen sektor Jasa Keuangan ini nampaknya telah berusaha keras untuk dapat mewujudkan suatu perlindungan yang cukup melindungi terhadap konsumen sektor keuangan dalam hal ini adalah termasuk nasabah debitur. Mengingat keberadaan nasabah debitur merupakan pihak yang lemah dibandingkan pihak bank yang notabene merupakan pihak yang berkuasa atau memiliki kewenangan yang lebih. Maka dari itu perlindungan dan juga bentuk pengaduan kemana pihak yang lemah atau debitur ini dapat mengadukan keluhannya telah dijawab oleh Pasal 32 Peraturan OJK. Dimana setiap lembaga atau yang disebut sebagai Pelaku Usaha Sektor Jasa Keuanga n ini diwajibkan untuk memiliki dan melaksanakan mekanisme pelayanan dan penyelesaian pengaduan konsumen. Dalam Peraturan OJK ini memang tidak dijelaskan lebih lanjut perihal mekanisme pelayanan dan penyelesaian pengaduan konsumen. Namun, hal ini telah diatur sendiri dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 2/SEOJK.07/2014 dimana surat edaran tersebut ditujukan kepada direksi maupun pengurus Pelaku Usaha Jasa Keuangan baik yang melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional maupun secara syariah. Surat Edaran ini mengatur hal- hal yang lebih bersifat teknis mengenai tindak lanjut dari pelayanan dan penyelesaian pengaduan konsumen pada pelaku usaha jasa keuangan.
Mengacu pada perlindungan nasabah debitur terhadap kenaikan tingkat suku bunga yang tidak terduga apabila terjadi demikian, maka dapat memanfaatkan fasilitas pengaduan ini. Dimana dalam Surat edaran tersebut dijelaskan bahwa “pengaduan adalah ungkapan ketidakpuasan Konsumen yang
disebabkan oleh adanya kerugian dan/atau potensi kerugian fina nsial pada Konsumen yang diduga karena kesalahan atau kelalaian Lembaga Jasa
Keuangan”. 84 Dalam pelayanan pengaduan ini nasabah diberikan perlindungan yang
cukup diperhatikan oleh peraturan OJK ditambah dengan mekanisme yang yang telah diatur lebih lanjut dalam sura edarannya. Terlebih lagi untuk jangka waktu penanganan dan tindak lanjut dari adanya pengaduan tersebut juga telah diatur agar proses tindak lanjutnya tidak lebih dari 20 hari kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 35. Keberadaan pelayanan pengadua n ini memberikan wadah bagi nasabah debitur sebagai tempat perlindungan apabila sewaktu-waktu mendapatkan pelayanan yang tidak sesuai ataupun tindakan dari bank yang berpotensi merugikan nasabah debitur.
8. Mekanisme pengawasan oleh Otoritas Jasa Keuangan (Pasal 47, 48, 49,
50, 51 dan Pasal 52)
Sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Wewenang lembaga pengawas keuangan di bagi menjadi dua bidang besar yaitu, bidang makroprudensial yang menjadi wewenang Bank Indonesia dan mikroprudensial yang menjadi wewenang Otoritas Jasa Keuangan. Bank Indonesia memiliki wewenang yang terfokus pada stabilitas moneter,
84 Lihat nomor 1 pada bagian II Me kanisme pelayanan dan penyelesaian pengaduan 84 Lihat nomor 1 pada bagian II Me kanisme pelayanan dan penyelesaian pengaduan
individual bank atau lembaga keuangan lainnya. 85 Dengan demikian pengawasan terhadap resiko operasional Bank secara
individual memang menjadi wewenang dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Termasuk dalam hal pengaduan terhadap pelayanan lembaga keuangan Ba nk yang berindikasi sengketa, merugikan dan atau tidak sesuai dengan yang seharusnya, konsumen dapat melaporkannya kepada OJK sesuai Pasal 40 Peraturan OJK tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Dimana pengaduan tersebut disampaikan kepada Dewan Komisioner OJK yang membidangi edukasi dan perlindungan konsumen.
Pemberlakuan perlindungan konsumen oleh pelaku usaha jasa keuangan diawasi langsung oleh OJK sesuai Pasal 51 agar terjadi kepatuhan terhadap penerapan ketentuan perlindungan konsumen. Pengawasan yang dilakukan oleh
OJK dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung. 86 Dengan adanya pengawasan tersebut yang dilakukan oleh OJK maka akan ada yang menjadi
guardian terhadap nasabah dari adanya tindakan moral hazard yang nantinya dapat berindikasi sengketa dikarenakan menimbulkan kerugian terhadap pihak
85 R. Dwi Tjahya K. Wardhana. Peran B ank Indonesia dal am Pe mbe ntukan Hukum Bisnis di Indonesia. Bag ian Departe men Huku m divisi penasihat hukum SSK -SP, disa mpaikan
dala m kuliah umu m kunjungan Mahasiswa Business Law Society Summit 2015 di Bank Indonesia Jakarta Pada 14 November 2015.
yang lemah. Lembaga pengawas keberadaannya menjadi sangat penting karena selain sebagai upaya preventif juga sebagai lembaga pengendali agar tidak terjadi tindakan sewenang-wenang. Control yang dilakukan oleh OJK terhadap lembaga keuangan juga memberikan batasan akses terhadap lembaga keuangan untuk berbuat curang kepada konsumennya. Hal ini dapat diketahui dari Pasal 52 yang mana OJK “berwenang untuk meminta data dan informasi dari pelaku usaha jasa keuangan berkaitan dengan pelaksanaan ketentuan perlindungan konsumen.” 87
Dari pembahasan yang diuraikan sebelumnya tampak jelas bahwa dalam dalam peraturan OJK ada beberapa kewajiban dan larangan yang harus dilaksanakan oleh Bank untuk menunjang pelayanannya sebagai lembaga pemberi kredit kepada nasabah debitur, seperti yang diatur dalam beberapa pasal (pasal 4, dst). Dalam rangka memberikan perlindungan yang sesuai terhadap debitur sebagai salah satu pihak yang lemah. Apabila pihak bank tidak melaksanakan kewajiban dan larangan sebagaimana yang diatur oleh Peraturan OJK Nomor 1/POJK.07/2013, maka lembaga pengawas yaitu OJK akan menindaklanjutinya dan juga dapat menjamin dan melakukan kontrol terhadap lembaga bank untuk dapat melaksanakan aturan tentang perlindungan konsumen.
4.1.4. Perlindungan Hukum Nasabah KPR Terhadap Kenaikan Tingkat Suku Bunga yang Tidak Terduga Dalam Perjanjian Kredit Pe milikan Rumah.
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menyatakan bahwa setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Dengan adanya ketentuan hukum ini, maka kuatlah setiap perjanjian yang dibuat itu untuk mengikat para pihaknya, dan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menyatakan bahwa setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Dengan adanya ketentuan hukum ini, maka kuatlah setiap perjanjian yang dibuat itu untuk mengikat para pihaknya, dan
yang diperlukan sudah tercetak secara baku. 88 Dengan adanya standar perjanjian yang telah disiapkan oleh bank
tersebut dalam Perjanjian Kredit maka akan menimbulkan keadaan posisi para pihak yang tidak seimbang dalam isi perjanjiannya. Dalam hal Penjanjian Kredit Pemilikan Rumah serta ketentuan syarat, biaya, dan juga aturan-aturan lain seperti halnya bunga kredit menimbulkan masalah di kemudian hari ketika penetapan suku bunga kredit pada awal kredit memang sudah diketahui oleh debitur. Namun dalam perjalanan kredit tersebut dapat berubah dan penetapannya ditentukan secara sepihak oleh pihak Bank diluar ketentuan yang tercantum dalam klausula perjanjian pada awal perjanjian kredit. Hal ini tentunya menimbulkan kerugian bagi Nasabah Debitur sebagai Konsumen Sektor Jasa Keuangan apabila suku
bunga kredit tersebut dapat berubah semakin naik dalam jangka waktu tertentu. 89 Dari adanya tindakan secara sepihak tersebut menyebabkan tanggungjawab yang
88 Did it Saltriwiguna, Perlindung an Hukum Ter hadap pihak De bitur Akibat Kenaikan Suku Bunga Kre di t Bank (Tinjauan Hukum Perlindungan Konsume n), Legal Officer 88 Did it Saltriwiguna, Perlindung an Hukum Ter hadap pihak De bitur Akibat Kenaikan Suku Bunga Kre di t Bank (Tinjauan Hukum Perlindungan Konsume n), Legal Officer
dapat dilakukan melalui tiga metode yaitu sebagai berikut: 90
1) Metode pengurangan atau penghapusan terhadap kewajiban-kewajiban hukum yang hanya dibebankan kepada salah satu pihak saja.
2) Metode pengurangan atau penghapusan terhadap akibat hukum karena pelaksanaan kewajiban yang tidak benar.
3) Metode menciptakan kewajiban-kewajiban tertentu kepada salah satu pihak dalam kontrak. Dalam Peraturan OJK tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan juga telah menyebutkan dalam Pasal 22 bahwa Pelaku Usaha Sektor Jasa Keuangan yang menggunakan perjanjian baku haruslah disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan. Dimana dalam pembuatan perjanjian baku oleh Pelaku Usaha diberikan batasan-batasan larangan menurut Pasal 22 ayat (3) sebagai berikut:
a) Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang menyatakan pengalihan tanggungjawab atau kewajiban Pelaku Usaha Jasa Keuangan kepada Konsumen;
b) Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang menyatakan bahwa Pelaku Usaha Jasa Keuangan berhak menolak pengembalian uang yang telah dibayar oleh Konsumen atas produk dan /atau layanan yang dibeli;
c) Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang menyatakan pemberian kuasa dari Konsumen kepada Pelaku Usaha Jasa Keuangan, baik secara langsung c) Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang menyatakan pemberian kuasa dari Konsumen kepada Pelaku Usaha Jasa Keuangan, baik secara langsung
d) Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang mengatur tentang kewajiban pembuktian oleh Konsumen, jika Pelaku Usaha Jasa Keuangan menyatakan bahwa hilangnya kegunaan produk dan/atau layanan yang dibeli oleh konsumen, bukan merupakan tanggungjawab Pelaku Usaha Jasa Keuangan;
e) Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang memberi hak kepada Pelaku Usaha Jasa Keuangan untuk mengurangi kegunaan produk dan/atau layanan untuk mengurangi harta kekayaan Konsumen yang menjadi objek perjanjian produk dan layanan;
f) Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang menyatakan bahwa konsumen tunduk pada peraturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau perubahan yang dibuat secara sepihak oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan dalam masa konsumen memanfaatkan produk dan/atau layanan yang dibelinya;
g) Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang menyatakan bahwa Konsumen memberi kuasa kepada Pelaku Usaha Jasa Keuangan untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan atas produk dan/atau
layanan yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. 91 Terdapat tiga kemungkinan klausula eksemsi yang dapat dirumuskan ke
dalam syarat-syarat perjanjian yaitu meliputi: 92
91 Lihat Pasal 22 Peraturan OJK No.1/POJK.07/ 2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan
1) Eksemsi dikarenakan terdapat keadaan memaksa (force majeure);
2) Eksemsi dikarenakan terdapat kesalahan pengusaha yang merugikan pihak kedua dalam perjanjian;
3) Eksemsi dikarenakan terdapat kesalahan pengusaha yang merugikan pihak ketiga. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, klausula eksemsi ini hanya dapat digunakan apabila tidak dilarang oleh peraturan perundang-undangan serta tidak bertentangan dengan keadaan kesusilaan dalam masyarakat. Jika terdapat pelanggaran dan sengketa tentang tanggungjawab yang dibebankan kepada debitur akibat adanya kenaikan tingkat suku bunga kredit yang tidak disampaikan sebelumnya dan dilakukan secara sepihak oleh bank, maka debitur dapat mengajukan permohonan kepada lembaga penyelesaian sengketa sektor jasa keuangan yang telah diatur dalam mekanisme pelayanan dan penyelesaian sengketa pengaduan konsumen untuk kemudian ditindak lanjuti.
Di dalam klausul perjanjian kredit akan selalu terdapat klausul yang mengatur tentang hukum yang berlaku serta metode penyelesaian yang dapat dilakukan apabila di kemudian hari terdapat sengketa ataupun perselisihan yang terjadi. Dimana para pihak akan sepakat menyelesaikannya dengan cara musyawarah terlebih dahulu sebelum menempuh jalur hukum lainnya.
4.2. Perlindungan Hukum Represif Terhadap Nasabah KPR
4.2.1. Perlindungan Hukum Represif berdasarkan KUH Perdata
Dalam skema hukum Indonesia untuk perlindungan yang sifatnya represif, dalam keadaan yang telah menimbulkan kerugian dalam hal ini telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu pada Pasal 1365 KUH
Per yang menyatakan bahwa “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain mewajibkan kepada orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Sehingga dalam skema hukum Perdata Indonesia telah mengatur adanya perlindungan hukum yang
dikarenakan adanya perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum itu untuk dapat dituntut penggantian kerugian sendiri harus memenuhi beberapa
unsurnya yaitu: 93
1) Perbuatan itu harus melawan hukum, perbuatan dikatakan melawan hukum ketika berlawanan dengan hak orang lain, kewajiban hukumnya sendiri, kesusilaan yang baik, keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan hidup masyarakat mengenai orang lain atau benda.
2) Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian, kerugian yang dikarenakan oleh perbuatan melawan hukum dapat berupa kerugian materiil (dapat dinilai dengan uang) maupun immateriil (tidak dapat dinilai dengan uang).
3) Perbuatan itu harus dilakukan dengan kesalahan, suatu kesalahan dapat dilakukan karena kesengajaan maupun karena suatu kelalaian.
4) Perbuatan itu harus ada hubungan kausal (sebab-akibat), hubungan kausal merupakan hubungan sebab-akibat antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian.
Dalam hal pengenaan suku bunga yang terus ditingkatkan oleh Bank terhadap nasabah debitur tanpa persetujuan dari nasabah debitur dan tidak pula tercantum dalam perjanjian kredit pertama kali, dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum. Sebab, perbuatan tersebut menimbulkan kerugian
bagi Nasabah Debitur yang harus membayar tagihan KPR beserta bunga yang lebih tinggi dari yang diperjanjikan. Kerugian yang disebabkan dari kenaikan suku bunga tersebut menyebabkan kerugian materiil bagi nasabah debitur, sebab nasabah harus mengeluarkan biaya tambahan untuk dibayarkan ke Bank penyedia jasa KPR. Perbuatan menaikan suku bunga KPR secara sepihak oleh bank dilakukan dikarenakan banyak alasan, dilakukan karena memanfaatkan keberadaan nasabah debitur yang tunduk terhadap peraturan Bank dan juga tidak memiliki pilihan lain, serta memenuhi target pemasukan Bank untuk biaya operasional Bank (pendapatan) dan juga kewajiban Bank untuk memenuhi bunga yang harus dibayarnya kepada investor yang membeli Efek Beragun Aset-Surat Partisipasi yang menunggu keuntungan dari membeli EBA tersebut. Sehingga bank berupaya untuk memenuhi seluruh kebutuhan pemasukannya dengan perbuatan yang seharusnya tidak dilakukan yaitu perbuatan melawan hukum.
Karena pada dasarnya Kredit Pemilikan Rumah yang dibuat oleh Bank dengan Nasabah debitur berdasarkan perjanjian kredit. Maka, apabila salah satu pihak melakukan penyimpangan atau melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan yang telah diperjanjikan, maka pihak tersebut dapat dikatakan melakukan wanprestasi. Namun apabila dilihat kembali mengenai pengertian dari wanprestasi adalah keadaan dimana seorang debitur (berutang) tidak memenuhi atau melaksanakan prestasi sebagaimana ditetapkan dalam sebuah perjanjian. Sehingga dalam hal ini tentang wanprestasi yang dapat dikenakan wanprestasi hanyalah debitur dalam sebuah perjanjian. Namun, dalam kasus ini yang melakukan pelanggaran adalah Kreditur (pihak Bank) yang menyimpangi sehingga yang Karena pada dasarnya Kredit Pemilikan Rumah yang dibuat oleh Bank dengan Nasabah debitur berdasarkan perjanjian kredit. Maka, apabila salah satu pihak melakukan penyimpangan atau melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan yang telah diperjanjikan, maka pihak tersebut dapat dikatakan melakukan wanprestasi. Namun apabila dilihat kembali mengenai pengertian dari wanprestasi adalah keadaan dimana seorang debitur (berutang) tidak memenuhi atau melaksanakan prestasi sebagaimana ditetapkan dalam sebuah perjanjian. Sehingga dalam hal ini tentang wanprestasi yang dapat dikenakan wanprestasi hanyalah debitur dalam sebuah perjanjian. Namun, dalam kasus ini yang melakukan pelanggaran adalah Kreditur (pihak Bank) yang menyimpangi sehingga yang
Menurut ketentuan Pasal 1246 KUH perdata, ganti kerugian itu memiliki
3 unsur yaitu:
1) Biaya, yaitu segala pengeluaran atau ongkos-ongkos yang nyata-nyata telah dikeluarkan;
2) Rugi, yaitu kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian debitur;
3) Bunga, yaitu keuntungan yang seharusnya diperoleh atau diharapkan oleh kreditur apabila debitur tidak lalai.
4.2.2. Perlindungan Hukum Represif Bagi Nasabah KPR Terhadap Kenaikan Tingkat Suku Bunga yang Tidak Terduga Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Tentang Perlindungan Konsume n Sektor Jasa Keuangan.
Perlindungan hukum represif ini memiliki tujuan untuk menyelesaikan dan menangani suatu sengketa yang telah terjadi. Dengan demikian suatu peraturan perundang-undangan tidak hanya mengatur tentang keberadaan perlindungan yang gunanya hanya untuk mencegah sebelum hal yang tidak diinginkan itu terjadi, tetapi juga perlu untuk mengatur adanya perlindungan yang sifatnya mengobati. Sehingga apabila terjadi sesuatu hal yang dianggap melanggar hak-hak maka akan menemukan suatu solusi dan upaya- upaya yang dapat ditempuh untuk menanggulanginya. Dalam sub bab sebelumnya telah dijelaskan adanya perlindungan yang sifatnya mencegah bagi Nasabah Debitur yang tertuang dalam Peraturan OJK No.1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Dan kali ini dapat di inventarisasi bentuk perlindungan secara represif dalam Peraturan OJK No.1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
Tabel 10 Bentuk Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan Secara Represif
No
Bentuk Perlindungan
Pasal
Pelaku Usaha Jasa Keuangan melaporkan secara berkala
1 Pasal 34 pengaduan konsumen dan tindak lanjut pelayanannya.
Tindak lanjut dan penyelesaian pengaduan paling lambat
2 Pasal 35
20 hari kerja.
3 Pengalihan wewenang penyelesaian Pengaduan konsumen Pasal 37 Pemeriksaan, analisis, permohonan maaf, dan penawaran
4 Pasal 38 ganti rugi.
5 Lembaga alternatif penyelesaian sengketa. Pasal 39
6 Pengaduan Konsumen kepada Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 40
7 Pemberian Fasilitas Pengaduan Konsumen oleh OJK. Pasal 41
8 Upaya OJK mempertemukan para pihak yang bersengketa. Pasal 42
9 Penunjukan fasilitator oleh OJK. Pasal 43 Perjanjian fasilitasi oleh OJK yang ditandatangani para
10 Pasal 44 pihak.
11 Pelaksanaan proses fasilitasi dan jangka waktu. Pasal 45
12 Pembuatan Akta Kesepakatan. Pasal 46
13 Sanksi administratif bagi Pelanggaran Peraturan OJK. Pasal 53 Sumber: bahan hukum primer, diolah, 2015
Selain perbuatan melawan hukum tersebut, konsep pertanggung jawaban atas suatu kerugian selanjutnya juga diatur dalam Pasal 1366 KUH perdata yang mengatakan bahwa “setiap orang bertanggungjawab tidak saja hanya untuk
kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati- hatinya”. Konsep pengaturan tanggungjawab kerugian dari Pasal 1366 KUH Perdata ini dapat pula di interpretasikan sama untuk hal yang lebih khusus dalam Pasal 29 dan Pasal 34 ayat (1) Peraturan OJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, dimana menyatakan bahwa “ Pelaku Usaha Jasa Keuangan kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati- hatinya”. Konsep pengaturan tanggungjawab kerugian dari Pasal 1366 KUH Perdata ini dapat pula di interpretasikan sama untuk hal yang lebih khusus dalam Pasal 29 dan Pasal 34 ayat (1) Peraturan OJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, dimana menyatakan bahwa “ Pelaku Usaha Jasa Keuangan
bahwa OJK melakukan pengawasan terhadap kegiatan Usaha Sektor Jasa Keuangan. Sehingga apabila dalam pelaksanaan usahanya menimbulkan suatu kerugian bagi konsumen, maka hal tersebut juga menjadi tanggungjawab dari OJK karena bertindak dibawah pengawasannya. Apabila OJK telah melakukan pengawasan dengan baik, maka kerugian karena adanya kesalahan dari Pelaku Usaha tidak akan terjadi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa OJK telah lalai, sehingga dalam Pasal tersebut konsumen juga dapat mengadukannya kepada OJK dan OJK berkewajiban untuk ikut menyelesaikan pengaduan yang terjadi.
Namun, apabila dipahami lebih lanjut mengenai bunyi Pasal 34 ayat (1) Peraturan OJK tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, menyatakan bahwa Pelaku Jasa Keuangan wajib melaporkan adanya pengaduan konsumen dan juga upaya tindak lanjutnya. Logisnya, pelaku usaha tidaklah mungkin memiliki kepentingan untuk melaporkan adanya kesalahan yang dilakukannya kepada Konsumen, karena hal tersebut nantinya berhubungan mengenai nama baik Pelaku Usaha Sektor Jasa Keuangan (Bank) serta keberadaan sanksi yang akan dipikulnya. Sehingga keberadaan pengawasan dari lembaga Pengawas haruslah bertindak lebih aktif untuk melakukan pengawasan, dalam hal ini adalah Kepala Eksekutif.
Keberadaan Layanan Pengaduan Konsumen yang disediakan oleh Bank dalam perlindungan Nasabah secara represif menjadi sangat penting. Sebab, upaya Keberadaan Layanan Pengaduan Konsumen yang disediakan oleh Bank dalam perlindungan Nasabah secara represif menjadi sangat penting. Sebab, upaya
Setelah dilakukannya pemeriksaan, maka kemudian dilakukan analisis tentang kepastian dan kebenaran dari pengaduan Nasabah. Jika memang pengaduan nasabah terbukti, dan jelas menimbulkan kerugian bagi nasabah, maka Bank harus menyampaikan maaf serta menawarkan ganti rugi (redness/remedy) atau pilihan perbaikan layanan produk yang diberikan.
4.2.3. Analisis Bentuk Perlindungan Hukum Nasabah KPR Secara Represif terhadap Kenaikan Tingkat Suku Bunga yang Tidak Terduga dalam Peraturan OJK tentang Perlindungan Kons umen.
Apabila disimpulkan lebih lanjut akan ditemukan beberapa bentuk perlindungan represif terhadap nasabah debitur yang tertuang di dalam Peraturan OJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan antara lain sebagai berikut:
1. Pelaporan dan tindak lanjut pengaduan konsumen secara berkala (Pasal
Adanya kewajiban bagi pelaku usaha jasa keuangan untuk melakukan pelaporan secara berkala terhadap adanya pengaduan konsumen ke pada OJK utamanya kepada bagian kepala eksekutif yang melakukan pengawasan atas kegiatan pelaku usaha tersebut. Hal ini sangat penting untuk dilakukan agar pengaduan yang telah dilakukan oleh konsumen, dalam hal ini adalah nasabah Adanya kewajiban bagi pelaku usaha jasa keuangan untuk melakukan pelaporan secara berkala terhadap adanya pengaduan konsumen ke pada OJK utamanya kepada bagian kepala eksekutif yang melakukan pengawasan atas kegiatan pelaku usaha tersebut. Hal ini sangat penting untuk dilakukan agar pengaduan yang telah dilakukan oleh konsumen, dalam hal ini adalah nasabah
Untuk mekanisme dalam tindak lanjut pengaduan konsumen ini sendiri telah diatur berdasarkan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 2/SEOJK.07/2014 tentang Pelayanan dan Penyelesaian Pengaduan Konsumen Pada Pelaku Usaha Jasa Keuangan. Dalam Pasal 35 Peraturan OJK tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan telah memberikan batas waktu kepada pelaku usaha jasa keuangan (bank) untuk melakukan tindak lanjut terhadap adanya pengaduan dalam jangka waktu 20 hari kerja setelah tanggal
penerimaan pengaduan. 94 Hal ini selaras seperti mekanisme pelayanan dan penyelesaian pengaduan konsumen yang tercantum dalam Surat Edaran OJK
(SEOJK). Dimana pihak bank wajib melayani dan menyelesaikan adanya pengaduan dari nasabah sebelum pengaduan tersebut disampaikan kepada pihak lain. Dan bank wajib untuk segera menindaklanjuti dan menyelesaikan pengaduan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja setelah tanggal penerima pengaduan. Dimana dalam keadaan tertentu dalam melakukan perpanjangan jangka waktu
sampai paling lama 20 (dua puluh) hari kerja berikutnya. 95 Dimana dalam melaksanakan prosedur pelayanan dan penyelesaian
pengaduan itu paling tidak harus mencakup hal- hal sebagai berikut: 96
a) Penerapan prinsip aksesibilitas, independensi, keadilan, efisiensi, dan efektifitas;
94 Lihat Pasal 35 Peraturan Otoro itas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/ 2013 tentang Perlindungan Konsumen Se ktor Jasa Keuangan.
95 Lihat juga Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 2/S EOJK.07/2014 tentang 95 Lihat juga Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 2/S EOJK.07/2014 tentang
c) Bank wajib menindaklanjuti dan menyelesaikan pengaduan paling lambat
20 hari kerja;
d) Dalam kondisi tertentu, jangka waktu dapat diperpanjang hingga 20 hari kerja berikutnya;
e) Tatacara komunikasi dengan nasabah harus mencakup prosedur pelayanan dan penyelesaian pengaduan yang mudah dimengerti, dan penawaran penyelesaian jika hasil evaluasi menyatakan bahwa sebab kesalahan berasal dari bank;
f) Merahasiakan informasi mengenai konsumen yang melakukan pengaduan. Kecuali kepada OJK, dalam rangka penyelesaian pengaduan, diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan, dan atas persetujuan dari konsumen itu sendiri;
g) Bank wajib memberikan pelayanan dan penyelesaian pengaduan secara objektif kepada setiap pengaduan, memberikan kesempatan yang sama kepada nasabah untuk menjelaskan materi pengaduan, dan juga kepada pihak lain yang memiliki kepentingan yang sama;
h) Bank dilarang memungut biaya atas pelayanan dan penyelesaian pengaduan tersebut;
i) Bank harus membuat daftar administrasi pengaduan paling tidak berisi identitas nasabah, materi pengaduan, dan tindakan yang telah dilakukan untuk menyelesaikan pengaduan; i) Bank harus membuat daftar administrasi pengaduan paling tidak berisi identitas nasabah, materi pengaduan, dan tindakan yang telah dilakukan untuk menyelesaikan pengaduan;
l) Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta akses tentang status perkembangan penanganan pengaduan yang disampaikan oleh nasabah kepada bank.
2. Permohonan maaf dan penawaran ganti rugi (Pasal 38)
Sebagai suatu bentuk perlindungan yang sifatnya represif (mengobati), adanya suatu sanksi dengan memberlakukan bentuk ganti kerugian baik yang sifatnya moral maupun materiil itu merupakan suatu tindakan yang cukup efektif. Mengingat dalam hal sengketa atau pengaduan yang disampaikan oleh konsumen (nasabah debitur) dilakukan karena timbul adanya kerugian yang kebanyakan dalam jumlah nominal tertentu. Pasal 38 Peraturan OJK terkait Perlindungan Konsumen sektor Jasa Keuangan telah menegaskan apabila pengaduan yang disampaikan oleh nasabah debitur terkait adanya keluhan yang menimbulkan kerugian adalah benar, maka bank harus menyampaikan maaf dan juga menawarkan ganti kerugian (redress/remedy) atau berupa perbaikan pelayanan.
Adanya bentuk ganti kerugian ini juga semakin diperjelas dengan ketentuan yang terdapat dalam Surat Edaran OJK yang mana menyatakan bahwa
“permintaan maaf merupakan perbuatan kedua belah pihak antara bank dan juga nasabah maka tata cara pemberian pernyataa n maaf dibuat berdasarkan
kesepakatan. Dalam hal tidak terdapat kesepakatan antara bank dan juga nasabah kesepakatan. Dalam hal tidak terdapat kesepakatan antara bank dan juga nasabah
tidak dapat serta merta untuk dilakukan, tetapi haruslah memenuhi beberapa persyaratan yaitu:
a) Adanya pengaduan yang mengadung tuntutan ganti rugi dalam aspek finansial;
b) Pengaduan yang disampaikan oleh nasabah adalah benar setelah dilakukan penelitian oleh bank;
c) Adanya ketidak sesuaian antara perjanjian dengan produk atau layanan yang diterima;
d) Adanya kerugian material;
e) Konsumen telah memenuhi kewajibannya; Prosedur pengajuan ganti rugi harus dilakukan oleh debitur secara tertulis dengan menjelaskan kronologis yang terjadi terhadap perjanjian dan juga kesesuaian produk/layanan yang diberikan. Jangka waktu pengajuan permohonan paling lama 30 hari setelah diketahui adanya ketidak sesuaian tersebut. Dimana dalam penyampaian permohonanannya dapat diwakilkan dengan surat kuasa. Dan jumlah ganti kerugian dapat diberikan hanya sebesar nilai kerugian yang
ditimbulkan saja. 98
3. Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (Pasal 39)
Berdasarkan Pasal 39 Peraturan OJK terkait Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, menyatakan bahwa apabila suatu penyelesaian pengaduan
97 Ibid, bagian III. 98 Lihat me kanis me pe mberian ganti rugi menurut Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan 97 Ibid, bagian III. 98 Lihat me kanis me pe mberian ganti rugi menurut Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan
yang tekah ditetapkan berdasarkan Peraturan OJK. 99 Otoritas Jasa Keuangan secara khusus juga telah mengeluarkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan. Dalam peraturan OJK ini telah dijelaskan bahwa pengaduan yang terjadi haruslah diselesaikan terlebih dahulu oleh lembaga keuangan. Apabila memang tidak terjadi kesepakatan dan tidak ditemukan solusinya maka dapat dilakukan penyelesaian sengketa menggunakan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa apabila dilakukan di luar
Pengadilan. 100 Bentuk penyelesaian sengketa ini dilakukan dengan menggunakan
metode mediasi, ajudikasi, dan arbitrase. Dimana lembaga alternatif penyelesaian sengketa ini haruslah pula menerapkan prinsip aksesibilitas, independensi, keadilan, efisiensi dan efektifitas. Terdapat beberapa Lembaga Alernatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan yang telah dirilis oleh OJK berdasarkan Keputusan Nomor KEP-01/D.07/2016 tanggal 21 Januari 2016. Dimana dalam kasus ini yang dapat digunakan adalah Lembaga Alterntif
99 Lihat ketentuan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan dan lihat juga bagiian IV
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 2/ SEOJK.07/2014 tentang Pelayanan dan Penyelesaian Pengaduan Konsumen Pada Pela ku Usaha Jasa Keuangan .
Penyelesaian Sengketa perbankan Indonesia (LAPSPI) sebagai LAPS dalam sektor Perbankan. 101
4. Fasilitas Penyelesaian Pengaduan Oleh Otoritas Jasa Keuangan (Pasal 41 – Pasal 46)
Pengaduan dapat pula diajukan oleh konsumen kepada Otoritas Jasa Keuangan secara tertulis untuk kemudian OJK harus menindaklanjutinya dengan
memberikan fasilitasi. 102 Fasilitasi ini adalah upaya yang dapat dilakukan oleh OJK untuk mempertemukan antara pihak Bank dan juga Nasabah untuk saling
mengkaji ulang terhadap permasalahan yang terjadi agar dapat memperoleh suatu kesepakatan. 103
Dari hasil fasilitasi tersebut para pihak akan membuat suatu kesepakatan untuk memilih penyelesaian pengaduan yang difasilitasi oleh Otoritas Jasa Keuangan yang ditandatangani oleh keduanya. Dimana isinya juga berisi persetujuan untuk patuh dan tunduk terhadap segala peraturan fasilitas yang ditetapkan oleh OJK. Kesepakatan dari hasil fasilitasi tersebut nantinya akan dituangkan dalam Akta Kesepakatan yang ditandatangani oleh pihak bank dan
101 OJK telah merilis dan pemperbarui Daftar Le mbaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan berdasarkan Keputusan No mor KEP -01/D.07/2016 tanggal 21 Januari 2016.
Untuk sektor Perbankan LAPS yang digunakan adalah Le mbaga Alter natif Penyelesesaian
per bankan Indonesia (LAPSPI) yang berkantor di Gri ya Per banas Lt. 1 Jalan Per banas, Karet Kunian Stiabudi , Jakar ta.
Otoritas Jasa Keuangan juga telah mengeluarkan Press Release No. SP
97/ DKNS/ OJK/12/2015 “OJK Formulates Standards For Financial Consumer Complain
Management”. Dimana dalam seminarnya disampaikan bahwa “there are five important aspects required for complain management standards in financial services institution, namely complain identification, complain documentation/database, internal reporting on complain, handling and fixing, and another mater which is not less important is that financial services institutions and perform root and cause analysis”. Jakarta, December 3, 2015. For more information: Anto Prabowo Head of Consumer Protection Departe ment, Financia l Se rvice Authority. Ema il: [email protected]. Phone: (021)1500655.
juga nasabah. Jika masih saja tidak ditemukan suatu kesepakatan maka akan dituangkan dalam berita acara fasilitas yang dibuat oleh OJK. 104
5. Sanksi Administratif (Pasal 53)
Penyelesaian sengketa yang dapat diupayakan oleh Nasabah Debitur dapat melalui upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan maupun melalui pengadilan. Untuk penyelesaian sengketa yang dilakukan di luar pengadilan dapat dilakukan melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa. Saat ini khusus untuk sektor jasa keuangan telah memiliki aturan khusus mengenai ini yaitu melalui Peraturan OJK Nomor 1/POJK.07/2014 tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan. Peraturan ini dibuat dalam rangka perlindungan konsumen mencakup edukasi, pelayanan informasi, dan pengaduan hingga
fasilitas Penyelesaian Pengaduan. 105 Sebelumnya, dalam peraturan OJK tentang Perlindungan Konsumen
Sektor Jasa K euangan pada Pasal 40 menyebutkan bahwa “konsumen dapat menyampaikan pengaduan yang berindikasi sengketa antara Pelaku Usaha Jasa
Keuangan dengan Konsumen kepada Otoritas Jasa Keuangan”. Dalam hal ini, Otoritas Jasa Keuangan berkewajiban untuk melindungi dan menaungi segala
kepentingan masyarakat, sesuai dengan asas-asas tugas dan kewenangan Otoritas Jasa Keuangan yang meliputi: 106
104 Lihat Pasal 44 dan Pasal 46 Pe raturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/ 2013 tentang Perlindungan Konsusmen Sektor Jasa Keuangan.
Lihat konsiderans Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/ 2014 tentang Le mbaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Se ktor Jasa Keuangan.
7) Asas kepastian hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan OJK.
8) Asas kepentingan umum, yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.
9) Asas keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan OJK dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi dan golongan, serta rahasia negara, termasuk rahasia sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
10) Asas profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian dalam pelaksanaan tugas dan wewenang OJK, dengan tetap berlandaskan pada kode etik dan ketentuan peraturan perundang- undangan.
11) Asas integritas, yaitu asas yang berpegang teguh pada nilai-nilai moral dalam setiap tindakan dan keputusan yang diambil dalam penyelenggaraan OJK.
12) Asas akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari setiap kegiatan penyelenggaraan OJK harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.
Selain itu, dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya OJK juga memperhatikan asas-asas yang termuat dalam penjelasan umum Undang-Undang
OJK yang meliputi asas-asas sebagai berikut: 107
1) Asas independensi, yaitu independen dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang OJK dengan tetap memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2) Asas kepastian hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang- undangan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan.
3) Asas kepentingan umum, yaitu asas yang membela dan melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat serta memajukan kesejahteraan umum.
4) Asas keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi dan golongan, serta rahasia negara, termasuk rahasia sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.
5) Asas profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap berlandaskan pada kode etik dan ketentuan peraturan perundang- undangan.
6) Asas integritas, yaitu asas yang berpegang teguh pada nilai-nilai moral dalam setiap tindakan dan keputusan yang diambil dalam penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan.
7) Asas akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari setiap kegiatan penyele nggaraan Otoritas Jasa Keuangan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Menurut penulis, terdapat sedikit pertentangan mengenai Pasal 41 huruf a
Peraturan OJK tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan dengan adanya asas Keterbukaan yang menyatakan tidak adanya sikap diskriminatif oleh
OJK. Dimana dalam Pasal tersebut menjelaskan bahwa “pemberian fasilitas penyelenggaraan pengaduan Konsumen oleh Otoritas Jasa Keuangan dilakukan terhadap pengaduan yang berindikasi sengketa di sektor jasa k euangan..”. dimana dalam Pasal 40 huruf a mempertegas bahwa fasilitas pengaduan tersebut hanya diperuntukkan bagi konsumen yang mengalami kerugian finansial yang
ditimbulkan oleh: 108
a. Pelaku Usaha Jasa Keuangan di bidang Perbankan, Pasar Modal, Dana Pensiun, Asuransi Jiwa, Pembiayaan, Perusahaan Gadai, atau penjaminan Paling banyak sebesar Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
b. Pelaku Usaha Jasa Keuangan di bidang asuransi umum paling banyak sebesar Rp 750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)
Ketentuan pada pasal ini membatasi pengaduan konsumen yang memiliki nilai kerugian yang bernilai diatas ketentuan tersebut berarti tidak dapat mengajukan upaya fasilitas penyelesaian pengaduan konsumen kepada OJK. Jelas hal ini merupakan suatu bentuk diskriminasi, meskipun dalam bahasan ini untuk kerugian yang dialami oleh nasabah debitur KPR memiliki nilai kerugian yang tidak mungkin mencapai nominal pembatas pada ketentuan Pasal 41 huruf a, Ketentuan pada pasal ini membatasi pengaduan konsumen yang memiliki nilai kerugian yang bernilai diatas ketentuan tersebut berarti tidak dapat mengajukan upaya fasilitas penyelesaian pengaduan konsumen kepada OJK. Jelas hal ini merupakan suatu bentuk diskriminasi, meskipun dalam bahasan ini untuk kerugian yang dialami oleh nasabah debitur KPR memiliki nilai kerugian yang tidak mungkin mencapai nominal pembatas pada ketentuan Pasal 41 huruf a,
Dalam proses fasilitasi oleh OJK ini berupaya untuk mempertemukan antara konsumen dan juga Pelaku Usaha Jasa Keuangan untuk mencapai hasil kesepakatan mengenai upaya penyelesaian sengketa antara kedua belah pihak. Pada akhirnya ketika nasabah debitur dan juga pihak Bank telah melakukan pertemuan dari fasilitasi yang disediakan oleh OJK, hasil dari kesepakatan tersebut haruslah dituangkan dalam Akta Kesepakatan yang ditandatangani oleh Nasabah Debitur dan juga Bank, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 46 Peraturan OJK tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Namun. Apabila dalam proses fasilitasi tersebut tidak ditemukan adanya kesepakatan maka ketidaksepakatan tersebut haruslah dituangkan dalam suatu berita acara hasil
fasilitasi oleh OJK yang juga ditandatangani oleh kedua belah pihak. 109 Bentuk perlindungan lain yang dilakukan sebagai upaya represif dari
adanya pelanggaran peraturan yang tentunya menimbulkan kerugian bagi pihak lain adalah berupa sanksi. Ketentuan sanksi dalam Peraturan OJK tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan diatur dalam Pasal 53. Dimana adanya pelanggaran peraturan yang tentunya menimbulkan kerugian bagi pihak lain adalah berupa sanksi. Ketentuan sanksi dalam Peraturan OJK tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan diatur dalam Pasal 53. Dimana
tersebut berupa: 110
a. Peringatan tertulis;
b. Denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu;
c. Pembatasan kegiatan usaha;
d. Pembekuan kegiatan usaha;
e. Pencabutan izin kegiatan usaha. Jenis sanksi yang dikenakan tergantung dari jenis pelanggaran yang dilakukan, dan sebagai bentuk keterbukaan kepada masyarakat, OJK mengumumkan pengenaan sanksi administratif kepada masyarakat.
Terdapat beberapa Pasal yang mengatur tentang bentuk perlindungan hukum secara represif terhadap nasabah debitur ditinjau dari Peraturan OJK terkait Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Perlindungan tersebut tidak hanya dituangkan dalam peraturan OJK terkait perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan saja, namun sengketa yang terjadi dapat dilakukan melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan.
4.2.4. Perlindungan Represif Bagi Nasabah KPR terhadap Kenaikan Tingkat Suku Bunga yang Tidak Te rduga dalam Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah.
Suatu perjanjian di buat berdasarkan kesepakatan oleh para pihak sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata. Selain itu berdasarkan asas Pacta sunt servanda di mana perjanjian tersebut berlaku sebagai undang-undang bagi Suatu perjanjian di buat berdasarkan kesepakatan oleh para pihak sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata. Selain itu berdasarkan asas Pacta sunt servanda di mana perjanjian tersebut berlaku sebagai undang-undang bagi
Tak jarang di dalam suatu perjanjian kredit tidak menyebutkan klausul tentang tata cara penyelesaian sengketa di dalamnya. Itu berarti apabila terjadi perselisihan maka ketentuan penyelesaian sengketa yang terjadi akan mengikuti ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang- undangan yang ada. Contoh perjanjian terlampir juga tidak memberikan klausul yang mengatur tentang tata cara penyelesaian sengketa. Namun hanya menyebutkan tentang domisili hukumnya. Dengan telah dicantumkannya domisili hukum tersebut, maka di kemudian hari apabila terjadi perselisihan, misalnya debitur dirugikan oleh Bank akibat suku bunga yang tidak terduga maka debitur dapat pula mengajukan upaya hukum. Namun kebanyakan di dalam perjanjian kredit apabila dicermati secara seksama, isi dari perjanjian kredit tampak tidak seimbang. Tampak adanya kedudukan dari Bank sebagai pihak yang memberi kredit memiliki posisi yang lebih dominan dan memiliki kuasa yang lebih besar tercantum di dalam perjanjian. Dimana debitur wajib mematuhi dan menyetujui seluruh ketentuan yang ditetapkan oleh bank. Dan kebanyakan hanya mengatur tentang kejadian kelalaian yang hanya dilakukan oleh debitur. Hal ini tentu saja merupakan suatu hal yang mendiskreditkan keberadaan debitur seolah-olah selalu debitur yang memiliki kemungkinan untuk tidak memenuhi perjanjian (wanprestasi). Padahal Tak jarang di dalam suatu perjanjian kredit tidak menyebutkan klausul tentang tata cara penyelesaian sengketa di dalamnya. Itu berarti apabila terjadi perselisihan maka ketentuan penyelesaian sengketa yang terjadi akan mengikuti ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang- undangan yang ada. Contoh perjanjian terlampir juga tidak memberikan klausul yang mengatur tentang tata cara penyelesaian sengketa. Namun hanya menyebutkan tentang domisili hukumnya. Dengan telah dicantumkannya domisili hukum tersebut, maka di kemudian hari apabila terjadi perselisihan, misalnya debitur dirugikan oleh Bank akibat suku bunga yang tidak terduga maka debitur dapat pula mengajukan upaya hukum. Namun kebanyakan di dalam perjanjian kredit apabila dicermati secara seksama, isi dari perjanjian kredit tampak tidak seimbang. Tampak adanya kedudukan dari Bank sebagai pihak yang memberi kredit memiliki posisi yang lebih dominan dan memiliki kuasa yang lebih besar tercantum di dalam perjanjian. Dimana debitur wajib mematuhi dan menyetujui seluruh ketentuan yang ditetapkan oleh bank. Dan kebanyakan hanya mengatur tentang kejadian kelalaian yang hanya dilakukan oleh debitur. Hal ini tentu saja merupakan suatu hal yang mendiskreditkan keberadaan debitur seolah-olah selalu debitur yang memiliki kemungkinan untuk tidak memenuhi perjanjian (wanprestasi). Padahal
Penentuan tingkat suku bunga kredit yang sewaktu-waktu dapat berubah meskipun dalam perjanjian kredit telah ditentukan suku bunga bersifat tetap, namun bank tetap memiliki hak untuk melakukan peninjauan/perubahan terhadap
suku bunga kredit. 111 Dengan adanya wewenang yang besar dari Bank untuk menentukan tingkat suku bunga kredit tersebut, tentu saja akan sangat rentan
untuk terjadinya keadaan yang menimbulkan kerugian bagi nasabah debitur terhadap biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk membayar kredit beserta bunga kepada Bank. Di dalam perjanjian kredit sangat jarang dicantumkannya klausul tentang perlindungan hukum ataupun upaya hukum yang dapat ditempuh oleh Nasabah Debitur apabila terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh Bank.
Dengan demikian, perjanjian kredit tidak cukup melindungi nasabah Debitur secara represif terhadap kenaikan tingkat suku bunga yang tidak terduga yang dilakukan oleh Bank. Sehingga memang perlu untuk diperhatikan tentang perlindungan hukum terhadap Nasabah Debitur di luar perjanjian, yaitu dari peraturan perundang-undangan yang ada dan berlaku.
B. Perlindungan Hukum Bagi Investor Pembiayaan Sekunde r Perumahan Terhadap Resiko Kredit atas Kumpulan Piutang Portofolio EBA.
4.3. Perlindungan Hukum Preventif
Investor adalah sosok yang sangat penting keberadaannya dalam sistem Pembiayaan Sekunder Perumahan. Dalam hal ini penulis katakan bahwa Pembiayaan Sekunder Perumahan merupakan suatu sistem dikarenakan dalam Investor adalah sosok yang sangat penting keberadaannya dalam sistem Pembiayaan Sekunder Perumahan. Dalam hal ini penulis katakan bahwa Pembiayaan Sekunder Perumahan merupakan suatu sistem dikarenakan dalam
Sekuritisasi”. 112 Sedangkan investor adalah seseorang atau badan yang menanamkan sejumlah uangnya dengan adanya tanda bukti berupa surat berharga
(efek). Di dalam Perpres tentang Pembiayaan Sekunder Perumahan dikatakan bahwa “pemodal adalah orang atau badan pemegang Efek Beragun Aset”. 113
Sekuritisasi aset selalu dimulai dengan proses penjualan piutang oleh pemilik piutang asal yang disebut dengan originator kepada suatu lembaga yang akan melakukan penawaran umum efek (issuer) dalam bentuk Efek Beragun Aset (Asset Backed Securities). Dalam proses penjualan piutang ini, investor sama sekali tidak memiliki informasi apapun yang dapat dipergunakan olehnya untuk memastikan bahwa piutang-piutang yang dialihkan tersebut melalui proses jual beli pasti akan dibayar oleh debitor piutang tersebut pada waktunya, kecuali informasi yang diperoleh dari memo atau prospektus yang diterbitkan oleh issuer, yang sepenuhnya bersumber dari pemilik piutang asal (originator) tersebut. untuk melindungi kepentingan Investor terhadap kemungkinan penjualan piutang yang tebang pilih, dimana piutang yang bagus tetap dipertahankan dalam portofolio originator dan piutang-piutang yang kurang bagus dijual kepada investor, maka
Lihat Pasal 1 angka 11 Peraturan Presiden No mor 19 Tahun 2005 tentang Pemb iayaan Sekunder Peru mahan.
Dengan adanya lembaga pemeringkat kredit ini lah yang nantinya dapat melakukan penilaian terhadap keadaan piutang yang disampaikan di dalam prospektus. Sehingga investor dapat melakukan penilaian sendiri terhadap keadaan Efek Beragun Aset yang akan dibelinya dengan mempertimbangkan segala resiko yang ada. Resiko dalam setiap pasar modal akan selalu ada sesuai dengan prinsip high risk high return low risk low return. Dengan mempertimbangkan prinsip demikian Efek Beragun Aset dimana aset-asetnya merupakan piutang yang disekuritisasikan masih banyak diminati oleh investor karena sektor properti dianggap investasi yang sifatnya tetap dan juga menguntungkan. Di lain sisi memang terdapat beberapa hal yang keberadaannya rentan untuk merugikan investor yang menanamkan sejumlah modalnya untuk membeli Efek Beragun Aset tersebut. Karena Investor dapat dikatakan sebagai konsumen, sehingga ia mendapatkan pelayanan produk maupun jasa yang disediakan oleh lembaga keuangan, maka keadaan moral hazard yang dilakukan oleh lembaga keuangan terhadap investor haruslah diantisipasi.
Resiko dalam pasar modal akan selalu dihadapi oleh setiap investor, namun terdapat beberapa hal yang dapat diupayakan untuk meminimalisir adanya resiko tersebut. dengan melakukan manajemen resiko diharapkan mampu untuk menekan keberadaan resiko yang dianggap terlalu tinggi menjadi lebih ringan. Manajemen resiko adalah proses pengukuran atau penilaian resiko serta pengembangan strategi pengelolaannya. Adapun upaya yang dapat ditempuh
Gunawan Widja ja, Sekuritisasi Aset dal am kegiatan Pasar Modal dan Dampak Gunawan Widja ja, Sekuritisasi Aset dal am kegiatan Pasar Modal dan Dampak
Prinsip Kehati-Hatian dalam Aktivitas Sekuritisasi Aset Bagi Bank Umum. 115 Manajemen resiko menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor
5/8/PBI/2003 merupakan “serangkaian prosedur dan metodologi yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau dan mengendalikan resiko yang
timbul dari kegiatan usaha bank. Kemudian dalam Pasal 2 juga menyebutkan bahwa penerapan dari manajemen resiko itu mencakup pengawasan aktif dari Dewan Komisaris dan Direksi; kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit, kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian resiko serta sistem informasi manajemen resiko dan sistem pengendalian intern yang menyeluruh; dan sistem pengendalian intern yang menyeluruh. Resiko dalam pengelolaan bank umum sebagaimana dimaksud dalam ketentuan di atas, mencakup resiko kredit, resiko pasar, resiko liquiditas, resiko ope rasional, resiko hukum, resiko reputasi, resiko strategic, dan resiko kepatuhan. Dalam kaitannya dengan penyaluran kredit pembiayaan sekunder perumahan yang dapat
115 Johannes Ibrahim & Hasannain Haykal, Fenomena Subpri me Mortg age dan 115 Johannes Ibrahim & Hasannain Haykal, Fenomena Subpri me Mortg age dan
Manajemen resiko yang kedua adalah dengan menerapkan Good Corporate Governance. Menurut Cadbury Committee dalam Corporate
Governance Code 117 mendefinisikan corporate governance sebagai berikut:
“Corporate Governance adalah suatu sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan dengan tujuan agar mencapai keseimbangan antara kewenangan yang diperlukan oleh perusahaan untuk menjamin kelangsungan eksistensinya dan pertanggungjawaban kepada stakeholders. Hal ini berkaitan dengan peraturan kewenangan pemilik, direktur, manajer, pemegang saham, dan sebagainya.”
Dari definisi di atas, dapat kita lihat corporate governance sebenarnya adalah sekumpulan dari aturan yang mendorong atau mengharuskan adanya pengelolaan atas organisasi perusahaan yang baik. Organization for Economic Cooperation and Development , merumuskan paling sedikit empat unsur penting
dalam prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan (corporate governance), yaitu: 118
a) Fairness (keadilan), menjamin perlindungan hak-hak para pemegang saham minoritas dan para pemegang saham asing, serta menjamin terlaksananya komitmen dengan para investor.
b) Transparency (transparansi), mewajibkan adanya suatu informasi yang terbuka, tepat waktu serta jelas dan dapat diperbandingkan yang menyangkut keadaan keuangan, pengelolaan perusahaan, dan kepemilikan perusahaan.
c) Accountability (akuntabilitas), menjelaskan peran dan tanggungjawab, serta mendukung usaha untuk menjamin penyeimbangan kepentingan
Ibid, hlm. 10.
Indra Surya & Ivan Yustiavandana, 2006 dala m Isa Wahyudi & Busyra Azheri, Cor por ate Social Res ponsibility (Prinsip, Pengatur an, & Imple me ntasi), Perpustakaan
d) Responsibility (pertanggungjawaban), memastikan dipatuhinya peraturan serta ketentuan yang berlaku sebagai cerminan dipatuhinya nilai- nilai sosial.
e) Independency (kemandirian), dimana perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh atau tekanan dari pihak manapun, terutama pemegang saham mayoritas, yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip
korporasi yang sehat. 119 Manajemen resiko yang ketiga adalah dengan menerapkan prinsip kehati-
hatian. Untuk mewujudkan sistem perbankan yang sehat dan efisien. Bank Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia nomor 7/4/PBI/2005 tentang Prinsip Kehati-Hatian dalam Aktivitas Sekuritisasi Aset Bagi Bank Umum. Dengan adanya sekuritisasi aset yang mengalihkan aset keuangan dari Kreditur asal (originator) kepada pihak lain merupakan suatu hal yang sangat potensial untuk dilakukan oleh bank. Sehingga bank haruslah mampu untuk mengatasi segala adanya resiko kredit dengan upaya yang lebih baik dimana hal itu nantinya akan berimplikasi terhadap perhitungan kewajiban penyediaan modal minimum yang dapat meningkatkan liquiditas Bank sebagai lembaga intermediary. Sehingga untuk mencapai manfaat sekuritisasi tersebut, maka bank
perlu untuk menerapkan prinsip kehati-hatian dalam aktivitas sekuritisasi Aset. 120
119 Johannes Ibrahim & Hasannain Hayka l, Op-cit, h lm. 10.
Dengan adanya ketiga manajemen resiko di atas diharapkan mampu untuk memberikan antisipasi dan juga upaya-upaya untuk meringankan maupun menghindari adanya resiko kredit dalam perbankan. Dimana keberadaan resiko kredit yang dihadapi oleh perbankan tersebut nantinya akan memberikan imbas serta dampak secara langsung kepada pemodal/ investor dalam Pembiayaan Sekunder Perumahan. Sebab aset keuangan yang dijadikan Efek Beragun Aset yang dibeli oleh Investor merupakan aset keuangan yang berasal dari piutang bank yaitu kredit (Kredit Pemilikan Rumah).
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan adala h salah satu norma dasar yang mampu melindungi konsumen di sektor jasa keuangan dari adanya tindakan- tindakan yang merugikan konsumen sektor jasa keuangan. Dalam peraturan OJK
ini yang disebut dengan konsumen sendiri adalah “pihak-pihak yang menempatkan dananya dan/atau manfaatkan pelayanan yang tersedia di Lembaga jasa Keuangan antara lain nasabah pada Perbankan, pemodal di Pasar Modal, pemegang polis pada perusahaan perasuransian, dan peserta Dana Pensiun,
berdasarkan peraturan perundang- undangan di sekto 121 r jasa keuangan”. Bentuk perlindungan hukum terhadap investor secara preventif
keseluruhannya sama dengan konsep bentuk perlindungan hukum preventif pada nasabah yang sebelumnya telah diuraikan melalui Tabel. 6 karena sumber norma nya adalah sama. Namun yang berbeda adalah lembaga dan juga bentuk penafsiran perlindungannya. Karena untuk mendukung perlindungan secara preventif terhadap investor terhadap resiko kredit atas kumpulan piutang dalam keseluruhannya sama dengan konsep bentuk perlindungan hukum preventif pada nasabah yang sebelumnya telah diuraikan melalui Tabel. 6 karena sumber norma nya adalah sama. Namun yang berbeda adalah lembaga dan juga bentuk penafsiran perlindungannya. Karena untuk mendukung perlindungan secara preventif terhadap investor terhadap resiko kredit atas kumpulan piutang dalam
Otoritas Jasa Keuangan telah mengeluarkan beberapa peraturan yang sifatnya lebih khusus untuk menunjang keberadaan Pembiayaan Sekunder Perumahan dan juga perlindungan terhadap pemodal dari kemungkinan kerugian dan juga beberapa resiko yang perlu untuk diatur . Adapun peraturan tersebut antara lain sebagai berikut:
a) Peraturan OJK Nomor 15/POJK.04/2014 tentang Laporan Bulanan Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset.
b) Peraturan OJK Nomor 23/POJK.04/2014 tentang Pedoman Penerbitan dan Pelaporan Efek Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi dalam Rangka Pembiayaan Sekunder Perumahan.
c) Peraturan OJK Nomor 24/POJK.04/2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Fungsi-Fungsi Manajer Investasi. Secara umum, perlindungan hukum secara preventif terhadap investor sebagai konsumen sektor jasa keuangan diperoleh melalui ketentuan Peraturan OJK tentang perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Dimana terdapat kewajiban dan juga larangan yang harus dilakukan oleh Penyedia jasa Keuangan dalam hal ini adalah manajer investasi atau Wali Amanat yang usahanya mengelola portofolio efek bagi investor. Adapun bentuk perlindungan yang c) Peraturan OJK Nomor 24/POJK.04/2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Fungsi-Fungsi Manajer Investasi. Secara umum, perlindungan hukum secara preventif terhadap investor sebagai konsumen sektor jasa keuangan diperoleh melalui ketentuan Peraturan OJK tentang perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Dimana terdapat kewajiban dan juga larangan yang harus dilakukan oleh Penyedia jasa Keuangan dalam hal ini adalah manajer investasi atau Wali Amanat yang usahanya mengelola portofolio efek bagi investor. Adapun bentuk perlindungan yang
1) Informasi secara akurat, jujur, jelas dan tidak menyesatkan tentang produk layanan dan atau jasa yang ditawarkan oleh Penerbit EBA-SP (Pasal 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, dan 20).
2) Pemberian layanan pedoman penetapan biaya dan edukasi literasi keuangan kepada investor (Pasal 13 dan Pasal 14).
3) Pemberian akses yang setara dan kesesuaian produk yang ditawarkan terhadap klasifikasi Investor (Pasal 15 dan Pasal 16).
4) Strategi pemasaran yang tidak merugikan investor (Pasal 17, 18, 19, dan Pasal 20).
5) Keseimbangan Perjanjian antara Wali Amanat dan Investor (Pasal 21 dan Pasal 22).
6) Keamanan, kenyamanan, dan kepercayaan Investor terhadap Pelayanan Manajer Investasi (Pasal 24, 25, 26, 27, 28, 30, dan Pasal 31).
7) Penyediaan Mekanisme Penyelesaian Pengaduan bagi Investor (Pasal
32, 33, dan Pasal 36).
8) Mekanisme Pengawasan oleh Otoritas Jasa Keuangan (Pasal 47, 48,
49, 50, 51, dan Pasal 52). Keberadaan perlindungan terhadap Investor secara preventif yang terdapat dalam peraturan OJK tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan ini merupakan hal- hal yang lebih bersifat umum saja. Mengingat
Investor merupakan pihak yang keberadaannya sanga t fundamental dalam sistem Pembiayaan Sekunder Perumahan. Maka sebagai upaya untuk menarik minat investor untuk membeli Efek Beragun Aset yang modalnya tersebut akan digunakan oleh originator untuk menyalurkan dana jangka panjang berupa KPR. Maka keberadaan supremasi hukum yang kuat dan cukup melindungi memang sangatlah dibutuhkan. Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga yang memiliki wewenang penuh untuk mengawasi lingkung lembaga keuangan secara mikroprudential tampaknya sangat memperhatikan masalah perlindungan hukum terhadap Investor Pembiayaan Sekunder Perumahan. Hal tersebut nampak dari beberapa Peraturan OJK yang dibuat secara khusus untuk mengatur tentang penyelenggaraan penerbitan Efek Beragun Aset dan juga tentang fungsi Manager Investasi beserta segala kewajiban pelaporannya.
Secara umum landasan perlindungan yang dapat diberikan terhadap investor sebagai konsumen sektor jasa keuangan berada dari Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan Nomor 21 tahun 2011. Dimana bentuk perlindungannya adalah sebagai berikut:
1) Pencegahan kerugian (Pasal 28 UU OJK)
a) Memberikan edukasi kepada masyarakat tentang produk jasa keuangan;
b) Meminta lembaga jasa keuangan menghentikan kegiatannya apabila berpotensi merugikan masyarakat;
c) Tindakan lain yang dianggap perlu.
2) Pelayanan pengaduan konsumen (Pasal 29 UU OJK) 2) Pelayanan pengaduan konsumen (Pasal 29 UU OJK)
b) Memfasilitasi penyelesaian pengaduan Konsumen yang dirugikan oleh pelaku lembaga jasa keuangan;
3) Pembelaan hukum (Pasal 30 UU OJK)
a) Memerintahkan atau melakukan tindakan tertentu kepada lembaga jasa keuangan untuk menyelesaikan pengaduan konsumen yang dirugikan;
b) Mengajukan gugatan untuk memperoleh kembali harta kekayaan milik pihak yang dirugikan serta untuk memperoleh ganti kerugian dari pihak yang menyebabkan kerugian pada konsumen dan/atau lembaga
jasa keuangan sebagai akibat dari pelanggaran atas peraturan. 123 Dengan adanya keberadaan Bab tersendiri dalam Undang-Undang OJK
yang khusus mengatur tentang perlindungan konsumen memberikan dasar hukum yang kuat terhadap peran OJK sebagai lembaga yang berwenang untuk menjadi lembaga perlindungan bagi konsumen di sektor jasa keuangan.
Kewenangan dari OJK untuk dapat mewa kili konsumen dala m mengajukan gugatan terhadap kerugian yang disebabkan oleh Penyedia Jasa Keuangan saat ini masih berada dalam proses penggodokan peraturan di Mahka mah Agung. Kewenangan yang dapat dimiliki oleh OJK untuk dapat mela kukan gugatan semacam class action seperti halnya dalam ranah Huku m Perlindungan Konsumen saat ini masih belu m me miliki landasan hukum yang jelas. Disa mpaikan oleh Norman Cahyadi dan Iskandar Syah, Peran Otoritas Jasa Keuangan dalam Peng awasan, Pengenaan Sanksi, dan Penang anan Ke beratan di Industri Pasar Modal Indonesia,
4.3.1. Perlindungan Hukum Bagi Investor Pembiayaan Sekunde r Perumahan Secara Preventif terhadap Resiko Kredit atas Kumpulan Piutang Portofolio EBA dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
1. Pengawasan Terhadap Kinerja Manaje r Investasi.
Dalam peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 23/POJK.04/2014 tentang Pedoman Penerbitan dan Pelaporan Efek Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi Dalam rangka Pembiayaan Sekunder Perumahan. Disebutkan bahwa
“Pembiayaan Sekunder Perumahan adalah penyelenggaraan kegiatan penyaluran dana jangka menengah dan/atau panjang kepada Kreditur Asal dengan melakukan pembelian Kumpulan Piutang kreditur Asal dan menjualnya melalui penerbitan EBA-SP, atau pembelian Kumpulan Piutang Kreditur Asal dari hasil penerbitan EBA- SP”. Sedangkan EBA-SP adalah “Efek Beragun Aset berbentuk Surat Partisipasi yang selanjutnya disebut EBA-SP adalah Efek Beragun Aset yang diterbitkan oleh penerbit yang portofolionya berupa kumpulan piutang dan merupakan bukti kepemilikan secara proporsional atas Kumpulan Piutang yang
dimiliki bersama oleh sekumpulan pemegang EBA- 124 SP”. Investor yang telah memiliki surat partisipasi dalam pembelian KIK-
EBA biasanya dibantu oleh Manajer Investasi dalam pengelolaan portofolionya. Dalam hal ini yang dimaksud dengan Manajer Investasi adalah “Pihak yang
kegiatan usahanya mengelola Portofolio Efek untuk para nasabah atau mengelola portofolio investasi kolektif untuk sekelompok nasabah...” 125 . Sedangkan Kontrak
Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK- EBA) “adalah kontrak antara Manajer
Lihat Pasal 1 Pe raturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 23/POJK.04/2014 tentang Pedoman Penerbitan dan Pelaporan Efe k Beragun Aset Berbentuk Sura t Partisipasi dala m Rangka Pe mbiayaan Se kunder Peru mahan.
Investasi dan Bank Kustodian yang mengikat pemegang Efek Beragun Aset dimana Manajer Investasi diberi wewenang untuk mengelola portofolio investasi kolektif dan Bank Kustodian diberi wewenang untuk melaksanakan Penitipan
Kolektif”. 126 Dalam kaitannya dengan pengelolaan fortofolio efek EBA ini manajer
investasi memiliki wewenang yang sangat banyak dan dapat dikatakan sebagai pihak kepercayaan investor untuk mengelola dana yang telah diinvestasikannya dalam bentuk fortofolio efek. Terdapat beberapa kewajiban yang dimiliki oleh Manajer Investasi yang telah ditentukan oleh Otoritas Jasa Keuangan yaitu
sebagai berikut: 127
1) Membuat catatan yang menyimpan segala pertimbangan dalam mengambil keputusan dalam melakukan investasi dalam portofolio Reksa Dana seperti yang telah ditetapkan dalam kebijakan investasi yang telah dimuat dalam kontrak, sesuai dengan peraturan perundang- undangan pasar modal.
2) Memperhatikan dan mematuhi Pedoman Pengelolaan Reksa Dana.
3) Menyampaikan hal yang sebenarnya kepada masyarakat menyangkut kinerja dan informasi Reksa Dana yang dikelola.
4) Menghitung Nilai Pasar Wajar dari efek dalam portofolio Reksa Dana dan menyampaikannya bank Kustodian selambat- lambatnya pukul
17.00 setiap hari kerja.
Lihat Pasal 1 angka 2 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 15/POJK.04/ 2014 tentang Laporan Bu lanan Kontrak Investasi Kole ktif Efe k Be ragun Aset.
5) Mematuhi ketentuan kepemilikan Unit Penyertaan untuk setiap pemegang Unit Penyertaan yang ditetapkan dalam kontrak, kecuali semata- mata untuk kepentingan Manajer Investasi sendiri.
6) Dengan itikad baik dan penuh tanggungjawab menjalankan tugas sebaik mungkin semata- mata untuk kepentingan pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana serta bertanggungjawab penuh atas kerugian yang timbul karena tidak melaksanakan tugasnya.
7) Memisahkan harta kekayaan Reksa Dana dari harta kekayaan Manajer Investasi.
8) Terus menerus meningkatkan sistem pengawasan intern dengan mengevaluasi sistem prosedur kegiatan.
9) Mengutamakan dan mendahulukan kepentingan pemegang Unit
Penyertaan, sehubungan dengan pengelolaan Reksa Dana.
10) Menjaga kerahasiaan pemegang Unit Penyertaan, kecuali diwajibkan lain oleh peraturan perundang-undangan. Selain kewajiban Manajer Investasi yang telah di sebutkan di atas, juga memiliki larangan yang juga telah diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan yaitu
sebagai berikut: 128
1) Memungut komisi atau biaya dari Reksa Dana yang lebih tinggi dari Perantara Perdagangan Efek yang tidak terafiliasi, dalam hal manajer investasi atau afiliasinya bertindak sebagai Pera ntara Perdagangan.
2) Menerima imbalan dalam bentuk apapun, baik langsung maupun tidak langsung, yang dapat mempengaruhi Manajer Investasi yang 2) Menerima imbalan dalam bentuk apapun, baik langsung maupun tidak langsung, yang dapat mempengaruhi Manajer Investasi yang
3) Membeli efek yang tidak melalui penawaran umum (IPO), kecuali untuk efek pasar uang.
4) Membeli efek yang sedang ditawarkan dalam penawaran umum dimana Manajer Investasi atau pihak terafiliasi bertindak sebagai penjamin emisinya. Pengelola Reksa Dana berikutnya adalah Bank Kustodian. Bank Kustodian merupakan salah satu fungsi yang dimiliki oleh Bank Umum sebagai tempat penyimpanan kekayaan serta administrator Reksa Dana, yang meliputi penyelesaian transaksi dengan broker atau bank, registrasi dan pendaftaran efek, dan sebagainya, yang telah mendapat persetujuan dari dari Otoritas Jasa Keuangan dan tidak diperbolehkan terafiliasi dengan Manajer Investasi, artinya tidak boleh ada hubungan kepemilikan antara Bank Kustodian dengan Manajer Investasi.
Sebagai bentuk upaya preventif terhadap adanya moral hazard yang dilakukan oleh Manajer Investasi maka dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan OJK tentang Laporan KIK-EBA memberikan kewajiban kepada Manajer Investasi untuk menyampikan laporan bulanan KIK-EBA sesuai dengan ketentuan
peraturan OJK. 129 Adanya kewajiban Manajer Investasi untuk melaporkan tersebut harus dilaporkan kepada Otoritas jasa Keuangan dengan jangka waktu peraturan OJK. 129 Adanya kewajiban Manajer Investasi untuk melaporkan tersebut harus dilaporkan kepada Otoritas jasa Keuangan dengan jangka waktu
2. Pemeringkatan Efek Beragun Aset
Untuk mengetahui kondisi dari Efek Beragun Aset dan kualitasnya maka diperlukan pemeringkatan efek. Mengingat Efek Beragun Aset berasal dari kumpulan piutang yang telah disekuritisasi. Dimana kumpulan piutang tersebut berasal dari berbagai macam latar belakang kredit pemilikan rumah yang diperoleh dari nasabah debitur yang tingkat keamanan dan resiko kreditnya bermacam- macam. Sesuai dengan ketentuan dari Pasal 8 Peraturan OJK Nomor 23/POJK.04/2014 tentang Pedoman Penerbitan dan Pelaporan Efek Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi Dalam Rangka Pembiayaan Sekunder Perumahan menyatakan bahwa “EBA-SP yang ditawarkan melalui Penawaran Umum wajib diperingkat oleh Perusahaan Pemeringkat Efek”. 130
Aspek penting dari adanya pemeringkatan efek ini adalah untuk menilai kemampuan dari emiten (dalam hal ini adalah originator) untuk melakukan pembayaran bunga dan akhirnya mampu melunasi pembayaran dari Efek Beragun Aset – Surat Partisipasi. Bagi investor sendiri dengan adanya pemeringkatan maka investor mempunyai sarana untuk menilai resiko default dari perusahaan- perusahaan yang mengeluarkan efek. Dengan adanya pemeringkatan ini, pemodal tidak perlu lagi melakukan penelitian atas kemampuan emiten karena dengan melihat hasil pemeringkatan, investor akan mengetahui kemampuan emiten tersebut. Tetapi berbeda dengan hasil riset atas efek yang yang biasa dikeluarkan
Lihat Pasal 8 Peraturan Otorotas Jasa Keuangan Nomor 23/POJK.04/2014 tentang Lihat Pasal 8 Peraturan Otorotas Jasa Keuangan Nomor 23/POJK.04/2014 tentang
Tugas dari lembaga pemeringkat adalah menentukan peringkat suatu efek dengan menggunakan simbol tertentu yang dapat memberikan gambaran mengenai kualitas investasi dari suatu efek yang dinilai berkaitan dengan default risk (resiko gagal bayar/serah). Lembaga ini merupakan lembaga yang kualitas kerjanya amat dipengaruhi oleh independensi yang menjamin kredibilitasnya. Hasil pemeringkatan efek ini menjadi sangat penting sebab akan mempengaruhi keputusan dari investor untuk melakukan pembelian efek yang bersifat hutang (EBA-SP). Hasil pemeringkatan efek ini nantinya akan berupa simbol yang digunakan secara Internasional. Adapun simbol-simbolnya adalah sebagai
berikut: 132
1) AAA: Peringkat Tertinggi (the best quality) Merupakan hasil penilaian terhadap efek hutang yang memiliki kualitas tertinggi, dimana memiliki resiko paling rendah. kesanggupan membayar kembali angsuran bunga dan pokok utang adalah sangat baik.
2) AA: Peringkat Tinggi (high quality) Termasuk dalam efek hutang yang sehat sekali, tetapi keberadaannya berada satu tingkat di bawah dari triple A. kedaan tersebut dikarenakan adanya margin protection yang lebih besar dimana resiko untuk waktu yang panjang sedikit lebih besar.
131 Lihat untuk ini masalah in i lihat juga Asiamoney, “Guide to Asian Currency Bond Market”, 1999, hlm. 11 yang
menyatakan bahwa: “in order to tap the international capital markets, and even within their own mark et, issuer feel that an objective rating of their debt will give them ad edge over competing interest when th ey fight for the attention of investors in various asset classes around the wolrd”. Dala m Ha mud Ba lfas, Loc-cit. hlm. 84-85.
A: Menengah, Atas, Sehat (upper medium quality) Faktor keamanan untuk pembayaran bunga dan pokok hutangnya
termasuk baik, namun ketika terjadi perubahan keadaan ekonomi, bisnis maupun keuangan bagi kategori ini masih memungkinkan akan naiknya resiko investasi.
4) BBB: Menengah, Kualitas Baik, Sedikit Ketidakpastian (medium grade quality) Efek hutang ini kurang memiliki faktor sehat dan masih mengandung unsur spekulasi karena faktor proteksinya, terutama menyangkut pembayaran bunga dan utang pokok dinilai memadai. Apabila terjadi perubahan keadaan ekonomi dan bisnis masih dimungkinkan adanya kenaikan resiko investasi.
5) BB: Cukup, Lebih Spekulatif Efek ini dinilai masih kurang mempunyai unsur sebagai alat investasi yang berarti mengandung resiko investasi. Kesanggupan membayar kembali angsuran bunga dan pokok uang tidak cukup terlindungi terhadap perubahan keadaan ekonomi, bisnis maupun kondisi keuangan.
B: Cukup, Lebih Spekulatif Efek ini dinilai masih kurang mempunyai unsur sebagai alat investasi
yang berarti mengandung resiko investasi. Kesanggupan membayar kembali angsuran bunga dan pokok uang tidak cukup terlindungi terhadap perubahan keadaan ekonomi, bisnis maupun kondisi keuangan. Namun keberadaannya masih lebih rendah daripada yang double B.
7) CCC: Spekulatif, Kurang Baik
Efek hutang ini memiliki poor standing, instrumen ini mempunyai kemungkinan untuk default, wanprestasi atau pailit.
8) CC: Spekulatif, Peka untuk Macet Efek hutang ini spekulatif di mana ancaman default berada di depan mata.
C: Sangat Spekulatif, Hampir Macet (the lowest class of bonds) Efek hutang yang dianggap mempunyai prospek yang buruk sebagai alat
investasi karena resiko macet sangat besar. 10)
D: Pailit (Default) Efek hutang yang macet di mana pembayaran bunga dan pokok uta ng tidak berjalan lagi. 133
Untuk menjamin agar efek-efek yang telah dikeluarkan tetap memenuhi kewajibannya berdasarkan pada peringkat efek yang telah diterapkan, dilakukanlah credit enhancement terhadap piutang-piutang tersebut. credit enhancement adalah su atu cara yang diperlukan untuk meningkatkan “peringkat piutang” dari EBA yang diterbitkan tersebut. dengan adanya Credit enhancement
diharapkan marketability dan liquidity dari EBA dapat meningkat seiring dengan kepercayaan dari investor atas EBA tersebut. 134
Dengan adanya pemeringkatan EBA ini dengan kualitas tertentu memberikan pandangan yang jelas bagi investor untuk memilah dan menentukan sendiri efek mana yang akan ia beli beserta dengan tingkat resiko yang melekat padanya. Bagi efek yang memiliki kualitas rendah masih dapat ditingkatkan
Pe meringakatan efek in i mengikut i model Standard & Poor’s yang banyak dipakai di pasar modal di dunia. Selain itu ada juga perusahaan pemeringkat internasional lain yang cukup terkenal, yaitu Moody’s. Sedangkan di Indonesia juga dikenal adanya perusahaan pemeringkat
3. Jual Beli Putus Efek untuk Kepentingan Investor.
Proses penjualan piutang itu harus dilaksanakan sebagai suatu transaksi jual putus. Suatu transaksi dikatakan sebagai jual beli putus ketika pembeli maupun penjual tidak lagi memiliki hak recourse terhadap piutang yang telah dijual/dibeli tersebut. Jual putus antara originator (kreditur asal/bank) dan penerbit (issuer) dari EBA menjadi penting, untuk menghindari kembalinya piutang yang telah dijual tersebut ke dalam boedel pailit originator, ketika originator dinyatakan pailit. Dengan adanya jual beli putus tersebut maka piutang tersebut telah keluar dari neraca originator dan selanjutnya digantikan dengan
uang tunai yang diperolehnya setelah emisi efek EBA tersebut dilaksanakan. 135 Pengaturan tentang kewajiban untuk melaksanakan jual beli putus ini
terdapat dalam Pasal 9 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 23/POJK.04/2014 tentang Pedoman Penerbitan dan Pelaporan Efek Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi dalam Rangka Pembiayaan Sekunder Perumahan.
Dalam ketentuan Pasal 9 menjelaskan bahwa aset keuangan yang membentuk Kumpulan Piutang EBA-SP itu haruslah diperoleh oleh Penerbit dari Kreditur Asal melalui jual beli putus dan kemudian Penerbit menjualnya kepada pemegang EBA-SP (investor) dengan jual beli putus pula yang dilakukan secara hukum. Adanya pembelian dan juga penjualan aset keuangan dengan cara jual beli putus/lepas ini dilakukan untuk kepentingan investor dari adanya resiko
pengembalian aset keuangan apabila terjadi pailitnya originator. 136 Implikasi hukum terhadap keadaan jual beli aset keuangan ya ng
dilakukan oleh Penerbit dan juga originator berarti bahwa penerbit hanya membeli aset keuangan yang berasal dari originator berupa kumpulan piutang yang untuk kemudian disekuritisasikan dalam bentuk Efek Beragun Aset. Dengan demikian originator tidak dapat lepas begitu saja terhadap keberadaan aset keuangan yang terdiri dari kumpulan kredit tersebut. Aset keuangan yang memiliki tingkat resiko kredit yang tinggi haruslah dipilah-pilah dan disampaikan sebelumnya dengan mengedepankan prinsip keterbukaan. Sehingga ketika aset keuangan sampai kepada penerbit (special purpose vehicle) maka memang telah diketahui adanya kumpulan aset keuangan yang memang memiliki resiko kredit yang tinggi. Dengan adanya keterbukaan, maka ketika aset keuangan telah disekuritisasikan, investor telah mengetahui EBA mana yang memiliki tingkat resiko rendah dan tinggi tanpa adanya teban pilih dalam pembentukan portofolio EBA nya. Dalam proses sekuritisasi tersebut haruslah mengedepankan beberapa
prinsip antara lain sebagai berikut: 137
Lihat Pasal 9 Pe raturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 23/POJK.04/2014 tentang Pedoman Penerbitan dan Pelaporan Efe k Beragun Aset Berb entuk Surat Partisipasi dala m Rangka
b) Bankruptcy remote, aset keuangan yang tidak dapat terkena sita umum sebagai akibat pernyataan pailit dari suatu perusahaan;
c) Waterfall scheme, skema pembayaran prinsipal dan bunga yang dipisahkan menurut arus kas prinsipal, arus kas bunga, serta kelas dari efek hutang/notes.
d) Priority payment, arus pembayaran bunga dan prinsipal untuk efek hutang senior akan didahulukan/diprioritaskan dibanding pembayaran kepada investor efek hutang subordinasi.
e) Excess spread, arus kas untuk pembayaran bunga efek hutang senior akan diatur sedemikian rupa sehingga tercipta cushion bagi investor dan akan menjadi buffer bilamana terjadi penurunan jumlah arus kas yang bersumber dari pembayaran bunga portofolio obligasi yang dijadikan jaminan.
f) Subordination/ over collateral, pemegang efek hutang senior memiliki akses pertama/prioritas terhadap arus kas dari portofolio yang menjadi underlying (aset keuangan piutang) surat berharga dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan prinsipal hutang senior.
Sehingga dengan adanya jual beli putus dan juga penerapan prinsip sekuritisasi tersebut maka investor telah mendapatkan perlindungan hukum terhadap resiko kredit atas kumpulan piutang portofolio EBA. Karena bagaimanapun originator harus tetap bertanggungjawab terhadap keadaan kredit Sehingga dengan adanya jual beli putus dan juga penerapan prinsip sekuritisasi tersebut maka investor telah mendapatkan perlindungan hukum terhadap resiko kredit atas kumpulan piutang portofolio EBA. Karena bagaimanapun originator harus tetap bertanggungjawab terhadap keadaan kredit
4. Peranan Wali Amanat (Trustee) Untuk Kepentingan Investor
Menurut Skema Undang-Undang Pasal Modal, Wali Amanat adalah “pihak yang mewakili kepentingan pemegang Efek yang bersifat utang”. 138 Efek
Beragun Aset merupakan salah satu bentuk varian dari efek yang bersifat hutang. Dengan demikian keberadaan Wali Amanat untuk mewakili kepentingan dari Investor EBA-SP sangatlah penting. Ketentuan tentang Wali Amanat dalam skema hukum pasar modal diatur dalam Pasal 50 – Pasal 54. Secara khusus pengaturan Wali Amanat dalam EBA-SP diatur sendiri dalam Peraturan OJK Nomor 23/POJK.04/2014 tentang Pedoman Penerbitan dan Pelaporan Efek Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi dalam Rangka Pembiayaan Sekunder Perumahan. Dalam peraturan ini ditegaskan bahwa Wali Amanat adalah “pihak
yang telah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan sebagai Wali Amanat dan mewakili kepentingan pemegang EBA- 139 SP”.
Keberadaan Wali Amanat ini menjadi sangat penting karena Wali Amanat “memiliki tugas dan tanggung jawab mewakili kepentingan pemegang
EBA-SP di dalam dan di luar pengadilan sesuai dengan perjanjian perwaliamanatan dan peraturan perundang- 140 undangan”. Tugas dan fungsi dari
wali amanat ini berdasarkan pada adanya perjanjian yang dibuat pada saat
139 Lihat Pasal 1 angka 30 Udang-Undang Nomo r 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
Lihat Pasal 1 angka 24 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 23/POJK.04/ 2014 tentang Pedoman Penerbitan dan Pelaporan Efe k Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi dala m Rangka Pe mbiayaan Se kunder Peru mahan.
Lihat Pasal 27 ayat (1) Pe raturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 23/POJK.04/2014 Lihat Pasal 27 ayat (1) Pe raturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 23/POJK.04/2014
a) Menjalankan tugas dengan itikad yang baik, penuh kehati-hatian
berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang- undangan;
b) Bertindak secara cepat dan efektif untuk kepentingan pemegang
EBA-SP;
c) Memantau pembayaran kepada investor pemegang EBA-SP;
d) Melakukan penunjukan bank kustodian pengganti;
e) Mengawasi dan memantau penerbit dan bank kustodian saat
melaksanakan kewajibannya terkait EBA-SP serta perjanjian lainnya dari dokumen transaksi EBA-SP terkait;
f) Mencatat Aset Keuangan yang membentuk Kumpulan EBA-SP atas namanya demi kepentingan pemegang EBA-SP termasuk
pula untuk melakukan pendaftaran hak tanggungan atas agunan/jaminan dari Aset Keuangan pada institusi yang berwenang;
g) Melakukan dan mengambil tindakan yang diperlukan ketika
terjadi perubahan nilai atas Kumpulan Piutang atau hak yang melekat pada Aset Keuangan yang membentuk Kumpulan Piutang EBA-SP;
h) Melakukan penunjukan penyedia jasa termasuk penggantinya;
i) Menunjuk agen pembayar serta mengawasi kinerjanya; j) Menunjuk akuntan untuk mengaudit laporan keuangan EBA-SP
tahunan; k) Melakukan penagihan dan penuntutan pembayaran dari debitur atas kumpulan tagihan apabila terjadi penghentian Penyedia Jasa sebelum memperoleh penggantinya;
l) Mengawasi kinerja penyedia jasa; m) Memberikan petunjuk kepada penyedia saja jika dirasa perlu; n) Menyelenggarakan rapat umum pemegang EBA-SP serta
melaksanakan keputusan-keputusan yang diambil saat rapat pemegang EBA-SP;
o) Melakukan eksekusi atas agunan/jaminan atau menunjuk
penyedia jas untuk melakukan eksekusi demi kepentingan pemegang EBA-SP;
p) Melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan terkait hal-hal yang bertentangan dengan dokumen transaksi EBA-SP; q) Memberikan semua keterangan atau informasi sehubungan
dengan pelaksanaan tugas dan kewenangan perwaliamanatan kepada Otoritas Jasa Keuangan. 141
Lihat Pasal 27 ayat 4 Pe raturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 23/POJK.04/ 2014
Dengan adanya wewenang yang dimiliki oleh Wali Amanat serta hubungan wali amanat dengan Investor sedemikian rupa. Sehingga dalam suatu penerbitan EBA-SP keberadaan Wali Amanat sangatlah penting. Karena sangat tidak dimungkinkan EBA-SP itu dikeluarkan tanpa adanya Wali Amanat. Meskipun untuk pertama kalinya penunjukan Wali Amanat itu dilakukan oleh penerbit. Namun Wali Amanat itu tidak boleh memiliki
hubungan afiliasi dengan penerbit. 142 Jika terdapat hubungan afiliasi dengan penerbit maka wali amanat harus dilakukan penggantian. Karena jika
terdapat hubungan afiliasi antara penerbit dengan wali amanat maka akan timbul suatu kemungkinan pebuatan menyimpang yang dilakukan oleh adanya hubungan afiliasi tersebut. Dengan adanya ketentuan ini memberikan perlindungan secara khusus kepada Investor dari kemungkinan adanya penyimpangan data atau informasi terkait portofolio aset keuangan dalam kumpulan EBA-SP.
Karena sifat hubungan antara pemegang EBA-SP dengan Wali Amanat sangat penting padahal penunjukan Wali Amanat dilakukan oleh Penerbit EBA-SP, maka undang-undang telah melihat dan dengan tegas tidak mentolerir adanya hubungan/keadaan yang dapat menyebabkan timbulnya benturan kepentingan diantara Wali Amanat dengan penerbit EBA-SP. Oleh karena itu hanya lembaga yang memiliki kredibilitas saja lah yang dapat menjadi wali amanat. Untuk itu, meskipun lembaga- lembaga lain juga dimungkinkan untuk menjadi Wali Amanat, namun saat ini
Undang-Undang Pasar Modal hanya menunjuk Bank Umum yang dapat menjalankan kegiatan usaha sebagai Wali Amanat ini. 143
Dengan demikian sejak ditandatanganinya perjanjian antar penerbit dengan Wali Amanat, maka Wali Amanat telah sepakat mengikatkan dirinya untuk mewakili Investor. Dan melaksanakan kewajibannya dengan baik, karena jika tidak, Wali Amanat harus bertanggung jawab untuk memberikan ganti rugi kepada Investor pemegang EBA-SP atas kelalaian yang
ditimbulkannya. 144 Serta melaksanakan kewajibannya hingga pada saat fungsi- fungsinya untuk mewakili kepentingan Investor berakhir, yaitu pada
saat seluruh nilai kumpulan piutang telah dibayarkan kepada investor.
5. Kebenaran Prospektus
Menurut Undang- Undang Pasar Modal, prospektus adalah “setiap informasi tertulis sehubungan dengan Penawaran umum dengan tujuan agar pihak
lain membeli efek”. 145 Sedangkan prospektus EBA- SP adalah “setiap informasi tertulis yang memuat informasi atau Fakta Material EBA-SP dalam rangka
penerbitan EBA-SP dengan tujuan agar Pihak lain membeli EBA- 146 SP”. Dikarenakan prospektus merupakan dokumen penting yang sangat
diperlukan bagi investor untuk mengetahui segala hal yang sebenarnya mengenai suatu efek yang akan ia beli. Dan keberadaan prospektus juga sangat penting kaitannya dengan emiten karena menentukan apakah penjelasan yang disajikan di dalam prospektus nya tersebut mampu menarik minat investor untuk membeli
143 Ha mud Balfas, Loc-cit, h lm. 146.
Lihat Pasal 29 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 23/POJK.04/ 20 14 tentang Pedoman Penerbitan dan Pelaporan Efe k Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi dala m Rangka Pe mbiayaan Se kunder Peru mahan.
145 Lihat pasal 1 angka 26 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
Lihat Pasal 1 angka 13 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 23/POJK.04/ 2014 Lihat Pasal 1 angka 13 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 23/POJK.04/ 2014
menyesatkan bagi calon investor. 147 Karena merupakan materi bagi calon investor untuk mengambil
keputusan dalam melakukan pemesanan atau pembelian atas efek, maka penyajian data dalam prospektus ini merupakan perhatian utama OJK, sebagai otoritas Pasar Modal saat ini (dulu BAPEPAM). Karena kebanyakan pemodal dalam penawaran efek adalah investor awal, yang tidak mengetahui hukum atau keuangan perusahaan, maka OJK dalam rangka penawaran umum memberikan arahan bahwa prospektus selain harus meliputi semua rincian dan fakta material mengenai emiten, juga harus dibuat sedemikian rupa sehingga penyajiannya jelas dan komunikatif. Kemudian OJK juga menekankan bahwa emiten harus berhati- hati dalam menggunakan foto, diagram atau tabel karena dikhawatirkan akan
memberikan kesan yang menyesatkan kepada masyarakat, sebagai pemodal. 148 Karena keberadaan prospektus yang sangat penting ini OJK memberikan
perhatian khusus untuk pengaturan prospektus dalam bagian kelima Peraturan OJK Nomor 23./POJK.04/2014. Dimana dalam pe ngaturan prospektus tekah dijelaskan bahwa prospektus harus dibuat dalam keadaan yang sebenar-benarnya berdasarkan fakta material, dibuat dengan baik sehingga komunikatif dan cara penyajiannya juga tidak boleh tumpang tindih dengan informasi yang kurang penting sehingga dapat mengaburkan perhatian pembaca. Selain itu fakta- fakta perhatian khusus untuk pengaturan prospektus dalam bagian kelima Peraturan OJK Nomor 23./POJK.04/2014. Dimana dalam pe ngaturan prospektus tekah dijelaskan bahwa prospektus harus dibuat dalam keadaan yang sebenar-benarnya berdasarkan fakta material, dibuat dengan baik sehingga komunikatif dan cara penyajiannya juga tidak boleh tumpang tindih dengan informasi yang kurang penting sehingga dapat mengaburkan perhatian pembaca. Selain itu fakta- fakta
Semua hal harus diperinci di dalam prospektus dan harus mengikuti peraturan yang dibuat oleh OJK sebagai otoritas pengawas Pasar Modal saat ini. Dengan semakin lengkapnya informasi yang disampaikan di dalam prospektus maka juga telah menunjukkan semua hal tanpa terkecuali sehinga tidak ada hal- hal yang disembunyikan. Dalam kaitannya dengan penerbitan EBA-SP maka dengan prospektus yang baik dan lengkap investor dapat menentukan aset keuangan mana yang memiliki resiko rendah dan resiko tinggi. Penerbit (issuer) telah menjelaskan dengan rinci mengenai informasi keberadaan aset keuangan yang dimiliki oleh kreditur asal / originator disertai dengan data tentang tingkat kolektibilitas aset keuangan. Termasuk faktor resiko-resiko yang terdapat dalam efek juga harus dijelaskan keberadaannya. Faktor resiko tersebut diantaranya meliputi:
a) Resiko liquiditas dan resiko pasar EBA-SP;
b) Resiko nilai tukar mata uang dan resiko suku bunga (jika ada);
c) Resiko kredit atas kumpulan piutang portofolio EBA-SP;
d) Resiko pelunasan dipercepat (prepayment) Kumpulan Piutang portofolio EBA-SP sebelum jatuh tempo;
e) Resiko operasional dalam pelaksanaan kegiatan Penerbit, Bank Kustodian dan Wali Amanat, dan Penyedia Jasa; dan
Lihat Pasal 23 Pasal 24 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 23/POJK.04/ 2014 Lihat Pasal 23 Pasal 24 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 23/POJK.04/ 2014
benda jaminan tidak dilakukan atau ditunda. 150 Selain itu di dalam prospektus juga disebutkan pula mengenai hasil
pemeriksaan dari konsultan hukum, hasil pemeringkatan efek, serta hak-hak investor terhadap EBA-SP beserta tata cara pendaftarannya. Dalam Pasal 15 Peraturan ini juga menegaskan bahwa penerbit harus memastikan setiap prospektus harus dibaca dan dipahami oleh pemodal. Karena kesempatan pemodal untuk membaca dan memahami prospektus ini nantinya juga wajib disebutkan
dalam formulir pembelian EBA-SP. 151 Dengan demikian keberadaan prospektus ini dapat digunakan sebagai penentu perlindungan hukum yang akan didapatkan
oleh investor terhadap resiko kredit atas kumpulan piutang dalam portofolio EBA.
4.3.2. Perlindungan Hukum Bagi Investor Pembiayaan Sekunde r Perumahan Terhadap Resiko Kredit Atas Kumpulan Piutang Portofolio EBA dalam Kontrak Baku Pembukaan Rekening Efek.
Untuk dapat melakukan transaksi di dalam bursa (Pasar Modal) sesorang harus terlebih dahulu terdaftar di dalam bursa dengan memiliki rekening efek. Karakteristik Pasar Modal memang berbeda dengan pasar pada umumnya. Sehingga tidak semua orang dapat begitu saja dengan mudah melakukan transaksi jual beli seperti halnya di pasar pada umumnya. Untuk dapat menjadi investor dan melakukan pembelian atas sejumlah efek, sesorang harus melakukan pendaftaran
Lihat Pasal 24 huruf n Pe raturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 23/POJK.04/ 2014 tentang Pedoman Penerbitan dan Pelaporan Efe k Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi dala m Rangka Pe mbiayaan Se kunder Peru mahan.
Lihat Pasal 15 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 23/POJK.04/ 2014 tentang Lihat Pasal 15 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 23/POJK.04/ 2014 tentang
calon investor untuk dapat memiliki rekening efek antara lain: 152
a) Menyerahkan fotokopi Kartu Tanda Penduduk
b) Melakukan pengisian formulir Rekening efek maupun Rekening Dana Investasi.
c) Melakukan transfer dana sebagai deposit awal (jumlah minimal ditentukan oleh Perusahaan Efek masing- masing). Dengan adanya pendaftaran yang dilakukan oleh investor kepada
Perusahaan Efek maka telah terjadi hubungan hukum antara investor dengan Perusahaan Efek tersebut. Karena dengan adanya bukti pendaftaran tersebut di dalamnya juga telah dilampirkan suatu perjanjian antara Perusahaan Efek dengan nasabah Investor. Perjanjian yang dibuat tersebut kebanyakan merupakan perjanjian baku yang telah disediakan oleh Perusahaan Efek yang terlampir menjadi satu dalam buku permohonan pembukaan rekening efek (contoh dalam lampiran).
Isi perjanjian tersebut tentang penunjukan Perusahaan Efek untuk mengelola rekening efek dan juga berisi tentang hak dan juga kewajiban dari para pihak. Termasuk pemberian wewenang kepada Perusahaan Efek sebagai Manajer
Investasi untuk mengelola Portofolio KIK-EBA. Namun, dikarenakan keberadaan dari perjanjian tersebut adalah perjanjian baku yang sebelumnya telah penulis jelaskan dalam bab tentang perlindungan Konsumen dalam perjanjian baku, kebanyakan perjanjian baku tersebut di dalamnya tidak cukup melindungi nasabah dalam hal ini adalah investor. Padahal di dalam Peraturan OJK tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan pada Pasal 22 telah mengatur ketentuan tentang pembuatan perjanjian baku yang harus disesuaikan dengan peraturan perundang- undangan. Sebagai suatu bentuk perlindungan terhadap konsumen sektor jasa keuangan, dalam hal ini adalah investor. Seharusnya di dalam perjanjian baku tersebut tidak boleh terdapat klausula yang menyatakan bahwa penyedia jasa keuangan melepaskan tanggungjawab dan mengalihkannya
kepada konsumen. 153 Namun pada kenyataannya masih terdapat beberapa perjanjian baku yang
disinyalir merupakan pelepasan tanggungjawab oleh penyedia jasa keuangan dan pengalihan tanggungjawab kepada konsumen. Dalam contoh lampiran. Pada perjanjian baku pembukaan rekening efek terdapat klausula yang menyatakan:
“Nasabah menyatakan bahwa setiap keputusan investasi, keputusan untuk menjual/atau membeli efek diambil oleh Nasabah berdasarkan pertimbangan dan keputusan Nasabah sendiri. Oleh karena itu nasabah membebaskan Mandiri dari tanggung jawab atas segala kerugian, kewajiban, tagihan, gugatan, biaya termasuk tetapi tidak terbatas pada kewajiban pajak, yang mungkin diderita atau timbul sebagai akibat
dari keputusan Nasabah atau sebagai akibat dari pelaksanaan Perjanjian ini, dan Nasabah akan mengganti seluruh kerugian kewajiban, tagihan dan biaya yang dikeluarkan atau diderita Mandiri sebagai akibat dari keputuan Nasabah atau pelaksanaan Perjanjian
ini.” 154
Lihat Pasal 22 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Se ktor Jasa Keuangan.
153
Di dalam klausula tersebut tampak jelas bahwa telah terjadi pelepasan tanggungjawab yang dilakukan oleh Perusahaan Efek (Manajer Investasi) serta peralihan tanggungjawab kepada investor sendiri. keadaan demikian tentu saja sangat merugikan bagi investor dalam hal ini merupakan investor EBA-SP. Karena investor memang benar telah memutuskan untuk melakukan pembelian terhadap EBA atau Surat Partisipasi, namun kaitannya dengan ini Investor sama sekali tidak mengetahui tentang keadaan portofolio efek nya yang mana merupakan EBA dengan aset keuangan dengan tingkat resiko yang bagus dan yang tidak. Karena bentuk yang dibeli oleh Investor telah dikemas sedemikian rupa dalam bentuk Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset oleh Manajer Investasi. Apabila kenyataannya di dalam portofolio KIK-EBA tersebut terdapat aset keuangan dengan resiko tinggi yang keberadaannya tidak diketahui oleh investor dikarenakan moral hazard yang dilakukan oleh manajer investasi secara tebang pilih sehingga menimbulkan kerugian bagi investor. Dengan demikian maka tidak seharusnya dalam perjanjian ditegaskan bahwa sebagai bentuk resiko yang harus ditanggung oleh investor dan pihak Manajer Investasi melepaskan tanggung jawabnya begitu saja.
Meskipun demikian, keberadaan perjanjian yang seharusnya dapat menjadi kesesuaian kehendak dan menampung kepentingan masing- masing pihak sesuai ketentuan Pasal 1320 KUH perdata, jarang ditemukan dalam bentuk perjanjian baku. Tentu saja pihak yang telah menyediakan perjanjian tersebutlah yang kepentingannya paling terlindungi dan termuat dalam kontrak baku tersebut. Sehingga, perlindungan hukum bagi investor terhadap resiko kredit atas kumpulan piutang portofolio EBA tidak cukup termuat di dalam perjanjian baku. Meskipun Meskipun demikian, keberadaan perjanjian yang seharusnya dapat menjadi kesesuaian kehendak dan menampung kepentingan masing- masing pihak sesuai ketentuan Pasal 1320 KUH perdata, jarang ditemukan dalam bentuk perjanjian baku. Tentu saja pihak yang telah menyediakan perjanjian tersebutlah yang kepentingannya paling terlindungi dan termuat dalam kontrak baku tersebut. Sehingga, perlindungan hukum bagi investor terhadap resiko kredit atas kumpulan piutang portofolio EBA tidak cukup termuat di dalam perjanjian baku. Meskipun
4.4. Perlindungan Hukum Bagi Investor Pembiayaan Sekunder Perumahan Secara Represif Terhadap Resiko Kredit Atas Kumpulan Piutang Portofolio EBA dalam Peraturan OJK.
Perlindungan hukum represif ini diberikan sebagai bentuk upaya pengobatan ketika suatu kejadian yang menimbulkan suatu derita maupun kerugian telah terjadi. Dalam hal ini, perlindungan yang dapat diperoleh bagi Investor dalam pembiayaan sekunder perumahan dari adanya resiko kredit atas kumpulan piutang portofolio EBA dapat dilihat melalui beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku. Investor sebagai pihak yang berada dan dikenal dalam Pasar Modal memiliki landasan hukum pula dalam Undang- Undang Pasar Modal. Keberadaan resiko kredit atas kumpulan piutang portofolio EBA yang diluar pengetahuan investor serta dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki kuasa penuh untuk mengelola dan mengaturnya ketika dengan sengaja mengelabuhi atau melakukan perbuatan yang merugikan Investor maka akan dikenakan sanksi.
Di dalam ketentuan Undang-Undang Pasar Modal dikenal adanya sanksi administratif. Dimana dalam ketentuan Pasal 102 Bapepam sebagai pengawas pasar modal (setelah keluarnya UU OJK yang menjadi pengawas pasar modal saat ini adalah OJK) dapat mengenakan sanksi administratif terhadap suatu perbuatan yang melanggar ketentuan Undang-Undang Pasar Modal dan atau peraturan Di dalam ketentuan Undang-Undang Pasar Modal dikenal adanya sanksi administratif. Dimana dalam ketentuan Pasal 102 Bapepam sebagai pengawas pasar modal (setelah keluarnya UU OJK yang menjadi pengawas pasar modal saat ini adalah OJK) dapat mengenakan sanksi administratif terhadap suatu perbuatan yang melanggar ketentuan Undang-Undang Pasar Modal dan atau peraturan
Selain itu di dalam Undang-Udang Pasar Modal juga dikenal bentuk sanksi administratif yang meliputi: 156
a) Pemberian peringatan tertulis;
b) Pengenaan denda yang berupa kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu yang ditetapkan;
c) Pembatasan kegiatan usaha;
d) Pembekuan kegiatan usaha;
e) Pembatalan persetujuan; dan
f) Pembatalan pendaftaran Keberadaan peraturan tersebut juga diperkuat dengan adanya ketentuan Pasal 10 terkait sanksi yang terdapat dalam Peraturan OJK Nomor 15/POJK.04/2014 tentang Laporan Bulanan Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset.
Sementara Peraturan OJK tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan adalah juga termasuk salah satu peraturan pelaksana yang dikeluarkan oleh OJK sebagai bentuk peraturan pelaksana dari kewenangan atribusi yang dimiliki oleh OJK sebagai pengawas pasar modal. Sedangkan adanya tindakan untuk tidak memberikan informasi mengenai resiko kredit atas kumpulan piutang portofolio EBA baik oleh penerbit maupun Perusahaan Efek kepada Investor Pembiayaan Sekunder Perumahan adalah bentuk pelanggaran terhadap Peraturan OJK tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan utamanya Pasal 4, 5,
6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, dan Pasal 20 yang memberikan kewajiban kepada Pelaku Usaha Sektor Jasa Keuangan untuk memberikan Informasi secara akurat, jelas dan
atau tidak menyesatkan tentang produk layanan dan atau jasa keuangan. 157 Konsekuensi dari adanya pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha
jasa keuangan ketika tidak memberikan informasi secara akurat dan jelas, serta tidak menyampaikannya secara jujur kepada Investor terkait resiko kredit dalam portofolio piutang EBA menimbulkan kerugian materiil bagi investor. Keberadaan EBA yang memiliki portofolio aset keuangan yang tingkat resiko kreditnya sangat besar menimbulkan resiko default bagi Investor dan kehilangan uangnya.
Peraturan OJK tentang perlindungan Konsumen sektor Jasa Keuangan telah mencantumkan nya secara jelas dalam ketentuan Pasal 38, bahwa sete lah Investor melakukan pengaduan terkait kerugian yang ditimbulkan dari adanya perbuatan Penyedia Jasa Keuangan (dalam hal ini dapat dilakukan oleh Penerbit maupun perusahaan Efek/manajer investasi/wali amanat) harus segera dilakukan tindakan untuk menganalisa dan memastikan segi kebenarannya. Jika memang pengaduan Investor tersebut terbukti benar, maka penyedia jasa keuangan harus menyampaikan permintaan maaf dan juga penawaran ganti kerugian dan perbaikan pelayanan. Keberadaan ganti kerugian tersebut sebe lumnya haruslah
juga dimintakan permohonan oleh Investor. 158 Selain itu bentuk perlindungan hukum secara represif yang termuat dalam Peraturan OJK terdapat beberapa
macam. Untuk lebih sistematis dan mempermudah, penulis akan menguraikannya dalam sub bab berikut ini.
Lihat Pasal 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, dan Pasal 20 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No mor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
4.4.1. Analisis Bentuk Perlindungan Hukum Represif Bagi Investor Pembiayaan Sekunder Pe rumahan Terhadap Resiko Kredit Atas Kumpulan Piutang Portofolio EBA dalam Peraturan OJK.
1. Pelaporan dan tindak lanjut pengaduan Investor secara berkala.
Adanya bentuk perlindungan yang diperoleh oleh konsumen sektor jasa keuangan secara keseluruhan memang telah tercantum di dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa keuangan. Namun mengingat keberadaan dan juga jenis dari konsumen sektor jasa keuangan yang berbeda-beda tergantung jenis jasa yang digunakannya, maka bentuk perlindungan yang diberikan kepada setiap konsumen itu dalam ketentuannya jelaslah berbeda pula. Dalam bahasan sebelumnya, penulis telah menerangkan bahwa Nasabah Debitur adalah juga konsumen sektor Jasa Keuangan yang perlu dilindungi dari Bank. Namun, dalam bahasan ini konsumen yang perlu dilindungi adalah Investor dalam Pembiayaan Sekunder Perumahan yang menanamkan modalnya dalam Efek Beragun Aset Surat Partisipasi.
Memang terdapat dua perbedaan yang signifikan terhadap bentuk perlindungan hukum yang dapat diterima oleh konsumen sektor jasa keuangan, mengingat sektor keuangan itu sendiri pada dasarnya dibagi menjadi tiga sektor yaitu sektor Perbankan, Sektor Pasar Modal, dan Sektor Industri Keuangan Non Bank. Norma-norma yang mengatur ketiga sektor tersebut jelas juga berbeda. Sehingga perlakuan yang diberikan kepada konsumennya dalam bentuk perlindungan dalam penerapannya maka jelaslah pula berbeda karena pihak-pihak yang berperan serta keberadaannya juga berbeda.
Investor sendiri jika dilihat dari kemampuan dan juga keberadaannya merupakan kalangan yang memiliki kedudukan yang cukup kuat jika dipantau dari segi ekonominya, karena Investor adalah o rang yang memiliki kelebihan dana dan menanamkannya dalam Pasar Modal untuk pihak yang membutuhkan dana. Namun, keberadaan Investor ini merupakan pihak yang juga memiliki resiko yang cukup tinggi karena soal segala modal yang dipertaruhkan dengan adanya harapan untuk memperoleh keuntungan dari modal yang ditanamkan tersebut adalah satu kesatuan yang tidak boleh dipisahkan dari resiko Investasi.
Di dalam Peraturan OJK tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan utamanya dalam Pasal 34, 35, dan 37 tela h mengatur bahwa Pelaku Usaha Sektor Jasa Keuangan haruslah melakukan pelaporan secara berkala tentang adanya pengaduan konsumen. Pelaporan tersebut disampaikan kepada Pengawas OJK, karena ini terkait Pengawasan di Bidang Pasar Modal, maka pelaporannya disampaikan kepada Komisioner OJK bidang Sektor Pasar Modal.
Selain itu, terdapat beberapa peraturan yang juga dapat dijadikan landasan hukum terhadap perlindungan Investor Pembiayaan Sekunder Perumahan dalam ranahnya sebagai konsumen di sektor Jasa Keuangan, dalam hal ini Penyedia Jasa Sektor Keuangan yang bertindak menjadi Penyedia Jasa Investor dalam menanamkan Modalnya dalam bentuk Efek Beragun Aset Surat partisipasi adalah kepada Perusahaan Efek. Nantinya Perusahaan Efek tersebut bertindak sebagai Manajer Investasi maupun Wali Amanat bagi Investor. Sebagai upaya untuk mendukung penerbitan Efek Bergaun Aset Kontrak Investasi Kolektif. Otoritas Jasa Keuangan mengeluarkan Peraturan OJK Nomor 15 /POJK.04/2014 tentang Laporan Bulanan Kontrak Investasi Kolektif Efek
Beragun Aset. Peraturan ini dibentuk dalam rangka meningkatkan pengawasan serta keterbukaan informasi dalam Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun
Aset. 159 Di dalam ketentuan Peraturan OJK ini memberikan kewajiban terhadap Manajer Investasi untuk selalu menyampaikan laporan bulanan terkait KIK-EBA
sesuai degan ketentuan yang diberikan oleh OJK. Pelaporan yang dilakukan oleh manajer investasi tersebut adalah termasuk segala hal yang terkait dengan KIK - EBA termasuk adanya pengaduan Investor dan juga terma suk segala resiko yang timbul di dalam KIK-EBA.
Selain itu adanya ketentuan tentang pelaporan yang diwajibkan untuk dilakukan oleh penyedia Jasa Keuangan dalam bidang pasar modal dalam hal ini yang ada kaitannya dengan Efek Beragun Aset adalah ketentuan pe laporan yang termuat di dalam BAB IV Pasal 43 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 23/POJK.04/2014 tentang Pedoman Penerbitan dan Pelaporan Efek Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi dalam Rangka Pembiayaan Sekunder Perumahan, dimana dalam ketentuan t ersebut menyatakan bahwa “penerbit wajib menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan dan mengumumkannya kepada publik atau masyarakat mengenai informasi atau Fakta Materiil EBA-SP paling lambat 2 (dua) hari kerja sejak terjadinya Informasi atau Fakta Material
tersebut”. 160 Belum cukup sampai di situ, untuk menunjang adanya profesionalisme,
serta perlindungan nasabah, Manajer Investasi perlu meningkatkan kualitas
Jasa Keuangan Nomor 15/POJK.04/2014 tentang Laporan Bulanan Kontrak Inv estasi Kole ktif Efek Be ragun Aset.
159 Lihat Konsideran
160 Lihat Pasal 43 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 23/ POJK.04/2014 tentang 160 Lihat Pasal 43 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 23/ POJK.04/2014 tentang
Pelaksanaan Fungsi-Fungsi Manajer Investasi. Dimana dalam peraturan tersebut, ketentuan kewajiban pelaporan kepada Otoritas Jasa Keuangan juga telah diatur dalam Bab V Pasal 29 yang mengatur ketentuan kewajiban p elaporan oleh Manajer Investasi kepada OJK tentang laporan rencana kerja tahunan dan juga fungsi kepatuhannya serta segala laporan insidental harus dilaporkan kepada OJK
sesuai ketentuan yang berlaku. 162 Semua ketentuan tersebut dibuat oleh OJK dalam rangka perlindungan
secara khusus yang dapat diberikan kepada Investor sebagai pihak penyedia dana dalam sistem pembiayaan sekunder perumahan. Karena perlindungan tersebut juga diberikan sesuai dengan keberadaan dan juga jenis dari konsumen sektor jasa keuangan masing- masing. Perlindungan terhadap investor nampaknya diberikan lebih banyak dalam bentuk peraturan yang berbeda yang lebih signifikan dan khusus mengingat keberadaan perlindungan kepada investor dianggap lebih krusial.
2. Permohonan Maaf dan Ganti Kerugian
Pemberian ganti kerugian merupakan suatu solusi yang lebih bersifat masuk akal akibat adanya bentuk kerugian dari aspek finansial. Dengan adanya pemberian ganti kerugian ini setiap permasalahan yang ditimbulkan dianggap impas degan adanya suatu bentuk kerugian yang ditimbulkan. Skema perlindungan hukum represif, pemberian jaminan penggantian kerugian banyak
Lihat konsideran Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 24/POJK/04/2014 tentang Pedoman Pe la ksanaan Fungsi-Fungsi Manajer Investasi.
a) Pasal 38 Peraturan OJK No. 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan yang menjelaskan bahwa pengaduan yang disampaikan oleh konsumen (investor) terkait dengan adanya keluhan yang menimbulkan kerugian dan terbukti benar, maka penyedia jasa keuangan harus menyampaikan maaf dan menawarkan ganti
kerugian (redress/remedy) atau berupa perbaikan pelayanan. 163
b) Bagian II tentang mekanisme ganti kerugian dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 2/SEOJK.07/2014 tentang Pelayanan dan Penyelesaian Pengaduan Konsumen Pada Pelaku Usaha Jasa Keuangan. Dimana di dalam Surat Edaran tersebut dijelaskan mengenai kewajiban untuk memberikan ganti kerugian apabila terdapat ketidak sesuaian antara perjanjian dengan prod uk dan atau layanan yang diterima, dalam pengaduan Konsumen menuntut adanya penggantian kerugian dan juga
pengaduannya terbukti. 164
Lihat Pasal 38 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Se ktor Jasa Keuangan.
Lihat Mekan isme pe mberian ganti kerugian menurut Surat Edaran Otoritas Jasa Lihat Mekan isme pe mberian ganti kerugian menurut Surat Edaran Otoritas Jasa
kepada pemegang EBA-SP atas kerugian karena kelalaian dalam pelaksanaan tugasnya sebagaimana diatur dalam perjanjian perwaliamanatan, Perjanjian Penerbitan EBA-SP, dan perjanjian lain dalam Dokumen Transaksi EBA-SP dan peraturan perundang-
undangan”. 165
d) Pasal 33 Peraturan OJK Nomor 23/POJK.04/2014 tentang Pedoman Penerbitan dan Pelaporan Efek Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi dalam Rangka Pembiayaan Sekunder Perumahan, yang menyatakan
bahwa “Bank Kustodian wajib bertanggung jawab untuk memberikan ganti rugi kepada pemegang EBA-SP atas kerugian karena kelalaian dalam pelaksanaan tugasnya sebagaimana diatur dalam perjanjian penitipan, Perjanjian Penerbitan EBA-SP, perjanjian lain dalam
Dokumen Transaksi EBA-SP dan peraturan perundang- 166 undangan”.
e) Pasal 35 ayat (2) Peraturan OJK Nomor 23/POJK.04/2014 tentang Pedoman Penerbitan dan Pelaporan Efek Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi dalam Rangka Pembiayaan Sekunder Perumahan, yang menyatakan bahwa “kreditur asal bertanggung jawab untuk memberikan
Lihat Pasal 29 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor No mor 23/POJK.04/ 2014 tentang Pedoman Penerbitan dan Pelaporan Efe k Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi dala m Rangka Pe mbiayaan Se kunder Peru mahan.
Lihat Pasal 33 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor No mor 23/POJK.04/ 2014 Lihat Pasal 33 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor No mor 23/POJK.04/ 2014
Dengan adanya bentuk penggantian kerugian baik kerugian moril yang disampaikan dalam bentuk permintaan maaf dan juga kerugian dalam aspek finansial yang disampaikan dengan pemberian ganti kerugian yang telah di atur di dalam beberapa peraturan OJK, telah cukup memberikan perlindungan hukum secara represif kepada Investor dalam pembiayaan sekunder perumahan terhadap resiko kredit atas kumpulan piutang portofolio EBA. Semua pihak yang berperan dalam mulai dari proses penerbitan EBA hingga sampai ke tangan Investor serta dalam pengurusannya berkewajiban untuk bertanggung jawab apabila timbul hak- hal yang dapat merugikan Investor akibat kesalahannya tersebut.
3. Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa
Berdasarkan Pasal 39 Peraturan OJK terkait Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, menyatakan bahwa apabila suatu penyelesaian pengaduan tidak mencapai suatu kesepakatan maka dapat diselesaikan melalui lembaga Pengadilan maupun di luar Pengadilan. Jika sengketa tersebut dilakukan di luar pengadilan maka harus menggunakan lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa
yang tekah ditetapkan berdasarkan Peraturan OJK. 168 Otoritas Jasa Keuangan secara khusus juga telah mengeluarkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan. Dalam peratura n OJK ini telah
Lihat Pasal 35 ayat (2) Pe raturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor No mor 23/POJK.04/2014 tentang Pedoman Penerbitan dan Pelaporan Efe k Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi dala m Rangka Pe mb iayaan Sekunder Peru mahan.
168 Lihat ketentuan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) Pe raturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan dan lihat juga bagiian IV 168 Lihat ketentuan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) Pe raturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan dan lihat juga bagiian IV
Pengadilan. 169 Bentuk penyelesaian sengketa ini dilakukan dengan menggunakan
metode mediasi, ajudikasi, dan arbitrase. Dimana lembaga alternatif penyelesaian sengketa ini haruslah pula menerapkan prinsip aksesibilitas, independensi, keadilan, efisiensi dan efektifitas. Terdapat beberapa Lembaga Alernatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan yang telah dirilis oleh OJK berdasarkan Keputusan Nomor KEP-01/D.07/2016 tanggal 21 Januari 2016. Dimana dalam kasus ini yang dapat digunakan adalah Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI) untuk LAPS pada sektor Pasar Modal, dan atau Badan Mediasi Pembiayaan dan Pegadaian Indonesia (BMPPI) untuk LAPS pada sektor
Pembiayaan dan Pergadaian. 170
4. Fasilitas Penyelesaian Pengaduan Oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Pengaduan dapat pula diajukan oleh konsumen kepada Otoritas Jasa Keuangan secara tertulis untuk kemudian OJK harus menindaklanjutinya dengan memberikan fasilitasi. Fasilitasi ini adalah upaya yang dapat d ilakukan oleh OJK untuk mempertemukan antara pihak Bank dan juga Nasabah untuk saling
Lihat Pasal 2 Pe raturan Otoritas Jasa Keuangan nomor 1/POJK.07/2014 tentang Le mbaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Se ktor Keuangan.
OJK te lah merilis dan pemperbarui Dafta r Le mbaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan berdasarkan Keputusan No mor KEP -01/D.07/2016 tanggal 21 Januari 2016. Untuk sektor Perbankan LAPS yang digunakan adalah Badan Ar bitr ase Pasar Modal Indonesia (BAPMI) untuk sektor Pasar Modal yang berkantor di Gedung Bursa efe k Indonesia, Towe r I lantai 28 Suite 2805 Jalan Jendra l Sudirman Kav.2 Jaka rta. Sednagkan jika untuk sektor Pe mbiayaan dan Pergadaian adalah Badan Me di asi Pembi ayaan dan Pergadaian Indonesia
Dari hasil fasilitasi tersebut para pihak akan membuat suatu kesepakatan untuk memilih penyelesaian pengaduan yang difasilitasi oleh Otoritas Jasa Keuangan yang ditandatangani oleh keduanya. Dimana isinya juga berisi persetujuan untuk patuh dan tunduk terhadap segala peraturan fasilitas yang ditetapkan oleh OJK. Kesepakatan dari hasil fasilitasi tersebut nantinya akan dituangkan dalam Akta Kesepakatan yang ditandatangani oleh pihak bank dan juga nasabah. Jika masih saja tidak ditemukan suatu kesepakatan maka akan
dituangkan dalam berita acara fasilitas yang dibuat oleh OJK. 172
5. Sanksi Administratif
Sanksi administratif ini biasa diberlakukan sebagai bentuk punishment terhadap suatu pelanggaran yang dilakukan dari adanya suatu ketentuan yang ada. Begitu juga suatu bentuk pelanggaran yang dilakukan dalam ranah hukum perlindungan konsumen sektor jasa keuangan juga mempergunakan jenis sanksi administratif sebagai upaya memberikan efek jera agar tidak terjadi pelanggaran lagi di kemudian hari. Dalam kaitannya dalam perlindungan konsumen sektor jasa keuangan termasuk perbankan dan Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan mempunyai wewenang menetapkan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran peraturan perundang-undangan di sektor Jasa
Keuangan. 173
Lihat Pasal 42 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Se ktor Jasa Keuangan.
172 Lihat Pasal 44 dan Pasal 46 Pe raturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/ 2013 tentang Perlindungan Konsusmen Sektor Jasa Keuangan.
Selain itu dalam perspektif Hukum Pasar Modal juga ditegaskan bahwa sanksi administratif dikenakan kepada setiap pihak yang telah memperoleh izin, persetujuan, atau pendaftaran yang melakukan pelanggaran atas undang-undang
Pasar Modal dan peraturan Pelaksanaannya. 174 Selain itu dalam menerapkan sanksi administratif perlu juga untuk memperhatikan aspek pembinaan. 175
Secara khusus pengenaan sanksi administrasi terhadap pelanggaran yang terjadi dalam Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan yang diatur dalam beberapa Peraturan OJK yang berperan melindungi dan juga memberikan rasa aman bagi keberadaan investor dalam pembiayaan sekunder perumahan dari segala tindakan yang bermuatan merugikan bagi investor. Dengan demikian terdapat beberapa pencantuman sanksi administratif yang memiliki kaitan terhadap perlindungan Investor pembiayaan sekunder perumahan antara lain:
a) Sanksi administratif bagi Pelaku Usaha Jasa Keuangan dalam Pasal 33 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1//POJK.07/2013 tentang perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
b) Dalam Pasal 10 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 15/POJK.04/2014 tentang Laporan Bulanan Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset.
c) Sanksi denda terhadap Penerbit dalam Pasal 52 Peraturan Otoritas Jasa keuangan Nomor Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 15/POJK.04/2014 tentang Laporan Bulanan Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset.
d) Sanksi administratif dalam Pasal 30 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 24/POJK.04/2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Fungsi-Fungsi Manajer Investasi.
Secara umum menurut ketentuan Pasal 102 Undang-Undang Pasar Modal menyebutkan bahwa sanksi administratif itu dapat berupa: 176
a) Peringatan tertulis;
b) Denda;
c) Pembatasan kegiatan usaha;
d) Pembekuan kegiatan usaha;
e) Pembatalan persetujuan;
f) Pembatalan pendaftaran; Ketentuan mengenai bentuk sanksi administrasi yang terdapat di dalam skema Hukum Pasar Modal ini juga diadopsi ke dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan yang tujuannya melindungi Konsumen Sektor Jasa Keuangan dalam hal ini termasuk Investor Pembiayaan Sekunder Perumahan dalam seluruh kaitannya dari pelayanan yang diberikan oleh penyedia jasa keuangan yang terkait. Baik itu merupakan Penerbit EBA, Manajer Investasi, Wali Amanat, Maupun Bank Kustodian apabila melakukan pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan maka akan dikenakan sanksi administrasi baik denda maupun pencabutan perizinan tertentu oleh Otoritas Jasa Keuangan. Bentuk sanksi tersebut dapat dikenakan secara sendiri-sendiri maupun kumulatif.
Selain itu, mengenai prosedur penagihan sanksi administratif berupa denda memiliki pengaturan khusus yang diatur di dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 4/POJK.04/2014 tentang Tata cara Penagihan Sanksi Administratif Berupa Denda di Sektor Jasa Keuangan. Adapun prosedurnya akan disajikan dalam bagan berikut.
Diagram 2.
Bagan Prosedur Penagihan Sanksi Administratif Berupa Denda
Surat Teguran Teguran Sanksi Piutang Sanksi
I II Tambahan Macet / tindakan Tertentu
30 Hari
30 Hari 1 Tahun
Sumber: Otoritas Jasa Keuangan Keterangan : 177
1) Pasal 4 jo. Pasal 6 ayat (2) menyatakan bahwa “pembayaran sanksi denda wajib dilakukan paling lama 30 hari sejak ditetapkannya Surat Sanksi atau jawaban OJK atas permohonan Keberatan.
2) Pasal 7 menyatakan bahwa, “paling lama 30 hari setelah berakhirnya jangka waktu pembayaran denda, OJK menerbitkan Teguran 1 dan berturut-turut Teguran 2, disertai dengan bunga 2% per bulan (maksimal sampai dengan 48%).
3) Pasal 9 jo. Pasal 11 menyatakan bahwa, “dalam hal Sanksi Administratif berupa Denda beserta bunganya tidak dilunasi dalam jangka waktu 1 tahun 3) Pasal 9 jo. Pasal 11 menyatakan bahwa, “dalam hal Sanksi Administratif berupa Denda beserta bunganya tidak dilunasi dalam jangka waktu 1 tahun
Dengan telah terdapatnya ketentuan yang mengatur tentang sanksi-sanksi administratif yang termuat di dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan dapat menjadikan upaya represif yang melindungi keberadaan Investor Pembiayaan Sekunder Perumahan dari adanya segala resiko yang terdapat baginya, utamanya bagi resiko kredit atas kumpulan piutang portofolio EBA, karena adanya kewajiban pelaporan serta segala ketentuan peraturan perundang-undangan karena jika tidak, maka akan diberlakukan sanksi administratif bagi pelanggarnya.