Deskripsi Data

A. Deskripsi Data

1. Riwayat Hidup Pengarang

A. Mustofa Bisri lahir di Rembang, Jawa Tengah, 10 Agustus 1944.

Pendidikannya ditempuh di sekolah rakyat Rembang di pesantren Libroyo, Kediri; Pesantren Krapyak, Yogyakarta, Pesantren Taman Pelajar, Rembang dan Al-Qism

Al ‘Aalie lid Diraasaati ‘l-Islamiyah wal “Arabiyah, Al-Azhar University, Kairo.

Gus Mus dididik orangtuanya dengan keras apalagi jika menyangkut prinsip-prinsip agama. Namun, pendidikan dasar dan menengahnya terbilang kacau. Setamat sekolah dasar tahun 1956, Ia melanjutkan ke sekolah Tsanawiyah. Setahun di Tsanawiyah, Ia keluar, lalu masuk Pesantren Lirboyo, Kediri selama dua tahun. Kemudian pindah lagi ke Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Di Yogyakarta, Ia diasuh oleh KH Ali Maksum selama hampir tiga tahun. Ia lalu kembali ke Rembang untuk mengaji langsung diasuh ayahnya. KH Ali Maksum dan ayahnya KH Bisri Mustofa adalah guru yang paling banyak memengaruhi perjalanan hidupnya. Kedua kiai itu memberikan kebebasan kepada para santri untuk mengembangkan bakat seni.

Seperti kebanyakan kiai lainnya, Mustofa Bisri banyak menghabiskan waktu untuk aktif berorganisasi, seperti di NU. Tahun 1970, sepulang belajar dari Mesir, Ia menjadi salah satu pengurus NU Cabang Kabupaten Rembang. Kemudian, tahun 1977, Ia menduduki jabatan Mustasyar, semacam Dewan Penasihat NU Wilayah Jawa Tengah. Pada Muktamar NU di Cipasung, Jawa Barat, tahun 1994, Ia dipercaya menjadi Rais Syuriah PB NU.

Kesederhanaan yang dimiliki Gus Mus telah memberi warna baru pada peta perjalanan kehidupan sosial dan politik para ulama. Ia didorong-dorong oleh Gus Dur dan kawan-kawan dari kelompok NU kultural untuk mau mencalonkan diri sebagai calon ketua umum PB NU pada Muktamar NU ke-31 tahun 2004, di Boyolali, Jawa Tengah. Tujuannya, untuk menandingi dan menghentikan langkah maju KH Hasyim Muzadi dari kelompok NU struktural. Kawan karib Gus Dur Kesederhanaan yang dimiliki Gus Mus telah memberi warna baru pada peta perjalanan kehidupan sosial dan politik para ulama. Ia didorong-dorong oleh Gus Dur dan kawan-kawan dari kelompok NU kultural untuk mau mencalonkan diri sebagai calon ketua umum PB NU pada Muktamar NU ke-31 tahun 2004, di Boyolali, Jawa Tengah. Tujuannya, untuk menandingi dan menghentikan langkah maju KH Hasyim Muzadi dari kelompok NU struktural. Kawan karib Gus Dur

2. Proses Kreatif Pengarang

K. H. Ahmad Mustofa Bisri dikenal sebagai penyair Indonesia dekade

70 sampai 80-an. Pada angkatan ini, banyak inovasi yang dihadirkan dalam kehidupan sastra jika dibandingkan dengan angkatan-angkatan sebelumnya.

Pada awal kemunculannya sebagai penyair di dekade 80-an, masyarakat sastra Indonesia sempat terhenyak oleh model puisinya yang nyentrik namun membawa nuansa kesegaran seperti Kau Ini Bagaimana atau Aku Harus Bagaimana, Nyanyian Kebebasan atau Boleh Apa Saja, Puisi Jenaka Muslimin Modern yang sungguh-sungguh norak. Puisi-puisi nyentrik tersebut ditulis oleh seorang Kyai Haji pemimpin pondok pesantren. Gus Mus juga menulis karya- karya sebagai berikut: Nyamuk-nyamuk Perkasa dan Awas Manusia (gubahan cerita anak-anak, Gaya favorit Press Jakarta, 1979), Ohoi, Puisi Balsem (Pustaka Firdaus, Jakarta, 1991, 1994), Tadarus, Antologi Puisi (Prima Pustaka, Yogyakarta 1993), Rubiyat Angin dan Rumput (Majalah Humor dan PT. Matra Media, Cetakan II, Jakarta 1995), Pahlawan dan Tikus (Kumpulan puisi, Pustaka Firdaus, Jakarta 1996), Wekwekwek: Sajak-sajak Bumi Langit (1996), Negeri Daging (bentang Budaya, Yogyakarta 2002), Mahakiai Hasyim Asy’ari (terjemahan, kurnia kalam semesta Yogya 1996), Metode Tasawuf Al-Ghazali (terjemahan dan komentar, Pelita Dunia Surabaya, 1996), Saleh Ritual Saleh Sosial (Mizan, Bandung, Cetakan II, September 1995) Fikh Keseharian (Yayasan Pendidikan Al-Ibriz, Rembang bersama penerbit Al Miftah, Surabaya, Juli 1997), Kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi (Kompas 2003).

Gus Mus menulis kolom, esai, cerpen, puisi di berbagai media massa: intisari, Ummat, Amanah, Panji Masyarakat, DR, Horison, Jawa Pos, Tempo, Forum, Kompas, Suara Merdeka, Detak, Wawasan, Dumas, Bernas , dan lain-lain. Gus Mus mulai mengakrabi puisi saat belajar di Kairo, Mesir. Ketika itu Perhimpunan Pelajar Indonesia di Mesir membuat majalah. Salah satu pengasuh Gus Mus menulis kolom, esai, cerpen, puisi di berbagai media massa: intisari, Ummat, Amanah, Panji Masyarakat, DR, Horison, Jawa Pos, Tempo, Forum, Kompas, Suara Merdeka, Detak, Wawasan, Dumas, Bernas , dan lain-lain. Gus Mus mulai mengakrabi puisi saat belajar di Kairo, Mesir. Ketika itu Perhimpunan Pelajar Indonesia di Mesir membuat majalah. Salah satu pengasuh

Puisi-puisi yang diciptakan Gus Mus kebanyakan puisi-puisi yang kocak, ngepop, terutama yang termuat dalam buku kumpulan puisi Ohoi Puisi- puisi Balsem (1991). Dalam antologi yang judulnya unik tersebut, bisa kita baca aneka kritik sosial yang tidak terlepas dari nilai-nilai keagamaan. Meski puisinya terkesan penuh permainan bunyi, namun di balik semua itu bisa ditemukan logika- logika cerdas penyairnya serta kepiawaian Gus Mus menemukan kata-kata yang ritmis sehingga enak dibaca. Ungkapan-ungkapannya terasa segar dan orisinal.

Selain penyair, Gus Mus juga seorang pelukis. Bakat lukis Gus Mus terasah sejak masa remaja, saat mondok di Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Ia sering mengunjungi rumah-rumah pelukis. Salah satunya bertandang ke rumah sang maestro seni lukis Indonesia, Affandi. Ia seringkali menyaksikan langsung bagaimana Affandi melukis, sehingga setiap kali ada waktu luang, dalam batinnya sering muncul dorongan menggambar. Dia sering mengambil spidol, pena, atau cat air untuk corat-coret. Tapi kumat-kumatan, kadang-kadang, dan tidak pernah serius.

Pada akhir tahun 1998, pernah memamerkan sebanyak 99 lukisan amplop, ditambah 10 lukisan bebas dan 15 kaligrafi, digelar di Gedung Pameran Seni Rupa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. Kurator seni rupa, Jim Supangkat, menyebutkan kekuatan ekspresi Mustofa Bisri terdapat pada garis grafis. Kesannya ritmik menuju zikir membuat lukisannya beda dengan kaligrafi. Kaligrafi yang dibuat Gus Mus terkesan tulisan yang diindah-indahkan .

Kiai, penyair, novelis, pelukis, budayawan dan cendekiawan muslim, ini telah memberi warna baru pada peta perjalanan kehidupan sosial dan politik para ulama. Ia kiai yang bersahaja, bukan kiai yang ambisius. Ia kiai pembelajar bagi para ulama dan umat. Di luar kegiatan rutin sebagai ulama, dia juga seorang budayawan, pelukis dan penulis. Dia telah menulis belasan buku fiksi dan Kiai, penyair, novelis, pelukis, budayawan dan cendekiawan muslim, ini telah memberi warna baru pada peta perjalanan kehidupan sosial dan politik para ulama. Ia kiai yang bersahaja, bukan kiai yang ambisius. Ia kiai pembelajar bagi para ulama dan umat. Di luar kegiatan rutin sebagai ulama, dia juga seorang budayawan, pelukis dan penulis. Dia telah menulis belasan buku fiksi dan